Pengantar
Berkenaan dengan jasa keuangan islam, tiap lembaga yang menawarkan jasa keuangan islam diharapkan
dapat beroperasi sesuai kode etik syariah dan harus berfungsi dalam batasan-batasan syariah. Sebagai usaha
untuk memastikan bahwa operasi lembaga keuangan islam tidak bertentangan dengan syariah maka terdapat
beberapa lembaga yang berfungsi sebagai penasihat dan pengawas kegiatan tersebut, antara lain; Shari’ah
Advisory Council (SAC), Shari’ah Supervisory Board (SSB) atau Shari’ah Supervisory Committee (SSC).
Secara internasional, Accounting and Auditing Organizations of Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan
Islamic Financial Services Board (IFSB) telah mengeluarkan sejumlah standar dan pedoman tata kelola
berkaitan dengan jasa keuangan islam. Di Malaysia, Bank Negara Malaysia (BNM) juga telah mengeluarkan
pedoman yang relevan untuk memastikan kehati-hatian regulasi syariah dalam persoalan lembaga keuangan
islam.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengevaluasi kebutuhan audit syariah dalam rangka
melengkapi mekanisme kepatuhan syariah yang sudah diberlakukan. Audit syariah harus dilakukan secara
sistematis sebagai bagian dari mekanisme corporate governance lembaga keuangan islam (IFIs). Hal ini
disebabkan karena meningkatnya tuntutan stakeholders yang memerlukan jaminan kepatuhan syariah dan
akuntabilitas. Makalah ini juga membahas beberapa tantangan sebagai prasyarat untuk melaksanakan audit
syariah secara efektif.
Dalam rangka memastikan operasi lembaga keuangan syariah tidak bertentangan dengan syariah
maka dibentuklah lembaga pengawas syariah (SSC) di Malaysia yang fungsinya sebagai pengawas sekaligus
penasihat kegiatan-kegiatan perbankan syariah. Dewan penasehat syariah nasional (NSAC) sengaja dibentuk
oleh pemerintah Malaysia dalam rangka memberikan fatwa yg mengikat seluruh lembaga keuangan syariah,
tujuan lainnya memastikan kepatuhan lembaga keuangan syariah atau bank-bank terhadap aturan syariah,
memeriksa hukum dan undang-undang serta surat edaran perbankan syariah dan sebagainya. Dewan
Penasehat Syariah (NSAC) memastikan bahwa bank-bank dan lembaga keuangan sesuai dengan aturan
syari'ah dan pedoman selama perancangan kontrak dan perjanjian, proses transaksi, kesimpulan dan
pelaksanaan kontrak, dan sampai pada pelaksanaan syarat-syarat kontrak dan likuidasi.
Kepatuhan syariah pada dasarnya adalah sampel acak untuk memastikan bahwa transaksi
diselesaikan sesuai dengan aturan dan pedoman syariah. Program Audit Syariah berarti dokumen manual
berbasis Syariah yang jelas menguraikan langkah demi langkah prosedur audit syariah, kebijakan dan proses
saat menawarkan jasa keuangan syariah. Program Audit juga harus mencakup standar operasional prosedur,
termasuk akuntansi, peraturan dan persyaratan lainnya.
Penasihat syariah jarang melakukan kajian internal syariah secara menyeluruh atau audit terhadap
operasional bank syariah karena terbatasnya lingkup kerja mereka. Di sisi lain, sesuai dengan syarat
perusahaan terbatas (PT), bank syariah juga mengalami audit keuangan yang dilakukan oleh auditor eksternal
yang biasanya dilakukan oleh perusahaan akuntansi professional.
Meningkatkan keuntungan bagi stakeholder atau pemegang saham merupakan tujuan utama bagi
setiap bisnis, termasuk lembaga keuangan Islam. Stabilitas kinerja keuangan dan kemampuan untuk sumber
daya akan tergantung pada kepercayaan pemegang saham. Karena syariah adalah landasan dari produk dan
jasa keuangan Islam, jika pelanggan menemukan bahwa produk yang mereka miliki dalam portofolio mereka
tidak sesuai syariah, ini akan merusak kepercayaan di industri jasa keuangan Islam secara keseluruhan.
Dengan demikian, risiko ketidakpatuhan syariah jelas merupakan tantangan besar bagi regulator.
Sistem syariah dan kontrol harus dilengkapi dengan persyaratan audit syari'ah eksternal dan internal.
Setiap struktur regulasi perlu memiliki kekuatan penegakan hukum yang memadai untuk memastikan
tindakan yang dapat diambil dalam hal pelanggaran syariah. Pada Prakteknya untuk memastikan kepatuhan
syariah bergantung dasarnya pada struktur internal perusahaan, hal ini memberikan keuntungan bagi
kenyamanan stakeholder (pemegang saham). Namun begitu, sejumlah tantangan yang berkaitan dengan
independensi, kerahasiaan institusi - informasi hak milik, terbatasnya ketersediaan profesional dengan
pemberian beasiswa syariah dan keterampilan keuangan, dan perlunya konsistensi dalam pernyataan antara
berbagai lembaga pengawas syariah (SSC).
Perusahaan audit eksternal harus memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan audit
syariah. Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah perusahaan konsultan independen dan firma hukum
yang menawarkan jasa konsultasi syariah. Selain mengurangi biaya audit internal lembaga keuangan,
penggunaan layanan tersebut mungkin akan memberikan akses yang lebih luas. Namun, belum diketahui
secara pasti bahwa beralih kepada auditor eksternal syariah akan memberikan jaminan pada kepatuhan
syariah. Ada pendapat bahwa auditor internal umumnya lebih akrab dengan sistem catatan, kebijakan dan
prosedur lembaga dan dapat memberikan respon cepat untuk manajer. Hasilnya bisa lebih rinci dan lebih
lengkap.
Laporan Auditor jelas memberikan jaminan secara independen terhadap integritas dan kewajaran
informasi keuangan yang dihasilkan oleh bank syariah. Audit laporan keuangan adalah untuk memungkinkan
auditor untuk menyatakan suatu pendapat mengenai apakah laporan disusun, dalam seluruh aspek materi,
sesuai dengan identifikasi kerangka pelaporan keuangan. Audit laporan keuangan melibatkan keseluruhan
komponen dan mengevaluasi bukti tentang urusan keuangan suatu entitas sehingga untuk membangun
tingkat kesesuaian antara manajemen yang tegas dan kriteria yang telah ditetapkan, seperti persyaratan
hukum dan standar akuntansi.
Jenis audit diatas dilakukan oleh auditor independen yang ditunjuk langsung oleh pemegang saham
perusahaan. Auditor harus berkualitas dan mempunyai keterampilan secara independen dan obyektif. Karena
banyaknya transaksi bisnis, seluruh bukti harus dikumpulkan secara sampling. Dengan demikian, pendapat
auditor hanya didasarkan pada keyakinan yang masuk akal dan tentu saja bukan merupakan sebuah jaminan
yang lengkap. Di sisi lain, Laporan lembaga pengawas syariah (SSC) berpendapat bahwa kegiatan usaha
bank syariah harus dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.
Peran dan tanggung jawab dari lembaga pengawas syariah (SSC) mereka tidak diharuskan untuk
melakukan audit yang dilakukan oleh auditor keuangan. Hal yang kurang bijaksana jika mereka untuk
membuat suatu pernyataan yang tegas untuk menunjukkan jaminan lengkap, karena fungsi mereka jauh dari
apa auditor keuangan lakukan. Lembaga pengawas syariah tidak melakukan audit syariah dalam rangka
menyampaikan pendapat mereka. Mereka hanya menyetujui produk dan layanan serta dokumentasi hukum
yang diperlukan. Ini adalah kesenjangan fungsional yang dapat kita identifikasi dengan membandingkan
Laporan Auditor dan Laporan dari Lembaga pengawas syariah.
Auditor keuangan independen mereka adalah praktisi baik individu atau anggota kantor akuntan
publik yang memberikan jasa audit profesional kepada klien. Berdasarkan pendidikan, pelatihan dan
pengalaman, auditor independen memenuhi syarat untuk melaksanakan audit. Auditor bekerja atas dasar
biaya, jadi diharapkan untuk menjadi independen dalam melaksanakan audit dan pelaporan hasil. Untuk
menjadi independen, auditor harus tidak memihak atau berat sebelah kepada klien saat mengaudit dan
bersifat netral, berfokus pada hasil audit.
Meskipun anggota Lembaga pengawas syariah (SSC)merupakan sarjana syariah, mereka belum tentu
mendapat pelatihan yang ketat sebagai auditor. Lembaga pengawas syariah (SSC) harus independen
sehingga laporannya menjadi kredibel. Tidak seperti auditor keuangan yang diatur oleh aturan-aturan
hukum dan kode etik profesi, lembaga pengawas syariah dipandu oleh keyakinan agama dan moral dimana
ada kewajiban lebih untuk agama dan masyarakat. Ini merupakan akuntabilitas Lembaga pengawas syariah
(SSC) yang menjadikannya lebih kompeten dan independen. Karena belum adanya persyaratan untuk audit
syariah, menjadikan kemudahan Lembaga pengawas syariah untuk secara efektif memberikan laporannya.
Auditor keuangan mereka bertanggung jawab di bawah undang-undang dan peraturan hukum .
Dalam kasus penyimpangan, auditor diminta melaporkan jika mereka memiliki alasan untuk mencurigai
setiap perkara yang melawan hukum. Lembaga pengawas
syariah (SSC) juga membutuhkan perlindungan tidak hanya oleh hukum tetapi juga moral di mata publik.
Audit Syariah pada jasa keuangan Islam memiliki arti akumulasi dan evaluasi bukti untuk
menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang telah ditetapkan untuk
tujuan kepatuhan syariah. Audit harus dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen. Untuk
melakukan audit, harus ada informasi dalam bentuk diverifikasi dan beberapa standar (kriteria) dimana
auditor dapat mengevaluasi informasi. Informasi didapat dan diambil dari semua lini. Auditor syariah
melakukan audit pada dua tujuan informasi objektif (misalnya informasi keuangan pembagian keuntungan)
dan informasi subjektif (informasi syari'ah) untuk memastikan kepatuhan syari'ah bank syariah.
Petunjuk atau bukti Audit Syariah adalah untuk melakukan audit syariah dalam penetapan bukti
audit. Petunjuk atau bukti audit syariah dapat didefinisikan sebagai setiap informasi yang digunakan oleh
auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit dinyatakan sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan untuk tujuan penjaminan syariah. Kriteria untuk mengevaluasi informasi bervariasi tergantung
pada informasi yang diaudit . Dalam audit atas laporan keuangan historis oleh auditor, kriteria biasanya
standar laporan keuangan (FRS).
Untuk proses jasa audit syariah, kriteria dapat dikembangkan berdasarkan pendapat tertulis dari
Lembaga pengawas syariah (SSC), manual produk dan standar operasional prosedur (SOP). Petunjuk atau
bukti dalam audit syariah diantaranya: kesaksian lisan dari auditor, komunikasi tertulis dengan pihak luar,
pengamatan oleh auditor, serta transaksi data elektronik.
Audit syariah akan mengembangkan program audit yang sistematis dan menyeluruh. Program audit
syariah dapat dikembangkan untuk menutupi berbagai produk keuangan Islam dan layanan seperti :
1) Deposit Islam dan investasi berdasarkan wadi'ah dan mudarabah
2) Pembiayaan rumah syariah berdasarkan BBA dan musharakah mutanaqisah
3) Pembiayaan kendaraan bermotor Islami berdasarkan ijarah
4) Pembiayaan perdagangan Islami berdasarkan murabahah, wakalah, dsb
5) Pendanaan pribadi Islami dan kartu kredit, dsb.
Program audit syariah juga perlu ditulis dalam bahasa yang dapat dengan mudah dipahami oleh
pemegang saham yang potensial. Tiga fase Audit Syariah yaitu;
1. Perencanaan
auditor harus memahami bisnis lembaga keuangan Islam termasuk sifat kontrak yang digunakan untuk
berbagai jenis layanan keuangan syariah. Lalu, auditor syariah perlu mengidentifikasi teknik yang tepat,
sumber daya dan ruang lingkup untuk mengembangkan program audit. Program audit kemudian akan
mengidentifikasi kegiatan utama yang akan dilakukan, tujuan dari setiap kegiatan dan teknik yang akan
digunakan, termasuk teknik sampling dalam rangka mencapai tujuan audit. Di antara teknik yang dapat
digunakan mencakup pemeriksaan makalah, wawancara, benchmarking, survei, studi kasus, diagram
alur, dsb.
2. Pemeriksaan
Tehnik audit yang tepat perlu diidentifikasi dan dipaparkan. Teknik yang tepat diperlukan untuk
mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan baik kualitas dan kuantitas untuk mencapai kesimpulan yang
masuk akal sesuai dengan kepatuhan syariah. Aspek-aspek utama dari pemeriksaan di lapangan
memerlukan teknik sampling. Pemeriksaan yang lebih rinci dari dokumentasi akan diperlukan apakah
metodologi sampling digunakan atau tidak. Kertas kerja dan Catatan audit adalah dua hal paling penting
dalam tahap pemeriksaan. Tujuan kertas kerja yaitu untuk memberikan catatan sistematis pekerjaan yang
dilakukan selama audit dan merupakan catatan informasi dan fakta yang diperoleh untuk mendukung
temuan dan kesimpulan.
3. Laporan
Hasil dari pelaksanaan audit, mencakup persiapan laporan audit syariah, yang merupakan komunikasi
yang baik dari auditor kepada para pengguna atau pembaca. Pada umumnya laporan akan berbeda, tetapi
semua harus menginformasikan para pembaca mengenai tingkat kesesuaian antara informasi dan kriteria
yang telah ditetapkan.
Pendidikan Audit Syariah akan menghasilkan orang-orang yang kompeten dan independen menjadi
auditor syariah. Syarat menjadi auditor syariah yang baik adalah harus memahami kriteria yang
digunakan dalam audit syariah, kompeten untuk mengetahui jenis dan jumlah bukti yang menumpuk
sebelum menyimpulkan audit dan memiliki sikap mental yang independen.
Auditor syariah internal biasanya melaporkan langsung kepada manajemen utama (top management),
menjaga independensi auditor dari setiap unit operasi yang mereka audit.
Pendidikan dan pelatihan program harus membekali auditor syariah dengan dua pengetahuan dasar yaitu;
1. Pengetahuan syariah khusus seperti yang diterapkan dalam perbankan dan keuangan Islam
2. Pengetahuan dan keterampilan akuntansi dan auditing.
Audit syariah diperlukan untuk melengkapi program pemerintah saat ini dalam industri jasa keuangan
Islam.
AUDITING DALAM PERSPEKTIF ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah Auditing
Auditing adalah proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti yang dilakukan oleh pihak yang
independent dan kompeten, untuk menentukan apakah informasi yang di sajikan sesuai dengan criteria
yang ditetapkan.
Menurut catatan seorang ahli sejarah akuntansi, dikatakan bahwa : “ Asal usul auditing dimulai lebih
awal dibandingkan dengan asal usul akuntansi. Ketika kemajuan peradaban membawa pada kebutuhan
akan adanya orang yang dalam batas tertentu dipercaya untuk mengelola harta milik orang lain, maka
dipandang patut untuk melakukan pengecekan atas kesetiaan orang tersebut, sehingga semuanya akan
menjadi jelas”.
Dikatakan bahwa penguasa Mesir purba melakukan pemeriksaan independent dan atas catatan
penerimaan pajak, orang-orang Yunani kuno melakukan pemeriksaan atas rekening pejabat public,
sedangkan orang Romawi membandingkan antara pengeluaran dengan otorisasi pembayaran, sementara
para bangsawan penghuni puri di Inggris menunjuk auditor untuk melakukan review atas catatan
akuntansi dan laporan yang disiapkan oleh para pelayan mereka.
Awal audit terhadap perusahaan dapat dikaitkan dengan perundang-undangan Inggris selama
revolusi industri pada pertengahan tahun 1800-an. Kemajuan teknologi transportasi dan industri telah
menimbulkan skala ekonomi dan perusahaan yang lebih besar, munculnya manajer professional, serta
pertumbuhan kepemilikan perusahaan oleh banyak orang. Pada awalnya audit terhadap perusahaan harus
dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham yang bukan merupakan pejabat perusahaan, serta mereka
yang ditunjuk oleh pemegang saham lainnya sebagai perwakilan pemegang saham. Profesi akuntansi
segera bangkit dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar serta perundang-undangan yang segera
direvisi, sehingga memungkinkan orang yang bukan pemegang saham dapat melakukan audit. Hal ini
mendorong munculnya berbagai formasi kantor-kantor audit. Beberapa diantara kantor-kantor auditor
Inggris Kuno seperti Deloitte & Co, Peat Marwick, & Mitchell, dan Price Waterhouse & Co. yang masih
dapat ditelusuri sampai saat ini serta masih membuka praktik di USA ataupun diluar USA.
Pengaruh Inggris juga turut bermigrasi ke Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an ketika para
investor Inggris dan Skotlandia mengirimkan para Auditornya sendiri untuk memeriksa kondisi
perusahaan-perusahaan Amerika, tempat mereka telah berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar.
Secara khusus mereka melakukan investasi dalam saham pabrik pembuatan bir dan perkeretaapian.
Focus awal audit ini mula-mula adalah untuk menemukan penyimpangan dalam akun neraca serta
menangkal pertumbuhan kecurangan yang berkaitan dengan meningkatnya fenomena manajer
professional serta pemilik saham yang pasif.
A. Pengertian Akuntansi
Dewasa ini, akuntasi telah mengalami perkembangan layaknya ilmu hukum, ilmu kedokteran, serta
hamper semua bidang kegiatan manusia, sejalan dengan tuntutan kebutuhan sosial dan ekonomi
masyarakat. Akuntansi telah mengembangkan konsep-konsep baru untuk mengimbangi kebutuhan akan
informasi keuangan yang terus menerus meningkat guna melaksanakan pembangunan ekonomi dan
program-program sosial. Akuntasi dapat di pandang dari dua sisi pengertian yaitu sebagai pengetahuan
keahlian yang dipraktekan dalam dunia nyata, dan sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang
diajarkan di perguruan tinggi. Pada awalnya, yaitu kira-kira tahun 3000 SM, akuntansi ditemukan di
Mesir Kuno dan pada masa pemerintahan Yunani. Akuntansi yang ada pada saat itu hanya sekedar untuk
mengetahui sumber-sumber keuangan kerajaan. Sehingga belum ada suatu sistem akuntansi yang
sistematis untuk satu unit tertentu (hanya untuk sebagian transaksi saja). Di zaman Mesir Kuno tersebut
dijelaskan bahwa untuk mencatat transaksi hariannya, seorang manajer menggunakan calamos reed
(sejenis kulit). Selain itu dikenal pula dua macam teknik akuntansi, yaitu dengan koin (dalam amplop)
dan token. Pada tahun 1494, sistem double-entry mulai dikenal setelahnya sebagai system akuntansi
modern, yaitu harta sama dengan hutang ditambah dengan modal. Lucas Pacioli mengklaim dirinya
sebagai penemu pertama dari sistem akuntansi modern ini. Namun sebelumnya telah ada beberapa
temuan double-entry system, yaitu berasal dari kawasan Timur Tengah. Kaum Muslimin berandil besar
dalam perkembangan akuntansi dasar waktu itu. Setelah itu, bangsa Eropa mulai berdatangan untuk
mengupas secara mendalam tentang akuntansi versi Timur Tengah tersebut.
1. Periode Kapitalis
2. Kapitalis Nascent
3. Merkantilis
4. Revolusi dan Industrialisasi
5. Perkembangan pesat bidang akuntansi secara terus-menerus
Timbulnya revolusi industry tahun 1776 menimbulkan efek positif terhadap perkembangan akuntasi.
Salah satu yang menonjol adalah perubahan cara memproduksi barang dari kerajinan tangan ke
pabrikasi. Hal ini menyebabkan spesialisasi dalam akuntansi biaya meningkat pesat untuk memenuhi
kebutuhan analisis biaya dan teknik pencatatannya. Akuntansi diperlukan untuk menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan sangat cepat, berkembangnya kegiatan ekonomi, dan
masalah perbandingan pelaporan keuangan antar perusahaan. Pada tahun 1800-1850, masyarakat mulai
menggunakan dan menjadikan neraca sebagai tolak ukur kinerja sebuah perusahaan. Pada periode ini
dikenal pula pemeriksaaan keuangan (financial auditing). Pada tahun 1850, laporan laba rugi mulai
neggantikan peranan neraca dalam menilai efektivitas dan efisiensi perusahaan. Ilmu audit berkembang
semakin pesat pada periode ini Tahun 1900, di Amerika Serikat diperkenalkan Sertifikat Profesi melalui
ujian nasional untuk mendalami ilmu akuntansi melalui edukasi. Adanya laporan tentang pajak. Serta
akuntansi biaya mulai dikenal termasuk laoran statistik biaya dan produksi. Pada tahun 2925, mulai di
kenal akuntansi pemerintah untuk mengawasi dana pemerintah, teknik-teknik analisis biaya mulai
bermunculan dan diperkenalkan, laporan keuangan diseragamkan antar perusahaan, dirumuskannya
Norma Pemeriksaan Akuntansi, dan lahirnya Akuntansi Perpajakan.
B. Pengertian Auditing
Ada beberapa pengertian audit yang diberikan oleh beberapa ahli di bidang akuntansi, antara lain:
Menurut Alvin A.Arens dan James K.Loebbecke :
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on
the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done
by a competent independent person”.
Menurut Mulyadi :
“Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai
pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat
kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta
penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.[1]
Secara umum pengertian di atas dapat diartikan bahwa audit adalah proses sistematis yang
dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bahan
bukti dan bertujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Dalam melaksanakan audit faktor-faktor berikut harus diperhatikan:
1) Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan sejumlah kriteria (standar) yang dapat digunakan
sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut, 2). Penetapan entitas ekonomi dan periode
waktu yang diaudit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggungjawab auditor, 3). Bahan bukti
harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan audit, 4).
Kemampuan auditor memahami kriteria yang digunakan serta sikap independen dalam
mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya.
Audit pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : audit laporan keuangan, audit kepatuhan, dan
audit operasional.
1. Audit laporan keuangan (financial statement audit). Audit laporan keuangan adalah audit yang
dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat
apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
Hasil audit lalu dibagikan
2. kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.
3. Audit kepatuhan (compliance audit). Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa
sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam
audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari
manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya
disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan.
4. Audit operasional (operational audit). Audit operasional merupakan penelahaan secara sistematik
aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional,
auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap
operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk : 1). Menilai kinerja, kinerja
dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan, standar-standar, dan sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh
manajemen, 2). Mengidentifikasikan peluang dan, 3). Memberikan rekomendasi untuk perbaikan
atau tindakan lebih lanjut. Pihak-pihak yang mungkin meminta dilakukannya audit operasional
adalah manajemen dan pihak ketiga. Hasil audit operasional diserahkan kepada pihak yang meminta
dilaksanakannya audit tersebut.
D. Jenis-jenis auditor
Auditor biasanya diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan siapa yang mempekerjakan
mereka: akuntan publik, akuntan pemerintah, dan akuntan intern.
1. Akuntan publik. Akuntan publik adalah akuntan professional yang menjual jasanya kepada
masyarakat umum, terutama daam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh
kliennya.
2. Akuntan pemerintah. Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang bekerja di instansi
pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban keuangan
yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan
yang ditujukan kepada pemerintah.
3. Akuntan intern. Adalah akuntan yang bekerja dalam perusahaan yang tugas pokoknya adalah
menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi,
menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap aset-aset organisasi, menentukan efisiensi dan
efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh
berbagai bagian organisasi.
E. Laporan Auditor
Pengertian dan jenis-jenis laporan auditor
Pembuatan laporan auditor adalah langkah terakhir dan paling penting dari keseluruhan proses
audit. Secara umum laporan auditor dapat didefinisikan sebagai laporan yang menyatakan pendapat
auditor yang independen mengenai kelayakan atau ketepatan pernyataan klien bahwa laporan
keuangannya disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntan yang berlaku umum, yang
diterapkan secara konsisten dengan tahun sebelumnya. Dalam menyiapkan dan menerbitkan sebuah
laporan audit, auditor harus berpedoman pada empat standar pelaporan yang terdapat dalam Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP).
Terpenting, harus dilihat standar yang terakhir karena standar ini mensyaratkan suatu
pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan atau pernyataan bahwa pendapat tidak
dapat diberikan disertai dengan alasan-alasannya. Standar ini mensyaratkan adanya pernyataan auditor
secara jelas mengenai sifat pemeriksaan yang telah dilakukan dan sampai dimana auditor membatasi
tanggungjawabnya. Pendapat auditor tersebut disajikan dalam suatu laporan tertulis yang umumnya
berupa laporan audit bentuk baku.
Menyadari fungsi utama laporan audit sebagai media komunikasi antara manajemen dengan
pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka dibutuhkan adanya keseragaman pelaporan untuk
menghindari kerancuan. Oleh karena itu standar profesional telah merumuskan dan merinci berbagai
jenis laporan audit yang harus disertakan pada laporan keuangan.
Terdapat beberapa jenis pendapat akuntan yang diberikannya berkenaan dengan suatu
pemeriksaan umum, yaitu :
1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion).
2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with explanatory
language).
3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion).
4. Pendapat tidak wajar (adverse opinion).
5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion).
1) Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
Istilah unqualified disini bukan berarti tidak memenuhi syarat atau tidak qualified. Arti
unqualified disini adalah tanpa kualifikasi (qualification) atau tanpa reserve atau tanpa
keberatan-keberatan. Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan auditor jika tidak terjadi
pembatasan dalam lingkup audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai
kewajaran dan penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam penyusunan laporan
keuangan, konsistensi penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, serta pengungkapan
memadai dalam laporan keuangan. Laporan keuangan dianggap menyajikan secara wajar posisi
keuangan dan hasil usaha suatu organisasi, sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum jika memenuhi kondisi-kondisi berikut :
Prinsip akuntansi berlaku umum digunakan untuk menyusun laporan keuangan
Perubahan penerapan prinsip akuntansi berlaku umum dari periode ke periode telah cukup
dijelaskan
Informasi dalam catatan-catatan yang mendukungnya telah digambarkan dan dijelaskan
dengan cukup dalam laporan keuangan sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum
2) Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with
explanatory language).
Laporan keuangan tetap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan
klien namun ditambah dengan hal-hal yang memerlukan bahasa penjelasan.
3) Laporan pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
Pendapat ini hanya diberikan jika secara keseluruhan laporan keuangan yang disajikan oleh klien
adalah wajar, tetapi ada beberapa unsur yang dikecualikan, yang pengecualiannya tidak
mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Terdapat beberapa kondisi yang
membuat auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian, yaitu :
Lingkup audit dibatasi oleh klien
Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat memperoleh
informasi penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien dan auditor
Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum
Prinsip akuntansi berlaku umum yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak
diterapakan secara konsisten
4) Laporan pendapat tidak wajar (adverse opinion)
Pendapat tidak wajar diberikan jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan prinsip-
prinsip akuntansi yang berlaku umum sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan,
hasil usaha, perubahan saldo laba dan arus kas perusahaan klien. Auditor memeberikan pendapat
tidak wajar jika tidak terdapat pembatasan bukti audit. Pendapat tidak wajar merupakan
kebalikan pendapat wajar dengan pengecualian. Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika
ia tidak dibatasi lingkup auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten dalam
jumlah cukup untuk mendukung pendapatnya.
5) Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)
Pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan auditor jika ia tidak berhasil menyakinkan
dirinya bahwa keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Pernyataan tidak
memberikan pendapat diberikan jika antara lain, terdapat banyak pembatasan lingkup audit,
hubungan yang tidak independen antara auditor dan klien. Masing-masing kondisi tersebut tidak
memungkinkan auditor untuk dapat menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan secara
keseluruhan.
Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang
dapat membantunya dalam menentukan jumlah zakat yang harus dibayarnya. Oleh karena itu, kami tidak
menganggap mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat merupakan faktor asasi yang
mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara Islam. Hal itu agar seorang muslim dapat
mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya, dan selanjutnya adalah perhitungan zakat yang harus
dikeluarkan karena bertambahnya harta seorang muslim selama satu tahun penuh, di samping dari laba
yang diperoleh dari modal yang berputar.
Perkembangan akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya dalam membangun pengertian
akuntansi sebagai suatu sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi bagi penggunaan
akuntansi. Anehnya, hal inilah yang menjadi tujuan penggunaan akuntasi pada masa kita sekarang ini.
Para penulis sekarang ini mengaku bahwa merekalah yang mengembangkan pengertian ini pada abad
sekarang. Barangkali, pengakuan mereka ini disebabkan oleh kejahilan mereka terhadap sejarah dan
peran akuntansi di negara Islam. Demikian pula, boleh jadi mereka membangun tujuan ini pada abad XX
M., sementara tujuan ini telah populer di negara Islam sejak abad I H. atau abad VII M. Di antara yang
menjelaskan tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafi’i rahimahullah :
“Barang siapa mempelajari hisab (akuntansi) pikirannya bagus.” (Husain Syahatah, 1993, hal. 45). Perlu
diketahaui bahwa Imam Safi’i hidup pada tahun 150-204 H./767-820 M. Hal ini tidak saja menjelaskan
peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu itu, tetapi juga menjelaskan
pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan signifikansi tersebut. Hal ini tampak dalam
bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis akuntansi.
Setelah itu, Imam Syafi’Ii menjelaskan ucapannya itu, yaitu sesungguhnya seorang pedagang atau yang
lain tidak dapat mengambil keputusan secara benar atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa
bantuan data-data yang tercatat dalam buku. (Ibid). Para fuqaha’ berkata bahwa di antara kewajiban
seorang muslim adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang menjadikan shalat, shaum, dan
zakatnya sah, serta hal-hal yang harus diketahui untuk menunaikan manasik hajinya. Demikian pula dia
harus mengetahui hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi sebagai seorang pedagang; dan
mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut
ilmu dlaruri. (Abu Hamid Al Ghazali, 1400 H., vol. 1, juz 1-3, hal. 42-30) juga (Sayid Sabiq,1403
H./1983 M., vol. III, juz 11-14, hal. 125-126).
Pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sekadar sebagai sarana
untuk menentukan modal di akhir periode V dan untuk mengukur keuntungan melalui selisih modal
pada dua priode, hal ini terjadi pada masa sebelum Islam, menjadi sebagai sarana untuk memperoleh
informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan penentuan tanggung jawab, hal ini terjadi
pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata, “Seorang akuntan harus berpegang pada
aturan-aturan atau format-format yang telah disiapkan sebelumnya, dan tidak boleh melanggar
selamanya”. (hal. 54). Hal ini menunjukkan perkembangan akuntansi dan adanya sistem pengawsan
intern yang berkaitan erat dengannya. Semuanya itu diprogram, diinterpretasikan, dan diaplikasikan
menurut syariat Islam. Demikian pula perkembangan dalam pengertian akuntansi dan tujuan
penggunaannya ini terlihat dalam perkataan Al Qalqasyandi yang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya
pekerjaan akuntansi dibangun atas dasar kenyakinan”. (hal. 154). Perkataan ini, secara khusus,
memantulkan dalam pemikiran kami akan pentingnya sistem dokumentasi. Sebab, hitungan-hitungan
yang dicatat dalam buku harus diyakini kebenarannya; dan keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali
dengan adanya bukti-bukti yang memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan
kebenaran pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain.
Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan yang
bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti pengeluaran-pengeluaran
yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat ketetapan apabila terdapat perbedaan-
perbedaan di antara tahun-tahun keuangan. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 37). Ini merupakan
bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai sarana informasi yang bertujuan
mengambil keputusan sekitar jalannya pengeluaran-pengeluaran itu. Hal ini mengandung pembatasan
perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun ke tahun. Selanjutnya adalah pembatasan
penanggungjawab perbedaan-perbedaan tersebut, lalu pengambilan-pengambilan tindakan-tindakan yang
pasti ketika perbedaan-perbedaan itu tidak dapat di tolerir.
Imam Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan pengertian akuntansi,
dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan adalah perhatian terhadap pengawasan diri.
(juz XV, hal. 6-7). Sesunguhnya asas dalam pengawasan diri adalah takut kepada Allah. Ini adalah ciri
seorang muslim penganut aqidah yang mengetahui bahwa Allah melihatnya. Selanjutnya, dia akan
mengawasi dirinya karena dia mengetahui di sana ada Pengawas yang dapat melihat apa yang tidak bisa
dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa yang tidak dapat didengar oleh selain-Nya di antara
makhluq-makhluq-Nya. Hal ini tampak jelas di dalam firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:
“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. (Al Baqarah:284)
Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum dihisab,
khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah.
Dalam hal ini, Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu berkata, “Hisablah diri kalian
sebelum dihisab; timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbangkan; dan bersiap-siaplah kalian
untuk menghadapi penampakan amal”.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan buku-buku akuntansi dan kantor-kantor
pemerintahan terjadi pada masa khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab radliyallahu
`anhu , maka kita patut mengkaitkan antara perkataannya ini dan perkembangan tersebut, dan bagaimana
beliau menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum, dan barangkali dari segi
keuangan secara khusus. Wallahu A’lam. Sebab, pengawasan diri dan muhasabah terhadap diri
merupakan tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana terdapat di dalam Al Qur’an dan As
Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap dirimu”. (Al
Isra':14)
Dari As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil muhasabah
terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah pertanggungjawaban . Hal ini
tampak jelas di dalam perkataan Nabi shallallahu `alaihi wasallam:
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat
perkara, yaitu : tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya, dihabiskan untuk apa;
tentang hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa; dan tentang ilmunya, apa yang telah
diperbuat dengan ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi, dan menurut beliau hadits ini hasan shahih).
Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa sayyidul basyar, Muhammad shallallahu `alaihi
wasallam menepuk pundaknya, kemudian berkata:
“Wahai Qadim (Miqdam? pen,) beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam keadaan menjadi
amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)
Makna kata “katib” disini adalah pencatat pekerjaan dan penghitungnya. (Zakiyyudin Abdul Azhim bin
Abdul Qawiy Al Mundziri, 1986, juz 3, hal. 159)
Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan dengan
berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sebagai akibat
bertambahnya pemasukan negara dari berbagai penaklukan dan zakat, terutama setelah pemasukan
tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa
pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan cara yang diikuti sebelum
Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa khalifah kedua, yaitu khalifah Al
Faruq Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu pada tahun 14--24 H. /636--646 M. Beliaulah yang
memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan sesuai dengan sumber pendapatannya.
Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab ini meliputi penentuan hakikat buku yang
harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya, serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya
sebagai asas pencatatan dan harus disimpan setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat.
Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas terpisah,
tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang memasukkan buku-buku dan catatan yang
terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah Al Walid bin Abdul Malik, pada
tahun 86-96 H. /706-715 M. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 36). Ini berarti bahwa hal ini
terjadi kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Sementara itu,
sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232
H. /750-847 M. Yakni, pada tahun 132 H. /750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan
Kharaj (Diwan pemasukan hasil-hasil pertanian) dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk melakukan
reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan buku-buku akuntansi serta memberi nama
khusus terhadapnya.
Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”. Dari sini tampak
garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan sumber rujukan buku tersebut,
karena pada sebagian yang disebutkannya terdapat banyak kesamaan dengan apa yang digunakan pada
masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang
harus digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris (Brown dan Johnson, 1963, hal.
43) atau “Zornal” dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di kota Venice . (Martinelli, 1977, hal. 25).
Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari
kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada masa negara Islam, yaitu pada
masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H. /749 M.,yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa
yang dipraktikkan di Republik Itali sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah
dipraktikkan di negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan
“Jaridah” sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung
ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan Islam.
Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu Khaldun yang
hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H. /784 M. Mengatakan bahwa
seorang akuntan harus memakai buku-buku akuntansi yang sesuai, dan mencatat namanya di akhir buku,
serta menstempelnya dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut memuat nama Sulthan atau simbol
khusus bagi Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah satu sisi buku .(halaman 205). Sesungguhnya
penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak abad
ke-2 Hijriyah dan barangkali sebelum itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang
beragam sesuai dengan perbedaan karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.
Dahulu, “Jaridah” digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-
pengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan ada jaridah untuk
pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal dengan nama Specialised
Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan nama Daftarul
Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).
Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan dikenal dengan nama
General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di samping specialised journals. Dahulu, buku
harian ini digunakan untuk mencatat seluruh transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya
dengan orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab dengan
nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).
Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H. /1336 M. atau kurang lebih tiga puluh
satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan pembukuan tunduk pada praktik-praktik
tertentu dan jelas. Sebab,seluruh harta yang masuk atau keluar harus dicatat sesuai urutan waktu
terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi. Demikian pula, keharusan mencatat
transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau
yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan
dan yang lain. (An Nuwairi, hal. 273--275). Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid
yaitu yang sekarang dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang
melakukan pencatatan di buku. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 131--132). Hal ini
menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya bersamaan
dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa Khalifah Umar Ibnul
Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang
setelah itu sebagaimana yang kita rasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi.
Daulat Abbasiyyah, 132-232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lain
dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus. Sebab pada saat
itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus (Specialized Accounting Books).
Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat dengan fungsi dan tugas yang diterapkan
pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang dikenal pada masa kehidupan negara Islam itu
adalah sebagai berikut:
1. Daftarun Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini
bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
2. Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan di Diwanil
Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan
yang dikeluarkannya.
3. Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin.
Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senior negara pada saat
itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 41).
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu serupa
dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts Receipable
Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj
digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan
untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus
dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak
yang harus dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang
Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363 M.)
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian piutang
menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan, yaitu
apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama Collectable Debts.
2. Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan, yaitu apa
yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama
Bad Debts atau Uncollectable Debts.
3. Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang
diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful Debts.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 141).
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu: pertama, pengaruh
kehidupan perdagangan terhadap pekerjaan akuntansi, sebagaimana yang telah kami kemukakan pada
pendahuluan Bab I; dan yang kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh terhadap penggambaran
kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk tujuan zakat. Sebab, penggambaran
kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran hak dan kewajiban. Tidak diragukan lagi
bahwa mereka mengetahui pentingnya inventarisasi para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin
diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan piutang
dalam tiga kelompok tersebut. Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa
kita sekarang tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali
lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal ini jika tidak
ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut pentingnya
inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan kreditur terhadap
jumlah zakat.
“ Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan
bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’ katakanlah, Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertamakali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan
sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (Al An’am:14)
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal
system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu
dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi
adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara
melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account,
perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.
Oleh karena itu akuntan/auditor harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua
pekerjaannya dihadapan Allah dan juga kepada publik, profesi, atasan dan dirinya sendiri. Gambaran singkat
ini mudah-mudahan menggugah kita bahwa auditing syari’ah sudah mulai berkembang sejalan dengan
perkembangan sistem ekonomi islam.
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Sofyan S. Harahap Auditing Dalam Perspektif Islam Pustaka Quantum Jakarta 2002
Sofyan S. Harahap Teori Akuntansi Laporan Keuangan Bumi Aksara Jakarta 1994
Sofyan S. Harahap Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam Pustaka Quantum Jakarta 2001 Kell, Johnson,
William C. Boynton. Modern Auditing. Seventh Edition. New York.. John Wiley & Sons. 2001
AUDITING DALAM PERSPEKTIF ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sejarah Auditing
Auditing adalah proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti yang dilakukan oleh pihak yang
independent dan kompeten, untuk menentukan apakah informasi yang di sajikan sesuai dengan criteria
yang ditetapkan.
Menurut catatan seorang ahli sejarah akuntansi, dikatakan bahwa : “ Asal usul auditing dimulai lebih
awal dibandingkan dengan asal usul akuntansi. Ketika kemajuan peradaban membawa pada kebutuhan
akan adanya orang yang dalam batas tertentu dipercaya untuk mengelola harta milik orang lain, maka
dipandang patut untuk melakukan pengecekan atas kesetiaan orang tersebut, sehingga semuanya akan
menjadi jelas”.
Dikatakan bahwa penguasa Mesir purba melakukan pemeriksaan independent dan atas catatan
penerimaan pajak, orang-orang Yunani kuno melakukan pemeriksaan atas rekening pejabat public,
sedangkan orang Romawi membandingkan antara pengeluaran dengan otorisasi pembayaran, sementara
para bangsawan penghuni puri di Inggris menunjuk auditor untuk melakukan review atas catatan
akuntansi dan laporan yang disiapkan oleh para pelayan mereka.
Awal audit terhadap perusahaan dapat dikaitkan dengan perundang-undangan Inggris selama
revolusi industri pada pertengahan tahun 1800-an. Kemajuan teknologi transportasi dan industri telah
menimbulkan skala ekonomi dan perusahaan yang lebih besar, munculnya manajer professional, serta
pertumbuhan kepemilikan perusahaan oleh banyak orang. Pada awalnya audit terhadap perusahaan harus
dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham yang bukan merupakan pejabat perusahaan, serta mereka
yang ditunjuk oleh pemegang saham lainnya sebagai perwakilan pemegang saham. Profesi akuntansi
segera bangkit dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar serta perundang-undangan yang segera
direvisi, sehingga memungkinkan orang yang bukan pemegang saham dapat melakukan audit. Hal ini
mendorong munculnya berbagai formasi kantor-kantor audit. Beberapa diantara kantor-kantor auditor
Inggris Kuno seperti Deloitte & Co, Peat Marwick, & Mitchell, dan Price Waterhouse & Co. yang masih
dapat ditelusuri sampai saat ini serta masih membuka praktik di USA ataupun diluar USA.
Pengaruh Inggris juga turut bermigrasi ke Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an ketika para
investor Inggris dan Skotlandia mengirimkan para Auditornya sendiri untuk memeriksa kondisi
perusahaan-perusahaan Amerika, tempat mereka telah berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar.
Secara khusus mereka melakukan investasi dalam saham pabrik pembuatan bir dan perkeretaapian.
Focus awal audit ini mula-mula adalah untuk menemukan penyimpangan dalam akun neraca serta
menangkal pertumbuhan kecurangan yang berkaitan dengan meningkatnya fenomena manajer
professional serta pemilik saham yang pasif.
B. Pengertian Auditing
Ada beberapa pengertian audit yang diberikan oleh beberapa ahli di bidang akuntansi, antara lain:
Menurut Alvin A.Arens dan James K.Loebbecke :
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on
the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done
by a competent independent person”.
Menurut Mulyadi :
“Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai
pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat
kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta
penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.[1]
Secara umum pengertian di atas dapat diartikan bahwa audit adalah proses sistematis yang
dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bahan
bukti dan bertujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Dalam melaksanakan audit faktor-faktor berikut harus diperhatikan:
a. Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan sejumlah kriteria (standar) yang dapat digunakan
sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut, 2). Penetapan entitas ekonomi dan periode
waktu yang diaudit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggungjawab auditor, 3). Bahan bukti
harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan audit, 4).
Kemampuan auditor memahami kriteria yang digunakan serta sikap independen dalam
mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya.
b. Audit pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : audit laporan keuangan, audit kepatuhan,
dan audit operasional.
c. Audit laporan keuangan (financial statement audit). Audit laporan keuangan adalah audit yang
dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat
apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
Hasil audit lalu dibagikan
d. kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.
e. Audit kepatuhan (compliance audit). Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa
sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam
audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari
manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya
disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan.
f. Audit operasional (operational audit). Audit operasional merupakan penelahaan secara sistematik
aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional,
auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap
operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk : 1). Menilai kinerja, kinerja
dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan, standar-standar, dan sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh
manajemen, 2). Mengidentifikasikan peluang dan, 3). Memberikan rekomendasi untuk perbaikan
atau tindakan lebih lanjut. Pihak-pihak yang mungkin meminta dilakukannya audit operasional
adalah manajemen dan pihak ketiga. Hasil audit operasional diserahkan kepada pihak yang meminta
dilaksanakannya audit tersebut.
C. Tujuan dan manfaat audit independen
Tujuan umum audit atas laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran
laporan keuangan, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum. Kewajaran laporan keuangan diukur berdasarkan asersi terkandung dalam setiap unsur yang
disajikan dalam laporan keuangan, yang disebut dengan asersi manajemen.
Asersi manajemen yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diklasifikasikan menjadi lima
kategori :
1. Keberadaan atau kejadian (existency or occurence). Asersi ini merupakan pernyataan manajemen
aktiva, kewajiban, dan ekuitas yang tercantum dalam neraca benar-benar ada pada tanggal neraca
serta apakah pendapatan dan beban yang tercantum dalam laporan rugi laba benar-benar terjadi
selama periode akuntansi.
2. Kelengkapan (completeness). Kelengkapan berarti semua transaksi dan akun-akun yang seharusnya
tercatat dalam laporan keuangan telah dicatat. Asersi kelengkapan berlawanan dengan asersi
keberadaan. Jika asersi keberadaan tidak benar maka akun akan dinyatakan terlalu tinggi, sementara
jika asersi kelengkapan tidak benar, maka akun akan dinyatakan terlalu rendah. Asersi kelengkapan
berkaitan dengan kemungkinan hilangnya hal-hal yang harus dicantumkan dalam laporan keuangan,
sedangkan asersi keberadaan berkaitan dengan penyebutan angka yang seharusnya tidak dimasukkan.
3. Hak dan kewajiban (rights and obligations). Auditor harus memastikan apakah aktiva memang
menjadi hak klien dan apakah kewajiban merupakan hutang klien pada tanggal tertentu.
4. Penilaian atau alokasi (valluation or allocation). Asersi ini menyangkut apakah aktiva, kewajiban,
ekuitas, pendapatan, atau beban telah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah yang tepat.
5. Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). Asersi ini menyangkut masalah apakah
komponen-komponen laporan keuangan telah diklasifikasikan, diuraikan, dan diungkapkan secara
tepat. Pengungkapan berhubungan dengan apakah informasi dalam laporan keuangan, termasuk
catatan yang terkait, telah menjelaskan secara gamblang hal-hal yang dapat mempengaruhi
penggunaannya.
D. Independensi
Masalah utama yang dihadapi oleh akuntan publik saat ini adalah berkurangnya kekuasaan
mereka dalam melaksanakan penugasan. Seorang akuntan yang independen dituntut untuk bertindak
sesuai dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi. Fenomena hubungan antara akuntan publik
dengan klien telah menjadi pusat perhatian bagi para pembuat keputusan, seperti investor, kreditor, dan
pemegang saham.
Mereka sangat menyadari adanya kemampuan yang dimiliki oleh pihak manajemen perusahaan.
Pertama, kemampuan yang berkaitan dengan kecenderungan manajemen perusahaan untuk
memanipulasi kinerja laporan keuangan perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan penilaian yang
positif atas tanggung jawabnya sebagai pihak yang mengelola perusahaan. Kecenderungan ini dikenal
dengan istilah window dressing, biasanya dilakukan dengan cara memperbaiki laporan keuangan
sedemikian rupa sehingga tampak lebih baik dari semestinya.
Berbeda dengan profesi lain, auditor tidak dapat bertindak untuk kepentingan kliennya
sebagaimana pengacara dengan kliennya. Meskipun dibayar oleh klien akuntan publik bekerja bagi
kepentingan masyarakat umum. Auditor harus independen dalam dari segala kewajiban dan pemilikan
kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Ia harus pula menghindari keadaan-keadaan yang dapat
mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya. Dalam kenyataannya auditor seringkali
menemui kesulitan dalam mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang seringkali
mengganggu sikap mental independen auditor adalah sebagai berikut :
1. Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas
jasanya tersebut.
2. Kecenderungan untuk memuaskan kliennya.
3. Resiko kehilangan klien.
E. Jenis-jenis auditor
Auditor biasanya diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan siapa yang mempekerjakan
mereka : akuntan publik, akuntan pemerintah, dan akuntan intern.
Akuntan publik. Akuntan publik adalah akuntan professional yang menjual jasanya kepada
masyarakat umum, terutama daam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh
kliennya.
Akuntan pemerintah. Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang bekerja di instansi
pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban keuangan
yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan
yang ditujukan kepada pemerintah.
Akuntan intern. Adalah akuntan yang bekerja dalam perusahaan yang tugas pokoknya adalah
menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi,
menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap aset-aset organisasi, menentukan efisiensi dan
efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh
berbagai bagian organisasi.
F. Laporan Auditor
1. Pengertian dan jenis-jenis laporan auditor
Pembuatan laporan auditor adalah langkah terakhir dan paling penting dari keseluruhan
proses audit. Secara umum laporan auditor dapat didefinisikan sebagai laporan yang menyatakan
pendapat auditor yang independen mengenai kelayakan atau ketepatan pernyataan klien bahwa
laporan keuangannya disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntan yang berlaku
umum, yang diterapkan secara konsisten dengan tahun sebelumnya. Dalam menyiapkan dan
menerbitkan sebuah laporan audit, auditor harus berpedoman pada empat standar pelaporan yang
terdapat dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
Terpenting, harus dilihat standar yang terakhir karena standar ini mensyaratkan suatu
pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan atau pernyataan bahwa pendapat
tidak dapat diberikan disertai dengan alasan-alasannya. Standar ini mensyaratkan adanya pernyataan
auditor secara jelas mengenai sifat pemeriksaan yang telah dilakukan dan sampai dimana auditor
membatasi tanggungjawabnya. Pendapat auditor tersebut disajikan dalam suatu laporan tertulis yang
umumnya berupa laporan audit bentuk baku.
Menyadari fungsi utama laporan audit sebagai media komunikasi antara manajemen dengan
pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka dibutuhkan adanya keseragaman pelaporan untuk
menghindari kerancuan. Oleh karena itu standar profesional telah merumuskan dan merinci berbagai
jenis laporan audit yang harus disertakan pada laporan keuangan.
Terdapat beberapa jenis pendapat akuntan yang diberikannya berkenaan dengan suatu
pemeriksaan umum, yaitu :
1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion).
2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with
explanatory language).
3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion).
4. Pendapat tidak wajar (adverse opinion).
5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion).
2. Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
Istilah unqualified disini bukan berarti tidak memenuhi syarat atau tidak qualified. Arti unqualified
disini adalah tanpa kualifikasi (qualification) atau tanpa reserve atau tanpa keberatan-keberatan.
Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan auditor jika tidak terjadi pembatasan dalam lingkup
audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai kewajaran dan penerapan prinsip
akuntansi yang berlaku umum dalam penyusunan laporan keuangan, konsistensi penerapan prinsip
akuntansi yang berlaku umum, serta pengungkapan memadai dalam laporan keuangan. Laporan
keuangan dianggap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha suatu organisasi, sesuai
dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum jika memenuhi kondisi-kondisi berikut :
Prinsip akuntansi berlaku umum digunakan untuk menyusun laporan keuangan
Perubahan penerapan prinsip akuntansi berlaku umum dari periode ke periode telah cukup
dijelaskan
Informasi dalam catatan-catatan yang mendukungnya telah digambarkan dan dijelaskan dengan
cukup dalam laporan keuangan sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum
3. Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion
with explanatory language).
Laporan keuangan tetap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan klien
namun ditambah dengan hal-hal yang memerlukan bahasa penjelasan.
4. Laporan pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
Pendapat ini hanya diberikan jika secara keseluruhan laporan keuangan yang disajikan oleh klien
adalah wajar, tetapi ada beberapa unsur yang dikecualikan, yang pengecualiannya tidak
mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Terdapat beberapa kondisi yang
membuat auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian, yaitu :
Lingkup audit dibatasi oleh klien
Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat memperoleh informasi
penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien dan auditor
Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum
Prinsip akuntansi berlaku umum yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak
diterapakan secara konsisten
5. Laporan pendapat tidak wajar (adverse opinion)
Pendapat tidak wajar diberikan jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha,
perubahan saldo laba dan arus kas perusahaan klien. Auditor memeberikan pendapat tidak wajar jika
tidak terdapat pembatasan bukti audit. Pendapat tidak wajar merupakan kebalikan pendapat wajar
dengan pengecualian. Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika ia tidak dibatasi lingkup
auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten dalam jumlah cukup untuk mendukung
pendapatnya.
6. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)
Pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan auditor jika ia tidak berhasil menyakinkan dirinya
bahwa keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Pernyataan tidak memberikan
pendapat diberikan jika antara lain, terdapat banyak pembatasan lingkup audit, hubungan yang tidak
independen antara auditor dan klien. Masing-masing kondisi tersebut tidak memungkinkan auditor
untuk dapat menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan secara keseluruhan.
G. Tujuan dan manfaat laporan auditor
Dalam perusahaan perseroan, dimana para manajer ditempatkan pada posisi dimana mereka
dapat menguntungkan perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan yang disusunnya dalam suatu
periode tertentu. Laporan keuangan yang disusun merupakan bentuk pertanggungjawaban dari hasil
pekerjaannya selama suatu periode. Para manajer tergoda untuk menyajikan laporan keuangan yang berat
sebelah, mengandung hal-hal yang tidak benar, dan mungkin menyembunyikan informasi informasi
tertentu kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan itu, termasuk investor,
kreditor, dan regulator.
Oleh karena itu masyarakat keuangan membutuhkan jasa profesional untuk menilai kewajaran
informasi keuangan yang disajikan oleh manajemen. Atas dasar informasi keuangan yang andal,
masyarakat akan memiliki basis yang kuat untuk menyalurkan dana mereka ke usaha-usaha yang
beroperasi secara efisien dan memiliki posisi keuangan yang sehat. Untuk itu masyarakat menghendaki
agar laporan keuangan yang diserahkan kepada mereka diperiksa lebih dulu oleh auditor independen.
Keterlibatan audit yang independen akan memberikan manfaat-manfaat antara lain, menambah
kredibilitas laporan keuangan, mengurangi kecurangan perusahaan, dan memberikan dasar yang lebih
dipercaya untuk pelaporan pajak dan laporan keuangan lain yang harus diserahkan kepada pemerintah.
BAB III
AUDITING DALAM ISLAM
D. Sejarah Akuntasi Islam
Apabila kita pelajari "Sejarah Islam" ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semenanjung Arab
di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di
lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk
perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan
harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik
secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan "hafazhatul amwal"
(pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai
suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang
menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang
diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada
awal ayat tersebut menyatakan "Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya…….”
Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa sayyidul basyar, Muhammad shallallahu `alaihi
wasallam menepuk pundaknya, kemudian berkata:
“Wahai Qadim (Miqdam? pen,) beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam keadaan menjadi
amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)
Makna kata “katib” disini adalah pencatat pekerjaan dan penghitungnya. (Zakiyyudin Abdul Azhim bin
Abdul Qawiy Al Mundziri, 1986, juz 3, hal. 159)
Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan dengan
berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sebagai akibat
bertambahnya pemasukan negara dari berbagai penaklukan dan zakat, terutama setelah pemasukan
tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa
pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan cara yang diikuti sebelum
Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa khalifah kedua, yaitu khalifah Al
Faruq Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu pada tahun 14--24 H. /636--646 M. Beliaulah yang
memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan sesuai dengan sumber pendapatannya.
Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab ini meliputi penentuan hakikat buku yang
harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya, serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya
sebagai asas pencatatan dan harus disimpan setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat.
Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas terpisah,
tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang pertama yang memasukkan buku-buku dan catatan yang
terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah Al Walid bin Abdul Malik, pada
tahun 86-96 H. /706-715 M. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 36). Ini berarti bahwa hal ini
terjadi kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Sementara itu,
sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232
H. /750-847 M. Yakni, pada tahun 132 H. /750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan
Kharaj (Diwan pemasukan hasil-hasil pertanian) dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk melakukan
reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan buku-buku akuntansi serta memberi nama
khusus terhadapnya.
Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”. Dari sini tampak
garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan sumber rujukan buku tersebut,
karena pada sebagian yang disebutkannya terdapat banyak kesamaan dengan apa yang digunakan pada
masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang
harus digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris (Brown dan Johnson, 1963, hal.
43) atau “Zornal” dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di kota Venice . (Martinelli, 1977, hal. 25).
Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari
kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada masa negara Islam, yaitu pada
masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H. /749 M.,yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa
yang dipraktikkan di Republik Itali sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah
dipraktikkan di negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan
“Jaridah” sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung
ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan Islam.
Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu Khaldun yang
hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H. /784 M. Mengatakan bahwa
seorang akuntan harus memakai buku-buku akuntansi yang sesuai, dan mencatat namanya di akhir buku,
serta menstempelnya dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut memuat nama Sulthan atau simbol
khusus bagi Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah satu sisi buku .(halaman 205). Sesungguhnya
penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak abad
ke-2 Hijriyah dan barangkali sebelum itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang
beragam sesuai dengan perbedaan karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.
Dahulu, “Jaridah” digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-
pengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan ada jaridah untuk
pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal dengan nama Specialised
Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan nama Daftarul
Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).
Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan dikenal dengan nama
General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di samping specialised journals. Dahulu, buku
harian ini digunakan untuk mencatat seluruh transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya
dengan orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab dengan
nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).
Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H. /1336 M. atau kurang lebih tiga puluh
satu tahun sebelum munculnya buku Al Mazindani, pekerjaan pembukuan tunduk pada praktik-praktik
tertentu dan jelas. Sebab,seluruh harta yang masuk atau keluar harus dicatat sesuai urutan waktu
terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi. Demikian pula, keharusan mencatat
transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau
yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan
dan yang lain. (An Nuwairi, hal. 273--275). Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid
yaitu yang sekarang dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang
melakukan pencatatan di buku. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 131--132). Hal ini
menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya bersamaan
dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa Khalifah Umar Ibnul
Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang
setelah itu sebagaimana yang kita rasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi.
Daulat Abbasiyyah, 132-232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lain
dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus. Sebab pada saat
itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus (Specialized Accounting Books).
Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat dengan fungsi dan tugas yang diterapkan
pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang dikenal pada masa kehidupan negara Islam itu
adalah sebagai berikut:
1. Daftarun Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini
bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
2. Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan di Diwanil
Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan
yang dikeluarkannya.
3. Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin.
Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senior negara pada saat
itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 41).
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu serupa
dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts Receipable
Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj
digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan
untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus
dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak
yang harus dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang
Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363 M.)
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian piutang
menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan, yaitu
apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama Collectable Debts.
2. Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan, yaitu apa
yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama
Bad Debts atau Uncollectable Debts.
3. Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang
diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful Debts.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 141).
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu: pertama, pengaruh
kehidupan perdagangan terhadap pekerjaan akuntansi, sebagaimana yang telah kami kemukakan pada
pendahuluan Bab I; dan yang kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh terhadap penggambaran
kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk tujuan zakat. Sebab, penggambaran
kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran hak dan kewajiban. Tidak diragukan lagi
bahwa mereka mengetahui pentingnya inventarisasi para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin
diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan piutang
dalam tiga kelompok tersebut. Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa
kita sekarang tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali
lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal ini jika tidak
ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut pentingnya
inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan kreditur terhadap
jumlah zakat.
“ Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan
bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’ katakanlah, Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertamakali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan
sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (Al An’am:14)
Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal
system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu
dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi
adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara
melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account,
perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.
Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Accounting and Auditing
Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yaitu :
1. Menentukan tujuan berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai
bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku saat ini.
2. Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kapitalis kemudian mengujinya menurut
hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak hal-hal yang
bertentangan dengan syariah.
Oleh karena itu akuntan/auditor harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua
pekerjaannya dihadapan Allah dan juga kepada publik, profesi, atasan dan dirinya sendiri. Gambaran
singkat ini mudah-mudahan menggugah kita bahwa auditing syari’ah sudah mulai berkembang sejalan
dengan perkembangan sistem ekonomi islam.
BAB IV
KESIMPULAN
BAB II
STANDARD AUDITING AAOIFI
A. Standard Auditing untuk LKS (lembaga keuangan syari’ah) AAOIFI
1. Tujuan organisasi ini adalah
a. Mengembangkan pemikiran akuntansi dan auditing yang relefan dengan lembaga keuangan
b. menyamakan pemikiran akuntansi dan auditing yang relevan pada lembaga keuangan dan
penerapannya melalui pelatihan, seminar, penerbitan jurnal yang berkaitan dengan hasil riset
c. menyajikan, mengumumkan dan menafsirkan standard akuntansi dan auditing untuk lembaga
keuangan islam
d. mereviu dan merubah standard akuntansi dan auditing untuk lemnaga keuangan islam
struktur orgsnisasi AAOIFI ini terdiri dari general asembley (majlis umum) yang beranggotakan
pendiri dan nonpendiri.
Namun mereka ini tidak berhak untuk mengarahkan atau mempengaruhi standard board dalam
merumuskan standard Akuntansi dan auditing dalam bentuk apapun. Standard auditing menurut
AAOIFI atau dikenal dengan nama “ Auditing standard for Islamic institution” (ASIFIs) No 1
dengan judul “Tujuan dan Prinsip Audit” yang disusun oleh tim yang beranggotakan 14 orang dan
standard ini berlaku sejak tanggal 1 Muharram 1418 H atau 1 Januari 1998. standard ini disahkan
pada pertemusn Dewan yang ke 11 yang dilaksanakan pada tanggal 2-3 Muharram 1417 atau 19-20
Mei 1996. dewan diketuai oleh Abdul Malik yoesef Al Hamar.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji dan syukur kehadirat
Allah SWT berkat rahmat dan karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini,
shalawat serta salam kita hadiahkan keatas junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Berkat pertolongan Allah SWT, kami dapat menyelesaikan makalah ini yang judul pembahasannya
adalah tentang “ Standard Auditing AAOIFI“. Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Oleh karena itu, kami
mengharapkan adanya saran yang membangun dari teman-teman dan para pembaca agar makalah ini dapat
tersusun dengan lebih baik, dan juga untuk perbaikan selanjutnya.
Demikianlah semoga Allah SWT, memberikan ridho-Nya kepada kita semua. Amin
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi i
BAB I : Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1
BAB II : Standard Auditing AAOIFI 2
A. Standard Auditing untuk LKS 2
1. Tujuan Organisasi 2
2. Wewenang dari Board of trustees 3
3. Tujuan Standard Auditing 3
4. Prinsip umum Audit AAOIFI 4
5. Skop Audit 4
6. Keyakinan yang wajar 5
7. Tanggung Jawab terhadap laporan keuangan 5
8. Prinsip etika profesi 6
BAB III: Penutup 7
A. Kesimpulan 7
B. Saran 7
Daftar Pustaka 8
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
(data yang kami gunakan kurang update, jadi salahkan di cek kembali)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan bisnis syariah yang terjadi di sektor perbankan, asuransi, pasar modal dan
jasa keuangan syariah lainnya. Akan tetapi dalam mendukung kinerjanya perlu peran Dewan Pengawas
Syariah (DPS).
Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan salah satu bagian penting dari institusi Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia. Kedudukan dan fungsinya secara sederhana hanya diatur dalam
salah satu bagian dalam SK yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berkenaan
tentang susunan pengurus DSN-MUI.
Untuk itu perlu kiranya kita membahas mengenai Dewan Pengawas Syariah yang merupakan
lembaga memberikan fatwa dalam hal boleh atau tidaknya dalam melakukan transaksi tersebut. Untuk itu
ada beberapa permasalah.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Dewan Pengawas Syariah?
2. Peran Dewan Pengawas Syariah?
3. Problematika Dewan Pengawas Syariah?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Dewan Pengawas Syariah
2. Mengetahui apa peran Dewan Pengawas Syariah terhadap Perusahaan
3. Mengetahui Problematika Dewan Pengawas Syariah dan memberikan Solusi terhadap masalah yang
terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
Struktur DPS
1. DPS dalam struktur perusahaan berada setingkat dengan fungsi komisaris sebagai pengawas Direksi.
2. Jika fungsi komisaris adalah pengawas dalam kaitan dengan kinerja manajemen, maka DPS
melakukan pengawasan kepada manajemen, dalam kaitan dengan implementasi sistem dan produk-
produk agar tetap sesuai dengan syariah Islam.
3. Bertanggung jawab atas pembinaan akhlak seluruh karyawan berdasarkan sistem pembinaan
keislaman yang telah diprogramkan setiap tahunnya.
4. Ikut mengawasi pelanggaran nilai-nilai Islam di lingkungan perusahaan tersebut.
5. Bertanggung jawab atas seleksi syariah karyawan baru yang dilaksanakan oleh Biro Syariah.
Contoh struktur organisasi di PT. Bank Mandiri Syariah tbk:4[4]
1[1] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general), (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 543
2[2] Ibid.
3[3] Ibid, h. 541-542
4[4] DPS dibentuk oleh BANK MANDIRI SYARIAH berdasarkan pengesahan RUPS setelah adanya Keputusan
Dewan Syariah Nasional (DSN) dan persetujuan BI. Tujuan dan tugas utamanya adalah mewakili pihak DSN untuk
membantu independensi fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan fatwa-fatwa DSN. DPS juga bertugas mengarahkan,
memeriksa dan mengawasi kegiatan Bank guna menjamin bahwa Bank telah beroperasi sesuai dengan aturan dan
prinsip-prinsip syariah. Saat ini DPS beranggotakan 3 (tiga) orang dengan komposisi :
a. Ketua DPS (pihak independen berpengetahuan fiqih syariah)
b. Anggota DPS (pihak independen berpengetahuan fiqih dan ekonomi syariah)
Sebagai contoh DPS di BSM adalah sebagai berikut:
Prof. DR. Komaruddin Hidayat
Ketua
Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, MEc Drs. H. Mohammad Hidayat, MBA.
Anggota Anggota
M. Dasar Hukum6[6]
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Perkreditan Rakyat
berdasarkan Prinsip Syariah.
11[11] Ibid.
12[12] http://www.muamalatbank.com/assets/cd/p05/02.html
13[13] Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h. 236-238
14[14] Ibid, h. 239-240
Demikian juga dalam pasal 109 UU No. 40 Tahun 2007 tentang perusahaan terbatas mengemukakan
bahwa:
a. Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai dewan
komisaris wajib mempunyai dewan pengawas syariah.
b. Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau
lebih yang diangkat oleh Rapat Umum Pemilik Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
c. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada Direksi, serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.
Ketentuan baru dalam Undang-undang Perseroan Terbatas tersebut merupakan kewajiban
perusahaan membentuk dewan pengawas syariah. Bagi perusahaan yang menjalankan usahanya dengan
prinsip syariah selain mempunyai dewan komisaris juga mempunyai dewan pengawas syariah. Dalam
ketentuan tersebut, dewan pengawas syariah tugasnya memberi nasihat dan saran kepada direksi, serta
mengawasi jalannya perseroan.
Fungsi dewan pengawas syariah sebagai pengawas memiliki kesamaan dengan fungsi komisaris.
Bedanya, kepentingan komisaris dalam melakukan fungsinya adalah memastikan perusahaan selalu
menghasilkan keuntungan ekonomis. Akan tetapi kepentingan dewan pengawas syariah semata-mata
hanya untuk menjaga kemurnian agama Islam dalam praktik kegiatan perusahaan.
15[15] Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h.
141-144
16[16] http://naifu.wordpress.com/2011/12/28/dewan-pengawasan-syariah-dasar-hukum-persyaratan-anggota-serta-
tugas-dan-wewenangnya/
17[17] Ibid.
a. Tidak termasuk dalam kredit/pembiayaan macet.
b. Tidak pernah dinyatakan failed atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan failed dalam waktu 5 tahun sebelum dicalonkan.
3. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dewan
pengawas syariah, yaitu:
a. Mereka bukan staf bank, dalam arti mereka tidak tunduk di bawah kekuasaan administratif;
b. Mereka dipilih oleh RUPS;
c. Honorarium mereka ditentukan oleh RUPS;
d. DPS mempunyai sistem kerja dan tugas-tugas tertentu seperti halnya badan pengawas lainnya.
18[18] Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah, op.cit, h. 248-
252
tersebut dibuat dalam laporan dewan pengawas syariah yang akan disampaikan dalam rapat umum
pemegang saham bank syariah. Laporan hasil shari’a review tersebut juga harus diterbitkan bersamaan
dengan penerbitan laporan keuangan pihak manajemen bank syariah kepada masyarakat (GSIFI No.2
paragraf 13).
Aktivitas shari'a review dalam praktek pengawasan internal syariah oleh DPS terbagi menjadi dua
bagian yaitu aktivitas ex ante auditing dan ex post auditing. Untuk aktivitas shari'a review ex ante
auditing antara lain :
a. Menetapkan standar kepatuhan syariah;
b. Menetapkan sistem dan prosedur operasional;
c. Mereview kebijakan dan keputusan manajemen;
d. Menetapkan produk bank.
Sedangkan aktivitas shari'a review ex post auditing yang dilaksanakn DPS dalam menjalankan
fungsi pengawasan syariah antara lain :
1. Menentukan indikator kepatuhan syariah;
2. Menentukan lingkup pengawasan syariah;
3. Merencanakan mekanisme penilaian kepatuhan syariah;
4. Menilai kepatuhan syariah atas kinerja manajemen;
5. Tindak lanjut atas temuan syariah;
6. Melaporkan hasil penilaian kepatuhan syariah.
W. Laporan DPS21[21]
Laporan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada dasarnya mencakup informasi yang diberikan oleh
anggota-anggota dewan mengenai praktik perbankan yang tidak bertolak belakang dengan ajaran agama
islam. Biasanya laporan DPS ini disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan bank. Bentuk dari
REFERENSI
Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011)
___________, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009)
http://naifu.wordpress.com/2011/12/28/dewan-pengawasan-syariah-dasar-hukum-persyaratan-anggota-serta-
tugas-dan-wewenangnya/
http://www.syariahmandiri.co.id/category/info-perusahaan/organisasi/pimpinan/dewan-pengawas-syariah/
http://www.muamalatbank.com/assets/cd/p05/02.html
http://jenzsixs.blogspot.com/2012/03/dewan-pengawas-syariah.html
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, diterjemahkan oleh Aditya Wisnu Pribadi, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009)
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2010)
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general), (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)