Anda di halaman 1dari 46

AUDIT DALAM ISLAM

A. Pengertian Audit dalam Islam


Berdasarkan AAOIFI-GSIFI 3, bahwa audit syariah adalah laporan internal syariahyang bersifat
independen atau bagian dari audit internal yang melakukan pengujian dan pengevaluasian melalui
pendekatan aturan syariah, fatwa-fatwa, instruksi dan lain sebagainya yang diterbitkan fatwa IFI dan
lembaga supervisi syariah.
Menurut Shafi : 2004, auditing dalam Islam adalah :
Proses menghitung, memeriksa dan memonitor (proses sistematis)
Tindakan seseorang(pekerjaan duniawi atau amal ibadah)
Lengkap dan sesuai syariah
Untuk mendapat reward dari Allah di akhirat
Menurut definisi tersebut maka pengertian audit dalam Islam adalah salah satu unsur meluli
pendekatan administratif. Maka administrasi menggunakan sudut pandang keterwakilan. Oleh karena itu,
ia (auditor) merupakan wakil dari para pemegang saham yang menginginkan pekerjaan (investasi)
mereka sesuai dengan hukum-hukum syariat Islam.

B. Tujuan audit dalam Islam :


Untuk menilai tingkat penyelesaian (progress of completness) dari suatu tindakan
Untuk memperbaiki (koreksi) kesalahan
Memberikan reward (ganjaran baik) atas keberhasilan pekerjaan
Memberikan punishment (ganjaran buruk) untuk kegagalan pekerjaan

C. Audit dalam Al-Qur’an


Ternyata didalam al-qur’an sendiri sudah teridentifikasi sebagai suatu proses audit. Seperti
dalam surat Al-Insyiqaq ayat 6-9, bahwasanya Allah akan menghisab setiap manusia di hari akhir. Bagi
yang menerima cataran amalnya ditangan kanan, maka ia akan dihisab dengan mudah dan akan diberikan
kebahagiaan.
Begitupun halnya tercatat dalam kitab suci pada surat Al-Infithar ayat 10-12. Sejatinya disisi
manusia ada malaikat sebagai pencatat amal-amalnya di dunia. Entah itu amal baik maupun buruk.
Mereka (para malaikat) ini mengetahui apa saja yang manusia lakukan. Catatan inilah yang akan menjadi
penimbang seseorang di yaumul mizan.
Selanjutnya dalam surat An-Naml ayat 20-21, dikisahkan bahwa Nabi Sulaiman a.s melakukan
pengecekan untuk mencari Hud-Hud, seekor burung peliharaan. Ketidakhadiran Hud-Hud dapat
dikenakan sanksi oleh Nabi Sulaiman a.s berupa hukuman berat. Dalam ayat selanjutnya terungkap
bahwa absennya Hud-hud disebabkan perjalanannya ke negeri Saba. Sebuah negeri yang dipimpin
seorang ratu musyrik penyembah matahari.
ISRA ISLAMIC FINANCE SEMINAR
AUDIT SYARIAH UNTUK JASA KEUANGAN ISLAM
KEBUTUHAN DAN TANTANGAN
Dr. Abdul Rahim Abdur Rahman
(Internasional Islamic University Malaysia)

Pengantar
Berkenaan dengan jasa keuangan islam, tiap lembaga yang menawarkan jasa keuangan islam diharapkan
dapat beroperasi sesuai kode etik syariah dan harus berfungsi dalam batasan-batasan  syariah. Sebagai usaha
untuk memastikan bahwa operasi lembaga keuangan islam tidak bertentangan dengan syariah maka terdapat
beberapa lembaga yang berfungsi sebagai penasihat dan pengawas kegiatan tersebut, antara lain; Shari’ah
Advisory Council (SAC), Shari’ah Supervisory Board (SSB) atau Shari’ah Supervisory Committee (SSC).
Secara internasional, Accounting and Auditing Organizations of Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan
Islamic Financial Services Board (IFSB) telah mengeluarkan sejumlah standar dan pedoman tata kelola
berkaitan dengan jasa keuangan islam. Di Malaysia, Bank Negara Malaysia (BNM) juga telah mengeluarkan
pedoman yang relevan untuk memastikan kehati-hatian regulasi syariah  dalam persoalan lembaga keuangan
islam.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengevaluasi kebutuhan audit syariah dalam rangka
melengkapi mekanisme kepatuhan syariah yang sudah diberlakukan. Audit syariah harus dilakukan secara
sistematis sebagai bagian dari mekanisme corporate governance lembaga keuangan islam (IFIs). Hal ini
disebabkan karena meningkatnya tuntutan stakeholders yang memerlukan jaminan kepatuhan syariah dan
akuntabilitas. Makalah ini juga membahas beberapa tantangan sebagai prasyarat untuk melaksanakan audit
syariah secara efektif.
Dalam rangka memastikan operasi lembaga keuangan syariah tidak bertentangan dengan syariah
maka dibentuklah lembaga pengawas syariah (SSC) di Malaysia yang fungsinya sebagai pengawas sekaligus
penasihat kegiatan-kegiatan perbankan syariah. Dewan penasehat syariah nasional (NSAC) sengaja dibentuk
oleh pemerintah Malaysia dalam rangka memberikan fatwa yg mengikat seluruh lembaga keuangan syariah,
tujuan lainnya memastikan kepatuhan lembaga keuangan syariah atau bank-bank terhadap aturan syariah,
memeriksa hukum dan undang-undang serta surat edaran perbankan syariah dan sebagainya. Dewan
Penasehat Syariah (NSAC) memastikan bahwa bank-bank dan lembaga keuangan sesuai dengan aturan
syari'ah dan pedoman selama perancangan kontrak dan perjanjian, proses transaksi, kesimpulan dan
pelaksanaan kontrak, dan sampai pada pelaksanaan syarat-syarat kontrak dan likuidasi.
Kepatuhan syariah pada dasarnya adalah sampel acak untuk memastikan bahwa transaksi
diselesaikan sesuai dengan aturan dan pedoman syariah. Program Audit Syariah berarti dokumen manual
berbasis Syariah yang jelas menguraikan langkah demi langkah prosedur audit syariah, kebijakan dan proses
saat menawarkan jasa keuangan syariah. Program Audit juga harus mencakup standar operasional prosedur,
termasuk akuntansi, peraturan dan persyaratan lainnya.
Penasihat syariah jarang melakukan kajian internal syariah secara menyeluruh atau audit terhadap
operasional bank syariah karena terbatasnya lingkup kerja mereka. Di sisi lain, sesuai dengan syarat
perusahaan terbatas (PT), bank syariah juga mengalami audit keuangan yang dilakukan oleh auditor eksternal
yang biasanya dilakukan oleh perusahaan akuntansi professional.
Meningkatkan keuntungan bagi stakeholder atau pemegang saham merupakan tujuan utama bagi
setiap bisnis, termasuk lembaga keuangan Islam. Stabilitas kinerja keuangan dan kemampuan untuk sumber
daya akan tergantung pada kepercayaan pemegang saham. Karena syariah adalah landasan dari produk dan
jasa keuangan Islam, jika pelanggan menemukan bahwa produk yang mereka miliki dalam portofolio mereka
tidak sesuai syariah, ini akan merusak kepercayaan di industri jasa keuangan Islam secara keseluruhan.
Dengan demikian, risiko ketidakpatuhan syariah jelas merupakan tantangan besar bagi regulator.
Sistem syariah dan kontrol harus dilengkapi dengan persyaratan audit syari'ah eksternal dan internal. 
Setiap struktur regulasi perlu memiliki kekuatan penegakan hukum yang memadai untuk memastikan
tindakan yang dapat diambil dalam hal pelanggaran syariah. Pada Prakteknya untuk memastikan kepatuhan
syariah bergantung dasarnya pada struktur internal perusahaan, hal ini memberikan keuntungan bagi 
kenyamanan stakeholder (pemegang saham). Namun begitu, sejumlah tantangan yang berkaitan dengan
independensi, kerahasiaan institusi - informasi hak milik, terbatasnya ketersediaan profesional dengan
pemberian beasiswa syariah dan keterampilan keuangan, dan perlunya konsistensi dalam pernyataan antara
berbagai lembaga pengawas syariah (SSC).
Perusahaan audit eksternal harus memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan audit
syariah. Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah perusahaan konsultan independen dan firma hukum
yang menawarkan jasa konsultasi syariah. Selain mengurangi biaya audit internal lembaga keuangan,
penggunaan layanan tersebut mungkin akan memberikan akses yang lebih luas. Namun, belum diketahui
secara pasti bahwa beralih kepada auditor eksternal syariah akan memberikan jaminan pada kepatuhan
syariah. Ada pendapat bahwa auditor internal umumnya lebih akrab dengan sistem catatan, kebijakan dan
prosedur lembaga dan dapat memberikan respon cepat untuk manajer. Hasilnya bisa lebih rinci dan lebih
lengkap.
Laporan Auditor jelas memberikan jaminan secara independen terhadap integritas dan kewajaran
informasi keuangan yang dihasilkan oleh bank syariah. Audit laporan keuangan adalah untuk memungkinkan
auditor untuk menyatakan suatu pendapat mengenai apakah laporan disusun, dalam seluruh aspek materi,
sesuai dengan identifikasi kerangka pelaporan keuangan.  Audit laporan keuangan melibatkan keseluruhan
komponen dan mengevaluasi bukti tentang urusan keuangan suatu entitas sehingga untuk membangun
tingkat kesesuaian antara manajemen yang tegas dan kriteria yang telah ditetapkan, seperti persyaratan
hukum dan standar akuntansi.
Jenis audit diatas dilakukan oleh auditor independen yang ditunjuk langsung oleh pemegang saham
perusahaan. Auditor harus berkualitas dan mempunyai keterampilan secara independen dan obyektif. Karena
banyaknya transaksi bisnis, seluruh bukti harus dikumpulkan secara sampling. Dengan demikian, pendapat
auditor hanya didasarkan pada keyakinan yang masuk akal dan tentu saja bukan merupakan sebuah jaminan
yang lengkap. Di sisi lain, Laporan lembaga pengawas syariah (SSC) berpendapat bahwa kegiatan usaha
bank syariah harus dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.
Peran dan tanggung jawab dari lembaga pengawas syariah (SSC) mereka tidak diharuskan untuk
melakukan audit yang dilakukan oleh auditor keuangan. Hal yang kurang bijaksana jika mereka untuk
membuat suatu pernyataan yang tegas untuk menunjukkan jaminan lengkap, karena fungsi mereka jauh dari
apa auditor keuangan lakukan. Lembaga pengawas syariah tidak melakukan audit syariah dalam rangka
menyampaikan pendapat mereka. Mereka hanya menyetujui produk dan layanan serta dokumentasi hukum
yang diperlukan. Ini adalah kesenjangan fungsional yang dapat kita identifikasi dengan membandingkan
Laporan Auditor dan Laporan dari Lembaga pengawas syariah.
Auditor keuangan independen mereka adalah praktisi baik individu atau anggota kantor akuntan
publik yang memberikan jasa audit profesional kepada klien. Berdasarkan pendidikan, pelatihan dan
pengalaman, auditor independen memenuhi syarat untuk melaksanakan audit. Auditor bekerja atas dasar
biaya, jadi diharapkan untuk menjadi independen dalam melaksanakan audit dan pelaporan hasil. Untuk
menjadi independen, auditor harus tidak memihak atau berat sebelah kepada klien saat mengaudit dan
bersifat netral, berfokus pada hasil audit.
Meskipun anggota Lembaga pengawas syariah (SSC)merupakan sarjana syariah, mereka belum tentu
mendapat pelatihan yang ketat sebagai auditor. Lembaga pengawas syariah (SSC) harus independen
sehingga laporannya menjadi kredibel.  Tidak seperti auditor keuangan  yang diatur oleh aturan-aturan
hukum dan kode etik profesi, lembaga pengawas syariah dipandu oleh keyakinan agama dan moral dimana
ada kewajiban lebih untuk agama dan masyarakat. Ini merupakan akuntabilitas Lembaga pengawas syariah
(SSC) yang menjadikannya lebih kompeten dan independen. Karena  belum adanya persyaratan untuk audit
syariah, menjadikan kemudahan Lembaga pengawas syariah untuk secara efektif memberikan laporannya.
Auditor keuangan mereka bertanggung jawab di bawah undang-undang dan peraturan hukum .
Dalam kasus penyimpangan, auditor diminta melaporkan jika mereka memiliki alasan untuk mencurigai
setiap perkara yang melawan hukum. Lembaga pengawas
syariah (SSC) juga membutuhkan perlindungan tidak hanya oleh hukum tetapi juga moral di mata publik.
Audit Syariah pada jasa keuangan Islam memiliki arti akumulasi dan evaluasi bukti untuk
menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang telah ditetapkan untuk
tujuan kepatuhan syariah. Audit harus dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen. Untuk
melakukan audit, harus ada informasi dalam bentuk diverifikasi dan beberapa standar (kriteria) dimana
auditor dapat mengevaluasi informasi. Informasi didapat dan diambil dari semua lini. Auditor syariah
melakukan audit pada dua tujuan informasi objektif (misalnya informasi keuangan pembagian keuntungan)
dan informasi subjektif (informasi syari'ah) untuk memastikan kepatuhan syari'ah bank syariah.
Petunjuk atau bukti Audit Syariah adalah untuk melakukan audit syariah dalam penetapan bukti
audit. Petunjuk atau bukti audit syariah dapat didefinisikan sebagai setiap informasi yang digunakan oleh
auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit dinyatakan sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan untuk tujuan penjaminan syariah. Kriteria untuk mengevaluasi informasi bervariasi tergantung
pada informasi yang diaudit . Dalam audit atas laporan keuangan historis oleh auditor, kriteria biasanya
standar laporan keuangan (FRS).
Untuk proses jasa audit syariah, kriteria dapat dikembangkan berdasarkan pendapat tertulis dari
Lembaga pengawas syariah (SSC), manual produk dan standar operasional prosedur (SOP). Petunjuk atau
bukti dalam audit syariah diantaranya: kesaksian lisan dari auditor, komunikasi tertulis dengan pihak luar,
pengamatan oleh auditor, serta transaksi data elektronik.
Audit syariah akan mengembangkan program audit yang sistematis dan menyeluruh. Program audit
syariah dapat dikembangkan untuk menutupi berbagai produk keuangan Islam dan layanan seperti :
1) Deposit Islam dan investasi berdasarkan wadi'ah dan mudarabah
2) Pembiayaan rumah syariah berdasarkan BBA dan musharakah mutanaqisah
3) Pembiayaan kendaraan bermotor Islami berdasarkan ijarah
4) Pembiayaan perdagangan Islami berdasarkan murabahah, wakalah, dsb
5) Pendanaan pribadi Islami dan kartu kredit, dsb.
Program audit syariah juga perlu ditulis dalam bahasa yang dapat dengan mudah dipahami oleh
pemegang saham yang potensial. Tiga fase Audit Syariah yaitu;
1. Perencanaan
auditor harus memahami bisnis lembaga keuangan Islam termasuk sifat kontrak yang digunakan untuk
berbagai jenis layanan keuangan syariah. Lalu, auditor syariah perlu mengidentifikasi teknik yang tepat,
sumber daya dan ruang lingkup untuk mengembangkan program audit. Program audit kemudian akan
mengidentifikasi kegiatan utama yang akan dilakukan, tujuan dari setiap kegiatan dan teknik yang akan
digunakan, termasuk teknik sampling dalam rangka mencapai tujuan audit. Di antara teknik yang dapat
digunakan mencakup pemeriksaan makalah, wawancara, benchmarking, survei, studi kasus, diagram
alur, dsb.
2. Pemeriksaan
Tehnik audit yang tepat perlu diidentifikasi dan dipaparkan. Teknik yang tepat diperlukan untuk
mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan baik kualitas dan kuantitas untuk mencapai kesimpulan yang
masuk akal sesuai dengan kepatuhan syariah. Aspek-aspek utama dari pemeriksaan di lapangan
memerlukan teknik sampling. Pemeriksaan yang lebih rinci dari dokumentasi akan diperlukan apakah
metodologi sampling digunakan atau tidak. Kertas kerja dan Catatan audit adalah dua hal paling penting
dalam tahap pemeriksaan. Tujuan kertas kerja yaitu untuk memberikan catatan sistematis pekerjaan yang
dilakukan selama audit dan merupakan catatan informasi dan fakta yang diperoleh untuk mendukung
temuan dan kesimpulan.
3. Laporan
Hasil dari pelaksanaan audit, mencakup persiapan laporan audit syariah, yang merupakan komunikasi
yang baik dari auditor kepada para pengguna atau pembaca. Pada umumnya laporan akan berbeda, tetapi
semua harus menginformasikan para pembaca mengenai tingkat kesesuaian antara informasi dan kriteria
yang telah ditetapkan.
Pendidikan Audit Syariah akan menghasilkan orang-orang yang kompeten dan independen menjadi
auditor syariah. Syarat menjadi auditor syariah yang baik adalah harus memahami kriteria yang
digunakan dalam audit syariah, kompeten untuk mengetahui jenis dan jumlah bukti yang menumpuk
sebelum menyimpulkan audit dan memiliki sikap mental yang independen.
Auditor syariah internal biasanya melaporkan langsung kepada manajemen utama (top management),
menjaga independensi auditor dari setiap unit operasi yang mereka audit.
Pendidikan dan pelatihan program harus membekali auditor syariah dengan dua pengetahuan dasar yaitu;
1. Pengetahuan syariah khusus seperti yang diterapkan dalam perbankan dan keuangan Islam
2. Pengetahuan dan keterampilan akuntansi dan auditing.
Audit syariah diperlukan untuk melengkapi program pemerintah saat ini dalam industri jasa keuangan
Islam.
AUDITING DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB  I
PENDAHULUAN

A. Sejarah Auditing
Auditing  adalah proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti yang dilakukan oleh pihak yang
independent dan kompeten, untuk menentukan apakah informasi yang di sajikan sesuai dengan criteria
yang ditetapkan.
Menurut catatan seorang ahli sejarah akuntansi, dikatakan bahwa : “ Asal usul auditing dimulai lebih
awal dibandingkan dengan asal usul akuntansi. Ketika kemajuan peradaban membawa pada kebutuhan
akan adanya orang yang dalam batas tertentu dipercaya untuk mengelola harta milik orang lain, maka
dipandang patut untuk melakukan pengecekan atas kesetiaan orang tersebut, sehingga semuanya akan
menjadi jelas”.
Dikatakan bahwa penguasa Mesir purba melakukan pemeriksaan independent dan atas catatan
penerimaan pajak, orang-orang Yunani kuno melakukan pemeriksaan atas rekening pejabat public,
sedangkan orang Romawi membandingkan antara pengeluaran dengan otorisasi pembayaran, sementara
para bangsawan penghuni puri di Inggris menunjuk auditor untuk melakukan review atas catatan
akuntansi dan laporan yang disiapkan oleh para pelayan mereka.
            Awal audit terhadap perusahaan dapat dikaitkan dengan perundang-undangan Inggris selama
revolusi industri pada pertengahan tahun 1800-an. Kemajuan teknologi transportasi dan industri telah
menimbulkan skala ekonomi dan perusahaan yang lebih besar, munculnya manajer professional, serta
pertumbuhan kepemilikan perusahaan oleh banyak orang. Pada awalnya audit terhadap perusahaan harus
dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham yang bukan merupakan pejabat perusahaan, serta mereka
yang ditunjuk oleh pemegang saham lainnya sebagai perwakilan pemegang saham. Profesi akuntansi
segera bangkit dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar serta perundang-undangan yang segera
direvisi, sehingga memungkinkan orang yang bukan pemegang saham dapat melakukan audit. Hal ini
mendorong munculnya berbagai formasi kantor-kantor audit. Beberapa diantara kantor-kantor auditor 
Inggris Kuno seperti Deloitte & Co, Peat Marwick, & Mitchell, dan Price Waterhouse & Co. yang masih
dapat ditelusuri  sampai saat ini serta masih membuka praktik di USA ataupun diluar USA.
            Pengaruh Inggris juga turut bermigrasi ke Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an ketika para
investor Inggris dan Skotlandia mengirimkan para Auditornya sendiri untuk memeriksa kondisi
perusahaan-perusahaan Amerika, tempat mereka telah berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar.
Secara khusus mereka melakukan investasi dalam saham pabrik pembuatan bir dan perkeretaapian.
Focus awal audit ini mula-mula adalah untuk menemukan penyimpangan dalam akun neraca serta
menangkal pertumbuhan kecurangan yang berkaitan dengan meningkatnya fenomena manajer
professional serta pemilik saham yang pasif.

B. Munculnya Auditing pra-Islam


Akuntasi di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali
betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab
untuk mengetahui dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali.
Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri,
bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya
perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab
terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu)
sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah
peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada
pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan
penjumlahan dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang
sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai
katibul awal (pencatat keuangan) atau penaggung jawab keuangan.
BAB II
TEORI AKUNTASI DAN AUDITING

A. Pengertian Akuntansi
Dewasa ini, akuntasi telah mengalami perkembangan layaknya ilmu hukum, ilmu kedokteran, serta
hamper semua bidang kegiatan manusia, sejalan dengan tuntutan kebutuhan sosial dan ekonomi
masyarakat. Akuntansi telah mengembangkan konsep-konsep baru untuk mengimbangi kebutuhan akan
informasi keuangan yang terus menerus meningkat guna melaksanakan pembangunan ekonomi dan
program-program sosial. Akuntasi dapat di pandang dari dua sisi pengertian yaitu sebagai pengetahuan
keahlian yang  dipraktekan dalam dunia nyata, dan sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang
diajarkan di perguruan tinggi. Pada awalnya, yaitu kira-kira tahun 3000 SM, akuntansi ditemukan di
Mesir Kuno dan pada masa pemerintahan Yunani. Akuntansi yang ada pada saat itu hanya sekedar untuk
mengetahui sumber-sumber keuangan kerajaan. Sehingga belum ada suatu sistem akuntansi yang
sistematis untuk satu unit tertentu (hanya untuk sebagian transaksi saja). Di zaman Mesir Kuno tersebut
dijelaskan bahwa untuk mencatat transaksi hariannya, seorang manajer menggunakan calamos reed
(sejenis kulit). Selain itu dikenal pula dua macam teknik akuntansi, yaitu dengan koin (dalam amplop)
dan token. Pada tahun 1494, sistem double-entry mulai dikenal setelahnya sebagai system akuntansi
modern, yaitu harta sama dengan hutang ditambah dengan modal. Lucas Pacioli mengklaim dirinya
sebagai penemu pertama dari sistem akuntansi modern ini. Namun sebelumnya telah ada beberapa
temuan double-entry system, yaitu berasal dari kawasan Timur Tengah. Kaum Muslimin berandil besar
dalam perkembangan akuntansi dasar waktu itu. Setelah itu, bangsa Eropa mulai berdatangan untuk
mengupas secara mendalam tentang akuntansi versi Timur Tengah tersebut.
1. Periode  Kapitalis
2. Kapitalis Nascent
3. Merkantilis
4. Revolusi dan Industrialisasi
5. Perkembangan pesat bidang akuntansi secara terus-menerus
Timbulnya revolusi industry tahun 1776 menimbulkan efek positif terhadap perkembangan akuntasi.
Salah satu yang menonjol adalah perubahan cara memproduksi barang dari kerajinan tangan ke
pabrikasi. Hal ini menyebabkan spesialisasi dalam akuntansi biaya meningkat pesat untuk memenuhi
kebutuhan analisis biaya dan teknik pencatatannya. Akuntansi diperlukan untuk menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan sangat cepat, berkembangnya kegiatan ekonomi, dan
masalah perbandingan pelaporan keuangan antar perusahaan. Pada tahun 1800-1850, masyarakat mulai
menggunakan dan menjadikan neraca sebagai tolak ukur kinerja sebuah perusahaan. Pada periode ini
dikenal pula pemeriksaaan keuangan (financial auditing). Pada tahun 1850, laporan laba rugi mulai
neggantikan peranan neraca dalam menilai efektivitas dan efisiensi perusahaan. Ilmu audit berkembang
semakin pesat pada periode ini Tahun 1900, di Amerika Serikat diperkenalkan Sertifikat Profesi melalui
ujian nasional untuk mendalami ilmu akuntansi melalui edukasi. Adanya laporan tentang pajak. Serta
akuntansi biaya mulai dikenal termasuk laoran statistik biaya dan produksi. Pada tahun 2925, mulai di
kenal akuntansi pemerintah untuk mengawasi dana pemerintah, teknik-teknik analisis biaya mulai
bermunculan dan diperkenalkan, laporan keuangan diseragamkan antar perusahaan, dirumuskannya
Norma Pemeriksaan Akuntansi, dan lahirnya Akuntansi Perpajakan.

B. Pengertian Auditing
Ada beberapa pengertian audit yang diberikan oleh beberapa ahli di bidang akuntansi, antara lain:
Menurut Alvin A.Arens dan James K.Loebbecke :
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on
the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done
by a competent independent person”.
Menurut Mulyadi :
“Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai
pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat
kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta
penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.[1] 
Secara umum pengertian di atas dapat diartikan bahwa audit adalah proses sistematis yang
dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bahan
bukti dan bertujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Dalam melaksanakan audit faktor-faktor berikut harus diperhatikan:
1) Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan sejumlah kriteria (standar) yang dapat digunakan
sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut, 2). Penetapan entitas ekonomi dan periode
waktu yang diaudit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggungjawab auditor, 3). Bahan bukti
harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan audit, 4).
Kemampuan auditor memahami kriteria yang digunakan serta sikap independen dalam
mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya.
Audit pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : audit laporan keuangan, audit kepatuhan, dan
audit operasional.
1. Audit laporan keuangan (financial statement audit). Audit laporan keuangan adalah audit yang
dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat
apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
Hasil audit lalu dibagikan
2. kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.
3. Audit kepatuhan (compliance audit). Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa
sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam
audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari
manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya
disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan.
4. Audit operasional (operational audit). Audit operasional merupakan penelahaan secara sistematik
aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional,
auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap
operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk : 1). Menilai kinerja, kinerja
dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan, standar-standar, dan sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh
manajemen, 2). Mengidentifikasikan peluang dan, 3). Memberikan rekomendasi untuk perbaikan
atau tindakan lebih lanjut. Pihak-pihak yang mungkin meminta dilakukannya audit operasional
adalah manajemen dan pihak ketiga. Hasil audit operasional diserahkan kepada pihak yang meminta
dilaksanakannya audit tersebut.

C. Tujuan dan manfaat audit independen


Tujuan umum audit atas laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran
laporan keuangan, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum. Kewajaran laporan keuangan diukur berdasarkan asersi terkandung dalam setiap unsur yang
disajikan dalam laporan keuangan, yang disebut dengan asersi manajemen.
Asersi manajemen yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diklasifikasikan menjadi lima
kategori :
1. Keberadaan atau kejadian (existency or occurence). Asersi ini merupakan pernyataan manajemen
aktiva, kewajiban, dan ekuitas yang tercantum dalam neraca benar-benar ada pada tanggal neraca
serta apakah pendapatan dan beban yang tercantum dalam laporan rugi laba benar-benar terjadi
selama periode akuntansi.
2. Kelengkapan (completeness). Kelengkapan berarti semua transaksi dan akun-akun yang seharusnya
tercatat dalam laporan keuangan telah dicatat. Asersi kelengkapan berlawanan dengan asersi
keberadaan. Jika asersi keberadaan tidak benar maka akun akan dinyatakan terlalu tinggi, sementara
jika asersi kelengkapan tidak benar, maka akun akan dinyatakan terlalu rendah. Asersi kelengkapan
berkaitan dengan kemungkinan hilangnya hal-hal yang harus dicantumkan dalam laporan keuangan,
sedangkan asersi keberadaan berkaitan dengan penyebutan angka yang seharusnya tidak
dimasukkan.
3. Hak dan kewajiban (rights and obligations). Auditor harus memastikan apakah aktiva memang
menjadi hak klien dan apakah kewajiban merupakan hutang klien pada tanggal tertentu.
4. Penilaian atau alokasi (valluation or allocation). Asersi ini menyangkut apakah  aktiva, kewajiban,
ekuitas, pendapatan, atau beban telah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah yang tepat.
5. Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). Asersi ini menyangkut masalah apakah
komponen-komponen laporan keuangan telah diklasifikasikan, diuraikan, dan diungkapkan secara
tepat. Pengungkapan berhubungan dengan apakah informasi dalam laporan keuangan, termasuk
catatan yang terkait, telah menjelaskan secara gamblang hal-hal yang dapat mempengaruhi
penggunaannya.
6. Independensi
  Masalah utama yang dihadapi oleh akuntan publik saat ini adalah berkurangnya kekuasaan
mereka dalam melaksanakan penugasan. Seorang akuntan yang independen dituntut untuk bertindak
sesuai dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi. Fenomena hubungan antara akuntan publik
dengan klien telah menjadi pusat perhatian bagi para pembuat keputusan, seperti investor, kreditor, dan
pemegang saham.
  Mereka sangat menyadari adanya kemampuan yang dimiliki oleh pihak manajemen perusahaan.
Pertama, kemampuan yang berkaitan dengan kecenderungan manajemen perusahaan untuk
memanipulasi kinerja laporan keuangan perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan penilaian yang
positif atas tanggung jawabnya sebagai pihak yang mengelola perusahaan. Kecenderungan ini dikenal
dengan istilah window dressing, biasanya dilakukan dengan cara memperbaiki laporan keuangan
sedemikian rupa sehingga tampak lebih baik dari semestinya.
  Berbeda dengan profesi lain, auditor tidak dapat bertindak untuk kepentingan kliennya
sebagaimana pengacara dengan kliennya. Meskipun dibayar oleh klien akuntan publik bekerja bagi
kepentingan masyarakat umum. Auditor harus independen dalam dari segala kewajiban dan pemilikan
kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Ia harus pula menghindari keadaan-keadaan yang dapat
mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya. Dalam kenyataannya auditor seringkali
menemui kesulitan dalam mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang seringkali
mengganggu sikap mental independen auditor adalah sebagai berikut :
1. Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas
jasanya tersebut.
2. Kecenderungan untuk memuaskan kliennya.
3. Resiko kehilangan klien.

D. Jenis-jenis auditor
Auditor biasanya diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan siapa yang mempekerjakan
mereka: akuntan publik, akuntan pemerintah, dan akuntan intern.
1. Akuntan publik. Akuntan publik adalah akuntan professional yang menjual jasanya kepada
masyarakat umum, terutama daam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh
kliennya.
2. Akuntan pemerintah. Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang bekerja di instansi
pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban keuangan
yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan
yang ditujukan kepada pemerintah.
3. Akuntan intern. Adalah akuntan yang bekerja dalam perusahaan yang tugas pokoknya adalah
menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi,
menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap aset-aset organisasi, menentukan efisiensi dan
efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh
berbagai bagian organisasi.

E. Laporan Auditor
Pengertian dan jenis-jenis laporan auditor
Pembuatan laporan auditor adalah langkah terakhir dan paling penting dari keseluruhan proses
audit. Secara umum laporan auditor dapat didefinisikan sebagai laporan yang menyatakan pendapat
auditor yang independen mengenai kelayakan atau ketepatan pernyataan klien bahwa laporan
keuangannya disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntan yang berlaku umum, yang
diterapkan secara konsisten dengan tahun sebelumnya. Dalam menyiapkan dan menerbitkan sebuah
laporan audit, auditor harus berpedoman pada empat standar pelaporan yang terdapat dalam Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP).
 Terpenting, harus dilihat standar yang terakhir karena standar ini mensyaratkan suatu
pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan atau pernyataan bahwa pendapat tidak
dapat diberikan disertai dengan alasan-alasannya. Standar ini mensyaratkan adanya pernyataan auditor
secara jelas mengenai sifat pemeriksaan yang telah dilakukan dan sampai dimana auditor membatasi
tanggungjawabnya. Pendapat auditor tersebut disajikan dalam suatu laporan tertulis yang umumnya
berupa laporan audit bentuk baku.
Menyadari fungsi utama laporan audit sebagai media komunikasi antara manajemen dengan
pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka dibutuhkan adanya keseragaman pelaporan untuk
menghindari kerancuan. Oleh karena itu standar profesional telah merumuskan dan merinci berbagai
jenis laporan audit yang harus disertakan pada laporan keuangan.
Terdapat beberapa jenis pendapat akuntan yang diberikannya berkenaan dengan suatu
pemeriksaan umum, yaitu :
1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion).
2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with explanatory
language).
3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion).
4. Pendapat tidak wajar (adverse opinion).
5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion).
1) Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
Istilah unqualified disini bukan berarti tidak memenuhi syarat atau tidak qualified. Arti
unqualified disini adalah tanpa kualifikasi (qualification) atau tanpa reserve atau tanpa
keberatan-keberatan. Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan auditor jika tidak terjadi
pembatasan dalam lingkup audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai
kewajaran dan penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam penyusunan laporan
keuangan, konsistensi penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, serta pengungkapan
memadai dalam laporan keuangan. Laporan keuangan dianggap menyajikan secara wajar posisi
keuangan dan hasil usaha suatu organisasi, sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum jika memenuhi kondisi-kondisi berikut :
 Prinsip akuntansi berlaku umum digunakan untuk menyusun laporan keuangan
 Perubahan penerapan prinsip akuntansi berlaku umum dari periode ke periode telah cukup
dijelaskan
 Informasi dalam catatan-catatan yang mendukungnya telah digambarkan dan dijelaskan
dengan cukup dalam laporan keuangan sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum
2) Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with
explanatory language).
Laporan keuangan tetap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan
klien namun ditambah dengan hal-hal yang memerlukan bahasa penjelasan.
3) Laporan pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
Pendapat ini hanya diberikan jika secara keseluruhan laporan keuangan yang disajikan oleh klien
adalah wajar, tetapi ada beberapa unsur yang dikecualikan, yang pengecualiannya tidak
mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Terdapat beberapa kondisi yang
membuat auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian, yaitu :
 Lingkup audit dibatasi oleh klien
 Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat        memperoleh
informasi penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien dan auditor
 Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum
 Prinsip akuntansi berlaku umum yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak
diterapakan secara konsisten
4) Laporan pendapat tidak wajar (adverse opinion)
Pendapat tidak wajar diberikan jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan prinsip-
prinsip akuntansi yang berlaku umum sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan,
hasil usaha, perubahan saldo laba dan arus kas perusahaan klien. Auditor memeberikan pendapat
tidak wajar jika tidak terdapat pembatasan bukti audit. Pendapat tidak wajar merupakan
kebalikan pendapat wajar dengan pengecualian. Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika
ia tidak dibatasi lingkup auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten dalam
jumlah cukup untuk mendukung pendapatnya.
5) Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)
Pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan auditor jika ia tidak berhasil menyakinkan
dirinya bahwa keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Pernyataan tidak
memberikan pendapat diberikan jika antara lain, terdapat banyak pembatasan lingkup audit,
hubungan yang tidak independen antara auditor dan klien. Masing-masing kondisi tersebut tidak
memungkinkan auditor untuk dapat menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan secara
keseluruhan.

C. Tujuan dan manfaat laporan auditor


 Dalam perusahaan perseroan, dimana para manajer ditempatkan pada posisi dimana mereka
dapat menguntungkan perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan yang disusunnya dalam suatu
periode tertentu. Laporan keuangan yang disusun merupakan bentuk pertanggungjawaban dari hasil
pekerjaannya selama suatu periode. Para manajer tergoda untuk menyajikan laporan keuangan yang berat
sebelah, mengandung hal-hal yang tidak benar, dan mungkin menyembunyikan informasi informasi
tertentu kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan itu, termasuk investor,
kreditor, dan regulator.
Oleh karena itu masyarakat keuangan membutuhkan jasa profesional untuk menilai kewajaran
informasi keuangan yang disajikan oleh manajemen. Atas dasar informasi keuangan yang andal,
masyarakat akan memiliki basis yang kuat untuk menyalurkan dana mereka ke usaha-usaha yang
beroperasi secara efisien dan memiliki posisi keuangan yang sehat. Untuk itu masyarakat menghendaki
agar laporan keuangan yang diserahkan kepada mereka diperiksa lebih dulu oleh auditor independen.
Keterlibatan audit yang independen akan memberikan manfaat-manfaat antara lain, menambah
kredibilitas laporan keuangan, mengurangi kecurangan perusahaan, dan memberikan dasar yang lebih
dipercaya untuk pelaporan pajak dan laporan keuangan lain yang harus diserahkan kepada pemerintah.
BAB  III
AUDITING DALAM ISLAM
A. Sejarah Akuntasi Islam
Apabila kita pelajari "Sejarah Islam" ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semenanjung Arab
di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di
lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk
perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan
harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik
secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan "hafazhatul amwal"
(pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai
suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang
menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang
diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada
awal ayat tersebut menyatakan "Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya…….”

B. Perkembangan Akuntansi di Negara Islam


           “setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus ada
praktik dan pengalaman, berdasarkan hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari pengalaman yang
menentukan tanda-tanda ilmu tersebut. (Heaps, 1985, hal. 21)
             Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan sisi-sisi
transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry), baik sebagai ilmu
maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan.
Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di atas adanya suatu praktik kerja. Demikian pula, praktik
kerja ini bukan lahir dengan sendirinya, namun tegak di atas suatu bangunan yang tinggi dan kokoh.
Bangunan yang tinggi nan kokoh ini adalah pengetahuan yang turun menurun dari generasi ke generasi.
Jadi, hal ini mempertegas bahwa pengetahuan yang dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan
kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi transaksi asasnya telah ada di negara Islam, yang timbul
karena adanya berbagai faktor. Sementara itu, kami tidak melihat adanya faktor apa pun yang membantu
perkembangan ini di dalam Republik Itali. Di antara yang patut disebutkan bahwa akuntansi yang kami
lihat praktiknya di dunia Arab, kemudian perkembangannya di dunia Islam, telah dijelaskan oleh Al 
Mazindarani bahwa itu merupakan suatu ilmu. Baik sebagai ilmu atau seni,  atau yang lain, di sana
terdapat berbagai faktor yang ikut andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan akuntansi di
negara Islam. Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara Islam dari satu sisi,
dan dari sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara pribadi. Di antara faktor-
faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan, speisialisasi kemampuan, dan kebutuhan
terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping faktor-faktor tersebut yang erat kaitannya dengan
kebutuhan negara Islam, di sana terdapat faktor lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar
akuntansi dan mendorong pengembangan akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi
muslim, yaitu faktor zakat. Sebab, seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang membantu
dirinya untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat
yang harus dikeluarkan sesuai dengan syari’at Islam, yang merupakan salah satu rukun Islam.
             Pedirian kantor-kantor pemerintahan berkaitan erat dengan sistem administrasi, sejak pendirian
awal negara Islam di Madinah Al Munawwarah pada tahun 622 M., yaitu pada tahun pertama Hijriyah.
Pada saat itu, kantor-kantor pemerintahan dikenal dengan nama Dawawin, dan bentuk tunggalnya adalah
diwan .  Kata diwan berasal dari kata Parsi, tetapi definisi dan penggunaanya telah berjalan di negara
Islam. Kata diwan  artinya adalah tempat bekerja para pegawai, yaitu tempat pencatatan dan
penyimpanan buku-buku akuntansi (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 26). Ibnu Khaldun berkata,
“Asal penamaan ini adalah, pada suatu hari Kisra melihat para pegawai di kantornya sedang menghitung
sendiri, seolah-olah mereka berbicara (sendiri). Lalu, Kisra berkata, “Diwanah”. Arti kata tersebut adalah
“gila”, lalu tempat mereka itu dikatakan “Diwanah”. Karena kata tersebut sering diucapkan, huruf ha’nya
dibuang untuk mempermudah pengucapan, dan menjadi kata “diwan”. (hal. 268). Tampaknya, kata
diwan telah digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor-kantor pemerintahan dalam bentuk yang
lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem resmi
pertama untuk diwan-diwan telah dibuat sekitar tahun 14 H./634 M. (Britanica, Vol. 22, hal. 109) yakni
pada masa Khalifah Umar Ibnul Khathab radliyallahhu’anhu.
            Adapun spesialisasi kemampuan mempunyai signifikansi, karena adanya pembagian fungsi dan
pekerjaan di negara Islam. Hal ini telah dimulai pada masa kehidupan Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam (Muhammad Al Marisi Lasin, 1973, hal. 5). Demikian pula hak dan kewajiban para pegawai di
semua level dari sistem administrasi telah dikenal sejak pendirian negara Islam di Madinah pada tahun
622 M. Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam memiliki 42 penulis yang memiliki
spesialisasi di dalam pemerintahannya yang didirikan di Madinah. Setiap pegawai memiliki peran
tertentu, demikian pula kewajiban dan gaji mereka juga tertentu dan jelas. (Muhammad Al Hawari (A),
1989, hal. 5).
            Adapun para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara Islam. Sejak awal,
negara Islam telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai yang berspesialisasi. Demikian pula
kebijakan  Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam dalam memilih pegawai, yaitu dari orang-
orang yang beliau pandang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk menduduki jabatan. Rasulullah
shallallahu `alaihi wasallam memilih para pegawai itu dari para sahabatnya yang memiliki kapabilitas 
serta kemampuan dan kelayakan untuk menerima jabatan. (Muhammad Hawari (B), 1989, hal. 16).
            Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan dengan
pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan. Fungsi pengoreksian
pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa dengan yang kita namakan muraja’atul hisabat
( pengoreksian pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian pembukuan), atau ar
riqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun, kami hanya menganggap penamaan yang pertama
sebagai ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan
ketiga, kami pandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas yang diberikan kepada
auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan. (Al Qalqasyandi, hal. 130-139). Al
Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan kebutuhan terhadapnya. Dia berkata,
“Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan kesalahan dalam menghitung atau mencatat,
sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia itu tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi
melihat kesalahan-kesalahan orang lain, maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk
mengoreksi pembukuan. Orang yang dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Qur’anul
Karim, cerdas, berakal, jujur, tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor merasa puas terhadap isi
buku yang dikoreksinya, dia harus memaraf buku tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan
menerima isi buku tersebut. (Ibid).
            Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam pengembangan
akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah salah satu rukun Islam yang
lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul Mal. Baitul Mal ini  sekarang dinamakan
Perbendaharaan Umum atau Perbendaharaan Negara. Al Qur’anul Karim telah menentukan sumber-
sumber  yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan obyek-obyek penyalurannya sebagaimana firman Allah
Subhanahu Wa Ta`ala:
 “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah.” (At Taubah : 60) 

Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang
dapat membantunya dalam menentukan jumlah zakat yang harus dibayarnya. Oleh karena itu, kami tidak
menganggap mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat merupakan faktor asasi yang
mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara Islam. Hal itu agar seorang muslim dapat
mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya, dan selanjutnya adalah perhitungan zakat yang harus
dikeluarkan karena bertambahnya harta seorang muslim selama satu tahun penuh, di samping dari laba
yang diperoleh dari modal yang berputar.
            Perkembangan akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya dalam membangun pengertian
akuntansi sebagai suatu sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi bagi penggunaan
akuntansi. Anehnya, hal inilah yang menjadi tujuan penggunaan akuntasi pada masa kita sekarang ini.
Para penulis sekarang ini mengaku bahwa merekalah yang mengembangkan pengertian ini pada abad
sekarang. Barangkali, pengakuan mereka ini disebabkan oleh kejahilan mereka terhadap sejarah dan
peran akuntansi di negara Islam. Demikian pula, boleh jadi mereka membangun tujuan ini pada abad XX
M., sementara tujuan ini telah populer di negara Islam sejak abad I H. atau abad VII M. Di antara yang  
menjelaskan tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafi’i rahimahullah :
“Barang siapa mempelajari hisab (akuntansi) pikirannya bagus.” (Husain Syahatah, 1993, hal. 45). Perlu
diketahaui bahwa Imam Safi’i hidup pada tahun 150-204 H./767-820 M. Hal ini tidak saja menjelaskan
peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu itu, tetapi juga menjelaskan
pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan signifikansi  tersebut. Hal ini tampak dalam
bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis akuntansi.
Setelah itu, Imam Syafi’Ii menjelaskan ucapannya itu, yaitu sesungguhnya seorang pedagang atau yang
lain tidak dapat mengambil keputusan secara benar atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa
bantuan data-data yang tercatat dalam buku. (Ibid). Para fuqaha’ berkata bahwa di antara kewajiban
seorang muslim adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang menjadikan  shalat, shaum, dan
zakatnya sah, serta hal-hal yang harus diketahui untuk menunaikan manasik hajinya. Demikian pula dia
harus mengetahui hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi  sebagai seorang pedagang; dan
mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut
ilmu dlaruri. (Abu Hamid Al Ghazali, 1400 H.,  vol. 1, juz 1-3, hal. 42-30) juga (Sayid Sabiq,1403
H./1983 M., vol. III, juz 11-14, hal. 125-126).
            Pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sekadar sebagai sarana
untuk menentukan modal di akhir periode V dan untuk mengukur  keuntungan melalui selisih  modal
pada dua priode, hal ini terjadi pada masa sebelum Islam, menjadi sebagai sarana untuk memperoleh
informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan penentuan tanggung jawab, hal ini terjadi
pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata, “Seorang akuntan harus berpegang pada
aturan-aturan atau format-format yang telah disiapkan sebelumnya, dan tidak boleh melanggar
selamanya”. (hal. 54). Hal ini menunjukkan perkembangan akuntansi dan adanya sistem pengawsan
intern yang berkaitan erat dengannya. Semuanya itu diprogram, diinterpretasikan, dan diaplikasikan
menurut syariat Islam. Demikian pula perkembangan dalam pengertian akuntansi dan tujuan
penggunaannya ini terlihat dalam perkataan Al Qalqasyandi yang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya
pekerjaan akuntansi dibangun atas dasar kenyakinan”. (hal. 154). Perkataan ini, secara khusus,
memantulkan dalam pemikiran kami akan pentingnya  sistem dokumentasi. Sebab, hitungan-hitungan
yang dicatat dalam buku harus diyakini kebenarannya; dan keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali
dengan adanya bukti-bukti yang memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan
kebenaran pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain.
            Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan yang
bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti pengeluaran-pengeluaran
yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat ketetapan apabila terdapat perbedaan-
perbedaan di antara tahun-tahun keuangan. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 37). Ini merupakan
bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai sarana informasi yang bertujuan
mengambil keputusan sekitar jalannya pengeluaran-pengeluaran itu. Hal ini mengandung pembatasan
perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun ke tahun. Selanjutnya adalah pembatasan
penanggungjawab perbedaan-perbedaan tersebut, lalu pengambilan-pengambilan tindakan-tindakan yang
pasti ketika perbedaan-perbedaan itu tidak dapat di tolerir.
            Imam Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan pengertian akuntansi,
dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan adalah perhatian terhadap pengawasan diri.
(juz XV, hal. 6-7). Sesunguhnya asas dalam pengawasan diri adalah takut kepada Allah. Ini adalah ciri
seorang muslim penganut aqidah yang mengetahui bahwa Allah melihatnya. Selanjutnya, dia akan
mengawasi dirinya karena dia mengetahui di sana ada Pengawas yang dapat melihat apa yang tidak bisa
dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa yang tidak dapat didengar oleh selain-Nya di antara
makhluq-makhluq-Nya. Hal ini tampak jelas di dalam firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:
“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. (Al Baqarah:284)      
             Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum dihisab,
khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah.
Dalam hal ini, Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu  berkata,  “Hisablah diri kalian
sebelum dihisab; timbanglah amal  kalian sebelum amal  kalian ditimbangkan; dan bersiap-siaplah kalian
untuk menghadapi penampakan amal”.
            Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan buku-buku akuntansi dan kantor-kantor
pemerintahan terjadi pada masa khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab radliyallahu
`anhu , maka kita patut mengkaitkan antara perkataannya ini dan perkembangan tersebut, dan bagaimana
beliau menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum, dan barangkali dari segi
keuangan secara khusus. Wallahu A’lam. Sebab, pengawasan diri dan muhasabah terhadap diri
merupakan tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana terdapat di dalam Al Qur’an dan As
Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
 “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap dirimu”. (Al
Isra':14)

            Dari As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil muhasabah
terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah pertanggungjawaban . Hal ini
tampak jelas di dalam perkataan Nabi shallallahu `alaihi wasallam:
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat
perkara, yaitu : tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya, dihabiskan untuk apa;
tentang hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa; dan tentang ilmunya, apa yang telah
diperbuat dengan ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi, dan menurut beliau hadits ini hasan shahih).

Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa sayyidul basyar, Muhammad shallallahu `alaihi
wasallam menepuk pundaknya, kemudian berkata:
“Wahai Qadim (Miqdam? pen,) beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam keadaan menjadi
amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)

Makna kata “katib” disini adalah pencatat pekerjaan dan penghitungnya. (Zakiyyudin Abdul Azhim bin
Abdul Qawiy Al Mundziri, 1986, juz 3, hal. 159)
            Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan dengan
berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam  sebagai akibat
bertambahnya pemasukan negara dari berbagai  penaklukan dan zakat, terutama setelah pemasukan
tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa
pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan cara yang diikuti sebelum
Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa khalifah kedua, yaitu khalifah Al
Faruq Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu pada tahun 14--24 H. /636--646 M. Beliaulah yang
memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan sesuai dengan sumber pendapatannya.
Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab ini meliputi penentuan hakikat buku yang
harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya, serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya
sebagai asas pencatatan dan harus disimpan setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat.
            Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas terpisah,
tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang  pertama yang memasukkan buku-buku dan catatan yang
terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah Al Walid bin Abdul Malik, pada
tahun 86-96 H. /706-715 M. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 36). Ini berarti bahwa hal ini
terjadi kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Sementara itu,
sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232
H. /750-847 M. Yakni, pada tahun 132 H. /750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan
Kharaj (Diwan pemasukan hasil-hasil pertanian) dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk melakukan
reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan buku-buku akuntansi serta memberi nama
khusus terhadapnya.
            Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”. Dari sini tampak
garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan sumber rujukan buku tersebut,
karena pada sebagian yang disebutkannya  terdapat banyak kesamaan dengan apa yang digunakan pada
masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang
harus digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris (Brown dan Johnson, 1963, hal.
43) atau “Zornal” dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di kota Venice . (Martinelli, 1977, hal. 25).
Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari
kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada masa negara Islam, yaitu pada
masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H. /749 M.,yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa
yang dipraktikkan di Republik Itali sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah
dipraktikkan di negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan
“Jaridah” sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung
ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan Islam.
Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu Khaldun yang
hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H. /784 M. Mengatakan bahwa
seorang akuntan harus memakai buku-buku akuntansi yang sesuai, dan mencatat namanya di akhir buku,
serta menstempelnya dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut memuat nama Sulthan atau simbol
khusus bagi Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah satu sisi buku .(halaman 205). Sesungguhnya
penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak abad 
ke-2 Hijriyah dan barangkali sebelum itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang
beragam sesuai dengan perbedaan karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.
            Dahulu, “Jaridah”  digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-
pengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan ada jaridah untuk
pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal dengan nama Specialised
Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan nama Daftarul
Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).
            Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan dikenal dengan nama
General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di samping specialised journals. Dahulu, buku
harian ini digunakan untuk mencatat seluruh transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya
dengan orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab dengan
nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).
            Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H. /1336 M. atau kurang lebih tiga puluh
satu tahun sebelum munculnya buku  Al Mazindani, pekerjaan pembukuan tunduk pada praktik-praktik
tertentu dan jelas. Sebab,seluruh harta yang masuk atau keluar harus dicatat sesuai urutan waktu 
terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi.  Demikian pula, keharusan mencatat
transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau
yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan
dan yang lain. (An Nuwairi, hal. 273--275). Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid
yaitu yang sekarang dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang
melakukan pencatatan di buku. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 131--132). Hal ini
menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya bersamaan
dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa Khalifah Umar Ibnul
Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang
setelah itu sebagaimana yang kita rasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi.
            Daulat Abbasiyyah, 132-232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lain
dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus. Sebab pada saat
itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus (Specialized Accounting Books).
Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat dengan fungsi dan tugas yang diterapkan
pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang dikenal pada masa  kehidupan negara Islam itu
adalah sebagai berikut:

1. Daftarun Nafaqat  (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini
bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
2. Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan di Diwanil
Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan
yang dikeluarkannya.
3. Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin.
Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senior negara pada saat
itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 41).    
 Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu serupa
dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts Receipable
Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj
digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan
untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus
dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak
yang harus dilunasi  didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang
Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363 M.)
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian piutang
menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan, yaitu
apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama Collectable Debts.
2. Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan, yaitu apa
yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama
Bad Debts atau Uncollectable Debts.
3. Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang
diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful Debts.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 141).
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu: pertama, pengaruh
kehidupan perdagangan terhadap pekerjaan akuntansi, sebagaimana yang telah kami kemukakan pada
pendahuluan Bab I; dan yang kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh terhadap penggambaran
kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk tujuan zakat. Sebab, penggambaran
kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran hak dan kewajiban. Tidak diragukan lagi
bahwa mereka mengetahui pentingnya inventarisasi para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin
diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan piutang
dalam tiga kelompok tersebut. Pengelompokan ini adalah  pengelompokan yang digunakan pada masa
kita sekarang tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali
lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal ini jika tidak
ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut pentingnya
inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan kreditur terhadap
jumlah zakat.
“ Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan
bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’ katakanlah, Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertamakali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan
sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (Al An’am:14)
            Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal
system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu
dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi
adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara
melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account,
perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.

C. Auditing Menurut Al-Qur'an


Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan
dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang
lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam
surah Asy-Syu'ara ayat 181-184 yang berbunyi:"Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah Menciptakan kamu dan umt-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut
pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan
wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan
keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah
manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam
menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia
akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan
pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari
dan dijelaskan dalam ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut "tabayyun" sebagaimana
yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatan itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di
atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-
Israa' ayat 35 yang berbunyi: "Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." Dari paparan di
atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat
didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari
sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam
pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan
menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kesepakatan
para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak
bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus
yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai
dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai
pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Sistem ekonomi islam sudah mulai dipraktikkan dilapangan dan bukan hanya menjadi bahan diskusi para
ahli. Pada awalnya sistem ini diterapkan dalam sektor perbankan, dan kemudian juga merambat pada
sektor keuangan lainnya seperti asuransi dan pasar modal. Perkembangannya sangat pesat, saat ini tidak
kurang dari 200 lembaga keuangan Islam telah beroperasi menerapkan sistem ekonomi islam yang
terdapat diberbagai belahan dunia bukan saja dinegara Islam tetapi juga di negara non muslim. Dengan
munculnya sistem tersebut mau tidak mau lembaga ini pasti memiliki perbedaan dengan lembaga
konvensional, karena ia dioperasikan dengan menggunakan sistem nilai syariah yang didasarkan pada
kedaulatan Tuhan bukan kedaulatan rasio ciptaan Tuhan yang terbatas. Dengan demikian maka sistem
yang berkaitan dengan eksistensi lembaga ini juga perlu menerapkan nilai-nilai islami jika kita ingin
menerapkan nilai-nilai Islami secara konsisten. Maka disinilah relevansi perlunya sistem auditing Islami
dalam melakukan fungsi audit terhadap lembaga yang dijalankan secara Islami ini.

D. Dewan Pengawas Syari’ah


Dewan Pengawas Syari’ah adalah lembaga independen atau hakim khusus dalam fiqih muamalat
(Sofyan S.Harahap 2002). Dewan Pengawas Syari’ah merupakan suatu badan yang diberi wewenang
untuk melakukan supervise/pengawasan dan melihat secara dekat aktivitas lembaga keuangan syari’ah
agar lembaga tersebut senantiasa mengikuti aturan dan prinsip-prinsip syari’ah. Dewan Pengawas
syari’ah (DPS) berkewajiban secara langsung melihat pelaksanaan suatu lembaga keuangan syari’ah agar
tidak menyimpang dari ketentuan yang telah difatwakan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang berkedudukan di Jakarta. DPS melihat secara garis besar dari aspek
manajemen dan administrasi harus sesuai dengan syari’ah, dan yang paling utama sekali mengesahkan
dan mengawasi produk-produk perbankan syari’ah agar sesuai dengan ketentuan syari’ah dan undang-
undang yang berlaku. Inilah salah satu yang membedakan dengan perbankan konvensional yang tidak
mengacu pada ketentuan syari’ah.
Dewan ini sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang, dan dibolehkan menunjuk beberapa orang
pakar ekonomi untuk membantu tugasnya, namun anggotanya tidak boleh merangkap sebagai direktur
atau komisaris utama (Pressident commissioner atau significant shareholders) dari institusi keuangan
tersebut. Pembubaran atau penggantian anggota dewan syari’ah mesti mendapat rekomendasi direktur
dan mendapat pengesahan dari pemegang saham (shareholders) dalam  Rapat UmumPemegang Saham
(RUPS) atau general meeting.
Dewan Pengawas Syari’ah pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) dalam merealisasikan fatwa-fatwa yang telah diputuskan DSN . DPS berperan sebagai
pengawas dari lembaga-lembaga keuangan syari’ah; bank syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal
syari’ah,dan lain-lain. DPS tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan manajemen lembaga
keuangan syari’ah karena hal ini sudah menjadi tanggung jawab langsung dibawah wewenang direksi
suatu lembaga keuangan syari’ah. Namun DPS berhak memberikan masukan (in-put) kepada pihak
pelaksana lembaga tersebut.

E. Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI)   


Pada awalnya organisasi ini bernama Financial Accounting Organization for Islamic Banks and
Financial Institution di dirikan pada tanggal 1 Safar 1410 H atau 26 Pebruari 1990 di Aljiria.
Prinsip Umum Audit AAOIFI;
1. Auditor lembaga keuangan Islam harus mematuhi “Kode etik profesi akuntan” yang dikeluarkan
oleh AAOIFI dan the International Federation of Accountants yang tidak bertentangan dengan
aturan dan prinsip Islam.
2. Auditor harus melakukan auditnya menurut standar yang dikeluarkan oleh Auditing Standar for
Islamic Financial Institutions (ASIFIs).
3. Auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan kemampuan professional, hati-hati dan
menyadari segala keadaan yang mungkin ada yang menyebabkan laporan keuangan salah saji.
Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Accounting and Auditing
Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yaitu :
1. Menentukan tujuan berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai
bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku saat ini.
2. Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kapitalis kemudian mengujinya menurut
hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak hal-hal yang
bertentangan dengan syariah.

Kode Etik Profesi Akuntan Islam


Bagaimana pengatauran Kode Etik Profesinya? Etika sering disebut moral akhlak, budi pekerti adalah sifat
dan wilayah moral, mental, jiwa, hati nurani yang merupakan pedoman perilaku yang idial yang seharusnya
dimiliki oleh manusia sebagai mahluk moral. Kode Etik Akuntan ini adalah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari syari’ah islam. Dalam sistem nilai Islam syarat ini ditempatkan sebagai landasan semua nilai
dan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam setiap legislasi dalam masyarakat dan negara Islam. Namun
disamping dasar syariat ini landasan moral juga bisa diambil dari hasil pemikiran manusai pada keyakinan
Islam. Beberapa landasan Kode Etik Akuntan Muslim ini adalah :
1. Integritas : Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu seluruh perilakunya.
Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan kualifikasi tertentu untuk melaksanakan suatu
kewajiban;
2. Keikhlasan : Landasan ini berarti bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam melaksanakan
pekerjaannya bukan mencari nama, pura-pura, hipokrit dan sebagai bentuk kepalsuan lainnya. Menjadi
ikhlas berarti akuntan tidak perlu tunduk pada pengaruh atau tekanan luar tetapi harus berdasarkan
komitmen agama, ibadah dalam melaksanakan fungsi profesinya. Tugas profesi harus bisa dikonversi
menjadi tugas ibadah;
3. Ketakwaan : Takwa merupakan sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun
terang-terangan sebagai salah satu cara untuk melindungi seseorang dari akibat negatif dari perilaku yang
bertentangan dari syari’ah khususnya dlam hal yang berkitan dengan perilaku terhadap penggunaan
kekayan atau transaksi yang cenderung pada kezaliman dan dalam hal yang tidak sesuai dengan syari’ah;
4. Kebenaran dan Bekerja Secara Sempurna : Akuntan tidak harus membatasi dirinya hanya melakukan
pekerjaan-pekerjaan profesi dan jabatannya tetapi juga harus berjuang untuk mencari dan mnenegakkan
kebenaran dan kesempurnaan tugas profesinya dengan melaksanakan semua tugas yang dibebankan
kepadanya dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Hal ini tidak akan bisa direalisir terkecuali
melalui kualifikasi akademik, pengalaman praktik, dan pemahaman serta pengalaman keagamaan yang
diramu dalam pelaksanaan tugas profesinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Surat An Nahl
ayat 90 : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil dan berbuat kebajikan, dan dalam Surat Al
Baqarah ayat 195 : Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik
5. Takut kepada Allah dalam setiap Hal : Seorang muslim meyakini bahwa Allah selalu melihat dan
menyaksikan semua tingkah laku hambaNya dan selalu menyadari dan mempertimbangkan setiap
tingkah laku yang tidak disukai Allah. Ini berarti sorang akuntan/auditor harus berperilaku takut kepada
Allah tanpa harus menunggu dan mempertimbangkan apakah orang lain atau atasannya setuju atau
menyukainnya. Sikap ini merupakan sensor diri sehingga ia mampu bertahan terus menerus dari godaan
yang berasal dari pekerjaan profesinya. Sikap ini ditegaskan dalam firman Allah Surat An Nisa ayat 1 :
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Dan dalam Surat Ar Rad Ayat 33 Allah
berfirman : Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama
dengan yang tidak demikian sifatnya). Sikap pengawasan diri berasal dari motivasi diri berasal dari
motivasi diri sehingga diduga sukar untuk dicapai hanya dengan kode etik profesi rasional tanpa
diperkuat oleh ikatan keyakinan dan kepercayaan akan keberadaan Allah yang selalu memperhatikan dan
melihat pekerjaan kita. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Thaha ayat 7 : Sesungguhnya dia
mengetahui rahasia dan apa yang lebih tersembunyi;
6. Manusia bertanggungjawab dihadapan Allah : Akuntan Muslim harus meyakini bahwa Allah selalu
mengamati semua perilakunya dan dia akan mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya kepada
Allah nanti di hari akhirat baik tingkah laku yang kecil amupun yang besar. Sebagaimana firman Allah
dalam Surat Al Zalzalah ayat 7-8 : Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah niscaya dia
akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun niscaya
dia akan melihat balasnya pula.

Oleh karena itu akuntan/auditor harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua
pekerjaannya dihadapan Allah dan juga kepada publik, profesi, atasan dan dirinya sendiri. Gambaran singkat
ini mudah-mudahan menggugah kita bahwa auditing syari’ah sudah mulai berkembang sejalan dengan
perkembangan sistem ekonomi islam.

BAB IV
KESIMPULAN

Dari tulisan ini kami berkesimpulan sebagai berikut ;


A. Auditing dan akuntansi dalam Islam sudah dikenal dizaman Rasulullah berarti 14 abad silam, beliau
mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani perofesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul
amwal”  hal ini merujuk Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 282 yang secara explisit  menjelaskan fungsi-
fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan dalam
kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani. Rasulullah memiliki 42 orang penulis yang memiliki
spesialisasi didalam pemerintahannya di Madinah, Rasulullah memilih pegawainya dari kalangan
sahabat yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakanuntuk menduduki jabatan yang
diamanatkan.
B. Pada masa awalnya buku pencatatan dalam Islam dinamakan “jaridah” yaitu pada masa pemerintahan
Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H. ini menunjukan bahwa Daulat Abbasiyyah sudah mengenal
akuntasi tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum penulis Italia Pacioli yang menulis “journal” dalam
bahasa Inggris, secara etimologi dua kata “journal” dan “Zornal “ adalah makna dari kata “jaridah” buku
catatan pertama pada Negara Islam. Dengan semakin berkembangnya system keuangan dimasa
Abbasiyyah, maka semakin spesipik pencatatan-pencatatan transaksi keuangan dengan ditemukannya
berbagai macam buku, mulai dari pendapatan, biaya, harta, hingga buku hutang dan piutang. Dengan
demikian, dapat dilihat dari sejarah bahwa Islam ternyata lebih dahulu mengenal system akuntansi,
karena Al-Qur'an telah diturunkan 610 M, yakni 800 tahun lebih dari buku yang yang ditulis Luca
Pacioli pada tahun 1494.
C. Al-Ghazali menekankan bahwa perkembangan tujuan penggunaan akuntansi adalah perhatian terhadap
pengawasan diri, ini adalah dasar dari pengawasan yang lebih luas lagi karena jika seseorang telah
mengawasi dirinya, maka ia telah melakukan evaluasi terhadap dirinya sehingga pengawasan institusi
atau organisasi yang lebih luas hasilnya akan lebih baik, dan pada akhirnya menghasilakan kinerja
keuangan yang kredibel. Hal ini berdasarkan Al-Qur'an menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain
dalam surah al-Baqarah ayat 284.
D. Para auditor, dalam menjalankan fungsinya secara hukum berpedoman kepada kode etik yang
dikeluarkan oleh AAOIFI dan International Federation of Accountants yang tidak bertentangan dengan
aturan dan prinsip Islam. AAOIFI di dirikan pada tanggal 1 Safar 1410 atau 26 Pebruari 1990 di Aljiria.
Di Indonesia telah dibentuk Dewan Syari’ah Nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah pada  tahun 2000,
dan dibawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

DAFTAR PUSTAKA
Sofyan S. Harahap Auditing Dalam Perspektif Islam Pustaka Quantum Jakarta 2002
Sofyan S. Harahap Teori Akuntansi Laporan Keuangan  Bumi Aksara Jakarta 1994
Sofyan S. Harahap  Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam Pustaka Quantum Jakarta 2001 Kell, Johnson,
William C. Boynton. Modern Auditing. Seventh Edition. New York.. John          Wiley & Sons. 2001
AUDITING DALAM PERSPEKTIF ISLAM

BAB  I
PENDAHULUAN

A. Sejarah Auditing
Auditing  adalah proses pengumpulan dan penilaian bukti-bukti yang dilakukan oleh pihak yang
independent dan kompeten, untuk menentukan apakah informasi yang di sajikan sesuai dengan criteria
yang ditetapkan.
Menurut catatan seorang ahli sejarah akuntansi, dikatakan bahwa : “ Asal usul auditing dimulai lebih
awal dibandingkan dengan asal usul akuntansi. Ketika kemajuan peradaban membawa pada kebutuhan
akan adanya orang yang dalam batas tertentu dipercaya untuk mengelola harta milik orang lain, maka
dipandang patut untuk melakukan pengecekan atas kesetiaan orang tersebut, sehingga semuanya akan
menjadi jelas”.
Dikatakan bahwa penguasa Mesir purba melakukan pemeriksaan independent dan atas catatan
penerimaan pajak, orang-orang Yunani kuno melakukan pemeriksaan atas rekening pejabat public,
sedangkan orang Romawi membandingkan antara pengeluaran dengan otorisasi pembayaran, sementara
para bangsawan penghuni puri di Inggris menunjuk auditor untuk melakukan review atas catatan
akuntansi dan laporan yang disiapkan oleh para pelayan mereka.
            Awal audit terhadap perusahaan dapat dikaitkan dengan perundang-undangan Inggris selama
revolusi industri pada pertengahan tahun 1800-an. Kemajuan teknologi transportasi dan industri telah
menimbulkan skala ekonomi dan perusahaan yang lebih besar, munculnya manajer professional, serta
pertumbuhan kepemilikan perusahaan oleh banyak orang. Pada awalnya audit terhadap perusahaan harus
dilakukan oleh satu atau lebih pemegang saham yang bukan merupakan pejabat perusahaan, serta mereka
yang ditunjuk oleh pemegang saham lainnya sebagai perwakilan pemegang saham. Profesi akuntansi
segera bangkit dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan pasar serta perundang-undangan yang segera
direvisi, sehingga memungkinkan orang yang bukan pemegang saham dapat melakukan audit. Hal ini
mendorong munculnya berbagai formasi kantor-kantor audit. Beberapa diantara kantor-kantor auditor 
Inggris Kuno seperti Deloitte & Co, Peat Marwick, & Mitchell, dan Price Waterhouse & Co. yang masih
dapat ditelusuri  sampai saat ini serta masih membuka praktik di USA ataupun diluar USA.
            Pengaruh Inggris juga turut bermigrasi ke Amerika Serikat pada akhir tahun 1800-an ketika para
investor Inggris dan Skotlandia mengirimkan para Auditornya sendiri untuk memeriksa kondisi
perusahaan-perusahaan Amerika, tempat mereka telah berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar.
Secara khusus mereka melakukan investasi dalam saham pabrik pembuatan bir dan perkeretaapian.
Focus awal audit ini mula-mula adalah untuk menemukan penyimpangan dalam akun neraca serta
menangkal pertumbuhan kecurangan yang berkaitan dengan meningkatnya fenomena manajer
professional serta pemilik saham yang pasif.

B. Munculnya Auditing pra-Islam


Akuntasi di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali
betapa besarnya perhatian bangsa arab pada akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab
untuk mengetahui dan menghitung barang dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali.
Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri,
bertambahnya kabilah-kabilah, masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya
perdaganan serta timbulnya usaha-usahainterven si perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab
terhadap pembukuan dagang untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudipun (pada waktu itu)
sudah biasa menyimpan daftar-daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah
peradaban bangsa arab. Jadi, konsep akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada
pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan
penjumlahan dan pengurangan.Untuk mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang
sendiri dan ada juga yang menyewa akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai
katibul awal (pencatat keuangan) atau penaggung jawab keuangan.
BAB II
TEORI AKUNTASI DAN AUDITING
A. Pengertian Akuntansi
Dewasa ini, akuntasi telah mengalami perkembangan layaknya ilmu hukum, ilmu kedokteran, serta
hamper semua bidang kegiatan manusia, sejalan dengan tuntutan kebutuhan sosial dan ekonomi
masyarakat. Akuntansi telah mengembangkan konsep-konsep baru untuk mengimbangi kebutuhan akan
informasi keuangan yang terus menerus meningkat guna melaksanakan pembangunan ekonomi dan
program-program sosial. Akuntasi dapat di pandang dari dua sisi pengertian yaitu sebagai pengetahuan
keahlian yang  dipraktekan dalam dunia nyata, dan sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang
diajarkan di perguruan tinggi. Pada awalnya, yaitu kira-kira tahun 3000 SM, akuntansi ditemukan di
Mesir Kuno dan pada masa pemerintahan Yunani. Akuntansi yang ada pada saat itu hanya sekedar untuk
mengetahui sumber-sumber keuangan kerajaan. Sehingga belum ada suatu sistem akuntansi yang
sistematis untuk satu unit tertentu (hanya untuk sebagian transaksi saja). Di zaman Mesir Kuno tersebut
dijelaskan bahwa untuk mencatat transaksi hariannya, seorang manajer menggunakan calamos reed
(sejenis kulit). Selain itu dikenal pula dua macam teknik akuntansi, yaitu dengan koin (dalam amplop)
dan token. Pada tahun 1494, sistem double-entry mulai dikenal setelahnya sebagai system akuntansi
modern, yaitu harta sama dengan hutang ditambah dengan modal. Lucas Pacioli mengklaim dirinya
sebagai penemu pertama dari sistem akuntansi modern ini. Namun sebelumnya telah ada beberapa
temuan double-entry system, yaitu berasal dari kawasan Timur Tengah. Kaum Muslimin berandil besar
dalam perkembangan akuntansi dasar waktu itu. Setelah itu, bangsa Eropa mulai berdatangan untuk
mengupas secara mendalam tentang akuntansi versi Timur Tengah tersebut.
1. Periode  Kapitalis
2. Kapitalis Nascent
3. Merkantilis
4. Revolusi dan Industrialisasi
5. Perkembangan pesat bidang akuntansi secara terus-menerus
Timbulnya revolusi industry tahun 1776 menimbulkan efek positif terhadap perkembangan akuntasi.
Salah satu yang menonjol adalah perubahan cara memproduksi barang dari kerajinan tangan ke
pabrikasi. Hal ini menyebabkan spesialisasi dalam akuntansi biaya meningkat pesat untuk memenuhi
kebutuhan analisis biaya dan teknik pencatatannya. Akuntansi diperlukan untuk menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan sangat cepat, berkembangnya kegiatan ekonomi, dan
masalah perbandingan pelaporan keuangan antar perusahaan. Pada tahun 1800-1850, masyarakat mulai
menggunakan dan menjadikan neraca sebagai tolak ukur kinerja sebuah perusahaan. Pada periode ini
dikenal pula pemeriksaaan keuangan (financial auditing). Pada tahun 1850, laporan laba rugi mulai
neggantikan peranan neraca dalam menilai efektivitas dan efisiensi perusahaan. Ilmu audit berkembang
semakin pesat pada periode ini Tahun 1900, di Amerika Serikat diperkenalkan Sertifikat Profesi melalui
ujian nasional untuk mendalami ilmu akuntansi melalui edukasi. Adanya laporan tentang pajak. Serta
akuntansi biaya mulai dikenal termasuk laoran statistik biaya dan produksi. Pada tahun 2925, mulai di
kenal akuntansi pemerintah untuk mengawasi dana pemerintah, teknik-teknik analisis biaya mulai
bermunculan dan diperkenalkan, laporan keuangan diseragamkan antar perusahaan, dirumuskannya
Norma Pemeriksaan Akuntansi, dan lahirnya Akuntansi Perpajakan.

B. Pengertian Auditing
Ada beberapa pengertian audit yang diberikan oleh beberapa ahli di bidang akuntansi, antara lain:
Menurut Alvin A.Arens dan James K.Loebbecke :
“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on
the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done
by a competent independent person”.
Menurut Mulyadi :
“Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai
pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat
kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta
penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”.[1] 
Secara umum pengertian di atas dapat diartikan bahwa audit adalah proses sistematis yang
dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bahan
bukti dan bertujuan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Dalam melaksanakan audit faktor-faktor berikut harus diperhatikan:
a. Dibutuhkan informasi yang dapat diukur dan sejumlah kriteria (standar) yang dapat digunakan
sebagai panduan untuk mengevaluasi informasi tersebut, 2). Penetapan entitas ekonomi dan periode
waktu yang diaudit harus jelas untuk menentukan lingkup tanggungjawab auditor, 3). Bahan bukti
harus diperoleh dalam jumlah dan kualitas yang cukup untuk memenuhi tujuan audit, 4).
Kemampuan auditor memahami kriteria yang digunakan serta sikap independen dalam
mengumpulkan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang akan diambilnya.
b. Audit pada umumnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu : audit laporan keuangan, audit kepatuhan,
dan audit operasional.
c. Audit laporan keuangan (financial statement audit). Audit laporan keuangan adalah audit yang
dilakukan oleh auditor eksternal terhadap laporan keuangan kliennya untuk memberikan pendapat
apakah laporan keuangan tersebut disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
Hasil audit lalu dibagikan
d. kepada pihak luar perusahaan seperti kreditor, pemegang saham, dan kantor pelayanan pajak.
e. Audit kepatuhan (compliance audit). Audit ini bertujuan untuk menentukan apakah yang diperiksa
sesuai dengan kondisi, peratuan, dan undang-undang tertentu. Kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam
audit kepatuhan berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Contohnya ia mungkin bersumber dari
manajemen dalam bentuk prosedur-prosedur pengendalian internal. Audit kepatuhan biasanya
disebut fungsi audit internal, karena oleh pegawai perusahaan.
f. Audit operasional (operational audit). Audit operasional merupakan penelahaan secara sistematik
aktivitas operasi organisasi dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Dalam audit operasional,
auditor diharapkan melakukan pengamatan yang obyektif dan analisis yang komprehensif terhadap
operasional-operasional tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk : 1). Menilai kinerja, kinerja
dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan, standar-standar, dan sasaran-sasaran yang ditetapkan oleh
manajemen, 2). Mengidentifikasikan peluang dan, 3). Memberikan rekomendasi untuk perbaikan
atau tindakan lebih lanjut. Pihak-pihak yang mungkin meminta dilakukannya audit operasional
adalah manajemen dan pihak ketiga. Hasil audit operasional diserahkan kepada pihak yang meminta
dilaksanakannya audit tersebut.
C. Tujuan dan manfaat audit independen
Tujuan umum audit atas laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat atas kewajaran
laporan keuangan, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku
umum. Kewajaran laporan keuangan diukur berdasarkan asersi terkandung dalam setiap unsur yang
disajikan dalam laporan keuangan, yang disebut dengan asersi manajemen.
Asersi manajemen yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diklasifikasikan menjadi lima
kategori :
1. Keberadaan atau kejadian (existency or occurence). Asersi ini merupakan pernyataan manajemen
aktiva, kewajiban, dan ekuitas yang tercantum dalam neraca benar-benar ada pada tanggal neraca
serta apakah pendapatan dan beban yang tercantum dalam laporan rugi laba benar-benar terjadi
selama periode akuntansi.
2. Kelengkapan (completeness). Kelengkapan berarti semua transaksi dan akun-akun yang seharusnya
tercatat dalam laporan keuangan telah dicatat. Asersi kelengkapan berlawanan dengan asersi
keberadaan. Jika asersi keberadaan tidak benar maka akun akan dinyatakan terlalu tinggi, sementara
jika asersi kelengkapan tidak benar, maka akun akan dinyatakan terlalu rendah. Asersi kelengkapan
berkaitan dengan kemungkinan hilangnya hal-hal yang harus dicantumkan dalam laporan keuangan,
sedangkan asersi keberadaan berkaitan dengan penyebutan angka yang seharusnya tidak dimasukkan.
3. Hak dan kewajiban (rights and obligations). Auditor harus memastikan apakah aktiva memang
menjadi hak klien dan apakah kewajiban merupakan hutang klien pada tanggal tertentu.
4. Penilaian atau alokasi (valluation or allocation). Asersi ini menyangkut apakah  aktiva, kewajiban,
ekuitas, pendapatan, atau beban telah dicantumkan dalam laporan keuangan pada jumlah yang tepat.
5. Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). Asersi ini menyangkut masalah apakah
komponen-komponen laporan keuangan telah diklasifikasikan, diuraikan, dan diungkapkan secara
tepat. Pengungkapan berhubungan dengan apakah informasi dalam laporan keuangan, termasuk
catatan yang terkait, telah menjelaskan secara gamblang hal-hal yang dapat mempengaruhi
penggunaannya.
D. Independensi
Masalah utama yang dihadapi oleh akuntan publik saat ini adalah berkurangnya kekuasaan
mereka dalam melaksanakan penugasan. Seorang akuntan yang independen dituntut untuk bertindak
sesuai dengan peraturan perundangan dan kode etik profesi. Fenomena hubungan antara akuntan publik
dengan klien telah menjadi pusat perhatian bagi para pembuat keputusan, seperti investor, kreditor, dan
pemegang saham.
Mereka sangat menyadari adanya kemampuan yang dimiliki oleh pihak manajemen perusahaan.
Pertama, kemampuan yang berkaitan dengan kecenderungan manajemen perusahaan untuk
memanipulasi kinerja laporan keuangan perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan penilaian yang
positif atas tanggung jawabnya sebagai pihak yang mengelola perusahaan. Kecenderungan ini dikenal
dengan istilah window dressing, biasanya dilakukan dengan cara memperbaiki laporan keuangan
sedemikian rupa sehingga tampak lebih baik dari semestinya.
Berbeda dengan profesi lain, auditor tidak dapat bertindak untuk kepentingan kliennya
sebagaimana pengacara dengan kliennya. Meskipun dibayar oleh klien akuntan publik bekerja bagi
kepentingan masyarakat umum. Auditor harus independen dalam dari segala kewajiban dan pemilikan
kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Ia harus pula menghindari keadaan-keadaan yang dapat
mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya. Dalam kenyataannya auditor seringkali
menemui kesulitan dalam mempertahankan sikap mental independen. Keadaan yang seringkali
mengganggu sikap mental independen auditor adalah sebagai berikut :
1. Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen, auditor dibayar oleh kliennya atas
jasanya tersebut.
2. Kecenderungan untuk memuaskan kliennya.
3. Resiko kehilangan klien.
E. Jenis-jenis auditor
Auditor biasanya diklasifikasikan dalam tiga kategori berdasarkan siapa yang mempekerjakan
mereka : akuntan publik, akuntan pemerintah, dan akuntan intern.
 Akuntan publik. Akuntan publik adalah akuntan professional yang menjual jasanya kepada
masyarakat umum, terutama daam bidang pemeriksaan terhadap laporan keuangan yang dibuat oleh
kliennya.
 Akuntan pemerintah. Akuntan pemerintah adalah akuntan profesional yang bekerja di instansi
pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pemeriksaan terhadap pertanggungjawaban keuangan
yang disajikan oleh unit-unit organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan
yang ditujukan kepada pemerintah.
 Akuntan intern. Adalah akuntan yang bekerja dalam perusahaan yang tugas pokoknya adalah
menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi,
menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap aset-aset organisasi, menentukan efisiensi dan
efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh
berbagai bagian organisasi.
F. Laporan Auditor
1. Pengertian dan jenis-jenis laporan auditor
Pembuatan laporan auditor adalah langkah terakhir dan paling penting dari keseluruhan
proses audit. Secara umum laporan auditor dapat didefinisikan sebagai laporan yang menyatakan
pendapat auditor yang independen mengenai kelayakan atau ketepatan pernyataan klien bahwa
laporan keuangannya disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntan yang berlaku
umum, yang diterapkan secara konsisten dengan tahun sebelumnya. Dalam menyiapkan dan
menerbitkan sebuah laporan audit, auditor harus berpedoman pada empat standar pelaporan yang
terdapat dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
 Terpenting, harus dilihat standar yang terakhir karena standar ini mensyaratkan suatu
pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan atau pernyataan bahwa pendapat
tidak dapat diberikan disertai dengan alasan-alasannya. Standar ini mensyaratkan adanya pernyataan
auditor secara jelas mengenai sifat pemeriksaan yang telah dilakukan dan sampai dimana auditor
membatasi tanggungjawabnya. Pendapat auditor tersebut disajikan dalam suatu laporan tertulis yang
umumnya berupa laporan audit bentuk baku.
Menyadari fungsi utama laporan audit sebagai media komunikasi antara manajemen dengan
pihak-pihak lain yang berkepentingan, maka dibutuhkan adanya keseragaman pelaporan untuk
menghindari kerancuan. Oleh karena itu standar profesional telah merumuskan dan merinci berbagai
jenis laporan audit yang harus disertakan pada laporan keuangan.
Terdapat beberapa jenis pendapat akuntan yang diberikannya berkenaan dengan suatu
pemeriksaan umum, yaitu :
1. Pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion).
2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan (unqualified opinion with
explanatory language).
3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion).
4. Pendapat tidak wajar (adverse opinion).
5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion).
2. Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
Istilah unqualified disini bukan berarti tidak memenuhi syarat atau tidak qualified. Arti unqualified
disini adalah tanpa kualifikasi (qualification) atau tanpa reserve atau tanpa keberatan-keberatan.
Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan auditor jika tidak terjadi pembatasan dalam lingkup
audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai kewajaran dan penerapan prinsip
akuntansi yang berlaku umum dalam penyusunan laporan keuangan, konsistensi penerapan prinsip
akuntansi yang berlaku umum, serta pengungkapan memadai dalam laporan keuangan. Laporan
keuangan dianggap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha suatu organisasi, sesuai
dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum jika memenuhi kondisi-kondisi berikut :
 Prinsip akuntansi berlaku umum digunakan untuk menyusun laporan keuangan
 Perubahan penerapan prinsip akuntansi berlaku umum dari periode ke periode telah cukup
dijelaskan
 Informasi dalam catatan-catatan yang mendukungnya telah digambarkan dan dijelaskan dengan
cukup dalam laporan keuangan sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum
3. Laporan pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan               (unqualified opinion
with explanatory language).
Laporan keuangan tetap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan klien
namun ditambah dengan hal-hal yang memerlukan bahasa penjelasan.
4. Laporan pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
Pendapat ini hanya diberikan jika secara keseluruhan laporan keuangan yang disajikan oleh klien
adalah wajar, tetapi ada beberapa unsur yang dikecualikan, yang pengecualiannya tidak
mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Terdapat beberapa kondisi yang
membuat auditor harus memberikan pendapat wajar dengan pengecualian, yaitu :
 Lingkup audit dibatasi oleh klien
 Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat memperoleh informasi
penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien dan auditor
 Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum
 Prinsip akuntansi berlaku umum yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan tidak
diterapakan secara konsisten
5. Laporan pendapat tidak wajar (adverse opinion)
Pendapat tidak wajar diberikan jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha,
perubahan saldo laba dan arus kas perusahaan klien. Auditor memeberikan pendapat tidak wajar jika
tidak terdapat pembatasan bukti audit. Pendapat tidak wajar merupakan kebalikan pendapat wajar
dengan pengecualian. Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika ia tidak dibatasi lingkup
auditnya, sehingga ia dapat mengumpulkan bukti kompeten dalam jumlah cukup untuk mendukung
pendapatnya.
6. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion)
Pernyataan tidak memberikan pendapat diberikan auditor jika ia tidak berhasil menyakinkan dirinya
bahwa keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar. Pernyataan tidak memberikan
pendapat diberikan jika antara lain, terdapat banyak pembatasan lingkup audit, hubungan yang tidak
independen antara auditor dan klien. Masing-masing kondisi tersebut tidak memungkinkan auditor
untuk dapat menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan secara keseluruhan.
G. Tujuan dan manfaat laporan auditor
 Dalam perusahaan perseroan, dimana para manajer ditempatkan pada posisi dimana mereka
dapat menguntungkan perusahaan yang tercermin dalam laporan keuangan yang disusunnya dalam suatu
periode tertentu. Laporan keuangan yang disusun merupakan bentuk pertanggungjawaban dari hasil
pekerjaannya selama suatu periode. Para manajer tergoda untuk menyajikan laporan keuangan yang berat
sebelah, mengandung hal-hal yang tidak benar, dan mungkin menyembunyikan informasi informasi
tertentu kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan itu, termasuk investor,
kreditor, dan regulator.
Oleh karena itu masyarakat keuangan membutuhkan jasa profesional untuk menilai kewajaran
informasi keuangan yang disajikan oleh manajemen. Atas dasar informasi keuangan yang andal,
masyarakat akan memiliki basis yang kuat untuk menyalurkan dana mereka ke usaha-usaha yang
beroperasi secara efisien dan memiliki posisi keuangan yang sehat. Untuk itu masyarakat menghendaki
agar laporan keuangan yang diserahkan kepada mereka diperiksa lebih dulu oleh auditor independen.
Keterlibatan audit yang independen akan memberikan manfaat-manfaat antara lain, menambah
kredibilitas laporan keuangan, mengurangi kecurangan perusahaan, dan memberikan dasar yang lebih
dipercaya untuk pelaporan pajak dan laporan keuangan lain yang harus diserahkan kepada pemerintah.
BAB  III
AUDITING DALAM ISLAM
D. Sejarah Akuntasi Islam
Apabila kita pelajari "Sejarah Islam" ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semenanjung Arab
di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di
lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk
perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan
harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik
secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan "hafazhatul amwal"
(pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai
suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang
menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang
diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada
awal ayat tersebut menyatakan "Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya…….”

E. Perkembangan Akuntansi di Negara Islam


           “setiap ilmu tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan. Sebelum menjadi ilmu, harus ada
praktik dan pengalaman, berdasarkan hal ini, maka ilmu itu merupakan hasil dari pengalaman yang
menentukan tanda-tanda ilmu tersebut. (Heaps, 1985, hal. 21)
             Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Heaps, maka munculnya sistem pencatatan sisi-sisi
transaksi atau yang dikenal dengan nama sistem pembukaan ganda (double entry), baik sebagai ilmu
maupun sebagai seni, atau sebagai yang lain, harus tumbuh dari suatu kemahiran yang diupayakan.
Kemahiran yang diupayakan ini harus tegak di atas adanya suatu praktik kerja. Demikian pula, praktik
kerja ini bukan lahir dengan sendirinya, namun tegak di atas suatu bangunan yang tinggi dan kokoh.
Bangunan yang tinggi nan kokoh ini adalah pengetahuan yang turun menurun dari generasi ke generasi.
Jadi, hal ini mempertegas bahwa pengetahuan yang dapat menumbuhkan adanya praktik kerja dan
kemahiran untuk sistem pencatatan sisi-sisi transaksi asasnya telah ada di negara Islam, yang timbul
karena adanya berbagai faktor. Sementara itu, kami tidak melihat adanya faktor apa pun yang membantu
perkembangan ini di dalam Republik Itali. Di antara yang patut disebutkan bahwa akuntansi yang kami
lihat praktiknya di dunia Arab, kemudian perkembangannya di dunia Islam, telah dijelaskan oleh Al 
Mazindarani bahwa itu merupakan suatu ilmu. Baik sebagai ilmu atau seni,  atau yang lain, di sana
terdapat berbagai faktor yang ikut andil, atau pada hakikatnya mengundang pekerjaan akuntansi di
negara Islam. Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kebutuhan-kebutuhan negara Islam dari satu sisi,
dan dari sisi yang lain dengan kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin secara pribadi. Di antara faktor-
faktor tersebut adalah pendirian kantor-kantor pemerintahan, speisialisasi kemampuan, dan kebutuhan
terhadap adanya pegawai yang kapabel. Di samping faktor-faktor tersebut yang erat kaitannya dengan
kebutuhan negara Islam, di sana terdapat faktor lain yang ikut andil dalam peletakan dasar-dasar
akuntansi dan mendorong pengembangan akuntasi di dalam negara Islam, dari sisi kebutuhan pribadi
muslim, yaitu faktor zakat. Sebab, seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang membantu
dirinya untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai seorang muslim dari segi perhitungan zakat
yang harus dikeluarkan sesuai dengan syari’at Islam, yang merupakan salah satu rukun Islam.
             Pedirian kantor-kantor pemerintahan berkaitan erat dengan sistem administrasi, sejak pendirian
awal negara Islam di Madinah Al Munawwarah pada tahun 622 M., yaitu pada tahun pertama Hijriyah.
Pada saat itu, kantor-kantor pemerintahan dikenal dengan nama Dawawin, dan bentuk tunggalnya adalah
diwan .  Kata diwan berasal dari kata Parsi, tetapi definisi dan penggunaanya telah berjalan di negara
Islam. Kata diwan  artinya adalah tempat bekerja para pegawai, yaitu tempat pencatatan dan
penyimpanan buku-buku akuntansi (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 26). Ibnu Khaldun berkata,
“Asal penamaan ini adalah, pada suatu hari Kisra melihat para pegawai di kantornya sedang menghitung
sendiri, seolah-olah mereka berbicara (sendiri). Lalu, Kisra berkata, “Diwanah”. Arti kata tersebut adalah
“gila”, lalu tempat mereka itu dikatakan “Diwanah”. Karena kata tersebut sering diucapkan, huruf ha’nya
dibuang untuk mempermudah pengucapan, dan menjadi kata “diwan”. (hal. 268). Tampaknya, kata
diwan telah digunakan bersamaan awal reformasi sistem kantor-kantor pemerintahan dalam bentuk yang
lebih baik dari yang sebelumnya. Salah satu ensiklopedi ilmiah menyebutkan bahwa sistem resmi
pertama untuk diwan-diwan telah dibuat sekitar tahun 14 H./634 M. (Britanica, Vol. 22, hal. 109) yakni
pada masa Khalifah Umar Ibnul Khathab radliyallahhu’anhu.
            Adapun spesialisasi kemampuan mempunyai signifikansi, karena adanya pembagian fungsi dan
pekerjaan di negara Islam. Hal ini telah dimulai pada masa kehidupan Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam (Muhammad Al Marisi Lasin, 1973, hal. 5). Demikian pula hak dan kewajiban para pegawai di
semua level dari sistem administrasi telah dikenal sejak pendirian negara Islam di Madinah pada tahun
622 M. Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam memiliki 42 penulis yang memiliki
spesialisasi di dalam pemerintahannya yang didirikan di Madinah. Setiap pegawai memiliki peran
tertentu, demikian pula kewajiban dan gaji mereka juga tertentu dan jelas. (Muhammad Al Hawari (A),
1989, hal. 5).
            Adapun para pegawai yang kompeten telah mendapatkan perhatian dari negara Islam. Sejak awal,
negara Islam telah menaruh perhatian pada pemilihan pegawai yang berspesialisasi. Demikian pula
kebijakan  Rasulullah Muhammad shallallahu `alaihi wasallam dalam memilih pegawai, yaitu dari orang-
orang yang beliau pandang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk menduduki jabatan. Rasulullah
shallallahu `alaihi wasallam memilih para pegawai itu dari para sahabatnya yang memiliki kapabilitas 
serta kemampuan dan kelayakan untuk menerima jabatan. (Muhammad Hawari (B), 1989, hal. 16).
            Di negara Islam, para akuntan terbagi dalam tujuh fungsi, enam fungsi berkaitan dengan
pekerjaan akuntansi, dan satu fungsi khusus untuk mengoreksi pembukuan. Fungsi pengoreksian
pembukuan memiliki kepentingan khusus, hal ini serupa dengan yang kita namakan muraja’atul hisabat
( pengoreksian pembukuan/auditing), atau tadqiqul hisabat (pengakurasian pembukuan), atau ar
riqabatul kharijiyyah (pengawasan ekstern). Namun, kami hanya menganggap penamaan yang pertama
sebagai ungkapan yang paling tepat untuk watak pekerjaan tersebut. Adapun penamaan kedua dan
ketiga, kami pandang tidak sesuai dengan watak pekerjaan tersebut dan tugas yang diberikan kepada
auditor. Tugas auditor adalah memeriksa apa yang telah dibukukan. (Al Qalqasyandi, hal. 130-139). Al
Qalqasyandi telah menggambarkan tugas seorang auditor dan kebutuhan terhadapnya. Dia berkata,
“Enam yang lain tidaklah terpelihara dari sifat lupa dan kesalahan dalam menghitung atau mencatat,
sebagaimana yang sudah terkenal bahwa manusia itu tidak melihat kesalahan-kesalahannya sendiri tetapi
melihat kesalahan-kesalahan orang lain, maka pimpinan kantor harus memilih seseorang untuk
mengoreksi pembukuan. Orang yang dipilih tersebut harus menguasai bahasa Arab, hafal Al Qur’anul
Karim, cerdas, berakal, jujur, tidak menyakiti orang lain. Ketika seorang auditor merasa puas terhadap isi
buku yang dikoreksinya, dia harus memaraf buku tersebut sebagai tanda bahwa dia telah puas dan
menerima isi buku tersebut. (Ibid).
            Adapun zakat juga termasuk bagian dari unsur-unsur yang ikut andil dalam pengembangan
akuntansi di negara Islam. Ini jika tidak termasuk unsur asasi. Zakat adalah salah satu rukun Islam yang
lima, dan di negara Islam, dibayarkan kepada Baitul Mal. Baitul Mal ini  sekarang dinamakan
Perbendaharaan Umum atau Perbendaharaan Negara. Al Qur’anul Karim telah menentukan sumber-
sumber  yang wajib dikeluarkan zakatnya, dan obyek-obyek penyalurannya sebagaimana firman Allah
Subhanahu Wa Ta`ala:
 “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah.” (At Taubah : 60) 
Seorang muslim wajib membayar zakat, maka seorang muslim senantiasa membutuhkan suatu cara yang
dapat membantunya dalam menentukan jumlah zakat yang harus dibayarnya. Oleh karena itu, kami tidak
menganggap mustahil bahwa masalah penentuan jumlah zakat merupakan faktor asasi yang
mengantarkan kepada pengembangan akuntansi di negara Islam. Hal itu agar seorang muslim dapat
mengetahui perubahan-perubahan pada hartanya, dan selanjutnya adalah perhitungan zakat yang harus
dikeluarkan karena bertambahnya harta seorang muslim selama satu tahun penuh, di samping dari laba
yang diperoleh dari modal yang berputar.
            Perkembangan akuntansi di negara Islam mencapai puncaknya dalam membangun pengertian
akuntansi sebagai suatu sarana untuk pengambilan keputusan sebagai tujuan asasi bagi penggunaan
akuntansi. Anehnya, hal inilah yang menjadi tujuan penggunaan akuntasi pada masa kita sekarang ini.
Para penulis sekarang ini mengaku bahwa merekalah yang mengembangkan pengertian ini pada abad
sekarang. Barangkali, pengakuan mereka ini disebabkan oleh kejahilan mereka terhadap sejarah dan
peran akuntansi di negara Islam. Demikian pula, boleh jadi mereka membangun tujuan ini pada abad XX
M., sementara tujuan ini telah populer di negara Islam sejak abad I H. atau abad VII M. Di antara yang  
menjelaskan tujuan ini dan realisasinya di negara Islam adalah perkataan Imam Syafi’i rahimahullah :
“Barang siapa mempelajari hisab (akuntansi) pikirannya bagus.” (Husain Syahatah, 1993, hal. 45). Perlu
diketahaui bahwa Imam Safi’i hidup pada tahun 150-204 H./767-820 M. Hal ini tidak saja menjelaskan
peran yang dimainkan akuntansi dan signifikansinya pada waktu itu, tetapi juga menjelaskan
pengetahuan masyarakat pada saat itu terhadap peran dan signifikansi  tersebut. Hal ini tampak dalam
bentuk khusus, ketika ucapan ini datang dari seorang yang faqih, bukan datang dari spesialis akuntansi.
Setelah itu, Imam Syafi’Ii menjelaskan ucapannya itu, yaitu sesungguhnya seorang pedagang atau yang
lain tidak dapat mengambil keputusan secara benar atau mengeluarkan pemikiran yang tepat tanpa
bantuan data-data yang tercatat dalam buku. (Ibid). Para fuqaha’ berkata bahwa di antara kewajiban
seorang muslim adalah mempelajari hukum-hukum ibadah yang menjadikan  shalat, shaum, dan
zakatnya sah, serta hal-hal yang harus diketahui untuk menunaikan manasik hajinya. Demikian pula dia
harus mengetahui hukum-hukum jual beli jika ingin berprofesi  sebagai seorang pedagang; dan
mempelajari akuntansi, sehingga ia tiadak berbuat zhalim dan tidak dizhalimi. Hal inilah yang disebut
ilmu dlaruri. (Abu Hamid Al Ghazali, 1400 H.,  vol. 1, juz 1-3, hal. 42-30) juga (Sayid Sabiq,1403
H./1983 M., vol. III, juz 11-14, hal. 125-126).
            Pengertian akuntansi dan tujuan penggunaannya telah berkembang dari sekadar sebagai sarana
untuk menentukan modal di akhir periode V dan untuk mengukur  keuntungan melalui selisih  modal
pada dua priode, hal ini terjadi pada masa sebelum Islam, menjadi sebagai sarana untuk memperoleh
informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dan penentuan tanggung jawab, hal ini terjadi
pada berbagai masa negara Islam. Al Qalqasyandi berkata, “Seorang akuntan harus berpegang pada
aturan-aturan atau format-format yang telah disiapkan sebelumnya, dan tidak boleh melanggar
selamanya”. (hal. 54). Hal ini menunjukkan perkembangan akuntansi dan adanya sistem pengawsan
intern yang berkaitan erat dengannya. Semuanya itu diprogram, diinterpretasikan, dan diaplikasikan
menurut syariat Islam. Demikian pula perkembangan dalam pengertian akuntansi dan tujuan
penggunaannya ini terlihat dalam perkataan Al Qalqasyandi yang lain. Dia berkata, “Sesungguhnya
pekerjaan akuntansi dibangun atas dasar kenyakinan”. (hal. 154). Perkataan ini, secara khusus,
memantulkan dalam pemikiran kami akan pentingnya  sistem dokumentasi. Sebab, hitungan-hitungan
yang dicatat dalam buku harus diyakini kebenarannya; dan keyakinan ini tidak akan terwujud kecuali
dengan adanya bukti-bukti yang memadai yang dapat menetapkan terjadinya transaksi dari satu sisi, dan
kebenaran pencatatan di dalam buku dari sisi yang lain.
            Perkembangan akuntasi di negara Islam tampak jelas pula bahwa seorang akuntan yang
bertanggung jawab atas pembukuan pengeluaran-pengeluaran harus meneliti pengeluaran-pengeluaran
yang dilakukan oleh perangkat negara itu, untuk membuat ketetapan apabila terdapat perbedaan-
perbedaan di antara tahun-tahun keuangan. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 37). Ini merupakan
bukti lain tentang pengembangan pengertian akuntansi sebagai sarana informasi yang bertujuan
mengambil keputusan sekitar jalannya pengeluaran-pengeluaran itu. Hal ini mengandung pembatasan
perbedaan apa pun atau keraguan-keraguan dari tahun ke tahun. Selanjutnya adalah pembatasan
penanggungjawab perbedaan-perbedaan tersebut, lalu pengambilan-pengambilan tindakan-tindakan yang
pasti ketika perbedaan-perbedaan itu tidak dapat di tolerir.
            Imam Ghazali menyebutkan bahwa faktor yang mendukung perkembangan pengertian akuntansi,
dan selanjutnya adalah perkembangan tujuan penggunaan adalah perhatian terhadap pengawasan diri.
(juz XV, hal. 6-7). Sesunguhnya asas dalam pengawasan diri adalah takut kepada Allah. Ini adalah ciri
seorang muslim penganut aqidah yang mengetahui bahwa Allah melihatnya. Selanjutnya, dia akan
mengawasi dirinya karena dia mengetahui di sana ada Pengawas yang dapat melihat apa yang tidak bisa
dilihat oleh manusia, dan dapat mendengar apa yang tidak dapat didengar oleh selain-Nya di antara
makhluq-makhluq-Nya. Hal ini tampak jelas di dalam firman Allah Tabaraka Wa Ta’ala:
“Dan jika kamu melihatkan apa yang ada di hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan
membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu”. (Al Baqarah:284)      
             Pengawasan diri inilah yang menjadikan seorang muslim menghisab dirinya sebelum dihisab,
khususnya mereka yang memiliki nafsu lawwamah.
Dalam hal ini, Khalifah Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu  berkata,  “Hisablah diri kalian
sebelum dihisab; timbanglah amal  kalian sebelum amal  kalian ditimbangkan; dan bersiap-siaplah kalian
untuk menghadapi penampakan amal”.
            Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkembangan buku-buku akuntansi dan kantor-kantor
pemerintahan terjadi pada masa khalifah Al Faruq Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab radliyallahu
`anhu , maka kita patut mengkaitkan antara perkataannya ini dan perkembangan tersebut, dan bagaimana
beliau menerjemahkan jiwa lawwamah ke dalam realitas secara umum, dan barangkali dari segi
keuangan secara khusus. Wallahu A’lam. Sebab, pengawasan diri dan muhasabah terhadap diri
merupakan tuntutan asasi dari ajaran syari’at Islam sebagaimana terdapat di dalam Al Qur’an dan As
Sunah. Diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta`ala:
 “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadap dirimu”. (Al
Isra':14)
            Dari As Sunnah An Nabawiyyah, sesungguhnya pengawasan tersebut dari hasil muhasabah
terhadap diri sendiri. Muhasabah yang dimaksud dalam hal ini adalah pertanggungjawaban . Hal ini
tampak jelas di dalam perkataan Nabi shallallahu `alaihi wasallam:
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ditanya tentang empat
perkara, yaitu : tentang umurnya, dihabiskan untuk apa; tentang masa mudanya, dihabiskan untuk apa;
tentang hartanya, dari mana diproleh dan dibelanjakan untuk apa; dan tentang ilmunya, apa yang telah
diperbuat dengan ilmu tersebut”. (H.R. Tirmidzi, dan menurut beliau hadits ini hasan shahih).

Hadits lain adalah dari Miqdam bin Ma’di Yakrib bahwa sayyidul basyar, Muhammad shallallahu `alaihi
wasallam menepuk pundaknya, kemudian berkata:
“Wahai Qadim (Miqdam? pen,) beruntunglah kamu, jika kamu meninggal tidak dalam keadaan menjadi
amir, tidak menjadi pencatat (katib), dan tidak menjadi pemimpin”. (H.R. Abu Dawud)

Makna kata “katib” disini adalah pencatat pekerjaan dan penghitungnya. (Zakiyyudin Abdul Azhim bin
Abdul Qawiy Al Mundziri, 1986, juz 3, hal. 159)
            Sebelumnya telah dikatakan bahwa awal pencatatan transaksi di dalam buku bersamaan dengan
berawalnya negara Islam pada masa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam  sebagai akibat
bertambahnya pemasukan negara dari berbagai  penaklukan dan zakat, terutama setelah pemasukan
tersebut semakin banyak dan tidak seluruhnya dapat dibagikan pada saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa
pencatatan di dalam buku pada awal masa tersebut berjalan sesuai dengan cara yang diikuti sebelum
Islam. Tetapi, pelaksanaan pencatatan tersebut berkembang pada masa khalifah kedua, yaitu khalifah Al
Faruq Umar Ibnul Khaththab radliyallahu `anhu pada tahun 14--24 H. /636--646 M. Beliaulah yang
memerintahkan mencatat harta umum diklasifikasikan sesuai dengan sumber pendapatannya.
Perkembangan pada masa khalifah Umar Ibnul Khaththab ini meliputi penentuan hakikat buku yang
harus digunakannya dan cara mengaplikasikannya, serta dokumen-dokumen yang harus dimilikinya
sebagai asas pencatatan dan harus disimpan setelah dicatat untuk memperkuat apa yang telah dicatat.
            Pada awal kehidupan negara Islam, buku-buku akuntansi masih berupa kertas-kertas terpisah,
tidak berbentuk buku yang berjilid. Orang  pertama yang memasukkan buku-buku dan catatan yang
terjilid sebagaimana yang kita kenal pada masa tersebut adalah Khalifah Al Walid bin Abdul Malik, pada
tahun 86-96 H. /706-715 M. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 36). Ini berarti bahwa hal ini
terjadi kurang lebih tujuh ratus sembilan puluh tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Sementara itu,
sistem buku akuntansi ini telah mencapai puncaknya pada masa Daulat Abasiyyah pada tahun 132-232
H. /750-847 M. Yakni, pada tahun 132 H. /750 M. Khalid bin Burmuk terpilih menjadi kepala Diwan
Kharaj (Diwan pemasukan hasil-hasil pertanian) dan Diwan tentara. Khalid bin Burmuk melakukan
reformasi sistem kedua Diwan tersebut dan mengembangkan buku-buku akuntansi serta memberi nama
khusus terhadapnya.
            Pada masa negara Islam, buku catatan pertama dikenal dengan nama “Jaridah”. Dari sini tampak
garis hubungan antara buku Pacioli yang terbit pada tahun 1494 M. dan sumber rujukan buku tersebut,
karena pada sebagian yang disebutkannya  terdapat banyak kesamaan dengan apa yang digunakan pada
masa negara Islam. Di dalam bukunya, Pacioli telah menjelaskan bahwa buku catatan pertama yang
harus digunakan dikenal dengan nama “Journal” dalam bahasa Ingris (Brown dan Johnson, 1963, hal.
43) atau “Zornal” dalam bahasa Itali sebagaimana dikenal di kota Venice . (Martinelli, 1977, hal. 25).
Dua kata ini, yaitu Journal dan Zornal merupakan terjemahan secara harfiah dari bahasa Arab, yaitu dari
kata “Jaridah”. Jaridah adalah nama untuk buku catatan pertama pada masa negara Islam, yaitu pada
masa Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H. /749 M.,yaitu tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa asas atau sumber rujukan bagi apa
yang dipraktikkan di Republik Itali sebagaimana tersebut dalam buku Pacioli adalah apa yang telah
dipraktikkan di negara Islam. Di antara yang harus dipraktikkan di negara Islam adalah pencatatan
“Jaridah” sebelum memakainya. Pencatatan ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan, berlangsung
ketika distempel dengan stempel Sulthan. Praktik ini adalah bagi instansi-instansi pemerintahan Islam.
Barangkali juga bagi pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga khusus. Demikian pula Ibnu Khaldun yang
hidup pada masa Daulat Abbasiyyah dan menulis bukunya tahun 167 H. /784 M. Mengatakan bahwa
seorang akuntan harus memakai buku-buku akuntansi yang sesuai, dan mencatat namanya di akhir buku,
serta menstempelnya dengan stempel Sulthan. Stempel tersebut memuat nama Sulthan atau simbol
khusus bagi Sulthan. Stempel tersebut dibubuhkan di salah satu sisi buku .(halaman 205). Sesungguhnya
penggunaan kata “buku-buku akuntansi yang sesuai” oleh Ibnu Khaldun menunjukkan semenjak abad 
ke-2 Hijriyah dan barangkali sebelum itu, kaum muslimin menggunakan buku-buku akuntansi yang
beragam sesuai dengan perbedaan karakter kegiatan, baik tingkat negara maupun pribadi.
            Dahulu, “Jaridah”  digunakan untuk mencatat pemasukan-pemasukan dan pengeluaran-
pengeluaran, tetapi secara terpisah. Yakni, ada jaridah untuk pemasukan dan ada jaridah untuk
pengeluaran. Hal ini termasuk serupa dengan apa yang sekarang dikenal dengan nama Specialised
Journals. Adapun transaksi-transaksi lain dicatat dalam buku yang dikenal dengan nama Daftarul
Yaumiyyah (Daily Book/Buku Harian).
            Buku harian yang dikenal di negara Islam tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum
munculnya buku Pacioli adalah buku harian yang digunakan sekarang di dunia, dan dikenal dengan nama
General Journal. Buku harian ini dikenal di seluruh diwan di samping specialised journals. Dahulu, buku
harian ini digunakan untuk mencatat seluruh transaksi keuangan khusus bagi diwan dan transaksinya
dengan orang lain. Buku ini serupa dengan apa yang sekarang dikenal di negara-negara Arab dengan
nama Daftarul Yaumiyyatil `Ammah (Buku Harian Umum).
            Menurut An Nuwairi, yang meninggal pada tahun 734 H. /1336 M. atau kurang lebih tiga puluh
satu tahun sebelum munculnya buku  Al Mazindani, pekerjaan pembukuan tunduk pada praktik-praktik
tertentu dan jelas. Sebab,seluruh harta yang masuk atau keluar harus dicatat sesuai urutan waktu 
terjadinya, juga harus dicatat tanggal terjadinya setiap transaksi.  Demikian pula, keharusan mencatat
transaksi menurut urutan waktu terjadinya tidaklah terbatas pada transaksi-transaksi keuangan saja atau
yang memiliki nilai keuangan, tetapi mencakup juga seluruh transaksi yang berhubungan dengan diwan
dan yang lain. (An Nuwairi, hal. 273--275). Pencatatan di buku harian berlangsung dari realitas syahid
yaitu yang sekarang dikenal dengan nama journal voucher, yang disiapkan oleh akuntan, yang
melakukan pencatatan di buku. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 131--132). Hal ini
menunjukkan kesinambungan pengembangan di dalam pekerjaan akuntansi yang awalnya bersamaan
dengan munculnya negara Islam tahun 622 M., dan menjadi kokoh pada masa Khalifah Umar Ibnul
Khaththab, serta semakin kokoh pada masa Daulat Abbasiyyah. Kemudian bertambah berkembang
setelah itu sebagaimana yang kita rasakan dari apa yang disebutkan oleh An Nuwairi.
            Daulat Abbasiyyah, 132-232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lain
dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus. Sebab pada saat
itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus (Specialized Accounting Books).
Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat dengan fungsi dan tugas yang diterapkan
pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang dikenal pada masa  kehidupan negara Islam itu
adalah sebagai berikut:
1. Daftarun Nafaqat  (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini
bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
2. Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan di Diwanil
Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan
yang dikeluarkannya.
3. Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin.
Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senior negara pada saat
itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 41).    
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu serupa
dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts Receipable
Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj
digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan
untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus
dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak
yang harus dilunasi  didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang
Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363 M.)
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian piutang
menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan, yaitu
apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa inggris dikenal
dengan nama Collectable Debts.
2. Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan, yaitu apa
yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama
Bad Debts atau Uncollectable Debts.
3. Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang
diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful Debts.
(Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 141).
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu: pertama, pengaruh
kehidupan perdagangan terhadap pekerjaan akuntansi, sebagaimana yang telah kami kemukakan pada
pendahuluan Bab I; dan yang kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh terhadap penggambaran
kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk tujuan zakat. Sebab, penggambaran
kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran hak dan kewajiban. Tidak diragukan lagi
bahwa mereka mengetahui pentingnya inventarisasi para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin
diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan piutang
dalam tiga kelompok tersebut. Pengelompokan ini adalah  pengelompokan yang digunakan pada masa
kita sekarang tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali
lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal ini jika tidak
ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut pentingnya
inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan kreditur terhadap
jumlah zakat.
“ Katakankanlah,”Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan
bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?’ katakanlah, Sesungguhnya aku
diperintahkan supaya aku menjadi orang yang pertamakali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan
sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik.’” (Al An’am:14)
            Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal
system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu
dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494. Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi
adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara
melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account,
perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba.

F. Auditing Menurut Al-Qur'an


Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan
dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang
lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam
surah Asy-Syu'ara ayat 181-184 yang berbunyi:"Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah Menciptakan kamu dan umt-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut
pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan
wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan
keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah
manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam
menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia
akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan
pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari
dan dijelaskan dalam ilmu Auditing. Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut "tabayyun" sebagaimana
yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatan itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di
atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-
Israa' ayat 35 yang berbunyi: "Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." Dari paparan di
atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat
didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari
sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam
pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan
menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kesepakatan
para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak
bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus
yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai
dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai
pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Sistem ekonomi islam sudah mulai dipraktikkan dilapangan dan bukan hanya menjadi bahan diskusi para
ahli. Pada awalnya sistem ini diterapkan dalam sektor perbankan, dan kemudian juga merambat pada
sektor keuangan lainnya seperti asuransi dan pasar modal. Perkembangannya sangat pesat, saat ini tidak
kurang dari 200 lembaga keuangan Islam telah beroperasi menerapkan sistem ekonomi islam yang
terdapat diberbagai belahan dunia bukan saja dinegara Islam tetapi juga di negara non muslim. Dengan
munculnya sistem tersebut mau tidak mau lembaga ini pasti memiliki perbedaan dengan lembaga
konvensional, karena ia dioperasikan dengan menggunakan sistem nilai syariah yang didasarkan pada
kedaulatan Tuhan bukan kedaulatan rasio ciptaan Tuhan yang terbatas. Dengan demikian maka sistem
yang berkaitan dengan eksistensi lembaga ini juga perlu menerapkan nilai-nilai islami jika kita ingin
menerapkan nilai-nilai Islami secara konsisten. Maka disinilah relevansi perlunya sistem auditing Islami
dalam melakukan fungsi audit terhadap lembaga yang dijalankan secara Islami ini.

G. Dewan Pengawas Syari’ah


Dewan Pengawas Syari’ah adalah lembaga independen atau hakim khusus dalam fiqih muamalat
(Sofyan S.Harahap 2002). Dewan Pengawas Syari’ah merupakan suatu badan yang diberi wewenang
untuk melakukan supervise/pengawasan dan melihat secara dekat aktivitas lembaga keuangan syari’ah
agar lembaga tersebut senantiasa mengikuti aturan dan prinsip-prinsip syari’ah. Dewan Pengawas
syari’ah (DPS) berkewajiban secara langsung melihat pelaksanaan suatu lembaga keuangan syari’ah agar
tidak menyimpang dari ketentuan yang telah difatwakan oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang berkedudukan di Jakarta. DPS melihat secara garis besar dari aspek
manajemen dan administrasi harus sesuai dengan syari’ah, dan yang paling utama sekali mengesahkan
dan mengawasi produk-produk perbankan syari’ah agar sesuai dengan ketentuan syari’ah dan undang-
undang yang berlaku. Inilah salah satu yang membedakan dengan perbankan konvensional yang tidak
mengacu pada ketentuan syari’ah.
Dewan ini sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang, dan dibolehkan menunjuk beberapa orang
pakar ekonomi untuk membantu tugasnya, namun anggotanya tidak boleh merangkap sebagai direktur
atau komisaris utama (Pressident commissioner atau significant shareholders) dari institusi keuangan
tersebut. Pembubaran atau penggantian anggota dewan syari’ah mesti mendapat rekomendasi direktur
dan mendapat pengesahan dari pemegang saham (shareholders) dalam  Rapat UmumPemegang Saham
(RUPS) atau general meeting.
Dewan Pengawas Syari’ah pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) dalam merealisasikan fatwa-fatwa yang telah diputuskan DSN . DPS berperan sebagai
pengawas dari lembaga-lembaga keuangan syari’ah; bank syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal
syari’ah,dan lain-lain. DPS tidak terlibat secara langsung dalam pelaksanaan manajemen lembaga
keuangan syari’ah karena hal ini sudah menjadi tanggung jawab langsung dibawah wewenang direksi
suatu lembaga keuangan syari’ah. Namun DPS berhak memberikan masukan (in-put) kepada pihak
pelaksana lembaga tersebut.

H. Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI)   


Pada awalnya organisasi ini bernama Financial Accounting Organization for Islamic Banks and
Financial Institution di dirikan pada tanggal 1 Safar 1410 H atau 26 Pebruari 1990 di Aljiria.
Prinsip Umum Audit AAOIFI;
1. Auditor lembaga keuangan Islam harus mematuhi “Kode etik profesi akuntan” yang dikeluarkan oleh
AAOIFI dan the International Federation of Accountants yang tidak bertentangan dengan aturan dan
prinsip Islam.
2. Auditor harus melakukan auditnya menurut standar yang dikeluarkan oleh Auditing Standar for
Islamic Financial Institutions (ASIFIs).
3. Auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan kemampuan professional, hati-hati dan
menyadari segala keadaan yang mungkin ada yang menyebabkan laporan keuangan salah saji.

Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Accounting and Auditing
Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yaitu :
1. Menentukan tujuan berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai
bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku saat ini.
2. Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kapitalis kemudian mengujinya menurut
hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak hal-hal yang
bertentangan dengan syariah.

Kode Etik Profesi Akuntan Islam


Bagaimana pengatauran Kode Etik Profesinya? Etika sering disebut moral akhlak, budi pekerti adalah
sifat dan wilayah moral, mental, jiwa, hati nurani yang merupakan pedoman perilaku yang idial yang
seharusnya dimiliki oleh manusia sebagai mahluk moral. Kode Etik Akuntan ini adalah merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari syari’ah islam. Dalam sistem nilai Islam syarat ini ditempatkan
sebagai landasan semua nilai dan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam setiap legislasi dalam
masyarakat dan negara Islam. Namun disamping dasar syariat ini landasan moral juga bisa diambil dari
hasil pemikiran manusai pada keyakinan Islam. Beberapa landasan Kode Etik Akuntan Muslim ini
adalah :
1. Integritas : Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu seluruh perilakunya.
Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan kualifikasi tertentu untuk melaksanakan
suatu kewajiban;
2. Keikhlasan : Landasan ini berarti bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam
melaksanakan pekerjaannya bukan mencari nama, pura-pura, hipokrit dan sebagai bentuk kepalsuan
lainnya. Menjadi ikhlas berarti akuntan tidak perlu tunduk pada pengaruh atau tekanan luar tetapi
harus berdasarkan komitmen agama, ibadah dalam melaksanakan fungsi profesinya. Tugas profesi
harus bisa dikonversi menjadi tugas ibadah;
3. Ketakwaan : Takwa merupakan sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi
maupun terang-terangan sebagai salah satu cara untuk melindungi seseorang dari akibat negatif dari
perilaku yang bertentangan dari syari’ah khususnya dlam hal yang berkitan dengan perilaku terhadap
penggunaan kekayan atau transaksi yang cenderung pada kezaliman dan dalam hal yang tidak sesuai
dengan syari’ah;
4. Kebenaran dan Bekerja Secara Sempurna : Akuntan tidak harus membatasi dirinya hanya
melakukan pekerjaan-pekerjaan profesi dan jabatannya tetapi juga harus berjuang untuk mencari dan
mnenegakkan kebenaran dan kesempurnaan tugas profesinya dengan melaksanakan semua tugas yang
dibebankan kepadanya dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Hal ini tidak akan bisa
direalisir terkecuali melalui kualifikasi akademik, pengalaman praktik, dan pemahaman serta
pengalaman keagamaan yang diramu dalam pelaksanaan tugas profesinya. Hal ini ditegaskan dalam
firman Allah dalam Surat An Nahl ayat 90 : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil dan
berbuat kebajikan, dan dalam Surat Al Baqarah ayat 195 : Dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik
5. Takut kepada Allah dalam setiap Hal : Seorang muslim meyakini bahwa Allah selalu melihat dan
menyaksikan semua tingkah laku hambaNya dan selalu menyadari dan mempertimbangkan setiap
tingkah laku yang tidak disukai Allah. Ini berarti sorang akuntan/auditor harus berperilaku takut
kepada Allah tanpa harus menunggu dan mempertimbangkan apakah orang lain atau atasannya setuju
atau menyukainnya. Sikap ini merupakan sensor diri sehingga ia mampu bertahan terus menerus dari
godaan yang berasal dari pekerjaan profesinya. Sikap ini ditegaskan dalam firman Allah Surat An
Nisa ayat 1 : Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Dan dalam Surat Ar Rad
Ayat 33 Allah berfirman : Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang
diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya). Sikap pengawasan diri berasal dari
motivasi diri berasal dari motivasi diri sehingga diduga sukar untuk dicapai hanya dengan kode etik
profesi rasional tanpa diperkuat oleh ikatan keyakinan dan kepercayaan akan keberadaan Allah yang
selalu memperhatikan dan melihat pekerjaan kita. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Thaha ayat
7 : Sesungguhnya dia mengetahui rahasia dan apa yang lebih tersembunyi;
6. Manusia bertanggungjawab dihadapan Allah : Akuntan Muslim harus meyakini bahwa Allah
selalu mengamati semua perilakunya dan dia akan mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya
kepada Allah nanti di hari akhirat baik tingkah laku yang kecil amupun yang besar. Sebagaimana
firman Allah dalam Surat Al Zalzalah ayat 7-8 : Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat
zarrah niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan
seberat zarrahpun niscaya dia akan melihat balasnya pula.

Oleh karena itu akuntan/auditor harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua
pekerjaannya dihadapan Allah dan juga kepada publik, profesi, atasan dan dirinya sendiri. Gambaran
singkat ini mudah-mudahan menggugah kita bahwa auditing syari’ah sudah mulai berkembang sejalan
dengan perkembangan sistem ekonomi islam.
BAB IV
KESIMPULAN

Dari tulisan ini kami berkesimpulan sebagai berikut ;


1. Auditing dan akuntansi dalam Islam sudah dikenal dizaman Rasulullah berarti 14 abad silam, beliau
mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani perofesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul
amwal”  hal ini merujuk Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 282 yang secara explisit  menjelaskan fungsi-
fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan dalam
kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani. Rasulullah memiliki 42 orang penulis yang memiliki
spesialisasi didalam pemerintahannya di Madinah, Rasulullah memilih pegawainya dari kalangan
sahabat yang memiliki kapabilitas serta kemampuan dan kelayakanuntuk menduduki jabatan yang
diamanatkan.
2. Pada masa awalnya buku pencatatan dalam Islam dinamakan “jaridah” yaitu pada masa pemerintahan
Daulat Abbasiyyah, sekitar tahun 132 H. ini menunjukan bahwa Daulat Abbasiyyah sudah mengenal
akuntasi tujuh ratus empat puluh lima tahun sebelum penulis Italia Pacioli yang menulis “journal” dalam
bahasa Inggris, secara etimologi dua kata “journal” dan “Zornal “ adalah makna dari kata “jaridah” buku
catatan pertama pada Negara Islam. Dengan semakin berkembangnya system keuangan dimasa
Abbasiyyah, maka semakin spesipik pencatatan-pencatatan transaksi keuangan dengan ditemukannya
berbagai macam buku, mulai dari pendapatan, biaya, harta, hingga buku hutang dan piutang. Dengan
demikian, dapat dilihat dari sejarah bahwa Islam ternyata lebih dahulu mengenal system akuntansi,
karena Al-Qur'an telah diturunkan 610 M, yakni 800 tahun lebih dari buku yang yang ditulis Luca
Pacioli pada tahun 1494.
3. Al-Ghazali menekankan bahwa perkembangan tujuan penggunaan akuntansi adalah perhatian terhadap
pengawasan diri, ini adalah dasar dari pengawasan yang lebih luas lagi karena jika seseorang telah
mengawasi dirinya, maka ia telah melakukan evaluasi terhadap dirinya sehingga pengawasan institusi
atau organisasi yang lebih luas hasilnya akan lebih baik, dan pada akhirnya menghasilakan kinerja
keuangan yang kredibel. Hal ini berdasarkan Al-Qur'an menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain
dalam surah al-Baqarah ayat 284.
4. Para auditor, dalam menjalankan fungsinya secara hukum berpedoman kepada kode etik yang
dikeluarkan oleh AAOIFI dan International Federation of Accountants yang tidak bertentangan dengan
aturan dan prinsip Islam. AAOIFI di dirikan pada tanggal 1 Safar 1410 atau 26 Pebruari 1990 di Aljiria.
Di Indonesia telah dibentuk Dewan Syari’ah Nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah pada  tahun 2000,
dan dibawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
DAFTAR PUSTAKA
Sofyan S. Harahap Auditing Dalam Perspektif Islam Pustaka Quantum Jakarta 2002
Sofyan S. Harahap Teori Akuntansi Laporan Keuangan  Bumi Aksara Jakarta 1994
Sofyan S. Harahap  Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam Pustaka Quantum Jakarta 2001 Kell, Johnson,
William C. Boynton. Modern Auditing. Seventh Edition. New York.. John          Wiley & Sons. 2001
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Banyak yang terjadi pada sistem auditing yang belum sesuai dengan standard auditing itu sendiri, apalagi
standard auditing syari’ah yang harus diuji kebenarannya dan sesuai dengan standard auditing syari’ah
yang telah ditetapkan. Dari itu kami ingin membahas tentang standard auditing syarah yang telah
ditetapkan.
Dalam auditing syari’ah banyak hal yang hal yang berbeda dengan auditing lainnya, atau sistem auditing
yang umum. Maka dari itu kami ingin memaparkan standard auditing syari’ah yang telah ditetapkan oleh
AAOIFI.
B. Tujuan
Tujuan kami membuat makalh ini adalah untuk menjelaskan standard auditing syari’ah yang telah
ditetapan oleh AAOIFI, sehingga para pihak audit bisa terstruktur dalam melakukan audit baik pada
lembaga keuangan maupun instansi lain yang terkait.

BAB II
STANDARD AUDITING AAOIFI
A. Standard Auditing untuk LKS (lembaga keuangan syari’ah) AAOIFI
1. Tujuan organisasi ini adalah
a. Mengembangkan pemikiran akuntansi dan auditing yang relefan dengan lembaga keuangan
b. menyamakan pemikiran akuntansi dan auditing yang relevan pada lembaga keuangan dan
penerapannya melalui pelatihan, seminar, penerbitan jurnal yang berkaitan dengan hasil riset
c. menyajikan, mengumumkan dan menafsirkan standard akuntansi dan auditing untuk lembaga
keuangan islam
d. mereviu dan merubah standard akuntansi dan auditing untuk lemnaga keuangan islam 
struktur orgsnisasi AAOIFI ini terdiri dari general asembley (majlis umum) yang beranggotakan
pendiri dan nonpendiri.

2. Anggota Board of trustees terdiri dari


a. Badan pengatur dan pengawas 
b. Lembaga keuangan islam
c. DPS
d. Profesor dari berbagai universitas
e. Organisasi dan Asosiasi yang bertugas mengatur profesi akuntansi dan atau yang bertanggung
jawab untuk menyusun standard akuntansi dan auditing
f. Akuntan terdaftar dan para pemakai laporan keuangan lembaga keuangan islam 

3. wewenang dari board of trustees


a. Menunjuk dan memberhentikan Chairman dan Anggota Acounting dan auditing standad boards
b. Mengatur sumber dana AAOIFI
c. Menunjuk komite Eksekutif diantara anggota Board of trustees dan standard board
d. Menunjukkan sekretaris jendral 

Namun mereka ini tidak berhak untuk mengarahkan atau mempengaruhi standard board dalam
merumuskan standard Akuntansi dan auditing dalam bentuk apapun. Standard auditing menurut
AAOIFI atau dikenal dengan nama “ Auditing standard for Islamic institution” (ASIFIs) No 1
dengan judul “Tujuan dan Prinsip Audit” yang disusun oleh tim yang beranggotakan 14 orang dan
standard ini berlaku sejak tanggal 1 Muharram 1418 H atau 1 Januari 1998. standard ini disahkan
pada pertemusn Dewan yang ke 11 yang dilaksanakan pada tanggal 2-3 Muharram 1417 atau 19-20
Mei 1996. dewan diketuai oleh Abdul Malik yoesef Al Hamar.

4. Tujuan standard Auditing


Tujuan dari standard auditing untuk lembaga keuangan adalah untuk menetapkan standard dan
memberikan pedoman mengenai tujuan dan prinsip umum pelaksanaan aidit atas laporan keuangan
yang disajikan oleh lembaga keungan islam yang beroperasi sesuai dengan prinsip dan aturan
syari’ah.
Tujuan audit adalah agar auditor mampu menyatakan suatu pendapat apakah laporan keungan yang
disusun oleh lembaga keuangan itu, dari semua aspek yang bersifat material “true and fair” atau
benar dan wajar sesuai dengan aturan dan prinsip syari’ah,standard Akuntansi IIAOIFI, serta
standard dan praktek Akuntansi nasional yang berlaku di Negara itu. 
5. Prinsip umum Audit AAOIFI adalah:
a. auditor lembaga keuangan islam harus mematuhi “kode etik profesi akuntan” yang dikeluarkan
oleh AAOIFI dan the international federation of accountants yang tidak bertentangan dengan
aturan dan prinsip islam
b. auditor harus melakukan auditnya menurut standard yang dikeluarkan oleh auditing standard for
Islamic financial institutions (ASIFIs)
auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan kemampuan profesinal, hati-hati
dan menyadari segala keadaan yang mungkin ada yang menyebabkan laporan keuangan salah
saji 
6. Skop Audit
Skop audit adalah cakupan audit yang harus dilaksanakan oleh auditor dalam melaksanakan audit
atas Lembaga Keuangan Islam. Prosedur yang dibutuhkan untuk melakukan audit sesuai dengan
standard audit untuk lembaga keuangan islam ini harus ditentukan oleh auditor dengan berpedoman
pada persyaratan yamg ditentukan oleh:
a. Aturan dan Prinsip Islam
b. Standard ASIFIs
c. Badan Profesi Resmi
d. Peraturan Legislasi lainnya
e. Peraturan dan prinsip yang tidak bertentangan dengan aturan islam yang berkaitan dengan
penugasan
f. International Standard on Auditing dianggap termasuk didalam aturan ini sepanjang tidak
bertentangan dengan ASIFIs 

7. Keyakinan yang wajar


Audit dilakukan untuk memberikan keyakinan yang wajar bahwa laporan keuangan secara
menyeluruh bebas dari kesalahan saji material. Namun demikain kita harus juga menyadari bahwa
ada keterbatasan kemapuan auditor dalam menemukan kesalahan saji itu. Keterbatasan itu berasal
dari:
a. Penggunaan metode sampling dalam audit
b. Keterbatasan sistem akuntansi, pengawasan internal
c. Kemungkinan kolusi yang tidak ditemukan
d. Fakta yang menyatakan bahwa sebagian besar bukti itu bersifat persuasif bukan bersifat
konklusif
e. Pendapat akuntan itu sendiri adalah
Judgment yang diambil dari proses pengumpulan bukti audit yang dilakukan secara judgment
juga, misalnya dalam menentukan waktu, batas dan luas pemeriksaan.
Judgment sewaktu mengambil kesimpulan dari bukti yang dikumpulkan, misalnya dalam menilai
kewajaran, taksiran, yang dibuat manajement dalam laporan keuangan
f. Laporan keuangan itu sendiri mengandung transaksi yang dilakukan dengan pihak yang
memiliki hubungan istimewa 
8. Tanggung jawab terhadap laporan keuangan
  Audotor bertanggungjawab untuk menetapkan dan menyatakan pendapat atas laporan keuangan.
Sedangkan manajemen bertanggungjawab menyajikan laporan keuangan yang sesuai dengan aturan
dan prinsip syari’ah dan peraturan resmi lainnya. Pelaksanaan audit tidak berarti melepaskan
tanggungjawab manajemen terhadap penyajian laporan keuangan. 
9. Prinsip etika profesi:
Prinsip etika yang mengatur professi dan tanggungjawab akuntan adalah:
a. kebenaran (righteousness)
b. integritas (integrity)
c. dapat dipercaya (trustworthiness)
d. keadilan dan kewajaran (fairness)
e. kejujuran (honestly)
f. bebas dari segala kepentingan (independent)
g. objektif (objectivity)
h. kemampuan professional (professional competence)
i. bekerja hati-hati (due professional care)
j. menjaga kerahasiaan (confidentiality)
k. perilaku professional (professional behaviour)
l. menguasai standard teknis (technical standars) 
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Standard auditing menurut AAOIFI atau dikenal dengan nama “ Auditing standard for Islamic
institution” (ASIFIs) No 1 dengan judul “Tujuan dan Prinsip Audit” yang disusun oleh tim yang
beranggotakan 14 orang dan standard ini berlaku sejak tanggal 1 Muharram 1418 H atau 1 Januari 1998.
standard ini disahkan pada pertemusn Dewan yang ke 11 yang dilaksanakan pada tanggal 2-3 Muharram
1417 atau 19-20 Mei 1996. dewan diketuai oleh Abdul Malik yoesef Al Hamar.
Tujuan dari standard auditing untuk lembaga keuangan adalah untuk menetapkan standard dan
memberikan pedoman mengenai tujuan dan prinsip umum pelaksanaan aidit atas laporan keuangan yang
disajikan oleh lembaga keungan islam yang beroperasi sesuai dengan prinsip dan aturan syari’ah.
2. Saran
Saran kami dalam makalah ini adalah sebaiknya demi kemajuan dalam sebuah perusahaan maka perlu
adanya standard auditing yang telah ditetapkan oleh AAOIFI yang bisa dijadikan sebagai pedoman atau
arahan bagi lembaga keuangan syari’ah yang beroperasi diseluruh dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA

Sofyan safri harahap, Auditing dalam perspektif islam,Pustaka Quantum, Jakarta.2002. 

Standard auditing syari’ah www.indoskripsi.com 


 
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji dan syukur kehadirat
Allah SWT berkat rahmat dan karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini,
shalawat serta salam kita hadiahkan keatas junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Berkat pertolongan Allah SWT, kami dapat menyelesaikan makalah ini yang judul pembahasannya
adalah tentang “ Standard Auditing AAOIFI“. Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Oleh karena itu, kami
mengharapkan adanya saran yang membangun dari teman-teman dan para pembaca agar makalah ini dapat
tersusun dengan lebih baik, dan juga untuk perbaikan selanjutnya.
Demikianlah semoga Allah SWT, memberikan ridho-Nya kepada kita semua. Amin

Bengkalis, 05 Mei 2008

Penulis 
 
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi i
BAB I : Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1
BAB II : Standard Auditing AAOIFI 2
A. Standard Auditing untuk LKS 2
1. Tujuan Organisasi 2
2. Wewenang dari Board of trustees 3
3. Tujuan Standard Auditing 3
4. Prinsip umum Audit AAOIFI 4
5. Skop Audit 4
6. Keyakinan yang wajar 5
7. Tanggung Jawab terhadap laporan keuangan 5
8. Prinsip etika profesi 6
BAB III: Penutup 7
A. Kesimpulan 7
B. Saran 7
Daftar Pustaka 8
 
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
(data yang kami gunakan kurang update, jadi salahkan di cek kembali)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan bisnis syariah yang terjadi di sektor perbankan, asuransi, pasar modal dan
jasa keuangan syariah lainnya. Akan tetapi dalam mendukung kinerjanya perlu peran Dewan Pengawas
Syariah (DPS).
Dewan Pengawas Syariah (DPS) merupakan salah satu bagian penting dari institusi Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia. Kedudukan dan fungsinya secara sederhana hanya diatur dalam
salah satu bagian dalam SK yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berkenaan
tentang susunan pengurus DSN-MUI.
Untuk itu perlu kiranya kita membahas mengenai Dewan Pengawas Syariah yang merupakan
lembaga memberikan fatwa dalam hal boleh atau tidaknya dalam melakukan transaksi tersebut. Untuk itu
ada beberapa permasalah.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Dewan Pengawas Syariah?
2. Peran Dewan Pengawas Syariah?
3. Problematika Dewan Pengawas Syariah?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Dewan Pengawas Syariah
2. Mengetahui apa peran Dewan Pengawas Syariah terhadap Perusahaan
3. Mengetahui Problematika Dewan Pengawas Syariah dan memberikan Solusi terhadap masalah yang
terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian, Kedudukan, Status, dan Anggota DSN1[1]


1. Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh MUI untuk menangani masalah-masalah
yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah.
2. DSN merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia
3. DSN membantu pihak terkait, seperti Departemen keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam
menyusun peraturan/ ketentuan untuk lembaga keuangan syariah
4. Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan
muamalah syariah
5. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa bakti sama dengan periode masa bakti
pengurus MUI Pusat 5 (lima) tahun.
J. Tugas dan Wewenang DSN2[2]
Tugas DSN
1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya
dan keuangan pada khususnya
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah
Wewenang
1. Mengeluarkan fatwa yang mengikut DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi
dasar tindakan hukum pihak terkait
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/ peraturan yang dikeluarkan oleh instansi
yang berwenang, seperti depkeu dan BI
3. Memberikan rekomendasi dan/ atau mencabut rekomendasi naa-nama yang akan duduk sebagai DPS
pada suatu lembaga keuangan syariah
4. Mengundang para ahli menjelaskan sautu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi
syariah, termasuk otoritas moneter/ lembaga keuangan dalam maupun luar negeri
5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari
fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN
6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak
diindahkan.
K. Pengertian, Fungsi dan Struktur DPS3[3]
1. Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ada dilembaga keuangan syariah tersebut.
2. Dewan Pengawas Syariah diangkat dan diberhentikan di Lembaga Keuangan Syariah melalui RUPS
setelah mendapat rekomendasi dari DSN.
Fungsi Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai berikut:
1. DPS melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah
pengawasannya.
2. DPS berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada
pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN.
3. DPS melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya
kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran.
4. DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.

Struktur DPS
1. DPS dalam struktur perusahaan berada setingkat dengan fungsi komisaris sebagai pengawas Direksi.
2. Jika fungsi komisaris adalah pengawas dalam kaitan dengan kinerja manajemen, maka DPS
melakukan pengawasan kepada manajemen, dalam kaitan dengan implementasi sistem dan produk-
produk agar tetap sesuai dengan syariah Islam.
3. Bertanggung jawab atas pembinaan akhlak seluruh karyawan berdasarkan sistem pembinaan
keislaman yang telah diprogramkan setiap tahunnya.
4. Ikut mengawasi pelanggaran nilai-nilai Islam di lingkungan perusahaan tersebut.
5. Bertanggung jawab atas seleksi syariah karyawan baru yang dilaksanakan oleh Biro Syariah.
Contoh struktur organisasi di PT. Bank Mandiri Syariah tbk:4[4]

1[1] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general), (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 543
2[2] Ibid.
3[3] Ibid, h. 541-542
4[4] DPS dibentuk oleh BANK MANDIRI SYARIAH berdasarkan pengesahan RUPS setelah adanya Keputusan
Dewan Syariah Nasional (DSN) dan persetujuan BI. Tujuan dan tugas utamanya adalah mewakili pihak DSN untuk
membantu independensi fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan fatwa-fatwa DSN. DPS juga bertugas mengarahkan,
memeriksa dan mengawasi kegiatan Bank guna menjamin bahwa Bank telah beroperasi sesuai dengan aturan dan
prinsip-prinsip syariah. Saat ini DPS beranggotakan 3 (tiga) orang dengan komposisi :
a. Ketua DPS (pihak independen berpengetahuan fiqih syariah)
b. Anggota DPS (pihak independen berpengetahuan fiqih dan ekonomi syariah)
Sebagai contoh DPS di BSM adalah sebagai berikut:
Prof. DR. Komaruddin Hidayat
Ketua
Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, MEc Drs. H. Mohammad Hidayat, MBA.
Anggota Anggota

L. DPS berdasarkan AAOIFI5[5]


Organisasi akuntansi dan audit atas institusi finansial Islami (Accounting and Auditing Organization
of Islamic Financial Institutions = AAOIFI) telah menyiapkan standar untuk dewan pengawas Syariah,
komposisinya, dan aspek terkaitnya seperti peraturan, laporan dan sebagainya. Menurut standar ini,
dewan syariah harus merupakan dewan independen yang terdiri atas banyak fuqaha terkait ilmu hukum
komersial Islami. Ia dapat pula terdiri atas ahli-ahli lain dalam bidang institusi finansial Islami dengan
pengetahuan mengenai ilmu hukum Islami yang berkaitan dengan transaksi komersial.
Dewan syariah dipercayai dengan tugas untuk mengarahkan, meninjau, dan mengawasi aktivitas
institusi finansial Islami guna memastikan ia telah sesuai dengan peraturan dan prinsip syariah Islami.
Fatwa dan peraturan dewan pengawas syariah bersifat mengikat bagi institusi finansial Islami.
Menurut standar AAOIFI, dewan syariah setidaknya harus terdiri atas tiga anggota cendekiawan
syariah. Ia dapat mencari jasa dari konsultan yang memiliki keahlian dalam bisnis, ekonomi, hukum,
akuntansi, dan/atau bidang lain. Ia seharusnya tidak memasukkan direktur atau pemegang saham
signifikan dari institusi finansial Islami.
Berikut rumusan kata ilustratif dari laporan dewan syariah mengenai kegiatan institusi finansial
Islami:
“kita telah meninjau prinsip dan kontrak (akad) yang berkaitan dengan transaksi dan aplikasi yang
diperkenalkan oleh institusi finansial Islami (IFI) selama periode yang berakhir..... kita juga telah
melakukan peninjauan guna membentuk opini mengenai apakah institusi telah mengikuti peraturan dan
prinsip syariah serta juga sesuai dengan fatwa, peraturan, dan pedoman spesifik yang diterbitkan oleh
kami. (AAOIFI, 2004-5b, Standar Pemerintah No. 1 Dewan Pengawas Syariah, paragraf 13)
Kami telah melakukan peninjauan, yang melibatkan pemeriksaan, dengan menggunakan tes untuk
setiap jenis transaksi, dokumentasi dan prosedur yang relevan yang diadopsi oleh IFI. Kami
merencanakan dan melakukan peninjauan guna memperoleh semua informasi dan penjelasan yang kami
anggap perlu dalam memberi kami bukti yang memadai untuk memberikan kepastian yang sewajarnya
bahwa institusi terkait tidak melanggar peraturan dan prinsip syariah” (AAOIFI, 2004-5b, Standar
Pemerintah No. 1 Dewan Pengawas Syariah, paragraf 16)
Dewan syariah seharusnya hanya memusatkan perhatian pada kesesuaian syariah dari struktur
finansial, termasuk produk, dokumentasi, dan proses transaksi. Bila diperlukan, laporan dari dewan harus
mencantumkan pernyataan yang jelas bahwa laporan keuangan telah diperiksa untuk kesesuaianya
dengan basis syariah dalam pengalokasian keuntungan di antara pemegang ekuitas dan deposan.
Laporan dewan syariah sebaiknya juga mencantumkan pernyataan yang jelas bahwa semua
pendapatan didapatkan dari sumber-sumber atau melalui cara-cara yang dilarang oleh peraturan dan
prinsip syariah Islami telah diberikan untuk amal. Dalam kasus pelanggaran terhadap salah satu
peraturan dan pengaturan syariah dari dewan syariah, dewan harus meindikasikan pelanggarannnya
dalam laporan. Dewan syariah pusat juga dapat menyetujui kriteria fit and proper untuk penunjukkan
penasihat syariah dalam intitusi perbankan Islami.
AAOIFI juga telah menerbitkan standar mengenai peninjauan syariah oleh dewan syariah (standard
governance No. 2) dan peninjauan syariah internal (standard governance N. 3) oleh departemen audit
internal dari bank masing-masing. Peninjaun syariah biasanya dilaksanakan dalam tahap-tahapan berikut:
1. Perencanaan prosedur peninjauan
2. Pelaksanaan prosedur peninjauan dan persiapan dokumen kerja
3. Pendokumentasian kesimpulan dan laporan.
Peninjauan syariah internal seharusnya dilakukan untuk memeriksa dan mengevaluasi jngkauan
kesesuaian atas peraturan syariah dari sudut pandang pedoman yang telah disediakan oleh pengawas syariah.

M. Dasar Hukum6[6]
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Perkreditan Rakyat
berdasarkan Prinsip Syariah.

c. Anggota DPS (pihak independen berpengetahuan perbankan syariah)


DPS terus meningkatkan perannya terhadap pelaksanaan operasional Bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi
Bank dan mengkaji produk/jasa baru yang belum ada fatwanya untuk dimintakan kepada DSN. Laporan hasil
pengawasan syariah dibuat mengikuti ketentuan yang berlaku untuk disampaikan kepada Direksi, Komisaris, DSN, dan
BI. (sumber: http://arifsubarkah.wordpress.com/2010/04/12/struktur-organisasi-pt-bank-mandiri-syariah/)
5[5] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, diterjemahkan oleh Aditya Wisnu Pribadi, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 590-591
6[6] http://naifu.wordpress.com/2011/12/28/dewan-pengawasan-syariah-dasar-hukum-persyaratan-anggota-serta-tugas-
dan-wewenangnya/
2. Peraturan Bank Indonesia No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober tentang Bank Umum  yang
melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah yang lalu di ubah dengan Peraturan
Bank Indonesia  No.7/35/PBI/2005 tanggal 29 September 2005 tentang Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha yang berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Peraturan Bank Indonesia No.8/3/PBI/2006 tanggal 30 Januari tentang perubahan kegiatan usaha
Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum yang melaksanakan  kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah oleh Bank Umum Konvensional.
Semua Peraturan Bank Indonesia (PBI) tersebut  mewajibkan setiap Bank Syariah harus memiliki
Dewan Pengawasan Syariah (DPS).

N. Tugas, Wewenang Dan Tanggung jawab DPS7[7]


Tugas, Wewenang dan Tanggungjawab Dewan Pengawas Syariah (DPS) antara lain;
1. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Bank terhadap fatwa yang telah
ditetapkan oleh DSN-MUI.
2. Menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional. Dan produk yang dikeluarkan Bank.
3. Memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional Bank secara keseluruhan dan
laporan publikasi Bank.
4. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN-MUI.
5. Menyampaikan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6 bulan kepada Direksi,
Komisaris, DSN-MUI dan Bank Indonesia.
Adapun Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dalam Bank Syariah Mandiri
adalah8[8]:
1. Memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan
Prinsip Syariah
2. Menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang
dikeluarkan Bank
3. Mengawasi proses pengembangan produk baru Bank
4. Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya
5. Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap mekanisme
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank
6. Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka
pelaksanaan tugasnya.
O. Prosedur Penerapan Anggota DPS9[9]
Sebelum mendapat penetapan dari DSN-MUI dan persetujuan dari Bank Indonesia pihak Bank
wajib mengajukan calon untuk anggota DPS. Permohonan Pengajuan ini ditunjukan kepada Bank
Indonesia setelah mendapat rekomendasi dasi DSN-MUI.
Ada 2 hal yang dilakukan Bank Indonesia dalam hal memberikan persetujuan atas permohonan
anggota DPS, yaitu;
1. Penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen.
2. Melakukan wawancara kepada calon anggota DPS.
Dua  hal tersebut dilakukan untuk memenuhi ketentuan Bank Indonesia khususnya untuk
kompetensi mengenai pemahaman operasional Bank Syariah. Sedangkan penetapan dari DSN-MUI
dilakukan untuk kompetensi pemahaman mengenai Prinsip Syariah.
Sedangkan prosedur surat permohonannya adalah sebagai berikut;
1. Lima Belas (15) hari sejak diterbitkannya surat persetujuan Bank Indonesia, permohonan untuk
mendapatkan penetapan DSN-MUI sudah wajib disampaikan.
2. Tiga Puluh (30) hari sejak diterbitkanya surat persetujuan Bank Indonesia, DSN-MUI wajib
menetapkan calon untuk anggota DPS.
3. Sepuluh (10) hari setelah pengangkatan anggota DPS, anggota DPS melalui Bank wajib melaporkan
diri kepada Bank Indonesia.

P. Kewajiban Bank Syariah Terhadap DPS10[10]


Bank Syariah wajib memberikan fasilitas kepada DPS guna mendukung kinerja pengawasan
syariah untuk melaksanakan tugas serta wewenang dan tanggungjawab selaku DPS, antara lain:
1. Mengakses data dan informasi yang diperlukan terkait dengan pelaksanaan tugasnya serta
mengklarifikasikannya kepada manajemen Bank.
2. Memanggil dan meminta pertanggungjawaban dari segi syariah kepada manajemen Bank.
3. Memperoleh fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas secara efektif.
4. Memperoleh imbalan sesuai dengan aturan perseroan.
7[7] naifu.wordpress.com/2011/12/28/dewan-pengawasan-syariah-dasar-hukum-persyaratan-anggota-serta-tugas-dan-
wewenangnya/
8[8] http://www.syariahmandiri.co.id/category/info-perusahaan/organisasi/pimpinan/dewan-pengawas-syariah/
9[9] Ibid.
10[10] Ibid.
Q. Jumlah Anggota dan Perangkapan Keanggotaan DPS11[11]
DPS dapat melakukan perangkapan jabatan dalam rangka penerapan prinsip Good Corporate
Governance dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka DPS dapat melakukan perangkapan
jabatan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Jumlah anggota DPS sekurang-kurangnya 2-5 orang untuk Bank Umum Syariah Dan Unit Usaha
Syariah, sedangkan untuk BPRS anggota DPS sekurang-kurangnya harus berjumlah 2-3 orang.
2. Anggota DPS dapat merangkap jabatan sebagai anggota DPS lain sebanyak 4 Bank lain atau
lembaga keuangan Syariah bukan Bank.
Sedangkan dalam referensi lain Jumlah anggota DPS tersebut telah memenuhi ketentuan apabila
sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tanggal 29 Januari 2009 yang menetapkan bahwa
anggota DPS sekurang-sekurangnya sebanyak 2 (dua) orang dan maksimal sebanyak 50% dari jumlah
Direksi, atau bagi Bank Muamalat sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang 12[12].
Anggota DPS dapat merangkap jabatannya sebagai anggota DSN-MUI sebanyak 2 orang dari
lembaga keuangan Syariah.
Dasar hukum perangkapan jabatan anggota DPS yaitu;
1. Untuk Bank Umum Syariah dan Usaha Unit Syariah  sebelum dikeluarkannya PBI
No.6/24/PBI/2004 yang telah diubah dengan PBI No.7/35/PBI/2005 serta PBI No.8/3/PBI/2006
harus disesuaikan selambat-lambatnya tanggal 14 Oktober 2007.
2. Untuk BPRS sebelum dikeluarkannya PBI No.6/17/PBI/2004 harus disesuaikan selambat-lambatnya
1 Juli 2007.

R. Pengawasan Penerapan Prinsip Syariah13[13]


Di Indonesia, fatwa ulama mengenai produk dan jasa keuangan syariah diberikan oleh Majelis
Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional. Kemudian untuk mengawasi pelaksanaan pemberian
produk dan jasa keuangan oleh lembaga keuangan Dewan Syariah Nasional akan menunjuk Dewan
Pengawas Syariah untuk tiap lembaga keuangan yang bersangkutan.
Peran DSN dan DPS memang tidak terbatas pada pemberian fatwa atas produk, jasa dan transaksi
keuangan yang akan dilakukan oleh lembaga keuangan, tetapi juga harus menentukan proses purifikasi
dan memonitor pengelolaan lembaga keuangan. Secara umum tugas DSN dan DPS meliputi:
a. Penentuan transaksi keuangan yang diperbolehan. Transaksi dalam keuangan haruslah sesuai dengan
syariah. Apabila penerapan prinsip syariah tidak dilaksanakan dengan konsisten (istiqomah)
walaupun kreatif (fathonah) dalam menjalankannya tentu akan menurunkan nilai hakiki dari prinsip
syariah itu sendiri.
b. Purifikasi. Purifikasi adalah memisahkan yang haram (yang terpaksa ada dan jumlahnya relatif kecil)
dari yang halal, bukan memisahkan yang halal dari yang haram.
c. Advokasi untuk nasabah funding dan lending. Transaksi keuangan syariah harus memberikan
perlindungan terhadap yang haram khususnya untuk menjaga keimanan, kehidupan, dan akal
mereka. Dan memberikan kepentingan nasabah secara proporsional.
d. Monitor kepatuhan. Pengawasan kepatuhan dapat dilakukan dengan memonitor pelaksanaan sejak
awal hingga akhir, termasuk kajian atas dokumentasi transaksi, dan membuat laporan yang akurat
dan tepat waktu atas penyimpangan yang ada.
e. Kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Ide dasar dari ekonomi Syariah juga untuk memanfaatkan
sumber daya yang telah diciptakan Allah Swt dan diciptakan untuk kemashlahatan manusia.
f. Tanggung jawab sosial
Mengingat tingkat pemahaman dan kecanggihan ekonomi syariah masih relatif rendah maka
tanggung jawab sosial ini juga dapat mencakup tanggung jawab peningkatan pendidikan ekonomi
syariah.

S. Peran Dewan Pengawas Syariah14[14]


Dalam pasal 10 ayat (1 s.d 3) peraturan ketua badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor: Per-03/BI/2007 tentang kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah telah
dikemukakan mengenai peran dewan pengawas syariah. Dala ayat (1) dikemukakan bahwa perusahaan
pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki dewan
pengawas syariah yang terdiri dari paling kurang 2 (dua) orang anggota dan satu orang ketua. Pada ayat
(2) menegaskan bahwa anggota dewan pengawas syariah diangkat dalam rapat umum pemegang saham
atas rekomendasi mejelis ulama Indonesia dan ayat (3) menegaskan bahwa dewan pengawas syariah
bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syariah kegiatan operasional
perusahaan pembiayaan dan sebagai mediator antara perusahaan pembiayaan dengan DSN-MUI.

11[11] Ibid.
12[12] http://www.muamalatbank.com/assets/cd/p05/02.html
13[13] Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h. 236-238
14[14] Ibid, h. 239-240
Demikian juga dalam pasal 109 UU No. 40 Tahun 2007 tentang perusahaan terbatas mengemukakan
bahwa:
a. Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain mempunyai dewan
komisaris wajib mempunyai dewan pengawas syariah.
b. Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau
lebih yang diangkat oleh Rapat Umum Pemilik Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
c. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan
saran kepada Direksi, serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.
Ketentuan baru dalam Undang-undang Perseroan Terbatas tersebut merupakan kewajiban
perusahaan membentuk dewan pengawas syariah. Bagi perusahaan yang menjalankan usahanya dengan
prinsip syariah selain mempunyai dewan komisaris juga mempunyai dewan pengawas syariah. Dalam
ketentuan tersebut, dewan pengawas syariah tugasnya memberi nasihat dan saran kepada direksi, serta
mengawasi jalannya perseroan.
Fungsi dewan pengawas syariah sebagai pengawas memiliki kesamaan dengan fungsi komisaris.
Bedanya, kepentingan komisaris dalam melakukan fungsinya adalah memastikan perusahaan selalu
menghasilkan keuntungan ekonomis. Akan tetapi kepentingan dewan pengawas syariah semata-mata
hanya untuk menjaga kemurnian agama Islam dalam praktik kegiatan perusahaan.

T. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah15[15]


Bagi Bank Syariah yang berbentuk perseroan terbatas (lihat Pasal 7 UUPS) organisasinya mengacu
pada ketentuan UU No. 40 Tahun 2007. Hal tersebut berarti bahwa dalam sebuah bank syariah
kekuasaan tertinggi ada pada RUPS, pengurusan dilaksanakan oleh Direksi, dan pengawasan terhadap
direksi dilaksanakan oleh komisaris.
Dalam keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 03 Tahun 2000 juga
ditetapkan beberapa hal, diantranya adalah:
1. Keanggotaan Dewan Pengawas Syariah adalah sebagai berikut:
a. Setiap LKS harus memiliki sedikitnya tiga orang anggota Dewan Pengawas Syariah;
b. Salah satu dari jumlah tersebut ditetapkan sebagai ketua;
c. Masa tugas anggota dewan pengawas syariah adalah 4 (empat) tahun dan akan mengalami
pergantian antar waktu apabila meninggal dunia, minta berhenti, diusulkan oleh LKS yang
bersangkutan, atau telah merusak citra DSN.
Menurut Muhammad: Setiap Bank Umum Syariah atau Bank Konvensional yang memiliki Unit
Usaha Syariah harus memiliki setidaknya 2-5 orang sebagai anggota Dewan Pengawasan Syariah.
Sedangkan untuk Bank Pengkreditan Rakyat Syariah setidaknya memiliki 1-3 orang anggota DPS.
Jika anggota DPS di setiap lembaga keuangan syariah memiliki lebih dari satu anggota maka salah
satu dari anggota tersebut harus menjadi ketua DPS dilembaga Keuanngan Syariah tersebut. 16[16]
2. Syarat Anggota Deawn Pengawas Syariah
a. Memiliki akhlaq karimah;
b. Memiliki kompetensi kepakaran di bidang syariah muamalah dan pengetahuan di bidang
perbankan dan/atau keuangan secara umum;
c. Memiliki komitmen untuk mengembangkan keuangan berdasarkan syariah;
d. Memiliki kelayakan sebagai pengawas syariah, yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari
DSN.
Sedangkan menurut Muhammad persyaratan anggota DPS dalah sebagai berikut: 17[17]
Persyaratan utama bagi anggota Dewan Pengawas Syariah adalah mereka harus memiliki
kemampuan di bidang Hukum Muamalah, Hukum Ekonomi dan Perbankan. Selain itu, anggota DPS
juga wajib memenuhi persyaratan berikut;
a. Integritas
b. Kompetensi, dan
c. Reputasi keuangan
Anggota DPS yang memenuhi persyaratan integritas tersebut, antara lain adalah pihak-pihak yang:
a. Memiliki akhlak dan moral baik
b. Memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Memiliki komitmen yang tinggi dalam mengembangkan perbankan syariah yang sehat.
d. Tidak termasuk daftar TIDAK LULUS sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Anggota DPS yang memenuhi persyaratan kompetensi merupakan pihak-pihak yang memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah muamalah dan pengetahuan di bidang perbankan
serta pengetahuan di bidang keuangan secara umum.
Sedangkan anggota DPS yang memenuhi persyaratan reputasi keuangan adalah pihak-pihak yang:

15[15] Adrian Sutedi, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h.
141-144
16[16] http://naifu.wordpress.com/2011/12/28/dewan-pengawasan-syariah-dasar-hukum-persyaratan-anggota-serta-
tugas-dan-wewenangnya/
17[17] Ibid.
a. Tidak termasuk dalam kredit/pembiayaan macet.
b. Tidak pernah dinyatakan failed atau menjadi direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan failed dalam waktu 5 tahun sebelum dicalonkan.
3. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dewan
pengawas syariah, yaitu:
a. Mereka bukan staf bank, dalam arti mereka tidak tunduk di bawah kekuasaan administratif;
b. Mereka dipilih oleh RUPS;
c. Honorarium mereka ditentukan oleh RUPS;
d. DPS mempunyai sistem kerja dan tugas-tugas tertentu seperti halnya badan pengawas lainnya.

U. Kegiatan DPS dalam Pengawasan Internal Syariah18[18]


Aktivitas dewan pengawas syariah dalam melaksanakan pengawasan syariah, menurut Briston dan
Ashker yang dikutip oleh Yaya (2004), ada tiga yaitu : ex ante auditing, ex post auditing, dan
perhitungan dan pembayaran zakat. Pertama, Ex ante auditing merupakan aktivitas pengawasan syariah
dengan melakukan pemeriksaan terhadap berbagai kebijakan yang diambil dengan cara melakukan
review terhadap keputusan-keputusan manajemen, dan melakukan review terhadap seluruh jenis kontrak
yang dibuat oleh manajemen bank syariah dengan semua pihak.
Tujuan pemeriksaan tersebut untuk mencegah bank syariah melakukan kontrak yang melanggar
prinsip-prinsip syariah. Kedua, Ex post auditing merupakan aktivitas pengawasan syariah dengan
melakukan pemeriksaan terhadap laporan kegiatan (aktivitas) dan laporan keuangan bank syariah.
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menelusuri kegiatan dan sumber-sumber keuangan bank syariah
yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Ketiga, Perhitungan dan pembayaran zakat merupakan
aktivitas pengawasan syariah dengan memeriksa kebenaran bank syariah dalam menghitung zakat yang
harus dikeluarkan dan memerikasa kebenaran dalam pembayaran zakat sesuai dengan ketentuan syariah.
Tujuan pemeriksaan tersebut adalah untuk memastikan agar zakat atas segala usaha yang berkaitan
dengan hasil usaha bank syariah telah dihitung dan dibayar secara benar oleh manajemen bank syariah.
Shari'a review merupakan aktivitas utama dewan pengawas syariah untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya sebagai pengawas kepatuhan syariah dalam operasional bank syariah. Tujuan utama shari'a
review adalah untuk memastikan kesesuaian seluruh operasional bank dengan prinsip dan aturan syariah
yaitu dengan mengeluarkan fatwa - fatwa, aturan - aturan, dan arahan - arahan dalam masalah fiqih yang
digunakan pedoman bagi manajemen dalam mengoperasikan bank syariah (GSIFI No. 2 paragraf 1).
Dengan menganalogkan pada pengertian tentang Pengertian tentang shari’a review berdasarkan GSIFI
No. 2 paragraf 3 adalah :
“Shari’a review is an examination of the extent of IFI’s compliance, in all its activities, with sharia. This
examination includes contracts, agreements, policies, products, transactions, memorandum and articles
of association, financial statements, reports (espicially internal audit and central bank inspection)
circulars etc.
Shari’a review merupakan pengujian kepatuhan syariah secara menyeluruh terhadap aktivitas bank
syariah, sehingga dewan pengawas syariah harus memiliki akses yang lengkap dan bebas atas semua
dokumen transaksi dan semua informasi yang berasal dari berbagai sumber baik itu saran dari para ahli
maupun dari karyawan bank sendiri. Tujuan dari shari’a review adalah untuk memastikan bahwa
aktivitas yang dilakukan oleh bank syariah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan aturan syariah
yang telah difatwakan dan diatur oleh dewan syariah (GSIFI No. 2 paragraf 4). Sehingga dengan
dilakukan shari’a review diharapkan semua aktivitas dan produk bank syariah dapat dipastikan sesuai
dengan aturan dan prinsip syariah yang telah ditetapkan dan diatur oleh dewan pengawas syariah.
Tanggung jawab dewan pengawas syariah dalam masalah kepatuhan syariah adalah memberikan
opini atas kepatuhan syariah dari bank syariah serta memberikan arahan, petunjuk, dan pelatihan yang
berhubungan dengan kepatuhan terhadap prinsip syariah kepada manajemen bank syariah. Sedangkan
tanggung jawab atas pelaksanaan kepatuhan syariah berada di pihak manajemen bank syariah. Shari’a
review bukan merupakan tanggung jawab manajemen, tetapi juga tidak membebaskan manajemen dari
kewajiban untuk melaksanakan semua transaksi berdasarkan syariah. Manajemen bank syariah
bertanggung jawab untuk memberikan semua informasi yang berkaitan dengan kepatuhan syariah kepada
dewan pengawas syariah (GSIFI No. 2 paragraf 5). Governance Standard for Islamic Financial
Institutions No. 2 dalam paragraf 7 menyebutkan tiga prosedur dalam pelaksanaan shari’a review yaitu
planning review procedures, executing review procedure and review of working papers, dan
documenting conclusions and report. Planning review procedures bertujuan untuk memperoleh
pemahaman yang menyeluruh atas operasi bank syariah yang meliputi produk, skala operasi, lokasi,
kantor cabang, anak perusahaan dan divisi, serta bertujuan untuk memperoleh daftar semua fatwa,
aturan, dan petunjuk yang dikeluarkan oleh dewan pengawas syariah. Sedangkan executing review
procedure and review of working papers bertujuan untuk menemukan temuan audit dengan melakukan
serangkaian pengujian atas transaksi dan dokumen serta mendokumentasikan semua prosedur audit yang
telah dilakukan selama pemeriksaan. Hasil shari’a review adalah berupa kesimpulan dari dewan
pengawas syariah atas kepatuhan bank syariah terhadap aturan dan prinsip-prinsip syariah. Kesimpulan

18[18] Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah, op.cit, h. 248-
252
tersebut dibuat dalam laporan dewan pengawas syariah yang akan disampaikan dalam rapat umum
pemegang saham bank syariah. Laporan hasil shari’a review tersebut juga harus diterbitkan bersamaan
dengan penerbitan laporan keuangan pihak manajemen bank syariah kepada masyarakat (GSIFI No.2
paragraf 13).
Aktivitas shari'a review dalam praktek pengawasan internal syariah oleh DPS terbagi menjadi dua
bagian yaitu aktivitas ex ante auditing dan ex post auditing. Untuk aktivitas shari'a review ex ante
auditing antara lain :
a. Menetapkan standar kepatuhan syariah;
b. Menetapkan sistem dan prosedur operasional;
c. Mereview kebijakan dan keputusan manajemen;
d. Menetapkan produk bank.
Sedangkan aktivitas shari'a review ex post auditing yang dilaksanakn DPS dalam menjalankan
fungsi pengawasan syariah antara lain :
1. Menentukan indikator kepatuhan syariah;
2. Menentukan lingkup pengawasan syariah;
3. Merencanakan mekanisme penilaian kepatuhan syariah;
4. Menilai kepatuhan syariah atas kinerja manajemen;
5. Tindak lanjut atas temuan syariah;
6. Melaporkan hasil penilaian kepatuhan syariah.

V. Optimalisasi Peran Dewan Pengawas Syariah19[19]


Peran vital dewan pengawas syariah di Indonesia, dalam praktik di lapangan saat ini, belum optimal.
Ada beberapa faktor utama penyebab peran dan fungsi dewan pengawas syariah belum optimal di
Indonesia antara lain:20[20]
1. Lemahnya status hukum hasil penilaian kepatuhan syariah oleh DPS akibat ketidakefektifan dan
ketidakefesienan mekanisme pengawasan syariah dalam perbankan syariah di Indonesia saat ini;
2. Terbatasnya ketrampilan sumberdaya DPS dalam masalah audit, akuntansi, ekonomi, dan hukum
bisnis;
3. Belum adanya mekanisme dan struktur kerja yang efektif dari DPS dalam melaksanakan fungsi
pengawasan internal syariah dalam bank syariah
Akibat dari ketiga faktor tersebut menjadikan peran supervisi dari DPS dalam pengawasan syariah
di bank syariah termaginalkan. Sehingga peran DPS di Indonesia pada saat ini lebih banyak berperan
sebagai penasehat syariah bagi manajemen, alat komunikasi dan marketing bagi bank syariah, dan
sebagai legislator produk bank syariah. Fungsi pengawasan terhadap proses operasional yang merupakan
aktivitas shari'a review ex post auditing jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan oleh DPS, karena
aktivitas shari'a review terfokus pada aktivitas ex ante auditing.
Salah satu alternatif untuk mengoptimalkan peran dewan pengawas syariah dalam bank syariah di
Indonesia adalah dengan mengembangkan fungsi pendukung dewan pengawas syariah berupa staf yang
memadai untuk membantu DPS melaksanakan tugas-tugas pengawasan (Yaya, 2004). Accounting and
Audting Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) dalam Governance Standard for
Islamic Financial Institutions (GSIFI) No. 1 tentang Shari’a Supervisory Board : Appoitment,
Composition and Report, paragraf 7, menyatakan bahwa dewan pengawas syariah dapat mencari jasa
konsultan yang ahli dalam bisnis, ekonomi, hukum, akuntansi dan lainnya. Dewan pengawas syariah
dalam melakukan tugas pengawasan dan sharia review terhadap bank syariah berdasarkan GSIFI No. 1
tersebut dapat menggunakan jasa internal auditor yang ada dalam sistem pengawasan bank syariah, yaitu
dengan memperluas ruang lingkup dan tugas departemen internal audit dengan memasukkan aspek
syariah. Internal auditor akan melakukan internal shari’a review berdasarkan panduan dewan pengawas
syariah dan melaporkan temuan-temuan selama internal shari’a review kepada dewan pengawas syariah.
Jadi, agar DPS dan DSN memiliki peran yang optimal dan signifikan, setidaknya ada lima hal
penting yang harus menjadi perhatian bersama.
1. MUI menentukan klasifikasi keahlian pihak-pihak yang dapat diangkat menjadi anggota DSN atau
DPS;
2. Anggota DSN dilarang menjadi konsultan pada lembaga keuangan syariah atau divisi unit syariah
pada lembaga keuangan konvensional;
3. Lembaga keuangan syariah harus memiliki DPS di daerah;
4. DPS didukung full time oleh seluruh pihak yang terkait;
5. Posisi DPS setidaknya harus sejajar dengan komisaris.

W. Laporan DPS21[21]
Laporan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada dasarnya mencakup informasi yang diberikan oleh
anggota-anggota dewan mengenai praktik perbankan yang tidak bertolak belakang dengan ajaran agama
islam. Biasanya laporan DPS ini disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan bank. Bentuk dari

19[19] Ibid, h. 254-267


20[20] http://novensuprayogi.blogspot.com/2008/03/dps-dan-pengawasan-internal-syariah.html
21[21] http://jenzsixs.blogspot.com/2012/03/dewan-pengawas-syariah.html
laporan DPS ini tidak sama antara satu bank dengan bank lainnya walaupun masih dalam cakupan negara
yang sama karena mempunyai mekanisme operasinal yang berbeda-beda.
Abdallah (1994), menyatakan bahwa DPS harus melakukan empat pemeriksaan laporan keuangan
bank Islam. Pertama, DPS memastikan bahwa formula yang digunakan untuk mengalokasikan profit
antara shareholder dan pemegang akun investasi adalah adil dan sejalan dengan rekomendasi yang
diberikan oleh DPS. Kedua, DPS mengonfirmasikan bahwa semua penerimaan bank Islam berasal dari
transaksi yang sah sesuai hukum. Jika bank Islam mendapat penerimaan ini tidak sesuai hukum Islam,
DPS akan menyatakan bahwa penerimaan ini tidak boleh dimasukkan dalam profit yang dialokasikan
untuk shareholder dan pemegang akun investasi. Ketiga, DPS memastikan agar zakat dihitung dengan
benar, dilaporkan secara transparan dan didistribusikan secara merata kepada penerima zakat. Keempat,
DPS bertanggung jawab menyatakan opini bank Islam dalam menjalankan peran sosialnya di lingkungan
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dewan Pengawas Syariah merupakan Dewan yang mengawasi, mengarahkan serta yang lainnya
yang berkaitan dengan kesyariahan perusahaan. sehingga perusahaan tersebut tidak hanya mendapatkan
keuntungan tetapi mendapatkan berkah dari Allah Swt sehingga mencapai titik falah.
Peran DPS dalam perkembangan ekonomi Islam sangatlah besar tanpa adanya DPS, masyarakat
sulit untuk memahami perusahaan mana yang bisa membawa mereka yang juga menguntungkan disisi
Akhirat. Namun, pada saat ini ada beberapa hal yang perlu di perbaiki lagi seperti pengawasan secara
menyeluruh sampai kekantor-kantor cabang diberikan pengawasan.
B. Saran
Makalah ini hanya membahas segelintir saja mengenai Dewan Pengawas Syariah maka dari itu
kami mengharapkan kepada seluruh peserta untuk dapat memberi sumbangan ilmu yang sudah diketahui,
demi kesempurnaan para Econom Masa Kini.

REFERENSI
Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011)
___________, Perbankan Syariah: Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009)
http://naifu.wordpress.com/2011/12/28/dewan-pengawasan-syariah-dasar-hukum-persyaratan-anggota-serta-
tugas-dan-wewenangnya/
http://www.syariahmandiri.co.id/category/info-perusahaan/organisasi/pimpinan/dewan-pengawas-syariah/
http://www.muamalatbank.com/assets/cd/p05/02.html
http://jenzsixs.blogspot.com/2012/03/dewan-pengawas-syariah.html
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, diterjemahkan oleh Aditya Wisnu Pribadi, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009)
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2010)
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general), (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)

Anda mungkin juga menyukai