KEUANGAN
SYARIAH
● Di sisi lain, akad berasal dari bahasa Arab, al-‘aqd yang secara etimolagi
berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan. Sedangkan pada
umumnya akad berarti kesepakatan perkataan atau keinginan positif dari
salah seorang pihak yang terlibat kontrak dan diterima oleh pihak lainnya
yang berpengaruh pada subjek kontrak sehingga (menjadikannya)
permulaan berlakunya suatu perbuatan. Bagaimana dan kapan wa’ad dan
akad bisa ditetapkan ialah dengan memerhatikan proses pengesahan
kontrak dilakukan. Perbedaan keduanya antara lain:
Perbedaan Wa’ad dan
Akad
WA’AD AKAD
Janji antara satu pihak kepada Mengikat kedua belah pihak yang
pihak lainnya (hanya mengikat saling bersepakat, yakni masing-
satu pihak) → one way. Pihak yang masing pihak terikat untuk
diberi janji tidak memikul melaksanakan kewajiban mereka
kewajiban apapun kepada pihak masing-masing yang telah
pemberi janji. Syarat dan disepakati terlebih dahulu. Terms &
ketentuannya tidak well-defined condition-nya sudah ditetapkan
atau belum ada kewajiban yang secara rinci dan spesifik (sudah
ditunaikan oleh pihak manapun, well-defined).
walaupun terms & condition-nya Bila kewajiban tidak dipenuhi,
sudah well-defined. Bila janji tak maka sanksi yang diterima sesuai
terpenuhi maka sanksi yang dengan kesepakatan awal kontrak.
diterima merupakan sanksi moral. Sebagai contoh agar lebih mudah
membedakan antara wa’ad dan
akad kita ambil saja pengajuan
asuransi jiwa.
Fatwa MUI mengenai
Wa'd
* Ketentuan umum dalam melakukan Wa'd: • Ketentuan hukun dalam melakukan Wa'd :
Janji (wa'd) adalah pernyataan kehendak dari Janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan
seseorang atau satu pihak untuk bisnis syariah adalah mulzim dan wajib
melakukan sesuatu yang baik (atau tidak dipenuhi (ditunaikan) oleh wa'id dengan
melakukan sesuatu yang buruk) kepada pihak mengikuti ketentuan- ketentuan yang
lain (mau’ud) di masa yang akan datang; terdapat dalam fatwa.
Wa’id adalah orang atau pihak yang • Ketentuan khusus terkait pihak yang
menyatakan janji (berjanji); berjanji ( Wa'id )
Mau’ud adalah pihak yang diberi janji oleh wa’id; Wa'id harus cakap hukum (ahliyyat al-wujub
Mau’ud bih adalah sesuatu yang dijanjikan oleh wa al-ada'
wa’id (isi wa’d); dan Dalam hal janji dilakukan oleh pihak yang
Mulzim adalah mengikat; dalam arti bahwa wa’id belum cakap hukum, maka
wajib menunaikan janjinya (melaksanakan efektivitas/keberlakukan janji tersebut
mau’ud bih), serta boleh dipaksa oleh mau’ud bergantung pada izin wali/pengampunya
dan/atau pihak otoritas untuk menunaikan Wa'id harus memiliki kemampuan dan
janjinya. kewenangan untuk mewujudkan mau'ud bih.
Fatwa MUI mengenai
Wa'd
• Ketentuan Khusus terkait Pelaksanaan Wa'd
1. Wa'd harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian;
2. Wa’d harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud
(wa’d bersyarat);
3. Mau’ud bih tidak bertentangan dengan syariah;
4. Syarat sebagaimana dimaksud angka 2 tidak bertentangan dengan syariah; dan
5. Mau’ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana dimaksud angka dua.
- Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para
pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan
syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
- Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Pengesahan Draf Eksposur
( DE ) PSAK 111: Akuntansi
Wa’ad
Beberapa pengaturan yang diatur dalam PSAK 111 tentang Akuntansi Wa’d
adalah:
Wa’d tidak diakui di laporan keuangan
Wa’d adalah janji dari satu pihak kepada pihak lain untuk melaksanakan
sesuatu. DSAS-IAI memutuskan wa'd belum memenuhi kriteria aset atau
liabilitas sehingga tidak diakui dalam laporan keuangan ketika entitas
memberi atau menerima wa'd dari pihak lain. DSAS-IAI juga
mempertimbangkan konsistensi perlakuan akuntansi atas wa'd dengan
pengaturan dalam PSAK lain, seperti wa'd dalam murabahah dan ijarah
yang diatur dalam PSAK 102: Akuntansi Murabahah dan PSAK 107:
Akuntansi Ijarah.
Klasifikasi SBS dalam repo syariah
Pada 2 April 2014 DSN-MUI mengeluarkan Fatwa No. 94/DSN-MUI/ IV/2014
tentang Repo ( Repurchase Agreement ) Surat Berharga Syariah (SBS)
Berdasarkan Prinsip Syariah. Repo syariah harus dilakukan melalui jual beli
yang sesungguhnya. Berdasarkan Lampiran A – paragraf A17, dalam
Pengesahan Draf Eksposur
( DE ) PSAK 111: Akuntansi
Wa’ad
Biaya perolehan yang diamortisasi secara garis lurus, jika SBS diklasifikasikan
sebagai diukur pada biaya perolehan.
Nilai wajar dan perubahan nilai wajarnya diakui di penghasilan komprehensif
lain, jika SBS diklasifikasikan sebagai diukur pada nilai wajar melalui
penghasilan komprehensif lain.
Nilai wajar dan perubahan nilai wajarnya diakui di laba rugi, jika SBS
diklasifikasikan sebagai diukur pada nilai wajar melalui laba rugi.
Selisih kurs item dilindung nilai diakui di penghasilan komprehensif lain
Berdasarkan Lampiran B paragraf B18, jika item yang dilindung nilai dalam
suatu lindung nilai yang memenuhi syarat akuntansi lindung nilai merupakan
aset dan liabilitas yang diakui (termasuk investasi neto pada kegiatan usaha
luar negeri), maka bagian dari keuntungan atau kerugian selisih kurs atas item
yang dilindung nilai tersebut diakui di penghasilan komprehensif lain hingga
saat pelaksanaan wa’d. Perlakuan akuntansi tersebut merupakan pilihan
bukan keharusan.
Pengesahan Draf Eksposur
( DE ) PSAK 111: Akuntansi
Wa’ad
PSAK 111 ini berlaku efektif pada untuk periode tahun buku yang dimulai pada 1
Januari 2018. Ketentuan transisi yang diatur dalam PSAK 111 adalah prospektif dengan
ketentuan entitas melakukan penyesuaian atas transaksi repo syariah, lindung nilai
syariah, dan transaksi lain yang ada pada saat tanggal awal penerapan PSAK 111
(prospective catch-up).
Contohnya :
Wa’ad
- Surat permintaan asuransi jiwa (SPAJ)
- MoU dengan bank
- MoU dengan multifinance
Akad
- Polis asuransi
- Akad investasi antara asuransi dan perbankan
- Akad investasi antara asuransi dan fund manager
AKUNTANSI WAKAF
Kata wakaf berasal dari bahasa arab “waqafa” berarti menahan atau berhenti atau
diam di tempat atau tetap berdiri. Secara syariah, wakaf berarti menahan harta dan
memberikan manfaatnya di jalan Allah.
Menurut Mazhab Hanafi Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum,
tetap milik si wakif/pewakaf dan mempergunakan manfaatnya untuk kebijakan.
Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat Wakaf adalah menahan harta
pewakaf untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap
melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah
SWT.
Dalam PSAK 112 menyebutkan yang di maksud wakaf adalah adalah perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya.
Atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dalam PSAK 112 dijelaskan tentang pengelolaan transaksi wakaf yang dilakukan oleh
nazhir dan wakif berbentuk organisasi dan badan hukum. Jadi tidak berlaku pada
nazhir dan wakif perseorangan. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda
wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Sedangkan Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
● Unsur wakaf : Syarat harta yang diwakafkan antara
1. Wakif lain:
2. Nazhir Harta atau aset yang diwakafkan melalui ikrar
3. Aset wakaf wakaf yang akan dituangkan dalam akta ikrar
4. Ikrar wakaf wakaf tidak dapat dibatalkan.
5. Peruntukan aset wakaf Aset yang diwakafkan dapat diklasifikasikan
6. Jangka waktu wakaf. menjadi:
Aset tidak bergerak, seperti hak atas tanah,
● Wakif dan nazhir meliputi bangunan atau bagian bangunan di atas
: tanah, tanaman dan benda lain terkait tanah,
1. Wakif dan nazhir hak milik satuan rumah susun, dan lainnya.
perseorangan
2. Wakif dan nazhirorganisasi Aset bergerak, contoh wakaf benda bergerak
3. Wakif dan nazhirbadan seperti uang, logam mulia, surat berharga,
hukum. kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak
sewa, dan lainnya.
Aset wakaf harus dikelola dan dikembangkan
oleh nazhir sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya.
Aset wakaf tidak dapat dijadikan jaminan,
disita, dihibahkan, dijual, diwariskan,
ditukar,atau dialihkan melalui pengalihan hak
Tujuan dan Fungsi Wakaf
Tujuan wakaf adalah untuk memanfaatkan aset wakaf sesuai dengan
fungsinya. Sedangkan fungsi wakaf adalah untuk mewujudkan potensi
dan manfaat ekonomis aset tersebut untuk kepentingan ibadah dan
memajukan kesejahteraan umum.
Bank xxx
Rekening Antar Kantor (RAK) xxx
Sedangkan universitas atau sekolah mencatatnya adalah:
RAK xxx
Pendapatan xxx
Akun RAK digunakan untuk kegiatan operasional universitas atau sekolah. Jadi dalam
pengakuan pendapatannya tidak diakui sebagai Pendapatan karena tersentral. Jika tidak
tersentral maka kantor pusat tidak mencatat adanya pendepatan, namun universitas atau
sekolah pencatatannya adalah
Bank xxx
Pendapatan Langsung xxx
TERIMA KASIH