Anda di halaman 1dari 6

Disebutkan bahwa praktik akuntansi mulai dikembangkan Rasulullah SAW setelah ada perintah Allah

melalui surat Al Baqarah ayat 282, tetapi adakah tanda-tanda praktik akuntansi yang digunakan sebelum
islam itu datang?

Islam diturunkan di tanah Arab dan oleh karena itu untuk mengetahui tentang sejarah Akuntansi Syariah
harus melihat bagaimana kebiasaan-kebiasaan masyarakat Arab sebelum Islam datang. Bangsa Arab
umumnya adalah bangsa pedagang, mereka biasanya melakukan perjalanan perdagangn dua kali dalam
setahun yaitu di musim dingin dan musim panas. Kebiasan berdagang bangsa Arab sebelum kedatangan
Islam digambarkan didalam Al-Qur’an, surat Al-Quraisy, ayat 1-4.

Para pedagang Arab sebelum berangkat untuk berdagang akan menghitung jumlah dagangannya dan
begitu juga apabila sudah pulang dari berdagang mereka akan menghitung hasil dagangannya tersebut
baik mendapat keuntungan maupun kerugian untuk hal ini tentulah dasar-dasar Akuntansi sudah
digunakan.

Surat Al-Quraisy, ayat 1-4 ini jelas menunjukkan bahwa suku Quraisy di Arab mata pencahariannya
biasanya adalah berdagang pada musim panas dan dingin, untuk berdagang mau tidak mau para
pedagang/saudagar Arab itu harus mengetahui dasar-dasar Akuntansi didalam melakukan transaksi-
transaksi pencatan perdangan mereka baik antar sesama mereka maupun antar pedagang asing di luar
Arab.

Untuk melaksanakan pembukuan atas transaksi-transaksi perdagangan mereka ada yang


dikerjakannya sendiri oleh para pedagang itu dan ada juga yang dikerjakan oleh para Akuntan dengan
cara membayarnya, yang pada waktu itu Akuntan disebut dengan Katibul Amwal (pencatat keuangan)
atau penanggung jawab keuangan dimana fungsinya juga untuk membantu menjaga keuangan.

Pada masa ini juga telah ada undang-undang Akuntansi yaitu undang-undang akuntansi perorangan
dan undang-undang akuntansi kelompok (syirkah). Bahkan pada saat itu di dalam muamalah sudah ada
peraturan-peraturan tentang riba (riba jahiliyah).

Dari studi sejarah peradaban arab, tampak sekali betapa besarnya perhatian bangsa arab pada
akuntansi. Hal ini terlihat pada usaha tiap pedagang arab untuk mengetahi dan menghitung barang
dagangannya, sejak mulai berangkat sampai pulang kembali. Hitungan ini dilakukan untuk mengetahui
perubahan pada keuangannya. Setelah berkembangnya negeri, bertambahnya kabilah-kabilah,
masuknya imigran-imigran dari negri tetangga, dan berkembangnya perdaganan serta timbulnya usaha-
usahainterven si perdagangan, semakin kuatlah perhatian bangsa arab terhadap pembukuan dagang
untuk menjelaskan utang piutang. Orang-orang yahudi pun (di masa itu) sudah biasa menyimpan daftar-
daftar (faktur) dagang. Semua telah nampak jelas dalam sejarah peradaban bangsa arab. Jadi, konsep
akuntansi dikalangan bangsa arab pada waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan
metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan. Untuk
mengerjakan pembukuan ini, ada yang dikerjakan oleh pedagang sendiri dan ada juga yang menyewa
akuntan khusus. Pada waktu itu seorang akuntan disebut sebagai kaatibul amwal (pencatat keuangan)
atau penanggung jawab keuangan.

(https://irham-anas.blogspot.com/2011/06/akuntansi-syariah-sejarah-pemikiran.html)

Bagaimana hubungan peradaban islam dengan buku luca pacioli yang dikenal sebagai bapak akuntansi?
Sejak abad VIII, Bangsa Arab berlayar sepanjang pantai Arabi dan India, singgah di Italia dan menjual
barang dagangan yang mewah yang tidak diproduksi oleh Eropa. Buku Pacioli di dasarkan pada tulisan
Leonard of Piza, orang Eropa pertama yang menerjemahkan buku Algebra (pada saat itu ditulis dalam
bahasa Arab), yang berisikan dasar-dasar mengenai bookkeeping. Bookkeeping sebenarnya telah
dipraktekkan pertama kali oleh para pedagang dan berasal dari Mesir. Pada akhir abad XV, Eropa
mengalami standstill dan tidak dapat ditemukan adanya kemajuan yang berarti dalam metode
akuntansi.

Istilah Zornal (sekarang journal) telah lebih dahulu digunakan oleh kekhalifahan Islam
dengan Istilah Jaridah untuk buku catatan keuangan. Penggunaan kalimat “In the name of God” diawal
buku catatan keuangan, terlebih dahulu digunakan oleh kekhalifahan islam dengan kalimat “in the name
of allah, the most gracious, the most merciful”. Double entry yang ditulis oleh Pacioli, telah lama
dipraktekkan dalam pemerintahan Islam.

Dalam sejarah Islam, lebih satu abad sebelum buku Luca Pacioli diterbitkan, telah ada manuskrip
tentang akuntansi yang ditulis oleh Abdullah bin Muhammad bin Kiyah Al Mazindarani dengan judul
Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqaat pada tahun 1363 M. Beberapa kaidah dalam manuskrip tersebut
yang terkait dengan praktik double entry adalah sebagai berikut:

1) Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumbersumber pemasukan
tersebut.

2) Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran-pengeluaran


tersebut

Dari runtutan penjelasan di atas, jelaslah bahwa akuntansi di dunia Islam telah berkembang dan
dipraktekan jauh sebelum terbitnya buku “Summa de Arithmetica Geometrica, Proportioni et
Proportionalita” pada tahun 1494 M karya Lucas Pacioli.

Bagaimana ketentuan pembukuan pada masa khalifah islam ?

Al Mazindarani juga menjelaskan pelaksanaan pembukuan yang populer pada saat itu dan kewajiban-
kewajiban yang harus diikuti. Di antara contoh pelaksanaan pembukuan yang disebutkan oleh Al-
Mazindarani adalah sebagai berikut:” Ketika menyiapkan laporan atau mencatat di buku-buku akuntansi
harus dimulai dengan basmalah, “Bismillahir Rahmanir Rahim”. Jika hal ini yang dicatat oleh Al
Mazindarani pada tahun 765 H./1363 M., maka hal ini pula yang disebut oleh penulis Itali, Pacioli 131
tahun kemudian. Pacioli berkata, “harus dimulai dengan ungkapan “Bismillah’.” (Brown and Johnson,
1963, hal. 28)

Salah seorang penulis muslim juga menambahkan pelaksanaan pembukuan yang pernah
digunakan di negara Islam, di antaranya adalah sebagai berikut:

Apabila di dalam buku masih ada yang kosong, karena sebab apa pun, maka harus diberi garis pembatas,
sehingga tempat yang kosong itu tidak dapat digunakan. Penggarisan ini dikenal dengan nama Tarqin.

Harus mengeluarkan saldo secara teratur. Saldo dikenal dengan nama Hashil.
Harus mencatat transaksi secara berurutan sesuai dengan terjadinya.

Pencatatan transaksi harus menggunakan ungkapan yang benar, dan hati-hati dalam menggunakan
kata-kata.

Tidak boleh mengoreksi transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau menghapusnya. Apabila
seorang akuntan (bendaharawan) kelebihan mencatat jumlah suatu transaksi, maka dia harus
membayar selisih tersebut dari kantongnya pribadi kepada kantor. Demikian pula seorang akuntan lupa
mencatat transaksi pengeluaran, maka dia harus membayar jumlah kekurangan di kas, sampai dia dapat
melacak terjadinya transaksi tersebut. Pada negara Islam, pernah terjadi seorang akuntan lupa mencatat
transaksi pengeluaran sebesar 1300 dinar, sehingga dia terpaksa harus membayar jumlah tersebut. Pada
akhir tahun buku, kekurangan tersebut dapat diketahui, yaitu ketika membandingkan antara saldo buku
bandingan dengan saldo buku-buku yang lain, dan saldo-saldo bandingannya yang ada di kantor.

Pada akhir tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci tentang jumlah
(keuangan) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara pengaturannya terhadap jumlah
(keuangan) tersebut.

Harus mengoreksi laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan membandingkannya dengan laporan
tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan jumlah yang tercatat di kantor.

Harus mengelompokkan transaksi-transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan karakternya


dalam kelompok-kelompok yang sejenis, seperti mengelompokkan dan mencatat pajak-pajak yang
memiliki satu karakter dan sejenis dalam satu kelompok.

Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber-sumber pemasukan-
pemasukan tersebut.

Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran-pengeluaran


tersebut.

Ketika menutup saldo, harus meletakkan suatu tanda khusus baginya.

Setelah mencatat seluruh transaksi keuangan, maka harus memindahkan transaksi-transaksi sejenis ke
dalam buku khusus yang disediakan untuk transaksi-transaksi yang sejenis itu saja.

Harus memindahkan transaksi-transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang berdiri sendiri, tidak terikat
dengan orang yang melakukan pencatatan di buku harian dan buku-buku yang lain.

Setelah mencatat dan memindahkan transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku, maka harus
menyiapkan laporan berkala, bulanan atau tahunan sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan laporan itu
harus rinci, menjelaskan pemasukan dan sumber-sumbernya serta pengalokasiannya. (Muhammad Al
Marisi Lasyin, 1973, hal. 163–165)

Apa perbedaan akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional?

1. Perbedaan dari Segi Pengertian

Pengertian akuntansi dalam Islam lebih umum dan luas jangkauannya, meliputi perhitungan dari segi
moral dan perhitungan akhirat. Akuntansi syariah lebih mengarahkan pembukuan, pendataan, kerja dan
usaha, serta perhitungan dan perdebatannya didasarkan pada syariat Islam. Karena dalam praktiknya,
akuntansi yang merupakan aktivitas muamalah harus memiliki unsur pertanggungjawaban (responbilitiy)
atas hubungan vertikal (hubungan antara manusia dengan Allah SWT) dan hubungan horizontal
(hubungan sesama manusia). Sementara pengertian akuntansi konvensional adalah sekitar
pengumpulan, pengukuran dan pembukuan serta penelitian tentang keterangan-keterangan dari
berbagai macam aktivitas.

2. Perbedaan dari Segi Tujuan

Tujuan dari akuntansi syariah adalah menjaga harta yang merupakan hujjah atau bukti ketika terjadi
perselisihan, membantu mengarahkan kebijaksanaan, memerinci hasil usaha untuk perhitungan zakat,
penentuan hak mitra bisnis, dan membantu dalam menetapkan imbalan dan hukuman serta penilaian
evaluasi kerja dan motivasi. Adapun tujuan akuntansi konvensional adalah untuk menjelaskan utang dan
piutang, untung dan rugi, sentral moneter, dan membantu dalam mengambil ketetapan manajemen.
Meskipun pada keduanya terdapat beberapa persamaan, akuntansi syariah lebih difokuskan untuk
membantu individu-individu dalam mengaudit transaksi-transaksinya dan membantu kelompok
masyarakat melakukan muhasabah yang ditangani oleh seorang hakim. Bahkan, akuntansi dapat
membantu dalam laporan dakwah pada kebaikan. Hal demikian, tidak terdapat dalam akuntansi
konvensional.

3. Perbedaan dari Segi Karakteristik

Konsep akuntansi syariah didasarkan pada nilai-nilai akidah dan akhlak. Oleh sebab itu, seorang akuntan
bertugas memberikan data-data berdasarkan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat Islam dalam
bidang muamalah guna membantu orang-orang yang bersangkutan dalam hubungan kesatuan ekonomi.
Seorang akuntan Muslim selalu sadar bahwa ia bertanggungjawab di hadapan Allah tentang
pekerjaannya. Ia tidak boleh menuruti keinginan pemilik modal (pemilik proyek), jika ada langkah-
langkah yang menyimpang dari hukum Allah. Aspek ini tidak didapati dalam konsep akuntansi
konvensional. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa akuntansi syariah didasarkan pada
kaidah-kaidah permanen, yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Hadis.

Adapun konsep akuntansi konvensional didasarkan pada peraturan-peraturan dan teori-teori yang
dibuat oleh manusia yang memiliki sifat khilaf, lupa, keterbatasan ilmu dan wawasan. Oleh sebab itu,
konsepnya bersifat tidak permanen, labil, dan memiliki kecenderungan berubah-ubah dari waktu ke
waktu mengikuti perubahan sistem ekonomi, perubahan peraturan, perubahan jenis perusahaan, dan
perubahan kebijakan yang dibuat oleh manusia.[9]

Jadi, dapat kita simpulkan, akuntansi syariah dan akuntansi konvensional memiliki konsep yang berbeda,
yaitu dilihat dari segi pengertian, tujuan maupun karakteristiknya. Konsep akuntansi syariah didasarkan
pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Karena akuntansi
syariahdalam praktiknya tidak hanya bertanggungjawab dengan sesama manusia (hablumminannas)
tetapi juga memiliki tanggung jawab dengan Allah (hablumminallah). Sementara konsep akuntansi
konvensionalbersifat tidak permanen dan memiliki kecenderungan berubah-ubah dari waktu ke waktu
karena peraturan-peraturan dan teorinya dibuat oleh manusia yang memiliki sifat khilaf, keterbatasan
ilmu dan wawasan.

https://www.academia.edu/30519590/Teori_dan_Konsep_Akuntansi_Islam_serta_Perbedaannya_deng
an_Akuntansi_Konvensional
bagaimana bukti transaksi atau dokumentasi dan pengelolaannya yang diterapkan pada masa khalifah
islam?

Berdasarkan hal tersebut, maka merupakan suatu keharusan memenuhi dokumen-dokumen secara
sempurna sebelum mencatat transaksi keuangan apa pun di dalam buku. Hal ini diperkuat oleh apa yang
ditemukan di dalam perpustakaan Mesir, yaitu adanya bukti tanda terima (receipt) dari zaman negara
Islam, yang didalamnya tertera tahun 148 H./756 M. receipt ini telah memenuhi persyaratan yang
dituntut pada saat itu, dan sesuai dengan apa yang digunakan pada waktu sekarang. Hal ini merupakan
bukti lain tentang kemajuan sistem akuntansi dan sistem dokumentasi masa negara Islam dalam
bentuk yang tiada duanya. Bahkan, pengelolaan bukti transaksi pada masa kita sekarang ini hampir
sesuai dengan apa yang digunakan pada masa negara Islam sejak abad I H.

Receipt-receipt yang berlaku pada masa negara Islam harus memenuhi persyaratan, yaitu
memuat data-data pokok, yang di antaranya adalah : tanggal pengeluaran, jumlah, tempat pengeluaran,
saksi transaksi, nama, tanda tangan dan sebab-sebab pembayaran. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973,
hal. 144 --145). Persyaratan tersebut, yang berlaku pada masa negara Islam sejak abad II H. atau abad
VIII M. adalah persyaratan yang berlaku sekarang ini, pada akhir abad XX M. Namun sumber-sumber
Barat tidak menyebutkan sumber data-data yang digunakan pada masa sekarang ini, sebagaimana
halnya Pacioli tidak menyebutkan sumber tulisannya.

Ketika mengeluarkan receipt, yang digunakan pada masa negara Islam, receipt yang asli diberikan
kepada yang membayar jumlah tersebut. Receipt yang asli ini dinamakan thiraz. Sedangkan salinan
receipt tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar pencatatan di dalam buku akuntansi. Sebab,
pencatatan di dalam buku-buku akuntansi bersandar pada dokumen-dokumen lain, yang dikenal
dengan nama syahid. syahid ini termasuk dari dokumen-dokumen lain seperti receipt. Dengan
demikian syahid menggambarkan tentang journal voucher. syahid ini dibuat oleh seorang akuntan
disetujui oleh pimpinan kantor, atau menteri atau wakilnya. Persetujuan ini termasuk suatu bentuk
perizinan untuk menggunakan syahid sebagai asas pencatatan di dalam buku. Persetujuan pimpinan
kantor, atau menteri atau wakilnya dengan menulis kata “yuktab (dicatat)”. Dengan adanya persetujuan
terhadap syahid itu, seorang akuntan melakukan pencatatan transaksi-transaksi di dalam buku-buku
berdasarkan realitas syahid itu. Kemudian, akuntan tersebut menyimpan syahid tersebut dan tetap
menjadi tanggung jawabnya sebagai petunjuk untuk transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku
akuntansi, melalui pemberian kuasa oleh pimpinan kantor, atau materi atau wakilnya.

Apabila transaksi keuangan telah terjadi di luar ibu kota wilayah Islam, maka pelaksanaan seperti di atas
harus diikuti juga dengan mengirimkan salinan syahid, ke ibu kota wilayah Islam. Ketika menerima
salinan syahid, maka sulthan, (penguasa) memberikan stempel pada salinan syahid tersebut, atau
disimpan sebagai dasar untuk pelaksanaan pembukuan kantor pusat. Hal ini menunjukan bahwa disana
terdapat kegandaan dalam pencatatan transaksi keuangan yang terjadi di luar tempat tinggal sulthan, di
ibu kota wilayah. Tampaknya istilah yang dikenal dengan Al Qaidul Muzdawaj (Pembukuan
Ganda/Double Entry) dalam bahasa-bahasa asing, yang dicetuskan oleh buku Pacioli, boleh jadi
bersumber dari hal ini. Ini hanya sekadar kesimpulan dari kami, dan kami tidak memiliki bukti
pendukung yang mempertegas penggunaan istilah ini di dalam negara Islam. Di antara dalil-dalil lain
yang menunjukkan perkembangan akuntansi di dalam negara Islam adalah adanya tuntutan asasi yang
menghendaki pentingnya penyimpanan buku-buku dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengannya
secara sistematis, juga tuntutan untuk membuat indeks buku-buku dan dokumen-dokumen secara
sistematis agar mudah dilihat sewaktu diperlukan, setelah selesai pencatatan di buku-buku dan selesai
penyempurnaan penyimpanan dokumen-dokumen di map-map. Di samping itu, membuka buku-buku
dan dokumen-dokumen tersebut, setelah tutup buku, harus memenuhi persyaratan tertentu yang
intinya menghendaki pentingnya persetujuan salah seorang pegawai senior di kantor itu. (Ibid , hal.
147 )

Anda mungkin juga menyukai