Anda di halaman 1dari 23

Kelompok 10

Konsep Maqashid Syariah Sebagai Penunjang Sumber Hukum


Ekonomi Islam
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas :
Mata Kuliah : Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan
Dosen Pengampu : Ahmad Hanafi, S.E.I., M.E

Disusun Oleh :
Rahmanisa Munawaroh
NIM. 2014120237
Desi Fitriani
NIM. 2014120317
Julia
NIM. 2014120266

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN 1443 H / 2022 M
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmanirrahim
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan karunia-Nya kami Masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan
makalah ini. Tidak lupa shalawat serta salam penulis curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, semoga kita bisa bersama dengan beliau di akhirat kelak.
Ungkapan rasa terima kasih juga penulis haturkan kepada dosen pengajar yang
telah membimbing dan selalu memberikan semangat yang pada akhirnya bisa
membantu untuk lebih sedikit demi sedikit memperluas wawasan pengetahuan tim
penulis sehingga dapat terselesaikan makalah ini yang berjudul “Konsep
Maqashid Syariah Sebagai Penunjang Sumber Hukum Ekonomi Islam”,
meskipun jika ditinjau lebih jauh makalah ini masih belum sempurna untuk
dikatakan sebagai makalah yang baik, dan penulis menyadari bahwa penulis
bukanlah manusia yang tercipta dalam kesempurnaan, namun tim penulis akan
tetap berusaha untuk menjadi lebih baik dengan terus belajar.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan. Oleh sebab itu, tim penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang dapat membangun agar makalah selanjutnya bisa lebih baik.

Palangka Raya, 5 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 3
A. Definisi Maqashid Syariah........................................................................... 3
B. Dasar Hukum Maqashid Syariah ................................................................. 4
C. Gradasi Maslahah Dalam Maqashid syariah............................................... 5
D. Metode Penemuan Maqashid Syariah ......................................................... 8
E. Urgensi Maqashid Syariah Dalam Ijtihad Masalah Ekonomi .................. 12
F. Aplikasi Konsep Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam .................... 14
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ................................................................................................. 17
B. Saran ...........................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Maqashid syariah merupakan suatu tujuan menuju syariah atau jalan
menuju sumber pokok kehidupan yaitu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Menurut Al-Syatibi, sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia di dunia maupun di akhirat. Jadi, maqashid syariah itu
merupakan sebuah konsep dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan
bersama bagi semua manusia baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan
yang dimaksud yaitu dalam segala aspek kegiatan yang dijalankan oleh
manusia itu sendiri.
Dalam upaya memajukan pemikiran hukum Islam, para mujtahid perlu
mengetahui tujuan hukum Islam untuk memberikan kesadaran dan
transparansi terhadap berbagai persoalan hukum terkini. Selain itu, penting
untuk mengetahui apa tujuan hukum untuk menentukan apakah suatu hukum
dapat diterapkan pada hal-hal lain dan apakah hukum tersebut tidak dapat
dilanjutkan karena adanya perubahan struktur sosial.
Tujuan penetapan hukum atau yang lebih dikenal dengan Maqashid al-
syariah merupakan salah satu konsep yang sangat penting dalam kajian hukum
Islam. Karena pentingnya Maqashid al-syariah, para ahli teori hukum
Maqashid al-syariah menciptakan sesuatu untuk dipahami oleh para mujtahid
yang melakukan ijtihad. Hakikat hukum Maqashid al-syariah adalah menerima
kebaikan atau menjauhi keburukan sekaligus menjauhi keburukan. Hal ini
tampaknya sejalan dengan apa yang harus dilakukan dengan Maqashid al-
syariah, karena harus mengarah pada kemaslahatan syariat Islam.
Penting untuk diketahui bahwa Allah (SWT) memutuskan menurut syariah
tidak menciptakan hukum dan peraturan yang sama. Namun, peraturan
perundang-undangan dibuat dengan maksud dan tujuan tertentu. Ibn Qayyim
al-Jawziyyah mengutipnya dalam Haul al-Umam (2001, 127) dia menyatakan
bahwa tujuan syari'at adalah untuk memberi manfaat bagi hamba di dunia dan

1
di akhirat. Syariat itu benar, semuanya anggun, semuanya bijaksana. Segala
sesuatu yang menyimpang dari keadilan, kebaikan, kemanfaatan dan
kebijaksanaan tentunya bukan ketentuan syariat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi maqashid syariah ?
2. Apa dasar hukum maqashid syariah ?
3. Bagaimana gradasi maslahah dalam maqashid syariah ?
4. Bagaimana metode penemuan maqashid syariah ?
5. Bagaimana urgensi maqashid syariah dalam ijtihad masalah ekonomi?
6. Bagaimana aplikasi konsep maqashid syariah dalam ekonomi islam ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi maqashid syariah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum maqashid syariah.
3. Untuk mengetahui bagaimana gradasi maslahah dalam maqashid syariah.
4. Untuk mengetahui bagaimana metode penemuan maqashid syariah.
5. Untuk mengetahui bagaimana urgensi dalam ijtihad masalah ekonomi.
6. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi konsep maqashid syariah dalam
ekonomi islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Maqashid Syariah


Secara bahasa, maqashid syariah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan
syariah. Kata maqashid merupakan kata jama’ dari maqsad yang berarti
maksud dan tujuan. Dalam al-Qamūs al-Mubīn fī Iṣtilahāt al-Uṣūliyyīn,
maqāṣid adalah hal-hal yang berkaitan dengan maslahah dan kerusakan di
dalamnya. Sedangkan “syariah” secara bahasa adalah jalan menuju sumber
mata air.1 Kata asy-syariah dalam kamus Munawir diartikan peraturan,
undang-undang, dan hukum.2
Sedangkan arti “syariah” secara istilah apabila terpisahkan dengan kata
maqashid memiliki beberapa arti. Menurut Ahmad Hasan, syariah merupakan
an-nusus al-muqaddasah (nash-nash yang suci) dari al-qur’an dan sunnah
yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh pemikiran manusia.
Dalam wujud ini menurutnya, syariah disebut at-tariqah al-mustaqimah (cara,
ajaran yang lurus). Muatan syariah ini meliputi aqidah, amaliyah, dan
khuluqiyyah.3
Maqashid syariah dijelaskan oleh Imam as-Syatibi bahwa syariat bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di dunia maupun di akhirat.
Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut harus dengan adanya bukti-bukti
atau dalil-dalil yang jelas.
Maqashid syariah mencakup hikmah-hikmah dibalik hukum, maqashid
syariah juga merupakan tujuan-tujuan baik yang ingin dicapai oleh hukum
Islam, dengan membuka sarana menuju kebaikan atau menutup sarana menuju
keburukan. Maqashid syariah mencakup “menjaga akal dan jiwa manusia”
menjelaskan larangan tegas terhadap minuman beralkohol dan minuman
penghilang akal lainnya. Selain itu makna maqashid syariah adalah

1
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hal. 20.
2
Munawwir, Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progesif, 1997), hal.
711.
3
Kutbhuddin Aibak, Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 50

3
sekumpulan maksud ilahiyah dan konsep-konsep moral yang menjadi dasar
hukum Islam. Maqashid syariah dapat pula mempresentasikan hubungan
hukum Islam dengan ide-ide terkini tentang hak-hak asasi manusia,
pembangunan dan keadaban. 4
B. Dasar Hukum Maqashid Syariah
Semua perintah dan larangan Allah dalam al-Qur'an dan sunnah
mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai
hikmah tujuan, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, hal tersebut sesuai
dengan firman Allah swt. di dalam QS. al-Anbiyaa'/21: 107

َ‫س ْل ٰن َك ا اَِّل َر ْح َمتً ِلّ ْلعٰ لَ ِميْه‬


َ ‫َو َما ٓ اَ ْر‬
Terjemahnya: Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi
seluruh alam.5
Berdasarkan ayat tersebut Allah swt. memberitahukan bahwa Allah swt.
menjadikan Muhammad saw. sebagai rahmat bagi alam semesta.
Berbahagialah di dunia dan di akhirat mereka yang menerima rahmat tersebut
dan mensyukurinya. Sedangkan yang menolak dan mengingkarinya merugi di
dunia dan di akhirat. 6
Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan dengan
kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat dapat diartikan
sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima
akal mengandung pengertian bahwa akal dapat mengetahui dan memahami
motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung
kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah
atau dengan jalan rasionalisasi. Kemaslahatan yang dijelaskan secara langsung
oleh Allah swt. terdapat dalam QS. al-'Ankabut/29: 45

4
Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terj. Rosidin dan Ali
Abd el Mun‟im ( Jakarta: Mizan, 2015), hal. 32
5
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: Diponegoro, 2005), hal. 264
6
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsier, terjemahan H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004) hal. 44

4
‫ص ٰلىةَ تَ ْنهٰ ى َع ِه ْالف َْحش َۤا ِء‬
‫ص ٰلى َۗةَ ا اِن ال ا‬ ِ ‫اُتْ ُل َما ٓ ا ُ ْو ِح َي اِلَي َْك ِمهَ ْال ِك ٰت‬
‫ب َواَ ِق ِم ال ا‬
ْ َ‫ّٰللاُ َي ْعلَ ُم َما ت‬
َ‫ص َنعُ ْىن‬ ِ ‫َو ْال ُم ْنك َِز ََۗولَ ِذ ْك ُز ه‬
‫ّٰللا اَ ْك َب ُز ََۗو ه‬
Terjemahnya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari keji dan
mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar . Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.7
Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa shalat mengandung dua hikmah,
yaitu sebagai pencegah diri dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar. Shalat
sebagai pengekang diri dari kebiasaan melakukan kedua perbuatan tersebut
dan mendorong pelakunya dapat menghindarinya. 8
C. Gradasi Maslahah Dalam Maqashid syariah
Menurut Syathibi, maqashid dapat dipilih menjadi dua bagian yaitu
menjelaskan bahwa maqshid asy-Syari’ terdiri dari beberapa bagian yaitu :
pertama, Qashdu asy-Syari’fi Wadh’I asy-Syari’ah (tujuan Allah dalam
menetapkan syariat), kedua, Qashdu asySyari’fi Wadh’I asy-Syari’ah lil Ifham
(Tujuan Allah dalam menetapkan syariahnya ini adalah agar dapat dipahami) ;
ketiga, Qashdu asy-Syari’fi Wadh’I asy-Syari’ah li al-Taklif bi Muqatadhaha
(Tujuan Allah dalam menetapkan syariah agar dapat dilaksanakan.
Dalam pandangan Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum)
bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan,
baik di dunia maupun diakhirat. Aturan-aturan dalam syariat tidaklah dibuat
untuk syariah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan.
Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah
tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Syathibi kemudian
membagi maqashid dalam tiga gradasi tingkat, yaitu dharuriyyat (primer),
hajijiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (tersier). Dharuriyyat yaitu memlihara
kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang

7
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., hal. 321
8
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir....hal.46

5
pokok itu ada lima yaitu : agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl),
harta (al-mal) dan akal.
Sedangkan Hajijiyyat merupakan kebutuhan yang tidak bersafat esensial,
melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan
hidupnya. Tidak terpelihara kebutuhan ini tidak mengancam lima kebutuhan
dasar manusia. Dan kalau Tahsiniyyat itu merupakan kebutuhan yang
menunjang peningkatan martabat manusia dalam masyarakat dan di hadapan
Tuhannya sesuai dengan kepatuhan.
Lebih lanjut terkait dengan tingkatan dalam Maqashid Syariah, Umar
Chapra menjelaskan bahwa istilah penjagaan dalam maqashid bermakna
pengembangan dan pengayaan secara terusmenerus. Disamping hal tersebut,
Umar Chapra menyebutkan ahwa meletakkan iman (al-din) pada urutan
pertama dan harta (al-mal) pada urutan terakhir merupakan suatu hal yang
sangat bijaksana. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa tidak selamanya
peringkat yang pertama menunjukkan yang pertama lebih penting atau
sebaliknya. 9
Dalam mempermudah pemahaman dalam hal itu dapat digambarkan
tentang gradasi tersebut berdasarkan peringkat kemaslahatan masing-masing
sebagai berikut :
1. Memelihara agama
Menjaga atau memelihara agama berdasarkan kepentingan dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat : (1) memelihara agama dalam peringkat
dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang
masuk peringkat, seperti melaksanakan shalat lima waktu. (2) memelihara
agama dalam peringkat hajjiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama,
dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jamak dan qashar. Kalau
ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi
agama, tetapi hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya. (3)
memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat yaitu mengikuti petunjuk

9
Ekarina Katmas, “Analisis Program Pengentasan Kemiskinan Di Kecamatan Toyando Tam
Perspektid Maqashid Al-Syariah”, (Malang : UIN Maulana Malik Ibrahim, 2018), hal. 34

6
agama untuk menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi
pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan, misalnya menutup aurat, baik didalam
maupun diluar sholat, dll. Artinya bila tidak ada menutup aurat seseorang
boleh shalat, jangan sampai meninggalkan shalat yang termasuk kelompok
dharuriyyat. Kelihatannya menutup aurat ini tidak dikatogorikan sebagai
pelengkap, karena keadaannya sangat diperlukan manusia. Namun kalau
mengikuti pengelompokkan diatas tidak berarti sesuatu yang termasuk
tahsiniyyat itu dianggap tidak penting, karena kelompok ini akan menguatkan
kelompok hajjiyyat dan dharuriyyat.
2. Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentinganya dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat : (1) memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyyat,
seperti memenuhi kebuthan pokok berupa makanan untuk mempertahankan
hidup. (2) memelihara jiwa, dalam peringkat hajjiyyat, seperti diperbolehkan
berburu binatang untuk menikamti makanan yang lezat dan halal. Kalau
kegiatan ini tidak akan mengancam eksistensi manusia. (3) memeliahra jiwa
dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan
minum.
Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali
tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia atau mempersulit kehidupan
manusia.
3. Memelihara akal
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat : (1) memelihara akal dalam peringkat dharuriyyat,
seperti diharamkan meminum minuman keras dan lainnya. (2) memelihara
akal dalam perigkat hajjiyyat seperti dianjurkannya menuntut ilmu
pengentahuan. Jika hal itu tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal. (3)
memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat.
Seperti menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu
yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan
mengancam ekstensi akal secara langsung.

7
4. Memelihara keturunan
Memelihara keturunan ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya dapat
dibedakan menjdai tiga peringkat: (1) memelihara keturunan dalam peringkat
dharuriyyat, seperti disyariatkan nikah dan diharamkan berzina. (2)
memelihara keturunan dalam peringkat hajjiyyat, seperti ditetapkannya
ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan
diberikan hak talak kepadanya. (3) memelihara keturunan dalam peringkat
tahsiniyyat, seperti disyariatkannya khitabah (tunangan) atau walimah dalam
perwakinan.
Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perwakinan. Jika hal
ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan dan tidak
pula mempersulit bagi orang yang melaukan perkawinan.
5. Memelihara harta.
Dilihat dari segi kepentingannnya, memelihara harta dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat : (1) memelihara harta dalam peringkat dharuriyyat,
seperti syariat tentang cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta
orang lain dengan cara yang tidak sah. (2) memelihara harta dalam peringkat
hajjiyyat seperti syariat tentang jual beli dengan cara salam.
Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi
harta, tetapi akan mempersulit orang yang memerlukan modal. (3) memelihara
harta dalam peringkat tahsinyyat, seperti tentang asuransi yang mana sebagai
pelengkap dimasa yang genting. 10
D. Metode Penemuan Maqashid Syariah
Untuk dapat mengetahui maqashid syariah maka langkah pertama yang
harus ditempuh adalah mendeteksi dan mengetahui (al ma’rifah) eksistensi
maqashid al syari’ah itu sendiri. Hal ini sangat penting untuk meminimalisir
penetapan maqashid al syari’ah secara liar berdasarkan klaim-klaim spekulatif
dan tidak berdasar sebagai basis ijtihad. Imam Al Ghazali sendiri menyatakan

10
Moh. Mufid, “Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer Dari Teori Ke Aplikasi”,
(Jakarta : Prenadamedia Group, 2018),hal. 171-176

8
bahwa maqashid al syari’ah dapat diketahui dari keterangan-keterangan al
Quran, as Sunnah, dan al Ijma’
Terkait dengan kajian al Quran, yang sangat dibutuhkan dalam mendeteksi
dan memahami maqashid al syari’ah adalah penghayatan hikmah-hikmah
ayat-ayat suci (tadabbur) serta pendalaman melalui kitab-kitab tafsir al Quran
yang mu’tabar. Demikian halnya untuk mengetahuinya lewat as sunnah,
dengan mengkaji lebih dalam kitab-kitab hadits sahih, kitab-kitab sunan,
masanid, jawami’, dan syarah-syarah hadits yang diakui kualitasnya.
Menurut Izzuddin bin Abdissalam ntuk mendeteksi dan memahami
maqashid (maslahat dan mafsadat) yang bersifat diniyah, tidak ada jalan lain
untuk mewujudkannya kecuali melalui keterangan-keterangan normatif (naqli)
baik dari al Quran, as Sunnah, al Ijma, al Qiyas al Mu’tabar, dan al Istidlal al
Sahih. Sementara untuk maslahat yang bersifat duniawiyah, pendekatannya
boleh berdasarkan dalil logika (aqli) dan optimalisasi penggunaan nalar dan
rasio yang benar melalui serangkaian eksperimen, kebiasaan empirik,
kumpulan hipotesa, dll. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua cara
untuk mendeteksi dan memahami maqashid al syari’ah, yaitu dengan
pendekatan normatif (berdasarkan keterangan al Quran, al Sunnah, dan al
Ijma) dan pendekatan logis rasional (dengan memaksimalkan nalar
berdasarkan kaidah berfikir yang benar). 11
Adapun, metode penetapan maqashid syari’ah menurut al Syatibi dapat
ditempuh melalui empat metode berikut:
1. Mujarrad al amr wa an nahy al ibtida’i at tasrihi
Metode ini dapat dipahami sebagai sebuah upaya melihat ungkapan
eksplisit perintah dan larangan dalam nash, yang eksistensi kedua unsur
tersebut ada secara mandiri (ibtidai). Sebagaimana dipahami, suatu perintah
menuntut ditunaikannya perbuatan yang diperintahkan, sementara suatu
larangan menuntut dijauhinya perkara yang dilarang. Maka terwujudnya
perbuatan yang dikehendaki perintah syari’at, atau tercegahnya perkara yang

11
Muhammad Aziz dan Solikah, Metode Penetapan Maqashid al-Syariah: Studi Pemikiran
Abu Ishaq al Syatibi, Ulul Albab, Vol. 14 No. 2, 2013, hal.10

9
dilarang, dapat disimpulkan berkesesuaian dengan kehendak Allah SWT
(maqshud syariah). Bila yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, perkara
yang diperintahkan tidak terlaksana, atau perkara yang dilarang justru tetap
dilaksanakan juga, maka hal itu dianggap menyelisihi maqashid syariah.
Dengan demikian, penetapan dengan cara ini bisa dikategorikan sebagai
penetapan berdasarkan literal nash, yang dibingkai dengan pemahaman umum
bahwa dalam perintah syari’at pasti terdapat unsur maslahat dan dalam setiap
larangan pasti ada unsur mafsadat.
2. Memperhatikan konteks illat dari setiap perintah dan larangan
Metode ini pada hakikatnya masih memiliki keterkaitan erat dengan
metode pertama, tetapi titik fokusnya lebih pada pelacakan illat di balik
perintah dan larangan. Pada tataran ini, penetapan maqashid berangkat dari
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang ada apa di balik perintah dan
larangan itu? Mengapa perkara ini diperintahkan? Mengapa hal itu dilarang?
Dengan pembahasan ini, al Syatibi tidak menjadikan illat sebagai maqashid itu
sendiri, melainkan sebatas alamat atau isyarat yang mengarahkan kepada
maqashid. Adapun yang dijadikan maqashid adalah konsekwensi ideal dari
illat (muqtadha al ilal) dari sisi terlaksananya perbuatan yang diperintahkan
dan tercegahnya perkara yang dilarang.
3. Memperhatikan semua maqashid turunan (at tabi’ah)
Semua ketetapan syari’at, ibadah maupun mu’amalah, memiliki tujuan
yang bersifat pokok (maqshud al ashli) dan yang bersifat turunan (maqashid
at tabi’ah). Dalam syari’at nikah misalnya, yang menjadi maqshud al ashli
adalah kelestarian manusia lewat perkembang-biakan (at tanasul). Sementara
setelahnya, terdapat beberapa maqashid turunan (tabi’ah) seperti
mendapatkan ketenangan (as sakinah), tolong-menolong dalam kemaslahatan
duniawi dan ukhrawi, penyaluran hasrat biologis manusiawi (al istimta’)
secara halal, membentengi diri dari terpaan fitnah, dll, semua itu merupakan
akumulasi dari maqashid at tabi’ah dalam syari’at nikah.
Dari semua maqashid itu, ada yang diungkapkan secara eksplisit oleh
nash (manshush), ada yang sebatas isyarat yang mengindikasikan kepada

10
maqashid, dan ada pula yang dipahami dari dalil-dalil lain atau disimpulkan
berdasarkan penelusuran secara induktif (maslak al istiqra’) dari nash-nash
yang ada. Maka keberadaan semua maqashid yang bersifat turunan ini
dianggap sebagai kehendak Allah (maqshud asy syari’) yang berfungsi untuk
menguatkan dan menetapkan eksistensi maqshud al ashli. Bahkan lebih jauh,
semua maslahat yang muncul secara empirik dari syari’at nikah sekalipun
tidak manshush, diposisikan sebagai penguat terhadap maqshud ashli. Dengan
demikian, semua hal yang bertentangan terhadap semua maqashid baik ashli
maupun tabi’ah, baik maslahat yang manshush maupun maslahat yang
empirik, dianggap menyelisihi maqshud asy syari’. 12
4. Tidak adanya keterangan syar’i (sukut asy sayri’)
Maksud dari metode ini adalah tidak adanya keterangan nash mengenai
sebab hukum atau disyari’atkannya suatu perkara, baik yang memiliki
dimensi ubudiyah maupun mu’amalah, padahal terdapat indikasi yang
memungkinkan terjadinya perkara tersebut pada tataran empirik. Secara rinci,
cakupan perkara yang tidak ada keterangan syar’i ini dipetakan pada dua jenis
yaitu :
a. Ketiadaan keterangan karena belum adanya kebutuhan tasyri’ untuk
menjelaskannya. Persoalan yang masuk dalam kategori ini adalah semua
persoalan baru yang muncul (an nazilah) setelah wafatnya Rasulullah.
Maka, upaya mengetahui dan menetapkan maqashid-nya adalah dengan
mengembalikan furu’ kepada ushul yang relevan, atau dengan menelusuri
nash-nash yang memiliki keterkaitan dan menyimpulkannya secara
induktif atau al istiqra’.
b. Perkara yang telah berkemungkinan ada di masa tasyri’, tetapi tidak ada
keterangan syari’at terhadapnya. Permasalahan ini lebih terkait dengan hal
hal berdimensi ubudiyah. Dalam hal ini, persoalannya dipetakan kepada
tiga bagian, yaitu : Mengerjakan sesuatu yang tidak ada keterangan
syari’at terhadap status pelaksanaannya, atau meninggalkan sesuatu yang

12
Muhammad Aziz dan Solikah, Metode Penetapan Maqashid al-Syariah: Studi Pemikiran
Abu Ishaq al Syatibi,hal..12-13

11
diizinkan oleh syari’at, Mengerjakan sesuatu yang tidak ada dalil syari’at
terhadap izin pelaksanaannya, atau meninggalkan sesuatu yang diizinkan
syari’at, dan Melakukan sesuatu yang tidak ada keterangan syari’at, tetapi
hal itu menyelisihi ketetapan syari’at yang lain.
Dengan demikian, al Syathibi berpendapat bahwa sesuatu yang didiamkan
syari’at tidak secara otomatis melaksanakannya dihukumi bertentangan
dengan syari’at. Maka yang harus dilakukan dalam menjernihkan
permasalahan ini adalah mendeteksi dimensi maslahat dan mudharat di
dalamnya. Bila terindikasi adanya maslahat, maka hal itu bisa diterima.
Sebaliknya bila terdeteksi dimensi mudharat di dalamnya, secara otomatis hal
itu tertolak. 13
E. Urgensi Maqashid Syariah Dalam Ijtihad Masalah Ekonomi
Maqashid Syariah sangat penting untuk diketahui karena dapat
menjelaskan hikmah, tujuan atau alasan yang sesungguhnya dari sebuah
hukum, wajar kiranya jika ulama berpendapat bahwa Maqashid Syariah
merupakan inti dari fiqh. Dalam hal ini, pada prinsipnya mengetahui
Maqashid Syariah berarti memahami agama dan mengetahui aturan syariat.
Dengan Maqashid Syariah kita dapat mengetahui apa yang termasuk taat,
maksiat, rukun dan sunat. 14
Adanya Maqashid Syariah ini sangat penting dalam penentuan setiap
hukum, termasuk dalam penentuan hukum-hukum yang berkaitan dengan
aktivitas ekonomi. Dengan demikian transaksi muamalat memiliki landasan
epistimologinya yang bersumber pada penalaran maqashid syariah. Beberapa
hal yang melatarbelakangi Maqashid Syariah bisa dijadikan penentu hukum
dalam aktivitas ekonomi, diantaranya :
1. Kemajuan zaman yang memunculkan transaksi-transaksi ekonomi
modern yang tidak ada pada zaman Nabi atau tidak memiliki dalil-dalil
yang secara jelas mendasarinya. Dengan maqasid, para mujtahid

13
Muhammad Aziz dan Solikah, Metode Penetapan Maqashid al-Syariah: Studi Pemikiran
Abu Ishaq al Syatibi hal..14-15
14
Muh. Darwis, Urgensi Maqashid Al-Syariah dalam Ijtihad, Jurnal Al Ahkam, Vol. 4 No. 2,
2014, hal. 96-97

12
diharapkan dapat melahirkan hukum-hukum Islam yang elastis sehingga
sesuai dengan perkembangan zaman.
2. Kembali bangkitnya diskursus ekonomi Islam yang sampai saat ini terus
mengalami pengembangan pada tataran praktis. Dengan melahirkan
hukum yang elastis berdasarkan maqasid, umat Islam diharapkan mampu
meningkatkan kepercayaan dirinya bahwa syariah yang diyakininya
sesuai dengan segala keadaan dan zaman.15
Terkait urgensi maqashid, mayoritas ulama sepakat bahwa ushul fiqh
menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu syariah. Serta tema
terpenting dalam ushul fiqh adalah maqashid syariah. Sehingga maqashid
syariah ini menjadi jantung dalam ilmu ushul fiqh, karena itu maqashid
syariah menduduki posisi penting dalam merumuskan ekonomi syariah,
menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah. Para ulama
ushul fiqh sepakat bahwa penegtahuan maqashid syariah menajdi syarat
utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai problematika kehidupan
ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid syariah tidak saja
diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter,
fiskal, publik finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk
perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya.
Selain itu, maqashid syariah ini juga sangat diperlukan dalam membuat
regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.
Maqashid syariah tidak saja menjadi faktor yang paling menentukan dalam
melahirkan produk-produk ekonomi syariah yang dapat berperan ganda (alat
kontrol sosial dan rekayasa sosio-economy) untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia. Maqashid syariah dapat memberikan dimensi filosofis dan rasional
terhadap produk-produk hukum ekonomi islam yang dilahirkan dalam
aktvitas ijtihad ekonomi syariah kontemporer. Maqashid syariah akan
memberikan pola pemikiran yang rasional dan substansial dalam memandang
akad-akad dan produk perbankan syariah. Hanya dengan pendekatan

15
Zaki Zamani, Urgensi Maqasid Al-Syariah dalam Manajemen Perbankan Syariah, Jurnal
Ekonomi Syariah, Vol. 2 Nomor 1, 2017, hal. 128-129

13
maqashid syairah-lah produk perbankan dan keuangan syariah dapat
berkembang dengan baik dan dapat meresponi kemajuan bisnis yang terus
berubah dengan cepat.16
Di era kemajuan ekonomi dan keuangan syariah kontemporer, banyak
persoalan yang muncul dengan segala problematikanya. Semua kasus dan
upaya ijtihad terhadap komplesitas ekonomi dan keuangan syariah masa kini
yang terus berubah dan berkembang memerlukan analisis berdimensi filosofis
dan rasional dan substantif yang terkandung dalam konsep maqashid syariah.
Tanpa maqashid syariah, maka semua pemahaman mengenai ekonomi
syariah, keuangan dan perbankan syariah akan sempit dan kaku. Tanpa
maqashid syariah, seorang pakar dan praktisi ekonomi syariah akan selalu
keliru dalam memahami ekonomi syariah. Tanpa maqashid syariah, produk
keuangan dan perbankan, regulasi, fatwa, kebijakan fiskal dan moneter akan
kehilangan substansi syariahnya. Dengan demikian, jiwa maqashid syariah
akan mewujudkan fikih muamalah yang elastis, fleksibel, lincah dan
senantiasa bisa sesuai dengan perkembangan zaman. Penerapan maqashid
syariah akan membuat bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang dan
kreatif menciptakan produk-produk baru. 17
F. Aplikasi Konsep Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam
Beberapa implementasi maqasid syariah dalam sistem ekonomi Islam, yaitu :
1. Maqashid dalam Proses Produksi
Dengan mengacu pada konsep maslahah sebagai tujuan dari maqashid
syariah, maka proses produksi akan terkait dengan beberapa faktor berikut :
pertama, karena produsen dalam Islam tidak hanya mengejar profitability
namun juga menjadikan maslahah sebagai barometernya, maka ia tidak akan
memproduksi barang atau jasa yang tidak searah dengan maqashid syariah.
Produsen dalam ekonomi konvensional bisa jadi akan membuka kasino
maupun praktik prostitusi demi mengejar keuntungan. Namun tidak demikian

16
Moh. Mufid, “Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer Dari Teori Ke Aplikasi,
hal. 187
17
Moh. Mufid, “Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer Dari Teori Ke Aplikasi,
hal. 187-188

14
halnya dengan produsen dalam ekonomi islam, karena kasino bertentangan
dengan hifz al-mal sedangkan praktik prostitusi tidak sejalan dengan hifz al-
nash. Kedua, dalam banyak hal jenis dan jumlah supply relatif pada demand.
Jika diasumsikan bahwa semua demand di suatu pasar berdasar pada maslahah
yang berakar pada needs, maka supply dari produsen akan mengikuti demand
tersebut. Meskipun demikian masih ada demand yang tidak sesuai
kemaslahatan, maka produsen dalam ekonomi islam semestinya tidak
menyuplai permintaan tersebut hanya karena profit semata. 18
2. Maqashid Syariah dalam Konsumsi
Tujuan konsumsi selalu identik dengan perolehan suatu kepuasan yang
tertinggi, maka suatu barang atau jasa itu dikatakan telah memberikan
kepuasan ketika membawa suatu manfaat dan kemaslahatan. Dalam Islam,
tujuan konsumsi bukanlah konsep utulitas (kepuasan) semata melainkan
kemaslahatan (maslahah). Pencapaian maslahah tersebut merupakan tujuan
dari maqashid syariah itu sendiri. Maslahah dipenuhi berdasarkan
pertimbangan rasional normatif dan positif, maka ada kriteria obyektif tentang
suatu barang ekonomi yang memiliki nilai maslahah atau tidak. 19
Sebagai contoh, minuman keras mempunyai nilai utilitas bagi seorang
pemabuk (memberikan rasa puas), produsen (dapat memberikan laba
maksimum), petugas pajak atau pemerintah (dapat memberikan pemasukan
yang relatif cukup besar). Berbeda halnya jika diliat dari maqashid syariah
hifz al-aqli (memelihara akal) maka dampak negatif yang ditimbulkan miras
jauh lebih besar. Maka dengan menggunakan penalaran maqashid syariah dan
perspektif moral serta medis sudah pasti miras tidak memberikan aspek
maslahat dalam pandangan Islam. Itu sebabnya, dalam Islam kegiatan
ekonomi Islam yang berhubungan dengan konsumsi harus melihat dari aspek
maslahat bukan sekadar aspek kepuasan atau utilitas. 20

18
Hafidzh, Maqashid Syari’ah dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta : UIN Sunan Kalijaga,
2010), hal. 7
19
Ika Yunia Fauzia, Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syariah, (Jakarta :
Kencana Prenada Media, 2014), hal. 166
20
Moh. Mufid, “Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer Dari Teori Ke Aplikasi, hal
190

15
3. Maqasid syariah dalam kebijakan fiskal
Kebijakan fiskal didefinisikan sebagai kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan penggunaan pajak, pinjaman masyarakat, pengeluaran
masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilitas atau pembangunan,
sehingga terbentuk modal dan laju pertumbuhan ekonomi yang berjalan dengan
baik. Dasar kebijakan fiskal secara umum bertujuan untuk pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimaksud dalam kebijakan
fiskal Islam yaitu kebijakan pemerintah dalam pengembangan masyarakat yang
didasari atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai
material dan spritual dalam tingkat yang seimbang. 21
Maqashid syariah sebagai dasar kebijakan fiskal memiliki peranan yang
sangat urgent dalam pembangunan ekonomi. Prinsip kebijakan fiskal dalam
Islam bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas
distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan kepentingan material dan
spiritual pada tingkat yang sama. Oleh karena itu, kebijakan fiskal merupakan
komponen yang penting dalam keuangan publik. Peranan kebijakan fiskal
dalam suatu ekonomi ditentukan oleh keterlibatan pemerintah dalam aktivitas
ekonomi, khususnya yang kembali ditentukan oleh tujuan sosio-ekonominya,
karena ideologi dan hakikat sistem ekonomi.
Instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam dapat dikategorikan
dalam 3 hal, yaitu masalah penerimaan negara, pengeluaran negara dan utang
negara. Dalam sistem dan kebijakan fiskal Islam, zakat mempunyai kedudukan
istimewa dan strategis karena sebagai sumber pendapatan yang utama. Zakat
dapat dianggap sebagai sistem fiskal komprehensif yang memiliki kelengkapan
aturan mencakup subjek, objek, tarif, nisab, haul hingga lokasi distribusinya.
Dengan demikian, maqashid syariah dalam konteks kebijakan fiskal Islam
adalah adanya keadilan dalam pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai
kesejahteraan masyarakat.22

21
Ahmad Dahlan, Keuangan Publik Islam Teori dan Praktik, (Yogyakarta : Grafindo Litera
Media, 2008), hal. 94
22
Moh. Mufid, “Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer Dari Teori Ke Aplikasi,
hal.. 191-192

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Maqashid Syariah ialah berisi tujuan-tujuan baik yang ingin dicapai oleh
hukum Islam, dengan membuka sarana menuju kebaikan atau menutup sarana

17
menuju keburukan. Maqashid syariah mencakup “menjaga akal dan jiwa
manusia” menjelaskan larangan tegas terhadap minuman beralkohol dan
minuman penghilang akal lainnya. Adapun dasar syariah maqashid syariah
adalah QS. al-Anbiyaa'/21: 107 dan QS. al-ankabut'/29: 45. Selanjutnya,
gradasi maqashid syariah ini diantaranya adalah memelihara jiwa, akal, harta,
keturunan dan agama.
Metode dalam mengetahui maqashid syariah terdapat dua cara untuk
mendeteksi dan memahami maqashid al syari’ah, yaitu dengan pendekatan
normatif (berdasarkan keterangan al Quran, al Sunnah, dan al Ijma) dan
pendekatan logis rasional (dengan memaksimalkan nalar berdasarkan kaidah
berfikir yang benar).
Maqashid Syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam ilmu-ilmu
syariah. Selain menjadi faktor yang paling penting dalam melahirkan produk-
produk ekonomi, Maqashid syariah juga dapat memberikan dimensi filosofis
dan rasional terhadap produk-produk hukum ekonomi islam yang dilahirkan
dalam aktvitas ijtihad ekonomi syariah kontemporer. Selanjutnya, aplikasi
maqashid syariah dalam ekonomi islam terletak pada maqashid dalam proses
produksi dan konsumsi serta maqashid dalam kebijakan fiskal.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, diharapkan agar pembaca
dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya tentang Konsep
Maqashid Syariah Sebagai Penunjang Sumber Hukum Ekonomi Islam
dan juga dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menunjang perkuliahan
pada mata kuliah Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan.

DAFTAR PUSTAKA

Aibak, Kutbhuddin. (2008). Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

18
Auda, Jasser. (2015). Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, terj.
Rosidin dan Ali Abd el Mun‟im. Jakarta: Mizan.

Aziz , M., & Solikah. (2013). Metode Penetapan Maqashid al-Syariah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatib. Ulul Albab, Vol. 14 No. 2, 10.

Dahlan, Ahmad. (2008). Keuangan Publik Islam Teori dan Praktik. Yogyakarta:
Grafindo Litera Media.

Darwis, Muh. (2014). Urgensi Maqashid Al-Syariah dalam Ijtihad. Jurnal Al


Ahkam, Vol. 4 No. 2, 96-97.

Departeman. Agama RI. (2005). Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Jakarta:


Diponegoro.

Fauzia , Ika. Yunia. (2014). Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-
Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Hafidzh. (2010). Maqashid Syari’ah dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: UIN


Sunan Kalijaga.

Katmas, Ekarina. (2018). Analisis Program Pengentasan Kemiskinan Di


Kecamatan Toyando Tam Perspektid Maqashid Al-Syariah. Malang : UIN
Maulana Malik Ibrahim.

Katsir, Ibn. (2004). Tafsir Ibnu Katsier, terjemahan H. Salim Bahreisy dan H.
Said Bahreisy. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Mardani. (2010). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah


Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Mufid, M. (2018). Ushul Fiqh Ekonomi Dan Keuangan Kontemporer Dari Teori
Ke Aplikasi. Jakarta: Prenadamedia Group.

Munawwir. (1997). Al Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka


Progesif.

19
Zamani, Zaki. (2017). Urgensi Maqasid Al-Syariah dalam Manajemen Perbankan
Syariah. Jurnal Ekonomi Syariah, Vol. 2 Nomor 1, 128-129.

20

Anda mungkin juga menyukai