ABSTRAK
A. PENDAHULUAN
Masalah ini menjadi perhatian para pemikir ekonomi islam yang membutuhkan
perhatian bersama dan masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memprakarsai pembentukan Pengadilan Arbitrase Muamarat Indonesia
(BAMUI) yang diresmikan paatanggal 21 Oktober 1993 di Jakarta Menurut H. Hartono
Mardjono, ada suatu “badan tetap” yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan
perselisahan perdata antara Bank Syariahdengan nasabahnya. sesama muslim dengan
hubungan sipil. Syariah sebagai dasar adalah kebutuhan nyata.
1
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Binacipta, 1992), h. 1.
terjadinya konflik antar pelaku ekonomi dalam ekonomi syariah merupakan keniscayaan
yang tak tehindarkan. Sejak tahun 1998, ketika operasi perbankan syariah skala besar
dimulai, sengketa yang berkaitan dengan perbankan syariah umumnya diselesaikan
melalui arbitrase oleh Pengadilan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Hal ini karena
kontrak (perjanjian) antara bank syariah dan nasabahnnya biasanya selalu menyertakan
klausul arbitrase.
Ide pendirian lembaga arbitrase Islam di Indonesia berawal ketika para eknomi
Islam, ulama, praktisi hukum, kyai dan ulama bertemu untuk bertukar pandangan tentang
perlunya mendirikan lembaga arbitrse Islam di Indonesia. Rapat ini dipimpin oleh Majelis
Pempinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah melalui beberapa kali pertemuan dan
penyempurnaan rancangan struktur kelembagaan dan prosedur Lembaga Arbitrase
Muamarat Indonesia (BAMUI) pada tanggal 23 Oktober 1993, sekarang dengan nama
Badan Arbitrase Syariah Nasiona (Basyarnas), berdasarkan keputusan Rakernas MUI
2002. Perubahan bentuk dan kepengurus BAMUI diatur dalam SK MUI NO. Kep-
09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 mengukuhkan status Basyarnas sebagai
badan arbitrase yang menanganai penyelesaian sengketa di bidang eknomi syariah.
(Sumitro 2004, 167).
Hambatan hukum dalam penyelesaian sengketa antara bank syariah dan ekonomi
syariah pada umumnya pada awalnya terletak pada pemilihan forum arbitrase, karena
pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai dasar hukum penyelesaian
sengketa, menggunakan hukum afirmatif sebagai dasar hukumnya dalam kasus ini,
namun akad di bank syariah atau perusahaan syariah lainnya selalu menggunakan akad
berdasarkan prinsip syariah. Di sisi lain, pengadilan agama yang dianggap lebih tepat
untuk menangani sengketa ekonomi syariah ini, tidak termasuk dalam yuridiksi absolut
dan oleh karena itu tidak memenuhi syarat untuk melakukannya secara normatif.
Peraturan-peraturan yang diterapkan Bayarnas pada dasarnya mengacu pada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa sebagai hukum utama bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia, baik secara
konsep maupun praktik. Penerapan konsep syariah Basharna dalam menyelesaikan
persoalan berbasis syariah secara filosofis berbeda dengan aturan UU No. 30 Tahun 1999
yang ada, yang tidak sepenuhnya mecerminkan nilai-nilai filosofis tersebut. Akibatnya,
timbul persoalan, termasuk kewajiban Basyarnas untuk mendaftarkan putusannya
kepengadilan negeri.2
Ketentuan Pasal 59 (1) Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa
dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal putusan, jika suatu putusan diberikan,
arbiter atau wakilnya harus mengajukan salinan putusan yang asli atau yang telah
disahkan kepada Panitera Pengadian Negeri untuk didaftarkan, Selanjutnya Pasal 59 (4)
UU NO. 30 Tahun 1999 mengatur bahwa tidak dipenuhinya ketentuan di atas akan
mengakibatkan putusan arbitase tidak dapat dilaksanakan. Selanjutnya Pasal 60 Undang-
2
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menentukan
bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat, dan
hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; dan (c) Wakaf dan shadaqah.
Undang Nomor 30 Tahun 2009, jo Pasal 59 (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final, res judicate prmanen dan meningkat
para pihak. jadi terikat. Namun, keputusan arbiter hanya dapat dilaksanakan atas izin atau
perintah eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, lembaga arbitrase wajib
mendaftakarkan putusanya ke pengaadilan negeri.
Pada Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan
Inkuisisi diundangkan,termasuk ekonomi syariah sebagai salah satu yurisdiksa mutlak
Pengadilan Inkuisisi. Untuk memastikan keberadaan Basharna, MUI menciptakan
Basharna sebagai alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah di luar pengadilan
(non-litigasi) sebagai respon atas lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
(sufriadi 2007,253). Isu berikutnya menyangkut implementasi (penegakan) keputusan
Basharnas. Karena UU No. 30 Tahun 1999 membatasi kewenangan pengadilan agama,
maka tidak mudah menegakkan kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Hal ini sejalan dengan UU No.30/1999 yang menyatakan
bahwa pengadilan negeri memiliki kekuasaan sebagai penegak hukum. Ketentuaninni
berlaku untuk putusan Pengadilan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Basyarnas dan
badan arbitrase lainnya. Penegakan putusan majelis arbitrase berdasarkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada umumnya diamanatkan oleh peradilan umum,
sehingga persoalan penegakan putusan Basyarnas menjadi topik hangat di kalangan
praktisi, akademisi, dan profesional hukum, menimbulkan pertanyaan dan perdebatan.
Dalam hal ini terjadi konflik antara norma hukum atau hukum timbal balik.
Dengan latar belakang tersebut, pembahasan penelitian ini berfokus pada dua hal.
Rumusan masalah pertama menggambarkan kewenangan Mahkamah Arbitrase Syariah
Nasional dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indonesia. Rumusan
Pertanyaan ked menyangkut efektivitas pelaksanaan putusan Pengadilan Arbitrase
Syariah Nasional yang dibentuk oleh pengadilan negeri dalam penyeleaian sengketa
ekonomi syariah di Indonesia.3
3
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
keuangan Islam atas lembaga keuangan tradisional mencerminkan komitmen Muslim
untuk iman dan Islam mereka. Oleh karna itu, dalam menjalankan aktivitas lembaga
keuangan syariah harus selalu menjunjung tinggi etika bisnis syariah, termasuk yang
berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang timbul di antara para pelaku ekonomi
syariah tersebut.
Lebih lanjut, Hidayant berpendapat bahwa meskipun sistem peradilan Islam ada
dan statusnya dalam sistem perdilan nasional diakui oleh UU No. Ia juga menjelaskan
bahwa itu tidak mencakup wilayah. oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak akan
lembaga arbitrase Islam yang didedikasikan untuk sengketa di bidang ekonomi Islam.
Oleh karena itu, pada tanggal 4 Mei 1992, Majelis Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) membentuk tim untuk mengkaji dan mempersiapkan pendirian Lembaga Arbitrase
berdasarkan SK MUI Nomr. Kep. 392, Kelompok Kerja Pembentukan Komisi Arbitrase
Hukum Islam. Setelah banyak penyempurnaan terhadap konsep dan draf yang ada,
akhirnya dibentuklah Komisi Arbitrase Muamara Indonesia (BAMUI) pada 21 Oktober
1993. (Hidayanto 2003,87).
Pertama, perkembanan pengaturan kewenangan peradilan agama di bidang
ekonomi syariah, yaitu Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 55
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang
Peradilan Agama. Kasus Islamic Das Banking tidak sesuai dengan pasal 59 (1) Undang-
Undang Sistem Peradilan. Untuk itu, karena kekhususan prinsip-prinsip Syariah,
pengadilan agama diberikan yurisdiksi untuk menyelesaikan (menyelidiki dan
memutuskan sampai ditegakkan) perselisihan ekonomi berdasarkan hukum Syariah,
khususnya hukum perbankan Syariah, khususnya hukum perbankan Syariah, kekuatan
absolutnya harus diperhitungkan. Peradilan Agama dan Kepastian Hukum. Kedua,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang peradilan, Pasal 59 (1), memberikan
kepastian hukum pada aspek prioritas. (Rahman 2014,13).
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan atau libarary research
dengan memasukkan teori dan informasi untuk penelitian ini dari jurnal, buku, dan
sumber lain yang relevan untuk menghsilkan artikel ini. Tinjauan pustaka secara inheren
digunakan untuk mengumpulkan data terkait perpustakaan da dimasukkan ke dalam hasil
studi pemecahan masalah dari bahan pustaka yang relevan.
C. PEMBAHASAN
a. Arbitase Dalam Islam
Dari sudut pandang Islam, arbitrase dapat disamakan dengan istilah tahkim, yang
berasal dari kata kerja hakkama.Secara etimologis, kata tersebut berarti menghalangi
seseorang untuk berkelahi. Pengertian ini erat kaitannya dengan apa yang dimaksud
dengan istilah. Selain istilah arbitrase syaiah, yang bertindak sebagai badan penyelesaian
sengketa para pihak sebagaimana tersebut di atas, juga dikenal sebagai badan
penyelesaian sengketa paara pihak sebagaimana tersebut di atas, juga dikenal sebgai
badan penyelesaian sengketa parak pihak, yang disebut AL-Shurkh dalam Islam.
Pengertian Arshurf adalah menyelesaikan perselisihan atau konflik. Dalam hal Syariah,
al-shulhu adalah semacam kesepakatan antara dua (dua) orng yang saling berhadapan
untuk mengakhiri perselisihan. Tahhkim sudah ada sejak Khalifah Ali bin Abi Thalib.4
Dari sudut pandang yurispurdensi, istilah Takim, yan didefinisikan oleh Abu al-
Ainain Abdul Fatah Muhammad, tergantung pada dua orang yang berkonflik dengan
seseorang yang memeliki keputusan, mereka puas dalam menyelesaikan perselisihan.5
D. KESIMPULAN
Arbitrase, yaitu mediator atau arbiter, memiliki kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian. Arbitrase identik dengan istilah
Tahkim, yang berasal dari kata kerja hakkama. Secara etimologis, kata kerja hakkama.
Secara etimologis, kata tersebut berarti menghalangi seseorang untuk berkelahi.
Kehadiran Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) memberikan
dukungan hukum tidak hanya melalui hukum lisan, tetapi juga melalui hukum positif.
4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 40.
5
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 464.
6
Pasal 4 Akta Pendirian BAMUI
7
Bab I Yurisdiksi, Pasal 1
Hal ini terlihat jelas dari ketentuan UU No.14 Tahun 1970, khususnya dari Pasal 3 (1)
dan dari penjelasan UU No.30 Tahun 1999. Menurut AL-Qur’an atau Hadits, sekarang
juga ada dasar untuk arbitrase. Kontrak bisnis Bank Umum Syariah mencakup ketentuan
untuk memfasilitasi proses penyelesain jika terjadi perselisihan di kemdian hari, sesuai
dengan aturan Komisi Arbitrase Muamarat Indonesia (BAMUI). Kami menyarankan
Anda menyertakan klausul arbitrase.
Aspek politik hukum Islam, yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase, adalah adanya alternatif alat penyelesian sengketa untuk
mengurangi beban pengadilan. Adapun arbitrase itu sendiri, diundangkannya aturan
arbirase ini adalah adalah solusi untuk mengurangi beban sengketa yang dibawa
pengadilan, seperti solusi yang dibuat pada masa kekhalifahan Ali Bin Abi Talibra, saya
akan mengatakan ya. Atsah, sahabatku, yang merupakan perwujudan dari sisi kesepian
Islam.
E. SARAN
Saran penulis dalam artikel ini adalah:
a) UU No 30 Tahun 1999 harus segera diubah untuk memberlakukan UU Arbitrase
Syariah, karena undang-undang tersebut tidak memuat pembahasan tentang
arbitrase Syariah.
b) Pemerintah harus mendukung lembaga BASYARNAS agar lembaga arbitrse
syariah dapat berperan lebih optimal.
F. DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Rahmat, Ngatino dan Rosyandi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum
Positif, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.