Anda di halaman 1dari 8

ARBITRASE SYARIAH

SEBAGAI POPULASI SENGKETA BISNIS DI INDONESIA

DEA ANANDA FITRIANI


2014120395

ABSTRAK

Arbitrase Syariah Sebagai Solusi Perselisahan Bisnis di Indonesia Artikel ini


menjelaskan tentang kedudukan Komisi Arbitrase ini menjelaskan tentang kedudukan komisi
Arbitrase Muamarat Indonesia (BAMUI) dalam hukum positif dan kebijakan hukum
indonesia. Jika suatu perusahaan secara formal terlibat dalam suatu perselisihan tanpa dasar
hukum yang kuat, perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan. Keberadaan Pengadilan
Arbitrase Muamarat di Indonesia memiliki landasan hukum yang mutakhir dan kemungkinan
badan-badan selain peradilan umum menjadi arbiter/hakim untuk menyelesaikan sengketa
antara pihak. Pasal 3 ayat 1 dan UU No. 20 Tahun 1999. Regulasi arbitrase ini adalah sebuah
langkah solutif pada global ekonomi buat mengurangi menumpaknya beban konkurensi yang
diajukan pada pengadila. Sisi politik aturan Islam yang terefleksi pada Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase merupakan adanya cara lain instrumen
penyelesaian konkurensi sebagai akibatnya hal ini meringankan beban berdasarkan.
pengadilan. Arbitrase itu sendiri merupakan penyelesaian yang dilakukan pada masa
kekhalifahan Ali bin Talib. Oleh karena itu, di undangkannnya peraturan arbitrase ini
merupakan langkah untuk mengurangi beban kumulatif sengketa yang dibawa ke pengadlian
dan menghidpkan kembali, sebuah bentuk yang mewujudkan aspek-aspek islam yang
berorientasi pada solusi, agama.

KEY: Arbitrase Syariah, Sengketa

A. PENDAHULUAN

Perkembangan bisnis domestik dan internasional serta ekonomi syariah melalui


pemanfaatan perbankan syariah juga telah menciptakan kebutuhan akan insitusi yang
bernuansa syariah. Salah satunya adalah Asosiasi Arbitrase Islam, yng bertanggung jawab
untuk menyelesaikan perselesihan bisnis. Sejak deregulasi perbankan pada Oktober 1988
(PAKTO 1988), perkembangan ekonomi syariah telah menciptakan kebutuhan untuk
mengakses layanan perbankan syariah. Kemudian muncul UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan UU Perbankan No. 7. Undang-undang ini mendirikan bank syariah
yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 November 1991.

Bank Muamalat Indonesia merupkan bank pertama yang menerapkan prinsip


syariah, bagi hasil dan menolak sistem suku bunga bank. Bank Prkreditan Rakyat ( BPR)
Syariah pertama di Bandung didirikan pada tanggal 15 juli 1991, yang diberi nama Bank
Perkreditan Rakyat Mardathira dan Bank Perrkreditan rakyat (BPR) berdasarkan prinsip
syriah ditujukan untuk kepetingan umat Islam dalam melakukan usaha dan usaha melalui
layanan perbankan syariah di satu sisi, tetapi juga menimbulkan masalah hukum di sisi
lain. Persoalan tersebut muncul dari hubungan hukumberpa kontrak antara bank sebagai
kreditur dan nasabah sebagai debitur atau pihak lain sebagai rekanan. Perselisihan bisnis
antara pihak-pihak ini seringkali tidak dapat dihindari kaena praktik komersial. Oleh
karena itu diperlukan kewenangan hukum sebagai solusi permasalahan yang sejalan
hukum yang digunakan.
Tentu saja Sengketa bisnis berdasarkan hukum Islam tidak dapat disdelesaikan di
pengadilan umum Indonesia. Demikian pula pengadilan agama tidak memiliki
kewenangan untuk menangani kasus ini, sehingga tidak dapat ditangani di pengadilan
agama. Yang dibutuhkan di sini adalah lembaga yang mampu menyelesaikan sengketa
bisnis menurut hukum Islam. Lembaga ini didirikan pada tanggal 29 Desember 1992 atas
prakarsa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan nama Pengadilan Arbitrase Muamarat
Indonesia (BAMUI). Melalui lembaga ini, semua perselisihan bisnis, baik muslim
maupun non-Muslim, dapat diuntungkan. Dalam piagamnya, sifat lembaga ini terbuka
untuk umum, terlepas dari agama. Keberadaan Komisi Arbitrase Muamarat Indonesia
(BAMUI) tentunya melengkapi perangkat hukum lain sebagai lembaga negara
penyelesaian sengket niaga, yaitu Komisi Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang
telah dibentk sebelumnya.
Secara tradisional, penyelesaian sengketa biasanya dilakuan melalui proses
peradilan atau penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Dalam keadaan seperti itu,
posisi pihak-pihak yang bekonflik sangat bermusuhan (melawan). Kami tidak
merekomendasikan model bisnis ini untu penyelesaian sengketa. Bahkan jika pada
akhirnya diadopsi, itu hanya ulimatum obat setelah pilihan lain telah ditentukan gagal.
Proses penyelesaian sengketa yang panjang memyebabkan ketidakpastian dalam suatu
perusahaan atau pihak yang bersengketa. Solusi ini belum diterima oleh dunia usaha
melalui peradilan dan tidak selalu melayani kepetingan para pihak yang bersengketa.
Solusi ini belum diterima oleh dunia usaha melalui peradilan dan tidak selalu melayani
kepetingan para pihak yang bersengketa secara adil. Penyelesaian suatu perkara oleh
pengadilan mungkin hanya formalitas karena pihak yang bersengketa terpaksa menerima
keputusan pengadilan, meskipun putusan itu sendiri dianggap tidak adil. sering dilakukan
dengan dengan berbagai cra. inilah konsekuensi logis dari penjelasan yudisial atas kasus
tersebut.1

Masalah ini menjadi perhatian para pemikir ekonomi islam yang membutuhkan
perhatian bersama dan masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memprakarsai pembentukan Pengadilan Arbitrase Muamarat Indonesia
(BAMUI) yang diresmikan paatanggal 21 Oktober 1993 di Jakarta Menurut H. Hartono
Mardjono, ada suatu “badan tetap” yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan
perselisahan perdata antara Bank Syariahdengan nasabahnya. sesama muslim dengan
hubungan sipil. Syariah sebagai dasar adalah kebutuhan nyata.

Perkembangan ekonomi syariah di indonesia selaama tiga dekade terakhir


menunjukkan peingkata yang sangat signifikan. Sebagai akibat wajar, kemungkinan

1
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Binacipta, 1992), h. 1.
terjadinya konflik antar pelaku ekonomi dalam ekonomi syariah merupakan keniscayaan
yang tak tehindarkan. Sejak tahun 1998, ketika operasi perbankan syariah skala besar
dimulai, sengketa yang berkaitan dengan perbankan syariah umumnya diselesaikan
melalui arbitrase oleh Pengadilan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Hal ini karena
kontrak (perjanjian) antara bank syariah dan nasabahnnya biasanya selalu menyertakan
klausul arbitrase.
Ide pendirian lembaga arbitrase Islam di Indonesia berawal ketika para eknomi
Islam, ulama, praktisi hukum, kyai dan ulama bertemu untuk bertukar pandangan tentang
perlunya mendirikan lembaga arbitrse Islam di Indonesia. Rapat ini dipimpin oleh Majelis
Pempinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah melalui beberapa kali pertemuan dan
penyempurnaan rancangan struktur kelembagaan dan prosedur Lembaga Arbitrase
Muamarat Indonesia (BAMUI) pada tanggal 23 Oktober 1993, sekarang dengan nama
Badan Arbitrase Syariah Nasiona (Basyarnas), berdasarkan keputusan Rakernas MUI
2002. Perubahan bentuk dan kepengurus BAMUI diatur dalam SK MUI NO. Kep-
09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 mengukuhkan status Basyarnas sebagai
badan arbitrase yang menanganai penyelesaian sengketa di bidang eknomi syariah.
(Sumitro 2004, 167).
Hambatan hukum dalam penyelesaian sengketa antara bank syariah dan ekonomi
syariah pada umumnya pada awalnya terletak pada pemilihan forum arbitrase, karena
pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai dasar hukum penyelesaian
sengketa, menggunakan hukum afirmatif sebagai dasar hukumnya dalam kasus ini,
namun akad di bank syariah atau perusahaan syariah lainnya selalu menggunakan akad
berdasarkan prinsip syariah. Di sisi lain, pengadilan agama yang dianggap lebih tepat
untuk menangani sengketa ekonomi syariah ini, tidak termasuk dalam yuridiksi absolut
dan oleh karena itu tidak memenuhi syarat untuk melakukannya secara normatif.
Peraturan-peraturan yang diterapkan Bayarnas pada dasarnya mengacu pada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa sebagai hukum utama bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia, baik secara
konsep maupun praktik. Penerapan konsep syariah Basharna dalam menyelesaikan
persoalan berbasis syariah secara filosofis berbeda dengan aturan UU No. 30 Tahun 1999
yang ada, yang tidak sepenuhnya mecerminkan nilai-nilai filosofis tersebut. Akibatnya,
timbul persoalan, termasuk kewajiban Basyarnas untuk mendaftarkan putusannya
kepengadilan negeri.2
Ketentuan Pasal 59 (1) Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa
dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal putusan, jika suatu putusan diberikan,
arbiter atau wakilnya harus mengajukan salinan putusan yang asli atau yang telah
disahkan kepada Panitera Pengadian Negeri untuk didaftarkan, Selanjutnya Pasal 59 (4)
UU NO. 30 Tahun 1999 mengatur bahwa tidak dipenuhinya ketentuan di atas akan
mengakibatkan putusan arbitase tidak dapat dilaksanakan. Selanjutnya Pasal 60 Undang-

2
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menentukan
bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat, dan
hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; dan (c) Wakaf dan shadaqah.
Undang Nomor 30 Tahun 2009, jo Pasal 59 (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final, res judicate prmanen dan meningkat
para pihak. jadi terikat. Namun, keputusan arbiter hanya dapat dilaksanakan atas izin atau
perintah eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, lembaga arbitrase wajib
mendaftakarkan putusanya ke pengaadilan negeri.
Pada Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan
Inkuisisi diundangkan,termasuk ekonomi syariah sebagai salah satu yurisdiksa mutlak
Pengadilan Inkuisisi. Untuk memastikan keberadaan Basharna, MUI menciptakan
Basharna sebagai alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah di luar pengadilan
(non-litigasi) sebagai respon atas lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
(sufriadi 2007,253). Isu berikutnya menyangkut implementasi (penegakan) keputusan
Basharnas. Karena UU No. 30 Tahun 1999 membatasi kewenangan pengadilan agama,
maka tidak mudah menegakkan kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah. Hal ini sejalan dengan UU No.30/1999 yang menyatakan
bahwa pengadilan negeri memiliki kekuasaan sebagai penegak hukum. Ketentuaninni
berlaku untuk putusan Pengadilan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Basyarnas dan
badan arbitrase lainnya. Penegakan putusan majelis arbitrase berdasarkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada umumnya diamanatkan oleh peradilan umum,
sehingga persoalan penegakan putusan Basyarnas menjadi topik hangat di kalangan
praktisi, akademisi, dan profesional hukum, menimbulkan pertanyaan dan perdebatan.
Dalam hal ini terjadi konflik antara norma hukum atau hukum timbal balik.
Dengan latar belakang tersebut, pembahasan penelitian ini berfokus pada dua hal.
Rumusan masalah pertama menggambarkan kewenangan Mahkamah Arbitrase Syariah
Nasional dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indonesia. Rumusan
Pertanyaan ked menyangkut efektivitas pelaksanaan putusan Pengadilan Arbitrase
Syariah Nasional yang dibentuk oleh pengadilan negeri dalam penyeleaian sengketa
ekonomi syariah di Indonesia.3

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk:


Pertama, mengkaji dan menganalisis kewenangan Mahkamah Arbitrase Syariah Nasional
dlam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Indoneia. Kedua, mengkaji dan
menganalisis efektivitas pelksanaan putusan Komosi Arbitrase Syariah Negara yang
dibentuk oleh Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di
indonesia. Badan Arbitrase bukanlah yang pertama kali dilakukan pemeriksaan.
Penelitian ini pada prinsipnya merupakan pengembangan lebih lanjut dan lanjutan dari
penelitian sebelumnya.
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan topik yang sama dijelaskan di
bawah ini. (Hidayant 2003,71-72) melalui penelitianny yang berjudul “Lembaga
Keuangan Islam dan Arbitrase Muamalat Indonesia”. ia menunjukkan bahwa ahir dan
berkembanganya lembaga keuangan Islam adalah repreantasi dar kesadaran, dan bahwa
khafa (lengkap) Islam diterapkan. Juga dalam bidang ekonomi. Preferensi untuk lembaga

3
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
keuangan Islam atas lembaga keuangan tradisional mencerminkan komitmen Muslim
untuk iman dan Islam mereka. Oleh karna itu, dalam menjalankan aktivitas lembaga
keuangan syariah harus selalu menjunjung tinggi etika bisnis syariah, termasuk yang
berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang timbul di antara para pelaku ekonomi
syariah tersebut.
Lebih lanjut, Hidayant berpendapat bahwa meskipun sistem peradilan Islam ada
dan statusnya dalam sistem perdilan nasional diakui oleh UU No. Ia juga menjelaskan
bahwa itu tidak mencakup wilayah. oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak akan
lembaga arbitrase Islam yang didedikasikan untuk sengketa di bidang ekonomi Islam.
Oleh karena itu, pada tanggal 4 Mei 1992, Majelis Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) membentuk tim untuk mengkaji dan mempersiapkan pendirian Lembaga Arbitrase
berdasarkan SK MUI Nomr. Kep. 392, Kelompok Kerja Pembentukan Komisi Arbitrase
Hukum Islam. Setelah banyak penyempurnaan terhadap konsep dan draf yang ada,
akhirnya dibentuklah Komisi Arbitrase Muamara Indonesia (BAMUI) pada 21 Oktober
1993. (Hidayanto 2003,87).
Pertama, perkembanan pengaturan kewenangan peradilan agama di bidang
ekonomi syariah, yaitu Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 55
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang
Peradilan Agama. Kasus Islamic Das Banking tidak sesuai dengan pasal 59 (1) Undang-
Undang Sistem Peradilan. Untuk itu, karena kekhususan prinsip-prinsip Syariah,
pengadilan agama diberikan yurisdiksi untuk menyelesaikan (menyelidiki dan
memutuskan sampai ditegakkan) perselisihan ekonomi berdasarkan hukum Syariah,
khususnya hukum perbankan Syariah, khususnya hukum perbankan Syariah, kekuatan
absolutnya harus diperhitungkan. Peradilan Agama dan Kepastian Hukum. Kedua,
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang peradilan, Pasal 59 (1), memberikan
kepastian hukum pada aspek prioritas. (Rahman 2014,13).

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan atau libarary research
dengan memasukkan teori dan informasi untuk penelitian ini dari jurnal, buku, dan
sumber lain yang relevan untuk menghsilkan artikel ini. Tinjauan pustaka secara inheren
digunakan untuk mengumpulkan data terkait perpustakaan da dimasukkan ke dalam hasil
studi pemecahan masalah dari bahan pustaka yang relevan.

C. PEMBAHASAN
a. Arbitase Dalam Islam
Dari sudut pandang Islam, arbitrase dapat disamakan dengan istilah tahkim, yang
berasal dari kata kerja hakkama.Secara etimologis, kata tersebut berarti menghalangi
seseorang untuk berkelahi. Pengertian ini erat kaitannya dengan apa yang dimaksud
dengan istilah. Selain istilah arbitrase syaiah, yang bertindak sebagai badan penyelesaian
sengketa para pihak sebagaimana tersebut di atas, juga dikenal sebagai badan
penyelesaian sengketa paara pihak sebagaimana tersebut di atas, juga dikenal sebgai
badan penyelesaian sengketa parak pihak, yang disebut AL-Shurkh dalam Islam.
Pengertian Arshurf adalah menyelesaikan perselisihan atau konflik. Dalam hal Syariah,
al-shulhu adalah semacam kesepakatan antara dua (dua) orng yang saling berhadapan
untuk mengakhiri perselisihan. Tahhkim sudah ada sejak Khalifah Ali bin Abi Thalib.4
Dari sudut pandang yurispurdensi, istilah Takim, yan didefinisikan oleh Abu al-
Ainain Abdul Fatah Muhammad, tergantung pada dua orang yang berkonflik dengan
seseorang yang memeliki keputusan, mereka puas dalam menyelesaikan perselisihan.5

b. Sumber Hukum Arbitrase Islam


Sumber Hukum Arbitrase Islam adalah:
Demikian pula jika ingin mengetahui penyebab terjadinya arbitase Islam, simak
keempat sumber hukum di atas. Di antara sumber hukum arbitrase Islam adalah Al-
Qur’an sebagai sumber hukum utama untuk memberikan bimbingan kepada orang-orang
jika terjadi perselisihan antar pihak, baik politik, keluarga, atau bisnis.6

c. Pengadilan Arbitrase Muamarat Indonesia (BAMUI)


Ada beberapa komisi arbitrase di Indonesia. Badan Arbitrase Nasional Indonesia,
Badan Arbitrase Majelis Ulama Indonesia (BAMUI), dan Badan Arbitrse Syariah
Nasional (BAMUI), dan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Untuk lebih
jelasnya, kita akan membahas salh satu lembaga arbitrase berbasis islam, BAMUI.7
1) Dasar Hukum Pendirian BAMUI
Komisi Arbitrase Muamarat di Indonesia (BAMUI) adalah sebah yayasan
bernama Yayasan komisi Arbitrse Muamarat Indonesia (BAMUI). Sebagai sebuah
yayasan, Komisi Arbitrase Mumarat Indonesia (BAMUI) adalah badan hukum yang
disahkan oleh piagam Yayasan Yayasan No. 175 pada 21 Oktober 1993.
2) Tujuan BAMUI
Menurut dokumen pendirian Komisi Arbitrase Muamarat Indonesia (BAMUI),
tujuan yayasan adalah untuk:
 Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat atas perselisihan
Muammara/perdata yang timbul di bidang –bidang seperti perdagangan,
industri, keuangan dan jasa.
 Menerima tanpa membantah permintaan apa pun dari salah satu pihak
untuk mengeluarkan pendpat yang mengikat tentang masalah apa pun yang
berkaitan dengan Perjanjian ini:

D. KESIMPULAN
Arbitrase, yaitu mediator atau arbiter, memiliki kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan atau perdamaian. Arbitrase identik dengan istilah
Tahkim, yang berasal dari kata kerja hakkama. Secara etimologis, kata kerja hakkama.
Secara etimologis, kata tersebut berarti menghalangi seseorang untuk berkelahi.
Kehadiran Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) memberikan
dukungan hukum tidak hanya melalui hukum lisan, tetapi juga melalui hukum positif.

4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 40.
5
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 464.
6
Pasal 4 Akta Pendirian BAMUI
7
Bab I Yurisdiksi, Pasal 1
Hal ini terlihat jelas dari ketentuan UU No.14 Tahun 1970, khususnya dari Pasal 3 (1)
dan dari penjelasan UU No.30 Tahun 1999. Menurut AL-Qur’an atau Hadits, sekarang
juga ada dasar untuk arbitrase. Kontrak bisnis Bank Umum Syariah mencakup ketentuan
untuk memfasilitasi proses penyelesain jika terjadi perselisihan di kemdian hari, sesuai
dengan aturan Komisi Arbitrase Muamarat Indonesia (BAMUI). Kami menyarankan
Anda menyertakan klausul arbitrase.
Aspek politik hukum Islam, yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase, adalah adanya alternatif alat penyelesian sengketa untuk
mengurangi beban pengadilan. Adapun arbitrase itu sendiri, diundangkannya aturan
arbirase ini adalah adalah solusi untuk mengurangi beban sengketa yang dibawa
pengadilan, seperti solusi yang dibuat pada masa kekhalifahan Ali Bin Abi Talibra, saya
akan mengatakan ya. Atsah, sahabatku, yang merupakan perwujudan dari sisi kesepian
Islam.

E. SARAN
Saran penulis dalam artikel ini adalah:
a) UU No 30 Tahun 1999 harus segera diubah untuk memberlakukan UU Arbitrase
Syariah, karena undang-undang tersebut tidak memuat pembahasan tentang
arbitrase Syariah.
b) Pemerintah harus mendukung lembaga BASYARNAS agar lembaga arbitrse
syariah dapat berperan lebih optimal.

F. DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Manan, Abdul,Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan


Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,
Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Purwosutjipto, M. N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia–Buku


Kedelapan: Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Jakarta: PT.
Djambatan.

Rahmat, Ngatino dan Rosyandi, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum
Positif, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Subekti, R., Arbitrase Perdagangan, Bandung: Binacipta, 1992.

Umar, M. Husseyn, dan A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di


Indonesia, Jakarta: Komponen Hukum ekonomi ELIPS Project, 1995).
Usman, Rachmadi, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2013.

UU No. 14 Tahun 1970, tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan


Kehakiman.

UU No. 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase.

Yatim, Badri,Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,


2011.

Anda mungkin juga menyukai