Di Susun Oleh :
1. Noverianto Ragil Prasetyo 182111104
2. Winda Permanasari 182111087
FAKULTAS SYARIAH
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maraknya kesadaran dan keinginan umat terhadap pelaksanaan hukum Islam, namun juga
didorong oleh suatu kebutuhan riil adanya Praktek Peradilan Perdata secara perdamian selaras
dengan perkembangan kehidupan ekonomi keuangan di kalangan umat Islam, melahirkan badan
Arbitrase berdasarkan Syariat Islam. Dengan adanya UU Perbankan No.7 tahun 1992 membawa
era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. UU tersebut
memperkenalkan “Sistem Bagi Hasil”. Melalui keberadaan sistem bagi hasil ini, terbukalah
kemungkinan untuk lahirnya Bank Muamalat Indonesia yang di dalam operasionalnya
mempergunakan Hukum Islam. Peristwa itu khususnya dan perkembangan hukum Nasional pada
umumnya. Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum
keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi
(bisnis). Diterapkannya hukum islam didalam dunia bisnis itu tidak terhenti sampai di situ saja,
tetapi berlanjut dengan lahirnya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia.
Pada tanggal 22 April 1992, Dewan Pimpinan MUI mengundang rapat para pakar atau
praktisi hukum atau cendekiawan muslim termasuk dari kalangan Perguruan Tinggi guna
bertukar pikiran perlu tidaknya dibentuk Arbitrase Islam. Setelah beberapa kali melekukan rapat,
didirikanlah Badan Arbitrase Muamalat ndonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober tahun
1993 M. Didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan, sebagaimana dikukuhkan dalam akte
notaris Yudo Paripurno,SH. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. Dalam rekomendasi
RAKERNAS MUI, tanggal 23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga
hakam (arbitase syari’ah) satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Kemudian sesuai dengan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan MUI dengan Pengurus
BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat Pengurus BAMUI
No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07 Oktobe2003, maka MUI dengan SK nya No.Kep
-09/MUI/XII/2003, tanggal 24 Desember 2003, menetapkan :
1. Mengubah nama Badan Arbitras Mu’amalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS).
2. Mengubah bentuk badan BAMUI dari yayasan menjadi badan yang berada dibawah MUI dan
merupakan perangkat organisasi.
3. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam, BASYARNAS bersifat
otonom dan independen.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
1. Pengertian Basyarnas
2. Peranan BASYARNAS
Jika ditinjau memang BASYARNAS memiliki banyak sekali peran, jika digambarkan
secara umum BASYARNAS berusaha menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa
muamalat / perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industry, jasa dan lain
– lain yang menurut hukum dan peraturan perundang – undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan
penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan peraturan prosedur Basyarnas.
Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa ada sengketa
mengenai suatu persoalan dalam sebuah perjanjian (peraturan prosedur Basyarnas, Bab 1
Pasal 1).
1
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian
Sengketa Umum alinea keempat.
2. Memberikan penyelesain secara adil dan cepat dalam sengketa – sengketa muamalah /
perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industry, jasa dan lain sebagainya.
3. Atas permintaan para pihak dalam suatu perjanjian, dapat memberikan suatu pendapat
yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
2
BAMUI. Badan Arbitrase Muammalat Indonesia. Jakarta: BAMUI, 1994.
badan arbitrase lain seperti BANI. demikian, prosedur beracara maupun Sebagai konsekuensi
dari ketundukan BASYARNAS pada UU No. 30 Tahun 1999, maka pelaksanaan dan
pembatalan putusan BASYARNAS juga mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam
UU No. 30 Tahun 1999. Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Asas
putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) ini juga ditegaskan dalam
Pasal 25 Peraturan Prosedur BASYARNAS.3
4
Rizki Faza Rinanda, dkk, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS)”, Pactum Law Jurnal, Vol. 01, No. 02, 2018, hlm. 151
hendaklah ditandatangani oleh para pihak, dimana di dalam perjanjian tersebut
disebutkan bahwa para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah.
Perjanjian itu harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Usaha penyelesaian sengketa
melalu mediator (arbiter) hendaklah memegang teguh kerahasiaan, dan dalam waktu
paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani
oleh semua pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad
baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak pendaftaran.
2. Penunjukan Arbiter
Jika diinginkan cukup arbiter tunggal, Pemohon dan Termohon wajib memiliki
kesepakatan tertulis mengenai hal ini. Pemohon mengusulkan kepada Termohon sebuah
nama yang akan dijadikan sebagai arbiter tunggal. Apabila dalam kurun waktu 14 hari
sejak usulan diterima tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka Ketua Pengadilan dapat
melakukan pengangkatan arbiter tunggal.
c) Tidak Punya Hubungan Keluarga Sedarah Atau Semenda Sampai Dengan Derajat
Kedua Dengan Salah Satu Pihak Bersengketa;
4. Tuntutan Balik
5. Sidang Pemeriksaan
Dalam proses pemeriksaan arbitrase, ada beberapa hal penting yang telah diatur
dalam Undang-Undang, antara lain: pemeriksaan dilakukan secara tertutup, menggunakan
bahasa Indonesia, harus dibuat secara tertulis, dan mendengar keterangan dari para pihak.
Karena sifatnya yang tertutup, apabila ada pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase
yang menggabungkan diri dapat disetujui kehadirannya oleh Majelis atau arbiter.
Keikutsertaan pihak ketiga ini tentu harus memiliki unsur kepentingan yang terkait
dengan sengketa yang dipersoalkan. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-
Undang, batas maksimal pemeriksaan sengketa adalah 180 hari terhitung sejak Majelis
atau arbiter ditetapkan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi faktor Majelis atau arbiter
memperpanjang masa pemeriksaan adalah:
1) Perannya yang sangat besar dalam memelihara perdamaian dan melihat urgensinya dalam
mengatasi kemuskilan, menyelesaikan perselisihan dan menciptakan kerukunan.
2) Kehadiran badan arbitrase berdasarkan syariat Islam tersebut disambut hangat oleh
berbagai pihak, bukan saja disebabkan oleh maraknya kesadaran dan keinginan umat
terhadap pelaksanaan hukum Islam, melainkan juga didorong oleh suatu kebutuhan riil
adanya praktik peradilan perdata secara perdamaian selaras dengan perkembangan
dikalangan umat Islam.
3) Melalui arbitrase, sisi kejam dari suatu penerapan hukum dapat diatasi dengan penerapan
musyarwarah dan mufakat bernafaskan Islam. Untuk itulah diharapkan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) benar subur, para arbiter dalam membuat putusan benar-
benar mengarjakan sesuatu yang sebaik-baiknya, sehingga kpercayaan umat semakin
bertambah dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) akan berkembang dan
memenuhi harapan masyarakat.
5
Ummi Uzma, ”Pelaksanaan atau Eksekusi Putusan Badan Abritase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Sebagai Kewenangan Pengadilan Agama”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 44, No. 3, 2014, hlm. 392-393
4) Kehadiran Arbitrase Islam di Indonesia merupakan suatu conditio sine qua non.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) adalah sebuah lembaga yang
berfungsi dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Dalam Undang-Undang
No.30/1999,tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dirumuskan dalam
BAB I, pasal 1 ayat (1) Bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Jika ditinjau memang BASYARNAS memiliki
banyak sekali peran, jika digambarkan secara umum BASYARNAS berusaha
menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalat / perdata yang timbul dalam
bidang perdagangan, keuangan, industry, jasa dan lain – lain yang menurut hukum dan
peraturan perundang – undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan
para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas
DAFTAR PUSTAKA
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
penyelesaian Sengketa Umum alinea keempat.
Rizki Faza Rinanda, dkk, “Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah Melalui Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)”, Pactum Law Jurnal, Vol. 01, No. 02, 2018
Ummi Uzma, ”Pelaksanaan atau Eksekusi Putusan Badan Abritase Syariah Nasional
(BASYARNAS) Sebagai Kewenangan Pengadilan Agama”, Jurnal Hukum dan Pembangunan,
Vol. 44, No. 3, 2014.