A. Pendahuluan
Pasal ini memberikan peluang bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama sebagaimana yang diatur pada pasal 49 UU No. 3
Tahun 2006. Jika dicermati pasal 49 UU No.3 Tahun 2006, dapat dipahami bahwa hanya pihak
Pengadilan Agama yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa di bidang Ekonomi Islam,
akan tetapi fatwa MUI masih menegaskan bahwa persengketaan Ekonomi Islam hanya boleh
diselesaikan melalui Basyarnas, hal ini menunjukkan tidak sejalannya fatwa MUI dan Undang-
Undang dalam menentukan hukum penyelesaian sengketa Ekonomi Islam.
Dalam prakteknya, sering terjadi kasus yang menjadi korban akan tumpang tindihnya
dasar hukum kewenangan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Salah satu
kasusnya adalah sengketa antara pertamina dan salah satu Bank Syariah dalam perkara yang
timbul dari akad murabahah, dimana secara sepihak Bank Syariah sebagai pihak yang
memberikan pembiayaan menaikkan harga jual akad murabahah sehingga pertamina merasa
dirugikan dan menuntut penyelesaian sengketa ini melalui Basyarnas, namun pihak Bank
menolak untuk diselesaikan di Basyarnas dan memilih untuk diselesaikan di Pengadilan Agama.
Kasus ini merupakan salah satu contoh akibat daripada lemahnya payung hukum Arbitrase yang
merupakan corong penampung sengketa yang timbul dalam ekonomi syariah. Hal seperti ini
amat sangat disayangkan, karena ada banyak kemungkitan yang akan terjadi di luar putusan
Basyarnas. Pernah juga terjadi suatu kasus dimana pengadilan menggugat hasil putusan
Basyarnas karena pihak yang kalah mengajuan kembali perkaranya kepada pengadilan setelah
mendapat putusan Basyarnas.
Terhadap keputusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atau dinyatakan palsu;
2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang diakui oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa
Secara hukum, putusan Basyarnas tidak dapat berdiri sendiri dalam pelaksanaan
eksekusinya. Pada hakikatnya, putusan yang dihasilkan oleh Basyarnas ataupun lembaga
arbitrase lainnya hanya akan bersifat mengikat apabila didaftarkan ke pengadilan negeri untuk
mendapatkan kekuatan ekskutorial sehingga putusannya menjadi final dan mengikat. Putusan
bersifat final maknanya adalah putusan bersifat akhir dan tidak dapat digugat melalui upaya
hukum ke tingkat selanjutnya, sedangkan putusan bersifat mengikat artinya putusan mempunyai
kekuatan eksekutorial yang harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. 1
Selanjutnya, dari analisa yang dilaksanakan setidaknya ada beberapa hal yang mejadi
kelemahan Basyarnas:
1. Bahwa persengketaan yang diselesaikan melalui Basyarnas hanya jika tertera dalam
klausula akad transaksi keuangan syariah. Jika penyelesaian sengketa oleh Basyarnas
tidak tertera dalam akad transaksi, maka Basyarnas tidak memiliki wewenang dalam
menyelasaikan persengketaan.
2. Keuangan dan operasional Basyarnas tidak didukung oleh Undang-Undang.
3. Hasil penyelesaian sengketa Basyarnas harus mendapatkan izin pengadilan dalam
eksekusinya.
4. Pengadilan berhak menyetujui dan menghapus hasil penyelesaian sengketa oleh
Basyarnas.
5. Basyarnas hanya terdapat di kota besar dan belum menjangkau daerah perdesaan. Hal ini
tidak seimbang dengan berdirinya dan meluasnya lembaga keuangan syariah hingga ke
pelosok desa.
C. Kesimpulan
Melalui pembahasan di atas dapat disimpukan bahwa Basyarnas selama ini
mempunyai peran yang vital dalam menjaga kemurnian syariah daripada akad-akad
dalam Bisnis syariah yang diadakan oleh para pihak secara hollistik. Akan tetapi karena
pendirian Basyarnas yang bukan atas inisiatif pemerintah, melainkan lembaga
pemegang fatwa yaitu DSN-MUI menyebabkan Basyarnas tidak mempunyai
1
Hani, Ummi. “PELAKSANAAN ATAU EKSEKUSI PUTUSAN BADAN ARBITRASE SYARIAH
NASIONAL (BASYARNAS) SEBAGAI KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA”. Jurnal Hukum dan Pembangunan
Universitas Indonesia
kelengkapan yang maksimal dalam menjalankan kewenangannya. Hal ini meberikan
peluang terjadinya putusan yang jauh dari prinsip-prinsip syariah karena undang-undang
memberi peluang kepada lembaga peradilan lainnya untuk dapat memeriksa perkara di
bidang Ekonomi syariah.
Diperlukan kesadaran bagi segala pihak untuk dapat memaksimalkan kembali
peran Basyarnas dalam upaya mewujudkan peradilan non-litigasi yang dapat
memberikan putusan sesuai dengan prinsip syariah yang berlaku.