Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ainalmardhiaturrahman

Kelas : Pascasarjana HKI 3

Mata Kuliah : Arbitrase Syariah

EKSISTENSI BASYARNAS DI INDONESIA

A. Pendahuluan

Perkembangan ekonomi global menjadikan arus transaksi bisnis semakin masif di


Indonesia, terutama dalam sektor bisnis yang lahir dari perjanjiaan atau akad yang berlandaskan
kepada syariah. Salah satu contohnya adalah bisnis perbankan syariah. Pasal 1 ayat (7) undang-
undang No 21 tahun 2008 menjelaskan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Melalui pasal ini dapat dipahai secara tersirat
bahwa praktek perbankan syariah haruslah diterapkan dengan berlandaskan pada prinsip syariah
secara hollistik yaitu harus sesuai dengan prinsip syariah dari awal pembuatan kontarknya hingga
pada tahap penyelesaian sengketa. Oleh karena itu Badan Arbitrase syariah (Basyarnas)
mempunyai peran penting untuk memperkuat penerapan prinsip syariah pada sektor bisnis yang
berlandaskan pada prinsip syariah.
B. Pembahasan
Basyarnas adalah kependekan dari Badan Arbitrase Syariah Nasional yang bertugas
sebagai badan penyelesaian sengketa transaksi keuangan syariah di luar Pengadilan Agama (non
litigasi). lembaga ini memunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis syariah. Para
pihak dalam bisnis syariah dapat menjadikan Basyarnas sebagai pilihan hukum guna
menyelesaikan sengkata yang mereka hadapi. Basyarnas didirikan pda tahun 1992 bersamaan
dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia dimana tujuannya adalah menyelesaikan
sengketa nasabah bank terebut. Pada waktu itu masih dikenal dengan nama Badan Arbitrase
Muamalat (BAMUI) berdasarkan SK No Kep-392/MUI/V/1992 lalu dirubah menjadi Basyarnas
berdasarkan SK MUI No Kep-09/MUI XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003.
Dasar hukum penyelenggaraan Basyarnas adalah Undang-undang no. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa.pasal 1 undang-undang ini menjelaskan
bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum, yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Undang-undang No. 48 tahun 2009 juga menjadi landasakan hukum akan legalitas
Basyarnas sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa dimana pasal 58 dan 59 mengatur
bahwa Arbitrase adalah lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang harus disepakati
dalam perjanjian tertulis oleh para pihak, dimana kekuatan hukumnya bersifat final dan
mengikat. Dasar hukum yang mengatur Basyarnas secara khusus ada pada  Fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Tahun 2006 Nomor 05, 06, 07, dan 08
yang mengatur bahwa penyelesaian sengketa bisnis dan ekonomi syariah harus diselesaikan
melalui Basyarnas, tetapi sayangnya fatwa DSN MUI bukan merupakan bagian dari hierarki
perundang-undangan yang berlaku sehingga bersifat tidak mengikat.
Jika diperhatikan dasar hukum kewenangan basyarnas di atas akan ditemukan suatu
masalah mendasar yang berdampak pada eksistensi Basyarnas sendiri dalam menangani sengketa
bisnis dan ekonomi syariah. Hal ini karena eksistensi Basyarnas sendiri tidak ditopang oleh dasar
hukum yang kuat sehingga secara hukum menjadi lembaga penyelesaian sengketa alternatif yang
tidak prioritaskan bagi setiap setiap perkara bisnis dan ekonomi syariah yang muncul. Basyarnas
yang mempunyai kewenangan absolut dan kapasitas untuk menyelesaikan perkara ekonomi
syariah secara non- litigasi dapat dihindari oleh para pihak karena penunjukannya harus
disepakati oleh kedua belah pihak terlebih dahulu. Pada faktanya pernah terjadi beberapa kasus
sengketa ekonomi syariah yang tidak ditangani oleh Basyarnas karena para pihak menunjuk
lembaga non-litigasi lain guna menyelesaikan perkara yang mereka hadapi. Sementara itu dapat
diketahui bersama, tidak semua hakim pengadilan Agama punya kompetensi keilmuan untuk
menyelesaikan perkara Ekonomi Islam sehingga banyak hasil penyelesaian sengketa yang tidak
sesuai dengan syariat Islam.
Pada sisi yang lain muncul pula tumpang tindih kewenangan antara Basyarnas dengan
Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagaimana disebutkan dalam
pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 yaitu :
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang :
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Shadaaqah; dan
i. Ekonomi Syariah. “

Pasal ini memberikan peluang bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama sebagaimana yang diatur pada pasal 49 UU No. 3
Tahun 2006. Jika dicermati pasal 49 UU No.3 Tahun 2006, dapat dipahami bahwa hanya pihak
Pengadilan Agama yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa di bidang Ekonomi Islam,
akan tetapi fatwa MUI masih menegaskan bahwa persengketaan Ekonomi Islam hanya boleh
diselesaikan melalui Basyarnas, hal ini menunjukkan tidak sejalannya fatwa MUI dan Undang-
Undang dalam menentukan hukum penyelesaian sengketa Ekonomi Islam.
Dalam prakteknya, sering terjadi kasus yang menjadi korban akan tumpang tindihnya
dasar hukum kewenangan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Salah satu
kasusnya adalah sengketa antara pertamina dan salah satu Bank Syariah dalam perkara yang
timbul dari akad murabahah, dimana secara sepihak Bank Syariah sebagai pihak yang
memberikan pembiayaan menaikkan harga jual akad murabahah sehingga pertamina merasa
dirugikan dan menuntut penyelesaian sengketa ini melalui Basyarnas, namun pihak Bank
menolak untuk diselesaikan di Basyarnas dan memilih untuk diselesaikan di Pengadilan Agama.
Kasus ini merupakan salah satu contoh akibat daripada lemahnya payung hukum Arbitrase yang
merupakan corong penampung sengketa yang timbul dalam ekonomi syariah. Hal seperti ini
amat sangat disayangkan, karena ada banyak kemungkitan yang akan terjadi di luar putusan
Basyarnas. Pernah juga terjadi suatu kasus dimana pengadilan menggugat hasil putusan
Basyarnas karena pihak yang kalah mengajuan kembali perkaranya kepada pengadilan setelah
mendapat putusan Basyarnas.
Terhadap keputusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. surat dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atau dinyatakan palsu;
2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang diakui oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa
Secara hukum, putusan Basyarnas tidak dapat berdiri sendiri dalam pelaksanaan
eksekusinya. Pada hakikatnya, putusan yang dihasilkan oleh Basyarnas ataupun lembaga
arbitrase lainnya hanya akan bersifat mengikat apabila didaftarkan ke pengadilan negeri untuk
mendapatkan kekuatan ekskutorial sehingga putusannya menjadi final dan mengikat. Putusan
bersifat final maknanya adalah putusan bersifat akhir dan tidak dapat digugat melalui upaya
hukum ke tingkat selanjutnya, sedangkan putusan bersifat mengikat artinya putusan mempunyai
kekuatan eksekutorial yang harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. 1
Selanjutnya, dari analisa yang dilaksanakan setidaknya ada beberapa hal yang mejadi
kelemahan Basyarnas:
1. Bahwa persengketaan yang diselesaikan melalui Basyarnas hanya jika tertera dalam
klausula akad transaksi keuangan syariah. Jika penyelesaian sengketa oleh Basyarnas
tidak tertera dalam akad transaksi, maka Basyarnas tidak memiliki wewenang dalam
menyelasaikan persengketaan.
2. Keuangan dan operasional Basyarnas tidak didukung oleh Undang-Undang.
3. Hasil penyelesaian sengketa Basyarnas harus mendapatkan izin pengadilan dalam
eksekusinya.
4. Pengadilan berhak menyetujui dan menghapus hasil penyelesaian sengketa oleh
Basyarnas.
5. Basyarnas hanya terdapat di kota besar dan belum menjangkau daerah perdesaan. Hal ini
tidak seimbang dengan berdirinya dan meluasnya lembaga keuangan syariah hingga ke
pelosok desa.
C. Kesimpulan
Melalui pembahasan di atas dapat disimpukan bahwa Basyarnas selama ini
mempunyai peran yang vital dalam menjaga kemurnian syariah daripada akad-akad
dalam Bisnis syariah yang diadakan oleh para pihak secara hollistik. Akan tetapi karena
pendirian Basyarnas yang bukan atas inisiatif pemerintah, melainkan lembaga
pemegang fatwa yaitu DSN-MUI menyebabkan Basyarnas tidak mempunyai

1
Hani, Ummi. “PELAKSANAAN ATAU EKSEKUSI PUTUSAN BADAN ARBITRASE SYARIAH
NASIONAL (BASYARNAS) SEBAGAI KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA”. Jurnal Hukum dan Pembangunan
Universitas Indonesia
kelengkapan yang maksimal dalam menjalankan kewenangannya. Hal ini meberikan
peluang terjadinya putusan yang jauh dari prinsip-prinsip syariah karena undang-undang
memberi peluang kepada lembaga peradilan lainnya untuk dapat memeriksa perkara di
bidang Ekonomi syariah.
Diperlukan kesadaran bagi segala pihak untuk dapat memaksimalkan kembali
peran Basyarnas dalam upaya mewujudkan peradilan non-litigasi yang dapat
memberikan putusan sesuai dengan prinsip syariah yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai