Anda di halaman 1dari 18

PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Perbankan Syariah Di Indonesia
Semester: IV (Empat) Tahun Ajaran 2022/2023
Dosen Pengampu: Sri Nirwana Sarowati Zikri, M.E

Disusun Oleh :
Kelompok 8
 Irsan
 Munadi Kholili
 Meliza Fatmayanti
 Muhammad Zulkifli

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW LOTIM
2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat da
n Hidayah-Nya kepada kita semua berupa Ilmu dan Amal. Berkat Rahmat dan Hid
ayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontri
busi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah yang bejudul
“Penyelesaian Sengketa Prbankan Syariah” ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. M


aka dari itu kritik, saran, dan masukan yang membangun sangat kami butuhkan un
tuk dijadikan pedoman dalam penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga mak
alah ini dapat menambah pengetahuan para pembaca serta berguna dan bermanfaa
t bagi kita semua aamiin.

Samarinda, 21 Juni 2023


Penyusun,

Kelompok 8

DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perbankan dan keuangan syariah di Indonesia mengal
ami kemajuan yang sangat pesat selama satu dekade terakhir. Ini termasuk Pe
rbankan Syariah, Asuransi Syariah dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Hal y
ang sama berlaku untuk transaksi Syariah di area riil, seperti misalnya. B. hot
el syariah, kolam renang syariah, multi level marketing syariah dll. Menurut d
ata Bank Indonesia, perkembangan perbankan syariah mengalami kemajuan y
ang sangat pesat. 
Sebelum tahun 1999 jumlah bank syariah sangat terbatas bahkan hany
a ada satu bank syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia yang memiliki beber
apa cabang. Sementara itu, data Bank Indonesia Januari 2008 menunjukkan a
da tiga unit Bank Umum Syariah (BUS), yakni Bank Muamalat Indonesia (B
MI), Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSM
I). Dan jumlah Unit Usaha Syariah (UUS) bank konvensional sebanyak 26 un
it, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) 114 unit, dan jaringan biro jasa
bank syariah 711 unit. 
1 Hitungan ini belum termasuk Baitul Mal wat Tamwil, hotel syariah,
pegadaian syariah dan lain-lain yang juga mulai menjamur di negeri ini. Berd
asarkan data BI Februari 2011, Indonesia kini memiliki 11 BUS, 23 UUS, dan
115 BPRS. 2 Ditemukan bahwa di antara bank-bank Islam di atas terdapat 6 j
uta orang untuk diajak bekerja sama. 
Sementara itu, jumlah personel (SDM) yang bekerja di bank syariah te
lah mencapai lebih dari 20.000 orang. Dan aset seluruh bank syariah pada De
sember 2010 adalah 100 juta rupiah. 100,26 triliun atau sekitar 3% pangsa pas
ar 3 Meskipun perkembangan perbankan dan lembaga keuangan syariah men
galami kemajuan yang begitu pesat, namun masih jauh dari segi hukum atau r
egulasi. Ini juga termasuk undang-undang penyelesaian sengketa di perbanka
n Islam. 
Dimana masih terdapat permasalahan hukum yang bermasalah dalam
kasus ini yaitu dualitas kekuasaan kehakiman dalam penyelesaian sengketa pe
rbankan syariah. Otoritas ini tetap menjadi isu kontroversial baik dalam keilm
uan maupun praktik. Bahwa kewenangan tersebut menjadi konflik antara pera
dilan agama dan peradilan umum.4 Keadaan demikian dapat menimbulkan ke
tidakpastian hukum di sektor perbankan syariah. 
Para pihak yang bersengketa, baik bank syariah maupun nasabahnya,
menghadapi dilema mereka sendiri dalam memilih antara dua yurisdiksi terse
but. Untuk lebih jelasnya, artikel ini kemudian akan menjelaskan bagaimana
pengaturan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di negara ini dan
forum mana yang berwenang dalam hal ini. 
Namun perlu juga dilihat bagaimana Islam memandang masalah ini, k
arena upaya penyelesaian perselisihan ini pada hakekatnya telah dilakukan sej
ak zaman Nabi SAW dan para sahabat.
 
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam tradisi Islam?
2. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa pada perbankan syariah?
3. Apa saja forum penyelesaian sengketa syariah?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui cara menyelesaikan sengketa dalam tradisi Islam
2. Untuk mengetahui cara menyelesaikan sengketa pada perbankan syariah
3. Untuk mengetahui apa saja forum penyelesaian sengketa syariah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Sengketa Dalam Tradisi Islam
Islam menawarkan konsep ideal untuk menyelesaikan perselisihan
yang timbul antara orang-orang di berbagai lapisan masyarakat. Upaya ters
ebut dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kegiatan penyelesaia
n sengketa yang dilakukan oleh otoritas peradilan dan kegiatan non-pemeri
ntah.
Peradilan dalam Islam pada gilirannya terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, kewenangan Al-Qadla, yaitu lembaga yang berwenang memutus
perkara perdata dan pidana. Kedua, kekuasaan Al-Hisbah, yaitu lembaga r
esmi pemerintah yang berwenang menangani tindak pidana ringan yang m
enurut sifatnya tidak memerlukan penuntutan, seperti B. Pengurangan bera
t timbangan, melebihi daya dukung kendaraan dan lain-lain. Dan ketiga, k
ekuasaan Al-Madzalim, lembaga yang didirikan untuk membela dan meny
elesaikan kasus-kasus yang timbul dari kesewenang-wenangan penguasa,
pejabat, hakim, atau lainnya.
Penyelesaian perkara di luar peradilan dapat dilakukan melalui as-s
ulhu (perdamaian) atau at-tahkim (arbitrase). Aspirasi di atas didasarkan p
ada dalil-dalil Syar'i antara lain :
a) QS. As-Shad : 36 yang artinya :
“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti ha
wa nafsu mereka…
b) QS. Al Hujurat :9 yang artinya :
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu be
rperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang s
atu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melangga
r Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perin
tah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhny
a Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”
c) QS. An-Nisa : 35 yang artinya:
“ Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduan
ya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksu
d Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suam
i-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena
l”

Regulasi Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah


Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mengemukakan bahwa: “Kek
uasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradila
n yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Pe
radilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, dan lingkungan Peradilan Ta
ta Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal ini kemudian
juga dipertegas pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 Tahun 2004
yang diamanden dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009.6 Kedua peraturan
perundang-undangan ini menyatakan bahwa sebagai pelaksana peradilan di n
egara ini adalah keempat lembaga Peradilan tersebut yang kemudian menger
ucut kepada Mahkamah Agung. Tidak ada forum lain diluar ketentuan terseb
ut. Namun kemudian dengan munculnya regulasi yang mengatur perihal arbit
rase dan alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
maka terbukalah peluang lain untuk menyelesaikan sengketa di luar dari
lembaga-lembaga litigasi yang telah disebutkan sebelumnya. Alternatif in
i kemudian yang dikenal dengan penyelesaian non litigasi.7 Di antaranya
adalah, musyawah, negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Sedangkan penyelesa
ian sengketa terkait Perbankan Syariah setidaknya sudah diatur secara la
ngsung dalam tiga peraturan perundang-undangan. Yaitu Pasal 49 Undang-un
dang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, pasal 55 Undangundang No.
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, dan Putusan Bank Indonesia (PB
I) No. 9.19/PBI/2007 tentang Pelaksanan Prinsip Syariah dalam Kegiatan P
enghimpunan Dana dan Penyaluran Serta Pelayana Jasa Bank Syariah
Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006 menjelaskan bahwa Pe
radilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan meny
elesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang bera
gama Islam di bidang: perkawinan waris, wasiat, hibah, wakaf, zak
at, infaq, sedekah, dan ekonomi syariah. Penjelesan pasal 49 huru
f i Undang-undang No. 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha y
ang dilaksanakan menurut prinsip syaraiah, antara lain meliputi:
bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, p
embiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuang
an syariah, dan bisnis syariah.9 Dan pasal 55 Undang-undang No. 2
1 Tahun 2008 menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa terkait perb
ankan syariah dapat dilakukan dengan memilih salah jalur dari beb
erapa pilihan, yaitu: pertama dilakukan oleh pengadilan dalam lin
gkungan Peradilan Agama, dan kedua diluar pengadilan agama dalam
hal para pihak telah memperjanjikan melalui akad penyelesaian sen
gketa selain melalui Pengadilan Agama, dengan catatan penyelesaia
n sengketa tadi tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan di luar Pe
ngadilan Agama sesuai isi akad” adalah upaya-upaya sebagai berik
ut:
a. Musyawarah;
b. mediasi perbankan;
c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) atau
lembaga arbitrase lain; dan /atau
d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Sedangkan pasal 4 PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan P
rinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyalura
n serta Pelayanan Jasa Bank Syariah menjelaskan bahwa penyele
saian sengketa antara bank dengan nasabah dilakukan secara mu
syawarah. Jika musyawarah tidak mencapai kesepakatan, maka pe
nyelesaian sengketa dilakukan melalui mediasi, termasuk media
si perbankan. Dan jika mediasi tidak mencapai kesepakatan, ma
ka penyelesaian dilakukan melalui mekanisme arbitrase syariah
atau melalui lembaga peradilan yang ditentukan peranturan per
undang-undangan yang berlaku. Sebagai catatan, PBI No. 9/19/P
BI/2007 menyebut istilah bank ganti dari istilah Bank Umum Sy
ariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Perkeditan Ra
kyat Syariah (BPRS).11 Berdasarkan peraturan perundang-undang
an yang ada, maka penyelesaian sengketa yang melalui peradila
n, harus melalui Peradilan Agama. Namun, jika para pihak mene
ntukan lain, yakni penyelesaian sengketa di luar Peradilan Ag
ama, baik itu melalui Peradilan Umum, arbitrase, dan cara-car
a lain, maka hal itu juga tidak bisa disalahkan, dengan syara
t: pertama sudah disepakati bersama oleh para pihak dalam aka
d, dan kedua penyelesaian sengketa tadi tidak boleh bertentan
gan dengan prinsip syariah, seperti adanya penyuapan untuk me
menangkan perkara. Pada dasarnya syarat lkedua ini juga berla
ku dalam pengadilan di lingkugan Peradilan Agama, hanya saja
sejak awal Peradilan Agama sudah dirancang untuk menjunjung t
inggi prinsip syariah, sehingga tidak perlu lagi Undang-undan
g Perbankan Syariah menegaskannya lagi.

A. Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Melihat regulasi yang mengatur penyelesaian sengketa perbankan s


yariah tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam forum
penyelesaian sengketa perbankan syariah; yakni forum litigasi yan
g dipegang oleh peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama, dan
forum non litigasi yang terdiri dari beberapa pilihan; musyawah,
mediasi perbankan, arbitrase syariah, dan Peradilan Umum
1. . Musyawarah
Musyawarah atau negosiasi antar kedua belah pihak yang bersengket
a adalah cara pertama yang selalu dilakukan oleh civitas perbanka
n dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul. Upaya musyawah in
i dilakukan secara interen antara pihak bank dengan nasabah saja,
tanpa melibatkan pihak ketiga dari luar. Kedua belah pihak berupa
ya untuk bernegosiasi mencari kesepakatan sebagai penyelesaian ma
salah.
Di dalam stuktur kepengurusan sebuah bank, biasanya terdapat jab
atanjabatan fungsional yang bertugas untuk menyelesaikan sengket
a-sengketa yang terjadi dalam proses perbankan. Upaya ini lebih b
ersifat kekeluargaan, efisien, dan efektif. Oleh karena itu, hing
ga saat ini masih sangat sedikit sengketa yang sampai kepada jalu
r arbitrase, apalagi lembaga peradilan. Karena sengketa yang terj
adi sudah bisa ditangani langsung di dalam masing-masing bank ter
sebut
Buchori, anggota bidang hukum dan advokasi dari Asosiasi Bank
Syariah Indonesia (ASBISINDO) mengakui bahwa belum banyak kasus s
engketa atau perkara di bank syariah yang masuk ke pengadilan, ba
ik itu Peradilan Agama maupun Peradilan Umum. Karena sebagian bes
ar kasus yang terjadi, masih bisa diselesaikan dengan cara musyaw
arah. Seperti di sebuah BPRS di kota Bekasi, masalah yang terjadi
selama ini bisa diselesaikan dengan cara musyawah melalui bagian
Remedial BPRS, sehingga tidak harus sampai ke pengadilan.12
Sugiharto, Direktur Bank Syariah Mandiri juga menyampaikan
hal yang senada. Menurutnya bahwa kasus-kasus sengketa yang dibaw
a ke Peradilan Agama maupun Peradilan Umum, relatif masih sedikit.
Mayoritas dari kasus yang terjadi dapat diselesaikan secara keke
luargaan melalui musyawarah atau mediasi saja. Namun begitu beber
apa kali pernah terdapat beberapa kasus yang diperkarakan di Pera
dilan Umum, tetapi biasanya sebelum sampai pada agenda putusan, s
engketa yang terjadi sudah dapat diselesaikan melalui cara medias
i. Sehingga kasus yang yang diproses pun di tutup dan ditarik kem
bali dari pengadilan.
Sementara Bayi Rohayati, pimpinan Divisi Hukum BNI Syariah me
nyampaikan bahwa hingga 2011 ini, belum ada kasus yang diangkat k
e peradilan oleh pihak bank. Namun pernah BNI Syariah dua kali di
gugat oleh nasabah di Pengadilan Agama sebelumnya, dan kedua kasu
s tersebut dimenangkan oleh pihak bank.14 Melihat pernyataan para
praktisi perbankan syariah tersebut, jelas bahwa upaya musyawarah
masih sangat efektif dan efisien sekali untuk menyelesaikan kasus
yang terjadi dalam perbankan syariah. Hanya saja jika melalui neg
osiasi ini tidak dihasilkan kata mufakat, barulah kemudian ditemp
uh cara mediasi.
1. Mediasi perbankan
Dalam Perma No. 02/2003, pengertian mediasi disebutkan pada pa
sal 1 butir 6, yaitu: “Mediasi adalah penyelesaian sengketa m
elalui proses perundingan para pihak yang dibantu oleh mediato
r”. Sementara pengertian mediator pada pasal 1 butir 5 disebu
tkan adalah “pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, ya
ng berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemung
kinan penyelesaian sengketa”.
Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengah
an di mana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk ber
komunikasi antara para pihak, sehingga pandangan mereka yang b
erbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didam
aikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaia
n tetap berada di tangan para pihak sendiri.16 Dari definisi i
ni jelas bahwa mediasi merupakan suatu proses informal yang di
tujukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendisk
usikan perbedaanperbedaan secara pribadi dengan bantuan pihak
ketiga yang netral dan objektif. Mediator sendiri ditunjuk ber
sama-sama oleh para pihak yang sesuai dengan sifat perkaranya.
Dan di Indonesia terdapat sebuah lembaga mediasi, Pusat Medias
i Nasional (PMN), yang merupakan sebuah lembaga independen alt
ernatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa-sen
gketa komersial.
Dalam praktiknya, sebagai bagian dari proses mediasi, media
tor dapat berbicara langsung secara rahasia dengan masing-masi
ng pihak tanpa dihadiri oleh pihak lain.17 Hal ini menunjukkan
bahwa mediasi masih merupakan bagian yang berantai dengan musy
awarah atau negosiasi sebelumnya. Hanya saja pada mediasi meli
batkan pihak ketiga sebagai mediator, dan hal tersebut tidak a
da pada musyawarah atau negosiasi. Akhir dari sebuah proses me
diasi bisa salah satu dari dua kemungkinan, pertama; apabila t
ercapai suatu kesepakatan, para pihak akan menandatangani sebu
ah dokumen penyelesaian yang selanjutnya akan diproses ke dala
m bentuk perjanjian yang mengikat. Atau kemungkinan kedua; jik
a kesepakatan tidak tercapai, para pihak mengakhiri mediasi de
ngan mengajukan pengunduran diri dari proses mediasi. Pengundu
ran diri ini diajukan secara tertulis kepada mediator dan para
pihak lainnya.18 Selanjutnya berdasarkan pasal 6 ayat 9 Undan
g-undang No. 30 Tahun 1999,19 jika upaya mediasi gagal, para p
ihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan
upaya penyelesaian melalui lembaga arbitrase.
2. Arbitrase Syariah
Arbitrase syariah adalah bentuk forum penyelesaian sengketa pe
rbankan berikutnya setelah musyawarah dan mediasi. Di Indonesi
a terdapat sebuah lembaga arbitrase syariah yang bernama Badan
Arbitrase Syariah Nasional (disingkat Basyarnas). Basyarnas me
rupakan sebuah wadah alternatif penyelesaian sengketa atau per
kara di industri perbankan syariah, maupun juga di lembaga keu
angan syariah (LKS) lainnya.
Basyarnas sebelumnya bernama Badan Arbitrase Muamalat Indones
ia (BAMUI), yang merupakan titik awal kehadiran lembaga arbitr
ase Islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memrakar
sai pendirian BAMUI pada 21 Oktber 1993.22 Kemudian pada 24 De
sember 2003, nama BAMUI diganti menjadi Basyarnas, berdasarkan
keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor:
Kep-09/MUI/XII/2003. Basyarnas sendiri merupakan salah satu pe
rangkat dari organisasi MUI
. Kedudukan Basyarnas ditinjau dari segi Tata Hukum Indonesia
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaa
n Kehakiman Pasal 10 ayat 1 dinyatakan bahwa “kekuasaan kehak
iman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha N
egara”. Namun demikian, di dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 un
dang-undang tersebut disebutkan antara lain, bahwa: “Penyeles
aian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau mel
alui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbite
r hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izi
n atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan”
Kewenangan Basyarnas sebagai lembaga permanen yang didirikan o
leh Majelis Ulama Indonesia berfungsi menyelesaikan kemungkina
n terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perd
agangan, industri, keuangan, dan jasa. Disamping itu badan ini
dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (binden
d advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu per
soalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian,
yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengad
akan perjanjian untuk diselesaikan.
Basyarnas memiliki keunggulan-keunggulan, diantaranya:
a. Dari sisi kerahasiaan, dimana penyelesaian sengketa di
Basyarnas dilakukan dalam sidang tertutup, sehingga me
njamin rahasia dan menjaga martabat masing-masing piha
k, serta bisa menjaga ukhuwah Islamiyah
b. Memberikan kepercayaan kepada para pihak, karena peny
elesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab.
c. Para pihak menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter,
karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangn
ya.
d. Efisiensi waktu, karena proses pengambilan putusannya
cepat, dengan tidak melalui prosedur yang berbelit-bel
it serta dengan biaya yang murah. Basyarnas harus bisa
memutus sengketa yang masuk dalam waktu paling lambat
180 hari (6 bulan)
e. Keputusan bersifat final and binding, sehingga masing-
masing pihak harus menerima dan melaksanakan keputusan
yang ada, dan tidak ada lagi upaya hukum selanjutnya,
baik berupa banding maupun kasasi. Hal ini juga menjun
jung efisiensi waktu
f. Para pihak menyerahkan penyelesaian sengketanya secar
a sukarela kepada orang-orang (badan) yang dipercaya,
sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksan
akan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepaka
tan mereka mengangkat arbiter.

Di samping keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat


beberapa kelemahan Basyarnas. Pesatnya perkembangan le
mbaga keuangan syariah di Indonesia, belum seimbang de
ngan perkembangan Basyarnas sebagai sebuah lembaga arb
iter yang baru tumbuh di Indonesia. Oleh sebabnya seba
iknya Basyarnas melakukan perapihan manajemen dan SDM
yang ada. Jika dibandingkan dengan badan arbitrase lai
n di negara ini, seperti Badan Arbitrase Nasional Indo
nesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia
(BAPMI), maka Basyarnas yang relatif baru berdiri masi
h harus berbenah diri
. Pembenahan ini mencakup seluruh aspek sarana dan
prasarana yang ada di Basyarnas. Baik hal yang menyang
kut SDM, maupun infrastruktur yang digunakan. Karena u
ntuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat,
Basyarnas harus mempunyai performance yang baik, gedun
g yang representatif, administrasi yang tertata, kesek
retariatan yang selalu siap melayani para pihak yang b
ersengketa, dan arbiter yang mampu membantu penyelesai
an persengketaan dengan tepat sasaran dan memuaskan. K
ondisi interen yang baik tersebut akan bertambah baik
apabila didukung dengan law enforcement dari pemerinta
h tentang putusan yang final and binding dalam penyele
saian sengketa di arbitrase
. Selain itu Yudo Paripurno, Ketua Basyarnas jug
a mengeluhkan eksistensi Basyarnas sebagai lembaga arb
itrase syariah di Indonesia masih kurang dikenal oleh
masyarakat. Hal ini terbukti dengan masih sedikitnya p
erkara yang telah masuk ke Basyarnas. Terhitung Mei 20
11, sengketa yang ditangani di Basyarnas masih sekitar
20-an. Mayoritas tipikal masalah yang masuk adalah pem
biayaan macet, di mana pihak bank menuntut nasabah unt
uk menyelesaikannya.25 Sosialisasi keberadaan lembaga
ini masih terbatas, upaya sosialisasi dalam rangka pen
yebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman menge
nai arbitrase syariah dapat dilakukan secara berlanjut
dengan melibatkan banker, alim ulama, tokoh masyarakat,
pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum.
Keterbatasan jaringan kantor Basyarnas di daerah, j
uga menjadi suatu kelemahan, karena Basyarnas baru ber
operasi di Jakarta. Pengembangan jaringan kantor Basya
rnas diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelay
anan kepada masyarakat mengiringi eksistensi pertumbuh
an perkembangan perbankan syariah yang juga tidak kala
h pesat di daerah-daerah setiap propinsi di negara ini
Pada dasarnya Basyarnas sebagai sebuah lemabaga yang
tidak terpisah dari tubuh MUI, juga dapat membuntuti k
eberadaan kantor-kantor cabang MUI di setiap daerah. H
al ini untuk sementara bisa dijadikan upaya pengembang
an Basyarnas ke daerah-daerah dalam waktu yang relatif
singkat.
Sementara dari kalangan praktisi perbankan syari
ah sendiri menilai dan merespon positif keberadaan Bas
yarnas sebagai salah satu pilihan forum penyelesaian s
engketa perbankan syariah. Respon ini adalah salah sat
u titik terang untuk perkembangan Basyarnas ke depan.
Di antara praktisi menganggap kehadiran Basyarnas sang
at efektif dan efisien dalam menyelesaikan sengketa, k
arena lebih sederhana, cepat, dan final.
Di samping arbitrase syariah, para pihak juga dap
at memilih jalur litigasi (peradilan) untuk menyelesai
kan sengketa perbankan syariah. Atau sebelum dihasilka
n putusan para pihak juga dimungkinkan untuk sepakat b
eralih dari arbitrase kepada jalur litigasi. Namun beg
itu peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus pe
rkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan yang
berasal dari arbiter jika sebelumnya telah menangani k
asus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk men
ghindari lamanya proses penyelesaian
3. Peradilan Agama

Pada tahun „90an mengenai badan peradilan mana yang


berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa
perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berba
gai kalangan. Apakah menjadi kewenangan Pengadilan Umum ata
u Pengadilan Agama. Karena belum ada undang-undang yang sec
ara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing men
cari landasan hukum yang tepat. Kemudian dengan diamandemen
nya UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan ata
s Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk menyele
saikan sengketa perbankan syariah sudah terjawab.
Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi
kan wewenang kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas.27 Se
belumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No
mor 7 tahun 1989, Peradilan Agama hanya bertugas dan berwen
ang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakuka
n berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah. Kemud
ian dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka ru
ang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. B
erdasarkan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menye
lesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi:
bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syar
iah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syari
ah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas
syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiu
n lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
Dalam penjelasan pasal 49 tersebut antara lain diny
atakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang be
ragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang
dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada h
ukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadi
lan Agama sesuai ketentuan Pasal ini.” Dari penjelasan pas
al 49 ini, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembag
a pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka u
nit usaha syariah dengan sendirinya terikat dengan ketentua
n ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam
penyelesaian perselisihan. Adapun sengketa di bidang ekonom
i syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga k
euangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasab
ahnya,
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama le
mbaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah,
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-or
ang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiann
ya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yan
g dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syar
iah.
Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di a
tas, pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengatur tentan
g kompetensi absolut Pengadilan Agama. Oleh karena itu,
pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan pri
nsip syariah (ekonomi syariah) tidak dapat melakukan p
ilihan hukum untuk diadili di Pengadilan yang lain. Ap
alagi, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU
No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, pilihan hukum dinyatakan
telah dihapus.29 Oleh karena itu dalam draft-draft per
janjian yang dibuat oleh beberapa perbankan syariah be
rkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad m
udharabah dan akad-akad yang lain yang masih mencantum
kan klausul penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri
apabila Basyarnas tidak dapat menyelesaikan sengketa,
maka seharusnya dirubah menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
Wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agam
a untuk menangani sengketa perbankan syariah juga dipe
rtegas pada pasal 55 ayat 1 Undang-undang No. 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah. Pada pasal tersebut di
nyatakan bahwa “Penyelesaian sengketa perbankan syari
ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradila
n Agama”. Dengan ini berarti semakin jelas bahwa Pera
dilan Agama merupakan satu-satunya lembaga peradilan
(litigasi) yang diamanatkan oleh perundang-undangan un
tuk menangani sengketa perbankan syariah. Seperti pili
han forum penyelesaian sengketa perbankan syariah lain
nya, Perdilan Agama sebagai salah satu pilihan juga me
miliki keunggulan dan kelemahan tersendiri dalam memeg
ang wewenang tersebut. Di antara keunggulan Peradilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah a
dalah:
1. Pengadilan Agama memiliki SDM yang sudah memahami permasala
han syariah, tinggal meningkatkan wawasan dan pengetahuan m
ereka melalui pendidikan dan pelatihan secara berkala.
2. Kendatipun RUU tentang ekonomi syariah belum disahkan namu
n Pengadilan Agama mempunyai hukum materiil yang cukup esta
blished, khususnya yang berkaitan dengan ekonomi syariah, d
iantaranya berupa kitab-kitab fikih muamalah yang dalam pen
erapannya masih kontekstual.
3. Keberadaan kantor Pengadilan Agama hampir meliputi semua wi
layah Kabupaten dan Kotamadiya di seluruh wilayah Indonesia
dan sebagian besar telah mengaplikasikan jaringan Teknologi
Informasi (TI) dengan basis internet, sehingga apabila diba
ndingkan dengan Basyarnas yang keberadaannya masih terkonse
ntrasi di wilayah ibukota, maka Pengadilan Agama mempunyai
keunggulan dalam akses pelayanan
4. Mendapat dukungan mayoritas penduduk Indonesia, yaitu masy
arakat muslim yang saat ini sedang mempunyai semangat tingg
i dalam menegakkan nilai-nilai agama yang mereka anut
5. Adanya dukungan politis yang kuat karena pemerintah dan DP
R telah menyepakati perluasan kewenangan Peradilan Agama te
rsebut pada tanggal 21 Februari 2006 sehingga lahirnya UU N
o. 3 Tahun 2006 adalah suatu keniscayaan untuk menyesuaikan
terhadap tuntutan hukum yang ada, yakni perubahan paradigma
dari peradilan keluarga menuju peradilan modern.
Di samping kelebihan dan keunggulan di atas, Peradilan Agama j
uga memiliki beberapa kelemahan terhadap kewenangannya dalam m
enyelesaikan sengketa perbankan syariah yaitu:
1. Belum ada regulasi atau peraturan perundang-undangan yang m
engatur tentang ekonomi syariah, sehingga dengan adanya ber
agam rujukan kitab hukum, dimungkinkan akan muncul putusan
yang berdisparitas dalam kasus yang sama. Hal ini bukan saj
a membingungkan umat, tetapi juga tidak menguntungkan dalam
dunia bisnis, sehingga dikhawatirkan memunculkan sikap trau
ma bagi para pelaku ekonomi syariah untuk berperkara di Pen
gadilan Agama. Sementara Kompilasi Hukum Ekonomi Islam bera
da jauh dibawah undang-undang.
2. Aparat Peradilan Agama yang sebagian besar mempunyai backg
round disiplin ilmu syariah dan hukum, kurang memahami akti
fitas ekonomi baik yang besifat mikro maupun makro, juga ke
giatan di bidang usaha sektor riil, produksi, distribusi da
n konsumsi.
3. Aparat Peradilan Agama masih gagap terhadap kegiatan lemba
ga keuangan syariah sebagai pendukung kegiatan usaha sektor
riil, seperti: Bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Sy
ariah, Multifinance, Pasar Modal Syariah dan sebagainya.
4. Pencitraan inferior terhadap Peradilan Agama yang dipandang
hanya berkutat menangani masalah NCTR (Nikah Cerai Talak Ru
juk) sulit dihapus, hal ini merupakan dampak dari kurangnya
dukungan lembaga-lembaga terkait untuk mensososialisasikan
UU No. 3 Tahun 2006
5. Sebagian besar kondisi gedung kantor Pengadilan Agama dan
sarana maupun prasarananya yang ada belum merepresentasikan
sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili para ba
nkir dan para pelaku bisnis. Oleh karenanya untuk merubah p
aradigma sebagai lembaga peradilan yang modern maka hal ini
mutlak harus diperbaiki dan ditunjang oleh anggaran yang me
madai untuk tahun-tahun yang akan dating .
6. Performance aparat peradilan yang kurang meyakinkan, terut
ama dari segi penampilan dan cara berpakaian yang masih san
gat sederhana. Hal ini semata-mata karena kesejahteraan yan
g kurang memadai, sehingga dengan rencana tunjangan khusus
bagi aparat peradilan diharapkan bukan saja meningkatkan pe
rformance, tetapi lebih dari itu adalah untuk meningkatkan
kinerja aparat peradilan demi menuju lembaga peradilan yang
adil, jujur, berwibawa dan bebas korupsi sebagaimana amanat
reformasi.
7. Adanya aparat peradilan terutama sebagian hakim yang masih
gaptek (gagap teknologi) menjadi kendala tersendiri bagi me
reka yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Kare
na pengetahuan ekonomi syariah bagi para hakim harus selalu
up to date, tentunya harus didukung oleh kemampuan dalam me
ngakses informasi dari berbagai media terutama melalui inte
rnet.

4. . Peradilan Umum

Pada Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Kekuasaan K


ehakiman33 secara tegas telah disebutkan bahwa pengadilan d
alam lingkungan Peradilan Umum merupakan bagian dari pelaks
ana kekuasaan kehakiman (lembaga litigasi). Namun dalam kon
teks penyelesaian sengketa perbankan syariah, Peradilan Umu
m diposisikan sejajar bersama-sama alternatif penyelesaian
sengketa non litigasi
lainnya.34 Hal ini terkesan “unik” karena sebuah bada
n litigasi ditempatkan pada posisi non litigasi. Sebaliknya
akan menjadi lebih rancu lagi, jika pengadilan dalam lingku
ngan Peradilan Umum pada penyelesaian sengketa perbankan sy
ariah tetap diposisikan sebagai salah satu forum litigasi.
Karena sengketa perbankan syariah juga telah diamanatkan se
bagai bagian dari kompetensi lembaga litigasi lain (yaitu P
eradilan Agama). Maka apabila Peradilan Umum juga berperan
serta sebagai penyelesaian sengketa secara litigasi, hal te
rsebut akan bertentangan dengan asas kepastian hukum. Sebab
tidak mungkin satu kompetensi yang sama dijalankan oleh dua
lembaga litigasi yang berbeda. Dapat dikatakan hal ini menj
adi dualisme wewenang peradilan.
Untuk itu, lebih tepat jika pengadilan dalam ling
kungan Peradilan Umum diposisikan sebagai salah satu piliha
n forum non litigasi penyelesaian sengketa perbankan syaria
h. Namun pada prakteknya, semenjak disahkannya Undangundang
No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, tidak ada perkara
perbankan syariah yang diajukan di Peradilan Umum. Tetapi p
ada sisi lain pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum me
megang peranan tunggal untuk mengeksekusi putusan arbitrase
syariah. Berdasarkan pasal 59 Undang-undang No. 48 Tahun 20
09 dan penjelasannya dijelaskan bahwa dalam hal putusan arb
itrase syariah tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para
pihak, maka eksekusi putusan dilakukan oleh pengadilan dala
m lingkungan Peradilan Umum. Pasal ini mereduksi sebagian k
ompetensi Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perb
ankan syariah, karena eksekusi putusan arbitrase syariah pa
da asalnya merupakan bagian dari penyelesaian sengketa perb
ankan syariah itu sendiri
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia dapat dilakuk
an melalui dua jalur, baik jalur litigasi maupun non litigasi. Per
adilan Agama merupakan lingkungan peradilan yang berwenang untuk m
enyelesaikan sengketa perbankan syariah pada jalur litigasi, semen
tara melalui jalur non litigasi dapat dilakukan melalui musyawarah
mediasi perbankan, arbitrase syariah, dan pengadilan dalam lingku
ngan Peradilan Umum.
Basyarnas adalah forum paling strategis untuk menyelesaikan sen
gketa perbankan syariah. Karena Basyarnas dapat menyelesaikan seng
keta dengan lebih cepat, sederhana, dan biaya riangan. Selain itu
penyelesaian melalui arbitrase syariah juga dapat lebih menjaga ra
hasia masing-masing pihak. Namun begitu, kurangnya sosialisasi Bas
yarnas kepada masyarakat, dan jaringan kantor Basyarnas yang masih
terbatas di ibu kota, menjadikan Basyarnas kurang dikenal sebagai
lembaga arbiter dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.

Anda mungkin juga menyukai