Anda di halaman 1dari 6

Nama: Indah Ayu Lestari

Nim: D10118690

1. Alternatif penyelesaian sengketa perbankan syariah

Perbankan syariah di Indonesia saat ini berkembang dengan

pesat. Berdasarkan Laporan Otoritas Jasa Keuangan yang dimuat dalam Laporan

Perkembangan Keuangan Syariah Tahun 2013 jumlah bank yang melakukan

kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah meningkat. Saat ini terdapat 11 bank

umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS), dan 163 bank pembiayaan

rakyat syariah (BPRS). Hal ini tentu sangat menggembirakan, meskipun total aset

perbankan syariah secara nasional masih sangat kecil dibandingkan dengan

perbankan konvensional, yakni dalam kisaran 5%.

Untuk mempertahankan perkembangan perbankan syariah ke

depan, dukungan hukum terhadap perbankan syariah dari berbagai aspek yang

sangat diperlukan. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah

mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah yang mungkin terjadi antara

bank syariah, nasabah, dan pemangku kepentingan ( stakeholder).  Seperti bisnis

lainnya, sengketa di perbankan syariah juga tidak dapat dihindarkan. Oleh

KARENA Perbankan syariah didasarkan PADA Prinsip syariah ( syariah

berbasis ), Maka MEKANISME Penyelesaian sengketanya also Harus

berdasarkan syariah ( sesuai dengan syariah ).

Di Indonesia, pengadilan yang menyelesaikan sengketa perbankan syariah

adalah Pengadilan Agama. Sejak tahun 2006, dengan diamendemennya UU No. 7

Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, kewajiban
Peradilan Agama diperluas. Di samping memeriksa, memutus dan menyelesaikan

sengketa di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang

perkawaninan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Pengadilan

Agama juga di bidang ekonomi syariah [Pasal 49 ayat [i] UU No. 3 Tahun

2006]. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah

'perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan sesuai prinsip syariah, antara

lain meliputi: (a) bank syariah; (b) lembaga keuangan mikro syari'ah; (c) asuransi

syariah; (d) reasuransi syariah; (e) reksa dana syariah; (f) obligasi syariah dan

surat berharga berjangka menengah syariah; (g) sekuritas syariah; (h) pembiayaan

syariah; (i) pegadaian syariah; (j) dana pensiunan lembaga keuangan syariah; dan

(k) bisnis syariah.”

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Pengadilan Agama tidak

menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan tersebut tidak hanya

terbatas di bidang perbankan syariah saja, tapi juga di bidang ekonomi syariah

lainnya. Kemudian, Pengadilan Agama Kembali dalam Pasal 55 [1] UU No. 21

Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa penyelesaian

sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam Lingkungan

Peradilan Agama. Namun, Pasal 55 [2] UU ini memberi peluang kepada para

pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di luar Pengadilan

Agama apabila disepakati bersama dalam isi akad. Sengketa tersebut dapat

diselesaikan melalui musyawarah, mediasi perbankan,


Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme penyelesaian

sengketa alternatif di luar pengadilan seperti musyawarah, mediasi, dan arbitrase

syariah merupakan langkah yang dan layak untuk diapresasi. Akan tetapi, masalah

muncul ketika Pengadilan Negeri juga memberikan kewenangan yang sama dalam

menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Terjadi dualisme penyelesaian

sengketa dan ketidakpastian hukum serta tumpang tindih dengan penyelesaian

dalam suatu penyelesaian yang sama oleh dua lembaga peradilan yang

berbeda. Padahal, kewenangan ini merupakan kewenangan Pengadilan Agama

sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (i) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan

Agama.

Karena adanya ketidakpastian hukum seperti inilah, maka Dadang

Achmad, Direktur CV Benua Engineering Consultant, mengajukan judicial

review ke Mahkamah Konstitusi, memohon memohon Pasal 55 ayat [2]&[3] UU

No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah dengan alasan bertentangan dengan

Pasal 28 UUD 1945. Pada tanggal 29 Agustus 2013, Majelis Mahkamah

Konstitusi membuat putusan atas perkara Nomor 93/PUU-X/2012, permohonan

Dadang Achmad, menyatakan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat [2] UU 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat. Lebih lanjut dalam salah satu

pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa adanya pilihan

penyelesaian sengketa ( choice of forum).) untuk menyelesaikan sengketa

perbankan syariah sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU

21 Tahun 2008 pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih


kewenangan untuk mengadili, karena ada dua peradilan yang diberikan

kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, sedangkan dalam

UU 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama tegas dinyatakan bahwa peradilan

agama yang dilaksanakan secara lengkap tersebut.

Dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi tersebut, maka tidak ada lagi

dualisme dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Pengadilan Agama

menjadi satu-satunya pengadilan yang berhasil menyelesaikan sengketa

Perbankan syariah. Hal ini semakin mengokohkan eksistensi Pengadilan Agama

di Indonesia, tetapi di sisi lain menjadi tantangan tersendiri, karena bidang

perbankan syariah secara khusus dan ekonomi secara umum merupakan bidang

baru yang sangat kompleks permasalahannya. Keraguan banyak pihak akan

kemampuan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa hukum syariah

harus dibuktikan dengan pembuktian para hakim di lingkungan peradilan agama

dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang memutuskanya. Para hakim harus

memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu ekonomi syariah, baik dari

segi teori maupun praktik. Kapan pun diperlukan, di setiap pengadilan dibentuk

hakim khusus dalam menyelesaikan sengketa perbankan dan keuangan

syariah. Penandatanganan Surat Keputusan Bersama [SKB] yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia tentang

Kerjasama Pelatihan Hakim di Bidang Kebanksentralan dan Sektor Jasa

Keuangan pada bulan Juli 2014 lalu adalah langkah-langkah yang perlu

diapresiasi dan harus ditindaklanjuti.

2. Contoh Kasus Sengketa Perbankan Syariah


Kasus mengenai sengketa perbankan syariah sangat sering terjadi akhir-

akhir ini. Beberapa di antaranya bisa diselesaikan dengan baik dan beberapa lagi

tidak. Hal ini dikarenakan rujukan untuk menyelesaikan sengketa masih belum

begitu luas.

Oleh sebab itu, Pengadilan Agama perlu meningkatkan lagi pengetahuan dan

rujukan yang digunakan saat menyelesaikan kasus sengketa. Sebab, kasus

sengketa yang terjadi bisa bermacam-macam.

Mulai dari kasus perbankan dengan individu, perbankan dengan perbankan, atau

bahkan perbankan dengan industri. Kasus antara perbankan dan individu menjadi

salah satu yang paling banyak dilaporkan. Berikut ini kami akan memberikan

contoh singkatnya:

Contoh Kasus

Kasus ini diambil dari masalah sengketa antara Sugiharto Widjaja (50)

yang merupakan warga Kota Bandung dengan Bank Swasta Syariah ternama.

Kasus ini terkait kredit lahan yang macet.

Di tahun 2014, Sugiharto membeli lahan dan bangunan dengan harga 20 miliar.

70% dananya atau sebesar 13 miliar bersumber dari bank syariah dan 7 miliar

adalah dana pribadi.

Sisa dananya kemudian dicicil oleh Sugiharto dengan cicilan 136 juta

perbulan. Dana yang sudah dibayarkan adalah 1,3 miliar. Namun, cicilan tersebut

mengalami kemacetan dan tidak dibayarkan hingga beberapa waktu.


Hingga akhirnya bank syariah tersebut mengajukan gugatan kepada Pengadilan

Negeri Kota Bandung secara verstek. Gugatan tersebut dimenangkan oleh pihak

Bank Swasta Syariah dan menjual tanahnya ke pihak lain.

Pada kasus ini, Sugiharto melalui kuasa hukumnya meminta untuk PN

Bandung agar mencabut putusan bank syariah tersebut. Namun, ditolak karena

alasan kewenangan. Padahal kuasa hukum sudah memaparkan dasar hukumnya.

Kedua belah pihak menjalani proses media mengenai kesepakatan yang hendak

diambil sebelum akhirnya melaju ke persidangan. Meski sudah beberapa opsi

ditolak oleh pihak bank syariah.

Analisa Sengketa

Berdasarkan kasus di atas ada poin yang perlu diperhatikan dan menjadi

nilai minus dalam menangani sengketa perbankan syariah. Yaitu mengenai

tumpang tindih laporan yang menyebabkan kesulitan pihak tergugat.

Adanya tumpang tindih laporan antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.

Pihak bank menggugat melalui Pengadilan Negeri dan gugatan tersebut tidak

dapat dicabut karena kewenangan perekonomian syariah. Dalam perbankan

syariah memang tidak dapat terhindar dari sengketa dan masalah lainnya. 

Anda mungkin juga menyukai