Anda di halaman 1dari 18

HUKUM KEPAILITAN

PROSES TERJADINYA KEPAILITAN

KELOMPOK
NAMA : NIM :
1. PUSPA MIRANTI 17.098/HK
2. PUSPITA SARI 17.103/HK
3. BELLA APRILIANA 17.091/HK
4. ANEKE PUTRI 17.088/HK
5. SUSI SUSANTI 17.093/HK

JURUSAN : ILMU HUKUM


DOSEN : ZAINUL MARZALDI, SH., MH.

MATA KULIAH HUKUM KEPAILITAN


SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SERASAN
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya maka
saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “proses terjadinya kepailitan
“.Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Hukum
Kepailitan.
       makalah ini saya lengkapi dengan pendahuluan sebagai pembuka yang
menjelaskan latar belakang dan tujuan pembuatan makalah. Pembahasan yang
menjelaskan proses terjadinya kepailitan, penutup yang berisi tentang kesimpulan
yang menjelaskan isi dari makalah saya. Makalah ini juga saya lengkapi dengan
daftar pustaka yang menjelaskan sumber dan referendi bahan dalam penyusunan.
        Saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini akan saya terima.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak  baik yang menyusun
maupun yang membaca.

Talang Ubi, Januari 2020

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI Ii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................
B. Rumusan Masalah ................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN
A.  Bagaimana proses terjadinya kepailitan…………………………..
B. Bagaimana tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap
Perseroan yang dipailitkan…………………………………………..

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang
merugi, bangkrut.[1] Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan

3
bahwa, liquidation, likuidasi: pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses
penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta
penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham.[2] Beberapa definisi
tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan Ketentuan
Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi antara lain:
Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok Undang-
Undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998
disebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh
kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah
pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan
memperhatikan hak-hak mereka masing-masing”.[3] Berdasarkan pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan
oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah
dinyataka tidak mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan
atas: a. permohonan dibitur sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b.
permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan Tahun);
c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan); d Pailit bisa
atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2 ayat (2) UU
Kepailitan); e. bila dibiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh
Bank Indonesia (pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan
Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriling dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas
Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal
debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau
Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal
2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan pailit adalah untuk

4
mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta benda
disita atau dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya
(kreditur).
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat
menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang
telah dinyatakan pailit. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah
tahap insolvensi.[4] Yaitu suatu perusahaan yang sudah tidak mampu membayar
hutang-hutangnya lagi.[5] Padah tahap insolvensi penting artinya karena pada
tahap inilah nasib debitur pailit ditentukan. Apakah harta debitur akan habis
dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega
dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila
debitur sudah dinyatakan insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit, dan
hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis
dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.[6]
Mengenai hal tersebut diatas maka proses terjadinya kepailitan sangatlah
perlu diketahui. Kemudian tindakan selanjutnya adalah mengenai bentuk
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh Pengurus terhadap perseoroan yang
mengalami kepailan. Maka kelompok kami tertarik untuk menulis mengenai hal
tersebut dengan judul PROSES KEPAILITAN DAN TANGGUNGJAWAB
PENGURUS TERHADAP PERSEROAN PAILIT.

B.  Rumusan Masalah


1.  Bagaimana proses terjadinya kepailitan?
2.  Bagaimana tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap Perseroan yang
dipailitkan?
3.  Contoh kasus pailit batavia air dan bagaimana penyelesaiannya?

5
C. Tujuan
1.  Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses terjadinya kepailitan.
2.  Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggungjawab hukum bagi Pengurus
terhadap Perseroan yang dipailitkan.
3.  Untuk memaparkan dan menganalisis kasus pailit yang terjadi pada PT Batavia
Air dan penyelesaiannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Terjadinya Kepailitan
1.  Prinsip-Prinsip umum dalam Proses terjadinya Kepailitan

6
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan
adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan pengertian yang ada
pada undang-undang kepailitan, para ahli hukum memberikan makna atau
pengertian yang jelas tentang kepailitan, salah satunya menurut Adrian Sutedi
yang meberikan pengertian “suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan
debitor untuk kepentingan kreditor-kreditornya”.1[7] Kepailitan harus memenuhi
dan berlandaskan pada asas:2[8]
a.  keseimbangan, tidak ada penyalahgunaan lembaga atau pranata dalam
kepailitan yang digunakan oleh debitor yang tidak jujur dan terdapat ketentuan
yang dapat mencegah kreditor melakukan itikad tidak baik.
b.  asas kelangsungan usaha, debitor yang pada proses kepailitannya atau telah
diputus kepailitannya tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya
c.  asas keadilan, pada asas ini kepailitan dapat memberikan rasa keadilan bagi
para pihak yang memiliki kepentingan sehingga tidak terjadi kesewenang-
wenangan baik yang dilakakan oleh salah satu pihak.
d.  Asas integrasi, dalam hal ini kepailitan harus berdasarkan hukum formil dan
materiil yang berlaku di Indonesia.
Kepailitan diatur dalam suatu kaedah hukum memiliki tujuan untuk menuju
hukum kepailitan yang progresif. Untuk mencapai tujuan terdapat syarat yang
harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan pailit, yaitu:3[9]
a.  Mempunyai dan diajukan oleh dua atau lebih kreditor, baik kreditor separatis,
preferen, dan konkurent. Kepailitan tersebut juga dapat diajukan oleh
kejaksaan apabila debitor melakukan tindak pidana, serta permohonan kepailit
dapat diajukan oleh Bank Indonesia ketika debitor adalah perbankan,
permohonan dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal apabila debitor
1

7
adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga miring dan penjamin, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian. Permohan dapat pula diajukan oleh menteri
keuangan apabila debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan
reasuransi, dana pension, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
b. Kreditur-kreditur tersebut menyatakan debitor tidak membayar lunas sedikit
pun utang yang harus dibayar dalam jangka waktu jatuh tempo.

2.  Prosedur Kepailitan
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang
yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu
berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang
diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004 yang telah dibahas sebelumnya oleh
penulis. Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui
panitera. Pengajuan selain dapat dilakukan oleh kreditur atau lembaga yang
diberikan kewenangan yaitu debitur itu sendiri. Debitur yang melakukan
permohonan kepailitan pada Perseroan Terbatas harus memenuhi syarat sebagai
berikut:4[10]
a.  Surat permohonan bermaterai ditujukan kepada ketua pengadilan niaga
b.  Akta pendafataran perusahaan yang dilagalisir oleh kantor perdagangan
c.  Putusan sah Rapat umum Pemegang Saham (RUPS)
d.  Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
e.  Neraca keuangan terakhir
f.   Nama serta alamat debitur dan kreditur
Syarat yang harus dilakukan oleh kreditur yang melakukan permohonan
kepailitan adalah:5[11]
a.  Surat permohonan yang bermaterai yang ditanda tangani oleh Ketua
Pengadilan Niaga
b.  Akta pendaftaran perusahaan yang dilegalisir oleh ketua perdagangan
c.  Surat perjanjian utang yang ditanda tangani kedua belah pihak

8
d.  Perincian utang yang tidak terbayar
e.  Nama dan alamat masing-masing kreditur/debitur
Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan
niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal
permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari
permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan
kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak permohonan di mana
dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau pencocokan utang antara debitur dengan
kreditur. Dalam rapat verifikasi atau pencocokan utang seorang debitor wajib
datang sendiri agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim
pengawasmengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Pada rapat
pencocokan utang setelah semua pihak hadir baik debitor, kurator, maupun
kreditor, hakim pengawasakan membacakan daftar piutang yang diakui sementara
dan daftar yang dibantah oleh kurator.
Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh
hakim apabila fakta atau keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan
pailit. Fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan
tidak dibayar sedangkan perbedaan besarnya utang didalihkan oleh permohonan
pailit dan termohon pailit tidak menghalangi jatuhnya putusan pailit. Putusan
pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat,
sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.6[12]
Pada proses pengurusan harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan
kepengurusan yaitu:7[13]
a.  Hakim pengawas yang melakukan pengawasan pada pengurusan dan
pemberesan harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37 Tahun 2004
b.  Kurator, memiliki tugas melakukan pemberesan harta pailit

9
Dalam hal kepailitan terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan,
kasasi ke Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan
pailit yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Proses pengurusan kepailitan
dianggap telah berakhir apabila telah terjadi hal-hal seperti berikut:8[14]
a.  Akur atau perdamaian, terjadi ketika terdapat perjanjian antara debitur pailit
dengan para kreditur di mana debitur menawarkan pembayaran sebagian dari
utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut
dibebaskan dari sisa utangnya.
b. Insolvensi atas pemberesan harta pailit, ketika terjadi insolvensi apabila
kepailitan tidak ditawarkan akur atau perdamaian atau tidak dipenuhinya suatu
kesepakatan sehingga terjadi keadaan tidak mampu membayar, sebagaimana
diatur pada pasal 178 UU no 37 tahun 2004.
c. Rehabilitasi, permohonan rehabilitasi dapat diajukan oleh debitur pailit atau ahli
warisnya dengan dibuktikan bahwa kreditur telah menerima seluruh
pembayaran piutangnya.
Akibat hukum secara umum yang terjadi yang disebabkan oleh putusan pailit
adalah terhadap harta debitur akan dilakukan sitaan umum, perikatan debitur
yang dibuat setelah putusan pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta pailit, dan
perbuatan hukum yang dilakukan debitor sebelum putusan pailit diucapkan
dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan pada pasal 41 UU No 37 Tahun
2004.9[15]
B.  Tanggungjawab Hukum Bagi Pengurus Terhadap Perseroan yang Pailit
1.   Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)
Pasal 97 ayat (1) UUPT mewajibkan setiap anggota direksi untuk wajib
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk melakukan pengawasan
perseroan untuk kepentingan dan usaha (tujuan perseroan). Sehingga Direksi
bertanggung jawab atas pengurusan dan perwakilan terhadap perseroan dalam
rangka untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Tanggung jawab direksi atas
kepailitan PT dijelaskan dalam ketentuan pasal 104 UUPT, antara lain:

10
1.  Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri
kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
2.  Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta
pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan
tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas
seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
3.  Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota direksi yang salah atau
lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangk waktu 5 (lima)
tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
4.  Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila
dapat membuktikan:
a.    Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.   Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan;
c.   Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d.   Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan;
5. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi direksi dari perseroan yang dinyatakan
pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.
Maka dapat diketahui bahwa berdasarkan pasal 104 ayat (2) dan ayat (3)
UUPT, setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas
kepailitan perseroan, jika kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan
atau kelalaian anggota direksi dan juga bagi anggota direksi yang salah/lalai yang
pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangka waktu lima tahun sebelum
putusan pailit diucapkan.
Pada ayat (4) memberikan kesempatan kepada anggota direksi untuk tidak
bertanggung jawab atas kepailitan perseroan, jika anggota direksi dapat
membuktikan. Dengan demikian beban pembuktian ada pada anggota direksi yang

11
bersangkutan. Pembuktian adanya unsur kesalahan atau kelalain menjadi kunci
utama dalam menuntut pertanggungjawaban anggota direksi. Menurut Schreuder,
pengertian kesalahan menurut hukum pidana menuntut adanya 3 (tiga) unsur
berupa:10[16]
1.   Kelakuan yang bersifat melawan hukum;
2.   Dolus (kesengajaan) atau culpa (kelalaian);
3.   Kemampuan bertanggung jawab pelaku.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa beliau sependapat dengan
sikap pengadilan Amerika Serikat, bahwa seorang anggota direksi perseroan
dalam menjalankan tugasnya hanya bertanggung jawab apabila kelalaian yang
dilakukan adalah kelalaian berat (gross negligence).11[17] Meskipun demikian
tidaklah mudah untuk membedakan mana perbuatan hukum direksi yang bersifat
kelalaian ringan dan mana perbuatan direksi yang bersifat kelalaian berat, karena
penilaian tersebut merupakan sesuatu yang bersifat subjektivitas.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap Direksi selaku pengurus
perseroan terbatas antara lain:
1.  Melakukan penahanan terhadap direksi selaku pengurus perseroan terbatas
(pasal 93 sampai dengan pasal 95 UU Kepailitan)
Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu,
atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang
kreditor atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat melakukan
penahanan terhadap terhadap direksi selaku pengurus perseroan pailit baik di
rumah tahanan negara (rutan) maupun di rumah Direksi tersebut, dibawah
pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Masa penahanan yang
berlaku palin lama 30 hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan dan dapat
diperpanjang selama 30 hari oleh pengadilan atas usul hakim pengawas atau atas
permintaan kurator atau seorang kreditor lebih setelah mendengar hakim
pengawas. Biaya penahanan dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta
pailit sebagai utang harta pailit.

10

11

12
Pengadilan juga berwenang melepaskan direksi dari tahanan atas usul
hakim pengawas atau atas permohonan direksi (mewakili debitur pailit), dengan
jaminan uang dari pihak ketiga bahwa direksi (mewakili debitur pailit) setiap
waktu akan menghadap atas panggilan pertama.
2. Meminta kehadiran Direksi pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta
pailit (pasal 96 UU Kepailitan)
Jika direksi yang ditahan, dalam hal diperlukan kehadiran kehadiran direksi
pada sesuatu perbutaan yag berkaitan dengan harta pailit maka direksi dapat
diambil dari tempat tahan tersebut atas perintah hakim pengawas. Perintah
hakim pengawas tersebut dilaksanakan oleh kejaksaan.
3. Direksi tidak boleh meninggalkan domisilinya (pasal 97 UU Kepailitan)
Selama kepailitan, direksi selaku pengurus PT tidak boleh meninggalkan
domisilinya tanpa izin dari hakim pengawas.
4. Direksi wajib menghadap hakim pengawas, kurator atau panitian kreditor
apabila dipanggil (pasal 110 ayat (1) UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib menghadap hakim pengawas,
kurator/panitia kreditor apabila dipanggil untuk memberikan keterangan.
5.  Direksi wajib hadir dalam rapat pencocokan piutang (pasal 121 ayat (1) dan (2)
UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan
piuang agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas
mengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Kreditor juga dapat
meminta keterangan dari Direksi selaku pengurus PT mengenai hal-hal yang
dikemukakan melalui hakim pengawas.
2. Tanggung Jawab Dewan Komisaris atas Kepailitan Perseroan Terbatas
Pasal 115 mengatur sejauh mana tanggung jawab anggota DK atas kepailitan
Perseroan. Sekiranya Perseroan dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, baik
hal itu terjadi atas permintaan sendiri oleh Direksi setelah mendapat
persetujuan RUPS melalui proses voluntary petition maupun oleh pihak ketiga
melalui proses involuntary petition.

13
a.  Faktor yang menyebabkan anggota Dewan Komisrais Bertanggung Jawab
Atas Kepailitan Perseroan
Pasal 115 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
menyebutkan bahwa ikutnya anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab atas
Kepailitan Perseroan, apabila terpenuhi persyaratan atau digantungkan pada faktor
berikut:12[18]
§  Kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalian pengawasan yang dilakukan
Dewan Komisaris
Syarat atau faktor pertama yang dapat menyeret anggota Dewan Komisaris
selanjutnya disebut dengan DK ikut memikul tanggung jawab atas kepailitan
terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaian DK melaksanakan tugas
pengawasan dan pemberian nasihat kepada pengurusan yang dilaksanakan
Direksi.
§  Harta kekayaan perseroan tidak mencukupi membayar seluruh kewajiban
Syarat kedua ternyata harta pailit perseroan “tidak mencukupi” membayar seluruh
kewajiban Perseroan kepada para kreditor. Dalam hal demikian, setiap anggota
DK ikut bertanggung jawab scara tanggung renteng untuk membayar kewajiban
yang belum terlunasi dari harta kekayaan Perseroan. Tanggung jawab secara
tanggung renteng yang dijelaskan diatas berlaku juga bagi anggota DK yang
sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan,
asal terpenuhi syarat yang dijelaskan diatas.
b. Faktor yang dapat menggugurkan tanggung jawab anggota Dewan
Komisaris atas kepailitan Perseroan
Pasal 115 ayat (3) memberi kemungkinan kepada anggota DK
membebaskan diri dari keikutsertaan bertanggungjawab pribadi dan solider atas
kepailitan Perseroan. Syarat yang dapat membebaskannya digantungkan pada
faktor kemampuan membuktikan hal-hal berikut ini:
a)   Kepalilitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
b)  Telah melakukan tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan Perseroan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan

12

14
c)  Tidak mempunyai kepentingan pribadi, langsung/tidak langsung atas tindakan
pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan kepailitan
d)  Telah memberikan nasihat ke direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan
Syarat pembebasan tanggung jawab pribadi ini bersifat “kumulatif” bukan
bersifat “alternatif”. Oleh karena itu supaya dapat bebas dan lepas memikul
tanggungjawab kepailitan itu, anggota DK yang bersangkutan harus mampu
membuktikan hal- hal yang disebutkan pada a sampai dengan

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka dalam hal ini dapat ditarik
kesimpulan intisari permasalahan, adalah sebagai berikut

1. Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang


yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu
berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang
diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004. Permohonan pengajuan pailit diajukan
kepada pengadilan melalui panitera. Panitera mendaftarkan permohonan
kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari

15
terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling
lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan
pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang
pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari
sejak permohonan. Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau
diputus oleh hakim apabila fakta atau keadaan secara sederhana terbukti
memenuhi persyaratan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari
setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan
pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib
diajukan kepada jurusita.

2. Pengurus perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan


perseroan, jika kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau
kelalaian dari pengurus perseroan. Namun pengurus tidak dapat dibebani
tanggung jawab apabila dapat membuktikan kepailitan tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik,
kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan; tidak mempunyai benturan kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan;
dan telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan.

B.  Saran

1. Sebaiknya kementerian perhubungan menerapkan klasifikasi kesehatan


perusahaan penerbangan. Perlu ada kategori airline dalam kondisi pengawasan
khusus dan dilakukan pembatasan kegiatan usaha, sebelum airline ditutup atau
berhenti beroperasi. Dalam reformasi hukum kepailitan, perlu adanya pendekatan
yang berbeda dalam menangani perkara kepailitan untuk perusahaan yang
bergerak di bidang pelayangan publik. Sama halnya di sektor keuangan, dimana
untuk menyatakan pailit perlu ada persetujuan dari otoritas keuangan
(kementerian keuangan dan Bank Indonesia). Sudah waktunya  prinsip yang sama

16
di terapkan di sektor perhubungan. Untuk menyatakan sebuah operator jasa
transportasi dinyatakan pailit perlu ada persetujuan dari Kementrian Perhubungan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
Munir Fuady, 1999, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra
AdityazBakti, Bandung.
M. Yahya Harahap, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta.
Rahayu Hartini, 2007, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang.
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan
Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta.
Sofjan Sastrawidjaja, 1996, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai
dengan Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung.
Zaeni Asyhdie, 2005, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

17
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Kamus
Daryanto, 1997, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya.
Kamus Hukum Ekonomi, 1997, ELIPS.
JURNAL
Adi Nugroho Setiarso, 2013, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi
Dlam Kepailitan (Studi Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kapilitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran),
Jurnal tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Ari Purwandi, 2011, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang
Bermasalah, Jurnal tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Widjaya
Kusuma Surabaya, Surabaya.

INTERNET
Batavia Air Pailit, (online), http://ekonomi.kompasiana.com, (14 November
2013).
Batavia Langsung Ganti Tiket, (online), http://bangka.tribunnews.com, (16
November 2013).

18

Anda mungkin juga menyukai