Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Proses Kepailitan Dan Syarat Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang (PKPU)

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Hukum Kepailitan

Dosen Pengampu: Dr. Tito Sofyan, S.H,M. S

DISUSUN OLEH:

Ismah Rina Sari

(B2B020003)

Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn)

Fakultas Hukum

Universitas Bengkulu

2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Proses Kepailitan Dan Syarat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU)” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Dr. Tito Sofyan, S.H,M. S pada bidang studi Hukum Kepailitan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Hukum Kepailitan
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Tito Sofyan, S.H,M.S, selaku
Dosen Hukum Kepailitan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

PENULIS

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL....................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

1. Latar Belakang....................................................................................1
2. Rumusan Masalah...............................................................................3
3. Tujuan Pembahasan............................................................................3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................4
1. Proses Kepailitan................................................................................4
2. Syarat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ..............8
3. Contoh Kasus dan Penyelesaiannya.................................................10

BAB III PENUTUP......................................................................................12

1. Kesimpulan ......................................................................................12
2. Saran.................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pailit adalah suatu keadaan dimana debitor tidak mampu lagi melakukan
pembayaran utang kepada para kreditornya. 1 Ketidakmampuan debitor tersebut
terjadi karena utang-utangnya lebih besar daripada aset-asetnya. Berbeda
dengan pailit, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas, dengan tujuan utamanya menggunakan hasil
penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar semua utang-utang debitor
pailit secara proporsional.

Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata untuk menjamin hak-


hak kreditor atas imbalan prestasi yang diberikan kepada debitor. Lembaga
kepailitan merupakan realisasi dari dua asas pokok hukum perdata yang
terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.2

Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah


dinyatakan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat
dinyatakan atas:

a. permohonan dibitur sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan);


b. permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan
Tahun);
c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan);
d. Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2
ayat (2) UU Kepailitan);

1
M. Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,
Prenadha Media Grup Jakarta, hal.1.
2
Soemarti Hartono, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
Seksi Hukum Dagang Fak. Hukum UGM, Yogyakarta, hal. 56

1
e. bila debiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia (pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan);
f. Bila debiturnya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriling dan
Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit
hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM)
(Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan);
g. dalam hal debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan
oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan
tujuan pernyataan pailit adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan
umum atas kekayaan debitur (segala harta benda disita atau dibekukan)
untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya (kreditur).

Krisis moneter Tahun 1999 yang melanda beberapa Negara Asia, termasuk
Indonesia, berdampak pada para pengusaha Indonesia tidak mampu lagi
membayar utang-utang mereka, bahkan ada yang berhenti membayar utang
mereka yang telah jatuh waktu.3

Kebijakan pemerintah untuk mengatasi keadaan tersebut, dilakukan dengan


memberlakukan pranata hukum kepailitan. Pranata hukum kepailitan yang
sudah ada, yaitu Faillisementsverordening Stb. Tahun 1905 No. 217 jo Stb.
Tahun 1906 No.348 (selanjutnya disebut FV), sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah
Indonesia menjalin bekerja sama dengan International Monetery Fand (IMF)
untuk melakukan perubahan terhadap FV. Perubahan terhadap peraturan
kepailitan tersebut dilakukan dengan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu), No. 1 Tahun 1998,Tentang Perubahan terhadap
Undang-Undang Kepailitan. Selanjutnya Perpu No.1 Tahun 1998 tersebut
ditetapkan sebagai undang-undang dengan UU No.4 Tahun 1998. Perubahan
tersebut ternyata juga belum dapat memenuhi perkembangan dan kebutuhan
masyarakat. Selanjutnya dibuatlah Undang-Undang Kepailitan yang baru, yaitu

3
Mutiara Hikmah, 2007, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Perkara-
Perkara Kepailitan, PT.Refika Aditama, Bandung, hal.1

2
Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU ).

Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat
menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang
telah dinyatakan pailit. Selain itu, syarat penundaan kewajiban pembayaran
utang juga perlu diketahui sebagai salah satu bagian dari kepailitan. Maka dari
itu penulis tertarik untuk menulis mengenai hal tersebut dengan judul “Proses
Kepailitan Dan Syarat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses terjadinya kepailitan?

2. Apa saja syarat-syarat untuk pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang (PKPU)?

3. Contoh kasus dan penyelesaiannya?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses terjadinya kepailitan.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan apa saja syarat-syarat untuk


pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

3. Untuk memaparkan dan menganalisis sebuah kasus pailit.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Proses Kepailitan

Pailit atau Kepailitan (dari bahasa Perancis: "failite" dalam bahasa Indonesia
berarti kemacetan dalam pembayaran) merupakan suatu proses di mana
seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar
utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan
niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya, Harta
debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.4

Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004


tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Kepailitan harus memenuhi dan berlandaskan pada asas:5

a. keseimbangan, tidak ada penyalahgunaan lembaga atau pranata dalam


kepailitan yang digunakan oleh debitor yang tidak jujur dan terdapat
ketentuan yang dapat mencegah kreditor melakukan itikad tidak baik.
b. asas kelangsungan usaha, debitor yang pada proses kepailitannya atau
telah diputus kepailitannya tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya.
c. asas keadilan, pada asas ini kepailitan dapat memberikan rasa keadilan
bagi para pihak yang memiliki kepentingan sehingga tidak terjadi
kesewenang-wenangan baik yang dilakakan oleh salah satu pihak.
d. Asas integrasi, dalam hal ini kepailitan harus berdasarkan hukum formil
dan materiil yang berlaku di Indonesia.

4
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 2.
5
M. Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,
Prenadha Media Grup Jakarta, hal.1.

4
Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU No. 37 Tahun 2004) menentukan: debitor
yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.6

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas agar debitor dapat dinyatakan pailit


oleh pengadilan harus memenuhi syarat-syarat untuk dinyatakan pailit, yaitu:7

a. debitor mempunyai dua atau lebih kreditor;


b. debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih.

Pihak yang Dapat Mengajukan Pailit:8

a. Atas permohonan debitur sendiri


b. Atas permintaan seorang atau lebih kreditur
c. Kejaksaan atas kepentingan umum
d. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
e. Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan
efek.

Syarat Yuridis Pengajuan Pailit:9

a. Adanya hutang
b. Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
c. Adanya debitur
d. Adanya kreditur (lebih dari satu kreditur)
e. Permohonan pernyataan pailit
f. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga

6
Munir Fuady, 1999, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 11
7
Ibid, hal. 12
8
Ibid
9
Ibid

5
Langkah-Langkah dalam Proses Kepailitan:10

Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang


berwenang yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan
debitur itu berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur
sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004 yang telah
dibahas sebelumnya oleh penulis. Permohonan pengajuan pailit diajukan
kepada pengadilan melalui panitera. Pengajuan selain dapat dilakukan oleh
kreditur atau lembaga yang diberikan kewenangan yaitu debitur itu sendiri.
Debitur yang melakukan permohonan kepailitan pada Perseroan Terbatas harus
memenuhi syarat sebagai berikut: 11

a. Surat permohonan bermaterai ditujukan kepada ketua pengadilan niaga


b. Akta pendafataran perusahaan yang dilagalisir oleh kantor perdagangan
c. Putusan sah Rapat umum Pemegang Saham (RUPS)
d. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
e. Neraca keuangan terakhir
f. Nama serta alamat debitur dan kreditur

Syarat yang harus dilakukan oleh kreditur yang melakukan permohonan


kepailitan adalah:12

a. Surat permohonan yang bermaterai yang ditanda tangani oleh Ketua


Pengadilan Niaga
b. Akta pendaftaran perusahaan yang dilegalisir oleh ketua perdagangan
c. Surat perjanjian utang yang ditanda tangani kedua belah pihak
d. Perincian utang yang tidak terbayar
e. Nama dan alamat masing-masing kreditur/debitur

Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan


niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal

10
Ibid
11
Ibid. Hal. 15
12
Ibid

6
permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung
sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan
mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan
atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak
permohonan di mana dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau pencocokan
utang antara debitur dengan kreditur. Dalam rapat verifikasi atau pencocokan
utang seorang debitor wajib datang sendiri agar dapat memberikan keterangan
yang diminta oleh hakim pengawasmengenai sebab kepailitan dan keadaan
harta pailit. Pada rapat pencocokan utang setelah semua pihak hadir baik
debitor, kurator, maupun kreditor, hakim pengawasakan membacakan daftar
piutang yang diakui sementara dan daftar yang dibantah oleh kurator.13

Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh


hakim apabila fakta atau keadaan secara sederhana terbukti
memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang
yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar sedangkan perbedaan besarnya utang
didalihkan oleh permohonan pailit dan termohon pailit tidak menghalangi
jatuhnya putusan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari
setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan
pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib
diajukan kepada jurusita.

Pada proses pengurusan harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan
kepengurusan yaitu:

a. Hakim pengawas yang melakukan pengawasan pada pengurusan dan


pemberesan harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37 Tahun 2004
b. Kurator, memiliki tugas melakukan pemberesan harta pailit

Dalam hal kepailitan terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan,
kasasi ke Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan

13
Rahayu Hartini, 2007, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang. Hal, 44

7
pailit yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Proses pengurusan kepailitan
dianggap telah berakhir apabila telah terjadi hal-hal seperti berikut:

a. Akur atau perdamaian, terjadi ketika terdapat perjanjian antara debitur pailit
dengan para kreditur di mana debitur menawarkan pembayaran sebagian
dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran
tersebut dibebaskan dari sisa utangnya.
b. Insolvensi atas pemberesan harta pailit, ketika terjadi insolvensi apabila
kepailitan tidak ditawarkan akur atau perdamaian atau tidak dipenuhinya
suatu kesepakatan sehingga terjadi keadaan tidak mampu membayar,
sebagaimana diatur pada pasal 178 UU no 37 tahun 2004.
c. Rehabilitasi, permohonan rehabilitasi dapat diajukan oleh debitur pailit atau
ahli warisnya dengan dibuktikan bahwa kreditur telah menerima seluruh
pembayaran piutangnya.

Akibat hukum secara umum yang terjadi yang disebabkan oleh putusan
pailit adalah terhadap harta debitur akan dilakukan sitaan umum, perikatan
debitur yang dibuat setelah putusan pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta
pailit, dan  perbuatan hukum yang dilakukan debitor sebelum putusan pailit
diucapkan dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan pada pasal 41 UU No
37 Tahun 2004

B. Syarat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Perihal PKPU ini juga diatur langsung di dalam undang-undang, yakni UU


No.37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan PKPU pada pasal 222 ayat (2).
Kesimpulan dari ayat tersebut adalah bahwa pihak debitur dapat mengajukan
PKPU agar tercapai perdamaian dengan pihak kreditur, dengan cara membayar
sebagian atau seluruh utangnya. 14

Dengan terdapatnya aturan mengenai PKPU ini dalam undang-undang,


sudah pasti cara ini legal dilakukan untuk menyelesaikan persoalan utang
piutang. Lagi pula, tenggat waktu untuk menyelesaikan persoalan utang
14
Ibid

8
piutang antara debitur dan kreditur ini memang diberikan langsung oleh
Pengadilan Niaga. 15

Walaupun Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini bisa diajukan untuk


memperoleh tenggat penyelesaian utang piutang, bukan berarti PKPU ini bisa
diajukan sembarangan saja. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh baik
kreditur atau debitur, agar nantinya bisa mengajukan PKPU ini. Berikut rincian
dari persyaratan untuk pengajuan PKPU tersebut:16

1. Tenggat Pembayaran Utang Telah Jatuh Tempo

PKPU bisa diajukan jika sekiranya pembayaran utang telah jatuh tempo
atau bahkan melebihi dari tenggat waktu pembayaran yang ditentukan
sebelumnya. Ketidakmampuan dari debitur untuk membayar Utangnya, bisa
dijadikan landasan baik bagi kreditur atau debitur, untuk meminta
kerenggangan waktu terkait persoalan utang piutang tersebut.

2. Debitur Memiliki Lebih dari Satu Kreditur

Jika sekiranya debitur memiliki lebih dari satu kreditur alias meminjam
uang dari banyak pihak, maka pengajuan PKPU pun bisa dilakukan. Pihak
yang mengajukan PKPU pun tak terbatas hanya dari pihak debitur saja,
melainkan juga dari pihak kreditur. Diharapkan dengan pengajuan PKPU,
maka setiap utang piutang antara satu debitur dengan banyak kreditur ini
bisa selesai dengan baik. 

3. Kreditur Tergolong Sebagai Kreditur Konkuren 

PKPU juga bisa diajukan jika sekiranya kreditur yang memberikan


piutang pada debitur merupakan kreditur konkuren. Kreditur konkuren ini
sendiri merujuk pada kreditur yang memberikan pinjaman atau piutang
tanpa menggunakan jaminan. Jadi, piutang yang kreditur berikan pada

15
Zaeni Asyhdie, 2005, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal, 20.
16
Ibid

9
debitur ini hanya dilandaskan atas rasa kepercayaan saja dan harapan atas
itikad baik debitur. 

Tanpa adanya jaminan atas piutang yang diberikan, tentu saja kreditur
berisiko mengalami kerugian, jika sekiranya terjadi wanprestasi di mana
debitur urung membayar utangnya. Nah, dengan mengajukan PKPU, maka
akan ada kepastian dan jaminan atas pembayaran utang, baik sebagian atau
keseluruhan, dari debitur. 

Jika sekiranya syarat untuk bisa mengajukan PKPU ini dipenuhi, maka baik
debitur atau kreditur bisa melayangkan permohonan PKPU. Jika yang
mengajukan permohonan adalah debitur, maka permohonan wajib disertai
dengan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, utang debitur, beserta
dengan surat bukti secukupnya. 

Kalau misalnya yang mengajukan PKPU ini adalah kreditur, maka


pengadilan wajib memanggil debitur dengan surat kilat melalui juru sita.
Pengiriman surat ini dilakukan paling lambat 7 hari sebelum sidang. Baru pada
saat sidang tersebut dilaksanakan, debitur mengajukan daftar yang memuat
sifat, jumlah piutang, utang debitur, beserta surat bukti dan rencana perdamaian
jika ada.   

C. Contoh Kasus dan Penyelesaiannya

 PT. Gagan Indonesia

Perusahaan ini didirikan pada 1977. PT. Gagan Indonesia adalah salah
satu distributor resmi produk Van di Indonesia. Perusahaan ini adalah salah
satu produk sepatu fashion yang bermerek di Indonesia.  Selain itu, PT.
Gagan Indonesia adalah perusahaan retail dan distributor untuk Beberapa
brand fashion internasional seperti Adidas, Bebe, cache cache, Quiksilver,
Evita Peroni, Promod dan salah satu brand ternama yaitu Vans. Pada tahun
2017 PT. Gagan Indonesia distributor resmi Vans  dinyatakan pailit oleh
hakim pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

10
 Analisa Kasus

Pihak PT Gagan Indonesia memiliki hutang yang cukup besar terhadap


kreditur-kreditur. PT. Gagan dianggap tidak realistis atau cukup
ketidakmampuan untuk membayar hutang-hutangnya. Maka hakim
pengadilan perniagaan Jakarta Pusat dalam pasal 281 ayat 1 undang-undang
Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU ( penundaan kewajiban
Pembayaran utang). Dan sebelum dinyatakan pailit pihak PT. Gagan
Indonesia sudah mencoba melakukan upaya proposal perdamaian kepada
pihak kreditur. Akan tetapi, hanya beberapa persyaratan saja yang diterima
dan setengahnya pihak kreditur tidak menerimanya (menolak).  Penolakan
ini dikarenakan pihak PT. Gagan Indonesia dianggap tidak cukup serius
dalam pelunasan dan permohonannya sangat tidak realistis dan juga
dikarenakan menurut kreditur bahwa PT. Gagan Indonesia tersebut memiliki
aset sebesar 80an miliar dan utang perusahaan itu melebihi 100 miliar.

 Penyelesaian/ Putusan

Hakim pengadilan Niaga Jakarta Pusat memberi putusan kepada PT.


Gagan Indonesia dianggap pailit karena dalam jalan upaya pemungutan
suara pengajuan proposal perdamaian sebelumnya dengan jalur penundaan
kewajiban Pembayaran utang atau PKPU. Bahwa putusan tersebut beberapa
kreditor menolak dan tidak menerima permohonan tersebut karena Debitur
tidak memenuhi pasal 281 ayat 1 undang-undang Nomor 37 tahun 2004
tentang kepailitan dan PKPU selain itu juga Hakim menyatakan bahwa PT.
Gagan Indonesia memiliki hutang lagi ke beberapa kreditur-kreditur di luar
negeri sebesar mata uang Dolar Singapura.

BAB III

11
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang


berwenang yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat
kedudukan debitur itu berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh
kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004.
Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera.
Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan
niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal
permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari
terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan
pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang
pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20
hari sejak permohonan. Tahap putusan atas permohonan kepailitan
dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau keadaan secara
sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Putusan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan
pailit didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana,
dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.
2. Perihal PKPU ini juga diatur langsung di dalam undang-undang, yakni UU
No.37 Tahun 2004, tentang Kepailitan dan PKPU pada pasal 222 ayat (2).
Kesimpulan dari ayat tersebut adalah bahwa pihak debitur dapat
mengajukan PKPU agar tercapai perdamaian dengan pihak kreditur, dengan
cara membayar sebagian atau seluruh utangnya. 
3. Hakim pengadilan Niaga Jakarta Pusat memberi putusan kepada PT. Gagan
Indonesia dianggap pailit karena dalam jalan upaya pemungutan suara
pengajuan proposal perdamaian sebelumnya dengan jalur penundaan
kewajiban Pembayaran utang atau PKPU, bahwa putusan tersebut beberapa
kreditor menolak dan tidak menerima permohonan tersebut karena Debitur
tidak memenuhi pasal 281 ayat 1 undang-undang Nomor 37 tahun 2004

12
tentang kepailitan dan PKPU selain itu juga Hakim menyatakan bahwa PT.
Gagan Indonesia memiliki hutang lagi ke beberapa kreditur-kreditur di luar
negeri sebesar mata uang Dolar Singapura.

B. Saran

Sebaiknya setiap perusahaan yang akan mengajukan penundaan kewajiban


pembayaran utang (PKPU) memperhatikan syarat-syarat yang terdapat dalam
aturan yuridisnya, sehingga jika demikian maka upaya proposal perdamaian
akan berjalan dengan baik antara para pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

13
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
M. Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di
Peradilan, Prenadha Media Grup Jakarta.
Munir Fuady, 1999, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Mutiara Hikmah, 2007, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam
Perkara-Perkara Kepailitan, PT.Refika Aditama, Bandung.
Rahayu Hartini, 2007, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang.
Soemarti Hartono, 1993, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran, Seksi Hukum Dagang Fak. Hukum UGM, Yogyakarta.
Zaeni Asyhdie, 2005, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Internet:
https://nasional.kontan.co.id/news/gagan-indonesia-terima-status-pailit
Wikipedia.com

14

Anda mungkin juga menyukai