Oleh :
• Dita Ayu Bakta Mawarni (201832005)
• Yulia Mugi Utami (201832011)
• Nadila Adhani (201832027)
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991
selama 2 jam dari pukul 19.00-21.00 WIB. TPI
diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari
1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara
bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi
tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah
mengudara selama 8 jam sehari.
1. Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti
Rukmana alias Mbak Tutut mengeluarkan utang obligasi jangka panjang
sebesar US$53 juta.
2. Dibuat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari Brunei
Investment Agency (BIA). Marx menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan
fakta bahwa uang dari Peregrine Fixed Income Ltd masuk ke rekening TPI
pada 26 Desember 1996. Namun, selang sehari tepatnya 27 Desember 1996,
uang tersebut langsung ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed Income
Ltd. Setelah utang-utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI, dokumen-
dokumen asli utang obligasi masih disimpan pemilik lama yang kemudian
diduga diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (Direktur Utama PT Cipta
Marga Nusaphala Persada)
3. Terjadi transaksi utang obligasi antara Filago Ltd dengan CCGL dengan
menggunakan surat perjanjian utang sehingga tidak ada proses pembayaran.
Semua transaksi pengalihan utang obligasi berada di luar kendali TPI setelah
utang obligasi berpindah tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari
obligasi, jelas-jelas illegal.
Hal ini juga sulit diterima oleh Komisi Penyiaran Indonesia karena penanganan
kasus yang melibatkan media massa tidak bisa semua kalangan mampu dan
sanggup menggunakannya, sehingga penanganannya pun harus dikecualikan.
Dalam putusan pailit ini, kerugian tidak hanya dialami perusahaan tersebut
tetapi masyarakat luas juga turut dirugikan.
Pihak kuasa hukum TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai
dengan bukti – bukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di
buku ATM Bank BNI 46 yang menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI.
Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993 telah ditandatangani
Perjanjian piutang antara TPI dengan BIA sebesar US$ 50 juta. Atas instruksi
pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening
pribadi pemilik lama.
Dalam laporan keuangan TPI, juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam
bentuk obligasi jangka panjang senilai US$ 53 juta. Berdasarkan hasil audit
laporan keuangan TPI yang dilakukan di kantor akuntan publik dipastikan
bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya kreditur
maupun tagihan dari CCGL.
Hasil Putusan Kasus Kepailitan TPI
Kejanggalan ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus
yang tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak
bersalah, TPI melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali
kasus tersebut kepada Mahkamah Agung. Setelah proses verifikasi oleh
Mahkamah Agung, kesalahan – kesalahan yang belum teridentifikasi
oleh Pengadilan Niaga mulai nampak, seperti bukti pembayaran tagihan
utang oleh TPI. Dalam laporan keuangan tersebut dikatakan, bahwa
surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$ 53 juta yang jatuh tempo
pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar.
Lagipula, ada masalah lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat –
surat utang itu. Keadaan yang rumit itu seharusnya tidak dilanjutkan dalam
urusan hukum. Dikatakan bahwa, persyaratan pengajuan kepailitan adalah
apabila transaksi yang berjalan berlangsung dengan sederhana, bukan
kompleks seperti masalah dugaan pailitnya TPI. Apalagi dikatakan juga dari
hasil pengkajian ulang, bahwa hanya ada 1 kreditor yang merasa punya
masalah utang piutang dengan TPI, sementara dalam persyaratan dikatakan
bahwa harus ada lebih dari 1 kreditor yang merasa dirugikan yang boleh
mengajukan kasus ini ke pengadilan.
Melihat dua kekeliruan di atas, dalam sidang putusan kasasi kasus pailit TPI ini
yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim
anggota Zaharuddin Utama dan M. Hatta Ali, maka pada tanggal 15 Desember
2009 diputuskan bahwa TPI tidak pailit.
Akibat berita baik ini, keluarga besar TPI yang sahamnya 75% dimiliki oleh
PT. Media Nusantara Citra yang dimiliki oleh Henry Tanoe melakukan syukuran
dan memantapkan hati dan langkah untuk mengibarkan sayapnya di udara.
Alasan Perubahan Nama Menjadi MNCTV
Sejak Juli 2006, 75% saham TPI dimiliki oleh PT. MNC, kelompok perusahaan
media yang juga memiliki RCTI dan Global TV. Lalu pada tanggal 20 Oktober
2010 tepat pukul 20.10 WIB menjadi momen bersejarah pergantian nama
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Logo dan merek baru MNCTV resmi
menggantikan TPI.
Perubahan nama tersebut hanyalah rebranding untuk kepentingan bisnis. Nama
PT-nya tetap CTPI, tetapi brand usahanya berganti menjadi MNCTV. Karena
dengan rating nomor 4 yang dimiliki TPI tetapi penjualan iklan tidak bagus
diharapkan dengan bergantinya nama tersebut penjualan iklan semakin
meningkat.
Alasan pemilihan nama menggunakan MNCTV, dikarenakan MNC sendiri sudah
kuat di market dan dapat menghemat waktu dan biaya dengan mengadakan
riset. Selain itu, perlu diketahui bahwa program dangdut yang sudah menjadi
program utama, tetap akan dipertahankan oleh MNCTV, tetapi selain
mempertahankan itu, MNCTV juga akan menambahkan program-program yang
lainnya juga.
Kesimpulan
PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia tidak jadi dipailitkan karena laporan
dugaan oleh CCGL tidak terbukti benar, bukti-bukti belum jelas, dan karena
pembukuan laporan tahunan yang tersedia sangat jauh dari kata sederhana.
Perubahan nama TPI menjadi MNC hanyalah rebranding untuk
kepentingan bisnis. Nama PT-nya tetap CTPI, tetapi brand
usahanya berganti menjadi MNCTV.