HUKUM KEPAILITAN
Di susun oleh:
Muhammad iqbal rahmatullah
1312000202
Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
BAB I
PENDAHULUAN
Kepailitan merupakan suatu keadaan yang dialami oleh banyak perusahaan. Masalah kepailitan
tentunya tidak lepas dari masalah yang berkaitan dengan utang – piutang. Sebuah perusahaan dikatakan
pailit apabila perusahaan tidak mampu membayar utangnya terhadap perusahaan (kreditor) yang telah
memberikan pinjaman kepada perusahaan yang pailit. Kasus pailitnya PT. Cipta Televisi Indonesia atau
yang lebih familiar disebut dengan TPI dengan slogan MIlik Kita Bersama ini adalah salah satu contoh
dari begitu banyaknya perusahaan yang dinyatakan pailit oleh kreditornya.
Berawal dari tuntutan Crown Capital Global Limited (CCGL), sebuah perseroan yang
berkedudukan di British Virgin Island terhadap TPI dalam dokumen resmi yang diperoleh di pengadilan,
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Crown Capital melalui kuasa hukumnya, Ibrahim Senen,
dengan perkara No. 31/PAILIT/2009/PN.NIAGA JKT PST, tertanggal 19 Juni 2009. Pemohon, dalam
permohonan pailitnya, mengklaim termohon mempunyai kewajiban yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih US$ 53 juta (nilai pokok saja), di luar bunga, denda, dan biaya lainnya. Pemohon juga
menyertakan kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance Limited dengan tagihan US$ 10.325 juta
diluar bunga, denda, dan biaya lainnya.
Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan
permohonan tuntutan dari CCGL untuk mempailitkan TPI pada 14 Oktober 2009. Namun, rupanya
Pengadilan Niaga melakukan kesalahan ketika memutusakan untuk mempailitkan TPI. Pengadilan Niaga
tidak melakukan proses verifikasi utang – piutang secara lebih jeli, sehingga akibatnya banyak pihak
yang seakan – akan menyalahkan keputusan Pengadilan Niaga yang tidak memberi kesempatan TPI
untuk membela diri.
Kejanggalan ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar Kasus) yang
tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI melakukan kasasi untuk
permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada Mahkamah Agung. Sidang putusan kasasi kasus
pailit TPI ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota Zaharuddin
Utama dan M. Hatta Ali. Sungguh kabar yang membawa angin segar bagi TPI dan seluruh pihak yang
telah mendukung TPI dalam usaha penolakan kasus pailit karena pada hari Selasa, 15 Desember 2009
Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan kasasi TPI yang diajukan oleh karyawan PT. Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Alhasil, putusan pailit atas TPI pun batal.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Dibuat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx menjelaskan,
rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine Fixed Income Ltd masuk ke
rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang sehari tepatnya 27 Desember 1996, uang
tersebut langsung ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utang-
utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI, dokumen- dokumen asli Sub Bond masih disimpan
pemilik lama yang kemudian diduga diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini
menjabat sebagai Direktur Utama PT Cipta Marga Nusaphala Persada)
3. Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan promissory
note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada proses pembayaran. Semua transaksi pengalihan
Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond berpindah tangan, sehingga apabila CCGL
menagih hutang dari Sub Bond, jelas-jelas illegal.
Hal ini juga sulit diterima oleh Komisi Penyiaran Indonesia karena penanganan kasus yang
melibatkan media massa tidak bisa semua kalangan mampu dan sanggup menggunakannya, sehingga
penanganannya pun harus dikecualikan. Dalam putusan pailit ini, kerugian tidak hanya dialami
perusahaan tersebut tetapi masyarakat luas juga turut dirugikan.
Pihak kuasa hukum PT. TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan bukti –
bukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang menjadi
ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993 telah ditandatangani
Perjanjian piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA) sebesar USD $50 juta. Atas
instruksi pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik
lama.
Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub Bond senilai
USD 53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan di kantor akuntan publik
dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya kreditur maupun tagihan
dari CCGL.
2. Posisi Kasus
Sejak Juli 2006, 75% saham TPI dimiliki oleh Media Nusantara Citra, kelompok perusahaan
media yang juga memiliki RCTI dan Global TV. Lalu pada tanggal 20 Oktober 2010 atau 20.10.2010
tepat pukul 20.10 WIB menjadi momen bersejarah pergantian nama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Logo dan merek baru MNCTV resmi menggantikan TPI. Perubahan nama tersebut hanyalah rebranding
untuk kepentingan bisnis. Nama PT-nya tetap CTPI, tetapi brand usahanya berganti menjadi MNC TV.
Karena dengan rating nomor 4 yang dimiliki TPI tetapi penjualan iklan tidak bagus diharapkan dengan
bergantinya nama tersebut penjualan iklan semakin meningkat.
Alasan pemilihan nama menggunakan MNC TV, dikarenakan MNC sendiri sudah kuat di market
dan dapat menghemat waktu dan biaya dengan mengadakan riset. Selain itu, perlu diketahui bahwa
program dangdut yang sudah menjadi program utama, tetap akan dipertahankan oleh MNCTV, tetapi
selain mempertahankan itu, MNCTV juga akan menambahkan program-program yang lainnya juga.
2.1. Profil MNCTV
MNCTV merupakan salah satu pelopor stasiun televisi swasta di Indonesia yang mulai
mengudara sejak tanggal 20 Oktober 2010 dengan tag-line atau slogan ‘Selalu di Hati’. Logo dan merek
perseroan MNCTV ini diharapkan dapat memperluas pangsa pasar dan pemirsa dari stasiun ini.
Bersamaan dengan kehadiran MNCTV, publik dapat menyaksikan peningkatan kualitas dan keragaman
tayangan, sebagai hasil dari komitmen untuk memperbaiki kerja dan budaya perseroan.
MNCTV pada awalnya menggunakan nama TPI, di mana TPI sendiri didirikan pada tahun 1990
di Jakarta, sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa penyiaran televisi di Indonesia. TPI
merupakan perusahaan swasta ketiga yang mendapatkan izin penyiaran televisi pada tanggal 1 Agustus
1990, dan sebagai stasiun televisi pertama yang mendapat izin penyiaran secara nasional. TPI mulai
beroperasi secara komersial sejak tanggal 23 Januari 1991. Dan pada bulan Juli 2006, Media Nusantara
Citra (MNC) mengakuisisi 75% saham TPI. Sejak saat itu secara resmi TPI bergabung menjadi salah satu
televisi yang dikelola MNC yang juga merupakan induk dari RCTI dan Global TV.
MNCTV sejak awal juga telah membuktikan diri sebagai stasiun televisi yang paling jeli dalam
menangkap selera dan kebutuhan masyarakat Indonesia, stasiun televisi yang benar-benar menampilkan
citra Indonesia, mengedepankan tayangan-tayangan sopan dan bisa dinikmati seluruh keluarga. Program-
program yang sangat Indonesia inilah yang mampu mengantarkan MNCTV sebagai stasiun televisi papan
atas Indonesia. MNCTV sendiri senantiasa mengasah diri sebagai partner yang memberikan layanan
terbaik bagi seluruh mitra usaha. Dengan dukungan SDM profesional, MNCTV siap menjadi televisi
terdepan yang dapat diandalkan.
3. Proses Hukum
Kejanggalan ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar Kasus) yang
tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI melakukan kasasi untuk
permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada Mahkamah Agung. Setelah proses verifikasi oleh
Mahkamah Agung, kesalahan – kesalahan yang belum teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai
nampak, seperti bukti pembayaran tagihan utang oleh TPI. Dalam laporan keuangan tersebut dikatakan,
bahwa surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$ 53 juta yang jatuh tempo pada tanggal 24 Desember
2006 telah berhasil dibayar.
Lagipula, ada masalah lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat – surat utang itu.
Keadaan yang rumit itu seharusnya tidak dilanjutkan dalam urusan hukum. Dikatakan bahwa, persyaratan
pengajuan kepailitan adalah apabila transaksi yang berjalan berlangsung dengan sederhana, bukan
kompleks seperti masalah dugaan pailitnya TPI. Apalagi dikatakan juga dari hasil pengkajian ulang,
bahwa hanya ada 1 kreditor yang merasa punya masalah utang piutang dengan TPI, sementara dalam
persyaratan diakatakan bahwa harus ada lebih dari 1 kreditor yang merasa dirugikan yang boleh
mengajukan kasus ini ke pengadilan. Melihat dua kekeliruan di atas, dalam sidang putusan kasasi kasus
pailit TPI ini yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota
Zaharuddin Utama dan M. Hatta Ali, maka pada tanggal 15 Desember 2009 diputuskan bahwa TPI tidak
pailit.
Akibat berita baik ini, keluarga besar PT. TPI yang sahamnya 75% dimiliki oleh PT. Media
Nusantara Citra yang dimiliki oleh Henry Tanoe melakukan syukuran dan memantapkan hati dan langkah
untuk mengibarkan sayapnya di udara.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia tidak jadi dipailitkan karena laporan dugaan oleh CCGL
tidak terbukti benar, bukti-bukti belum jelas, dan karena pembukuan laporan tahunan yang tersedia sangat
jauh dari kata sederhana.
Perubahan nama TPI menjadi MNC hanyalah rebranding untuk kepentingan bisnis. Nama PT-nya
tetap CTPI, tetapi brand usahanya berganti menjadi MNC TV. MNCTV memandang bahwa teknologi
informasi memiliki peran dalam meningkatkan kemampuan bersaing bagi pangsa pasar perusahaan atau
lini bisnis.
MNCTV berada di posisi “sapi perah” karena MNCTV pertumbuhan bisnisnya rendah terutama
dalam bidang periklanan tetapi posisi kompetitifnya kuat. Ketika namanya masih TPI, pendapatan iklan
menempati urutan terbawah dari 10 stasiun televisi nasional untuk itu TPI mengganti namanya menjadi
MNCTV agar pendapatan iklan bisa meningkat.
Saran
Hendaknya Pengadilan Niaga sungguh-sungguh memperhitungkan putusan hakimnya disesuaikan dengan
bukti-bukti yang telah diidentifikasi, verifikasi, dan bagaimana kreditor atau debitornya. Jangan
sembarangan mengambil keputusan, karena akan berdampak pada pelanggaran kode etik.