Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam dunia bisnis serta era global seperti sekarang ini kegiatan-
kegiatan usaha tidak mungkin terlepas dari berbagai masalah. Suatu
perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan seringkali keadaan
keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak
mampu membayar utang-utangnya. Dapat dikatakan keadaan suatu
perusahaan dapat saja untung atau dalam keadaan rugi. Jika perusahaan dalam
keadaan untung, perusahaan akan berkembang dan terus berkembang, begitu
juga sebaliknya apabila perusahaan menderita kerugian maka garis hidupnya
menurun, begitu seterusnya, sehingga garis hidup perusahaan itu merupakan
garis yang menaik dan menurun seperti grafik.1 Salah satu sarana hukum
yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang-piutang dan erat kaitannya
dengan kebangkrutan dunia usaha adalah peraturan tentang kepailitan,
termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang.2
Pengertian tentang kepailitan sendiri lebih jelas terdapat dalam
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut “UUKPKPU”) Pasal 1
Angka 1 yaitu “suatu sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan
Hakim pengawas”.
Perkara pailit dapat ditempuh melalui proses pengadilan niaga yang
kemudian setelah berkekuatan hukum tetap, melalui perantara hakim, kreditur
dapat melakukan sita harta debitur untuk dijadikan uang pembayarannya.
Namun permasalahan yang sering muncul berkaitan dengan hak-hak pekerja
bila perusahaan dinyatakan pailit yaitu kesulitan perusahaan dalam membayar

1
Victor M.Situmorang dan Hendri Soekars, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia,
Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 1.
2
Ahmad Yani dan Gunawan, 2000, Seri Hukum Bisnis Kepailitan , Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, hlm. 2.

1
hak-hak normatif pekerja, meskipun UUKPKPU telah secara mengatur bahwa
upah yang terutang sebelum maupun sesudah pernyataan pailit diucapkan
merupakan utang harta pailit (Pasal 39 UUKPKPU).3
Pada saat perusahaan tidak membayar gaji karyawannya, maka
perusahaan tersebut menjadi debitur dari karyawan dan dapat digugat pailit
apabila memenuhi syarat-syarat kepailitan. seluruh harta perusahaan
kemudian akan menjadi harta pailit untuk kemudian diserahkan kepada
pengurusan kurator untuk memenuhi semua kewajiban perusahaan terhadap
para kreditor. Pada dasarnya, hak karyawan atas pembayaran upah saat
perusahaan dipailitkan telah dilindungi oleh UUK Pasal 95 ayat (4).
Pada bulan Agustus tahun 2017 yang lalu PT. Perindustrian Njonja
Meneer dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang dengan nomor
putusan 11/pdt.Sus-pailit/2017/PN Niaga Smg. Permohonan pernyataan pailit
diajukan pada tanggal 20 Juni 2017 oleh Hendrianto Bambang Santoso.
Putusan pailit terhadap PT. Perindustrian Njonja Meneer berdampak buruk
terhadap para Karyawan yang cukup banyak, akan berdampak secara
langsung kepada nasib buruh yang bekerja di PT. Perindustrian Njonja
Meneer, dimana banyak Karyawan PT. Njonja Meneer ini yang belum
menerima gaji atau Hak upah sejak November 2015. Njonja Meneer harus
membayar utang kepada Karyawan yang mencapai Rp 98 Miliar.Semua
tunggakan upah pegawai baik yang aktif maupun yang sudah dirumahkan
mencapai 98 miliar.
Karyawan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam
suatu perusahaan, dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam
menghasilkan barang atau jasa sangatlah kuat untuk perkembangan suatu
perusahaan. Seharusnya hak-hak karyawan diberikan secara memadai demi
terciptanya hubungan kerja yang seimbang antara pekerja dan pengusaha
dalam perusahaan. Terutama ketika para pekerja melaksanakan pekerjaannya
secara bersungguh-sungguh dan maksimal.

3
Sunarmi, 2010, Hukum Kepailitan Edisi 2, Jakarta: PT Sofmedia, hlm. 101.

2
Ketika karyawan sudah melaksanakan kewajibannya kepada
perusahaan maka perusahaan itu harus memenuhi hak-hak pekerjanya
sebagaimana yang telah diatur dalam UUKPKPU.4 Pemenuhan hak-hak
karyawan bukan hanya pada saat perusahaan itu masih berjalan sebagaimana
mestinya, tetapi ada hak-hak karyawan yang harus tetap dipenuhi oleh
perusahaan, walaupun perusahaan tersebut dalam keadaan pailit.5
Dalam hal ini buruh atau karyawan ingin sekali memperjuangkan
haknya atas upah dan pesangon yang sering kali sulit didapat karena
keberadaan kreditor separatis (kreditor yang memiliki hak jaminan hutang
kebendaan), sebagai pihak yang menjadi prioritas dalam pembagian harta
ketika terjadi pailit. Maka dari itu, penulis hendak mengkajinya lebih lanjut
dalam sebuah makalah dengan judul: “Akibat Hukum Kepailitan PT.
Perindustrian Njonja Meneer Terhadap Karyawan (Studi Putusan Pengadilan
Niaga Nomor 11/Pdt.Sus-Pailit/ 2017/PN Niaga Smg)”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan kepailitan di Indonesia?
2. Bagaimanakah kedudukan karyawan terhadap boedel pailit?
3. Apakah akibat hukum kepailitan PT. Perindustrian Njonja Meneer
terhadap karyawan (Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor
11/PDT.SUS-PAILIT/2017/PN NIAGA Smg)?

4
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 119.
5
Ibid.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaturan Kepailitan Di Indonesia


Peraturan mengenai kepailitan diatur dalam peraturan tersendiri, yaitu
dalam “Faillissements verordening” (Staatblad tahun 1905 Nomor 217 jo
Staatblad tahun 1906 Nomor 348), yang juga berlaku bagi golongan Cina dan
Timur Asing. Kedua peraturan yang diberlakukan di Indonesia ini merupakan
akibat dari perbedaan antara pedagang dan bukan pedagang. Dua macam
peraturan tersebut menimbulkan banyak kesulitan, diantaranya ialah
formalitasnya yang ditentukan terlalu banyak sehingga menimbulkan banyak
kesulitan dalam pelaksanaannya seperti biaya tinggi, pengaruh kreditor
terhadap jalannya kepailitan terlalu sedikit, serta pelaksanaan kepailitannya
memakan waktu lama. Adanya kesulitan-kesulitan tersebut menimbulkan
keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya
rendah sehingga pelaksanaannya akan lebih mudah.6
Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillissement Verordening
tersebut masih baik. Namun karena mungkin selama ini jarang dimanfaatkan,
mekanisme yang diatur didalamnya menjadi semakin kurang teruji, beberapa
infrastruktur yang mendukung mekanisme tersebut juga menjadi kurang
terlatih. Sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan
prekonomian berlangsung pesat, maka sudah sewajarnya untuk menyediakan
sarana hukum yang memadai, yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna
menyelesaikan utang piutang.7
Mengingat akan hal besarnya peran dan kebutuhan penyelesaian utang
piutang, maka upaya yang dinilai sangat mendesak untuk dilakukan dan
diwujudkan adalah menghadirkan perangkat hukum yang dapat diterima
semua pihak yang terkait dalam penyelesaian utang piutang. Untuk itu, maka
dilakukanlah revisi terhadap hukum kepailitan yang selama ini berlaku.

6
Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, hlm. 3.
7
Sri Rejeki Hartono, 2008, Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press, hlm. 13.

4
Revisi yang dilakukan terhadap Faillisement verordening oleh Perpu No. 1
Tahun 1998 itu hanya bersifat sebagian dari materi Faillisement verordening.
Perlunya dilakukan revisi atas Faillissement Verordening itu disebabkan
karena kelemahan yang terdapat dalam Faillissement Verordening itu
sendiri.8
Dari segi substansi misalnya, pertama tidak jelasnya time frame yang
diberikan untuk menyelesaikan kasus kepailitan. akibatnya untuk
menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama.
Kedua, jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui PKPU juga sangat
lama, yaitu memakan waktu 18 bulan. Ketiga, apabila Pengadilan menolak
PKPU, Pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitor dalam
keadaan pailit. Keempat, kedudukan kreditor masih lemah, misalnya dalam
hal pembatalan perbuatan debitor yang merugikan kreditor, jangka waktu
yang diberikan hanya selama 40 (empat puluh) hari sebelum pailit.9
Pada 22 April 1998 Pemerintah telah menetapkan peraturan
pemerintah pengganti UU No.1 Tahun 1998 tanggal 22 April 1998 tentang
perubahan atas UU Kepailitan (Lembaran Negara RI Tahun 1998 No. 87
(Undang-Undang Kepailitan). Perpu tersebut kemudian telah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi undang-undang, yaitu menjadi UU
No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1998
tentang perubahan atas UU Kepailitan menjadi undang-undang tanggal 9
September 1998 (Lembaran Negara RI Tahun 1998 Nomor 135).10
Sejak diundangkan UU No.4 Tahun 1998, sudah dikuatirkan oleh
banyak pakar hukum ekonomi akan menimbulkan kekecewaan. Di kalangan
pakar hukum dan pebisnis Indonesia sendiri, UU No.4 Tahun 1998
mengandung kontroversi dalam hal Pengertian utang, karena tidak

8
Sunarmi, Op. Cit., hlm. 10.
9
Ibid., hlm. 11.
10
Sutan Remy Sjahdeini, 2016, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, Edisi Kedua, Jakarta:
PT Fajar Interpratama Mandiri, hlm. 79.

5
mempunyai definisi yang jelas mengenai utang, sehingga menimbulkan
interpretasi yang simpang siur.11
Dalam UU No.4 tahun 1998 telah menganut prinsip paritas
creditorium dan prinsip pari passu prorata parte. Hal itu tercermin dalam
pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan 1998 yang merupakan perubahan prinsip dari
Faillissements Verordening. Dalam perjalanannya, setelah lebih dari lima
tahun UU Kepailitan tahun 1998 tersebut berlaku dirasakan banyak
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang ada dalam undang-
undang kepailitan itu, sehingga diperlukan perubahan-perubahan atas
beberapa ketentuan didalamnya. kelemahan-kelemahan itu, antara lain tidak
dijelaskan secara pasti mengenai konsep suatu utang, sehingga menimbulkan
perbedaan penafsiran mengenai definisi utang yang pada akhirnya
menimbulkan ketidakpastian hukum.12 Kekurangan lainnya adalah tidak
dimasukkannya perusahaan asuransi sebagai perusahaan yang kepailitannya
melalui lembaga otoritas yang berwenang dalam hal ini Departemen
Keuangan. Untuk mengatasi banyaknya kelemahan dan kekurangan undang-
undang kepailitan tersebut, maka lahirlah UUKPKPU No. 37 Tahun 2004,
yang diumumkan dalam Lembaran Negara Nomor 131 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4443.13
Banyak hal baru dalam prosedur kepailitan yang diperkenalkan oleh
UUKPKPU, diantaranya yang paling menonjol adalah diberikannya time
frame untuk jangka waktu yang relative singkat dan terperinci untuk setiap
langkah dalam proses permohonan kepailitan. Tata cara permohonan
keputusan pernyataan pailit sampai dengan kepailitan debitor ditempuh
dengan suatu time frame yang singkat. Namun demikian, setelah putusan,
proses kepailitan dan pemberesannya boleh dikatakan tidak mempunyai batas
jangka waktu maksimum. Pemeriksaan kepailitan didahului dengan

11
Emmy Yuhassarie dkk, 2005, Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembangaannya: Prosiding
Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan Dan Wawasan Hukum Bisnis
Lainnya Tahun 2004, Cetakan ke 2, Jakarta: Pusat pengkajian Hukum, hlm. 16.
12
M. Hadi Shuban, 2008, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma dan Praktik Di Peradilan, Jakarta:
Prenada Media Group, hlm. 8.
13
Ibid.

6
penyampaian permohonan pernyataan kepailitan kepada Pengadilan Niaga
melalui Panitera.14

B. Kedudukan Karyawan Terhadap Boedel Pailit


UUK menyebutkan perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan
kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.15
Dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang perlindungan
upah disebutkan bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut persetujuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh,
termasuk tunjangan, baik untuk buruh itu sendiri maupun keluarganya.
Upah dibayarkan berdasarkan kesepakatan para pihak, namun untuk
menjaga agar jangan sampai upah yang diterima terlalu rendah, maka
pemerintah turut serta menetapkan standart upah terendah melalui peraturan
perundang-undangan. Inilah yang lazimnya disebut upah mimimum atau
dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini disebut dengan istilah upah
minimum provinsi. Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya
hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Pengusaha
dalam menetapkan upah tidak boleh diskriminasi antara buruh laki-laki dan
buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.16 Segala kesepakatan
tentang upah antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau dengan serikat
pekerja/serikat buruh yang menetapkan upah lebih rendah dari upah minimum

14
Rachmadi Usman, Op. Cit., hlm. 31.
15
Agusmidah, 2010, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan: Usu Press, hlm. 58.
16
Lalu Husni, 2008, Pengantar Hukum Ketrenagakerjaan Indonesia , Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, hlm. 150.

7
adalah batal demi hukum dan pengusaha tetap wajib membayar upah sesuai
dengan upah minimum yang berlaku.
UUK mengatur hak istimewa buruh pada saat terjadi kepailitan, yakni
dalam Pasal 95 ayat (4). Pemenuhan hak-hak karyawan bukan hanya pada
saat perusahaan itu masih berjalan sebagaimana mestinya, tetapi ada hak-hak
karyawan yang harus tetap dipenuhi oleh perusahaan, walaupun perusahaan
tersebut dalam keadaan pailit. Pailitnya suatu perusahaan biasanya
mengakibatkan PHK. Karyawan yang di PHK karena perusahaan mengalami
kepailitan, mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh pihak perusahaan.
Dalam hal PHK dilakukan oleh Kurator, PHK tersebut harus sesuai dengan
peraturan UUKPKPU.
UUK memang sudah menyebutkan pembayaran upah buruh harus
didahulukan, tambahan lagi didalam Pasal 165 yang menyatakan:
“Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena
perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang
pesangon sebesar satu kali ketentuan (Pasal 156 ayat (2)), uang
penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan (Pasal 156 ayat
(3)), dan uang pengganti hak sesuai ketentuan (Pasal 156 ayat (4))”.

C. Akibat Hukum Kepailitan PT. Perindustrian Njonja Meneer Terhadap


Karyawan (Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor 11/PDT.SUS-
PAILIT/2017/PN NIAGA SMG)
Jamu Jawa Asli Cap Njonja Meneer memang sudah tidak asing lagi di
telinga perempuan. Perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1919 tersebut
berpusat di Semarang., Jawa Tengah. Berdiri selama 98 tahun, Pengadilan
Niaga menyatakan pailit pada perusahaan jamu PT Njonja Meneer tersebut
lantaran dinilai tidak menunaikan kewajibannya.
Pada tahun 1919, Meneer bersama keluarganya mendirikan
perusahaan jamu yang dinamakan jamu Jawa Asli Cap Potret Nyonya Meneer
di Semarang. Produk yang terkenal di kalangan masyarakat seperti Galian
Putri, Jamu Sariawan, Amurat, Sakit Kencing, Sehat Wanita, Pria Sehat,
Galian Rapet, Bibit, Mekar Sari, Galian, Jamu Habis Bersalin, Awet Ayu,

8
Gadis Remaja, Susu Perut, Jamu Langsing, Wasir dan tentu saja Minyak
Telon.
Pada tahun 1940 salah satu anak dari Njonja Meneer, Nonnie
memutuskan pindah ke Jakarta untuk membuka gerai Nyonya Meneer di
Jalan Juanda, Pasar Baru. Dari Jakarta, nama Njonja Meneer semakin meluas
ke seluruh penjuru tanah air. Pada tahun 1967 Njonja Meneer menjabat
Direktur utama di perusahaanya. Salah satu anaknya, Hans Ramana
dipercayakan untuk bertanggung jawab atas perusahaannya. Sedangkan
ketiga anak lainnya, yakni Lucy Saerang, Marie Kalalo, dan Hans
Pangemanan diangkat menjadi anggota dewan komisi perusahaan. Pada tahun
1970 an, Njonja Meneer mulai merasakan persaingan dunia bisnis jamu yang
ketat. Rival Njonja Meneer mulai menjual berbagai produk serupa dengan
harga yang berbeda-beda. Dua perusahaan yang sangat diwaspadai Nyonya
Meneer waktu itu adalah PT Sido Muncul dan PT Air Mancur. Pada tahun
1976 Hans Ramana meninggal dunia. Dan dua tahun kemudian pada tahun
1978 Njonja Meneer meninggal dunia. Setelah Nyonya Meneer dan anaknya
meninggal, perjalanan perusahaan pun mulai goyah.17
Pada tahun 1984, Didirikan Museum Jamu Nyonya Meneer di
Semarang. Tujuan pendirian museum jamu pertama di Indonesia ini sebagai
cagar budaya dan pusat informasi, pendidikan, promosi, serta media
pelestarian warisan budaya tradisional. Pada tahun 1985 terjadi perseteruan di
antara kelima cucu pewaris Nyonya Meneer yang melibatkan ratusan bahkan
ribuan pekerjanya. Pada tahun 1989-1994 terjadilah konflik kedua. Dan pada
tahun 1995 akhirnya konflik ini berakhir dengan pelepasan saham anggota
keluarga. Perusahaan Njonja Meneer sepenuhnya dipegang oleh cucu Njonja
Meneer yang bernama Charles Saerang. Empat cucu Njonja Meneer lainnya
pun memutuskan untuk berpisah setelah menerima bagian masing-masing.
Pada tahun 2013 karyawan demo lantaran tunggakan gaji.

17
Sugiyarto, “Inilah Sejarah Panjang Pabrik Jamu Nyonya Meneer, Mulai dari Berdiri hingga
Dinyatakan Pailit”,
https://www.google.co.id/amp/m.tribunnews.com/amp/regional/2017/08/04/inilah-sejarahpanjang-
pabrik-jamu-nyonya-meneer-mulai-dari-berdiri-hingga-dinyatakan-pailit.

9
Di tahun 2015, PT Njonja Meneer melawan kreditur di Pengadilan
Niaga Semarang. Permasalahan berakhir damai melalui kesepakatan proposal
masa PKPU. Masa pembayaran utang PT Njonja Meneer kepada 35 kreditur
diangsur selama lima tahun. Kesepakatan lain nilai utang PT Njonja Meneer
yang awalnya diminta membayar Rp 117 Milliar kepada distributor tunggal
PT NMI, disepakati hanya utang sebesar Rp 35 Milliar. Di tahun 2016
Karyawan mogok kerja tunggakan gaji karyawan tetap selama 4 bulan,
sedangkan karyawan harian selama 12 minggu. Di tahun 2017 Pabrik jamu
legendaris PT Njonjaa Meneer akhirnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga Semarang dalam sidang pada Kamis (3/8/2017). Putusan pailit
terhadap PT Njonja Meneer disampaikan oleh ketua Pengadilan Negeri
Semarang Nani Indrawati yang memimpin sidang.
Keputusan gugatan pailit itu diajukan salah satu kreditur asal
kabupaten Sukoharjo, Hendrianto Bambang Santoso, pemohon menyatakan
Njonja Meneer tidak memenuhi kewajiban membayar utang sebesar Rp
7.040.970.500,- (tujuh milyar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh
ribu lima ratus rupiah).
Bahwa dalam Putusan Homologasi halaman 12 ditegaskan untuk
jumlah utang di atas Rp 5.000.000.000,- (Lima Milyar rupiah) sampai dengan
Rp 35.000.000.000,- (Tiga Puluh Lima Milyar Rupiah) dicicil selama 5 tahun
dimulai akhir juli 2015 hingga Juni 2020. Tetapi ternyata Termohon/PT.
Perindustrian Njonja Meneer tidak melakukan cicilan sesuai kesepakatan
yang ditetapkan didalam proposal perdamaian atau di dalam putusan
Homologasi a quo yakni sebesar Rp.7.040.970.500,- (tujuh milyar empat
puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah). Seharusnya
sesuai dengan putusan Homologasi Termohon berkewajiban untuk melakukan
pembayaran/cicilan kepada Pemohon selama 5 (lima) tahun yakni dimulai
akhir Juli 2015 hingga Juni 2020. Apabila dihitung sejak akhir Juli 2015
hingga diajukannya permohonan pembatalan perdamaian ini, maka Termohon
seharusnya sudah melakukan cicilan sebanyak 24 kali yakni Juli 2015 sampai
Mei 2017. Termohon juga telah meyerahkan 10 lembar cek yang kesemuanya

10
tidak dapat dicairkan karena rekenig ditutup, dan sebagian Bilyet giro tersebut
telah ditolak oleh Bank Penerbit (PT. Bank Central Asia Tbk, KCU Solo)
dengan alasan saldo tidak cukup. Berdasarkan fakta-fakta diatas, Majelis
Hakim mengabulkan permohonan membatalkan putusan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Dari pembatalan itu, Njonja Meneer
dinyatkan pailit.
Menurut ketentuan Pasal 21 UUKPKPU, Kepailitan meliputi seluruh
harta kekayaan Debitor pada saat pernyataan pailit itu diputuskan beserta
segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. dengan terdapatnya putusan
pailit, maka debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal
putusan pailit diucapkan, sehingga pengurusan dan pemberesan harta pailit
tersebut dilakukan oleh Kurator. Untuk kemudian oleh kurator akan dijual
dan hasilnya akan dibagikan kepada seluruh kreditor berdasarkan dari
masing-masing tingkatan hak yang dimilikinya.
Tagihan pembayaran upah buruh dikategorikan sebagai hak istimewa
umum, sehingga buruh/tenaga kerja dapat dikategorikan sebagai kreditor
preferen pemegang hak istimewa umum. Sesuai dengan UUK mengatur hak
istimewa buruh pada saat terjadi kepailitan, yakni dalam pasal 95 ayat (4)
yaitu “dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya
dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, maka Akibat Hukum Kepailitan
PT. Perindustrian Njonja Meneer Terhadap Karyawannya yaitu, PT Njonja
Meneer harus membayar utang yang mencapai Rp 98 Miliar. Semua
tunggakan upah pegawai baik yang aktif maupun yang sudah dirumahkan
mencapai 98 miliar. Rincian utang tersebut mulai tunggakan pembayaran
asuransi BPJS ketenagakerjaan sejak November 2011 senilai Rp 12,589
miliar, tunggakan gaji senilai Rp 35,364 miliar, lalu tunggakan klaim
kesehatan para buruh senilai Rp 75 Juta. Total karyawan aktif Nyonya
Meneer 921 orang. Mereka belum menerima upah mulai November 2015,

11
Januari 2016 serta Juli 2017. Selain karyawan aktif, masih ada tunggakan
upah buruh pensiun mencapai Rp 41,473 miliar. Perusahaan juga dinilai
belum membayar pesangon 183 buruh yang terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) mencapai Rp 8,717 miliar. Akibat Hukum Kepailitan PT.
Perindustrian Njonja Meneer Terhadap Karyawannya yaitu, PT Njonja
Meneer harus membayar utang yang mencapai Rp 98 Miliar. Semua
tunggakan upah pegawai baik yang aktif maupun yang sudah dirumahkan
mencapai 98 miliar. Rincian utang tersebut mulai tunggakan pembayaran
asuransi BPJS ketenagakerjaan sejak November 2011 senilai Rp 12,589
miliar, tunggakan gaji senilai Rp 35,364 miliar, lalu tunggakan klaim
kesehatan para buruh senilai Rp 75 Juta. Total karyawan aktif Nyonya
Meneer 921 orang. Mereka belum menerima upah mulai November 2015,
Januari 2016 serta Juli 2017. Selain karyawan aktif, masih ada tunggakan
upah buruh pensiun mencapai Rp 41,473 miliar. Perusahaan juga dinilai
belum membayar pesangon 183 buruh yang terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) mencapai Rp 8,717 miliar.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kepailitan di Indonesia diatur dalam UUKPKPU No. 37 Tahun 2004.
Pengaturan Kepailitan di Indonesia pertama terdapat pada Faillissement
Verordening (Staatblad tahun 1905 No. 217 Jo Staatblad tahun 1906 No.
348. Keberlakuan Faillissement Verordening kemudian terhenti berkat
badai krisis moneter yang melanda Indonesia. Menyikapi kondisi ini,
Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (PERPU) No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas UU
Kepailitan PERPU No. 1 tahun 1998, yang kemudian resmi ditetapka
sebagai Undang-undang No. 4 tahun 1998. Seiring jalannya waktu,
ternyata UU No. 4 tahun 1998 ini aturannya tidak terlalu memadai,
sehingga banyak menimbulkan kelemahan dan kekurangan pada UU No.
4 tahun 1998 ini. Untuk mengatasi banyaknya kelemahan dan
kekurangan dari UU ini, maka lahirlah Undang-undang No. 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
UU No. 37 tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari
segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang
piutang.
2. Kedudukan karyawan terhadap boedel pailit yaitu, karyawan sebagai
Kreditor Preferen. Hal ini sesuai dengan UUK yang mengatur hak
istimewa buruh pada saat terjadi kepailitan, yakni dalam pasal 95 ayat
(4). Akan tetapi harus diingat bahwa pemberian hak untuk didahulukan
seperti yang diatur dalam pasal 95 ayat (4) UUK, tidak dapat diartikan
sebagai hak yang lebih tinggi dari hak kreditor separatis.
3. Akibat Hukum Kepailitan PT. Perindustrian Njonja Meneer terhadap
karyawannya yaitu, PT Njonja Meneer harus membayar utang yang
mencapai Rp 98 Miliar. Semua tunggakan upah pegawai baik yang aktif
maupun yang sudah dirumahkan mencapai 98 miliar. Rincian utang

13
tersebut mulai tunggakan pembayaran asuransi BPJS ketenagakerjaan
sejak November 2011 senilai Rp 12,589 miliar, tunggakan gaji senilai Rp
35,364 miliar, lalu tunggakan klaim kesehatan para buruh senilai Rp 75
Juta. Total karyawan aktif Nyonya Meneer 921 orang. Mereka belum
menerima upah mulai November 2015, Januari 2016 serta Juli 2017.
Selain karyawan aktif, masih ada tunggakan upah buruh pensiun
mencapai Rp 41,473 miliar. Perusahaan juga dinilai belum membayar
pesangon 183 buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
mencapai Rp 8,717 miliar.

B. Saran
1. Di dalam peraturan kepailitan di Indonesia hendaknya memuat sanksi-
sanksi pidana yang khusus tentang masalah Kepailitan terlepas dari Kitab
Undang-undang Hukum Perdata untuk lebih melindungi para pihak yang
dirugikan, karena pada dasarnya masalah-masalah kepailitan bermula
dari suatu perjanjian yang telah disetujui dari kedua belah pihak, yaitu
debitor dan kreditor, sehingga secara otomatis akan menimbulkan hak
dan kewajiban antara keduanya. Hak dan kewajiban tersebut apabila
tidak dipenuhi secara sempurna akan menimbulkan ketidakseimbangan
yang berakibat kerugian pada salah satu pihak.
2. Dalam upaya memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang lebih
baik terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi kepailitan, maka
pembentuk undang-undang memang perlu melakukan sinkronisasi dan
harmonisasi undang-undang yang terkait dengan pengaturan hak-hak
buruh.
3. Kurator selaku yang berwenang untuk mengurus harta pailit sebaiknya
menyelesaikan pembagian sisa harta pailit dan membayarkan utang-utang
Debitor kepada seluruh Kreditor sesuai dengan Undang-undang yang ada
dan berdasarkan dari masing-masing tingkatan hak yang dimilikinya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Agusmidah, 2010, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan: Usu


Press.

Ahmad Yani dan Gunawan, 2000, Seri Hukum Bisnis Kepailitan , Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada.

Emmy Yuhassarie dkk, 2005, Undang-Undang Kepailitan Dan


Perkembangaannya: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-
Masalah Kepailitan Dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004,
Cetakan ke 2, Jakarta: Pusat pengkajian Hukum.

Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika.

Lalu Husni, 2008, Pengantar Hukum Ketrenagakerjaan Indonesia , Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.

M. Hadi Shuban, 2008, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma dan Praktik Di


Peradilan, Jakarta: Prenada Media Group.

Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Sri Rejeki Hartono, 2008, Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press.

Sugiyarto, “Inilah Sejarah Panjang Pabrik Jamu Nyonya Meneer, Mulai dari
Berdiri hingga Dinyatakan Pailit”,
https://www.google.co.id/amp/m.tribunnews.com/amp/regional/2017/08/0
4/inilah-sejarahpanjang-pabrik-jamu-nyonya-meneer-mulai-dari-berdiri-
hingga-dinyatakan-pailit.

Sunarmi, 2010, Hukum Kepailitan Edisi 2, Jakarta: PT Sofmedia.

Sutan Remy Sjahdeini, 2016, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, Edisi
Kedua, Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri.

Victor M.Situmorang dan Hendri Soekars, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan di


Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

15

Anda mungkin juga menyukai