Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ADMINISTRASI PERUPAHAN

OLEH :

TRY AGUNG BASUKI


16.021.014.004

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Segala puji syukur akan kehadirat ALLAH SWT atas berkah dan hidayahnya
sehingga saya dapat melaksanakan tugas mata kuliah Administrasi perupahan ini
dengan kepuasan dalam diri.

Dengan pembuatan makalah ini saya ingin dapat lebih mengenal dan
memahami istilah-istilah penting dalam ilmu administrasi terkhusunya di bidang
perupahan sehingga memudahkan mahasiswa/i dalam proses perkuliahan, dan
pengaplikasian informasi yang diperoleh.

Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat. Saya berharap makalah
“ADMINISTRASI PERUPAHAN” bisa membantu saya serta teman-teman untuk
belajar lebih tentang upah karyawan.

Makassar, 17 APRIL 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………...
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..
1.1. Latar belakang……………………………………………………………………
1.2. Rumusan masalah………………………………………………………………...
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………
2.1. Upah kepailitan.......………………………………………………………………
2.2. Upah berdasarkan perintah pengadilan……….…………………………..……..
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………
3.1. Kesimpulan……………………………………………………………………….
3.2. Saran……………………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pekerja atau buruh merupakan lokomotif penggerak suatu entitas bisnis yang
tergabung dalam suatu manajemen perusahaan yang artinya tanpa adanya pekerja
atau buruh tidak mungkin suatu perusahaan dapat melakukan oprasional bisnisnya
untuk mewujudkan tujuan perusahaan dalam mendapatkan laba. Kedudukan pekerja
atau buruh pada suatu perusahaan haruslah jelas dan juga proses pembayaran upah
kerja terutama dalam perusahaan yang mengalami kepailitan. Dalam kasus seperti ini
diperlukan metode yuridis normatif dimana metode ini menganalisa permasalahan
dari segi hukum yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedudukan pekerja atau buruh dan proses pembayaran upah kerja pada perusahaan
yang mengalami kepailitan memiliki hak istimewa dimana pembayaran seluruh
upahnya harus dibayarkan sesuai dengan upah yang seharusnya diterima.

Pekerja atau buruh adalah resources dari suatu perusahaan. Perusahaan


(bedriif) adalah suatu pengertian ekonomis yang banyak dipakai dalam kegiatan,
usaha dan pekerja kehidupan sehari-hari dan banyak dipakai dalam kitab Undang
Undang Hukum Dagang (KUHD), namun KUHD tidaklah memberikan penafsiran
maupun penjelasan resmi tentang apakah perusahaan itu.1 Dalam kondisi normal dan
perusahaan masih dapat beroperasi dengan baik, kepentingan dan hak-hak pekerja
atau buruh masih dapat diakomodir oleh manajemen perusahaan, akan tetapi ketika
perusahaan tersebut mendapatkan terpaan krisis atau masalah keuangan (pailit)
seringkali hak-hak pekerja atau buruh tidak biasa diakomodir lagi dan bahkan
dilupakan oleh manajemen perusahaan dan pihak-pihak yang diperintahkan untuk
mengurusi masalah keuangan dan aset perusahaan.

1.2 Rumusan masalah

 Bagaimana pembayaran upah dalam kepailitan ?


 Bagaimana Meningkatkan Pengawasan Proses Kepailitan ?
 Apa saja jenis-jenis upah ?
 Apa saja penyitaan upah berdasarkan perintah pengadilann ?
 Apa saja Pengenaan Denda dan Pemotongan Upah ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Upah kepailitan

Proses kepailitan pada umumnya adalah proses panjang yang melelahkan. Di


satu sisi akan banyak pihak (kreditor) yang terlibat dalam proses tersebut, karena
pihak debitor yang dipailitkan pasti memiliki utang lebih dari satu, sedang di sisi lain,
belum tentu harta pailit mencukupi, apalagi dapat memenuhi semua tagihan yang
ditujukan pada debitor. Masing-masing kreditor akan berusaha untuk secepat-
cepatnya mendapatkan pembayaran setinggi-tingginya atas piutang mereka masing-
masing. Kondisi tersebutlah yang melatarbelakangi lahirnya aturan-aturan yang
mengikat di dalam proses kepailitan, yang mengatur pembagian harta pailit di bawah
kendali kurator disertai pengawasan hakim pengawas.

Meski begitu, adanya aturan-aturan dalam proses kepailitan, belum jelas


mengatur posisi buruh yang perusahaannya dinyatakan pailit. Buruh pada prinsipnya
berhak atas imbalan dari pekerjaan yang telah mereka kerjakan. Tagihan semacam ini
bahkan telah secara tegas dinyatakan sebagai utang yang lebih didahulukan
pembayarannya daripada utang-utang lainnya. Pertanyaannya, seberapa dahulukah
posisi utang tersebut?

Yang tak kalah menarik, apabila harta pailit ternyata tidak mencukupi. Apa
yang bisa digunakan untuk membayar upah buruh dalam kondisi seperti ini?
Sekalipun hak pesangon telah dijamin oleh undang-undang, namun, itu pun masih
tergantung pada mampu tidaknya majikan (kurator sebagai pengurus harta pailit)
membayarkan uang pesangon tersebut. Apakah posisi buruh dalam proses kepailitan
telah cukup terjamin?

Dalam tulisan ini, kami akan membahas permasalahan tersebut. Dari


pembahasan posisi masing-masing kreditor dalam proses kepailitan, masalah
pembayaran upah buruh, konsekuensi keadaan insolvensi yang parah (nilai utang jauh
lebih besar dari harta kekayaan) pada buruh, serta beberapa alternatif penyelesaian
masalah.
Pembayarah Upah Buruh

Tagihan pembayaran upah buruh dikategorikan sebagai hak istimewa


umum. Ketentuan tersebut juga diatur di dalam pasal 95 ayat 4 UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan yang mengatur:

Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan


peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.

Meskipun tidak jelas seberapa tinggi utang tersebut harus didahulukan, namun, paling
tidak telah tersurat adanya keistimewaan untuk hak atas pembayaran upah buruh.
Artinya, sebelum harta pailit dibagikan kepada kreditor konkuren, maka tagihan yang
diajukan oleh pihak-pihak pemegang hak istimewa harus dipenuhi lebih dahulu.

UU No. 37/2004 mengatur bahwa sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan,
upah yang terutang sebelum, maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan
merupakan utang harta pailit (pasal 39 ayat 2). Dengan sendirinya, kurator wajib
untuk mencatat, sekaligus mencantumkan sifat (istimewa) pembayaran upah yang
merupakan utang harta pailit dalam daftar utang piutang harta pailit. Daftar tersebut
harus diumumkan pada khalayak umum, sebelum akhirnya dicocokkan dengan
tagihan yang diajukan oleh kreditor sendiri.

Apabila kemudian ada perselisihan, karena beda antara daftar kurator dan tagihan
kreditor, maka Hakim Pengawas berwenang untuk mendamaikan. Apabila
perselisihan tetap belum selesai, maka perselisihan tersebut harus diselesaikan
melalui pengadilan.

Sekilas, posisi tawar buruh dalam memperjuangkan pembayaran upahnya sudah


cukup kuat, karena (1) tagihan pembayaran upah pekerja adalah tagihan yang
diistimewakan, (2) telah ada pengakuan undang-undang bahwa pembayaran upah
menjadi utang harta pailit dan (3) apabila terjadi perbedaan antara hitungan pekerja
dan daftar yang dikeluarkan oleh kurator, ada peran instansi pengadilan yang akan
menengahi permasalahan tersebut. Artinya, posisi preferen (didahulukan) yang
dimiliki oleh buruh tidak dapat begitu saja didahului. Meski begitu, ada beberapa
kondisi di mana buruh tidak mendapatkan hak atas pembayaran upahnya.

Kondisi pertama; ketika terjadi insolvensi parah. Artinya, tidak ada lagi biaya yang
dapat dibayarkan dari harta pailit atau harta pailit hanya cukup untuk membayar
biaya-biaya perkara dan tagihan pajak. Dalam kondisi tersebut, mau tidak mau,
pekerja tidak akan mendapatkan apa-apa.

Kondisi ke dua; ketika harta pailit hanya berupa benda-benda yang dijaminkan
kepada kreditor separatis. Apabila nilai tagihan kreditor separatis melampaui nilai
benda-benda yang dieksekusi, maka otomatis tidak ada lagi yang tersisa dari harta
pailit. Namun, apabila nilai eksekusi dapat menutup piutang pemegang hak jaminan,
maka sisanya masih dapat dibagi. Tentu saja, posisi buruh ada di bawah biaya-biaya
perkara (termasuk upah kurator) dan tagihan pajak.

Selain ke dua kondisi tidak menguntungkan di atas, masih ada beberapa masalah
teknis yang bukan tidak mungkin dapat merugikan posisi buruh, seperti kurang
transparannya proses penentuan daftar urutan dalam pembagian harta pailit, serta
kurang berfungsinya kurator dan hakim pengawas. Belum lagi, pihak-pihak yang
berkepentingan belum tentu tahu tentang proses penyelesaian perselisihan terkait
penentuan daftar pembagian harta pailit melalui pengadilan.

Bagaimanapun juga, belum ada alat hukum yang dapat menyelamatkan nasib pekerja,
saat tagihan pembayaran upah tidak terpenuhi atau hanya terpenuhi sebagian kecilnya
saja. Mengingat kondisi pekerja di Indonesia yang secara ekonomis sangat rentan dan
nafkah hidupnya sangat bergantung pada pekerjaan yang dimilikinya, maka harus ada
instrumen pendukung yang dapat menyelamatkan nasib mereka. Di bawah ini ada
beberapa alternatif penyelesaian yang mungkin digunakan.

Meningkatkan Pengawasan Proses Kepailitan

Dalam proses kepailitan, kurator dan hakim pengawas memegang peran yang
menentukan. Dari pengurusan harta pailit, penentuan daftar urutan pembagian melalui
rapat kreditor, hingga pemberesan harta pailit saat terjadi keadaan insolvensi; itu
semua membutuhkan kecermatan dan ketelitian kurator dan hakim pengawas.
Pada posisi yang menentukan, tentu obyektivitas dan integritas ke dua aktor tersebut
harus tetap terjaga. Masalahnya, dua hal ini pula yang juga membuka ruang konflik,
karena adanya ketidakpuasan pihak-pihak kreditor terkait. Namun begitu, sebenarnya
undang-undang juga telah menyediakan solusi untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Selain tuntutan pada kurator yang dianggap merugikan harta pailit, kreditor yang
tidak sependapat dengan daftar urutan pembagian yang dibuat kurator dapat pula
menuntut pengadilan untuk memutuskan, apabila ternyata hakim pengawas tak dapat
mendamaikan perselisihan tersebut.

Kendala-kendala yang barangkali dihadapi dalam menjalankan alternatif penyelesaian


tersebut, selain ketidaktahuan pihak-pihak kreditor akan status utang mereka, juga
disebabkan oleh kekurangcakapan kurator dan hakim pengawas. Usaha perbaikan
yang bisa dilakukan, adalah pembuatan buku pegangan (manual) yang bisa menjadi
referensi kurator dan hakim pengawas. Training-training atau kursus-kursus praktis
yang diselenggarakan secara intensif dan berkelanjutan, juga dapat meminimalisir
kendala-kendala tersebut.

Bagaimanapun juga, usaha meningkatkan kinerja kurator dan hakim pengawas, tetap
belum sepenuhnya menjawab permasalahan upah buruh yang tidak terbayarkan,
akibat harta pailit yang tidak mencukupi. Untuk itu, ke depannya, tidak cukup dengan
sistem perlindungan pesangon, namun, harus ada sistem asuransi yang dapat
digunakan untuk meminimalisir resiko pekerja kehilangan upahnya akibat kepailitan.

Jenis Upah

Pekerja/buruh yang tidak masuk kerja atau tidak melakukan pekerjaan karena
alasan berhalangan dan melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya tetap dibayar
upahnya yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja atau pada waktu istirahat mingguan atau pada hari libur resmi, wajib
membayar upah kerja lembur sebagai kompensasi kepada pekerja/buruh.

Pengusaha yang ingin memberikan pesangon kepada pekerja/buruh, komponen dasar


perhitungan uang pesangon meliputi;

1. Upah pokok;
2. Tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk
harga pembelian dari catu yang diberikan secara cuma-cuma, yang apabila catu
harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih
antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.

Dalam hal pengusaha memberikan upah tanpa tunjangan, dasar perhitungan uang
pesangon dihitung dari besarnya upah yang diterima oleh pekerja/buruh. Upah
pembayaran pesangon diberikan dengan ketentuan;

1. Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian,


maka penghasilan sebulam adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari;
2. Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil,
potongan/borongan atau komisi, penghasilan sehari adalah sama dengan
pendapatan rata-rata per hari selama 12 bulan terakhir, dengan ketentuan tidak
boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota; atau
3. Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan
pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata
12 bulan terakhir.

Upah untuk perhitungan pajak penghasilan dapat dibebankan kepada pengusaha atau
pekerja/buruh yang diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

2.2 Upah berdasarkan perintah pengadilan

Pengusaha yang dinyatakan pailit oleh pengadilan maka upah dan hak-hak
lainnya dari pekerja/buruh merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya
setelah pembayaran para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. Apabila
pekerja/buruh jatuh pailit maka upah dan segala pembayaran yang timbul dari
hubungan kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim
dengan ketentuan tidak melebihi 25% dari upah dan segala pembayaran yang timbul
dari hubungan kerja yang harus dibayarkan.

Apabila uang yang disediakan oleh pengusaha untuk membayar upah disita oleh juru
sita berdasarkan perintah pengadilan maka penyitaan tersebut tidak boleh melebihi
20% dari jumlah upah yang harus dibayarkan.
Upah Minimum

Pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur wajib menetapkan upah minimum
sebagai jaring pengaman upah bulanan terendah bagi pekerja/buruh yang terdiri dari
upah tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap. Penetapan tersebut
dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Gubernur menetapkan upah
minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan
asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/buruh pada sektor yang bersangkutan.

Pengenaan Denda dan Pemotongan Upah

Pengusaha atau pekerja/buruh yang melanggar ketentuan dalam perjanjian


kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama karena kesengajaan atau
kelalaiannya dikenakan denda apabila diatur secara tegas dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar upah sesuai yang
diperjanjikan dikenakan denda dengan ketentuan sebagai berikut dengan tidak
menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah kepada
pekerja/buruh;

1. Mulai dari hari ke empat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya
upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% untuk setiap hari keterlambatan dari
upah yang seharusnya dibayarkan;
2. Sesudah hari kedelapan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda
keterlambatan sebesar 1% untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1
bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan.

Pemotongan upah oleh pengusaha adalah untuk; (i) denda; (ii) ganti rugi; dan/atau
(iii) uang muka upah dilakukan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau peraturan kerja bersama. Jumlah keseluruhan pemotongan upah paling banyak
50% dari setiap pembayaran upah yang diterima pekerja/buruh.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, dapat ditarik suatu simpulan


yaitu, Kedudukan tenaga kerja atau buruh pada perusahaan yang dinyatakan pailit
dalam Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 sesuai dengan pasal 95
ayat 4, yang mengatur hak istimewa buruh pada saat terjadi kepailitan, dimana upah
tenaga kerja atau buruh beserta hak hak lainnya harus didahulukan pembayarannya.

3.1 Saran

Tanggung jawab suatau perusahaan terhadap karyawan memberikan upah


minimum dan tidak lepas dari UU yang di tetapkan oleh pemerintahan daerah
maupun pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19037/pembayaran-upah-buruh-dalam-
proses-kepailitan-/

C. S. T Kansil, 2005, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Hukum


Ekonomi), Jakarta.

Bambang Sunggono, 1997, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,


Jakarta.

Zacni Asyhdic, Hukum Bisnis”Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, 2005, PT.


RajaGrafindo, Jakarta.

Uwiyono, Aloysius, Refleksi Masalah Hukum Perburuhan Tahun 2005 dan Tren
Hukum Perburuhan Tahun 2006 yang diambil dari internet tanggal 3 Mei 2011.

UU Nomor 1957 tentang Penyelesaian perselisihan perburuhan/pekerja di Indonesia

UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara

http://www.hukumtenagakerja.com/pengupahan/pengaturan-pengupahan-terbaru/

Anda mungkin juga menyukai