DISUSUN OLEH:
NAMA : Muhammad Ismu Rizal Yara
NIM : 5622221047
COVER
DAFTAR ISI........................................................................................................3
ABSTRAK...........................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................8
2.2. Hak dan Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Tanggungan dalam
Penyelesaian Kepailitan..........................................................................................11
3.1 Kesimpulan........................................................................................17
3.2 Saran..................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19
i
ABSTRAK
1
Ahmad Yani&Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Rajawali Press, Jakarta, 1999,
hlm 11
2
Syamsudin Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta, 2012, hlm 34
yang masih ada. Hukum Kepailitan Indonesia tidak membedakan kepailitan orang
perseorangan dengan kepailitan badan hukum. Hukum Kepailitan Indonesia sebagaimna
dieleborasi dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, mengatur keduanya, baik
kepailitan orang perseorangan maupun kepailitan badan hukum. Apabila dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak cukup diatur mengenai kepailitan orang
perseorangan meupun kepailitan badan hukum, maka digunakanlah peraturan perundang-
undangan yang lain sebagai dasar hukum.3 Namun, pemegang hak tanggungan seringkali
menghadapi kesulitan dalam mendapatkan pembayaran dari hasil penjualan atau lelang
karena adanya prioritas pembayaran bagi kreditur lainnya dalam penyelesaian kepailitan.
Masalah utama yang dihadapi oleh pemegang hak tanggungan dalam penyelesaian
kepailitan adalah prioritas pembayaran bagi kreditur lainnya. Sebagai contoh, kreditur
yang memiliki hak atas jaminan yang lebih rendah seperti kreditur tanpa jaminan
memiliki prioritas pembayaran yang sama dengan pemegang hak tanggungan. Hal ini
dapat menyebabkan pemegang hak tanggungan menghadapi kesulitan dalam
mendapatkan pembayaran dari hasil penjualan atau lelang aset debitur.
Selain itu, dalam beberapa kasus, aset yang dijaminkan terlibat dalam sengketa
hukum, yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam penyelesaian kepailitan dan dapat
menyebabkan penurunan nilai aset tersebut. Pemegang hak tanggungan dapat menderita
kerugian finansial yang signifikan sebagai akibat dari penurunan nilai aset. Oleh karena
itu, diperlukan pemahaman hukum yang mendalam tentang perlindungan pemegang
saham hak tanggungan dalam penyelesaian kepailitan. Tinjauan hukum ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perlindungan hak-hak pemegang
hak tanggungan dalam situasi kepailitan, serta memberikan solusi dan rekomendasi yang
tepat guna meminimalkan risiko kerugian bagi pemegang hak tanggungan. Dalam
konteks ini, penyelesaian kepailitan yang adil dan efektif memainkan peran penting
dalam menjaga kestabilan sistem keuangan dan perekonomian secara keseluruhan.
Perlindungan kepentingan pemegang hak tanggungan sebagai salah satu kreditur dalam
proses kepailitan harus diperhatikan dan dipertimbangkan dengan seksama agar dapat
mencapai penyelesaian yang adil dan merata bagi semua pihak yang terlibat dalam proses
kepailitan. Penelitian tentang perlindungan kepentingan pemegang hak tanggungan dalam
3
Syamsudin Sinaga, op.cit, hlm 34-35
penyelesaian kepailitan sangatlah penting untuk membantu meningkatkan efektivitas
penyelesaian kepailitan dan melindungi hak-hak pemegang hak tanggungan.
2. Apa saja hak dan perlindungan hukum yang dimiliki oleh pemegang
hak tanggungan dalam penyelesaian kepailitan?
4
Rahmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2004, h. 11.
5
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, Minn, USA,
1991, h. 100.
pada hakikatnya kepailitan adalah situs umum atas semua kekayaan kekayaan debitur.
Hal ini untuk membedakan dengan istilah sita khusus seperti revindikator beslag,
konservator beslag, dan eksekutor beslag, yang dilakukan terhadap benda-benda tertentu.
Sebagai suatu situs umum, maka kepailitan itu meliputi seluruh kekayaan debitur pada
saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama
Kepailitan. Kepailitan juga dapat diartikan sebagai suatu usaha bersama untuk
mendapatkan pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur
mendapat pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak
berebutan.6 Dengan demikian kepailitan ini dimaksudkan untuk menghindari perebutan
harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih
piutangnya dari debitur. Seorang debitur untuk dapat dinyatakan berada di bawah
kepailitan harus memenuhi persyaratan tertentu. Persyaratan tersebut ditentukan dalam
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yang menentukan bahwa: “Debitur yang mempunyai 2
(dua) atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.
Memperhatikan ketentuan persyaratan tersebut maka untuk dapat dinyatakan pailit
melalui putusan pengadilan apabila: (1) debitur mempunyai dua atau lebih kreditur; dan
(2) debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.
Dalam UU Kepailitan yang dimaksud dengan kreditur adalah orang yang
memiliki piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka
pengadilan. kreditur itu sendiri dapat merupakan kreditur konkuren, kreditur separatis
maupun kreditur preferen. Apabila kepailitan itu dimohonkan oleh seorang kreditor,
maka ia harus dapat membuktikan bahwa selain dirinya masih ada lagi kreditur lain dari
debitur. Syarat adanya kreditur lain adalah untuk me-menuhi prinsip concursus
creditorum dalam kepailitan.
Praktik pelaksanaan jaminan hukum sering kali berhadapan dengan
berbagai persinggungan dengan disiplin hukum lainnya, salah satu permasalahan yang
6
Abdul R. Saliman, et al., Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus, Kencana,
7
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok – Pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, Cetakan kelima, Liberty Offset, Yogyakarta, 2011, hlm. 38
8
Lihat Pasal 61 Undang – Undang Kepailitian & Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan UU Kepailitan dan PKPU).
9
Lihat kewenangan kreditor separatis dalam Pasal 55 UU Kepailitan dan PKPU.
10
Putu Arya Adtya Pramana, I Gusti Ngurah Wairocana, Pengaruh Undang – Undang Kepailitan
dan Undang – Undang Hak Tanggungan terhadap Kreditor Pemegang hak Tanggungan Apabila Debitir
Pailit, Kertha Semanya Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana , Vol. 01, No. 04, Mei 2013,
hlm. 1-5.
11
Sularto, “Perlindungan Hukum Kreditor Separatis Dalam Kepailitan”, Mimbar Hukum, Volume
22, Nomor 2, Juni 2012, hlm. 187-375.
sebagai kreditor separatis dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. 12 Fokus
penelitian ini menganalisis kedudukan bank sebagai kreditor separatis dalam melakukan
eksekusi barang jaminan terdapat pembebasan hak eksekusi dikarenakan inkonsistensi
Pasal 55, Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-Undang Kepailitan & Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (selanjutnya disebut dengan UUK & PKPU). Penelitian lain adalah
Kedudukan Kreditor Menulis Hak Tanggungan Dalam Hal Debitor Pailit 13 yang
menguraikan pemegang hak tanggungan mencetak 90 hari setelah dinyatakan pailit dan
preferensi hak tanggungan menjadi tidak berfungsi karena adanya kepailitan yang dialami
debitur. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disingkat UUHT)
memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk pelunasan piutang terlebih
dahulu sebelum kreditor-kreditor lainnya. Aturan tersebut menempatkan posisi yang kuat
pada lembaga jaminan, yaitu posisi yang diprioritaskan atau didahulukan kepada
pemegangnya.14
2.2. Hak dan Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Tanggungan
dalam Penyelesaian Kepailitan
Pemegang hak tanggungan dalam penyelesaian kepailitan memiliki hak dan
perlindungan hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) dan Undang-
Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah (UU HT). Hak dan perlindungan hukum yang dimiliki oleh
pemegang hak tanggungan dalam penyelesaian kepailitan secara lebih rinci:
Hak untuk mendaftarkan hak tanggungan dalam daftar pemegang hak atas harta
pailit memiliki hak tanggungan berhak untuk mendaftarkan hak tanggungan yang
12
Yane Pakel, “Kedudukan Bank Sebagai Kreditor Separatis Dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit”, Al Amwal: Journal of Economic Law, Volume 3, Nomor 1, April 2018.
13
Januar Agung Saputra, “Kedudukan Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Debitor
Pailit”, Jurnal Ius Constitutum Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Volume 1, Tahun
2017, hlm. 1-26
14
Burhan Sidabariba, Lelang Eksekusi Hak Tanggungan; Meniscayakan Perlindungan Hukum
bagi Para Pihak, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2019, hlm. 98
0
dimilikinya dalam daftar pemegang hak atas harta pailit yang disusun oleh kurator dalam
proses kepailitan. Memiliki hak tanggungan wajib melaporkan kepada pengadilan
mengenai hak tanggungan yang dimilikinya dan menunjukkan bukti-bukti yang sah
mengenai hak tersebut. Dengan demikian, hak tanggungan yang dimiliki oleh pemegang
hak tanggungan akan terdaftar secara resmi dan diakui dalam proses penyelesaian
kepailitan.
1. Hak untuk mendapatkan informasi. Memiliki hak tanggungan berhak
mendapatkan informasi mengenai status kepailitan dan informasi lain yang
berkaitan dengan hak tanggungan yang dimiliki dari pengadilan atau
kurator. Informasi yang diberikan kepada pemegang hak tanggungan harus
lengkap, akurat, dan tepat waktu sehingga pemegang hak tanggungan
dapat mengambil tindakan yang sesuai dalam melindungi kepentingannya.
2. Hak untuk mengajukan gugatan. Berhak tanggungan berhak mengajukan
gugatan terhadap pengiklan atau melepaskannya hak tanggungan pada
masa kepailitan jika menyewa atau melepaskannya tersebut dilakukan
tanpa persetujuan dari pemegang hak tanggungan. Dalam hal ini,
pemegang hak tanggungan dapat mengajukan gugatan perdata ke
pengadilan untuk menuntut ganti rugi dan/atau mengembalikan hak
tanggungan yang diambil oleh pihak lain secara tidak sah.
3. Hak untuk mendapatkan pembayaran. Pemegang hak tanggungan
memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari hasil penjualan harta
pailit dengan prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kreditur
biasa. Dalam hal ini, pembayaran atas hak tanggungan akan dilakukan
setelah pembayaran terhadap biaya-biaya yang dibebankan dalam proses
kepailitan, serta pembayaran terhadap kreditur preferen dan kreditur
konkuren yang memiliki prioritas lebih tinggi. Pembayaran atas hak
tanggungan harus dilakukan sesuai dengan nilai nominal dari hak
tanggungan tersebut.
4. Perlindungan dari tindakan pihak lain. Selama proses kepailitan
berlangsung, pemegang hak tanggungan dilindungi dari tindakan pihak
lain yang berupaya mengambil alih atau mengurangi hak tanggungan yang
dimilikinya.
Perlindungan hukum yang diberikan UUK dan PKPU bagi kreditor salah satunya
juga dengan adanya actio paulina. Actio paulina sejak semula telah diatur Pasal dalam
1
1341 KUH Perdata, dimana hal ini memberikan hak kepada Kreditor untuk mengajukan
pembatalan atas setiap tindakan hukum yang tidak diwajibkan, dilakukan oleh Debitor,
baik dengan nama apapun yang dapat merugikan kreditor. Ketentuan actio paulina dalam
Pasal 1341 KUH Perdata ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang
mengatur prinsip paritas creditorium. Hal ini karena dengan Pasal 1131 KUH Perdata
ditentukan bahwa semua harta kekayaan Debitor demi hukum menjadi jaminan atas
utang-utang Debitor. Dengan demikian debitur dalam hal ini tidak bebas terhadap harta
kekayaan yang dimilki ketika memiliki utang kepada pihak kreditor. Kepailitan dan
penundaan atau penundaan pembayaran utang (surseance) biasanya dikaitkan dengan
masalah utang piutang antara seseorang yang dapat disebut Debitor dengan mereka yang
memiliki dana yang disebut Kreditor. Dengan kata lain, antara Debitor dan Kreditor
mengadakan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pinjam meminjam uang. Salah
satu kewajiban Debitor adalah mengembalikan utangnya sebagai suatu prestasi yang
harus dilakukan. Apabila kewajiban mengembalikan utang tersebut berjalan lancar sesuai
dengan perjanjian tentu tidak merupakan masalah. Adapun pengertian utang menurut
Pasal 1 ayat (6) UUK dan PKPU adalah: “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau
dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang
Asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor
dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan Debitor”. Dengan demikian dalam UUK dan PKPU Pasal 1 ayat (6)
ini telah diberikan definisi yang tegas terhadap pengertian utang, yaitu ”kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia
maupun mata Asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari
atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang- undang dan wajib dipenuhi
oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
Perlindungan terhadap kreditor pemegang hak tanggungan dapat ditinjau dari
berbagai pasal diantaranya Pasal 1 angka 1, Pasal 20 ayat (1), dan Penjelasan Angka 4
Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan keistimewaan asas droit de preference.
Kemudian Pasal 7 Undang- Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa sekalipun
objek hak tanggungan beralih kepada orang lain, hak tanggungan tetap mengikat atas
objek tersebut, yaitu asas droit de suite. Selanjutnya dalam Pasal 21 Undang-Undang Hak
Tanggungan menyatakan meskipun pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, kreditor
2
pemegang hak tanggungan tetap dapat memperoleh haknya. Rumusan dari pasal ini
selaras dengan Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, disebutkan kreditor dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, sehingga mengabaikan fakta
terjadinya kepailitan. Kata perlindungan hukum menunjukkan fungsi hukum sebagai
sarana perlindungan kepentingan manusi.15 Sebelum beranjak lebih jauh tentang
perlindungan hukum, ada perlunya kita memahami dulu soal penegakan hukum. Terdapat
3 (tiga) unsur penegakan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Kepastian hukum adalah pelaksanaan hukum sebagaimana bunyi hukum, suatu bentuk
perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang. Kedua, kemanfaatan bahwa hukum
dalam pelaksanaan dan penegakannya harus memberikan manfaat bagi manusia. Justru
dengan penegakan hukum jangan sampai timbul keresahan dalam masyarakat atau
bahkan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Terakhir, keadilan tidak sama bagi
semua orang, tetapi bagaimanapun penegakan hukum harus memperhatikan keadilan
16
Ketika sita perkara pidana terjadi lebih dulu, menurut Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Kepailitan dan PKPU, rumusan pasal tersebut secara eksplisit menunjukkan
segala kewajiban pelaksanaan kewajiban harus seketika.
15
Nainggolan, Bernard. 2011. Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor dan Pihak-Pihak
Berkepentingan dalam Kepailitan. Bandung: PT Alumni, hlm. 26.
16
Ibid, hlm 89
3
2. Penetapan Pailit. Setelah mengajukan permohonan, Pengadilan Niaga akan
memutuskan apakah perusahaan tersebut benar-benar pailit atau tidak. Jika
pengadilan menyalakan pailit, maka akan dilakukan pengumuman ke
seluruh kreditur dan debitur yang terkait.
3. Pengurus Pailit. Pengadilan Niaga akan menunjuk seorang Pengurus Pailit
yang bertanggung jawab mengurus seluruh aset perusahaan yang telah
disita.
4. Penjualan Aset. Pengurus Pailit akan menjual seluruh aset perusahaan
yang ada untuk membayar hutang-hutang yang ada.
Bagian Hasil Penjualan. Hasil penjualan aset perusahaan akan dibagi kepada para
kreditur berdasarkan urutan prioritas yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Memiliki hak tanggungan biasanya memiliki prioritas yang lebih tinggi dibandingkan
kreditur lainnya.Dalam mekanisme penyelesaian kepailitan tersebut, pemegang hak
tanggungan memiliki beberapa hak dan perlindungan hukum yang harus diperhatikan,
antara lain:
1. Hak Preferensi. Memiliki hak tanggungan memiliki hak preferensi dalam
pembayaran Hutang perusahaan. Hak preferensi ini memberikan prioritas
kepada pemegang hak tanggungan untuk mendapatkan pembayaran
terlebih dahulu sebelum kreditur lainnya.
2. Hak Menarik Jaminan. Memiliki hak tanggungan memiliki hak untuk
menarik jaminan yang diberikan oleh perusahaan jika terjadi kegagalan
pembayaran Hutang. Dalam hal ini, pemegang hak tanggungan dapat
menjual jaminan tersebut untuk membayar hutang yang belum terlunasi.
3. Perlindungan Hukum. Memiliki hak tanggungan yang dilindungi oleh
hukum dalam hal terjadi kepailitan perusahaan. Dalam hal ini, pemegang
hak tanggungan dapat memperoleh pembayaran yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kreditur lainnya.
4. Hak Penetapan Nasib Jaminan. Memiliki hak tanggungan memiliki hak
untuk menentukan nasib jaminan jika perusahaan mengalami kepailitan.
Dalam hal ini, pemegang hak tanggungan dapat
Serta mengenai proses sesuai dengan implementasi Pasal 31 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang mengutamakan sita umum pailit justru
keliru, sebab harus mengajukan pembatalannya melalui mekanisme yang digunakan saat
penyelesaian atau penetapan pertama kali atau dengan kata lain menggunakan mekanisme
4
peradilan itu sendiri. Banyak kekeliruan temuan pasal ini, sudah seharusnya ditambahkan
pada bagian penjelasan bahwa frase “semua penyitaan” tidak termasuk sita perkara
pidana. Hal ini berhubungan dengan argumentasi M. Hadi Shubhan pada saat pertemuan
ilmiah Forum Hukum Bisnis dan Kepailitan di Hotel Atlet Senayan, Jakarta. 17 “Jika
sitanya lebih dahulu kemudian dia pailit maka kurator untuk mengangkat sita pidana
tersebut kurator jangan mengajukan kepada hakim niaga, kira-kira dilakukan
praperadilan. Namun, jika sudah pailit kemudian jaksa hendak menyita, jaksa harus
meminta izin kepada hakim pengawas atau buron niaga, jangan main sita. Lapor dulu ke
pengawas jika tidak bisa maka melakukan di razia orang lain untuk memastikan bahwa
harta kepailitan adalah hasil tindak pidana, dan ini perlu dibuktikan terlebih dahulu agar
tidak terjadi penggabungan harta (Pasal 31 dan Pasal 39 KUHAP) kiranya harus izin
terlebih dahulu kepada hakim.” Adapun konsep koordinasi yang dimaksud berupa
permohonan izin kepada hakim pengawas kemudian memberitahu kurator dan
melangsungkan proses peradilan. Hakim niaga memberikan kesempatan hakim pengawas
menyampaikan pendapat sebelum diputuskan oleh pengadilan niaga. Adanya
permohonan izin sehubungan dengan tugas pokok menurut Pasal 66 Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU sebelum memutuskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan
pengurusan dan pemberesan harta pailit, pengadilan niaga wajib mendengarkan terlebih
dahulu pendapat hakim pengawas.18 Pihak kepolisian atau kejaksaan pun tidak dapat
langsung menyita objek hak tanggungan. Pengawas yang dimaksud bukanlah pasif,
namun mencakup aktif. Setelah sah dilakukan penyitaan secara pidana maka harus
menunggu hingga putusan akhir telah berkekuatan hukum tetap, objek tersebut
sebenarnya dikembalikan, namun harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 KUHAP.Dengan menunda ketiga unsur untuk menegakan hukum maka
akan lebih bijak jika majelis hakim di pengadilan mengembalikan objek pidana hak
tanggungan kepada kurator. Pengembalian ini memberikan manfaat yang lebih besar
kepada kreditor pemegang hak tanggungan untuk mendapatkan pelunasan sesuai dengan
perlindungan hukum jaminan dan hukum kepailitan, dan mampu memberikan kepastian
hukum para kreditor pemegang hak tanggungan serta menekan inharmonisasi antar
jaminan hukum, hukum kepailitan, dan hukum acara pidana.
17
Anggoro, Teddy. 2017. “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang”. vol. 1, no. 1, hlm. 79.
18
Sjahdeini, Sutan Remy. 2010. Hukum Kepailitan. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti., hlm. 237.
5
6
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari materi yang telah diberikan di makalah dengan judul “Tinjauan
Hukum atas Perlindungan Kepentingan Memiliki Hak Tanggungan dalam Penyelesaian
Kepailitan” ini maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut :
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat diartikan bahwa pemegang hak
tanggungan memiliki hak dan perlindungan hukum yang penting dalam proses
penyelesaian kepailitan. Mekanisme penyelesaian kepailitan memberikan kesempatan
bagi pemegang hak tanggungan untuk memperoleh pembayaran terlebih dahulu dari hasil
likuidasi aset debitur sebelum kreditur lainnya. Memiliki hak tanggungan juga dilindungi
oleh undang-undang dalam hal pemulihan pengumpulan dan pengambilan tindakan
hukum terhadap debitur yang tidak mematuhi kewajiban mereka. Namun terdapat
beberapa kendala yang dapat mempengaruhi perlindungan hak dan kewajiban pemegang
hak tanggungan dalam proses penyelesaian kepailitan. Beberapa kendala tersebut antara
lain keterlambatan dalam proses likuidasi aset, keberatan dari kreditur lain, serta
penyelewengan atau pemalsuan dokumen oleh debitur.
Oleh karena itu, diperlukan peran aktif dari pemerintah dan regulator dalam
memperkuat peraturan perundang-undangan dan perlindungan hukum bagi pemegang hak
tanggungan. Selain itu, pemegang hak tanggungan juga perlu memahami hak dan
kewajiban mereka dalam penyelesaian kepailitan agar dapat melindungi kepentingan
mereka secara efektif. Dalam rangka mencapai kepastian hukum dan melindungi
kepentingan semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian kepailitan, perlu adanya
kerjasama dan koordinasi yang baik antara pemegang hak tanggungan, kreditur lain, dan
pengurus kepailitan. Karena itu, penyelesaian kepailitan dapat dilakukan dengan adil dan
efektif bagi semua pihak yang terlibat.
3.2 Saran
Dari materi yang telah diberikan di makalah dengan judul “Tinjauan
Hukum atas Perlindungan Kepentingan Memiliki Hak Tanggungan dalam Penyelesaian
Kepailitan” ini maka penulis dapat memberikan saran berdasarkan kesimpulan yang telah
dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa saran yang dapat diambil untuk memperkuat
perlindungan hak dan kewajiban pemegang hak tanggungan dalam proses penyelesaian
kepailitan. Beberapa saran yang dapat diambil antara lain:
7
1. Pemerintah dan regulator perlu meningkatkan pengawasan dan
pengendalian dalam proses penyelesaian kepailitan, terutama dalam hal
likuidasi aset dan pemulihan piutang. Hal ini dilakukan untuk
meminimalkan terjadinya tindakan yang merugikan pemegang hak
tanggungan.
8
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja. (1999). Seri Hukum Bisnis Kepailitan.
Jakarta: Rajawali Press. Halaman 11.
Saliman, Abdul R. et al., Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh
Kasus, Kencana, Jakarta, 2004.
Hitam, Henry Campbell. Kamus Hukum Black, West Publishing Co., St.
Paul, Minn, AS. 1991.
9
Kreditor dan Pihak-Pihak Berkepentingan dalam Kepailitan. Bandung: PT Alumni.
UNDANG-UNDANG
JURNAL
0
Januar Agung Saputra, “Kedudukan Kreditor Memiliki Hak Tanggungan
Dalam Hal Debitor Pailit”, Jurnal Ius Constitutum Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta, Volume 1, Tahun 2017.
Douglas W. Arner, Charles D. Booth, Paul Lejot, dkk. 2006. “Hak Milik,
Agunan, Hak Kreditur, dan Kepailitan di Asia Timur”. Jurnal Hukum Internasional
Texas. Volume 42, Edisi 515. Texas : Universitas Texas.
Siti Hapsah. 2016. “Sita Umum Kepailitan Mendahului Sita Pidana dalam
Pemberesan Harta Pailit”. Jurnal Ilmu Hukum. Jilid 3, Nomor 3. Bandung :
Universitas Padjadjaran.