Anda di halaman 1dari 26

“AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT BAGI

KREDITUR”

MATA KULIAH HUKUM KEPAILITAN


DR. H. R. M. ANTON SUYATNO, S.H., M.HUM.

Oleh :
Nama : Ziela Rofahiyyat El Quswa
Batch : 43

PROGRAM MAGISTER
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
JAKARTA
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berkembangnya era globalisasi sangat membawa dampak terhadap

beberapa segi kehidupan di Indonesia baik di bidang social, ekonom, budaya, dan

lain-lain. Dalam di bidang ekonomi, adanya perkembangan di era globalisasi

semakin mendongkrak daya pikir manusia untuk melakukan suatu usaha ataupun

pengembangan di bidang usaha.

Untuk menjalankan suatu usaha, maka dibutuhkan dana yang cukup besar

untuk membiayai kegiatan usaha tersebut. Pada keadaan tertentu, orang atau

perusahaan tidak memiliki dana yang cukup untuk semua kebutuhannya. Maka,

orang atau perusahaan ini dapat melakukan pinjaman. Pinjaman tersebut dapat

diperoleh melalui kredit dari bank. Penyedia pinjaman lazimnya dapat disebut

dengan Kreditur dan penerima pinjaman disebut dengan Debitur.

Untuk mendapatkan pinjaman, hal yang harus dilakukan adalah membuat

suatu perjanjian kredit antara kreditor dan debitor. Suatu pemberian kredit harus

dilandasi oleh suatu perjanjian kredit, di mana perjanjian pinjam-meminjam

menjadi dasar acuan dalam perjanjian kredit.1

Pada dasarnya, kehadiran perusahaan tersebut tidak semuanya memperoleh

keuntungan dan memenuhi harapan seperti yang di rencanakan. Adakalanya suatu

1R. Anton Suyatno, Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui
Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan, (Depok:
Prenadamedia Group, 2016), hal. 31

2
perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik, seringkali keadaan keuangannya

sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar

utang-utangnya.2 Dunia usaha tidak dapat sepenuhnya terhindar dari permasalahan-

permasalahan baik yang bersumber dari dalam perusahaan itu sendiri, maupun dari

luar perusahaan.

Yang menjadi permasalahan adalah ketika perusahaan sebagai debitor atau

pihak yang memiliki utang karena perjanjian atau undang-undang yang

pelunasanya dapat ditagih di pengadilan, tidak mampu mengembalikan utang dari

kreditor atau pihak yang mempunyai piutang utang karena perjanjian atau undang-

undang yang pelunasanya dapat ditagih di pengadilan.

Oleh karena itu, dalam menjamin keadilan untuk masing-masing pihak,

pemerintah mengeluarkan peraturan tentang kepailitan. Di Indonesia, pada

dasarnya telah mengatur tentang kepailitan yang terjadi di dunia usaha, hal tersebut

dapat dilihat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kehidupan manusia sering mengalami pasang surut didalam pergaulan,

termasuk didalam suatu perjanjian yang diadakan antara para pihak dalam hal untuk

melaksanakan suatu prestasi sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1234 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata. Akibat dari tidak terlaksananya prestasi yang

telah diperjanjikan akan menimbulkan wanprestasi atau ingkar janji.

Wanprestasi didalam bisnis dapat terjadi karena tidak memenuhi prestasi

sama sekali, atau terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi secara

2 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di


Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 1.

3
tidak baik. Bagi dunia perniagaan/perdagangan, apabila debitur tidak mampu

ataupun tidak mau membayar utangnya kepada debitur untuk menyelesaikan utang

tersebut, dikenallah yang namanya lembaga kepailitan dan penundaan pembayaran.

Didalam dunia perniagaan debitur baru dapat dikatakan dalam keadaan pailit

apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan dengan suatu keputusan

hakim.

Debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya lagi atau

memang tidak mau untuk memenuhi kewajibannya sehingga menyebabkan

kepercayaan para krediturnya tidak ada lagi dapat dilakukan permohonan

kepailitan. Permohonan pailit dapat diajukan jika kondisi untuk mengajukan

permohonan dipenuhi. Syarat adanya pernyataan pailit adalah terdapat keadaan

berhenti membayar, dan harus terdapat lebih dari satu orang kreditur, dan salah

seorang dari mereka itu piutangnya sudah dapat ditagih. hakim harus menyatakan

pailit, bukan dapat menyatakan pailit, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak

diberikan ruang untuk memberikan pertimbangan yang luas seperti perkara lainnya.

Dari uraian di atas telah mendorong penulis untuk menulis penelitian ini

dengan judul: “AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT BAGI KREDITOR”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat

dirumuskan dua pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana akibat hukum putusan pailit?

2. Bagaimana akibat hukum putusan pailit bagi kreditor?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

4
1. Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum putusan pailit.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa akibat hukum putusan pailit bagi

kreditor.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun praktis, antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Perdata khususnya

Hukum Kepailitan mengenai akibat hukum dari putusan pailit. Penelitian

ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penilitian

yang sejenis dan memiliki keterkaitan sebagai bahan studi bagi

pengkajian selanjutnya yang lebih mendalam.

2. Manfaat Praktis

Bagi penulis, diharapkan hasil penulisan hukum ini dapat

menambah wawasan dan ilmu pengetahuan penulis dalam bidang hukum

dagang, khususnya terkait dengan permasalahan mengenai kepailitan.

Bahwa penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan gambaran yang

jelas mengenai informasi dan pengetahuan tentang akibat hukum putusan

pailit bagi debitor.

5
1.5. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman penelitian ini, maka penulis

menyampaikan rincian pembahasan yang dimulai dari pendahuluan dan diakhiri

dengan penutup. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut.

Bab pertama merupakan bagian pendahuluan yang membahas mengenai

signifikasi permasalahan yang menjadi objek penelitian dan sebagai dasar bagi

pelaksanaan penelitian dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu, dalam

bab ini secara berturut-turut dicantumkan tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua akan menguraikan mengenai teori-teori yang berkaitan topik

yang diteliti dalam penelitian ini.

Selanjutnya bab ketiga membahas tentang metodologi penelitian yang

terdiri dari beberapa sub bab yakni jenis penelitian, cara memperoleh bahan hukum,

sifat analisis, dan hambatan-hambatan penulis dalam penulisan dan

penanggulangannya.

Bab keempat membahas tentang akibat hukum putusan pailit secara umum

dan akibat hukum putusan pailit bagi kreditor.

Bab kelima yaitu penutup yang merupakan seluruh rangkaian pembahasan

dalam penelitian ini. Bab ini berisikan kesimpulan dan saran.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kepailitan

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.

Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi

keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.

Definisi kepailitan menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law

Dictionarynya adalah “Bankrupt is the state or condition of one who is unable to

pay his debts as they are, or become, due.”3 Kepailitan secara apriori dianggap

sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitor dalam

menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh

karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau

penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor.

Kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi

apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, di sanalah baru terasa baginya apa

artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan

mempengaruhi “credietwaardigheid”-nya dalam arti yang merugikannya, ia tidak

akan mudah mendapatkan kredit.4

3 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minnesota: West
Publishing Co., 1979), hal. 134.
4 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita,

1982), hal. 42.

7
2.2. Pengaturan Kepailitan

Sebagaimana kita ketahui sejak tahun 1847 pemerintah Belanda telah

mengundangkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (wet book van

koophandel), karena dahulu Belanda menjajah Indonesia, maka secara korkondasi

dinyatakan bahwa di Indonesia berlaku Hukum dagang Belanda. Didalam KUHD

tersebut juga diatur peraturan kepailitan yang tercantum pada buku ke III KUHD

yang berjudul van de voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden atau

tentang peraturan-peraturan mengenai ketidakmampuan perdagangan. Peraturan ini

termuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal 910 W.v.K, tetapi kemudian telah

dicabut berdasarkan Pasal 2 Verordening ter Invoering van de

Faillissementsverordening (S. 1906-348). Peraturan ini berlaku untuk pedagang

saja. Sedangkan kepailitan untuk bukan pedagang (pengusaha) diatur dalam

Reglement op de Rechtsvordering atau disingkat Rv (S.1847-52 jo. 1849-63), Buku

Ketiga, Bab Ketujuh, yang berjudul: Van den Staat van Kennelijk Onvermogen

(Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu), dalam Pasal 899 sampai dengan

Pasal 915, yang kemudian telah dicabut oleh S. 1906-348.5

Adanya dua buah peraturan ini telah menimbulkan banyak kesulitan dalam

pelaksanaannya, di antaranya ialah: banyak formalitas yang harus ditempuh, biaya

tinggi, terlalu sedikit bagi Kreditor untuk dapat ikut campur terhadap jalannya

proses kepailitan, dan pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama. Karena

adanya kesulitan-kesulitan tersebut, maka timbul keinginan untuk membuat

peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak banyak, agar

5https://ninyasminelisasih.com/2018/02/18/sejarah-hukum-kepailitan/, Sejarah
Hukum Kepailitan, diakses pada 10 Oktober 2019.

8
memudahkan dalam pelaksanaannya. Sehubungan dengan maksud tersebut, maka

pada tahun 1905 telah diundangkan Faillissementsverordening.6

Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het Faillissement en de

Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan Untuk

Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Untuk Orang-Orang Eropa). Berdasarkan

Verordening ter invoering van de Faillissementsverordening,

Faillissementsverordening itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 November

1906.

Dengan berlakunya Faillissementsverordening tersebut, maka dicabutlah:

1. Seluruh Buku III dari WVK.

2. Reglement op de Rechtsvordering, Buku III, Bab Ketujuh, Pasal 899 sampai

dengan Pasal 915.

Faillissementsverordening atau peraturan kepailitan, kemudian diubah

dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun

1998 tentang perubahan atas undang-undang tentang kepailitan. Perpu ini kemudian

ditetapkan sebagai undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998

tentang Kepailitan. Dan terakhir dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya

disebut dengan Undang-Undang Kepailitan).

Undang-undang kepailitan diperlukan untuk menghindarkan pertentangan

apabila ada beberapa kreditur pada waktu yang sama meminta pembayaran utang

piutangnya dari debitur. Untuk menghindari adanya kreditur yang ingin

6Catur Irianto, Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU,
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015, hal. 401.

9
mendapatkan hak istimewa, yang menuntut haknya dengan cara menjual barang

milik debitur atau menguasai sendiri tanpa menguasai sendiri secara tanpa

memperhatikan lagi kepentingan debitur atau kreditur lainnya. Dan untuk

menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh debitur sendiri,

misalnya saja debitur berusaha untuk memberikan keuntungan kepada seorang atau

beberapa kreditur tertentu, yang merugikan kreditur lainnya. Atau debitur

melakukan perbuatan curang dengan melarikan atau menghilangkan semua harta

benda kekayaan debitur yang bertujuan melepaskan tanggungjawabnya terhadap

para kreditur.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa yang

dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit

yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah

pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Selanjutnya Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai

dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah

jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik

atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Debitur dalam Pasal 1 peraturan kepailitan adalah setiap pribadi (person) maupun

badan hukum (recht person) dapat dinyatakan pailit.

2.3. Syarat Adanya Pernyataan Pailit

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan, maka syarat-

syarat yuridis agar debitur dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut:7

7H. Man S. Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hal. 88.

10
1. Adanya utang; Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri

maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya

2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo;

3. Minimal satu dari utang dapat ditagih;

4. Adanya kreditur dan Kreditur lebih dari satu;

5. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan;

6. Permohonan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;

7. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam undang-undang

kepailitan;

2.4. Tentang Permohonan Kepailitan

Menurut Pasal 1 Peraturan Kepailitan 1905 disebutkan bahwa permohonan

kepailitan dapat diajukan oleh debitor sendiri, kreditor atau jaksa untuk kepentingan

umum. Ketentuan tersebut lalu dilakukan perubahan dan dengan penambahan dua

lembaga lain yang dapat mengajukan permohonan kepailitan. Sehingga perubahan

ketentuan tersebut menjadi:8

1. Untuk dapat mengajukan permohonan pailit, sekurang-kurangnya debitor

harus mempunyai dua kreditor

2. Dalam hal menyangkut debitor yang merupakan bank, kepailitan hanya

dapat diajukan permohonannya oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud

‘bank’ adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

8R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Utang Sebagai Upaya


Mencegah Kepailitan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 30.

11
bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (telah diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998)

3. Dalam hal menyangkut debitor yang merupakan perusahaan efek,

permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas

Pasar Modal (Bapepam). Yang dimaksud dengan ‘perusahaan efek’ adalah

pihak yang melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek, perantara

perdagangan efek, dan/atau manajer investasi sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Mengikuti aturan diatas, maka untuk kepailitan ‘bank’ dan ‘perusahaan

efek’, debitor dan kreditor tidak diberi hak untuk mengajukan permohonan

pailit. Pembatasan untuk bank dan perusahaan efek seperti itu diperlukan untuk

mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kepailitan. Prinsip kehati-

hatian ini diperlukan untuk mencegah akibat-akibat ekonomis yang buruk

kepada masyarakat secara luas.9

2.5. Upaya Hukum dalam Kepailitan

Undang-Undang tentang Kepailitan meniadakan upaya hukum banding atas

putusan penetapan kepailitan. Upaya hukum atas putusan pengadilan tingkat

pertama (pengadilan niaga) hanyalah melalui kasasi ke Mahkamah Agung.

Ketentuan ini merupaka perubahan atau perbaikan dari peraturan kepailitan

(Faillisements Ferordening), yang memberikan kesempatan kepada pihak

9 R. Anton Suyatno, Op.cit., hal. 30.

12
tertentu untuk melakukan upaya hukum perlawanan dan banding (meskipun

dalam peraturan kepailitan tersebut tidak diatur upaya hukum kasasi).

Peniadaan upaya hukum banding seperti itu dimaksudkan agar proses

permohonan pailit dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat dan tidak

berbelit-belit.10 Maka proses kepailitan tidak berkepanjangan sebagaimana

yang biasa terjadi pada penyelesaian perkara perdata pada pengadilan negeri.11

Dalam hal ini selain upaya hukum kasasi, upaya hukum peninjauan kembali

juga dimungkinkan, sepanjang persyaratan sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 295 ayat (2) dapat dipenuhi. Terdapat dua alasan untuk dapat mengajukan

permohonan peninjauan kembali, yaitu:

1. Terdapat bukti tertulisa baru yang penting, yang apabila diketahui pada

tahap persidangan sebelumnya, akan menghasilkan putusan yang berbeda;

atau

2. Pengadilan niaga yang bersangkutan telah melakukan kesalahan berat

dalam penerapan hukum.

10R. Anton Suyatno, Op.Cit., hal. 32.


11Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh tentang Kepailitan, Pusat
Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jakarta, hal. 19-
24.

13
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum

yang dihadapi.12 Sugiyono menjelaskan lebih luas bahwa metode penelitian adalah

cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat

ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga

dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah.13

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum terbagi atas 2 yaitu penelitian hukum normatif dan

penilitian hukum empiris, menurut Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum

normatif dan empiris dapat dilakukan terpisah maupun secara bergabung.14

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, penelitian ini seringkali hukum

dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturam perundang-undangan atau

hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma.15

Penelitian yang digunakan dalam dalam penelitian ini yaitu penelitian

hukum secara normatif yang dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis

12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011, hal 35.
13 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif
dan R&D Bandung: Alfabeta, 2009 hal. 6
14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal 6.
15 Ibid, hal 13

14
data sekunder, yaitu untuk mengembangkan teori-teori atau prinsip-prinsip dasar

suatu disiplin ilmu pengetahuan dalam hal ini ilmu hukum

2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi 3, yaitu bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier. Dalam penelitian ini, penulis

menggunakan beberapa sumber bahan hukum yaitu:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-

undangan,catatan resmi, risalah dalam pembuatanperundang-undangan dan

putusan hakim.16 Undang-undang yang digunakan adalah yaitu Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks

berisi mengenai prinsip-prinsipdasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik

para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.17 Dalam penelitian ini bahan

hukum sekunder yang digunakan meliputi buku-buku ilmiah dibidang hukum,

jurnal dan artikel ilmiah.

3. Bahan Hukum Tretier

Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

16
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal 141.
17 Ibid, hal 142

15
3. Pendekatan penelitian

Keterkaitannya dengan penelitian normatif, pendekatan yang digunakan

dalam penulisan hukum menurut Peter mahmud Marzuki adalah sebagai berikut:

Pendekatan kasus (case approach), Pendekatan perundang-undangan ( statute

approach ), Pendekatan historis ( historical approach ), Pendekatan perbandingan

( Comparative approach ), Pendekatan konseptual (conceptual approach).18

Berdasarkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-

undangan.

4. Analisa data

Penelitian hukum normatif, pengolahan data dilakukan dengan sistematika

terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi

terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan

konstruksi.19 Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan

analisis kualitatif yaitu dengan menganalisis ketentuan dalam perundang-undangan

dan bahan kepustakaan lainnya, sehingga penulis dapat memperoleh jawaban dari

permasalahan yang diteliti.

18
Ibid, hal 93
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal 251-252

16
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Akibat Hukum Putusan Pailit Secara Umum

Dengan dijatuhkannya putusan pailit, mempunyai pengaruh bagi debitur

dan harta bendanya. Keputusan kepailitan dapat berakibat bagi sipailit sendiri

maupun terhadap harta kekayaannya, semenjak itu pula debitur pailit

kehilangan terhadap pengurusan dan penguasaan atas budelnya. Harta kekayaan

yang pengurusan dan penguasaannya berpindah kepada Kurator/BHP

sementara dalam bidang hukum keluarga debitur pailit bebas berbuat seolah-

olah tidak ada kepailitan.

Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan

pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Debitur

demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya

yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit

diucapkan.20

Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan

hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian, apabila dengan

perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi harta (boedel) si pailit.

Sebaliknya, apabila dengan perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan

merugikan boedel, maka kerugian itu tidak mengikat boedel.21

20 A. Wangsawidjaya Z., Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT. Gramedia


Pusataka Utama, 2012), hal. 387.
21 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 53.

17
Kendati telah ditegaskan, bahwa dengan dijatuhkannya putusan kepailitan,

harta kekayaan si pailit akan diurus dan dikuasai oleh BHP, namun tidak berarti

semua kekayaan si pailit harus diserahkan kepada BHP. Ada beberapa harta

yang dengan tegas dikecualikan dari kepailitan, yaitu:22

1. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari

2. Alat perlengkapan dinas

3. Alat perlengkapan kerja

4. Persediaan makanan untuk kira-kira satu bulan

5. Buku-buku yang dipakai untuk bekerja

6. Gaji, upah, pension, uang jasa, dan honorarium

7. Hak cipta

8. Sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim komisaris untuk nafkahnya

(debitur)

9. Sejumlah uang yang diterima dari pendapatan anak-anaknya.

Begitu pula hak-hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan

kekayaan, atau barang-barang milik pihak ketiga yang kebetulan berada di

tangan si pailit, tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya hak pakai dan hak

mendiami rumah.23

Segala perikatan debitur yang timbul sesudah putusan pailit diucapkan tidak

dapat dibayar dari harta pailit kecuali menguntungkan harta pailit. Putusan pailit

oleh pengadilan tidak mengakibatkan debitur kehilangan kecakapannya untuk

melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingebevoegd) pada umumnya,

22 Ibid.,
23 Ibid., hal. 54.

18
tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan

mengalihkan harta kekayaan nya saja. Debitur tidaklah berada dibawah

pengampuan.24 Dengan demikian debitur tetap dapat melakukan perbuatan

hukum lainnya yang menyangkut dirinya seperti menikah, menerima hibah,

atau bertindak sebagai kuasa. Untuk kepentingan harta pailit, kepada

Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum debitur yang

telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan

sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Menurut UU Kepailtan pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “Kepailitan

adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan

pemberesanya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan hakim pengawas

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Kepailitan mengakibatkan

seluruh kekayaan debitor serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan

berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan.25

Sitaan terhadap seluruh kekayaan debitor merupakan bagian dari

pengurusan harta pailit (management of estate). Pengurusan harta pailit ini

merupakan suatu cara untuk mengurus harta kekayaan debitor. Caranya ini

dilakukan dengan menunjuk beberapa wakil dari kreditor untuk mengontrol

semua harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit, serta diberikan kekuasaan

untuk mencegah, dalam bentuk peraturan, transaksi, perbuatan curang untuk

mentransfer kekayaan, mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikannya

24 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Curator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 44.
25 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 4.

19
kepada para kreditor.26 Sita umum dilakukan secara langsung terhadap semua

harta kekayaan yang dimiliki oleh debitor yang dinyatakan pailit untuk manfaat

semua kreditornya.

Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan mempunyai pengaruh terhadap

tuntutan-tuntutan hukum tertentu yang ditujukan kepada debitur. Tuntutan

mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh

atau terhadap kurator. Tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari

harta pailit yang ditujukan terhadap debitur pailit, hanya dapat diajukan dengan

mendaftarkannya untuk dicocokkan. Dari putusan kepailitan yang berpengaruh

terhadap tuntutan tertentu. Tuntutan tersebut ada 2 jenis, yaitu:27

a. Tuntutan-tuntutan pokok hak dan kewajiban.

b. Tuntutan untuk memenuhi suatu perikatan.

Sebaliknya tuntutan-tuntutan yang tidak secara langsung menyangkut

boedel yaitu tuntutan yang bersifat keluarga tidak berpengaruh terhadap

putusan pailit. Putusan-putusan kepailitan yang berpengaruh terhadap tuntutan

tertentu, tuntutan itu ada 2 jenis yaitu :

1. Tuntutan pokok hak dan kewajiban yakni tuntutan yang langsung pada

boedel, diajukan langsung ke BHP.

2. Tuntutan untuk memenuhi suatu Boedel yakni tuntutan yang bertujuan

untuk memenuhi dan mendapatkan yang ada dalam boedel harus diajukan pada

rapat verifikasi.

26 Siti Anisah, Kreditor dan debitor dalam Hukum di Indonesia, (Jakarta: Total
Media, 2008), hal.191
27 Zainal Asikin, Op.Cit., hal. 54.

20
2. Akibat Hukum Putusan Pailit Bagi Kreditor

Kepailitan mempunyai peranan untuk menyelesaikan bermacam macam

tagihan yang diajukan oleh kreditur-kreditur kepada debiturnya yang masing-

masing mempunyai karakter, nilai dan kepentingan yang berbeda-beda. Proses

dalam kepailitan dapat mengatur perbedaan perbedaan tersebut melalui

mekanisme pengolektifan penagihan piutang sehingga masing-masing kreditur

tidak secara sendiri-sendiri menyelesaikan tagihannya. Dengan adanya putusan

pernyataan pailit, maka semua harta pailit diurus dan dikuasai oleh kurator

untuk kepentingan semua para kreditur dengan diawasi pelaksanaannya oleh

Hakim Pengawas. Semua tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban

harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.

Semua tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap debitur sejauh

bertujuan untuk mendapat pelunasan suatu perikatan dari harta pailit dan

perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkannya putusan

pernyataan pailit terhadap debitur. Kondisi sebagaimana diatur dalam Undang-

undang Kepailitan tersebut mempunyai segi positif bagi para kreditur sehingga

masing-masing pihak akan memperoleh haknya secara adil sesuai proporsinya.

Pada dasarnya, kedudukan para kreditur sama (paritas creditorum) dan

karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi budelnya

pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu pro

rata parte). Namun asas tersebut dapat dikecualikan yakni untuk golongan

kreditur yang memenang hak anggunan atas kebendaan dan golongan kreditur

yang haknya didahulukan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU

21
dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karenanya, kreditur dapat

dikelompokkan sebagai berikut:28

a. Kreditur separatis

Merupakan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat

bertindak sendiri yang tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitur,

sehingga hak-hak eksekusi kreditur separatis ini tetap dapatdijalankan seperti

tidak ada kepailitan debitur. Kreditur separatis dapat menjual sendiri barang-

barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan. Debitur

mengambil hasil penjualan ini sebesar piutangnya, sedangkan jika ada sisanya

disetorkan ke kas kurator. Jika hasil penjualan tersebut tidak mencukupi, maka

kreditur separatis itu, untuk tagihan yang belum dibayar dapat memasukkan

kekurangannya sebagai kurator bersaing.

b. Kreditur preferen/istimewa

Merupakan kreditur yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan

mendapat hak untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta

pailit. Kreditur ini berada dibawah pemegang hak tanggungan dan gadai.

Menurut Pasal 1133 KUHPerdata, hak istimewa adalah suatu hak yang oleh

undangundang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya,

semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

c. Kreditur Konkuren

Kreditur konkuren/bersaing memiliki kedudukan yang sama dan berhak

memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik yang telah ada

28Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan Di Indonesia: Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), hal. 146.

22
maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi dengan

kewajiban membayar piutang kepada para kreditur pemegang hak jaminan dan

para kreditur dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan

besarnya piutang masing-masing kreditur.

Adanya prosedur Kepailitan memberikan keuntungan bagi kreditur yang

tidak sanggup atau tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan penagihan

atas utang-utang debitur. Namun demikian, bagi beberapa pihak terutama

kreditur konkuren kepailitan tersebut dapat memberikan dampak yang tidak

menguntungkan. Kreditur yang telah berupaya melakukan penagihan melalui

proses gugatan di Pengadilan Negeri dan telah mengorbankan banyak waktu

dan tenaga, dengan tiba-tiba harus dihentukan dengan adanya kepailitan.

Kreditur konkuren yang memiliki tagihan besar, mempunyai kekhawatiran

piutangnya tidak akan kembali karena asset debitur yang kemungkinan saat itu

lebih kecil dibandingkan hutangnya, sementara kreditur tersebut masih harus

mengalah pada kreditur pemegang jaminan dan kreditur istimewa lainnya.

23
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

1. Dengan dijatuhkannya putusan pailit, mempunyai pengaruh bagi debitur

dan harta bendanya. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat

putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh

selama kepailitan. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk

menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit,

sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

2. Adanya prosedur Kepailitan memberikan keuntungan bagi kreditur yang

tidak sanggup atau tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan

penagihan atas utang-utang debitur. Namun demikian, bagi beberapa pihak

terutama kreditur konkuren kepailitan tersebut dapat memberikan dampak

yang tidak menguntungkan. Kreditur yang telah berupaya melakukan

penagihan melalui proses gugatan di Pengadilan Negeri dan telah

mengorbankan banyak waktu dan tenaga, dengan tiba-tiba harus dihentukan

dengan adanya kepailitan. Kreditur konkuren yang memiliki tagihan besar,

mempunyai kekhawatiran piutangnya tidak akan kembali karena asset

debitur yang kemungkinan saat itu lebih kecil dibandingkan hutangnya,

sementara kreditur tersebut masih harus mengalah pada kreditur pemegang

jaminan dan kreditur istimewa lainnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

Buku
Adi Nugroho, Susanti, Hukum Kepailitan Di Indonesia: Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018

Anisah, Siti, Kreditor dan debitor dalam Hukum di Indonesia, Jakarta: Total
Media, 2008

Anton Suyatno, R., Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Kredit Macet Melalui
Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Tanpa Proses Gugatan Pengadilan,
Depok: Prenadamedia Group, 2016

Anton Suyatno, R., Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Utang Sebagai Upaya


Mencegah Kepailitan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia,


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001

Campbell Black, Henry, Black’s Law Dictionary, St. Paul Minnesota: West
Publishing Co., 1979

Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita,


1982

25
M. Situmorang, Victor, Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di
Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2011

Man S. Sastrawidjaya, H., Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2006

Nating, Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Curator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan


Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan


R&D Bandung: Alfabeta, 2009

Wangsawidjaya Z., A., Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: PT. Gramedia


Pusataka Utama, 2012

Jurnal
Irianto, Catur, Asas Kelangsungan Usaha dalam Perkara Kepailitan dan PKPU,

Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 3 November 2015

Sulaiman, Robintan, Joko Prabowo, Lebih Jauh tentang Kepailitan, Pusat Studi

Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jakarta

Internet
https://ninyasminelisasih.com/2018/02/18/sejarah-hukum-kepailitan/, Sejarah
Hukum Kepailitan, diakses pada 10 Oktober 2019.

26

Anda mungkin juga menyukai