Anda di halaman 1dari 22

Tugas Kelompok 03

(Minggu 8 / Sesi 12)


Pengantar:

Tugas kelompok ketiga akan mengambil bahan dari materi-materi yang dibahas pada minggu
keenam, ketujuh dan delapan baik yang berasal dari Lecturer Notes, materi ppt, buku yang menjadi
bahan referensi, dan peraturan perundangan yang terkait dengan materi minggu keenam, ketujuh, dan
kedelapan.
Uraian Tugas:
1. Tulisalah makalah yang berkaitan dengan permasalahan “klasula eksonerasi” dalam
perlindungan konsumen. Permasalahan yang diangkat haruslah merupakan peristiwa yang
dialami oleh salah satu anggota kelompok.
2. Analisa permasalahan tersebut menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan peraturan
perundang-undangan lain yang terkait.
3. Sistematika tulisan terdiri dari :
- Bagian Pertama : Latar Belakang (berisi tentang latar belakang atau deskripsi tentang
pengalaman anggota kelompok berkaitan dengan “klasula eksonerasi”)
- Bagian Kedua : Permasalahan (pokok permasalahan yang menjadi pertanyaan utama,
merupakan kalimat tanya)
- Bagian Ketiga : Pembahasan (analisis berdasarkan konsep dan teori serta berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku)
- Bagian Keempat : Kesimpulan (secara singkat menjawab hasil analisis dan sesuai dengan
pokok permasalahan yang diangkat)
- Bagian Kelima : Daftar Pustaka
4. Aturan penulisan: huruf TNR 12, spasi 1.5, margin masing-masing 3 cm, disusun dalam 5
sampai 7 halaman (tidak termasuk halaman cover). Tugas wajib dilengkapi dengan daftar
pustaka
5. Cantumkanlah sumber dari setiap kutipan yang diambil untuk bahan menulis tugas, terutama
pada setiap akhir kutipan dan harus sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam daftar pustaka
(misalnya jika dari buku, tulislah nama penulisnya, judul buku, tahun terbit dan halaman yang
dikutip. Jika dari sumber internet tulislah link sumber tersebut dan tanggal berapa kalian
mengakses sumber tersebut).
6. Dalam cover disebutkan judul, nama pembuat tugas dan nomor induk mahasiswa. Jika ada
nama mahasiswa yang tidak dicantumkan dalam lembar jawaban, maka dianggap tidak
aktif mengerjakan tugas.
== Selamat Mengerjakan ==

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif
sangat memerlukan pendanaan salah satunya yaitu, dalam bentuk kredit, mengingat modal yang
dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung
peningkatan usahanya atau mencukupi kebutuhan lainnya. Masyarakat memiliki kebutuhan yang
beragam, akan tetapi kebutuhan itu tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah ketersediaan alat
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu bantuan permodalan atau keuangan dari pihak
kreditur sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya kredit
telah memberikan berbagai kemudahan dalam lalu lintas ekonomi baik di desa maupun di kota, dalam
bidang perdagangan, perhubungan, pengembangan usaha, pembangunan perumahan dan pemukiman
dan dalam lalu lintas pasar modal. Kredit memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan
ekonomi karena kredit merupakan penunjang pembangunan dan merupakan urat nadi bagi para
pengusaha. Hal tersebut selaras dengan tujuan pemberian kredit di Indonesia adalah untuk
mensukseskan pembangunan, meningkatkan aktivitas perusahaan, memperoleh laba agar
kelangsungan hidup perusahaan terjamin dan dapat memperluas usahanya.Kata kredit berasal dari
bahasa Latin creditus yang merupakan bentuk past participle dari kata credere yang berarti to trust
atau faith. Kata trust itu sendiri berarti kepercayaan. Maksud dari kata kepercayaan bahwa si pemberi
kredit (kreditur) percaya kepada si penerima kredit (debitur) bahwa kredit yang disalurkannya akan
dikembalikan sesuai perjanjian dan syarat-syarat yang telah disetujui bersama. Sedangkan bagi si
penerima kredit (debitur) sebagai penerima kepercayaan mempunyai kewajiban untuk mengembalikan
(membayar kembali) kredit yang bersangkutan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kredit merupakan usaha pemberian bantuan permodalan atau keuangan berupa
barang, jasa atau uang. Dalam kredit para pihak yaitu kreditur dan debitur membuat perjanjian kredit
yang mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus dilaksanakan selama kredit
tersebut berlangsung sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Saat ini belum ada aturan yang lebih
khusus yang mengatur perjanjian kredit. Hukum perjanjian yang diterapkan dalam praktik hukum bagi
masyarakat Indonesia secara nasional pada saat ini, umumnya masih mengandalkan hukum perjanjian
sebagaimana yang termuat di dalam buku ketiga Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW).
Oleh karena itu dalam melakukan perjanjian kredit berpedoman pada Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang memuat asas kebebasan berkontrak.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sifatnya universal dan relevan
hingga

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


dewasa ini serta dikenal hampir dalam semua sistem hukum di setiap negara. Di dalam asas
kebebasan berkontrak terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak
melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang ingin
diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Sekalipun asas kebebasan
berkontrak diakui oleh KUH Perdata hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi
daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan ketimpangan
dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat perjanjian tidak sama kuat kedudukannya atau
mempunyai bargaining position yang sama.Perjanjian kredit yang salah satu asasnya berlandaskan
pada asas kebebasan berkontrak pada akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan bagi debitur.
Berdasarkan pengertian tersebut, berarti bahwa para pihak dapat membuat perjanjian apa saja
mengenai bentuk dan isinya, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Namun, seringkali substansi perjanjian tersebut lebih menonjolkan hak-hak dari pihak
kreditur yang cenderung menguntungkan kreditur sehingga melemahkan pihak debitur. Hal ini dapat
dilihat bahwa dalam perjanjian kredit seringkali mencantumkan perjanjian baku (standard contract)
yang didalamnya terdapat klausula yang banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak
perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya. Menurut Ahmad Miru perjanjian baku adalah
perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa
klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak
perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian
hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula
perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal
18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.6 Namun perlu diketahui
bahwa yang menjadi permasalahan dalam perjanjian baku adalah bukan pada perjanjian baku,
malainkan terdapatnya perjanjian baku (standard contract) yang bersifat eksonerasi (klausula
eksonerasi). Dalam praktiknya penggunaan perjanjian baku diikuti dengan adanya pencantuman
klausula eksonerasi biasanya berisi pengalihan tanggungjawab, pembebanan tanggungjawab atau
pembebasan tanggungjawab kreditur pada debitur. Klausula eksonerasi adalah syarat yang secara
khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul
dari pelaksanaan perjanjian. Klausul tersebut meyebabkan hubungan hukum antar para pihak
seringkali melemahkan posisi debitur karena secara sepihak kreditur sudah menyiapkan satu kondisi
perjanjian dengan adanya perjanjian baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh
pihak kreditur. Klausula eksonerasi ini sesungguhnya diatur pula dalam KUH Perdata, yaitu pada
Pasal 1493 dan Pasal 1494 KUH Perdata.9 Di dalam Pasal 1493 menyatakan bahwa:
“Kedua belah pihak, dengan persetujuan-persetujuan istimewa, boleh memperluas atau mengurangi
kewajiban yang ditetapkan oleh Undangundang ini, bahkan mereka boleh mengadakan persetujuan
bahwa penjual tidak wajib menanggung apapun”. Pasal 1494 KUH Perdata kemudian memberikan

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


pembatasan, yaitu bahwa:
“Meskipun telah diperjanjikan bahwa penjual tidak akan menanggung sesuatu apa pun, ia tetap
bertanggungjawab atas akibat dari suatu perbuatan yang dilakukannya, segala persetujuan yang
bertentangan dengan ini adalah batal”. Berdasarkan ketentuan Pasal-pasal dalam KUH Perdata
tersebut jelas bahwa dalam KUH Perdata pun klausula yang isinya berupa pelepasan tanggungjawab
atau pengalihan tanggungjawab tidak boleh dibuat dan dianggap batal.

PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang
mencantumkan klausula eksonerasi ?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi debitur terhadap
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit?
TUJUAN
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang
mencantumkan klausula eksonerasi.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum yang tepat bagi
debitur terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit.
MANFAAT
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis, diharapkan dapat menjadi pedoman sekaligus sebagai bahan masukan bagi
perkembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata dalam menganalisis permasalahan yang
menyangkut tentang pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
2. Manfaat Praktis, dapat dijadikan acuan lebih lanjut bagi para praktisi hukum (baik polisi, jaksa,
hakim, lawyer/pengacara) dalam menganalisis persoalan yang menyangkut tentang pencantuman
klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.

PEMBAHASAN
Akibat hukum terhadap perjanjian kredit bank yang mencantumkan
klausula eksonerasi

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


Dalam hukum perjanjian di Indonesia tidak melarang pembuatan
perjanjian baku atau klausula baku melainkan terdapatnya klausula baku yang
bersifat eksonerasi (klausula eksonerasi) yang biasanya berisi pengalihan
tanggungjawab atau pembebasan tanggungjawab pelaku usaha pada
konsumen.53 Namun dalam praktiknya masih banyak para pelaku usaha yang
membuat perjanjian baku dengan mencantumkan klausula eksonerasi, tanpa
memikirkan posisi debitur yang harus memikul tanggung jawab yang
seharusnya menjadi tanggung jawab para pelaku usaha selaku kreditur.
Ada beberapa faktor-faktor penyebab sehingga seringkali kontrak baku
menjadi sangat berat sebelah adalah sebagai berikut:54
1. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi salah satu pihak untuk melakukan
tawar-menawar, sehingga pihak yang kepadanya disodorkan kontrak tidak banyak
kesempatan untuk mengetahui isi kontrak tersebut, apalagi ada kontrak yang ditulis dengan
huruf-huruf yang sangat kecil.
2. Karena penyusunan kontrak yang sepihak, maka pihak penyedia dokumen biasanya memiliki
cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-klausula dalam dokumen tersebut,
bahkan mungkin saja sudah berkonsultasi dengan para ahli atau dokumen tersebut justru
dibuat oleh para ahli. Sedangkan pihak yang kepadanya disodorkan dokumen tidak banyak
kesempatan dan seringkali tidak familiar dengan klausula-klausula tersebut.
3. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku menempati kedudukan yang sangat tertekan,
sehingga hanya dapat bersikap “take it or leave it”.
Secara hukum sebenarnya kontrak baku itu sendiri tidak begitu menjadi
persoalan, mengingat kontrak baku sudah merupakan kebiasaan sehari-hari.
Yang menjadi persoalan adalah apabila kontrak baku tersebut mengandung
unsur-unsur yang tidak adil (berat sebelah) bagi salah satu pihak.
Berdasarkan hasil penelitian, berikut ini adalah pasal-pasal dalam
perjanjian kredit Bank Mandiri Kota Mataram yang isinya bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena pihak Bank
Mandiri selaku kreditur telah menggunakan perjanjian baku yang mengandung
klausula eksonerasi yang dimana pencantuman klausula eksonerasi dilarang
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, Pasal tersebut antara lain, yaitu:
1. Terdapat dalam Pasal 2 angka 2 mengenai agunan dan asuransi yang
menyatakan bahwa,
“Debitur wajib mengasuransikan agunan yang dapat diasuransikan (insurable) minimal atas resiko
kebakaran atau TLO (total loss only) dan dengan kondisi serta nilai pertanggungan menurut
ketentuan yang berlaku di Bank, kepada perusahaan asuransi yang menjadi rekanan Bank dengan

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


menggunakan syarat Banker’s Clause. Premi asuransi tersebut menjadi beban dan wajib dibayar
oleh debitur”. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Muh. Rasyddin keberadaan klausula
ini dianggap sangat penting karena asuransi adalah bentuk pertanggungan atau perlindungan atas
suatu objek dari ancaman bahaya yang dapat menimbulkan kerugian. Upaya ini dilakukan oleh
pihak bank selaku kreditur sebagai salah satu cara untuk mengurangi risiko dengan mengalihkan
risiko tersebut kepada perusahaan asuransi apabila terjadi bencana. Akan tetapi pengalihan risiko
tersebut dilakukan atas biaya yang dibebankan kepada debitur, padahal yang mendapat manfaat
dari perlindungan asuransi tersebut bukan hanya nasabah selaku debitur melainkan pihak bank
juga. Sehingga hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila: menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha”. Selain itu juga melanggar ketentuan
dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan, yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa
Keuangan dilarang: menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa
Keuangan kepada konsumen”.
2. Dalam Pasal 6 angka 3 mengenai “Kesanggupan Debitur” yang
menyatakan bahwa:
“Memberi izin kepada Bank untuk mengungkapkan semua hal ikhwal syarat dan ketentuan pinjaman
debitur, keadaan debitur, dan pinjaman debitur kepada pihak yang ditunjuk bank, termasuk pihak
yang akan membeli atau menerima peralihan piutang Bank terhadap debitur. Untuk maksud tersebut
diatas, debitur melepaskan haknya untuk menuntut/menggugat Bank tentang pengungkapan
keterangan ini, dan sepanjang perlu debitur memberi kuasa kepada Bank untuk mewakili dan
bertindak atas nama debitur untuk melakukan pengungkapan itu.
Dari Pasal tersebut diatas terlihat bagaimana kreditur melakukan tindakan sepihak berupa peralihan
piutang debitur dan kreditur dalam hal ini juga tidak ingin di tuntut atau di gugat secara hukum oleh
debitur dalam hal peralihan piutang tersebut, sedangkan pihak debitur oleh Undang Undang diberikan
kewenangan untuk menggugat kreditur jika debitur merasa dirugikan. Ketentuan yang mengatur
mengenai tindakan sepihak yang dilakukan oleh pihak kreditur adalah terdapat dalam Pasal 18 ayat 1
huruf d yang menyatakan bahwa:
“Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran”. Selanjutnya mengenai debitur dapat mengajukan gugatan terdapat
dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa:
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum”.
3. Selanjutnya dalam Pasal 8 mengenai Aneka Ketentuan dan Kedudukan Hukum, yang menyatakan
bahwa:
“Untuk pengakhiran perjanjian kredit, debitur dengan ini mengesampingkan semua peraturan
perundang-undangan yang mensyaratkan adanya suatu putusan pengadilan untuk pengakhiran suatu
perjanjian kredit ini oleh Bank, Bank tidak dapat diwajibkan atau dituntut untuk membayar ganti rugi
dalam jumlah berapapun juga kepada debitur”. Dari ketentuan Pasal tersebut diatas terlihat
bagaimana pihak Bank selaku kreditur tidak dengan jelas menentukan berakhirnya perjanjian kredit
Bank, pihak Bank juga tidak ingin diwajibkan atau dituntut untuk membayar ganti rugi kepada
debitur, hal ini tentu saja tidak adil bagi debitur sebab jika debitur tidak memenuhi salah satu
ketentuan yang termuat dalam perjanjian kredit yang di buat oleh kreditur, maka debitur akan
langsung dianggap lalai oleh Bank. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri mengatur
ketentuan mengenai berakhirnya suatu perjanjian. Dalam Pasal 1319 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata menetapkan semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam
bab kesatu dan kedua. Ini berarti perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak dikenal di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum
yang termuat di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1381 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengatur cara hapusnya perikatan yang dapat diberlakukan pula
pada perjanjian kredit bank. Namun dari beberapa ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1381,
umumnya kredit Bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal dibawah ini:
a. Pembayaran
Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitor, baik pembayaran utang pokok,
bunga, denda maupun biayabiaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitor. Pembayaran lunas
ini, baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitor melunasi kreditnya secara
seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause).
b. Subrogasi (subrogatie)
Subrogasi diatur dalam Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
“Subrogasi atau perpindahan hak kreditor kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada
kreditor, dapat terjadi karena persetujuan atau karena Undang-undang”. Subrogasi ini terjadi karena
adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditor lama oleh kreditor baru dengan mengadakan
pembayaran. Dengan adanya subrogasi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dipunyai oleh
kreditor lama beralih kepada pihak ketiga.

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


c. Pembaruan hutang (novasi)
Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan
debitor baru, dan kreditor lama dengan kreditor baru. Dalam hal ini, bila utang lama diganti dengan
utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi objektif”.
Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia perbankan adalah dengan mengganti atau
memperbarui perjanjian kredit bank yang ada. Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit
banknya dengan perjanjian kredit bank yang baru. Dengan terjadinya penggantian atau pembaruan
perjanjian kredit, otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku lagi.
d. Perjumpaan utang (kompensasi)
Dasar kompensasi ini disebutkan dalam Pasal 1425 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
“Jika dua orang saling berutang maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang, yang
menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut”.
Kondisi demikian ini dijalankan oleh bank dengan cara mengkompensasikan barang jaminan debitor
dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut.
4. Dalam perjanjian kredit Bank Mandiri Kota Mataram di bagian SYARAT
DAN KETENTUAN KREDIT USAHA MIKRO, bank menggunakan bahasa yang rumit untuk
langsung dipahami oleh debitur dalam waktu singkat, apalagi kebanyakan para debitur dapat
dikatakan sebagai orang awam yang tidak begitu paham mengenai bahasa-bahasa dalam perbankan,
kecuali para debitur prioritas bank yang sudah sering melakukan kredit atau memang para debitur
yang sudah paham akan bahasa yang digunakan dalam perbankan. Selain itu juga perjanjian kredit
pada Bank juga dicetak menggunakan huruf kecil, sehingga para debitur akan kesulitan bahkan
enggan sama sekali untuk membaca perjanjian kredit tersebut. Hal ini tentu saja bertentangan dengan
Pasal 18 ayat (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”. klausula yang berat
sebelah dalam kontrak baku biasanya mempunyai wujud sebagai berikut:
1) Dicetak dengan huruf kecil; 2) Bahasa yang tidak jelas artinya; 3) Tulisan yang kurang jelas dan
susah dibaca; 4) Kalimat yang kompleks; 5) Bahkan, ada kontrak baku yang tidak berwujud seperti
kontrak (kontrak tersamar), seperti tiket parkir, karcis bioskop, tanda penerimaan pembuatan foto,
dan lain-lain. 6) Jika kalimat ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak dicakan
oleh salah satu pihak. Misalnya, jika klausula eksemsi ditulis didalam kotak barang yang dibeli.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam isi perjanjian kredit di Bank diatas, hal
tersebut dapat dikategorikan klausul yang memberatkan debitor. Beberapa contoh dari
klausulaklausula
yang secara tidak wajar sangat memberatkan nasabah debitor, yaitu:

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


a) Kewenangan bank untuk sewaktu-waktu tanpa alasan apa pun dan tanpa pemberitahuan
sebelumnya secara sepihak menghentikan izin tarik kredit; b) Kewenangan bank untuk secara
sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal dilakukan penjualan barang agunan
karena kredit nasabah debitor macet; c) Kewenangan bank untuk secara sepihak sewaktu-waktu
mengubah tingkat suku bunga kredit; d) Kewajiban nasabah debitor untuk tunduk kepada segala
petunjuk dan peraturan bank yang telah ada dan yang masih akan ditetapkan kemudian oleh bank; e)
Keharusan nasabah debitor untuk tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum
hubungan rekening koran dari bank yang bersangkutan, namun tanpa sebelumnya nasabah debitor
diberi kesempatan untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum
hubungan rekening koran tersebut; f) Kuasa nasabah debitor yang tidak dapat dicabut kembali kepada
bank untuk dapat melakukan segala tindakan yang dipandang perlu oleh bank; g) Kuasa nasabah
debitor kepada bank untuk mewakili dan melaksanakan hak-hak nasabah debitor dalam setiap Rapat
Umum Pemegang Saham; h) Pembuktian kelalaian nasabah debitor secara sepihak oleh pihak bank
semata; i) Pencantuman klausula-klausula eksemsi yang membebaskan bank dari tuntutan ganti
kerugian oleh nasabah debitor atas terjadinya kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat tindakan
bank. Untuk mengetahui keabsahan dari perjanjian baku (perjanjian
standar) dalam perjanjian kredit bank maka penulis akan menganalisis berdasarkan ketentuan hukum
perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan.
1. Berdasarakan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan
adanya 4 syarat sahnya suatu perjanjian:
a. Kesepakatan kedua belah pihak Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Dalam perjanjian kredit bank ini para
pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian, terbukti dengan adanya tanda tangan
para pihak dalam perjanjian kredit bank. Penandatanganan suatu kontrak berarti bahwa para pihak
sudah setuju dengan kontrak tersebut, termasuk sudah setuju dengan isinya. Pemahaman hukum ini
mengarahkan bahwa para pihak harus terlebih dahulu membaca dan mengerti klausula-klausula
dalam kontrak, sebelum menandatangani kontrak tersebut, yang dikenal dengan asas “kewajiban
membaca kontrak” (duty to read).Namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, bahwa
pihak debitur sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk membaca isi dari akta perjanjian kredit
bank yang telah dibuat oleh bank. Para debitur hanya akan mengetahui isi dari akta perjanjian
tersebut saat dibacakan oleh pihak pegawai bank dibidangnya, yang dimana pihak bank tidak
membacakan keseluruhan dari isi akta perjanjian dan hanya membacakan hal-hal yang mereka
anggap penting saja karena alasan efisiensi waktu. Padahal berdasarkan hasil penelitian semua yang
terdapat dalam akta perjanjian merupakan hal-hal yang penting yang pihak debitur harus ketahui dan

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


satu persatu harus dijelaskan secara rinci maksud dan tujuan dari setiap pasalnya. Namun terlepas
dari hal itu pihak bank memberikan pilihan kepada debitur untuk tetap melakukan perjanjian kredit
atau tidak melakukan sama sekali atau yang di kenal dengan istilah take it or leave it. Sehingga dalam
hal ini dibutuhkan kecermatan dari pihak debitur itu sendiri dalam mengambil keputusan.
b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum Bank sebagai kreditur memiliki kecakapan dalam
bertindak secara hokum.
c. Adanya objek perjanjian Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek
perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan
apa yang menjadi hak kreditur. Dengan demikian dalam suatu perjanjian haruslah jelas apa yang
menjadi objek dari perjanjian tersebut, paling tidak dapat ditentukan jenisnya. Dalam perjanjian
kredit bank ini pihak bank selaku kreditur memiliki hak untuk menerima pembayaran angsuran dari
kredit yang dilakukan oleh debitur sedangkan kewajibannya adalah untuk memberikan informasi
secara jujur dan terbuka kepada debitur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan debitur dalam
perjanjian kredit tersebut.
d. Adanya causa yang halal Dari yurisprudensi dapat diketahui bahwa causa atau sebab yang halal
dimaknai dalam kaitan dengan maksud tujuan para pihak. Oleh karena itu, isi perjanjian harus
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak dan isi dari perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum sebagaimana diatur
dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Apabila dikaitkan dengan perjanjian kredit pada Bank yang telah
diuraikan diatas, maka perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan akibat hukum berupa batal demi
hukum karena tidak memenuhi syarat objektif mengenai causa yang halal. Sebagaimana berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 1337 KUH Perdata bahwa isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum, dalam pembuatan perjanjian baku
oleh Bank terdapat klausula eksonerasi yang dimana hal tersebut bertentangan dengan ketentuan
dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan Pasal 22 ayat (3) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan.
2. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diterbitkan dengan sangat jelas, namun
proses pelaksanaannya belum maksimal, dengan kata lain peraturan yang ada dalam Undang-undang
perlindungan konsumen ini tidak sesuai dengan praktek kehidupan masyarakat. Dalam beberapa
kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang
berkaitan dengan tanggungjawab dari pelaku usaha itu sendiri. Seperti halnya dalam perjanjian kredit
bank yang dilakukan oleh bank mandiri, dimana bank mandiri selaku kreditur mencantumkan
beberapa pasal dalam akta perjanjian kredit yang dibuatnya yang justru mengalihkan
tanggungjawabnya kepada debitur. Padahal hal tersebut tentu saja menyalahi ketentuan dalam Pasal

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan mengenai
ketentuan pencantuman klausula baku, yaitu mengatur ketentuan apa saja yang dilarang bagi pelaku
usaha yang membuat klausula baku atau perjanjian sepihak. Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila: a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan
dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak
kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa
konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau
hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara
jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan
oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan
klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Undang-undang perlindungan
konsumen sendiri tidak mempermasalahkan atau melarang adanya klausula baku, akan tetapi yang
menjadi permasalahan disini adalah pencantuman klausula baku yang mengandung klausula
eksonerasi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) diatas. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
larangan tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku
usaha berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Selain itu juga untuk mencegah kemungkinan
timbulnya tindakan yang merugikan konsumen karena faktor ketidaktahuan, kedudukan yang tidak
seimbang, dan sebagainya yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh
keuntungan. Namun kenyataannya banyak ditemukan klausula baku yang bertentangan dengan
Undangundang. Kemudian bila dikaitkan dengan perjanjian kredit bank yang dibuat oleh Bank
Mandiri Kota Mataram maka perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan akibat hukum berupa

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


batal demi hukum sebagaimana yang terdapat dalam pasal 18 ayat (3) karena pihak bank telah
melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf a dengan membuat perjanjian baku yang mengandung klausula
eksonerasi berupa pengalihan tanggungjawab pihak bank kepada debitur .
3. Berdasarkan POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan. Larangan penggunaan perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi dalam
Undang-undang ini terdapat dalam Pasal 21 yang berbunyi :
“Pelaku usaha jasa keuangan wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam
pembuatan perjanjian dengan konsumen.” Selanjutnya diatur juga dalam Pasal 22 yang berbunyi:
(1) Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut
wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Perjanjian baku sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku Usaha
Jasa Keuangan melalui media elektronik. (3) Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang: a. menyatakan pengalihan tanggung
jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada konsumen; b. menyatakan bahwa Pelaku
Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas
produk dan/atau layanan yang dibeli; c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala
tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. mengatur tentang kewajiban pembuktian
oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk
dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa
Keuangan; e. memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk
dan/atau jasa layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian
produk dan layanan; f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam
masa konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau g. menyatakan
bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak
tanggunan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen
secara angsuran. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen jika dikaitkan dengan perjanjian kredit bank yang dibuat oleh pihak Bank Mandiri Kota
Mataram selaku kreditur menimbulkan akibat hukum berupa batal demi hokum karena telah
melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (3) huruf a.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi pada
perjanjian kredit Bank dapat berakibat batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 1337
KUH Perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Oleh
karena itu untuk menghindari agar bank terhindar dari akibat hukum yang demikian, maka terhadap

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk perjanjian baku yang didalamnya mengandung klausula
eksonerasi harus diberikan penjelasan secara detail kepada nasabah selaku debitur tentang klausula
eksonerasi tersebut, bukan hanya dibacakan dan dimintai tandatangan tanpa memberikan penjelasan
yang membuat debitur mengerti maksud dari isi akta perjanjian tersebut.
D. Bentuk perlindungan hukum bagi debitur terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam
perjanjian kredit. Dalam masyarakat ada kesan bahwa dalam hubungan antara bank dan debitur, bank
selalu berada di posisi yang lebih kuat. Pada waktu kredit akan diberikan, umumnya memang bank
dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan calon debitur. Hal tersebut karena pada saat
pembuatan perjanjian itu, calon debitur sangat membutuhkan bantuan kredit itu dari bank.Umumnya
calon debitur tidak akan banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan
dibatalkan oleh bank. Hal ini menyebabkan posisi tawar-menawar bank menjadi sangat kuat.
Berdasarkan hal tersebut perlindungan hukum bagi nasabah selaku debitur di bidang perbankan
menjadi sangat penting karena perjanjian kredit yang dibuat menggunakan bentuk perjanjian baku
yang tidak mungkin dilakukan negosiasi antara debitur dengan pihak bank. Para debitur terpaksa
harus menandatangani perjanjian kredit karena kebutuhan akan dana yang bersumber dari kredit
tersebut. Namun seringkali pihak bank justru memanfaatkan keadaan ini untuk menekan debitur
dengan membuat perjanjian baku yang mengandung klausula-klausula yang memberatkan debitur
yang disebut klausula eksonerasi, dimana hal ini jelas dilarang oleh Undang-Undang. Berdasarkan
analisis yang dilakukan oleh penulis, penulis berpendapat bahwa pihak bank selaku kreditur yang
mempunyai kedudukan yang lebih kuat dan mempunyai kewenangan untuk menyusun perjanjian
kredit tersebut, semestinya dalam hal ini membuat klausula-klausula yang seimbang antara pihak
kreditur sendiri dengan pihak nasabah, karena bagaimana pun juga kedua belah pihak saling
membutuhkan dalam mengembangkan usahanya masing-masing. Larangan terhadap pencantuman
klausula eksonerasi ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak
yang memiliki kedudukan lebih kuat yang pada akhirnya akan merugikan debitur yang
kedudukannya lebih lemah. Larangan pencantuman klausula eksonerasi ini dapat ditemukan dalam
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta terdapat dalam
Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (3) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan
berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah yang berhubungan
dengan Bank. Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya
hukum perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004.
Arsitektur Perbankan Indonesia itu sangat penting dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang
sehat, kuat dan efisien. Membangun industri perbankan yang kuat dan sehat adalah suatu persyaratan
mutlak dalam perekonomian nasional, sebab melalui peran intermediasi perbankan itulah roda

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


perekonomian bisa digerakkan lebih cepat, sehingga stabilitas ekonomi juga dapat terpelihara.
Visi Arsitektur Perbankan Indonesia adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan
efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan nasional dalam rangka mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk merealisasikan pencapaian visi API tersebut maka ditetapkan 6 pilar
API. Keenam pilar API tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan struktur domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan
mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. 2. Menciptakan sistem
pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional. 3.
Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki
ketahanan dalam menghadapi resiko. 4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka
memperkuat kondisi internal perbankan nasional. 5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk
mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat. 6. Mewujudkan pemberdayaan dan
perlindungan konsumen jasa perbankan Berdasarkan keenam pilar Arsitektur Perbankan Indonesia
yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa keberadaan Arsitektur Perbankan Indonesia itu sangat
penting dalam rangka menciptakan industri perbankan yang sehat, kuat dan efisien, sehingga
perbankan mampu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Kemudian jika dikaitkan dengan
perlindungan konsumen perbankan, masalah tersebut mendapatkan perhatian yang khusus dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia, khususnya terdapat dalam pilar keenam. Hal ini menunjukkan
besarnya komitmen Bank Indonesia dan perbankan untuk memperkuat perlindungan debitur di dalam
perjanjian kredit bank. Pada dasarnya perlindungan terhadap debitur sudah diawali dengan adanya
asas keseimbangan dan keselarasan yang tercantum dalam norma dasar negara kita, yakni pancasila
khususnya sila kelima yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Berdasarkan asas
keseimbangan ini maka tidak dikehendaki adanya suatu hubungan yang timpang diantara sesama
manusia Indonesia di mana yang satu lebih kuat dan mendominasi yang lainnya. Asas ini kemudian
dituangkan dalam batang tubuh UUD 1945, mengatur bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ini berarti tidak ada seorang warga negarapun yang
memiliki kedudukan istimewa dimuka hukum. Begitu pula halnya terhadap debitur maupun kreditur
yang ada dalam perjanjian kredit bank. Semua adalah sederajat dan memiliki hak-hak yang seimbang
satu sama lain. Namun karena kedudukannya sebagai dasar negara dan UUD, perlindungan yang
diberikan ini masih begitu umum dan abstrak, sehingga masih memerlukan peraturan
perundangundangan
lain dibawahnya. Pelanggaran atas penyimpangan perjanjian dapat dalam bentuk
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. KUH Perdata membedakan dengan jelas antara
perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari Undang-Undang. Akibat hukum

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang
perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat
perjanjian. Sedangkan akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari Undang-Undang bisa saja tidak
kehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh Undang-
Undang. Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan
wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antara para pihak yang menimbulkan kerugian dan
pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara para pihak yang
menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian , maka dapat diajukan gugatan perbuatan
melawan hukum. Berikut adalah penjelasan mengenai wanprestasi dan perbuatan melawan hukum:
a. Wanprestasi
Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti “Kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati
kewajibannya dalam kontrak”. Wanprestasi adalah suatu keadaan dalam mana seorang debitor
(berutang) tidak melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul
karena kesengajaan atau kelalaian debitor itu sendiri dan adanya keadaan memaksa (overmacht).
Seorang debitor baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditor atau
jurusita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor atau jurusita. Apabila
somasi tersebut tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan.
Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitor wanprestasi atau tidak.
Pernyataan lalai sebagai syarat prosedural penentuan momen/saat terjadinya wanprestasi disimpulkan
dari substansi Pasal 1243 KUH Perdata, yaitu:
“Penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan,
bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang
telah ditentukan”.
Merujuk kepada Pasal 1243 KUH Perdata, dapat dipahami bahwa, suatu wanprestasi baru terjadi jika
debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dinyatakan
lalai untuk melaksanakan prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada jika debitor atau pihak
yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut tidak dapat membuktikan
bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu diluar kesalahannya atau karena keadaan memaksa.
Sehingga, “pernyataan lalai” adalah suatu rechtmiddel atau upaya hukum kontrak untuk sampai
kepada tahap debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak
tersebut dinyatakan “wanprestasi”. Di dalam Pasal 1249 KUH Perdata, ditentukan bahwa
penggantian kerugian yang disebabkan karena wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang,
ketentuan pasal tersebut antara lain yaitu:
“Jika dalam suatu perikatan ditentukan bahwa pihak yang lalai memenuhinya harus membayar suatu
jumlah uang tertentu sebagai ganti kerugian maka kepada pihak yang lain tak boleh diberikan suatu

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


jumlah yang lebih ataupun yang kurang dari jumlah itu”.
Dalam perkembangannya, menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu ganti rugi materil dan ganti rugi inmateriil. Kerugian materiil adalah suatu
kerugian yang diderita dalam bentuk uang/kekayaan/benda sedangkan kerugian inmateriil bukan
merupakan suatu kerugian dalam bentuk uang tetapi dalam hal seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan
lain-lain.
b. Perbuatan Melawan Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur pengertian perbuatan mewan hukum. Hanya
dalam Pasal 1365 KUHPerdata ditentukan syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian karena
perbuatan melawan hukum, jika kerugian itu timbul karena ada unsur kesalahan dari si pelaku.
Dalam Pasal 1365 KUH Perdata, menyatakan bahwa:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Dari
rumusan ini, bahwa ketentuan dalam Pasal 1365
KUHPerdata, mempunyai unsur-unsur:
1) Ada perbuatan melawan hukum Awalnya pengertian melawan hukum hanya diartikan secara
sempit yaitu sebagai perbuatan yang melanggar Undang-Undang saja, akan tetapi Hoge Raad dalam
kasusnya yang terkenal Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum adalah
Setiap perbuatan atau tidak berbuat yang: a) Melanggar hak subjektif orang lain (hak yang ditentukan
UndangUndang) b) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (kewajiban yang ditentukan
Undang-Undang) c) Bertentangan dengan tata susila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian,
dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
2) Ada kesalahan Apabila seseorang harus bertanggungjawab berdasarkan perbuatan melawan hukum
sebagaimana dimaksud Pasal 1365 KUHPerdata, maka orang itu harus bersalah. Kesalahan itu harus
dibuktikan oleh pihak yang menuntut ganti rugi atau beban pembuktian ada pada pihak penggugat
(Pasal 1865 KUHPerdata). Namun demikian ada kalanya suatu keadaan tertentu dapat meniadakan
unsur kesalahan, misalnya dalam hal adanya keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak
sehat pikirannya (gila). Namun Undang-undang perlindungan konsumen meletakkan beban
pembuktian kepada pihak tergugat atau pelaku usaha (Pasal 28 UUPK), dikenal dengan unsur
pembuktian terbalik. 3) Adanya kerugian Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur
tentang ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melawan hukum, sedangkan Pasal 1243
KUHPerdata memuat ketentuan tentang ganti kerugian karena wanprestasi. Maka menurut
jurisprudensi ketentuan ganti kerugian karena wanprestasi dapat diterapkan untuk menentukan ganti
kerugian karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum adalah
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya
perjanjian. 4) Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan Dari penjelasan
mengenai wanprestasi dan perbuatan melawan hukum tersebut diatas, kemudian dikaitkan dengan
hasil penelitian yang penulis lakukan, perjanjian baku yang dibuat oleh Bank Mandiri Kota
Mataram selaku kreditur dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum karena pihak Bank
Mandiri Kota Mataram selaku kreditur telah membuat perjanjian kredit bank yang mengandung
klausula eksonerasi, dimana klausula eksonerasi merupakan klausula terlarang yang diatur dalam
Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Pasal 22 POJK Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Berdasarkan penjelasan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata dapat ditentukan unsur-unsur
untuk mengajukan gugatan atas perbuatan melawan hukum adalah adanya perbuatan melawan
hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian yang timbul dan adanya hubungan kausal antara
perbuatan dan kerugian. Ketentuan ini hanya mengatur syarat yang harus dipenuhi bilamana
seseorang menderita kerugian yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum oleh orang lain
yang hendak mengajukan tuntutan ganti kerugian di hadapan Pengadilan Negeri.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa perlindungan terhadap debitur dibagi menjadi dua,
yakni bersifat preventif dan yang bersifat represif. Perlindungan preventif adalah perlindungan yang
sifatnya mencegah terjadinya suatu permasalahan, yaitu permasalahan yang timbul akibat
ditandatanganinya perjanjian kredit bank. Perlindungan ini lazimnya melalui peraturan
perundangundangan
yang memuat mekanisme yang menuntun pihak bank maupun debitur agar pada saat
pelaksaan perjanjian tidak menimbulkan permasalahan. Sedangkan perlindungan represif adalah
perlindungan yang diberikan terhadap debitur setelah terjadinya permasalahan dan bersifat
menanggulangi.
1. Perlindungan yang bersifat preventif ada dalam ketentuan Pasal-pasal sebagai berikut:
a. Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa:
“Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Dalam Pasal ini menegaskan bahwa bank dalam memberikan kredit harus sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yang antara lain memuat ketentuan.
1) Pemberian kredit dibuat dalam perjanjian tertulis Adanya ketentuan ini dikarenakan Undang-
Undang Perbankan tidak mengatur bagaimana seharusnya bentuk dari perjanjian kredit. Sehingga
untuk mengamankan kredit dan memberikan kepastian hukum, Bank Indonesia dengan Keputusan
Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/SIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 27/7/UUPPB
masing-masing dikeluarkan pada tanggal 31 maret 1995. Menetapkan bahwa setiap kredit yang

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


disetujui dan disepakati, harus dituangkan dalam perjanjian (akad) kredit secara tertulis.
2) Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit Dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No.27/162/KEP/DIR dan surat edaran bank indonesia

no.27/7/UUPB ditetapkan penyusunan kebijaksanaan perkreditan bank yang dapat dijadikan panduan
bagi bank dalam menyusun kebijakan perkreditannya. Paling tidak kebijakan tersebut memuat dan
mengatur hal-hal pokok mengenai prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan
manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi kredit,
pengawasan kredit serta penyelesaian kredit bermasalah. Dengan adanya ketentuan ini, bank dituntut
untuk tetap konsekuen atas kebijakan internal yang mereka buat dan tidak membuat perjanjian serta
memberikan kredit keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan sehingga kepentingan debitur dapat
dilindungi.
3) Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur persyaratan kredit
Dalam prakteknya bank sangat jarang memberikan informasi yang jelas kepada debiturnya, hal ini
tentu akan menyulitkan debitur, apalagi debitur adalah kelompok masyarakat dengan pengetahuan
minim, sehingga bukan tidak mungkin hal tersebut akan menyebabkan permasalahan antara
debitur dan kreditur dikemudian hari. Berdasarkan hal tersebutlah Bank Indonesia mengeluarkan
kebijakan agar bank wajib memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan selengkap-lengkapnya
kepada debitur.
b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa:
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok
yang sama dengan bank yang bersangkutan. (2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan
mengenai batas maksimum pemberikan kredit, atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat
dilakukan oleh bank kepada :
a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank
b. anggota Dewan Komisaris ; c. anggota Direksi ; d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c ; e. pejabat bank lainnya ; dan f. perusahaan-perusahaan yang
di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e. (4) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
c. Perlindungan preventif berikutnya yaitu dalam Pasal 2 UUPK

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan


secara umum mengenai perlindungan konsumen. Ada lima azas perlindungan konsumen, antara
lain sebagai berikut:
1. Azas manfaat, mengandung makna bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada konsumen maupun kepada
pelaku usaha.
2. Azas keadilan, mengandung makna bahwa baik konsumen maupun pelaku usaha diberikan
kesempatan untuk memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Azas keseimbangan, mengandung makna bahwa negara memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah baik dalam arti materiil maupun spiritual.
4. Azas keamanan dan keselamatan, berarti bahwa negara memberikan jaminan atas keselamatan
dan keamanan konsumen dalam pemanfaatan barang dan/atau jasa yang digunakan.
5. Azas kepastian hukum, berarti bahwa negara menjamin adanya suatu kepastian hukum kepada
konsumen maupun pelaku usaha dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(2). Selanjutnya yaitu perlindungan bersifat represif anatara lain terdapat
dalam pasal-pasal berikut ini:
a. Dalam Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan bentuk penyelesaian
sengketa yang dapat ditempuh oleh konsumen yang merasa dirugikan, Pasal tersebut menentukan
sebagai berikut:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang
berada di lingkungan peradilan umum. (2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa (3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang. (4) Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui
pengadilan hanya dapat hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil
oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
b. Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang
menyatakan bahwa: “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas
menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”.

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


c. Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam
bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang
dipersengketakan. Selanjutnya berdasarkan perlindungan yang bersifat represif sebagaimana
tersebut diatas maka kreditur akan mendapatkan sanksi berupa:
Dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan sanksi pidana
yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 yakni dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Sedangkan dalam Pasal 53 ayat (1) POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan telah
menentukan sanksi kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak yang melanggar
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan berupa sanksi administratif, yaitu:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang
tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha; dan
d. Pencabutan izin kegiatan usaha.

PENUTUP
C. KESIMPULAN
1. Perjanjian kredit di Bank Mandiri Kota Mataram menerapkan klausula eksonerasi yang
dilarang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan
POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan. Akibat hukum
dari penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit bank di Bank Mandiri Kota Mataram,
berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata dapat dinyatakan batal demi hukum karena tidak
terpenuhinya syarat sah perjanjian mengenai causa yang halal (syarat objektif), sebab telah
bertentangan telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata dimana isi
perjanjiannya telah mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dimana hal
tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3) POJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan. Selanjutnya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga berakibat batal
demi hukum karena telah melanggar ketentuan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Demikian juga berdasarkan POJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


berakibat batal demi hukum karena telah melanggar ketentuan dalam Pasal 22 POJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan.
2. Perlindungan terhadap debitur atas penggunaan klausula eksonerasi
meliputi:
a. Perlindungan preventif, yang bersifat mencegah permasalahan yang mungkin timbul akibat
ditandatanganinya perjanjian kredit bank, terdapat dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 11 Undangundang
Perbankan serta di Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

b. Perlindungan bersifat represif, perlindungan yang diberikan terhadap debitur setelah terjadinya
permasalahan dan bersifat menanggulanginya.
1) Terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada
di lingkungan peradilan umum.
2) Dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, bahwa penyelesaian melalui badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan
yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
3) Bank Indonesia menerbitkan peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam
bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang
dipersengketakan.

D. SARAN
1. Dalam pembuatan perjanjian kredit, bank harus memperhatikan klausula klausula yang
dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan, sehingga perjanjian
kredit yang telah dibuat tidak bisa dimintakan pembatalan ke pengadilan oleh debitur, akibat
memuat klausula yang dilarang oleh Undang Undang.
2. Bagi debitur hendaknya lebih memahami dahulu perjanjian baku yang ditawarkan bank dalam
perjanjian kredit, sehingga dapat terhindar dari kerugian yang diakibatkan adanya perjanjian baku
yang mencantumkan klausula eksonerasi. Bagi kreditur hendaknya tidak hanya memperhatikan
keuntungan atau takut akan kegagalan pengembalian kredit oleh debitur dengan cara
mencantumkan klausula eksonerasi. Akan lebih baik jika bank untuk meminimalisir terjadinya
kerugian yaitu dengan cara memberikan peringatan dan pemberitahuan kepada debitur akan
adanya atau berlakunya klausul-klausul penting dalam perjanjian sebelum atau pada saat

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic


penandatanganan perjanjian, menggunakan bahasa yang mudah untuk di pahami oleh debitur dan
memberikan waktu yang cukup bagi debitur untuk memahami isi dari perjanjian yang ditetapkan
oleh kreditur.

A. Buku
Asikin, Zainal dan Amiruddin dan, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
2014.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
Nasution, A.Z, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2001.
Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Soemirto, Hanitijo dalam Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif
dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013.
Soeroso, R., Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Suyatno, Thomas, H.A. Chalik, Made Sukada, C. Tinon Yunianti Ananda, Dasar-Dasar
Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.
Syaifuddin, Muhammad, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori,
Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung,
2016.
Tobing, Rudyanti Dorotea, Hukum Perjanjian Kredit Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi Yang
Berasaskan Demokrasi Ekonomi, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2014
Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003.
Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
Yudo, Sutarman dan Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Media Group, Jakarta, 2013.

LAWS6095 – Legal Aspect in Economic

Anda mungkin juga menyukai