Tugas kelompok ketiga akan mengambil bahan dari materi-materi yang dibahas pada minggu
keenam, ketujuh dan delapan baik yang berasal dari Lecturer Notes, materi ppt, buku yang menjadi
bahan referensi, dan peraturan perundangan yang terkait dengan materi minggu keenam, ketujuh, dan
kedelapan.
Uraian Tugas:
1. Tulisalah makalah yang berkaitan dengan permasalahan “klasula eksonerasi” dalam
perlindungan konsumen. Permasalahan yang diangkat haruslah merupakan peristiwa yang
dialami oleh salah satu anggota kelompok.
2. Analisa permasalahan tersebut menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan peraturan
perundang-undangan lain yang terkait.
3. Sistematika tulisan terdiri dari :
- Bagian Pertama : Latar Belakang (berisi tentang latar belakang atau deskripsi tentang
pengalaman anggota kelompok berkaitan dengan “klasula eksonerasi”)
- Bagian Kedua : Permasalahan (pokok permasalahan yang menjadi pertanyaan utama,
merupakan kalimat tanya)
- Bagian Ketiga : Pembahasan (analisis berdasarkan konsep dan teori serta berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku)
- Bagian Keempat : Kesimpulan (secara singkat menjawab hasil analisis dan sesuai dengan
pokok permasalahan yang diangkat)
- Bagian Kelima : Daftar Pustaka
4. Aturan penulisan: huruf TNR 12, spasi 1.5, margin masing-masing 3 cm, disusun dalam 5
sampai 7 halaman (tidak termasuk halaman cover). Tugas wajib dilengkapi dengan daftar
pustaka
5. Cantumkanlah sumber dari setiap kutipan yang diambil untuk bahan menulis tugas, terutama
pada setiap akhir kutipan dan harus sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam daftar pustaka
(misalnya jika dari buku, tulislah nama penulisnya, judul buku, tahun terbit dan halaman yang
dikutip. Jika dari sumber internet tulislah link sumber tersebut dan tanggal berapa kalian
mengakses sumber tersebut).
6. Dalam cover disebutkan judul, nama pembuat tugas dan nomor induk mahasiswa. Jika ada
nama mahasiswa yang tidak dicantumkan dalam lembar jawaban, maka dianggap tidak
aktif mengerjakan tugas.
== Selamat Mengerjakan ==
Latar Belakang
Setiap orang atau badan usaha yang berusaha meningkatkan kebutuhan konsumtif dan produktif
sangat memerlukan pendanaan salah satunya yaitu, dalam bentuk kredit, mengingat modal yang
dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak mampu mencukupi dalam mendukung
peningkatan usahanya atau mencukupi kebutuhan lainnya. Masyarakat memiliki kebutuhan yang
beragam, akan tetapi kebutuhan itu tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah ketersediaan alat
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu bantuan permodalan atau keuangan dari pihak
kreditur sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya kredit
telah memberikan berbagai kemudahan dalam lalu lintas ekonomi baik di desa maupun di kota, dalam
bidang perdagangan, perhubungan, pengembangan usaha, pembangunan perumahan dan pemukiman
dan dalam lalu lintas pasar modal. Kredit memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan
ekonomi karena kredit merupakan penunjang pembangunan dan merupakan urat nadi bagi para
pengusaha. Hal tersebut selaras dengan tujuan pemberian kredit di Indonesia adalah untuk
mensukseskan pembangunan, meningkatkan aktivitas perusahaan, memperoleh laba agar
kelangsungan hidup perusahaan terjamin dan dapat memperluas usahanya.Kata kredit berasal dari
bahasa Latin creditus yang merupakan bentuk past participle dari kata credere yang berarti to trust
atau faith. Kata trust itu sendiri berarti kepercayaan. Maksud dari kata kepercayaan bahwa si pemberi
kredit (kreditur) percaya kepada si penerima kredit (debitur) bahwa kredit yang disalurkannya akan
dikembalikan sesuai perjanjian dan syarat-syarat yang telah disetujui bersama. Sedangkan bagi si
penerima kredit (debitur) sebagai penerima kepercayaan mempunyai kewajiban untuk mengembalikan
(membayar kembali) kredit yang bersangkutan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kredit merupakan usaha pemberian bantuan permodalan atau keuangan berupa
barang, jasa atau uang. Dalam kredit para pihak yaitu kreditur dan debitur membuat perjanjian kredit
yang mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak yang harus dilaksanakan selama kredit
tersebut berlangsung sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Saat ini belum ada aturan yang lebih
khusus yang mengatur perjanjian kredit. Hukum perjanjian yang diterapkan dalam praktik hukum bagi
masyarakat Indonesia secara nasional pada saat ini, umumnya masih mengandalkan hukum perjanjian
sebagaimana yang termuat di dalam buku ketiga Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disingkat BW).
Oleh karena itu dalam melakukan perjanjian kredit berpedoman pada Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang memuat asas kebebasan berkontrak.
Menurut Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sifatnya universal dan relevan
hingga
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang
mencantumkan klausula eksonerasi ?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi debitur terhadap
pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit?
TUJUAN
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin
dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perjanjian kredit yang
mencantumkan klausula eksonerasi.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum yang tepat bagi
debitur terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit.
MANFAAT
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis, diharapkan dapat menjadi pedoman sekaligus sebagai bahan masukan bagi
perkembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata dalam menganalisis permasalahan yang
menyangkut tentang pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
2. Manfaat Praktis, dapat dijadikan acuan lebih lanjut bagi para praktisi hukum (baik polisi, jaksa,
hakim, lawyer/pengacara) dalam menganalisis persoalan yang menyangkut tentang pencantuman
klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
PEMBAHASAN
Akibat hukum terhadap perjanjian kredit bank yang mencantumkan
klausula eksonerasi
no.27/7/UUPB ditetapkan penyusunan kebijaksanaan perkreditan bank yang dapat dijadikan panduan
bagi bank dalam menyusun kebijakan perkreditannya. Paling tidak kebijakan tersebut memuat dan
mengatur hal-hal pokok mengenai prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan
manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi kredit,
pengawasan kredit serta penyelesaian kredit bermasalah. Dengan adanya ketentuan ini, bank dituntut
untuk tetap konsekuen atas kebijakan internal yang mereka buat dan tidak membuat perjanjian serta
memberikan kredit keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan sehingga kepentingan debitur dapat
dilindungi.
3) Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur persyaratan kredit
Dalam prakteknya bank sangat jarang memberikan informasi yang jelas kepada debiturnya, hal ini
tentu akan menyulitkan debitur, apalagi debitur adalah kelompok masyarakat dengan pengetahuan
minim, sehingga bukan tidak mungkin hal tersebut akan menyebabkan permasalahan antara
debitur dan kreditur dikemudian hari. Berdasarkan hal tersebutlah Bank Indonesia mengeluarkan
kebijakan agar bank wajib memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan selengkap-lengkapnya
kepada debitur.
b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang menyatakan bahwa:
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat
berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok
yang sama dengan bank yang bersangkutan. (2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan
mengenai batas maksimum pemberikan kredit, atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat
dilakukan oleh bank kepada :
a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank
b. anggota Dewan Komisaris ; c. anggota Direksi ; d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c ; e. pejabat bank lainnya ; dan f. perusahaan-perusahaan yang
di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, dan huruf e. (4) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
PENUTUP
C. KESIMPULAN
1. Perjanjian kredit di Bank Mandiri Kota Mataram menerapkan klausula eksonerasi yang
dilarang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan
POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan. Akibat hukum
dari penerapan klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit bank di Bank Mandiri Kota Mataram,
berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata dapat dinyatakan batal demi hukum karena tidak
terpenuhinya syarat sah perjanjian mengenai causa yang halal (syarat objektif), sebab telah
bertentangan telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata dimana isi
perjanjiannya telah mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dimana hal
tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3) POJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan. Selanjutnya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga berakibat batal
demi hukum karena telah melanggar ketentuan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Demikian juga berdasarkan POJK Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan
b. Perlindungan bersifat represif, perlindungan yang diberikan terhadap debitur setelah terjadinya
permasalahan dan bersifat menanggulanginya.
1) Terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada
di lingkungan peradilan umum.
2) Dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, bahwa penyelesaian melalui badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan
yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
3) Bank Indonesia menerbitkan peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam
bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang
dipersengketakan.
D. SARAN
1. Dalam pembuatan perjanjian kredit, bank harus memperhatikan klausula klausula yang
dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan POJK
Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan, sehingga perjanjian
kredit yang telah dibuat tidak bisa dimintakan pembatalan ke pengadilan oleh debitur, akibat
memuat klausula yang dilarang oleh Undang Undang.
2. Bagi debitur hendaknya lebih memahami dahulu perjanjian baku yang ditawarkan bank dalam
perjanjian kredit, sehingga dapat terhindar dari kerugian yang diakibatkan adanya perjanjian baku
yang mencantumkan klausula eksonerasi. Bagi kreditur hendaknya tidak hanya memperhatikan
keuntungan atau takut akan kegagalan pengembalian kredit oleh debitur dengan cara
mencantumkan klausula eksonerasi. Akan lebih baik jika bank untuk meminimalisir terjadinya
kerugian yaitu dengan cara memberikan peringatan dan pemberitahuan kepada debitur akan
adanya atau berlakunya klausul-klausul penting dalam perjanjian sebelum atau pada saat
A. Buku
Asikin, Zainal dan Amiruddin dan, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
2014.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003.
Nasution, A.Z, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2001.
Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Soemirto, Hanitijo dalam Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif
dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013.
Soeroso, R., Perjanjian Di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Suyatno, Thomas, H.A. Chalik, Made Sukada, C. Tinon Yunianti Ananda, Dasar-Dasar
Perkreditan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.
Syaifuddin, Muhammad, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori,
Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung,
2016.
Tobing, Rudyanti Dorotea, Hukum Perjanjian Kredit Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi Yang
Berasaskan Demokrasi Ekonomi, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2014
Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003.
Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
Yudo, Sutarman dan Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2004
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Media Group, Jakarta, 2013.