Anda di halaman 1dari 68

TINJAUAN PERJANJIAN LEASING TERHADAP KEMAMPUAN

BERPRESTASI LESSEE SEBAGAI JAMINAN UTAMA

BAGI LESSOR

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat

Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh :

SINGGIH SETYARDI

NIM.E. 0001226

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2005

1
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Dewasa ini pembangunan nasional telah terlihat nyata mengarah pada


berbagai segi kehidupan. Baik itu dibidang ekonomi, politik, sosial budaya,
hukum dan bidang-bidang kehidupan yang lainnya. Pembangunan nasional yang
menyeluruh ini tentu saja dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan bangsa
Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinia ke-4, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Tujuan bangsa Indonesia ini tentunya diarahkan pada tewujudnya
masyarakat adil, makmur, sejahtera, dan sentosa serta akan membawa pengaruh
dan perubahan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia dimasa yang akan
datang. Dimana pembangunan dibidang ekonomi sekarang ini terus meningkat
setiap tahunnya. Hal ini dapat terlihat dari setiap individu dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan konsumsi sehari-hari. Setiap individu
selalu berusaha meningkatkan pendapatannya dalam upaya meningkatkan taraf
hidup. Kemauan untuk meningkatkan taraf hidup inilah salah satunya dalam
bidang usaha atau bisnis. Bidang usaha atau bisnis ini tentunya memerlukan
modal baik dalam jumlah besar maupun kecil. Yang kemudian berpijak dari hal
tersebut, pembangunan ekonomi yang semakin meningkat, semakin diperlukan
pula adanya sumber-sumber pembiayaan ataupun permodalan yang beraneka
ragam, tidak hanya terbatas pada bank. Sehingga terciptalah lembaga-lembaga
penyandang dana yang kemudian dikenal dengan lembaga pembiayaan. Dimana
dalam lembaga pembiayaan ini ditawarkan model-model kegiatan pembiayaan
seperti; sewa guna usaha (leasing), modal ventura, perdagangan surat berharga,
anjak piutang, usaha kartu kredit, pembiayaan konsumen, dan lain sebagainya.
3

Masing-masing kegiatan tersebut berbeda dan mempunyai karakteristik sendiri-


sendiri, walaupun sama-sama bertujuan untuk memberi kemudahan financial bagi
perusahaan ataupun perseorangan yang membutuhkannya.

Salah satu model lembaga penyandang dana atau lembaga pembiayaan


yang disebutkan diatas adalah leasing. Leasing disini merupakan sumber
pembiayaan yang memberikan fasilitas pembiayaan berupa penyediaan barang
modal dengan prosedur untuk mendapatkannya relatif mudah. Dimana dalam hal
ini berbeda dengan prosedur untuk mendapatkan kredit pada suatu bank misalnya.
Dalam leasing perusahaan pembiayaan tidak perlu memberikan aturan-aturan
terhadap kredit yang akan diberikan, seperti apa yang diwajibkan untuk suatu
bank. Selain itu lembaga leasing memberikan keuntungan-keuntungan sendiri
antara lain seperti penghematan modal, memiliki unsur yang fleksibel disamping
prosedur untuk mendapatkannya relatif tidak terlalu rumit. Dengan kemudahan ini
tentunya sangat membantu badan-badan dan pengusaha-pengusaha di Indonesia,
terutama pengusaha industri kecil dalam mengatasi cara pembiayaan untuk
meperoleh alat-alat perlengkapan maupun barang modal yang mereka perlukan.

Namun seiring dengan perkembangan usaha leasing, timbul pula masalah-


masalah yang berhubungan dengan usaha ini. Baik itu menyangkut aspek
ekonomi, keuangan, perpajakan maupun hukum. Seperti yang telah dijelaskan
didepan, bahwa pembangunan nasional juga diarahkan pada sektor hukum. Maka
dari itu, mengenai leasing inipun di Indonesia telah diatur dalam pranata hukum
tersendiri. Sebagai dasar hukum subtantif, leasing tentunya berlandaskan pada
asas kebebasan berkontrak, sesuai dengan Pasal 1338 pada buku ke III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Sedangkan sebagai dasar
administratifnya antara lain di Indonesia telah diatur dengan Surat Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan
Sewa Guna Usaha (Leasing). Dengan demikian, usaha leasing ini telah
mempunyai dasar hukum untuk berlaku atau dilaksanakan di Indonesia. Sehingga
terdapat suatu aturan yang jelas yang memberikan kepastian hukum dalam
perkembangannya dimasyarakat.
4

Leasing sendiri tumbuh dan berkembang dalam praktek dunia usaha, oleh
karena memang dirasakan ada manfaatnya baik bagi pemerintah maupun bagi
pengusaha yang membutuhkannya. Leasing timbul di Indonesia, karena di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ke III yang mengatur tentang
perikatan menganut sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak, sehingga
dimungkinkan timbulnya suatu perjanjian jenis baru. Perjanjian jenis baru yang
belum diatur dalam dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ke III
tentang perikatan, dimungkinkan asal memenuhi syarat-syarat seperti, tidak
melanggar undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak
bertentangan dengan kepentingan umum. Pertumbuhan perjanjian jenis baru ini,
seperti perjanjian leasing adalah selaras dengan dinamika masyarakat yang selalu
mencari dan membutuhkan sesuatu yang dapat melayani atau memenuhi segala
kebutuhan hidup serta apa yang diperlukannya. Dan dalam prakteknya, leasing
senantiasa memerlukan adanya perjanjian, yang biasanya berbentuk tertulis. Hal
ini mempunyai maksud untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi masing-
masing pihak yang terikat dalam perjanjian leasing tersebut. Dalam Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1169/KMK.01/1991 tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) Pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa, “setiap
transaksi sewa guna usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa guna usaha
(Lease Agreement)”. Tentunya perjanjian ini dibuat antara lessor sebagai penyedia
dana untuk membeli barang modal (pihak kreditur) dan lessee sebagai pihak yang
membutuhkan dana untuk membeli barang modal (pihak debitur).

Selanjutnya mengenai bentuk dari perjanjian leasing biasanya dalam


bentuk perjanjian baku atau perjanjian standar, artinya perjanjian tersebut telah
dibuat sendiri oleh pihak lessor. Perjanjian standar atau perjanjian baku adalah
kontrak-kontrak yang telah dibuat secara baku (form standar), atau dicetak dalam
jumlah banyak dengan blanko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek
transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis dan jumlah barang yang
ditransaksikan dan sebagainya (Hasanuddin Rahman, 2003 : 197). Segala
ketentuan yang ada prinsipnya berlaku bagi setiap lessee, tentunya yang berbeda
adalah mengenai jenis barang dan harganya. Kata-kata atau kalimat pernyataan
5

kehendak yang termuat dalam syarat-syarat baku biasanya dibuat secara tertulis.
Jika lessee bersedia menerima syarat-syarat perjanjian yang diberikan lessor
kepadanya, maka ditandatanganilah perjanjian tersebut. Penandatanganan ini
menunjukkan bahwa lessee bersedia memikul segala tanggung jawab dikemudian
hari walaupun mungkin ia tidak bersalah. Sehingga disini pihak lessee berada
pada posisi yang kurang menguntungkan karena apabila lessee tidak setuju
dengan syarat-syarat yang diberikan lessor maka dia dapat dianggap menolak
perjanjian tersebut.

Seperti juga pada metode pembiayaan lainnya, dalam leasing juga terdapat
kekhawatiran-kekhawatiran pada diri lessor akan kemampuan lessee dalam
mengembalikan barang modal yang telah diberikan kepadanya ataupun
mengembalikan dana yang telah dikeluarkan beserta keuntungan-keuntungan yang
diharapkan dapat diterima kembali oleh lessor. Sebab, pada sistem pendanaan
dalam bentuk leasing, segera setelah barang modal atau dana dicairkan dan
diberikan oleh lessor kepada lessee maka sejak saat itu juga kedudukan lessor
menjadi krusial. Walaupun diharapkan nantinya barang modal itu sendiri (obyek
lease) dan jaminan-jaminan kebendaan yang ada menjadi jaminan yang cukup
efektif bagi lessor, tetapi dalam prakteknya sebelum para pihak sepakat untuk
mengadakan perjanjian leasing, tentunya terdapat rasa kekhawatiran pada diri
lessor. Apalagi dalam perjanjian leasing ini selalu melibatkan dana dalam jumlah
yang besar. Sehingga kekhawatiran akan itikad buruk lessee terhadap apa yang
telah diperjanjikannya tetaplah ada. Kekhawatiran ini meliputi kekhawatiran akan
kemampuan berprestasi lessee dalam melaksanakan perjanjian leasing tersebut.

Untuk itu sebelum menuju suatu arah penandatanganan perjanjian, lessor


perlu terlebih dahulu mengetahui bagaimana keadaan atau kondisi lessee termasuk
mengetahui dengan benar usaha yang dijalankannya. Hal ini dapat dilakukan
dengan melakukan penilaian-penilaian ataupun analisa terhadap kondisi atau
keadaan calon lessee. Baik mengenai latar belakang pribadi calon lessee maupun
latar belakang usahanya. Dimana analisa ini dapat meliputi analisa terhadap
keadaan keuangan, kelayakan kredit, dan kesanggupan membayar, yang bisa
menunjukkan adanya kemampuan berprestasi lessee. Dengan begitu lessor
6

sebelumnya dapat meminimalisir akan segala resiko yang dapat dideritanya


dikemudian hari dalam pelaksanaan perjanjian sampai berakhirnya perjanjian.
Sehingga dalam hal ini lessor dapat menentukan dengan baik apakah akan
menyetujui permohonan leasing dari lessee atau menolaknya dengan alasan lessee
tidak mempunyai kemampuan untuk berprestasi.

Sadar akan adanya resiko yang tentunya dapat merugikan lessor


dikemudian hari, maka dalam hal ini lessor harus dapat menentukan bentuk dan
isi perjanjian yang dapat memberikan rasa aman kepada dirinya. Bentuk dan isi
perjanjian yang dibuat oleh lessor harus dapat menunjukkan adanya kemampuan
berprestasi lessee. Sehingga ada keterikatan lessee untuk melaksanakan perjanjian
yang telah disepakatinya. Selain itu, seperti yang telah duraikan didepan, bahwa
perjanjian leasing selalu melibatkan dana dalam jumlah yang besar maka lessor
juga dapat terlebih dahulu menentukan jaminan-jaminan yang harus diberikan
oleh lessee yang sekiranya jaminan tersebut dapat menutupi apa yang telah
diberikan lessor beserta keuntungan-keuntungan yang diharapkannya. Dan pada
akhirnya dalam setiap usaha yang dijalankan,seperti juga dalam perjanjian leasing
tentunya terdapat permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul. Khususnya
dalam hal ini adalah permasalahan yang ada dalam kemampuan berprestasi lessee.

Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian sebagai
bahan penyusunan skripsi dengan judul : “TINJAUAN PERJANJIAN
LEASING TERHADAP KEMAMPUAN BERPRESTASI LESSEE
SEBAGAI JAMINAN UTAMA BAGI LESSOR”.

B. Perumusan Masalah.
7

Suatu rumusan permasalahan yang jelas dan tegas pada sebuah penelitian
akan dapat menghindari kemungkinan adanya data yang tidak diperlukan. Dengan
demikian maka penelitian akan lebih terarah pada tujuan yang ingin dicapai oleh
penulis. Maka dari perumusan masalah dalam kegiatan penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk dan isi perjanjian leasing yang menunjukkan
adanya kemampuan berprestasi lessee sebagai jaminan utama bagi
lessor?
2. Bagaimana aspek kemampuan berprestasi lessee dari jaminan yang
ada dalam perjanjian leasing tersebut?
3. Permasalahan-permasalahan apa yang ada pada kemampuan
berprestasi lessee sebagai jaminan utama bagi lessor?

C. Tujuan Penelitian.

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Hal tersebut


dimaksudkan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud
penelitian. Penelitian merupakan kegiatan ilmiah dimana berbagai data dan
informasi dikumpulkan, dirangkai, dan dianalisa yang bertujuan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan masalah
yang dihadapi.(Soeryono Soekanto, 1986 : 2 )

Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dilaksanakannya penelitian ini


antara lain adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif.
a) Untuk mengetahui bentuk dan isi dari perjanjian leasing yang
menunjukkan adanya kemampuan berprestasi lessee sebagai
jaminan utama bagi lessor.
b) Untuk mengetahui aspek kemampuan berprestasi lessee dari
jaminan-jaminan yang ada dalam perjanjian leasing.
c) Untuk mengetahui permasalahan-permaslahan apa saja yang
dihadapi dalam kemampuan berprestasi lessee.
8

2. Tujuan Subyektif.
a) Untuk memperoleh data-data sebagai bahan utama penyusunan
skripsi dengan persyaratan wajib bagi setiap mahasiswa dalam
meraih gelar kesarjanaan dibidang Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum UNS.
b) Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan
dan pengalaman penulis, serta pemahaman aspek hukum didalam
teori yang akan bermanfaat bagi penulis dikemudian hari.
c) Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu
pengetahuan hukum khususnya dalam hukum perjanjian, terutama
perjanjian leasing.

D. Manfaat Penelitian.

Didalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan


kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Manfaat yang dapat
diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah :

1. Manfaat Teoritis.
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya yang terkait
dengan pengelolaan dan pengaturan bisnis leasing di Indonesia.

2. Manfaat Praktis.
a) Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir
dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
rangka menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan.
b) Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
c) Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan
tambahan pengetahuan dalam hal pelaksanaan perjanjian leasing
bagi para pihak yang terkait.
E. Metode Penelitian.
9

Metodelogi merupakan suatu kegiatan ilmiah, dengan tujuan untuk


melakukan, mengembangkan atau menguji suatu kebenaran dari suatu
pengetahuan yang dilakukan secara metodologis dan sistematis. Metodologis
adalah menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah, sedangkan sistematis
adalah sesuai dengan pedoman atau peraturan yang berlaku untuk keja ilmiah.
Ilmu tentang metode-metode ilmiah untuk suatu penelitian disebut metodologi
research.(Sutrisno Hadi, 1985 :4)

Metodelogi merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada dalam suatu
penelitian dan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Fungsi metodelogi dalam
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :
(Soeryono Soekanto, 1986 : 7)
a) menambah kemampuan para ilmuan untuk mengadakan atau
melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap,
b) memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal
yang belum diketahui,
c) memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan
penelitian interdisipliner,
d) memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta
mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.

Menurut kebiasaan, metode dirumuskan dengan kemungkinan-


kemungkinan sebagai berikut : (Soeryono Soekanto, 1986 : 5)
a) suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan
penilaian,
b) suatu teknik yang umum dalam ilmu pengetahuan,
c) cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Dalam rangka mendapatkan data dan mengolah data yang digunakan


dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian.
10

Dilihat dari jenis datanya, penelitian ini disebut penelitian hukum


normatif/doktrinal yang bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif,
dimana data yang diperoleh oleh peneliti merupakan jenis data sekunder
yang didapat melalui studi kepustakaan. Oleh karena itu penulis cukup
mengumpulkan data sekunder dan selanjutnya diolah menjadi sebuah
laporan penelitian.

Penelitian normatif disebut juga penelitian studi dokumen. Dan disebut


penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini ditujukan pada peraturan-
peraturan yang tertulis, dalam hal ini adalah peraturan-peraturan yang terkait
dengan kegiatan usaha leasing. Disebut penelitian kepustakaan atau studi
dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data
yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.(Bambang Waluyo,
1991 :13-14)

2. Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian yang dipakai dalam penulisan hukum ini meliputi


ruang kepustakaan dan lokasi lain yang menyediakan data-data yang
diperlukan, seperti :
1. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Perpustakan lain yang mendukung.

3. Jenis Data.

Dilihat dari sumbernya, jenis data dalam penelitian ini disebut sebagai
data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Data
sekunder tersebut antara lain mencakup dokumen resmi, buku-buku, hasil
penelitian yang berwujud hasil laporan, buku harian, dan seterusnya.
(Soerjono Soekanto, 1986 : 12)
Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah : (Soerjono Soekanto & Sri
Mamudji, 2001 : 24)
a) data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready
made),
11

b) bentuk maupun isi data sekunder adalah terbentuk dan diisi oleh
peneliti-peneliti terdahulu,
c) data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu
dan tempat.

4. Sumber Data.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah sumber


data sekunder. Yang dimaksud dengan sumber data sekunder adalah bahan-
bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku-buku, laporan, arsip,
dan literatur yang berkaitan dengan obyek masalah yang diteliti.

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :


a) Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terutama Buku ke III,
Keputusan Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1999 tentang Kegiatan
Sewa Guna Usaha (leasing), peraturan-peraturan lain yang mendukung
atau mengatur tentang kegiatan leasing di Indonesia.

b) Bahan Hukum Sekunder.


Bahan hukum sekunder sebagai penunjang data sekunder dari bahan
hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku,
karya ilmiah, makalah, dan lain sebagainya yang membahas mengenai
leasing.

c) Bahan Hukum Tertier.


Bahan hukum tertier ini sebagai pendukung data sekunder dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedi.

5. Teknik Pengumpulan Data.

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang berupa penelitian


kepustakaan, yang merupakan teknik pengumpulan data dengan jalan
membaca, mengkaji dan mempelajari bahan-bahan referensi yang berkaitan
dengan materi yang diteliti untuk mendapatkan data sekunder. Metode ini
12

berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli
mengenai hal yang menjadi obyek penelitian. Teknik pengumpulan data
dengan studi pustaka juga berarti suatu pengumpulan data dengan cara
menginventarisasi dan mempelajari peraturan-peraturan perundang-
undangan, buku-buku, tulisan-tulisan, dan dokumen-dokumen lainnya yang
ada hubungannya dengan obyek yang diteliti.

6. Teknik Pengolahan Data.

Oleh karena data yang dipergunakan penulis dalam penulisan hukum ini
adalah data sekunder yang berupa dokumen-dokumen, maka teknik analisis
yang digunakan oleh penulis adalah Analisis Isi (Content Analysis), yaitu
teknik analisis data yang dilaksanakan dengan cara melengkapi isi dari suatu
data sekunder, berupa dokumen-dokumen yang merupakan suatu informasi
yang harus kita pahami maksudnya dengan perspektif yang kita pakai sesuai
dengan permasalahan yang diteliti. Sehingga dalam penulisan hukum ini,
analisis isinya adalah mengenai perjanjian leasing dan dasar hukum yang
mengaturnya.

F. Sistematika Penulisan Hukum.

Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh tentang penulisan hukum


ini, dan untuk memudahkan pemahaman penulisan hukum ini, maka perlu dibuat
sebuah sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis berusaha untuk memberikan gambaran awal
tentang penulisan hukum ini, yang meliputi latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian serta sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


Pada bab ini penulis menguraikan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan penelitian ini dan menjelaskan dari literatur,
sehingga pembaca dapat memahami tentang apa yang dimaksud
13

dengan perjanjian, serta khususnya perjanjian dalam bidang


leasing.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Bab ini merupakan penjelasan dari hasil penelitian yang penulis
lakukan yaitu berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan yang
menjadi acuan penulis untuk diteliti. Disamping itu, bab ini juga
memaparkan hasil pembahasan atas penelitian yang dilakukan
penulis, baik yang diperoleh melalui studi kepustakaan, melalui
dokumen-dokumen, jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku penunjang
maupun literatur lainnya yang berkaitan dengan kegiatan leasing.

BAB IV : PENUTUP
Akhirnya sebagai penutup dari penelitian ini, maka pada bab ini
penulis mengemukakan penutup yang terdiri dari kesimpulan,
saran-saran maupun implikasi yang diperoleh dari penulisan ini,
yang nantinya diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia hukum
pada umumnya, dan obyek penelitian pada khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori.

1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian.


14

Dewasa ini masih banyak para ahli hukum yang masih memperdebatkan
mengenai istilah yang digunakan untuk perjanjian yaitu ”verbintenis” dan
“overeenkomst”. Dan dari dua istilah tersebut para ahli hukum kita
memberikan terjemahan yang berbeda-beda ke dalam bahasa Indonesia.
Misalnya ada yang memakai istilah perikatan untuk “verbintenis” dan
perjanjian untuk “overeenkomst” ataupun sebaliknya, istilah perjanjian untuk
“verbintenis” dan persetujuan untuk “overeenkomst”.
Tetapi walaupun begitu, untuk lebih menyesuaikan dengan penelitian
ini, yang dimaksud penulis dengan istilah perjanjian adalah suatu pengertian
yang terdapat dalam perundang-undangan Hindia Belanda atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, terutama Pasal 1313. Jadi penulis memakai
istilah yang ada dalam Buku Ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang Perikatan.

a) Pengertian Perjanjian.

Ada beberapa pengertian perjanjian, baik itu merupakan terjemahan


dari “verbintenis” maupun “overeenkomst”. Pengertian perjanjian yang
merupakan terjemahan dari “overeenkomst” antara lain dikemukakan
oleh beberapa pakar atau ahli hukum di Indonesia. Perjanjian diartikan
sebagai suatu peristiwa dimana seorang kepada seorang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. (Subekti,
2001 : 1)
Perjanjian juga diartikan sebagai suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda antara dua pihak dalam mana satu pihak berjanji
atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu. (Wiryono Projodikoro, 1973 : 78)
Kemudian dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dinyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Ketentuan ini menurut Abdulkadir Muhammad kurang
15

memuaskan, karena ada beberapa kelemahan, kelemahan-kelemahan


tersebut antara lain :
(1) Hanya menyangkut sepihak saja.
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata
kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,
tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling
mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara para pihak.
(2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan
melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaak waarneming), tindakan
melawan hukum (onrechmatige daad) yang tidak mengandung
suatu konsensus seharusnya dipakai kata “persetujuan”.
(3) Pengertian perjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut terlalu luas, karena
mencakup juga perlangsungan perkawinan. Janji kawin yang diatur
dalam lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah
hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan hukum
kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ke III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian
yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
(4) Tanpa menyebut tujuan.
Dalam rumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas
untuk apa.
Dan apabila diperhatikan perumusan perjanjian yang terdapat dalam
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat disimpulkan
adanya unsur-unsur perjanjian, antara lain :(Abdulkadir Muhammad,
1982: 78)
(1) Adanya pihak-pihak dalam perjanjian.
16

Pihak-pihak ini disebut sebagai subyek perjanjian, yang


paling sedikit terdiri dari dua orang, dapat berupa manusia
pribadi ataupun badan hukum. Subyek perjanjian ini harus
mampu atau wenang untuk melakukan perbuatan hukum seperti
yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
(2) Adanya persetujuan antara pihak-pihak.
Persetujuan harus bersifat tetap, bukan sedang berunding.
Persetujuan harus ditunjukkan dengan penerimaan tanpa syarat
atau suatu tawaran. Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu,
diterima oleh pihak yang lain.
(3) Adanya suatu tujuan yang hendak dicapai.
Tujuan mengadakan perjanjian adalah untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan para pihak. Tujuan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan tidak
dilarang oleh undang-undang.
(4) Adanya prestasi yang akan dilaksanakan
Dengan perjanjian akan timbul kewajiban untuk
melaksanakan prestasi, dan prestasi ini merupakan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat
perjanjian yang telah disepakati bersama.
(5) Ada bentuk tertentu.
Bentuk perjanjian perlu ditentukan, sebab dalam undang-
undang terdapat ketentuan bahwa hanya dengan bentuk tertentu
suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan
bukti. Perjanjian dapat berbentuk lisan maupun tertulis yang
berupa akta.
(6) Adanya syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tertentu ini sebenarnya merupakan isi dari
perjanjian. Dari syarat-syarat inilah dapat diketahui hak dan
kewajiban para pihak.
17

Sedangkan pengertian perjanjian yang merupakan terjemahan dari


“verbintenis” juga dikemukakan oleh para ahli hukum kita. Prof.
Subekti. SH, menerjemahkan perikatan adalah suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (Subekti, 2001 :1). Jadi
hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak merupakan hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan yang menimbulkan hak dan
kewajiban atau suatu prestasi bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
Dari berbagai pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
perjanjian merupakan suatu perhubungan hukum yang menimbulkan
suatu kewajiban bagi para pihak, sehingga dengan pelaksanaan
kewajiban ini para pihak tidak akan saling merugikan antara satu dengan
yang lainnya.

b) Asas-Asas Umum Hukum Perjanjian.

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, yaitu antara lain :

(1) Asas Kebebasan Berkontrak.


Asas ini diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ayat (1) bahwa semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagi undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, dan asas ini sangat penting dalam hukum perjanjian.
Asas ini berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan
menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Artinya
setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja baik yang
sudah diatur dalam undang-undang maupun yang belum diatur
dalam undang-undang.

(2) Asas Konsensualisme.


Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang mengatur syarat sahnya perjanjian,
18

menjelaskan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah


sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Dalam pasal ini tidaklah
disebutkan suatu formalitas tertentu disamping kesepakatan yang
telah dicapai, sehingga disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu
sudah sah (dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian tersebut.

(3) Asas Personalia.

Menurut Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,


pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan dirinya
sendiri. Asas tersebut dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian
(Subekti, 2001:29). Pada dasarnya perjanjian hanya akan melahirkan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara para pihak yang
membuatnya. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
pihak tersebut demi hukum hanya mengikat para pihak yang
membuatnya. Hal ini dipertegas lagi dalam Pasal 1340 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, dimana perjanjian itu hanya
berlaku bagi para pihak yang membuatnya dan tidak akan berlaku
bagi pihak ketiga kecuali disepakati lain oleh para pihak.
Pengecualian ini terdapat dalam Pasal 1317 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga. Kemudian Pasal
1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memperluas personalia
perjanjian, hingga meliputi para ahli waris dari pihak-pihak yang
mengadakan suatu perjanjian tersebut.

(4) Asas Kekuatan Mengikat.

Disebut juga Pacta Sunt Servanda. Di dalam perjanjian


mengandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak
dalam perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang
diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain
19

sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.


Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
perjanjian tidak hanya mengikat kedua belah pihak untuk hal-hal
yang secara tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi meliputi juga
hal-hal diluar perjanjian, yakni yang diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang. Asas ini memberikan kepastian
hukum bagi para pihak yang membuatnya.

(5) Asas Kepercayaan.

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain


harus dapat menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak bahwa
satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa
adanya kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin akan
diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak
mengikatkan diri kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan
mengikat sebagai undang-undang.(Mariam Darus Badrulzaman,
1994:42)

(6) Asas Itikad Baik.

Dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata, menyatakan bahwa tiap orang dalam membuat perjanjian
harus dilakukan dengan itikad baik. Asas ini dapat dibedakan antara
iktikad baik subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam
melaksanakan suatu perbuatan hukum. Dan itikad baik yang
obyektif dapat diartikan sebagai pelaksanaan suatu perjanjian yang
harus didasarkan pada norma yang berlaku.

c) Syarat Sahnya Perjanjian.

Suatu perjanjian dapat dianggap sah, bila perjanjian itu memenuhi


syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yaitu :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
20

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,


(3) Suatu hal tertentu,
(4) Suatu sebab yang halal.
Dari ke empat syarat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua
syarat. Yang pertama, dinamakan syarat subyektif, karena dua syarat
pertama mengenai pihak-pihak atau subyek yang mengadakan
perjanjian. Apabila syarat subyektif ini tidak dapat terpenuhi maka
perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan yang kedua, dinamakan syarat
obyektif. Karena dua syarat terakhir mengenai perjanjiannya sendiri atau
obyek dari perjanjian tersebut. Dan apabila syarat obyektif ini tidak
terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.
Selanjutnya mengenai syarat-syarat perjanjian dapat dijelaskan
sebagai berikut :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Menurut Prof. Subekti, SH, dengan sepakat atau juga
dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu
(Subekti, 2001 : 17). Kedua belah pihak harus mempunyai
kemampuan bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan dengan
dinyatakan dalam suatu perjanjian. Kata sepakat antara para pihak
adalah kecocokan antara kehendak atau kemauan dari kedua belah
pihak yang mengadakan persetujuan. Dalam Pasal 1321 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, kemauan yang bebas untuk suatu
perjanjian yang sah dianggap tidak ada jika perjanjian tersebut
terjadi dikarenakan :
a) Paksaan (dwang),
Yaitu paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), bukan
paksaan badan (fisik). Paksaan tersebut adalah suatu
ancaman yang merupakan perbuatan terlarang. Apabila yang
diancamkan itu suatu tindakan yang memang diizinkan oleh
21

undang-undang, misalnya ancaman akan digugat dimuka


pengadilan, maka tidak dapat dikatakan ada suatu paksaan.
Paksaan ini mungkin saja dapat dilakukan oleh pihak ketiga.
Lain halnya dengan penipuan, yang hanya dapat dilakukan
oleh pihak lawan.
b) Kekhilafan atau kekeliruan (dwaling),
Yaitu apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang
pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat
yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian,
ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga
seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut,
ia tidak akan memberikan persetujuannya.
c) Penipuan (bedrog).
Terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak
benar, disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak
lawannya agar memberikan suatu perizinan. Pihak yang
menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan
pihak lawannya .
Dalam suatu perjanjian, pernyataan kehendak antara pihak
yang satu dengan yang lain tidaklah dipandang cukup. Pernyataan
kehendak itu harus diikuti dengan kata sepakat antar para pihak.
Sehingga terdapat realisasi nyata dari pernyataan kehendak
tersebut. Apa yang dikehendaki oleh salah satu pihak juga
dikehendaki pihak yang lain.
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Seseorang adalah tidak cakap, apabila ia pada umumnya
berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu membuat
sendiri persetujuan-persetujuan dengan akibat-akibat hukum yang
sempurna, seperti orang yang berada dibawah pengampuan dan
22

perempuan yang bersuami (R. Setiawan, 1999 : 61). Pada dasarnya


setiap orang dianggap cakap menurut hukum apabila telah dewasa
atau akhil baliq dan sehat pikirannya. Menurut Pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa yang tidak
cakap membuat perjanjian meliputi :
a) orang-orang yang belum dewasa,
b) mereka yang ditaruh dibawah pengampuan,
c) orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-
undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Dalam Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, juga
telah diatur mengenai orang-orang yang belum dewasa, yaitu
mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun,
dan tidak lebih dahulu telah kawin. Sehingga bagi yang belum
berumur dua puluh satu tahun tetapi telah kawin, maka mereka
dianggap telah dewasa.
Sedangkan untuk orang yang berada dibawah pengampuan,
orang tersebut bukan lagi menjadi subyek hukum dan oleh karena
itu perbuatan perdata dari orang tersebut tidak sah menurut hukum.
Dan yang dimaksud dengan orang perempuan dalam undang-
undang adalah seorang perempuan yang bersuami. Pasal 108 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menerangkan bahwa seorang
perempuan yang bersuami untuk melakukan perjanjian
memerlukan bantuan atau ijin tertulis dari suaminya. Namun
dengan dikeluarkannya SEMA No.3/1963 oleh Mahkamah Agung,
maka wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum
dan untuk menghadap didepan pengadilan tanpa ijin atau bantuan
suaminya sudah tidak berlaku lagi.
(3) Suatu hal tertentu.
23

Suatu hal tertentu adalah pokok atau obyek perjanjian dan ini
merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yaitu bahwa dalam suatu perjanjian harus
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Menurut Prof. Subekti, S.H, suatu hal tertentu
diartikan sebagai apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban
kedua belah pihak jika timbul perselisihan (Subekti, 2001 :19). Jadi
syarat ketiga ini digunakan untuk menetapkan hak dan kewajiban
kedua belah pihak. Apabila prestasi tidak dapat dilaksanakan, maka
hal ini dianggap tidak ada obyek yang diperjanjikan.
(4) Suatu sebab yang halal.
Arti dari sebab yang halal dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata adalah sebab dalam arti isi perjanjian yang
diadakan itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang hendak
dicapai, bukan sebab dalam arti yang menyebabkan atau
mendorong orang membuat perjanjian. Menurut undang-undang,
sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan
selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

d) Akibat Hukum Perjanjian.

(1) Akibat hukum perjanjian yang sah.


Suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi ketentuan
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang syarat
sahnya perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang
sah dapat mendatangkan tiga hal yaitu :
a) Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat.
Maksudnya adalah bahwa pihak-pihak yang membuat
perjanjian harus mentaati perjanjian tersebut sebagai suatu
peraturan perundangan yang mengikat. Jika ada yang
24

melanggar perjanjian maka harus menanggung akibat hukum


tertentu.
b) Tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak.
Perjanjian yang telah dibuat, mengikat para pihak yang
membuatnya. Perjanjian tidak dapat dibatalkan secara sepihak
tanpa persetujuan pihak yang lain. Tetapi bila ada alasan yang
cukup menurut undang-undang, maka perjanjian itu dapat
dibatalkan secara sepihak. Yaitu meliputi perjanjian yang
bersifat terus menerus, dimana berlakunya dapat dibatalkan
secara sepihak atau perjanjian pemberian kuasa, dimana
pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya apabila ia
menghendaki.
c) Dilaksanakan dengan itikad baik.
Pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi
yang dimaksud itikad baik disini adalah ukuran obyektif untuk
menilai pelaksanaan perjanjian itu. Pelaksanaan tersebut harus
sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan,
sehingga hal tersebut dapat dipandang adil.

(2) Akibat hukum perjanjian yang tidak sah.


Perjanjian yang tidak sah berarti adalah perjanjian yang tidak
memenuhi syarat sahnya perjanjian, Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Ada dua akibat hukum yaitu :
a) Untuk perjanjian yang tidak memenuhi suatu syarat obyektif,
yaitu mengenai tidak adanya suatu hal tertentu atau suatu
sebab yang halal, maka berakibat perjanjian itu batal demi
hukum. Artinya dari semula memang tidak ada suatu
perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan diantara para
pihak yang bermaksud membuat perjanjian itu. Salah satu
pihak tidak dapat menuntut pihak lain di depan hakim, karena
dasar hukumnya tidak ada.
25

b) Sedangkan apabila tidak terpenuhi syarat subyektif, yaitu


mengenai kesepakatan atau kecakapan para pihak, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak,
yaitu pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang
memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu
secara tidak bebas berhak meminta pembatalan perjanjian
tersebut.

e) Macam/Jenis Perjanjian.

Macam atau jenis perjanjian ini antara lain meliputi :


(1) Perjanjian Konsensuil.
Bahwa lahirnya perjanjian adalah dimana terdapat kata
“sepakat” saja antara para pihak yang sudah cukup untuk
timbulnya suatu perjanjian. Dengan kata sepakat untuk
mengadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak
mempunyai kebebasan kehendak yang harus disetujui diantara para
pihak tersebut.
(2) Perjanjian Riil.
Adalah perjanjian yang baru terjadi apabila barang yang
menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Dalam perjanjian ini
disamping ada persetujuan kehendak, juga harus ada penyerahan
nyata atas barang atau obyek perjanjian. Jadi dapat dikatakan
sepakat saja belum cukup untuk menimbulkan suatu perjanjian.
(3) Perjanjian Formil.
Dalam undang-undang ada kalanya telah ditetapkan bahwa
untuk beberapa perjanjian tertentu harus dilakukan dengan suatu
bentuk tertentu atau dengan formalitas tertentu. Perjanjian baru
syah selain oleh adanya kesepakatan dari para pihak juga harus
dituangkan dalam bentuk akta otentik atau dalam bentuk tertulis.

f) Berakhirnya Perjanjian.
26

Hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan.


Perikatan dapat hapus atau berakhir, tetapi perjanjian yang menjadi
sumbernya masih tetap ada. Misalnya perjanjian jual beli, dengan
dibayarnya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus,
sedang perjanjiannya belum, karena perikatan mengenai penyerahan
barangnya belum. Apabila semua perikatan dari perjanjian telah hapus
seluruhnya, maka perjanjian dengan sendirinya akan hapus atau
berakhir.
R. Setiawan memakai istilah persetujuan untuk menyebut
perjanjian, merumuskan bahwa persetujuan dapat dihapuskan karena :
(R. Setiawan, 1999 : 69)
(1) Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak,
(2) Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan,
(3) Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus,
(4) Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Dapat
dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak.
Opzegging hanya ada pada persetujuan-persetujuan yang bersifat
sementara,
(5) Persetujuan hapus karena putusan hakim,
(6) Tujuan persetujuan telah berakhir,
(7) Dengan persetujuan para pihak.

g) Wanprestasi dan Akibatnya.

Wanprestasi diartikan sebagai ketiadaan suatu prestasi, dan


prestasi itu sendiri berarti sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan
sebagai isi dari suatu perjanjian. Dimana bila kita menilik pada
macamnya hal yang diperjanjikan untuk dilaksanakan, prestasi dibagi
dalam tiga macam yaitu : (Subekti, 2001 : 36)
(1) Perjanjian untuk memeberikan/menyerahkan suatu barang,
27

(2) Perjanjian untuk berbuat sesuatu,


(3) Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Sedangkan wanprestasi atau “breach of contract” merupakan
salah satu sebab yang mengakibatkan jalannya suatu kontrak atau
perjanjian menjadi terhenti. Dalam hal ini yang dimaksud wanprestasi
adalah salah satu pihak atau lebih tidak melaksanakan prestasinya sesuai
dengan hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian.
Terdapat empat macam wanprestasi (kelalaian atau kealpaan)
seorang debitur, yaitu : (Subekti, 2001 : 45)
(1) tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya,
(2) melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
yang dijanjikan,
(3) melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat,
(4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Adapun hal-hal yang dapat dituntut seseorang terhadap orang yang
lalai dalam melakukan kewajibannya menurut perjanjian yang telah
dibuat bersama antara lain :
(1) orang yang dirugikan dapat memintakan pelaksanaan perjanjian
meskipun pelaksanaan sudah terlambat,
(2) dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang
dideritanya karena perjanjian tidak dilaksanakan atau terlambat
dilaksanakan, tetapi tidak sebagaimana mestinya,
(3) dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian
kerugian yang dideritanya sebagai akibat dari terlambatnya
pelaksanaan perjanjian,
(4) dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik,
kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak lain untuk
meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan disertai dengan
permintaan penggantian kerugian.
28

h) Resiko Dalam Perjanjian.

Resiko dalam hukum perjanjian diartikan sebagai kewajiban


memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar
kesalahan salah satu pihak. Persoalan resiko ini merupakan akibat dari
suatu keadaan memaksa (Subekti, 2001: 59).
Dalam Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dielaskan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan sesuatu
benda tertentu, maka benda itu sejak perikatan dilahirkan adalah menjadi
tanggung jawab kreditur. Artinya, pembuat undang-undang di sini hanya
memikirkan suatu perjanjian dimana hanya ada suatu kewajiban pada
satu pihak, yaitu kewajiban memberikan suatu barang tertentu, dengan
tidak memikirkan bahwa pihak yang memikul kewajiban ini juga dapat
menjadi pihak yang berhak atau dapat menuntut sesuatu. Kemudian
diperjelas dalam Pasal 1554 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi :
“jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar
musnah diluar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap
sebagai gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat
menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar-
menukar itu”.

2. Tinjauan Umum Perjanjian Baku.

Perjanjian baku merupakan alih bahasa dari standart contract atau


standart voorwarden, yaitu mempunyai maksud perjanjian yang telah
dibakukan, telah dijadikan patokan dan biasanya dalam bentuk tertulis.
Mariam Darus Badrul Zaman berpendapat bahwa yang dimaksud perjanjian
baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir. (Mariam Darus Badrul Zaman, 1983 : 31)
29

Munir Fuady mengunakan istilah kontrak baku, yaitu suatu kontrak


tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut,
bahkan sering kali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk
formulir, formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika
kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-
data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausul-klausulnya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak
mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi
atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak
tersebut.
Perjanjian baku yang terdapat dalam masyarakat dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis antara lain : (Mariam Darus Badrul Zaman, 1983 : 35)
a) Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat
adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) yang
kuat dibandingkan dengan debitur. Kreditur yang menentukan isi
perjanjian secara sepihak tanpa melibatkan debitur.
b) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu perjanjian baku
yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan
hukum tertentu. Misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai obyek
hak-hak atas tanah.
c) Perjanjian baku yang ditentukan dikalangan notaris atau advokat, yaitu
perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan untuk memenuhi
permintaan anggota mayarakat yang meminta bantuan notaris atau
advokat yang bersangkutan.
Sedangkan mengenai ciri dari perjanjian baku, tentunya akan selalu
mengikuti atau menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan
masyarakat. Ciri-ciri tersebut mencerminkan adanya suatu prinsip ekonomi
dan adanya suatu kepastian hukum yang berlaku dari negara yang
bersangkutan, dilihat dari kepentingan pengusaha bukan konsumen. Dengan
demikian konsumen hanya dapat menyetujui saja syarat-syarat yang
30

disodorkan oleh pengusaha, sehingga kepentingan ekonomi dari pengusaha


akan lebih terjamin. Ada beberapa ciri tersendiri dari perjanjian baku, ciri
tersebut antara lain :
a) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat.
b) Masyarakat atau debitur sama sekali tidak ikut dalam menentukan isi
perjanjian.
c) Debitur oleh karena terdorong dengan kebutuhannya terpaksa menerima
isi dari pada perjanjian.
d) Mempunyai bentuk tertentu (tertulis).
e) Dibuat dalam jumlah yang banyak/masal.
Dalam perjanjian baku ini juga dikenal istilah klausula eksonerasi atau
syarat eksonerasi. Yaitu syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha
dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan, yang timbul dari
pelaksanaan perjanjian. Klausula eksonerasi ini hanya dapat digunakan dalam
pelaksanaan perjanjian dengan suatu itikad baik. Tujuan utama dari klausula
eksonerasi adalah untuk mencegah pihak konsumen (debitur) merugikan
kepentingan pengusaha (kreditur). Dengan kata lain syarat eksonerasi ini
bertujuan untuk membebaskan tanggung jawab atau mengalihkan resiko
kepada pihak lawan.

3. Tinjauan Umum Tentang Leasing.

Dalam menelaah dan mempelajari serta mendalami lebih jauh lagi


mengenai leasing, dengan terlebih dahulu mengupas apakah leasing itu
sebenarnya. Ada baiknya mengenai leasing dapat dilakukan pembahasan dari
berbagai macam disiplin ilmu. Namun dalam pembahasan kali ini menitik
beratkan pada segi hukumnya.

a) Pengertian Leasing.
31

Pertama-tama tidaklah salah kiranya apabila diketahui terlebih


dahulu bahwa istilah “leasing” berasal dari sebuah kata dalam bahasa
Inggris yaitu “lease” yang diartikan secara harafiah sebagai
“menyewakan”.
Berdasarkan arti harafiah diatas dapat kita lihat bahwa perjanjian
tersebut dalam bahasa sehari-hari dapat disebut perjanjian sewa-
menyewa. Namun untuk menerjemahkan kata “leasing” dengan sewa-
menyewa demikian saja terasa agak sulit, sebab dalam bahasa Inggris
dijumpai juga kata lain yang dapat diterjemahkan dengan kata sewa-
menyewa yaitu “rent”. Rent ini mengandung unsur yang agak berbeda
dengan “lease”.
Leasing yang berasal dari kata “lease”, yang dapat diartikan
sewa-menyewa, dikarenakan dasar dari leasing adalah sewa-menyewa,
yang kemudian berkembang dalam bentuk khusus yang disebut dengan
leasing atau lease saja. Sedang dalam bahasa Indonesia leasing sering
diistilahkan dengan Sewa Guna Usaha. (Munir Fuady,1999 : 7)
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Republik Indonesia,
menerjemahkan leasing dengan istilah sewa guna usaha. Istilah ini
dipakai dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan RI
No.1169/KMK.01/1991, tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Dari beberapa pendapat diatas terlihat bahwa leasing diistilahkan
sebagai sewa guna usaha dengan suatu maksud bahwa tujuan
penyewaan adalah untuk suatu kegunaan dalam menciptakan suatu
usaha, dengan obyeknya yaitu barang modal bagi usaha. Jadi bisa
dikatakan bersifat produktif, sedangkan istilah rent atau sewa sangat
mengacu kepada kegiatan yang bersifat konsumtif.
Secara umum leasing atau sewa guna usaha diartikan sebagai
perjanjian antara lessor (perusahaan leasing) dengan lessee (nasabah)
dimana pihak lessor menyediakan barang dengan hak penggunaan oleh
lessee, dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.
(Kasmir, 2002 : 257)
32

Equipment Leasing Association di London memberikan definisi


sebagai berikut :
“Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk
menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang
dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak pemilikan atas barang modal
tersebut ada pada lessor, sedangkan lessee hanya menggunakan
barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang
telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu”.
Sedangkan Frank Taira Supit memberikan pengertian leasing
sebagai berikut :
“company financing in the form of providing capitals goods with
the user masing periodical payments. User would have option to
buy the capital goods or prolog the leasing period on the basis of
the remaining value”.
Yang diartikan bahwa leasing adalah pembiayaan perusahaan dalam
bentuk penyediaan barang-barang modal dengan pembayaran secara
berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-barang modal
tersebut, dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu
berdasarkan nilai sisa. (Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal,
1994 :8)
Hasanuddin Rahman dalam bukunya Contract Drafting
mendefinisikan leasing sebagai suatu sewa menyewa yang dilakukan
antara seseorang/usahawan (lessee) dengan lembaga pembiayaan
(lessor) atas suatu barang modal dimana pada akhir masa sewa tersebut
diberikan hak opsi kepada lessee, agar dapat terjadinya suatu lavering
atas barang modal yang menjadi obyek perikatan leasing tersebut.
(Hasanuddin Rahman, 2003 : 56)
Dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor: Kep-
122/MK/IV/I/1974; No.32/M/SK/2/1974; dan No.30/Kpb/I/1974,
tertanggal 7 Februari 1974, leasing diartikan sebagai setiap kegiatan
33

pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal


untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk suatu jangka waktu
tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak
pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang
modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama. ( Richard Burton
Simatupang, 2003 : 97-98)
Selain itu dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor.1169/KMK.01/1991, tentang Kegiatan Sewa Guna
Usaha (Leasing), Pasal 1 butir (a) dinyatakan bahwa sewa guna usaha
(leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease)
maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk
digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala.
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa ada beberapa hal atau elemen penting yang harus ada
untuk dapat dikatakan suatu sewa guna usaha (leasing). Element-
element yang harus ada dari suatu leasing tersebut meliputi : (Munir
Fuady, 1999 : 10-12)
(1) Suatu pembiayaan perusahaan.
Leasing disini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan
pembiayaan kepada perusahaan tertentu yang memerlukannya.
Tetapi dalam perkembangannya juga dapat diberikan kepada
individu dengan peruntukan barang belum tentu untuk kegiatan
usaha. Pembiayaan tidak dalam bentuk dana, melainkan dalam
bentuk barang modal yang digunakan untuk kegiatan usaha.

(2) Penyediaan barang modal.


34

Biasanya barang modal disediakan oleh supplier atas biaya lessor


untuk digunakan oleh lessee bagi keperluan bisnis.
(3) Keterbatasan jangka waktu.
Salah satu unsur penting dari lembaga leasing adalah adanya
jangka waktu yang terbatas. Apabila tidak terbatas jangka
waktunya maka belum dapat dikatakan sebagai leasing, melainkan
hanya sewa-menyewa biasa. Setelah jangka waktunya berakhir,
dapat ditentukan status kepemilikan barang modal tersebut.
(4) Pembayaran kembali secara berkala.
Menjadi suatu kewajiban bagi lessee untuk mengangsur
pembayaran kembali harga barang modal kepada lessor sesuai
dengan kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak leasing.
(5) Hak opsi untuk membeli barang modal
Pada saat kontrak berakhir atau diakhir masa leasing, diberikan
hak kepada lessee (hak opsi) untuk membeli barang modal tersebut
sesuai harga yang disepakati, memperpanjang kontrak leasing
ataupun menyerahkan kembali barang modal tersebut kepada
pihak lessornya diakhir masa leasing.
(6) Nilai sisa.
Nilai sisa merupakan besarnya jumlah uang yang harus dibayar
kembali kepada lessor oleh lessee diakhir masa berlakunya leasing
atau pada saat lessee mempunyai hak opsi. Biasanya nilai sisa ini
sudah ditentukan dalam kontrak leasing.

b) Dasar Hukum Leasing.

Pada setiap kegiatan usaha pembiayaan, termasuk juga sewa guna


usaha (leasing) ini, inisiatif mengadakan hubungan kontraktual berasal
dari kehendak pihak-pihak yang berkepentingan, terutama lessee. Dari
kehendak inilah, dasar hukum pokok leasing tentunya adalah asas
kebebasan berkontrak yang dinyatakan dalam Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Sepanjang memenuhi syarat seperti
35

yang diatur oleh perundang-undangan, maka leasing berlaku dan


ketentuan tentang perikatan seperti yang terdapat dalam buku ke III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berlaku juga untuk leasing.
Sedangkan dasar hukum lain yang bersifat administrative dari
suatu leasing meliputi : (Munir Fuady, 1999 : 6-8)
a) Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
Kep-38/MK/IV/1/1972, tentang Lembaga Keuangan, yang telah
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
562/KMK/011/1982,
b) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, No.
Kep-122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974, No.
30/Kpb/I/1974.
c) Keputusan Presiden RI, No. 61 Tahun 1988, tentang Lembaga
Pembiayaan,
d) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor.1251/KMK.013/1988
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor.1256/KMK.00/1989,
e) Keputusan Menteri Keuangan RI No. 643/KMK.013/1990, tentang
Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa
Guna Usaha (Perusahaan Leasing)
f) Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991, tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).

c) Pihak-Pihak Dalam Leasing.

Dari beberapa pengertian tentang leasing, yang telah penulis


kemukakan, maka terlihat bahwa dalam leasing terdapat pihak-pihak
atau subyek perjanjian leasing. Pihak-pihak yang terlibat dalam
pemberian fasilitas leasing tersebut tentunya mempunyai hak dan
kewajiban. Masing-masing pihak dalam melakukan kegiatannya selalu
36

bekerjasama dan saling berkaitan satu sama lainnya melalui


kesepakatan yang dibuat bersama.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemberian
fasilitas leasing adalah sebagai berikut: (Kasmir, 2002 : 259-260)
(1) Lessor.
Merupakan perusahaan sewa guna usaha (Leasing
Company) yang membiayai keinginan para nasabahnya untuk
memeroleh barang-barang modal. Perusahaan ini dalam pengadaan
barang modal bisa berhubungan langsung dengan pihak penjual
(supplier), dan melunasi harga barang modal tersebut dengan
biaya perusahaannya.
(2) Lessee.
Adalah merupakan nasabah yang mengajukan permohonan
leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang
diinginkan. Bisa berbentuk perusahaan ataupun individu, dimana
ia memiliki hak opsi pada akhir masa kontrak leasing. Apakah
lessee membeli barang modal tersebut, memperpanjang kontrak
leasing atau mengakhirinya dengan mengembalikan barang modal
pada lessor.

(3) Supplier.
Adalah perusahaan yang menyediakan barang modal atau
obyek leasing, dan akan dileasing sesuai perjanjian antara lessor
dengan lessee. Barang yang dileasing tersebut dibayar oleh lessor
kepada supplier untuk kepentingan lessee.

(4) Assuransi.

Yatu perusahaan yang akan menanggung resiko tehadap


perjanjian antara lessor dengan lessee. Dalam hal ini, lessee
dikenakan biaya assuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka
perusahaan akan menanggung resiko sebesar sesuai dengan
perjanjian terhadap barang yang dileasingkan.
37

Dari para pihak-pihak yang ada dalam leasing tersebut,


Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Masalah Leasing
menerangkan adanya hubungan hukum antara lessor, lessee, dan
supplier yaitu terdapat alternatif sebagai berikut :(Munir Fuady, 1999:
8-9)

(1) Lessor membeli barang atas permintaan lessee, selanjutnya


membebankan kepada lessee secara leasing,
(2) Lessee membeli barang sebagai agennya lessor dan mengambil
barang tersebut secara leasing dari lessor,
(3) Lessee membeli barang atas namanya sendiri, tetapi dalam
kenyataannya sebagai agen dari lessor, dan mengambil barang
tersebut secara leasing dari lessor,
(4) Setelah lessee membeli barang atas namanya sendiri, kemudian
melakukan novasi, sehingga lessor kemudian menghaki barang
tersebut dan membayarnya,
(5) Setelah lessee membeli barang untuk dan atas namanya sendiri,
kemudian menjualnya kepada lessor dan mengambil kembali
barang tersebut secara leasing,
(6) Lessor sendiri yang mendapatkan barang secara leasing dengan
hak untuk melakukan subleasing dan memberikan subleasing
kepada lessee.

d) Jenis/ Macam Kegiatan Leasing.

Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan


No.1169/KMK.01/1991 Pasal 2 ayat (1) kegiatan sewa guna usaha
(leasing) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
(1) melakukan sewa guna usaha dengan hak opsi bagi lessee
(Finance Lease),
(2) melakukan sewa guna usaha dengan tanpa hak opsi bagi lessee
(Operating Lease).
38

Ciri-ciri kedua kegiatan leasing seperti yang dimaksud diatas


adalah sebagai berikut : (Kasmir, 2002 :260-261)

(1) Kriteria untuk finance lease, apabila memenuhi syarat :


a) jumlah pembayaran sewa guna usaha dan selama masa sewa
guna usaha pertama kali, ditambah dengan nilai sisa barang
yang dileasekan harus dapat menutupi harga perolehan barang
modal yang dileasekan dan keuntungan bagi pihak lessor,
b) dalam perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan
mengenai hak opsi bagi lessee.

(2) Sedangkan kriteria operating lease adalah memenuhi persyaratan :


a) jumlah pembayaran selama masa leasing pertama tidak dapat
menutupi harga perolehan barang modal yang dileasekan
ditambah keuntungan bagi pihak lessor,
b) dalam perjanjian tidak memuat mengenai hak opsi bagi lessee.

Menurut Charless Dulles Marpaung, dalam Pemahaman Mendasar


Atas Usaha Leasing diungkapkan : (Charles Dulles Marpaung, 1985:8)

a) Financial Lease.
Adalah suatu perjanjian kontrak yang salah satu sifatnya adalah
noncancelable bagi pihak lessee. Perjanjian kontrak tersebut
menyatakan bahwa lessee bersedia melakukan serangkaian
pembayaran uang atas penggunaan suatu asset yang menjadi obyek
lease. Lessee berhak untuk memperoleh manfaat ekonomis dengan
mempergunakan barang tersebut sedang hak kepemilikannya tetap
dipegang oleh lessor.

b) Operating Lease.
Adalah sama seperti transaksi sewa menyewa biasa. Jangka waktu
sewa adalah lebih pendek dari umur ekonomis property dan lessee
biasanya tidak mempunyai hak membeli atau purchase option dan
pada waktu kontrak lease berakhir tidak terjadi pemindahan hak
milik barang. Sifatnya cancelable.
39

Walaupun terdapat dua jenis leasing seperti diatas, tetapi pada


prinsipnya hanya terdapat dua macam tipe leasing yaitu operating lease
dan financial lease. Di Indonesia sendiri lebih menekankan pada
financial lease yang banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan
leasing. Karena hampir tidak mungkin melakukan perjanjian leasing
dalam jangka waktu yang lebih pendek dari umur ekonomis obyek
lease. Mengingat yang menjadi obyek lease adalah barang modal dalam
nilai yang besar.

e) Jaminan Hutang Dalam Leasing.

Seperti juga pada metode pembiayaan lain, leasing juga


memerlukan jaminan-jaminan tertentu agar dana yang dikeluarkan oleh
lessor, ditambah dengan keuntungan-keuntungan tertentu dapat diterima
kembali oleh lessor. Sebab dalam system pendanaan, termasuk leasing,
maka segera setelah dana dicairkan dan diberikan oleh lessor kepada
lessee, sejak saat itu kedudukan lessor menjadi krusial.

Sadar akan resiko yang mungkin akan dihadapi oleh lessor, maka
dalam praktek, dibutuhkan juga berbagai jaminan lainnya sehingga
diharapkan kedudukan lessor benar-benar terjamin. Jaminan-jaminan
hutang untuk leasing yang seringkali dipraktekkan dapat dikategorikan :
(Munir Fuady, 1999:30-34)

(1) Jaminan Utama.


Seperti pada transaksi kredit bank, jaminan utama pada
transaksi leasing adalah keyakinan dari pihak lessor bahwa lessee
akan dan sanggup membayar kembali cicilannya sebagaimana
mestinya. Untuk sampai pada keyakinan tersebut diperlukan
analis-analis terhadap keadaan lessee.

(2) Jaminan Pokok.


40

Jaminan ini berupa barang modal hasil pembelian dari


transaksi leasing itu sendiri.
(3) Jaminan Tambahan.
Jaminan ini dapat berupa jaminan kebendaan, seperti fidusia
(atas barang leasing atau bukan), gadai saham, bahkan mungkin
juga hipotik.

f) Bentuk dan Isi Perjanjian Leasing.

Mengenai bentuk dan isi perjanjian leasing ini sudah ditegaskan


dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor:1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) dalam Bab III yaitu
antara lain disebutkan, setiap transaksi harus dibuat dalam bentuk lease
agreement/perjanjian sewa guna usaha, hal-hal yang menjadi isi
perjanjian dan tentang bahasa perjanjian.

Eddy P. Soekadi dalam bukunya Mekanisme Leasing menjelaskan


bahwa antara lessor dan lessee, jika mereka ingin melakukan suatu
perjanjian leasing, maka perjanjian tersebut harus berbentuk perjanjian
tertulis. Mengenai perjanjian tertulis ini tidak ada ketentuan apakah
harus dibuat dalam bentuk akta otentik ataukah dalam bentuk akta
dibawah tangan. Apabila ditinjau dari sudut pembuktian yang berlaku di
Indonesia, bukti yang paling kuat adalah bukti dalam bentuk akta
otentik. (Eddy P Soekadi, 1987 : 153)
Perjanjian yang dibuat oleh lessor dan lessee harus dibuat dalam
bentuk tertulis (lease agreement). Dibuat dalam bentuk tertulis karena
untuk memenuhi ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata yang menyatakan :

“suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli


waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari
mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
didalamnya”
41

Sehingga dapat dikatakan bentuk pejanjian leasing yang tertulis menjadi


bukti yang paling kuat karena berbentuk akta otentik.

Dalam “Leasing (Teori dan Praktek)” Komar Andasasmita


menyebutkan bahwa isi yang terkandung dalam suatu kontrak leasing
meliputi : (Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal, 1994:15)

(1) Obyek lease.


Demi kepastian hukum bagi semua pihak, maka harus
dijelaskan secara tegas mengenai obyek lease,baik mengenai
jenis, tipe, jumlah, lokasi dan lain-lain.
(2) Hak milik dari barang lease.
Dalam hal ini status kepemilikan obyek lease masih berada
pada lessor, sampai pada berakhirnya masa leasing.
(3) Lamanya kontrak.
Biasanya jangka waktu leasing dimulai pada saat lessee
menerima barang sampai pada waktu yang telah disepakati
bersama.
(4) Kewajiban lessor dan lessee.
Penjelasan mengenai hal-hal apa saja yang menjadi
kewajiban para pihak dalam perjanjian yang harus dilaksanakan.
(5) Pertanggungan/garansi.
Karena melibatkan sejumlah besar modal dan
kemungkinan terjadinya kelalaian dari pihak lessee, maka lessor
dapat mengatur mengenai jaminan-jaminan apa yang diberikan
oleh lessee.

Perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee disebut “lease


agreement”, dimana didalam perjanjian tersebut memuat kontrak kerja
bersyarat antara kedua belah pihak, lessor dan lessee. Isi kontrak yang
dibuat secara umum memuat antara lain : (Kasmir, 2002 : 263)

(1) Nama dan alamat lessee,


(2) Jenis barang modal yang diinginkan,
42

(3) Jumlah atau nilai barang yang dileasingkan,


(4) Syarat-syarat pembayaran,
(5) Syarat-syarat kepemilikan atau syarat lainnya,
(6) Biaya-biaya yang dikenakan,
(7) Sanksi-sanksi apabila lessee inkar janji,
(8) dan lain-lainnya.

g) Masalah Wanpestasi Dalam Leasing.

Dalam pelaksanaan sewa guna usaha dapat terjadi wanprestasi


baik karena kelalaian (default) dari pihak lessee ataupun karena terjadi
force majeur. Jika terjadi wanprestasi karena lalai, maka menurut
ketentuan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, lessor
memberikan peringatan tertulis kepada lessee, yaitu secara formil
memperingatkan lessee agar memenuhi hutangnya seketika atau dalam
tenggang waktu yang ditetapkan. Namun peringatan berupa pernyataan
lalai menurut Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut dapat ditiadakan dengan cara menentukannya dalam kontrak,
bahwa wanprestasi yang dilakukan oleh lessee cukup dibuktikan dengan
lewatnya waktu pembayaran angsuran uang sewa tanpa diperlukan
peringatan tertulis dari pihak lessor.(Abdulkadir Muhammad & Rilda
Murniati, 2000 : 224)

Dalam perjanjian leasing ini, wanprestasi biasanya disebabkan


kelalaian dari pihak lessee. Yaitu mengenai pembayaran uang sewa atau
pembayaran lainnya yang menjadi kewajiban lessee, jadi dapat
dikatakan lessee tidak dapat berprestasi. Apabila ternyata lessee tidak
dapat berprestasi maka berakibat munculnya sanksi-sanksi dari pihak
lessor. Sanksi-sanksi tersebut antara lain : (Kasmir, 2002:267)

(1) berupa teguran lisan supaya segera melunasi,


(2) jika teguran lisan tidak digubris, maka akan diberikan teguran
tertulis,
43

(3) dikenakan denda sesuai perjanjian,


(4) penyitaan barang yang dipegang oleh lessee.

B. Kerangka Pemikiran.

Leasing sebagai sebuah perikatan telah diatur dalam hukum positif


Indonesia yaitu dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indaonesia No.
1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing). Dalam Bab
III Keputusan tersebut telah diatur tentang hal-hal apa saja yang paling tidak harus
ada dalam sebuah perjanjian leasing atau lease agreement. Disamping dalam Bab
III ini memuat keharusan setiap transaksi leasing dibuat dalam suatu perjanjian
(Lease agreement) serta adanya keharusan dibuat dalam bahasa Indonesia.
Beberapa diantara hal-hal yang harus ada dalam perjanjian tersebut adalah adanya
simpanan jaminan dan tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa
guna usaha.

Tentunya sebagai sebuah perjanjian yang isi dan bentuk perjanjian


ditentukan oleh masing-masing pihak serta disepakati pula oleh masing-masing
pihak, maka leasing ini beralaskan hukum pokok pada asas kebebasan berkontrak,
seperti yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338.
Dan tentunya karena merupakan suatu perjanjian, maka juga harus berdasarkan
pada Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian.

Pada prinsipnya usaha leasing ini bertujuan untuk memberikan keuntungan


para pihak. Untuk mencapai tujuan ini tentunya kesepakatan para pihak yang
diwujudkan dalam perjanjian haruslah dilaksanakan dengan baik. Karena setiap
perjanjian leasing itu merupakan perjanjian baku atau standar kontrak, maka
lessor perlu mencantumkan hal-hal yang dapat meyakinkan dirinya bahwa lessee
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan prestasinya, didalam perjanjian
leasing. Sehingga hal ini diharapkan akan dapat menjamin hak-hak dari pada
lessor. Dan berdasarkan uraian tersebut dapat digambarkan dengan skema sebagai
berikut :
44

Skema Kerangka Pemikiran

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Buku Ke III
Pasal 1338, Asas kebebasan berkontrak
Pasal 1320, Syarat Sahnya Perjanjian

Lessor Lessee

Kep.MenKeu No.1169/KMK.01/1999 Bab III

Perjanjian Leasing

Bentuk Perjanjian Leasing

Isi Perjanjian Leasing

Jaminan Utama

Hak dan Kewajiban

Berakhirnya Perjanjian Leasing


45

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk dan Isi Perjanjian Leasing yang Menunjukkan Adanya


Kemampuan Berprestasi Lessee Sebagai jaminan Utama Bagi Lessor.

Dalam membicarakan bentuk dan isi dari suatu perjanjian tentu tidak
dapat terlepas dari salah satu asas hukum perjanjian, yaitu asas kebebasan
berkontrak. Dimana dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini
berhubungan dengan bentuk dan isi perjanjian, yaitu kebebasan untuk
menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Artinya setiap
orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja baik yang sudah diatur
dalam undang-undang maupun yang belum diatur dalam undang-undang.
Begitu juga leasing sebagai kegiatan usaha yang relatif baru, bentuk dan isi
perjanjiannya tentu ditetapkan oleh para pihak secara sah yang sekaligus
memberikan kekuatan hukum mengikat terhadap apa yang mereka perjanjikan
tersebut.

1. Bentuk Perjanjian Leasing.

Mengenai bentuk perjanjian leasing ini sebenarnya telah diatur


secara tegas dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No.:1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(Leasing). Dimana pada bab III tentang Perjanjian Sewa Guna Usaha,
Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa setiap transaksi sewa guna usaha wajib
diikat dalam suatu perjanjian sewa guna usaha (“Lease Aggrement”). Ini
berarti setiap transaksi sewa guna usaha wajib dituangkan dalam bentuk
perjanjian tertulis.
46

Dan masih mengenai bentuk perjanjian leasing ini, Edy P Soekadi


dalam bukunya Mekanisme Leasing berpendapat bahwa antara lessor dan
lessee, jika ingin melakukan suatu perjanjian leasing maka perjanjian
tersebut harus berbentuk perjanjian tertulis (Edy P Soekadi, 1987 : 153).
Dan sebenarnya tidak ada ketentuan apakah itu dibuat dalam bentuk akta
otentik atau dalam bentuk akta dibawah tangan. Tetapi apabila dibuat
dalam bentuk akta otentik, perjanjian tersebut akan menjadi bukti yang
kuat apabila nantinya dikemudian hari terjadi suatu sengketa atau
permasalahan diantara para pihak yang membuatnya.

Kemudian karena leasing termasuk dalam suatu lembaga


pembiayaan dimana disitu tentunya terdapat kreditur sebagai penyedia
dana, yaitu dalam hal ini adalah lessor. Serta tentunya juga ada debitur
sebagai pengguna dana, yang dalam hal ini adalah lessee. Maka perjanjian
leasing, seperti juga lembaga pembiayaan yang lain, dibuat dalam bentuk
baku (standar kontrak). Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan-
kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Menurut
Sutan Remi Sjahdeni, perjanjian baku atau perjanjian standar itu hampir
seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya sedangkan pihak
yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan
atau meminta perubahan (Shidarta, 2000 : 119). Sehingga dalam hal ini
lessee diposisikan sebagai pihak yang lemah yang hanya bisa menerima
apa yang disodorkan oleh lessor. Sedangkan pihak lessor lebih dominan
karena dapat menentukan segala klausul yang ada dalam perjanjian.

Sebenarnya perjanjian baku ini bersifat membatasi adanya asas


kebebasan berkontrak dalam perjanjian. Karena di dalam perjanjian baku,
kesepakatan diantara para pihak yaitu antara lessee dengan lessor bersifat
semu. Tidak ada kesepakatan dalam arti yang sebenarnya. Kesepakatan
dalam perjanjian itu hanya diwujudkan dengan tanda tangan dari para
pihak saja. Sehingga dapat dikatakan tidak ada keseimbangan diantara
lessor dengan lessee terutama dalam klausula yang disepakati dalam
perjanjian leasing tersebut. Dimana dalam hal ini pihak lessor lebih
47

dominan dalam perjanjian, yang sebenarnya tidak sesuai dengan arti


kesepakatan diantara para pihak dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Dan pada prinsipnya
pihak lessee masih diberi hak untuk menyetujui atau menolak perjanjian
yang diajukan kepadanya. Apabila lessee menyetujui segala klausul yang
ada dalam perjanjian yang disodorkan kepadanya, tentu akhirnya akan
disertai dengan penandatanganan perjanjian tersebut sebagai tanda suatu
kesepakatan. Artinya lessee telah menginsyafi benar dengan itikad
baiknya untuk melaksanakan segala ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian leasing tersebut. Dengan perjanjian ini, antara lessor dengan
lessee telah berjanji mengikatkan diri mereka, yang sekaligus
memberikan kekuatan hukum mengikat terhadap apa yang mereka
perjanjikan.

Kesepakatan lessee yang diwujudkan dengan penandatanganan


terhadap perjanjian leasing yang telah dibakukan ini akan membawa
pengaruh terhadap lessor, sehingga tidak ada keraguan, kekawatiran atau
perasaan takut bahwa lessee tidak dapat melaksanakan kewajiban-
kewajibannya. Walaupun pada akhirnya nanti ternyata lessee tidak
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, maka lessor tidak perlu
khawatir karena telah memiliki bukti yang kuat yang mengharuskan
lessee untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.

2. Isi Perjanjian Leasing.

Seperti juga dengan bentuknya, mengenai isi juga diatur dalam


Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.:
1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing). Pada
Pasal 9 ayat (2) diterangkan hal-hal yang sekurang-kurangnya harus
termuat dalam perjanjian leasing yaitu antara lain :

a) Jenis transaksi sewa guna usaha,


b) Nama dan alamat masing-masing pihak,
48

c) Nama, jenis, tipe dan lokasi penggunaan barang modal,


d) Harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa guna usaha,
angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa guna usaha, nilai
sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan asuransi atas barang modal
yang disewagunausahakan,
e) Masa sewa guna usaha,
f) Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang
dipercepat dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee
dalam hal barang modal yang disewa guna usaha dengan hak opsi
hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun,
g) Opsi bagi penyewa guna usaha dalam hal transaksi sewa guna usaha
dengan hak opsi,
h) Tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa guna
usaha.

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa paling tidak


dalam perjanjian leasing itu harus memuat antara lain mengenai jenis
perjanjian leasing, subyek perjanjian leasing, obyek perjanjian leasing,
dan hak serta kewajiban masing-masing pihak secara jelas. Sehingga hal
ini diharapkan dapat memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Baik itu mengenai
syarat subyektif perjanjian maupun syarat obyektif.

Dalam perjanjian sewa guna usaha dari PT. ORIX Indonesia


Finance yang penulis gunakan sebagai acuan, karena mengingat
perusahaan-perusahaan pembiayaan di Indonesia lebih menekankan pada
penggunaan leasing yang berbentuk financial lease. Dimana dalam
perjanjian ini juga paling tidak telah memuat hal-hal seperti jenis, subyek,
obyek perjanjian leasing serta hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Hal-hal tersebut dapat diuraikan antara lain sebagai berikut :
a) Jenis Perjanjian Leasing.
49

Perjanjian ini merupakan perjanjian leasing yang masuk dalam


kategori financial lease. Hal ini dapat dilihat dari judul
perjanjiannya yaitu “Perjanjian Sewa Guna Usaha (Finance
Lease)”. Sehingga perjanjian ini merupakan perjanjian leasing
dengan menggunakan hak opsi. Hal ini juga masih dipertegas lagi
dalam sebab atau dasar diadakannya perjanjian tersebut. Dimana
dalam point B, disebutkan bahwa lessor setuju untuk menyediakan
dana guna mendapatkan barang modal kepada lessee secara sewa
guna usaha dengan hak opsi (finance lease) dan lessee juga
menyetujuinya dan syarat beserta ketentuan yang ada dalam
perjanjian tersebut.

b) Subyek Perjanjian Leasing.

Dalam perjanjian financial lease, tentunya yang menjadi


subyek utama adalah lessor dengan lessee. Dimana dalam
perjanjian ini nama dan alamat masing-masing pihak disebutkan
secara jelas dan lengkap dalam apa yang sering disebut sebagai
bagian komparasi perjanjian. Penyebutan para pihak ini diawali
oleh pihak pertama, yaitu PT.ORIX Indonesia Finance sebagai
lessor dan pihak kedua adalah pihak lessee sebagai pihak yang
membutuhkan dana untuk mendapatkan barang modal.

Dan kemudian mengenai subyek ini lebih diperluas lagi


terutama bagi pihak lessee, yaitu bahwa lessee disini juga dapat
meliputi para ahli waris, penerima dan atau pengganti haknya. Hal
ini sesuai dengan asas dari personalia perjanjian dan juga
pemenuhan Pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengenai perluasan terhadap pihak-pihak dalam suatu perjanjian.
Dimana hal ini tentunya juga akan memberikan rasa aman bagi
lessor apabila nantinya dalam masa pelaksanaan perjanjian, lessee
tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
50

c) Obyek Perjanjian Leasing.

Yang menjadi obyek perjanjian leasing tentunya adalah


barang-barang yang dibeli atas permintaan lessee dengan
menggunakan dana dari lessor. Kejelasan mengenai obyek yang
termuat dalam perjanjian leasing sangatlah penting karena ini
berhubungan dengan syarat ketiga sahnya perjanjian Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengenai suatu hal
tertentu. Artinya, apa yang telah diperjanjikan dalam suatu
perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas
dan tertentu. Dimana paling sedikit barang yang dimaksudkan
dalam perjanjian haruslah ditentukan jenisnya. Dan dalam
perjanjian ini, pada Pasal 2 ayat (1) telah diatur mengenai berbagai
ketentuan mengenai obyek perjanjian finance lease yang antara lain
meliputi :

(1) Nama, Jenis, Tipe, Dan Lokasi Penggunaan Barang Modal.


Hal ini dapat dilihat dalam butir (1) yang dipertegas
lagi dalam Lampiran II Perjanjian terutama butir (1) dan butir
(3) yang menyebutkan secara terperinci mengenai jenis
barang, jumlah, harga per unit dan lokasi barang tersebut.

(2) Jangka Waktu Penggunaan Barang Modal.


Hal ini sering juga disebut sebagai masa sewa guna
usaha atau jangka waktu berlakunya hubungan sewa guna
usaha antara lessor dan lessee. Pengaturan mengenai jangka
waktu penggunaan barang modal ini dapat dilihat dalam
Lampiran I Perjanjian, Pasal 4 ayat (1) mengenai masa sewa
guna usaha. Dimana selanjutnya ditetapkan lagi dalam
Lampiran II Perjanjian butir (5). Biasanya jangka waktu
leasing dimulai pada saat lessee menerima barang sampai
pada waktu yang telah disepakati bersama.

(3)Ketentuan Pembayaran.
51

Dalam Lampiran I Perjanjian Pasal 5 dijelaskan


mengenai ketentuan-ketentuan pembayaran yang meliputi
segala biaya mengenai obyek lease yang dicantumkan dalam
Lampiran II Perjanjian butir (8) sampai dengan butir (14).
Selain itu juga diatur mengenai cara pembayaran, angsuran
pembayaran, biaya lain-lain serta ketentuan mengenai ganti
rugi apabila terjadi kelalaian pembayaran.

(4)Asuransi.
Didalam transaksi leasing, hak kepemilikan terhadap
barang yang menjadi obyek lease adalah tetap berada
ditangan lessor sampai akhir masa kontrak leasing. Hak ini
baru berpindah apabila lessee mempergunakan hak opsinya
diakhir masa leasing. Atas barang yang masih menjadi hak
miliknya ini, tentunya lessor menginginkan adanya suatu
perlindungan terhadap keamanan dan keutuhannya. Maka
dari itu, asuransi menjadi salah satu sarana yang bisa
digunakan untuk melindungi kepentingan lessor tersebut.
Dan oleh karena lessee adalah pihak yang menikmati manfaat
dari barang tersebut, maka wajarlah bila lessor
membebankan biaya asuransi itu kepada lessee.

Didalam perjanjian leasing, perlindungan lessor yang


berupa keharusan lessee untuk mengasuransikan barang
tersebut tentunya telah dituangkan dalam pasal-pasal
tersendiri. Seperti dalam Lampiran I Perjanjian Pasal 15
dijelaskan mengenai kewajiban lessee untuk
mengasuransikan barang modal atas nama lessor. Hal ini
karena sebelumnya dalam Pasal 14 ayat (1) disebutkan
bahwa semua kerugian akibat kerusakan atau kehilangan
ataupun resiko lain pada barang modal adalah menjadi
tanggung jawab lessee. Sehingga apabila terjadi musibah atas
52

barang modal tersebut, lessor berhak untuk menerima


penggantian dari perusahaan asuransi yang telah ditunjuk.

d) Hak Opsi.

Karena ini merupakan perjanjian financial lease, maka


tentunya harus diatur secara jelas mengenai hak opsi bagi lessee.
Hak opsi ini diatur dalam Lampiran I Perjanjian Pasal 24 mengenai
opsi untuk membeli dan pembaharuan. Dimana disebutkan bahwa
lessee harus mengajukan permohonan tertulis kepada lessor
sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha, bahwa lessee akan
menggunakan hak opsi yang dimilikinya. Hak opsi dalam perjanjian
ini meliputi opsi untuk membeli barang modal atau memperpanjang
masa sewa guna usaha. Dalam pelaksanaan hak opsi ini, lessee
harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat atau ketentuan yang
telah ada. Dan apabila lessee akan melakukan pembelian maka
harganya adalah sesuai dengan nilai sisa dari barang tersebut.

Pengaturan mengenai hak opsi pada perjanjian ini tentunya


mengacu pada Surat Keputusan menteri Keuangan Republik
Indonesia No.: 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna
Usaha (Leasing), pada Bab IV mengenai pelaksanaan hak opsi.
Dimana pada Pasal 10 dijelaskan mengenai pelaksanaan hak opsi
bagi lessee diakhir masa sewa guna usaha, Pasal 11 mengenai cara
pembayaran baik untuk opsi membeli ataupun memperpanjang
masa sewa guna usaha, dan Pasal 12 mengenai nilai sisa barang
sebagai dasar penilaian penyusutan.

e) Hak Dan Kewajiban Masing-Masing Pihak.

Tentunya perjanjian yang dibuat dan disepakati bersama itu


akan mengikat para pihak sehingga menimbulkan hak dan
kewajiban bagi mereka untuk melaksanakannya. Begitu pula dalam
klausula perjanjian, tentunya ada diantaranya yang mengatur
53

mengenai hak dan kewajiban lessor ataupun lessee. Yang pada


prinsipnya hak dan kewajiban ini bersifat timbal balik, kewajiban
pihak lessee berarti hak bagi pihak lessor dan juga sebaliknya
kewajiban lessor menjadi hak bagi lessee.

Hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik ini antara lain
misalnya adalah pada Pasal 5 dan Pasal 6 Lampiran I Perjanjian
yang memberikan kewajiban bagi lessee untuk melakukan
pembayaran terhadap biaya-biaya dari barang modal kepada lessor
serta kewajiban untuk menjaga dan melakukan pemeliharaan atas
barang modal secara baik dan layak. Sedangkan misalnya pada
Pasal 24 dan 25 memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan
atau melakukan opsi diakhir masa sewa guna usaha.

Masalah hak dan kewajiban ini menjadi penting karena akan


berkaitan langsung dengan masalah wanprestasi dalam suatu
pelaksanaan perjanjian. Kelalaian dalam melaksanakan klausula-
klausula yang ada dalam perjanjian tentunya akan menimbulkan
dijatuhkannya sanksi dari pihak lessor. Apalagi perjanjian ini
dibakukan oleh lessor dengan tujuan untuk mengalihkan segala
resiko yang ada, sehingga akan banyak klausula-kalusula yang
bersifat memberikan kewajiban bagi lessee untuk melaksanakannya.
Hal ini telah diatur dalam Pasal 20 Lampiran I Perjanjian mengenai
Kejadian Kelalaian yang meliputi kejadian-kejadian yang dianggap
sebagai kelalaian pihak lessee beserta sanksi-sanksi yang harus
dilaksanakannya.

f) Akibat Kejadian Lalai Dalam Perjanjian Leasing.

Seperti apa yang dijelaskan diatas, kelalaian yang dilakukan


oleh lessee untuk melakukan kewajibannya, menjadikan hak bagi
lessor untuk menagih semua pembayaran yang masih terutang
ataupun menerima kembali barangnya. Hal ini dapat dilihat dalam
54

Pasal 20 mengenai Kejadian Kelalaian, yang antara lain memuat


ketentuan mengenai hal-hal apa saja yang dapat dianggap sebagai
suatu kelalaian dari pihak lessee, upaya-upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh lessor apabila hal ini terjadi, dan penegasan bahwa
lessee tidak akan menghalangi segal tindakan yang dilakukan lessor
apabila lessee melakukan kelalaian-kelalaian seperti apa yang telah
diatur.

Dari beberapa hal yang termuat dalam perjanjian, seperti yang


antara lain terurai diatas, terlihat satu hal yang pokok yaitu bahwa asas
kebebasan berkontrak dan standar baku menjadi aspek yang dominan
dalam klausula-klausula perjanjian leasing tersebut. Dimana dalam hal ini
lessor bebas menentukan segala klausula yang akan dimuat dalam
perjanjian tersebut. Walaupun kebebasan lessor dalam membuat
perjanjian tersebut masih mengacu pada peraturan yang berlaku, tetapi
tetap saja lebih banyak membebankan segala tanggung jawab kepada
pihak lessee. Sehingga dapat dikatakan dalam hal ini lessee benar-benar
diposisikan sebagai pihak yang lemah.

Dalam perjanjian tersebut mengenai posisi lessee sebagai pihak


yang lemah antara lain misalnya terlihat dalam Pasal 4 Perjanjian Sewa
Guna Usaha, yang menyebutkan bahwa lessee mengakui secara sah dan
benar-benar berhutang kepada lessor. Dan mengenai hal ini dapat dilihat
jelas dengan adanya pemberian kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik
kembali kepada lessor untuk menentukan segala sesuatu yang belum
diatur secara tegas dalam perjanjian. Misalnya dalam Pasal 2 point 2
perjanjian, lessor berhak mengisi bagian-bagian yang kosong dan
mengoreksi rincian biaya yang pada waktu perjanjian ditandatangani hal
ini belum ada atau belum lengkap. Kemudian juga pada Pasal 8 point 1
juga menegaskan mengenai kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik
kembali oleh lessee. Dan hal yang sama pula dengan adanya pengaturan
mengenai pemindahan hak oleh lessor tanpa izin lessee pada point 3 Pasal
55

8 Perjanjian Sewa Guna Usaha. Lebih lanjut lagi hal ini diatur dalam
Lampiran I Perjanjian, Pasal 30 dimana juga menerangkan mengenai
kuasa mutlak yang menyebabkab kedudukan lessor adalah lebih dominan.
Artinya dalam hal ini masing-masing pihak tidak berada dalam keadaan
yang seimbang.

Adanya kuasa mutlak dimungkinkan karena adanya asas kebebasan


berkontrak dalam perjanjian. Dan oleh karena dibuat dalam bentuk baku,
maka lessor mempunyai kebebasan dan kekuasaan untuk membuat dan
menentukan hal-hal apa saja yang akan dimuat dalam perjanjian tersebut.
Lessor juga dapat mencantumkan klausula-klausula yang intinya adalah
untuk mengalihkan tanggung jawab yang ada pada lessor kepada pihak
lessee. Pengalihan tanggung jawab ini sering disebut sebagai klausula
eksenorasi dalam perjanjian baku. Maka dari itu peraturan seperti Surat
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang Kegiatan
Sewa Guna Usaha (Leasing), sangat diperlukan untuk membatasi pihak
lessor agar dalam membuat dan menentukan klausula-klausula perjanjian,
tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan berkontrak. Selain
itu peraturan tersebut sebagai suatu kesatuan hukum yang jelas dibidang
leasing di Indonesia.

Dengan adanya asas kebebasan berkontrak dan perjanjian baku atau


standar kontrak, maka lessor harus memperhatikan betul penyusunan
klausula atau isi dari perjanjian yang dibuatnya. Dimana lessor harus
mampu menganalisa atau meramalkan segala kemungkinan yang terjadi
nantinya dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Hal ini ditujukan untuk
mengantisipasi hal-hal yang dapat merugikan lessor nantinya, serta
memberikan keyakinan pada diri lessor bahwa lessee mempunyai
kemampuan untuk berprestasi.

Pada akhirnya mengenai bentuk dan isi perjanjian ini, sebenarnya tidak
ada suatu ketentuan baku bagaimana bentuk dan isi perjanjian leasing yang
dapat menunjukkan kemampuan berprestasi lessee secara pasti. Hanya saja,
56

karena perjanjian leasing didasarkan pada asas kebebasan berkontrak dan


biasanya dibuat dalam bentuk baku (standar kontrak), maka lessor dapat
menentukan sendiri bagaimana bentuk dan isinya, tetapi tetap mengacu pada
peraturan yang ada. Sehingga hal ini dapat memberikan jaminan tersendiri
bagi lessor serta memberikan keyakinan pada dirinya bahwa lessee
mempunyai kemampuan untuk berprestasi. Dan tentunya perjanjian leasing
yang dibuat dalam bentuk tertulis akan memberikan kekuatan hukum bagi
lessor nantinya apabila dikemudian hari terjadi suatu sengketa atau
permasalahan dalam perjanjian.

B. Kemampuan Berprestasi Lessee Sebagai Jaminan Utama bagi Lessor


Dilihat Dari Jaminan Yang Ada Dalam Perjanjian Leasing.

Seperti juga pada metode pembiayaan lainnya, didalam leasing tentunya


juga diperlukan jaminan-jaminan hutang dari pihak lessee, agar dana yang
telah dikeluarkan oleh lessor beserta keuntungan-keuntungan yang
diharapkannya dapat diterima kembali sebagaimana mestinya. Tetapi dalam
praktek nantinya berbagai kemungkinan dapat saja terjadi. Hal ini disebabkan
karena dalam leasing setelah dana dicairkan ataupun barang modal telah
diserahkan kepada lessee, maka hal ini menyebabkan kedudukan lessor
menjadi krusial. Kemungkinan karena itikad buruknya, lessee dapat saja
mengalihkan barang modal tersebut kepada orang lain tanpa sepengetahuan
lessor. Selain itu, lessee juga dapat dimungkinkan tidak melaksanakan
kewajiban untuk memenuhi pembayaran seperti apa yang telah disepakati.
Ataupun, kemungkinan lessee tidak mau mengembalikan barang modal
tersebut secara baik-baik. Maka dari itu, untuk menjaga keamanan bagi pihak
lessor, diperlukanlah jaminan-jaminan hutang yang tepat, sehingga
kedudukan lessor menjadi benar-benar terjamin.

Jaminan-jaminan hutang dalam perjanjian leasing ini menjadi penting


mengingat berbagai resiko ataupun permasalahan bisa saja terjadi nantinya
dikemudian hari. Selain itu, transaksi leasing merupakan transaksi yang
57

melibatkan sejumlah besar barang modal dan kemungkinan terjadi kelalaian


dari pihak lessee tetaplah ada. Maka, untuk menjamin kelancaran dan
ketertiban pembayaran serta mencegah timbulnya kerugian bagi pihak lessor,
lessor dapat meminta kepada lessee untuk memberikan jaminan-jaminan yang
sesuai dengan apa yang telah diberikannya. Jaminan-jaminan leasing ini pada
prinsipnya juga hampir sama dengan perjanjian-perjanjian yang lain, misalnya
seperti jaminan pada kredit bank.

Jaminan-jaminan tersebut juga dapat dilihat dalam Perjanjian Sewa


Guna Usaha dari PT.ORIX Indonesia Finance. Dan dari jaminan-jaminan
yang ada tersebut dapat dikategorikan kedalam tiga hal yaitu, jaminan utama,
jaminan pokok dan jaminan tambahan. Tetapi sebelum itu, dapat dijelaskan
disini bahwa timbulnya pengaturan mengenai jaminan ini dimungkinkan
karena terlebih dahulu dasar yang jelas sehingga dibutuhkan adanya suatu
jaminan-jaminan. Dimana dalam Perjanjian Pasal 4 dijelaskan mengenai
adanya pengakuan hutang dari lessee kepada lessor. Hal ini merupakan pokok
atau dasar sehingga diatur pula mengenai jaminan-jaminan yang akan
diberikan oleh lessee sebagai bukti kesungguhannya terhadap pengakuan
hutang tersebut. Disini dapat dikatakan bahwa pengakuan hutang pada Pasal 4
Perjanjian ini merupakan suatu perjanjian pokok mengenai hutang. Sedangkan
Pasal 5 dan Pasal 6 mengenai jaminan ataupun janji-janji lessee sebagai
bentuk wujud pertanggungjawaban lessee terhadap perjanjian pengakuan
hutang tersebut. Dan pasal-pasal yang disebut terakhir dapat disebut sebagai
perjanjian tambahan guna melengkapi perjanjian pokoknya, yaitu Pasal 4
Perjanjian ini. Artinya tidak akan ada perjanjian tambahan, tanpa ada
perjanjian pokok atau tidak akan ada jaminan-jaminan, janji-janji yang
diberikan oleh lessee tanpa ada pengaturan mengenai pengakuan hutang
terlebih dahulu.
Dari ketiga kategori jaminan yang terdapat dalam perjanjian leasing
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Jaminan Utama.
58

Jaminan utama merupakan keyakinan dari pihak lessor bahwa


lessee akan dan sanggup membayar kembali cicilan sebagaimana
mestinya. Jaminan utama dalam perjanjian ini dapat terlihat dari
ketentuan Pasal 5 Perjanjian Sewa Guna Usaha mengenai jaminan-
jaminan dan janji-janji. Dimana dalam Pasal ini antara lain lessee
memberikan jaminan yuridis mengenai legalitas badan usaha serta
jaminan keuangan maupun perpajakan yang dimilikinya. Lessee juga
berjanji untuk melaporkan segala perubahan yang terjadi dalam tubuh
badan usahanya secara benar serta mempertahankan segala izin-izin
dalam menjalankan usahanya. Tetapi apabila transaksi leasing ini
diperuntukkan bagi perorangan maka tentunya hal ini dapat dikaitkan
dengan syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata terutama mengenai kecakapan sesorang dalam membuat
perjanjian. Disamping tentunya juga perlu diserahkan kepada lessor
mengenai data diri pribadi lessee, sehingga dapat diketahui data-data
yang jelas, antara lain mengenai nama, alamat, pekerjaan, dan tentunya
berbagai data lain yang dibutuhkan oleh lessor.

Artinya, dengan pemenuhan terhadap hal-hal tersebut diatas,


lessee berusaha meyakinkan lessor bahwa ia mempunyai kemampuan
untuk melaksanakan prestasinya. Hal ini ditunjukkan oleh lessee dengan
memberikan laporan secara nyata mengenai kondisi atau keadaan diri
pribadinya, diantaranya baik melalui legalitas badan usaha, laporan
keuangan, laporan perpajakan, maupun izin-izin yang dimilikinya dalam
menjalankan usaha.

Pemenuhan terhadap Pasal 5 ini oleh lessee akan menimbulkan


suatu keyakinan pada diri lessor bahwa lessee akan dan sanggup
membayar kembali cicilan terhadap barang modal sebagaimana
mestinya. Dalam arti bahwa lessee mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan apa yang telah menjadi kewajibannya sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati. Tetapi, untuk sampai pada keyakinan
59

tersebut, lessor harus hati-hati dalam memeriksa, menganalisa ataupun


menentukan bagaimana kondisi lessee itu sebenarnya. Hal ini dapat
dilakukan misalnya antara lain dengan melihat atau memeriksa
bagaimana latar belakang lessee, bagaimana kapasitasnya atau
kemampuan dalam menjalankan usaha, bagaimana modal yang
dipunyai, jaminan-jaminan yang dapat diberikan, kondisi ekonomi serta
kondisi lain seperti prospek usaha yang dijalankannya.

Analisa terhadap kondisi atau keadaaan lessee merupakan suatu


alat atau cara bagi lessor untuk menentukan apakah akan memberikan
fasilitas leasing kepada lessee atau tidak. Dari analisis atau penilaian
terhadap kondisi lessee tersebut dapat diperkirakan tentang hal-hal yang
akan terjadi dimasa yang akan datang. Sehingga lessor dapat
meminimalisir hal-hal yang berpotensi dapat merugikan dirinya.

2. Jaminan Pokok.

Dalam hal ini, jaminan pokoknya adalah berupa barang modal


hasil pembelian dari transaksi leasing itu sendiri. Jaminan berupa
barang modal ini menjadi cukup efektif karena hak kepemilikan
terhadap barang modal ini masih berada ditangan lessor dan tidak akan
beralih ketangan lessee sampai dipergunakannya hak opsi oleh lessee.

Mengenai hak kepemilikan ini dijelaskan dalam Pasal 6 dan 12


Lampiran I Perjanjian Sewa Guna Usaha. Dimana lessee mengakui
lessor sebagai sebagai pemilik yang sah dan sebagai pihak yang berhak
penuh atas peralatan atau barang modal tersebut. Lessor dapat
memasang atau menempel plakat atau etiket pada peralatan untuk
pengamanan hak-hak lessor atas barang modal tersebut. Sehingga
apabila dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak dinginkan oleh
lessor, maka barang tersebut dapat diambilnya kembali, karena barang
modal tersebut tetap menjadi miliknya. Tetapi walaupun begitu, tetap
saja ada beberapa faktor yang menyebabkan kedudukan lessor kurang
60

begitu aman. Faktor-faktor yang menyebabkan kedudukan lessor kurang


aman tersebut antara lain : (Munir Fuady, 1999: 33)

a) Karena barang modal yang bersangkutan tidak lepas dari resiko-


resiko tertentu, seperti kebakaran, kerusakan, dan sebagainya.
b) Karena bila lessee beritikad tidak baik, bisa saja keberadaan
barang modal tersebut menjadi tidak aman.
c) Dalam hal pembayaran angsurannya macet, sementara lessee
tidak kooperatif, maka satu-satunya jalan untuk dapat mengambil
kembali barang modal adalah lewat gugatan biasa ke pengadilan
dengan prosedur biasa. Ini sangat tidak efisien dari segi waktu,
biaya dan amortisasi harga barang modal.

Dan karena jaminan pokok ini belum tentu aman bagi lessor,
maka dalam prakteknya masih diperlukan pula jaminan-jaminan
tambahan.

3. Jaminan Tambahan.

Mengenai jaminan ini, Pasal 6 Perjanjian Sewa Guna Usaha


menyebutkan bahwa lessee akan menadatangani jaminan pribadi
(Personal Guarantee) yang dapat diberikan oleh para direksi secara
pribadi atau oleh pihak ketiga lainnya sebagai penjamin. Dan jaminan-
jaminan perseroan (Corporate Guarantees) yang telah disebutkan dalam
anggaran dasar dari perusahaan, siapa-siapa saja yang berwenang untuk
mengikat perusahaan itu sebagai penjamin. Selain itu, pada Pasal 8
Lampiran I Perjanjian disebutkan lessor juga berhak menetapkan dan
mengelola simpanan jaminan (Security Deposits) seperti apa yang
dicantumkan dalam butir (7) Lampiran II. Simpanan jaminan ini
merupakan jaminan uang yang didepositokan yang dijaminkan oleh
lessee kepada lessor. Pengaturan mengenai jaminan ini dimungkinkan
agar lessor mempunyai klaim untuk menggunakan jaminan tersebut
apabila terjadi suatu sengketa dikemudian hari. Sehingga jaminan
61

tambahan ini dapat dijadikan sebagai tanggungan atas ketaatan dan


kesanggupan lessee untuk melaksanakan semua ketetapan, syarat dan
ketentuan dalam perjanjian.

Pada prinsipnya jaminan tambahan yang digunakan pada leasing


juga tidak jauh berbeda dengan jaminan untuk suatu perjanjian kredit.
Jaminan tambahan ini dapat berupa jaminan kebendaan seperti fidusia,
gadai saham, kuasa jual ataupun hipotik. Walaupun jaminan tambahan
ini tidak begitu penting dalam leasing, tetapi paling tidak dalam praktek
masih diperlukan dengan alasan antara lain sebagai berikut : (Munir
Fuady,1999 : 34)

a) Jaminan tambahan akan berfungsi sebagai “double cover” atau


pelindung. Artinya, apabila salah satu jaminan tidak dapat
dipakai, maka masih ada jaminan yang lain.
b) Untuk memudahkan dalam eksekusi jaminan hutang. Sebab
sebagian jaminan tambahan tersebut lebih gampang dieksekusi,
seperti pengakuan hutang atau kuasa jual.
c) Karena alasan ketertiban dokumentasi. Karena ada sebagian
dokumentasi yang langsung diatas namakan pihak lessee.

C. Permasalahan-Permasalahan Yang Ada Pada Kemampuan Berprestasi


Lessee Sebagai Jaminan Utama Bagi Lessor.

Dalam membicarakan tentang permasalahan-permasalahan yang ada


dalam kemampuan berprestasi lessee ini, tentunya menurut pendapat penulis
tidak dapat terlepas dari masalah wanprestasi dalam suatu pelaksanaan
perjanjian. Dan dalam perjanjian leasing, pada umumnya inkar janji atau
wanprestasi disebabkan oleh kelalaian dari pihak lessee. Yaitu mengenai
62

pembayaran uang sewa atau pembayaran lainnya yang sudah menjadi


kewajiban pihak lessee, ataupun juga mengenai dilanggarnya atau tidak
dipatuhinya kewajiban atau larangan-larangan bagi lessee seperti yang
tercantum dalam perjanjian. Tetapi karena ini berhubungan dengan keyakinan
lessor akan adanya kemampuan berprestasi dari pihak lessee maka terdapat
kendala-kendala yang tentunya disebabkan oleh kelalaian maupun
kesengajaan yang dilakukan oleh lessee. Sehingga lessor tidak dapat
memperkirakan dengan benar apakah lessee mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya nanti.

Menurut hemat penulis, permasalahan-permasalahan tersebut antara lain


yang pertama adalah lessee dengan sengaja meyembunyikan data-data atau
membuat data-data mengenai kondisinya yang tidak sesuai dengan kenyataan
dilapangan. Tindakan tersebut baik disengaja untuk mengelabuhi lessor
ataupun ditujukan agar lessee memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu.
Hal ini tidak akan menjadi suatu permasalahan besar apabila dalam
menjalankan usaha tidak menemui suatu masalah. Tetapi apabila misalnya
lessee mengalami kebangkrutan maka hal ini juga akan menjadi masalah
besar bagi lessor. Karena lessor sebelumnya tidak dapat memperkirakan,
menganalisa kondisi atau keadaan lessee dengan baik dan benar. Apabila
lessor sebelumnya dapat mengetahui kondisi atau keadaan lessee yang
sebenarnya maka tentunya lessor dapat meminimalisir segala permasalahan
yang kemungkinan timbul, yang dapat merugikan lessor.

Yang kedua adalah kemungkinan lessee tidak memahami atau


menginsyafi dengan benar isi atau klausula dari perjanjian leasing yang
disodorkan oleh lessor kepadanya. Ataupun lesssee tidak membaca
keseluruhan klausula yang ada dan langsung menandatanganinya. Hal inilah
yang menyebabkan terjadinya kelalaian yang ujungnya adalah suatu
wanprestasi dari pihak lessee yang disebabkan karena ketidaktahuannya
bahwa apa yang diperbuatnya ternyata melanggar perjanjian yang telah
disepakati. Harusnya lessee lebih berhati-hati sebelum menandatangani
perjanjian mengingat perjanjian leasing termasuk perjanjian yang telah
63

dibakukan dimana segala klausula yang ada dalam perjanjian ditentukan oleh
lessor.

Dan yang ketiga yang dapat penulis ungkap dari permasalahan yang
terdapat dalam kemampuan berprestasi lessee adalah lessee tidak memberikan
jaminan-jaminan lain kepada lessor, atau jaminan-jaminan yang diberikan
mempunyai nilai yang lebih rendah dari pada nilai barang modal yang
diberikan lessor kepadanya. Sehingga apabila nantinya lessee wanprestasi
jaminan-jaminan tersebut tidak dapat menutupi harga barang modal beserta
keuntungan-keuntungan yang diharapkan oleh lessor. Hal ini tentunya
berhubungan dengan keyakinannya lessor akan kemampuan lessee
melaksanakan kewajibannya. Sehingga lessor dapat menentukan sendiri
dengan keyakinannya apakah akan memberikan fasilitas leasing atau tidak.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa terhadap permasalahan yang ada, maka dapat


diambil kesimpulan oleh penulis antara lain sebagai berikut :

1. Bahwa sebenarnya tidak ada ketentuan baku mengenai bagaimana bentuk


dan isi perjanjian leasing yang dapat menunjukkan kemampuan
berprestasi lessee yang dapat dijadikan sebagai jaminan utama bagi
lessor. Hanya saja berdasarkan alasan adanya suatu asas kebebasan
berkontrak dalam perjanjian dan dibuatnya perjanjian dalam bentuk baku,
maka dalam prakteknya terdapat suatu ketentuan yaitu :

a) Bentuk perjanjian leasing yang sering dipakai adalah berbentuk


tetulis. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi
masing-masing pihak, terutama adalah bagi lessor. Karena apabila
dibuat dalam bentuk tertulis atau akta otentik, perjanjian tersebut
akan menjadi bukti yang kuat apabila nantinya terjadi suatu
64

sengketa antara lessor dan lessee dalam pelaksanaan perjanjian


tersebut.

b) Mengenai isi dari perjanjian leasing ini dalam prakteknya dapat


ditentukan sendiri oleh para pihak, klausula-klausula apa yang akan
dimuat dalam perjanjian leasing tersebut. Hanya saja karena
perjanjian ini merupakan suatu perjanjian baku atau standar kontrak
maka lessor lebih dominan dalam menentukan klausula yang ada
dalam perjanjian. Sehinggga lessor dalam prateknya dapat
menentukan klausula-klausula yang membebankan suatu
kewajiban-kewajiban pada lessee untuk menghindarkan segala
resiko-resiko yang sekiranya dapat diderita oleh lessor. Tetapi
walaupun demikian, dalam pembuatannya lessor tetap mengacu
pada ketentuan-ketentuan atau peraturan dalam pembuatan
perjanjian, sehingga perjanjian tersebut adalah suatu perjanjian
yang sah sesuai ketentuan undang-undang.

2. Bahwa kemampuan berprestasi lessee sebagai jaminan utama bagi lessor


itu dapat dilihat dari jaminan-jaminan yang diberikan dalam perjanjian.
Dan tentunya dalam hal ini kemampuan berprestasi dapat dilihat dalam
jaminan utama dari perjanjian leasing tersebut. Yaitu bahwa kemampuan
berprestasi lessee dapat dilihat dari kondisi atau latar belakang pihak
lessee dalam menjalankan usahanya. Seperti misalnya mengenai legalitas
badan usaha, kondisi keuangan ataupun permodalannya, serta juga
mengenai kapasitas atau kemampuan lessee dalam menjalankan
usahanya. Tetapi, jaminan utama saja tidaklah cukup untuk memberikan
jaminan kepada lessor akan kemampuan berprestasi lessee. Maka dalam
hal ini jaminan pokok yang berupa barang modal serta jaminan tambahan
yang berupa jaminan kebendaan masih diperlukan dalam mendukung
kemampuan berprestasi lessee sebagai jaminan utama bagi lessor.
65

3. Terdapat permasalahan-permasalahan dalam menentukan adanya


kemampuan berprestasi lessee sebagai jaminan utama bagi lessor.
Permasalahan-permaslahan yang dapat menghambat tersebut antara lain :

a) Lessee sengaja menyembunyikan data-data atau membuat data-data


tentang kondisinya yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan
sebenarnya. Sehingga lessor tidak dapat menganalisa ataupun
meminimalisir resiko-resiko yang mungkin akan dihadapinya.

b) Lessee tidak memahami atau membaca klausula atau isi dari


perjanjian secara menyeluruh dan langsung menandatangani
perjanjian. Sehingga akan berpotensi pada timbulnya wanprestasi
apabila lessse melakukan kelalaian-kelalaian yang melanggar
perjanjian.
c) Lessee tidak memberikan jaminan tambahan ataupun jaminan yang
diberikan lessee mempunai nilai yang lebih rendah dari pada nilai
barang modal yang diberikan lessor kepada lessee. Sehingga nilai
jaminan tersebut tidak dapat menutupi harga keseluruhan dari
barang modal.

B. SARAN-SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut diatas, maka dapat diambil suatu
saran-saran antara lain sebagai berikut :
1. Sebelum sampai pada tahap penandatanganan perjanjian, lessor ada
baiknya terlebih dahulu memperhitungkan segala jaminan-jaminan yang
diberikan oleh lessee baik itu berupa jaminan utama dengan menganalisa
kondisi lessee secara hati-hati dan benar. Ataupun dalam jaminan pokok,
lessor sebaiknya memberikan identitas kepemilikan yang sah yang
dilekatkan pada barang modal tersebut, sehingga tidak disalahgunakan oleh
pihak lessee dikemudian hari. Sedangkan untuk jaminan tambahan lessor
sebaiknya memperhitungkan terlebih dahulu secara benar akan nilai
jaminan tersebut. Paling tidak nilai dari jaminan yang diberikan tersebut
66

dapat menutupi nilai harga dari barang modal beserta keuntungan-


keuntungan yang dapat diterima kembali oleh lessor.
2. Sebaiknya Lessor berusaha meminimalisir permasalahan-permasalahan
yang terdapat dalam kemampuan berprestasi lessee, seperti menganalisa
lessee secara benar dan menyeluruh terhadap kondisi atau latar belakang
usaha yang dilakukannya. Menekankan kepada lessee agar mempelajari isi
dari perjanjian, sebelum menandatanganinya, karena segala klausula yang
ada dalam perjanjian tersebut adalah ditentukan oleh lessor. Dan sebaiknya
pula lessor memperhitungkan segala jaminan yang diberikan oleh lessee
apakah jaminan tersebut dapat memberikan suatu jaminan keamanan pada
diri lessor, sehingga apa yang telah diberikannya kepada lessee dapat
diterimanya kembali beserta keuntungan-keuntungan yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati. 2000. Lembaga Keuangan Dan


Pembiayaan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal. 1984. Aspek Yuridis dalam
Leasing. Jakarta : Rineka Cipta.
Bambang Waluyo. 1991. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta : Sinar
Grafika
Charles Dulles Marpaung. 1985. Pemahaman Mendasar Atas Usaha Leasing.
Jakarta : Integrita Press.
Hasanuddin Rahman. 2003. Contract Drafting. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
HB. Sutopo. 2002. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret
University Press.
Kasmir. 2002. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Mariam Darus Badrulzaman. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni.
______________ . 1983. Perjanjian Kredit Bank. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti
67

Munir Fuady. 2001. Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
______________ . 2003. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis).
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
R. Setiawan. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung : Putra Abardin
R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jakarta : PT. Pradnya Paramita
Richard Burton Simatupang. 2003. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta : Rineka
Cipta
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : PT Grasindo
Soeryono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas
Indonesia Press
Soeryono Soekanto & Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Subekti. 2001. Hukum Perjanjian. Jakarta : Intermasa
Sutrisno Hadi. 2002. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi
Wiryono Projodikoro. 1973. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung : Sumur

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945 (Amademen IV)
Keputusan Presiden RI, No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan
Keputusan Menteri Keuangan RI, No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan
Sewa Guna Usaha
68

Anda mungkin juga menyukai