Anda di halaman 1dari 8

Problematika Hukum Pembiayaan

Leasing di Indonesia

Ristyan Molya Wijayanti


Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Jalan Prof. Soedarto, S.H., No. 1 Tembalang, Semarang, Indonesia, 50275 
ristyanw@students.undip.ac.id

Abstract
Leasing financing institutions are presented as an alternative to banking institutions because
the public perceives them to be more flexible and efficient. As a result of the increasing public
interest in these financial institutions, problems have arisen related to leasing agreements,
which have hampered the development of leasing financial institutions in Indonesia. These
issues include legal issues that are frequently encountered by the parties involved in the
agreement (lessor, lessee, supplier), limited capital for leasing companies, and the
unavailability of the lessee data system for consideration of providing financing.
Keywords: financial institutions,  Leasing, non-bank financing institutions

Abstrak
Lembaga pembiayaan leasing hadir sebagai alternatif dari lembaga perbankan karena dinilai
lebih fleksibel dan efisien oleh masyarakat. Akibat dari semakin meningkatnya ketertarikan
masyarakat terhadap lembaga pembiayaan ini, timbul permasalahan-permasalahan berkaitan
dengan perjanjian leasing yang menyebabkan terhambatnya perkembangan lembaga
pembiayaan leasing di Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah persoalan
hukum yang sering dihadapi pihak yang terlibat perjanjian (lessor, lessee, supplier),
keterbatasan permodalan bagi perusahaan leasing, dan ketidaktersediaan sistem data lessee
untuk pertimbangan diberikannya pemberian pembiayaan.
Kata Kunci: lembaga pembiayaan, Leasing, lembaga pembiayaan non-bank
1. PENDAHULUAN
Kebutuhan dalam kehidupan memerlukan dana yang tidak sedikit, semakin
tinggi tingkat kehidupan akan mempengaruhi meningkatnya kebutuhan akan dana.
Masyarakat kemudian mencari bentuk-bentuk penyandang dana yang dapat memenuhi
kebutuhan dana mereka. Salah satunya adalah dengan adanya lembaga sewa guna
usaha (untuk selanjutnya disebut leasing) yang merupakan lembaga yang lebih
fleksibel dibanding lembaga perbankan. Fleksibilitas lembaga ini dalam hal dokumen,
jaminan, struktur kontrak, besar dan jangka waktu pembayaran cicilan oleh penyewa
guna usaha dan prosedur yang sederhana. Leasing atau lembaga pembiayaan dibentuk
berdasarkan tugas pengaturan dan pengawasan OJK (otoritas jasa keuangan)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan.
Sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa
guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh lessee selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Leasing memberikan
kemungkinan untuk memperoleh alat-alat perlengkapan dan fasilitas yang diperlukan
walaupun keuangan untuk itu tidak dapat segera disediakan. Menambah efisiensi dari
keuangan yang ada dan mencegah kesulitan dalam administrasi (Anwari, 1988).
Perkembangan leasing atau Sewa-Guna atau Sewa-Pakai (menurut istilah Prof.
Soebekti) berkembang begitu cepat, data perkembangan dari tahun 1980 yang hanya
berjumlah 5 perusahaan, di tahun 1988 meroket menjadi 83 perusahaan yang berada di
Jakarta saja. Kemudian dibentuk Asosiasi Leasing Indononesia (ALI), serta turut
terbentuknya perusahaan leasing besar (kendaraan bermotor), seperti; Adira Finance,
W.O.M. Finance, O.T.O. Finance dan lainnya.

2. PERMASALAHAN
Seiring dengan semakin meningkatnya kepopuleran perjanjian leasing ini di
kalangan masyarakat Indonesia, maka timbul permasalahan-permasalahan yang
dihadapi berkenaan dengan perjanjian leasing di Indonesia. Dari berbagai
permasalahan tersebut, terdapat dua permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan
ini, yaitu:
1) Bagaimana perkembangan leasing di Indonesia?
2) Apa saja kendala pembiayaan leasing di Indonesia?

3. PEMBAHASAN
A. Leasing dan Perkembangannya di Indonesia
Dalam perkembangan ekonomi global sekarang ini, banyak hal yang
menjadi trend baru yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat contohnya
pembiayaan leasing. Kredit atau leasing seringkali menjadi alat bagi masyarakat
agar mendapatkan apa yang diinginkan. Seiring dengan perkembangan zaman
yang semankin modern, perkembangan leasing (sewa guna usaha) di Indonesia
sering digunakan karena dianggap lebih praktis dan efisien waktu dan biaya.
Perjanjian leasing mempunyai kemiripan perjanjian sewamenyewa,
perjanjian beli sewa, dan perjanjian jual beli dengan angsuran, namun ada
beberapa karakteristik tertentu yang menjadikan perjanjian leasing tidak dapat
dikategorikan sebagai perjanjian-perjanjian jenis tersebut. Unsur utama yang
sangat membedakannya adalah (Badriyah, Mahmudah, & Soemarmi, 2019):
1. Adanya hak opsi, yaitu hak bagi lessee pada akhir perjanjian leasing
untuk memilih apakah akan melanjutkan leasing atau mengembalikan
barang atau memiliki barang objek leasing;
2. Hak milik atas benda yang menjadi obyek leasing baru beralih kepada
Lessee apabila pada masa akhir perjanjian lessee menggunakan hak
opsi untuk membeli objek leasing;
3. Merupakan kegiatan pembiayaan;
4. Untuk penyediaan barang modal.
Adanya perbedaan tersebut, maka perjanjian leasing merupakan perjanjian
jenis baru yang mandiri (sui generis). Perjanjian ini termasuk perjanjian
innominaat, karena tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata.
Pada awalnya, tujuan dari dibentuknya lembaga pembiayaan khususnya
perusahaan pembiayaan adalah untuk menyalurkan dana pinjaman dalam bentuk
kredit yang selanjutnya akan digunakan sebagai kegiatan produksi. Dasar hukum
lembaga pembiayaan sendiri terdapat pada Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun
2009 tentang Lembaga Pembiayaan. Istilah leasing berasal dari Bahasa Inggris to
lease yang berarti menyewakan (Anwari, 1988). Istilah ini mempunyai perbedaan
dengan istilah rent/rental, yang masing-masing mempunyai jenjang yang tidak
sama. Leasing di Indonesia merupakan kegiatan yang masih muda umurnya yaitu
sejak tahun 1974. Pada tahun 1974 telah terbit Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan
dan Koperasi Nomor Kep-122/MK/1V/1/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan
Nomor 30/KPB/1/1974 tertanggal 7 Febuari 1974 dalam Pasal 1 diberikan definisi
leasing sebagai berikut:
“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaaan barang-
barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk jangka waktu
tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan Hak Pilih (optie)
bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan
atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah
disepakati bersama”.
Leasing mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1974 yang didasarkan
pada ketiga Surat Keputusan Bersama Tiga menteri. Asosiasi Perusahaan
Pembiayaan Indonesia (APPI) memproyeksi industri pembiayaan pada 2021 akan
meningkat 5-7% pada 2021, setelah pada tahun 2020 terkontraksi 12,9% sampai
14% (Hastuti & Astutik, 2020). Perkembangan leasing di Indonesia bisa dilihat
dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan dan keberadaan leasing ini
juga sangat dibutuhkan karena sangat bermanfaat dalam pembiayaan suatu barang-
barang komsumtif yang dibutuhkan. Selanjutnya kegiatan leasing diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/KMK.01/1991 tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing). Dalam Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia No 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha
(leasing) didefisinikan sebagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease)
maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh
penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala. Yang dimaksud dalam sewa guna usaha hak opsi adalah hak yang
diberikan kepada lessee untuk membeli objek leasing pada akhir masa kontrak
yang didasarkan pada nilai residu (H.S., 2003). Finance lease adalah leasing yang
pada diri penyewa guna usaha terdapat hak opsi di akhir masa sewa, yakni untuk
memiliki objek leasing di akhir masa sewa dengan membayar sejumlah uang
sesuai dengan perjanjian sedangkan operating leasing adalah leasing tanpa hak
opsi yakni setelah masa menyewa selesai maka objek leasing wajib dikembalikan
kepada pihak lessor (Nasihin, 2012).
Dalam leasing, ada beberapa pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu lessor,
lessee dan supplier. Berikut pengertian dari masing-masing pihak tersebut. Lessor
adalah pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada pihak lessee dalam bentuk
barang modal dengan cara leasing. Secara khusus, lessor diartikan sebagai
perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah memperoleh
izin usaha daru menteri keuangan dan melakukan kegiatan sewa guna usaha
Lessee adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk
barang modal dari lessor. Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan
atau menyediakan barang modal yang menjadi objek leasing untuk di leasing
kepada lessee dengan pembayaran secara tunai oleh lessor (Nasihin, 2012).

B. Kendala-kendala Perkembangan Leasing di Indonesia


Dalam perkembangannya pembiayaan leasing bukan hanya menyangkut
barang-barang industri berat saja tetapi juga masuk kepada kendaraan bermotor
dan perumahan. Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank
umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen
(consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Dalam
perkembangan leasing di Indonesia muncul permasalahan dalam perjanjian
leasing. Tidak jarang hubungan lessor dan lessee hanya manis pada awal
perjanjian saja, selanjutnya permasalahan utama yang sering terjadi antara lessor
dan lessee adalah tertundanya pemenuhan kewajiban dari lessee kepada lessor.
Membayar setiap angsuran dalam perjanjian leasing merupakan kewajiban lessee
dalam perjanjian leasing, Jika terjadi hal tertundanya pemenuhan kewajiban maka
masing dalam pihak perjanjian leasing ini sama-sama dirugikan.
Kemudian, fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam
melakukan perjanjian pembiayaan mencantumkan kata-kata dijaminkan secara
fidusia, tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di
Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Asas Facta sunt servanda
bagi para pihak tidak dilaksanakan dikarenakan pihak lessor menyembunyikan
perjanjian yang sesungguhnya, yaitu dengan tidak didaftarkan perjanjian fidusia
terhadap barang fidusia di kantor fidusia sehingga itikad baik bagi lessor
diragukan. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.
Pada akhirnya jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia
menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor tidak bisa
melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan dari kreditor terhadap debitor. Bisa juga karena mengingat
pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak penuh sesuai dengan nilai
barang, atau debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang
dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak
sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut
tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum.
Penjelasan dalam latar belakang mempertegas bahwa perubahan-perubahan
dalam Buku III KUH Perdata perihal “perikatan” khususnya tentang Jual-Beli dan
Sewa-Menyewa dapat saja berubah karena faktor praktek bisnis ditengah-tengah
masyarakat. Permasalahan leasing dimulai ketika perkembangan leasing begitu
cepat tanpa diikuti dengan regulasi yang memadai. Aturan yang ada tentang
leasing baru tahap Surat Keputusan Menteri. Aturan ini menjadi tidak efektif saat
terjadi persoalan-persoalan para pihak yang terlibat dalam perjanjian pembiayaan
leasing.
Persoalannya, jika penerima (lessee) tak bisa melunasi pinjamannya, tak ada
jaminan hukum bahwa si pemberi (lessor) bisa mengambil barangnya kembali,
apalagi sekaligus menjatuhkan sanksi. Sebab, KUH Perdata tak mengenal istilah
sewa guna itu. Akibatnya, pada beberapa sengketa leasing yang diperkarakan ke
pengadilan, penyelesaiannya terasa tak tuntas.
Permasalahan leasing lainnya adalah tentang sumber pendanaan perusahaan
pembiayaan leasing. Persoalan utama yang dihadapi perusahaan leasing adalah
langkanya dana yang tersedia untuk melakukan pembiayaan, termasuk kepada
Usaha Kecil menengah (UKM). Berdasarkan aturan pemerintah, perusahaan
leasing hanya dapat memperoleh dana dari kredit bank, di samping dana yang
disetor oleh pemilik perusahaan. Di samping itu, perusahaan leasing juga tidak
memiliki sistem informasi seperti yang dimiliki bank untuk mengecek calon
nasabahnya. Sehingga kepada setiap calon nasabah yang akan memperoleh
pembiayaan, perusahaan leasing memerlukan pengecekan lebih detail kepada
supplier atau competitor. Hal ini perlu dilakukan karena untuk menyediakan
pembiayaan kepada UKM, maka faktor karakter menjadi persoalan utama.
Implikasinya, jika informasi mengenai karakter UKM sebagai calon nasabah tidak
diperoleh, maka perusahaan leasing akan membatalkan pembiayaan kepada UKM
(Nahrowi, 2013).

4. KESIMPULAN
Berdasarkan dari apa yang telah diuraikan pada tulisan ini, maka dapat
disimpulkan bahwa perkembangan leasing terjadi begitu cepat karena leasing hadir
sebagai solusi pembiayaan yang dianggap lebih praktis dan efisien waktu dan biaya.
Leasing merupakan lembaga pembiayaan yang lebih fleksibel dibanding lembaga
perbankan.
Permasalahan-permasalahan mengenai leasing terjadi karena belum adanya
ketersediaan peraturan perundang-undangan yang memadai, keterbatasan permodalan
perusahaan leasing di Indonesia, serta ketidaktersediaan sistem data lessee sebagai
data untuk pertimbangan pemberian pembiayaan oleh lessor atau perusahaan leasing.

5. REFERENSI
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-122/MK/1V/1/1974
Keputusan Menteri Perindustrian No. 32/M/SK/2/1974
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi, Nomor, dan Nomor 30/KPB/1/1974
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 1169/KMK.01/1991 tentang
Kegiatan Sewa Guna Usaha

Buku, Artikel, Jurnal, dan Video Youtube:


Anwari, A. (1988). Leasing di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Badriyah, S. M., Mahmudah, S., & Soemarmi, A. (2019). Leasing Sebagai Alternatif
Pembiayaan Kapal Bagi Nelayan Kecil di Kota Pekalongan. Masalah-Masalah
Hukum, Jilid 48 No.2, April 2019, 204-214.
H.S., Salim. (2003). Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika.
Hastuti, R. K., & Astutik, Y. (2020, November 10). Industri Leasing Bidik
Pertumbuhan Hingga 7% di 2021. Diambil dari CNBC Indonesia:
https://www.cnbcindonesia.com/market/20201110114536-17-200643/industri-
leasing-bidik-pertumbuhan-hingga-7-di-2021. Diakses pada 19 Juni 2021.
Nahrowi. (2013). Permasalahan Hukum Pembiayaan Leasing di Indonesia. Jurnal
Cita Hukum, Vol. I No. 1 Juni 2013, 26-38.
Nasihin, M. (2012). Segala hal tentang Hukum Lembaga Pembiayaan. Yogyakarta:
Buku Pintar.
Badriyah, Siti Malikhatun. Siti Malikhatun Badriyah Official. (2021, 14 April).
Hukum Perjanjian: Perjanjian Leasing [Video]. Youtube.
https://youtu.be/A1wZVmdhV38

Anda mungkin juga menyukai