Anda di halaman 1dari 46

1

A. Judul Penelitian : KEDUDUKAN KREDITOR PEMEGANG HAK


JAMINAN KEBENDAAN DALAM KEPAILITAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN
UTANG
--------------------------------------------------------------------------------------------
B. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi di Indonesia pada saat ini tumbuh tidak
begitu pesat. Hal ini terlihat dari banyaknya pengangguran yang ada serta mata
uang rupiah yang naik turun terhadap mata uang asing terutama mata uang
dollar. Seiring dengan era yang semakin modern, maka semakin komplek juga
masalah yang timbul dibidang ekonomi tersebut. Orang hidup memerlukan
modal untuk mencukupi kebutuhannya. Demikian juga suatu perusahaan untuk
memenuhi kegiatan usahanya.
Dalam kehidupan, baik perorangan (natural person) maupun suatu
badan hukum (legal entity) adakalanya tidak memiliki uang yang cukup untuk
membiayai keperluan atau kegiatannya. Untuk dapat mencukupi kekurangan
tersebut, orang atau perusahaan dapat antara lain melakukannya dengan
meminjam uang yang dibutuhkan itu dari pihak lain.
Permasalahan sering kali muncul selama perkembangan suatu
perusahaan atau industri tersebut adalah kebutuhan akan dana bagi perusahaan
guna menjalankan kegiatan usahanya tidak diragukan lagi sebagai salah satu
kebutuhan yang sangat esensial atau mendasar. Untuk melanjutkan usaha,
perusahaan tersebut kemudian meminjam dana dari sumber yang lain yang
lebih dikenal dengan utang. Dana yang berupa utang dapat diperoleh
perusahaan tersebut dari berbagai sumber seperti bank-bank, lembaga
pembiayaan, pasar uang yang memperjual-belikan surat-surat utang jangka
pendek, pasar modal yang memperjual-belikan surat-surat utang jangka
panjang, maupun sumber-sumber pembiayaan lainnya yang bisa digunakan
oleh perusahaan untuk mendapatkan utang yang disertakan dengan bunga.
2

Apabila seseorang atau suatu badan hukum memperoleh pinjaman dari


pihak lain (orang lain atau badan hukum lain), maka pihak yang memperoleh
pinjaman itu disebut debitor sedangkan pihak yang memberikan pinjaman
disebut kreditor. Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan oleh kreditor
kepada debitor dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitor dapat
mengembalikan pinjaman tersebut kepada kreditor tepat pada waktunya. Tanpa
adanya kepercayaan dari kreditor, tidaklah mungkin kreditor mau memberikan
pinjaman kepada debitor, hal ini disebut dengan kredit (credit) yang berasal
dari kata credere yang berarti kepercayaan atau Trust1.
Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia pada
pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi
perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan
merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Negara kita memang tidak
sendirian dalam menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkiri
bahwa Negara kita adalah salah satu Negara yang paling menderita dan
merasakan akibatnya. Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang gulung tikar,
sedangkan yang masih dapat bertahan pun hidupnya menderita2.
Dengan terpuruknya kehidupan perekonomian dunia maka akan
berimbas pada perekonomian nasional, dapat dipastikan banyak dunia usaha
yang ambruk dan rontok sehingga tidak dapat meneruskan kegiatannnya
termasuk dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditor. Keambrukan itu
akan menimbulkan masalah besar jika aturan main yang ada tidak lengkap dan
sempurna. Untuk itu perlu ada aturan main yang dapat digunakan secara cepat,
terbuka, dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada kreditor
dan debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil. Salah satu sarana
hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang piutang dan erat
relevansinya dengan kebangkrutan dunia usaha adalah peraturan tentang

1
Sutan Remy Sjahdeini, Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan: Asas Asas,
Ketentuan Ketentuan Pokok dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian
Mengenai Undang Undang Hak Tanggungan). Bandung: Alumni. 2002, hal. 6
2
Ahmad Yani & Gunawan W, Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.2002, hal. 1
3

kepailitan, termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran


utang3.
Kepailitan pada dasarnya merupakan perkara perdata, lebih tepatnya
perkara utang-piutang. Kepailitan merupakan proses dimana apabila seorang
debitor tidak mampu melunasi utangnya kepada lebih dari dua kreditornya dan
utang tersebut telah jatuh tempo yang diputus oleh Pengadilan Niaga sesuai
dengan peraturan kepailitan. Penyelesaiannya pun bisa dilakukan berbagai
cara, mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga atau diselesaikan di
luar pengadilan (alternative dispute resolution), tergantung pilihan dari pihak
kreditor yang merasa haknya dilanggar. Perkara kepailitan mempunyai
beberapa kekhususan dibanding dengan perkara perdata biasa. Hal tersebut
diantaranya dapat dilihat dari syarat pengajuannya, pengadilan yang berwenang
memeriksa dan memutusnya, dan jangka waktu penyelesaian perkara tersebut
yang berbeda dengan perkara perdata pada umumnya.
Salah satu syarat pengajuan perkara kepailitan adalah debitor harus
mempunyai dua kreditor atau lebih, yang mana salah satu utangnya telah jatuh
tempo dan dapat ditagih. Di dalam kepailitan ada tingkatan jenis kreditor yaitu
kreditor separatis (kreditor pemegang hak jaminan kebendaan), kreditor
preferen, dan kreditor konkuren. Sehubungan dengan hal tersebut maka perkara
kepailitan akan berkaitan dengan masalah hak jaminan yang dimiliki oleh
kreditor separatis, baik berupa jaminan yang bersifat umum sebagaimana
diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
ataupun yang bersifat khusus.
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan :
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru ada dikemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan :
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-

3
Ibid, hal. 2
4

bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-


masing, kecuali antara para berpiutang itu ada alsaan-alasan yang sah
didahulukan”.
Menurut prinsip hukum jaminan, kedudukan kreditor pemegang hak
jaminan kebendaan tidak terpengaruh oleh kepailitan. Dalam Pasal 1131
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hukum memberikan jaminan
kepada kreditor bahwa apabila debitor tidak melunasi hutangnya
dikarenakan suatu hal pada waktu yang ditentukan, maka harta kekayaan
debitor baik yang bergerak maupun tidak bergerak yang telah ada di
kemudian hari, akan menjadi agunan hutangnya yang dapat dijual untuk
pelunasan pinjaman atau kredit yang diberikan oleh kreditor kepada debitor.
Sedangkan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memberikan
jaminan kedudukan yang seimbang pada para kreditornya. Kedudukan yang
seimbang tersebut antar kreditor dapat dikecualikan apabila ditentukan lain
oleh undang-undang yang berlaku Hal tersebut berarti Kreditor tersebut
dapat melaksanakan haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Mengingat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan lex
specialis (ketentuan yang bersifat spesifik dalam hal kepailitan). Undang-
Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Hutang tersebut memberikan pengecualian terhadap
kreditor yang mempunyai hak kebendaan, pengecualian tersebut dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang,
yang menyebutkan bahwa setiap kreditor Pemegang Gadai, Jaminan
Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik, atau Hak Agunan atas kebendaan
lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Ketentuan tersebut memberikan kedudukan yang kuat kepada kreditor
pemegang hak kebendaan terhadap aset debitor yang menjadi jaminan
utangnya, yang tidak terpengaruh oleh kepailitan yang menimpa debitor.
5

Namun demikian, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Undang-


Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan
Kewajiban Pembayaran Utang hak eksekusi kreditor separatis dimaksud,
ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Oleh sebab itu pasal
tersebut, secara teoritis membatasi hak kreditor, sebagai kreditur separatis.
Kemudian apabila ditinjau lebih lanjut, Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban
Pembayaran Utang tersebut tidak sepenuhnya memberikan jaminan kepada
kreditur pemegang hak jaminan kebendaan untuk melaksanakan hak-haknya
(eksekusi) apabila debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga
mengingat barang yang dijaminkan berupa barang bergerak sudah tidak ada
lagi pada debitor, maka penulis tertarik untuk menelaah KEDUDUKAN
KREDITOR PEMEGANG HAK JAMINAN KEBENDAAN DALAM
KEPAILITAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37
TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka penulis akan
mengemukakan pokok permasalahan yaitu Bagaimana kedudukan kreditor
(separatis) pemegang hak jaminan kebendaan dalam kepailitan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang ?

D. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang
hendak dicapai, dan suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah antara lain sebagai
berikut :
6

1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
terkait dengan masa penangguhan eksekusi.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dan pemahaman penulis di
bidang Hukum Perdata khususnya Hukum Kepailitan dan Hukum
Jaminan.
b. Memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar Magister
Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

E. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian tentunya diharapkan akan memberikan manfaat yang
berguna, khususnya bagi ilmu pengetahuan di bidang penelitian tersebut.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembangunan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya
dan Hukum Perdata pada khususnya.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang kedudukan kreditor
pemegang hak jaminan kebendaan berdasarkan Undang-undang
kepailitan.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,
membentuk pola pikir ilmiah sekaligus mengetahui kemampuan penulis
dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
7

b. Memberikan wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas


terkait dengan kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
dalam kepailitan.

F. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan
a. Pengertian
Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang
berhubungan dengan pailit. Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau
Bankrupt adalah the state or condition of a person (individual,
partnership, corporation, municipality) who is unable to pay is debt as
they are, or become due. The term includes a person against whom an
involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary
petition, or who has been adjudged a bankrupt.
Black’s Law Dictionary mengartikan pengertian pailit
dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang
(debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata
untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara suka rela oleh debitor
sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (di luar debitor), suatu
permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan4.
Menurut Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa:
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas sebagai mana diatur dalam
Undang-Undang ini”.
Istilah kepailitan yang digunakan di Indonesia berasal dari kata
pailit yang bersumber dari bahasa Belanda yaitu failliet yang berarti

4
Ibid, hal. 12
8

kebangkrutan, bangkrut dan faillissement untuk istilah  kepailitan


yang berarti keadaan bangkrut. Sedangkan dalam bahasa Inggris untuk
istilah pailit dan kepailitan digunakan istilah bankrupt dan bankruptcy.
Berikut adalah pendapat beberapa ahli (http://mkn-unsri.blogspot.com,
Surakarta 5 Juli 2015) :
1) Menurut Subekti, pailisemen itu adalah suatu usaha bersama
untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang
secara adil.
2) Menurut Soekardono, kepailitan adalah penyitaan umum atas
kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, 
sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan
pemeliharaan serta pemberesan boedel dari orang yang pailit.
3) Menurut Kartono, kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi
atas seluruh kekayaan si debitur untuk kepentingan seluruh
krediturnya bersama-sama, yang pada waktu si debitur
dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang
yang masing-masing kreditur miliki pada saat itu.
Berdasar pendapat beberapa ahli di atas tentang definisi atau
pengertian tentang kepailitan, maka dapat ditarik unsur-unsur sebagai
berikut yaitu:
1) Kepailitan dimaksudkan guna menjamin pembagian yang sama
terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya.
2) Kepailitan mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor.
3) Kepailitan memberikan perlindungan kepada debitor yang
beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh
pembebasan utang.
b. Tujuan Kepailitan
Tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah :
1) Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak
mereka sehubungan dengan asas jaminan. Menghindarkan
terjadinya saling rebut diantara para kreditor.
9

2) Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara para


kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara
proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor
konkuren).
3) Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan perbuatan
yang dapat merugikan kepentingan para kreditor.
4) Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik
dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan
utang.
5) Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah
mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keauangan yang
buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan
kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan.
6) Memberikan kesempatan kepada debitor dan kreditornya untuk
berunding dan membuat kespakatan mengenai restrukturisasi
utang -utang debitor5.

c. Asas-Asas dalam Kepailitan


Asas-asas hukum dalam kepailitan tercermin dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yakni sebagai berikut6:
1) Asas Keseimbangan
Undang-undang Kepailitan diadakan untuk memberikan
perlindungan hukum kepada para kreditor maupun debitor.
Perlindungan diberikan kepada debitor guna mencegah kreditor
yang tidak jujur, dan perlindungan hukum juga diberikan kepada
kreditor guna memperoleh akses terhadap harta kekayaan
debitor yang dinyatakan pailit karena tidak mampu lagi
membayar utang-utangnya.
2) Asas Kelangsungan Usaha
Undang-undang Kepailitan juga memungkinkan atau
memberikan kesempatan kepada debitor dimana apabila pihak
debitor dinilai masih memiliki itikad baik dan dipandang
mempunyai prospek untuk melangsungkan usahanya, untuk
melanjutkan usahanya dan melunasi utang-utangnya kepada
kreditor.
3) Asas Keadilan
Undang-undang Kepailitan menjamin keadilan bagi seluruh
pihak yang berkepentingan guna pembagian harta pailit. Sesuai

5
Sutan Remy, 2002. Memahami Failissements Verordening Juncto Undang-Undang No.
4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.2002, HAL. 39-40
6
Adi Sulistiyono. “Hukum Kepailitan” Bahan Perkuliahan. Disampaikan pada
perkuliahan Hukum Kepailitan pada semester Ganjil 2009/2010 di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta, 2010, hal. 9
10

dengan asas Pari Passu yang tercermin di dalam Pasal 1132


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana membagi harta
pailit secara proporsional harta kekayaan debitor kepada kreditor
konkuren.
4) Asas Integrasi
Adanya integrasi antara sistem hukum formil dengan materiel
dalam Undang-undang Kepailitan. Dimana adanya suatu kaitan
atau kesatuan yang mengatur tentang masalah kepailitan.

d. Syarat-syarat Pernyataan Kepailitan


Pengajuan permohonan kepailitan terhadap debitor harus
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan kepailitan yang berlaku. Permohonan pernyataan
pailit tersebut kemudian diajukan melalui Pengadilan Niaga. Syarat-
syarat dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit tersebut
tercermin di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran
Utang yang menyebutkan :
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditornya dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan
yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Syarat pengajuan permohonan kepailitan yang telah tercermin
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang
tersebut dapat dibagi menjadi :
1) Debitor minimal mempunyai dua kreditor
Syarat yang mengharuskan adanya debitor yang memiliki
minimal dua kreditor merupakan syarat yang wajib dipenuhi
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Syarat yang mengatur minimal memiliki
dua kreditor tersebut dikenal dengan syarat “concursus
11

creditorium”. Syarat tersebut merupakan “raison d’entre-nya”


Undang-Undang Kepailitan, karena eksistensi Undang-Undang
Kepailitan diperlukan untuk mengatur mengenai salah satunya
adalah bagaimana cara membagi harta kekayaan debitor di
antara para kreditornya dalam hal debitor memiliki lebih dari
seorang kreditor7.
Debitor tidak dapat dinyatakan pailit jika hanya memiliki
seorang kreditor, hal itu disebabkan karena jika hanya memiliki
satu orang kreditor maka tidak ada keperluan untuk membagi
aset debitor di antara para kreditor.

2) Adanya minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
Utang menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban
Pembayaran Utang meyatakan bahwa:
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen,
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan
yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada kreditor untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan debitur”.
Pengertian utang dalam pernyataan kepailitan harus telah
jatuh tempo atau jatuh waktu dan dapat ditagih. Utang yang
telah jatuh waktu ialah utang yang dengan lampaunya waktu
penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu,
menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditor berhak
menagihnya8.

7
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit. Hal. 63
8
Ibid, hal. 68
12

Utang yang telah jatuh waktu dapat disebut pula hutang


yang telah expired dengan sendirinya menjadi utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, namun hutang yang telah dapat
ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu.
Utang tersebut dapat ditagih karena terjadi salah satu peristiwa-
peristiwa yang disebutkan dalam perjanjian (events of default).
Adalah lazim dalam suatu perjanjian kredit mencantumkan
klausul events of default, yaitu klausul yang meberikan hak
kepada bank untuk menyatakan kepada nasabah debitor telah
cidera janji apabila salah satu peristiwa yang tercantum dalam
events of default terjadi9.
Apabila dalam suatu perjanjian kredit tidak ditentukan
suatu waktu tertentu mengenai telah dapat ditagihnya suatu
utang, maka dapat merujuk dalam pada Pasal 1238 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan:
“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah
atau dengan sebuah akta sejenis itu telah lalai, atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si
berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan”.
Menurut Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata berarti bila debitor dianggap lalai jika ada suatu perintah
atau akta pernyataan lalainya debitor yang dikirim oleh kreditor.
Akta pernyataan lalainya debitor biasa berbentuk surat teguran
atau somasi yang di dalamnya menyatakan bahwa debitor telah
lalai dan di dalam surat tersebut debitor diberikan waktu tertentu
untuk melunasi hutangnya. Dengan begitu secara otomatis maka
utang debitor telah dapat di tagih.

9
Ibid, hal. 69
13

3) Diputus pengadilan yang berwenang


Permohonan pernyataan pailit diputus oleh pengadilan
yang berwenang. Pengadilan yang berwenang dalam hal ini
adalah Pengadilan Niaga. Pihak yang berwenang mengajukan
permohonan pernyataan pailit diatur di dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:
a) Kreditornya, satu orang atau lebih,
b) Debitor sendiri (dalam hal debitornya telah menikah dan
terjadi pencampuran harta harus dengan persetujuan suami
atau istrinya),
c) Kejaksaan untuk kepentingan umum,
d) Bank Indonesia (BI) apabila debitornya adalah bank,
e) Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), apabila
debitornya adalah perusahaan efek,
f) Menteri Keuangan, jika debitornya Perusahaan Asuransi,
Reasuransi, BUMN bergerak untuk kepentingan publik.
Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh para
pemohonkepada pengadilan dengan mempertimbangkan bahwa
pengadilan tidak boleh menolak suatu perkara dimana
merupakan kewenangan hakim/ pengadilan untuk menerima
ataupun menolak suatu permohonan tersebut.

e. Proses Pengajuan Permohonan Pailit


Proses pengajuan permohonan pailit diajukan di Pengadilan
Niaga berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang,
yaitu sebagai berikut:
1) Permohonan pernyataan pailit didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Niaga, tempat domisili debitor.
14

2) Panitera menyampaikan permohonan kepada Ketua Pengadilan


Niaga selama 2 (dua) hari, sejak pendaftaran dilakukan.
3) Pengadilan akan mempelajari permohonan dan menetapkan hari
sidang 3 (tiga) hari sejak pendaftaran dilakukan.
4) Pemanggilan sidang dilakukan 1 (satu) minggu sebelum sidang
pertama dilaksanakan.
5) Sidang harus dilaksanakan paling lambat 20 (dua puluh) hari
sejak hari pendaftaran.
6) Penundaan sidang boleh dilakukan paling lama 25 (dua puluh
lima) hari sejak pendaftaran.
7) Putusan permohonan pailit harus sudah jatuh/ diputuskan 60
(enam puluh) hari sejak didaftarkan.
8) Penyampaian salinan putusan kepada pihak yang
berkepentingan dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan
dijatuhkan.
9) Pengajuan dan pendaftaran permohonan kasasi kepada Panitera
Pengadilan Niaga selama 8 (delapan) hari sejak putusan
dijatuhkan.
10) Panitera Pengadilan Niaga mengirim permohonan kasasi kepada
pihak terkasasi 2 (dua) hari sejak pendaftaran permohonan
kasasi.
11) Pihak terkasasi menyampaikan kontra memori kasasi kepada
pihak Panitera Pengadilan Niaga selama 7 (tujuh) hari sejak
pihak terkasasi menerima dokumen kasasi.
12) Panitera Pengadilan Niaga menyampaikan berkas kasasi kepada
Mahkamah Agung selama 2 (dua) minggu sejak pendaftaran
permohonan kasasi.
13) Mahkamah Agung mempelajari dan menetapkan sidang selama
2 (dua) hari sejak permohonan diterima.
14) Sidang pemeriksaan permohonan kasasi dilaksanakan 20 (dua
puluh) hari sejak permohonan didaftarkan.
15

15) Putusan kasasi sudah harus jatuh paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak permohonan kasasi didaftarkan.
16) Penyampaian putusan kepada pihak yang berkepentingan selama
3 (tiga) hari sejak putusan kasasi dijatuhkan.
17) Apabila hendak melakukan Peninjauan Kembali (PK) sesuai
dengan ketentuan prosedur pengajuan kasasi (Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang).
f. Akibat Kepailitan
Secara umum suatu pernyataan kepailitan memiliki akibat :
1) Kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitor pada saat
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
selama kepailitan.
2) Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
3) Kepailitan hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri
pribadi debitur pailit.
4) Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan
semua para kreditor dan debitor. Hakim pengawas memimpin
dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.
5) Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit
harus diajukan oleh atau terhadap kurator.
6) Segala perbutan debitor yang dilakukan sebelum dinyatakan
pailit, apabila dapat dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara
sadar dilakukan debitor untuk merugikan kreditor, maka dapat
dibatalkan oleh kurator atau kreditor.
7) Hibah dapat dibatalkan sepanjang merugikan harta kepailitan
(boedel pailit).
8) Perikatan selama kepailitan yang dilakukan oleh debitor, apabila
perikatan tersebut menguntungkan bisa diteruskan. Namun
apabila perikatan tersebut merugikan, maka kerugian
sepenuhnya ditanggung oleh debitor secara pribadi, atau
perikatan tersebut dapat dimintakan pembatalan.
9) Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam suatu persatuan
harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut10.

10
Adi Sulistiyono, Op. Cit. hal. 29
16

2. Tinjauan Umum Tentang Kreditor


a. Pengertian Kreditor
Didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang telah
disebutkan mengenai pengertian kreditor. Kreditor adalah orang yang
mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang
dapat ditagih di muka pengadilan. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidak dipakai istilah “kerditor”, tetapi dipakai istilah si
berpiutang (schuldeischer).
Dapat disimpulkan, kreditor adalah pihak (perorangan,
organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang memiliki tagihan
kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa yang
diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) dimana
diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan
properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai
peminjam atau yang berhutang.
Ada dua perbedaan pengertian kreditor yang mengacu pada
pengertian utang dalam arti sempit dan luas.Pengertian kreditor yang
mengacu pada utang dalam arti sempit, adalah pihak yang memiliki
tagihan atau hak tagih berupa pembayaran sejumlah uang yang hak
tersebut timbul semata-mata dari perjanjian utang-piutang. Sedangkan
pengertian kreditor yang mengacu pada utang dalam arti luas, adalah
pihak yang memiliki tagihan atau hak tagih berpa pembayaran
sejumlah uang yang hak tersebut timbul baik karena perjanjian apapun
maupun karena undang-undang. Termasuk dalam hal ini adalah
tagihan berdasarkan putusan pengadilan11 .
b. Peraturan dan Jenis-Jenis Kreditor
Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengisyratkan bahwa setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama
terhadap kreditor lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang

11
Sutan Remy, Op. Cit. hal. 115
17

karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada


kreditor-kreditor lainnya. Pengajuan perkara kepailitan diatur di
dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang, salah
satunya dilakukan oleh kreditor. Pembagian boedel pailit tersebut
dibagi kepada para kreditor yang memiliki piutang yang didasarkan
pada tingkatan kreditor. Tiga (3) tingkatan kreditur tersebut, yaitu:
1) Kreditor Separatis, yaitu Kreditor yang mempunyai hak jaminan
kebendaan. Dikatakan “separatis” yang berkonotasi
“pemisahan”, karena kedudukan kreditor tersebut memang
dipisahkan dari kreditor lainnya. Dalam arti dia dapat menjual
sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan, yang
terpisah dengan harta pailit pada umumnya12:
a. Gadai yang diatur dalam Bab XX Buku III Kitab Undang
Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1150Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, gadai adalah “Suatu hak yang
diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak yang
diserahkan kepadanya oleh debitor atau oleh kuasanya,
sebagai jaminan atas utangnya dan yang memberi
wewenang kepada kreditor untuk mengambil pelunasan
piutangnya dari barang itu dengan mendahului kreditor-
kreditor lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai
pelaksanaaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan
atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu,
yangdikeluarkan stelah barang itu diserahkan sebagai gadai
dan yang harus didahulukan”untuk kebendaan bergerak
dengan cara melepaskan kebendaan yang dijaminkan
tersebut dari penguasaan pihak yang memberikan jaminan
kebendaan berupa gadai tersebut ;
b. Hipotik yang diatur dalam Bab XXI Buku III Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, Pasal 1162 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata. Hipotek adalah “suatu hak kebendaaan atas
benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian
daripadanya bagi pelunasan bagi suatu perikatan”, yang
menurut Pasal 314 Kitab Undang Undang Hukum Dagang
berlaku untuk kapal laut yang memiliki ukuran sekurang-
kurangnya dua puluh meter kubik dan didaftar di
Syahbandar Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
Departemen Perhubungan sehingga memiliki kebangsaan
sebagai kapal Indonesia dandiperlakukan sebagai benda

12
Munir Fuady, Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya
Bakti.1998, hal. 109
18

tidak bergerak. Sementara itu, yang tidak terdaftar dianggap


sebagai benda bergerak sehingga padanya berlaku ketentuan
Pasal 1977 Kitab Undang Undang Hukum Perdata;
c. Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
yang mengatur mengenai penjaminan atas hak-hak atas
tanah tertentu berikut kebendaan yang dianggap melekat
dan diperuntukkan untuk dipergunakan secara bersama-
sama dengan bidang tanah yang di atasnya terdapat hak-hak
atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan ;
d. Jaminan Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

2) Kreditor Preferen, yaitu Kreditor pemegang hak istimewa


seperti yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata. Hak istimewa adalah suatu
hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang
berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang
berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa,
kecuali dalam hal-hal di mana oleh undang-undang ditentukan
sebaliknya.
3) Kreditor Konkuren atau disebut juga kreditor bersaing, karena
tidak memiliki jaminan secara khusus dan tidak mempunyai hak
istimewa, sehingga kedudukannya sama dengan kreditor tanpa
jaminan lainnya berdasarkan asas paritas cridetorium. Para
kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang lebih
rendah/dikalahkan dengan pra kreditor preferen. Para kreditor
konkuren hanya mempunyai hak yang bersifat perorangan yang
mempunyai tingkatan yang sama satu dengan yang lainnya.
Tidak mempunyai kedudukan untuk didahulukan
pemenuhannya, baik karena adanya lebih dulu ataupun karena
dapat ditagih lebih dulu13 .

13
Sri Soedewi Masjcoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia: Pokok Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty, 2007, hal. 76)
19

4) Pembagian boedel pailit kepada para kreditor tersebut dalam


kepailitan berdasarkan tiga (3) prinsip, yaitu:14
1) Prinsip Paritas Creditorum yaitu kesetaraan kedudukan para
kreditor, yang menentukan bahwa para kreditor mempunyai
kedudukan yang sama terhadap harta debitor. Prinsip ini
mengandung makna bahwa semua kekyaan debitor baik
berupa barang yang bergerak ataupun barang yang tidak
bergerak ataupun barang yang sekarang dimiliki debitor dan
barang-barang yang dikemudian hari dimiliki debitor terikat
kepada penyelesaian kewajiban debitor. Makna lain dari
prinsip paritas creditorium adalah bahwa yang menjadi
jaminan umum terhadap utang-utang debitor hanya terbatas
pada harta kekayaannya saja bukan aspek lainnya, seperti
status pribadi dan hak-hak lainnya diluar harta kekayaan
sama sekali tidak terpengaruh terhadap utang piutang debitor
tersebut. Ketidak adilan prinsip paritas creditorium adalah
menyamaratakan kedudukan para kreditor. Betapa tidak
adilnya seorang kreditor yang memiliki jaminan kebendaan
diperlakukan sama dengan seorang kreditor yang sama sekali
tidak memegang jaminan kebendaan.
2) Prinsip Pari Passu Prorata Parte, yaitu bahwa harta
kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para
kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional
antara mereka, kecuali jika antara kreditor itu ada yang
menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya. Berdasarkan prinsip tersebut,
pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya
terhadap kreditor dilakukan tidak sekedar sama rata,
melainkan juga disesuaikan dengan proporsinya. Singkatnya,
kreditor yang memiliki tagihan lebih besar akan mendapatkan
porsi pembayaran yang lebih besar dari pada kreditor yang
tagihannya lebih kecil. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte
menemukan relevansinya dalam kondisi harta debitor yang
akan dibagi lebih kecil dibanding dengan jumlah utang-utang
debitor.
3) Prinsip Structured Creditors, yaitu prinsip yang
mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam
kreditor sesuai dengan kelasnya masing- masing. Dikatakan
belum lengkap dan adil karena kedua prinsip ini baru
mengatur tentang aturan dasar pembagian harta kekayaan
debitor terhadap para kreditor dalam kelas yang sama.
Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dan kreditor yang
memiliki hak istimewa belum terproteksi. Penerapan prinsip
14
M Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan.
Jakarta: Kencana.2009, hal. 27-31
20

Structured Creditors dalam praktek kepailitan, menjadi solusi


dari benturan antara prinsip hukum kepailitan dengan prinsip
hukum jaminan dan hukum lain yang memberikan
keistimewaan tertentu pada kreditor sebagaimana dimaksud
di atas15 .

Ketiga prinsip tersebut sangat penting baik dari segi hukum


perikatan dan hukum jaminan maupun hukum kepailitan. Tidak
adanya prinsip ini maka pranata kepailitan menjadi tidak bermakna
karena filosofi kepailitan adalah sebagai pranata untuk melakukan
likuidasi terhadap aset debitor yang memiliki banyak kreditor dimana
tanpa adanya kepailitan maka para kreditornya akan saling berebut
baik secara sah maupun secara tidak sah sehingga menimbulkan suatu
ketidakadilan baik terhadap debitor sendiri maupun terhadap kreditor
khususnya kreditor yang masuk belakangan sehingga tidak
mendapatkan bagian harta debitor untuk pembayaran utang-utang
debitor.

3. Tinjauan Umum Tentang Jaminan


a. Pengertian Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,
yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara
umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya,
disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-
barangnya16
Kontruksi jaminan dalam definisi ini ada kesamaan dengan yang
dikemukakan Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan. Hartono
Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah “sesuatu yang
diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa
debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
yang timbul dari suatu perikatan”.
15
Ibid, hal. 27-31
16
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004, hal. 21
21

Istilah yang digunakan oleh M. Bahsan adalah jaminan.Ia


berpendapat bahwa jaminan adalah “Segala sesuatu yang diterima
kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang
dalam masyarakat” 17.
Kedua definisi jaminan yang dipaparkan diatas, adalah
1) Difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditor (Bank);
2) Ujudnya jaminan ini dapat dapat dinilai dengan uang (Jaminan
materiil); dan
3) Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditor
dengan debitor.
b. Bentuk-bentuk Jaminan
Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu jaminan materiil
(Kebendaan) dan jaminan imateriil (Perorangan). Jaminan kebendaan
mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak
mendahului diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat
dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan
perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda
tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan sesorang lewat
orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan18.
Ciri-ciri dari jaminan kebendaan menurut Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, yaitu
1) Hukum kebendaan merupakan hukum yang bersifat memaksa
(dwingend recht) yang tidak dapat dikesampingkan (waife) oleh
para pihak.
2) Hak kebendaan dapat dipindahkan, dengan pengertian bahwa,
kecuali dalam hal yang bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum, hak milik atas kebendaan dapat
dialihkan dari pemiliknya semula kepada pihak lainnya, dengan
segala akibat hukumnya.
3) Individualiteit, yang berarti bahwa yang dapat dimiliki sebagai
kebendaan adalah segala sesuatau yang menurut hukum dapat
ditentukan terpisah (individued bepaald).

17
Ibid, hal. 22
18
Ibid, hal. 23
22

4) Totaliteit. Asas ini menyatakan bahwa kepemilikan oleh


individu atas suatu kebendaan berarti kepemilikan menyeluruh
atas setiap bagian kebendaan tersebut. Dalam konteks ini
misalnya seseorang tidak mungkin memiliki bagian dari suatu
kebendaan, jika ia sendiri tidak memiliki title hak milik atas
kebendaan tersebut secara utuh.
5) Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid). Asas ini
merupakan konsekuensi hukum dari asas totaliet, dimana
dikatakan bahwa seseorang tidak dimungkinkan melepaskannya
hanya sebagian hak miliknya atas sesuatu kebendaan yang utuh.
Meskipun seorang pemilik diberikan kewenangan untuk
membebani hak miliknya dengan hak kebendaan lainnya yang
bersifat terbatas (jura in re aliena), namun pembebanan yang
dilakukan itu pun hanya dapat dibebankan terhadap keseluruhan
kebendaan yang menjadi miliknya tersebut. Jadi jura in re
aliena tidak mungkin dapat diberikan untuk sebagian benda,
melainkan harus untuk seluruh benda tersebut sebagi suatu
kesatuan.
6) Asas prioriteit. Pada uraian mengenai asas onsplisbaarheid
tersebut telah dikatakan bahwa atas suatu kebendaan dapat
dimungkinkan untuk diberikan jura in re aliena yang
memberikan hak kebendaan terbatas atas kebendaan tersebut.
Hak kebendaan terbatas ini oleh hukum diberikan kedudukan
berjenjang (prioritas) antara satu hak dengan hak lainnya. Ingat
ada hak kebendaan yang bersifat umum dan ada hak kebendaan
yang bersifat terbatas. Diatas hak milik mungkin dibebankan
hak pakai hasil, yang atas hak pakai hasil tersebut masih
mungkin dibebankan hipotek.
7) Asas percampuran (vermenging). Asas ini merupakan juga asas
kelanjutan dari pemberian jura in re aliena, dimana dikatakan
bahwa pemegang hak milik atas kebendaan yang diberikan hak
kebendaan terbatas tidak mungkin menjadi pemegang hak
kebendaan terbatas tersebut. Jika hak kebendaan terbatas
tersebut jatuh jatuh ke tangan pemegang hak milik kebendaan
tersebut, maka hak kebendaan yang bersifat terbatas tersebut
demi hukum hapus.
8) Asas publiciteit. Asas ini berlaku untuk benda tidak bergerak
yang diberikan hak kebendaan.
9) Asas perlakuan yang berbeda atas kebendaan bergerak dan
kebendaan tidak bergerak.
10) Adanya sifat perjanjian dalam setiap pengadaan atas
pembentukan hak kebendaan. Asas ini mengingatkan kita
kembali bahwa pada dasarnya dalam setiap hukum perjanjian
terkandung pula asaas kebendaan dan dalam setiap hak
kebendaan melekat pula sifat hukum perjanjian didalamnya.
23

Sifat perjanjian ini menjadi makin penting adanya dalam


pemberian hak kebendaan yang terbatas (jura in re aliena)19.

Adapun bentuk daripada jaminan materiil (kebendaan), yaitu


1) Gadai
a) Pengertian
Istilah gadai berasal dari terjemahan dari kata pand
(Bahasa Belanda) atau pledge atau pawn (Bahasa Inggris).
Menurut Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, gadai adalah “Suatu hak yang diperoleh kreditor
atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya
oleh debitor atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas
utangnya dan yang memberi wewenang kepada kreditor
untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang itu
dengan mendahului kreditor-kreditor lain; dengan
pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaaan
putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau
penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu,
yangdikeluarkan stelah barang itu diserahkan sebagai
gadai dan yang harus didahulukan”20.
Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian gadai
adalah
1) Adanya subjek gadai, yaitu kreditor (penerima gadai)
dan debitor (pemberi gadai),
2) Adanya objek gadai, yaitu brang bergerak, baik yang
berujud maupun tidak berujud,
3) Adanya kewenangan kreditor,
b) Dasar Hukum Gadai

19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit. hal. 68
20
Salim, Op. Cit. hal. 33
24

1) Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


sampai dengan pasal 1160 Buku II Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata,
2) Artikel 1196 vv, title 19 Buku III NBW,
3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 tentang
Perusahaan Jawatan Pegadaian,
4) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1970 Tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
1969 Tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian,
5) Peraturan pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang
Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
c) Subjek dan Objek Gadai
Subjek gadai trediri atas dua pihak yaitu pemberi
gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer).
Pemberi gadai adalah orang atau badan hukum yang
memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku
gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang
diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Penerima gadai
adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai
sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya
kepada pemberi gadai21.
Objek gadai yaitu benda bergerak. Dibagi menjadi
dua, yaitu benda bergerak yang berujud dan tidak berujud.
Benda bergerak berujud adalah benda yang dapat dipindah
atau dipindahkan. Contohnya, emas, arloji, sepeda motor.
Benda bergerak yang tidak berujud, seperti piutang atas
bawah, piutang atas tunjuk, hak memungut hasil atas
benda dan atas piutang22.

21
Ibid, hal. 36
22
Ibid, hal. 37-38
25

2) Fidusia
a) Pengertian
Istilah fidusia berasal dari bahasa belanda, yaitu
fiducie, sedangkan dalam bahasa inggris disebut fiduciary
transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Dalam
pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia dapat dijumpai pengertian
Fidusia, yaitu “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda
atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda tersebut”23.
Dikenal juga mengenai istilah jaminan fidusia, yaitu
terdapat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dapat dijumpai
pengertian Fidusia, “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan
atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak bewujud danbenda tidak bergerak khususnya
Bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap
kreditor lainnya”.
Unsur- unsur jaminan fidusia
1) Adanya hak jaminan,
2) Adanya objek, yaitu benda bergerak baik berujud
maupun yang tidak berujud dan benda tidak bergerak,
khusunya bangunan yang tidak dibebani hak
tanggungan. Ini berkaitan dengan pembebanan jaminan
rumah susun,

23
Ibid, hal. 55
26

3) Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam


penguasaan pemberi fidusia,
4) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor24.

b) Dasar Hukum Jaminan Fidusia


 Arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 januari 1929
tentang Blerbrouwerij Arrest (Negeri Belanda),
 Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 tentang
BPM-Clynet Arrest (Indonesia),
 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusi.
c) Subjek dan Objek Jaminan Fidusia
Subjek dari jaminan fidusia adalah pemberi dan
penerima fidusia. Pemberi fidusia adalah orang
perorangan atau korporasi pemeilik benda yang menjadi
objek jaminan fidusia. Penerima fidusia adalah orang
perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang
pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
Objek jaminan fidusia menurut Undang Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu
benda bergerak baik yang berujud maupun tidak berujud;
dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dibebani hak tanggungan25.

3) Hak Tanggungan
a) Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggungan
diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Dalam

24
Ibid, hal. 57
25
Ibid, hal. 64
27

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996


tentang Hak Tanggungan disebutkan pengertian hak
tanggungan adalah “Hak jaminan yang dibebankan pada
hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu
untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lainnya. “
b) Dasar Hukum
Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau
yang lebih dikenal dengan UUHT.
c) Subjek dan Objek Hak Tanggungan
Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8
sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan. Dalam kedua pasal itu
ditentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum
dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi hak
tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi hak
tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap objek hak tanggungan. Sedangkan
pemegang hak tanggungan terdiri dari perorangan atau
badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berkepentingan. Objek Hak Tanggunganantara lain
meliputi: Hak Milik (eigendom), Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Guna Usaha (HGU).
4) Hak Hipotek
28

a) Pengertian
Pengertian hipotek dapat dilihat dalam Pasal 1162
Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Hipotek adalah
“suatu hak kebendaaan atas benda-benda tak bergerak,
untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan
bagi suatu perikatan”.
Vollmar mengartikan hipotek adalah “sebuah hak
kebendaan atas benda-benda tak bergerak tidak bermaksud
untuk memberikan orang yang berhak (pemegang hipotek)
sesuatu nikmat dari suatu benda, tetapi ia bermaksud
memberikan jaminan belaka bagi pelunasan hutang
dengan dilebih dahulukan”26
b) Dasar Hukum
1) Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata,
2) Pasal 314 sampai dengan Pasal 316 Kitab Undang
Undang Hukum Dagang,
3) Artikel 1208 sampai dengan Artikel 1268 NBW
Belanda,
4) Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992
tentang Pelayaran.

c) Subjek dan Objek Hipotek


Ada dua pihak dalam perjanjian pembebanan
hipotek kapal laut, yaitu pemberi hipotek
(hypotheekgever) dan penerima hipotek. Pemberi hipotek
adalah mereka yang sebagai jaminan memberikan suatu
hak kebendaan/ zakelijke recht (hipotek), atas bendanya
yang tidak bergerak, biasanya mereka mengadakan suatu
hutang tang terikat pada hipotek, tetapi hipotek atas beban
pihak ketiga. Penerima hipotek disebut juga
hypotheekbank, hypotheeknemer atau hypotheekhouder,
yaitu pihak yang menerima hipotek, pihak yang

26
Ibid, hal. 195-196
29

meminjamkan uang dibawah ikatan hipotek.Biasanya yang


menerima hipotek ini adalah lembaga perbankan dan atau
lembaga keuangan nonbank27
Objek hipotek diatur dalam Pasal 1164 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata, meliputi
1) Benda-benda tak bergerak yang dapat
dipindahtangankan beserta segala perlengkapannya,
2) Hak pakai hasil atas benda-benda tersebut beserta
segala perlengkapannya,
3) Hak numpang karang dan hak usaha,
4) Bunga tanah, baik yang dibayar dengan uangmaupun
yang harus dibayar dengan hasil tanah,
5) Bunga sepersepuluh,
6) Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah, beserta hak-
hak asli merupakan yang melekat padanya.
c. Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Jaminan
Pihak-pihak yang terkait dalam jaminan atas penyelesaian
utang-piutang dalam kepailitan antara lain:
1) Pihak penerima Jaminan
Penerima jaminan adalah pihak kreditor yang mengambil
inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan.
Pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan
pailit diatur di dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.

2) Pihak pemberi Jaminan


Pihak pemberi Jaminan adalah pihak debitor yang
dimohonkan pailit oleh pihak pemohon yang berwenang dimana
debitor tersebut memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak

27
Ibid, hal. 200
30

membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan


dapat ditagih28.
3) Pihak pemberi Jaminan sebagai Pihak Ketiga (borg)
Pihak pemberi jaminan atau penanggung hutang lebih
dikenal dengan Borgtocht. Hubungan borg atau pihak ketiga
diatur dalam perjanjian tambahan. Meskipun borg berkedudukan
sebagai pihak ketiga, tetapi borg telah secara sukarela
mengikatkan diri sebagai debitor atau penjamin atau
penanggung (guarantor) kepada kreditor untuk berprestasi sama
dengan debitor. Prestasi tersebut dilakukan oleh penjamin bila
debitor tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk melunasi
hutang-hutangnya kepada kreditor atau melakukan wanprestasi
terhadap perjanjian pokoknya. Penanggungan diatur dalam Pasal
1820 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
d. Tujuan Jaminan
Jaminan memiliki tujuan yaitu untuk melindungi kepentingan
kreditor. Kepentingan kreditor yang berhubungan dengan pemberian
dana yang telah diberikan oleh kreditor kepada debitor agar
dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
Adanya jaminan yaitu untuk meyakinkan kreditor, bahwa debitor
memiliki kemampuan untuk mengembalikan atau melunasi utang atau
kreditnya yang diberikan kepadanya sesuai dengan persyaratan dan
perjanjian hutang atau kredit yang telah disepakati bersama antara
kreditor dengan debitor.
Pembuatan perjanjian jaminan adalah untuk menjamin
pelaksanaan perikatan debitor terhadap kreditor yang ada dalam suatu
perjanjian lain yang hendak dijamin pelaksanannya disebut saja
perjanjian pokok yang melahirkan perikatan-perikatan pokok. Dengan

28
Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit.
Analisis Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Dimensi 2004, hal. 93
31

demikian, kausa perjanjian penanggungan adalah untuk memperkuat


perjanjian pokoknya29.

4. Teori Normatif Hukum

Untuk mengetahui kedudukan putusan Hakim yang oleh Sudikno


Mertodikusumo diartikan sebagai “…suatu pernyataan yang oleh Hakim,
sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak30 , dalam sistem hukum di
Indonesia, dapat mendasarkan pada Teori Reine Rechtslehre (The pure
theory of law, teori hukum murni) dari Hans Kelsen. Teori murni tentang
hukum ini, bermaksud melihat hukum sebagai kaidah yang dijadikan objek
ilmu hukum. Meskipun diakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-
faktor politis, sosiologis, filosofis dan sebagainya, akan tetapi yang
dikehendakinya adalah “teori yang murni” mengenai hukum. Setiap suatu
kaidah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah (stufenbau).

Dipuncak “stufenbau” terdapat “grundnorm” atau kaidah


fundamental yang merupakan hasil pemikiran yuridis. Suatu tata kaidah
hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum secara hierarkis, yaitu: (1)
Kaidah hukum dari konstitusi; (2) Kaidah hukum umum atau abstrak
dalam undang-undang atau hukum kebiasaan; (3) Kaidah hukum
individual atau kaidah hukum konkrit pengadilan.31

Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan: “Dalam menyelesaikan suatu


sengketa antara dua pihak atau ketika menghukum seorang terdakwa
dengan suatu hukuman, pengadilan menerapkan suatu norma umum dari
hukum undang-undang atau kebiasaan. Tetapi secara bersamaan

29
J. Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni, 1999, hal.
60
30
Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata, Yogjakarta: Liberty, 1988, hal 167
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta: UI-Press, 1986, hal. 127-128
32

pengadilan melahirkan suatu norma khusus yang menerapkan bahwa


sanksi tertentu harus dilaksanakan terhadap seorang individu tertentu.
Norma khusus ini berhubungan dengan normanorma umum, seperti
undang-undang berhubungan dengan konstitusi. Jadi, fungsi pengadilan,
seperti halnya pembuat undang-undang, adalah pembuat dan penerap
hukum. Fungsi pengadilan biasanya ditentukan oleh norma-norma umum
baik menyangkut prosedur maupun isi norma yang harus ia buat,
sedangkan pembuat undang-undang biasanya ditentukan oleh konstitusi
hanya menyangkut prosedur saja.32

Sehubungan dengan hal diatas, Otje Salman berpendapat bahwa “...


hukum itu bersifat hierarkis artinya hukum itu tidak bersifat bertentangan
dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutann\ya adalah
sebagai berikut : yang paling bawah itu putusan badan pengadilan, atasnya
undang-undang dan kebiasaan, atasnya lagi kontitusi dan yang paling atas
disebutnya grundnorm. Kelsen tidak menyebutkan apa itu grundnorm,
hanya merupakan penafsiran yuridis saja dan menyangkut hal-hal yang
bersifat metayuridis33

Dengan demikian putusan badan peradilan adalah norma yang


ditujukan kepada peristiwa konkrit yang disebut norma khusus. Norma
khusus adalah penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada
norma umum berupa undang-undang dan kebiasaan. Norma umum juga
merupakan penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada
norma dasar berupa konstitusi. Begitupun norma dasar bersandar kepada
grundnorm (Hans Kelsen) yang bersifat metayuridis atau natural law (K.C.
Wheare).

Pendapat Otje Salman yang menggambarkan norma yang bersifat


hierarkhis dalam arti hukum tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan
32
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and
State) diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, Bandung : Penerbit Nusamedia &
Penerbit Nuansa, 2006, hal. 193
33
Otje Salman, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Bandung: Armico, 1987, hal.. 11
33

yang lebih atas derajatnya. Putusan pengadilan berada pada urutan paling
bawah, dan di atasnya undang-undang dan kebiasaan, diatasnya lagi
konstitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm. Selanjutnya Hans
Kelsen berpendapat bahwa putusan pengadilan adalah suatu tindakan
penerapan norma umum, dan dalam waktu yang bersamaan adalah
pembentukan norma khusus, dan norma khusus tidak hanya mengikat bagi
kasus tertentu yang ditanganinya, akan tetapi dapat melahirkan suatu
norma yang umum pada kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus
oleh pengadilan pada masa mendatang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hans
Kelsen: Putusan pengadilan dapat juga melahirkan suatu norma umum.
Putusan pengadilan bisa memiliki kekuatan mengikat bukan hanya bagi
kasus tertentu yang ditanganinya saja melainkan juga bagi kasus- kasus
serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan. Suatu putusan
pengadilan bisa memiliki karakter sebagai yurisprudensi, yaitu putusan
yang mengikat bagi putusan mendatang dari semua kasus yang sama.
Namun demikian, suatu putusan dapat memiliki karakter sebagai
yurisprudensi hanya jika putusan itu bukan merupakan penerapan suatu
norma umum dari hukum substantif yang telah ada sebelumnya, hanya jika
pengadilan bertindak sebagai pembuat peraturan 34.

Putusan pengadilan tidak terlepas dari keadilan yang diberikan


hakim. Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu kualitas yang
berhubungan tidak dengan isi dari perintah positif, tetapi pada
pelaksanaannya. Keadilan berarti menjaga berlangsungnya perintah positif
dengan menjalankannya secara bersungguh-sungguh 35.

Hans Kelsen mengatakan, keadilan adalah kebahagian sosial.


Pendapat Hans Kelsen ini tercermin dalam Ideologi Negara Republik
Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya Sila Kelima: “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”. Sila Kelima ini mengandung pengertian bahwa
34
Hans Kelsen, Op., Cit, hal. 194
35
Djohansjah, J, , ’Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan
Kehakiman”, hal. 56
34

keadilan meliputi pemenuhan tuntutan-tuntutan hakiki bagi kehidupan


jasmani dan rohani/materiil dan spritual manusia, yaitu bagi seluruh rakyat
Indonesia secara merata berdasarkan atas asas kekeluargaan. Sila kelima
tersebut menjabarkan keadilan dalam pengertian tata sosial masyarakat,
yaitu lebih ditinjau dalam pengertian kesejahteraan rakyat/masyarakat.
Keadilan yang diberikan hakim dalam putusannya harus berdasarkan
hukum positif, karena hukum positif (peraturan perundangan) merupakan
kehendak dari kedaulatan rakyat, yang mempunyai legitimasi sebagai
hukum yang mengikat, sehingga hakim tidak boleh mengambil putusan
yang bertentangan dan menyimpang dari apa yang telah diatur oleh hukum
positif dan hakim tidak dapat menggali hukum apabila hukum tersebut
telah diatur dalam hukum positif.

Keadilan semacam ini adalah keadilan dalam arti legalitas, adalah


suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari tata hukum positif,
melainkan dengan penerapannya Oleh karena itu, undang-undang harus
dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Keadilan berarti juga
kebahagian bagi masyarakat atau setidak-tidaknya, untuk sebagian besar
masyarakat (the greatest happiness of the greatest number of people).
Pendapat seperti ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang kemudian
dikenal sebagai paham Utilitarian yang merupakan pengembangan dari
Aliran Positivisme Hukum. Jeremy Bentham yang didukung oleh John
Stuart Mill, berpendapat bahwa penilaian moral dari suatu perbuatan
didasarkan atas hasil atau akibat dari perbuatan itu. Jeremy Bentham
tidaklah membedakan lagi antara upaya mengejar kebahagian individu
dengan upaya mengejar kebahagian umum. Asal saja sebagian besar
masyarakat secara pribadi-pribadi sudah merasa bahagia, maka sudah
tercapailah tujuan hukum diciptakan.

5. Penelitian yang relefan


Penelitian yang relefan dengan penelitian ini adalah penelitian
Tesis Igor Panjaitan, 2011, Program Magister Kenotariatan, Fakultas
35

Hukum Universitas Diponegoro Semarang tentang Implementasi Undang-


Undang No, 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Focus Penelitian Igor Panjaitan adalah
Pengimplementasiann Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada Bank
Swasta di Kota Salatiga. dari Perbedaan dengan penelitian ini, hanya
fokus pada kedudukan Kreditor dalam pemegang Hak jaminan Kebendaan,
dikaji dari Undang-Undang Kepailitan. Penelitian ini bersifat normatif,
sedangkan penelitian Igor Panjaitan bersifat empiris.

6. Kerangka Pemikiran

Kreditor Perjanjian Utang Debitor

Wanprestasi

Undang Undang
No37 Tahun 2004

Putusan
PailitPengadilan
Niaga
HukumPailit

36
Jaminan

JaminanKebendaan JaminanPerorangan

Kedudukan
KreditorPemegang
JaminanKebendaan

Gambar. 1
Kerangka Pemikiran

Keterangan
Penyelesaian hutang terkait dengan suatu perjanjian kredit antara
pihak kreditor maupun pihak debitor telah selesai jika pihak debitor mampu
memenuhi semua kewajibannya kepada pihak kreditor. Bila pihak debitor
tidak memiliki harta atau aset yang cukup maka dapat melalui jalur
pengadilan berdasarkan peraturan kepailitan yaitu Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dengan cara melakukan permohonan pailit yang dilakukan oleh para
kreditor kepada Pengadilan Niaga di daerah wilayah hukumnya. Pengajuan
37

permohonan pailit oleh kreditor harus memenuhi syarat-syarat yang diatur


dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pengaturan dalam undang-
undang tersebut berhubungan dengan jaminan yang diberikan oleh pihak
debitor kepada pihak kreditor.
Adanya hak jaminan yang dimiliki oleh Kreditor, baik berupa
jaminan yangbersifat umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal
1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupunyang bersifat khusus.
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa
segala harta kekayaan Debitor baik yang berupa bendabergerak maupun
benda tetap (benda tidak bergerak), baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan atau agunan bagi semua
perikatan yang dibuat oleh Debitor dengan para Krediturnya. Sehingga
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu memberikan
ketentuan bahwa apabila Debitor cidera janji tidak melunasi utang yang
diperolehnya dari para Kreditornya, maka hasil penjualan atas semua harta
kekayaan Debitor tanpa kecuali, merupakan sumber pelunasan bagi
utangnya. Sedangkan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
memberikan jaminan kedudukan yang seimbang pada para kreditornya.
Kedudukan yang seimbang tersebut antar kreditor dapat dikecualikan
apabila ditentukan lain oleh undang-undang yang berlaku.
Dari situ muncul masalah mengenai kedudukan diantara para
kreditornya. Apakah harus disamakan atau ada yang lebih tinggi, karena
dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Pasal 55 ayat (1) menyebutkan
bahwa kreditor pemegang hak jaminan kebendaan dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hal tersebut berkebalikan
dengan ketentuan Pasal 56 yang menyebutkan adanya waktu penangguhan
pengeksekusian yaitu 90 hari setelah putusan diucapkan.
Ketentuan Pasal 56 mengenai masa waktu yang ditetapkan sampai
90 hari setelah putusan pailit diucapkan menimbulkan kekhawatiran dalam
38

pemenuhan hak kreditor pemegang jaminan kebendaan. Apabila boedel


pailit tidak tercukupi, ataupun hilang pada masa penangguhan akan
mengakibatkan ketidakpastian kedudukan kreditor pemegang jaminan
kebendaan atas haknya tersebut.

G. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi36.
Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian
dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih
dahulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan yang berisi (system dan
ilmunya) dan metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut 37.Didalam penelitian
hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam suatu
penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta
temuan-temuannya tidak terjebak dalam relevansi dan aktualitasnya38 .
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk
mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis
yang dihadapi. Akan tetapi, dengan mengadakan klarifikasi yang berdasarkan
pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur yang runtut
dan baik untuk mencapai maksud 39
. Penelitian merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara
metodologis, sistematis, dan konsisten 40. Penelitian dapat diartikan pula suatu
usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu

36
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2008, hal. 35
37
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Gramedia, 2006.
hal.26
38
Ibid, hal. 28
39
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah. Yogyakarta: Transito, Yogyakarta,
1990, hal. 131
40
Soerjono Soekanto, Op. Cit, hlm. 42
39

pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan metode


ilmiah41.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode


penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik
dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran
dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. Untuk dapat memperoleh hasil
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan maka
diperlukan metode penelitian yang dapat dijadikan pedoman dalam
melakukan penelitian. Seorjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan
bahwa “penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan
ilmu pengetahuan maupun teknologi”. Hal demikian disebabkan penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran sistematis, metodologi dan
konsisten.42

Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian


dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah peneliti harus terlebih
dulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin
ilmunya.43 Dalam penelitian hukum, konsep ilmu hukum dan metodologi
yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat
signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam
kemiskinan relevansi dam aktualitasnya.44

Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian diagnostik yaitu


penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-
sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala45. Selain itu dalam
mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5 (lima) konsep hukum
41
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Hukum. Surakarta: UNS Press, Surakarta, 1989,
hal. 4
4229
Soejono Soekarno dan Sri Mamdji, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali,
Jakarta, 1985, hal.1
43
Johny Ibrahim, Op. Cit. hal.26
44
Ibid, hal. 28
45
Ibid, hal. 57
40

yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto seperti dikembangkan oleh Setiono 46


adalah sebagai berikut:

1. Hukum adalah asas kebenaran dalam keadilan yang bersifat kodrati dan
berlaku universal
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan
hukum nasional
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan
tersistematisasi sebagai judge made low
4. Hukum adalah pola-pola prilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai
variable sosial yang empiris
5. Hukum adalah menifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial
sebagaimana tampak dalam interaksi antara mereka.

Konsep hukum dalam penelitian ini adalah konsep yang ke tiga


yaitu Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan
hukum nasional. Berdasarkan konsep hukum tersebut diatas maka penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan
penulisan hukum ini adalah penelitian normative atau penelitian hukum
kepustakaan. Penelitian hukum normatif menurut Johnny Ibrahim adalah
suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya47.
Penelitian hukum normatif memilki definisi yang sama dengan
penelitian hukum doctrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan
bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan
mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder48 .
2. Sifat Penelitian

46
Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad). Surakarta:
Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS 2002, hal. 5
47
Johnny Ibrahim, Op. Cit. hal. 57
48
Ibid, hal. 44
41

Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum
itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif dan
terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini
merupakan sesuatu yang subtansial di dalam ilmu hukum49.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, didalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam
penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statue approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach)50. Dari kelima pendekatan penelitian
hukum tersebut, penulis akan menggunakan pendekatan undang-undang
(statue approach).
Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan
menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani, untuk menelaah unsur filosofis adanya suatu
peraturan perundang-undanag tertentu yang kemudian dapat disimpulkan
ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu
hukum yang ditangani51. Dalam hal ini yaitu Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang
dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
49
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. hal. 22
50
Ibid, hal. 93
51
Ibid, hal. 93
42

pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan bahan


hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan
pengadilan52.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer
yaitu perundang-undangan terkait dengan kepailitan, sedangkan bahan
hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum.
5. Teknik Pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang aakan digunakan sebagai
sumber di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan
bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan,
dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya
dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder.
Dari bahan hukum tersebut, kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai
bahan hukum penunjang di dalam penelitian ini.
6. Teknik Analisis
Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian
normatif dengan teknik analisis menggunakan metode silogisme dan
interpretasi. Interpretasi yaitu merupakan metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan yang gamblang terkait teks undang-undang agar ruang
lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Silogisme yang penulis gunakan adalah metode penalaran deduktif,
yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan yang
khusus. Dalam penelitian ini, penulis mengkritisi teori-teori ilmu yang
bersifat untuk kemudian menarik kesimpulan yang sesuai dengan isu hukum
yang diteliti atau dianalisis, yaitu mengenai kedudukan kreditor pemegang
hak jaminan kebendaan didalam perkara kepailitan.

52
Ib id, hal. 141
43

H. Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan selama 3 (tiga) bulan yang akan
dimulai bulan Juni 2014 sampai dengan Agustus 2014, dengan rincian
sebagai berikut :
BAGAN JADWAL PENELITIAN

Bulan
No Kegiatan Juni 2014 Juli 2014 Agust 2014

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

I
Persiapan Penelitian
1. Literatur

2. Proposal

3. Seminar

4. Perijinan
44

5. Questioner

II Pelaksanaan Penelitian

1. Pengumpulan Data

2. Analisis Data

3. Pembuatan Laporan
Penyusunan Thesis
III Revisi dan Penggandaan Thesis
45

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sulistiyono. 2009. “Hukum Kepailitan” Bahan Perkuliahan. Disampaikan


pada perkuliahan Hukum Kepailitan pada semester Ganjil 2009/2010
di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ahmad Yani, Gunawan Widjaja. 2002. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Amir Syamsuddin. 2005. “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang
Kepailitan”. Jurnal Konstitusi. Vol 2, No 2.
Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, Herni Sri Nurbayanti. 2004. Kepailitan di Negeri
Pailit. Analisis Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Dimensi
HMN.Purwosutjipto. 1998. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Perwasutan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. Jakarta:
Djambatan.
http://ejournal.umm.ac.id. Eksekusi Hak Tanggungan Oleh Kreditur Preferen
Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 dan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1998(21 Juni 2014 pukul 22.00)
http://mkn-unsri.blogspot.com. Kedudukan Guarantor Dalam Kepailitan(18 Juni
2014 pukul 15.00)
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayu Media Publishing.
J. Satrio. 1999. Hukum Perikatan-Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni.
KartiniMuljadi, Gunawan widjaja.2005. ”Seri hokum kekayaan: Hak istimewa,
gadai, dan hipotek. Jakarta: kencana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
M. Hadi Shubhan. 2009. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di
Peradilan. Jakarta: Kencana.
Michelle J. White. Corporate Bankruptcy.Journal of Financial Economics. 2004
Munir Fuady. 2002. Hukum Pailit 1998 Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
. 2003. Jaminan Fidusia. Bandung: Citra aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Ron. The “New” Bankruptcy Laws. The wisdom Journal, September 2009
46

Salim Hs. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Setiono, 2002, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum, (Diktad).
Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2007. Hukum Jaminan Di Indonesia: Pokok
Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta:
Liberty.
Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan: Asas Asas, Ketentuan Ketentuan
Pokok dan Masalah Yang dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian
Mengenai Undang Undang Hak Tanggungan). Bandung: Alumni.
. 2002. Memahami Failissements Verordening Juncto Undang-
Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 131 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4443.
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 Tamabahan
Lembaran Negara Nomor 3889.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3632.

Anda mungkin juga menyukai