Anda di halaman 1dari 227

BAB I

TUJUAN HUKUM KEPAILITAN

1.1 PERSELISIHAN

Istilah “kepailitan” merupakan kata benda yang berakar dari kata “pailit”.
Sementara itu, kata “pailit” berasal dari kata “failit” dalam bahasa Belanda. Dari
istilah “failit” muncul istilah “faillissement” yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “kepailitan”. Dari istilah “faillissement” muncul istilah
“faillissementwet” (Undang-Undang Kepailitan Belanda) dan “faillissements-
verordening” (Undang-Undang Kepailitan Hindia-Belanda) yang berarti
“Undang-Undang Kepailitan”. “Faillissement” dan “kepailitan” merupakan
padanan istilah “bankruptcy” atau “insolvency” dalam bahasa Inggris.

Kata “bankruptcy” berasal dari bahasa Perancis, yaitu “banque route”.


Namun, menurut teori yang paling luas diterima, asal muasal kata “bankruptcy”
yang merupakan padanan kata “faillissement” atau “kepailitan” bersal dari
campuran dua kata Latin Kuno, yaitu “bancus” (bench/bangku atau table/meja) dan
“ruptus” (broken/patah). Apabila seorang bank atau money changer, yang semula
melakukan semua transaksinya di atas sebuah bangku (bench) di tempat tertentu,
dan kemudian tidak lagi dapat melanjutkan transaksinya berupa memberikan
pinjaman (lending) dan memenuhi kewajiban-kewajibannya (utang-utangnya),
maka bangku tersebut dipatahkannya.

1.2 ISTILAH KEPAILITAN DAN INSOLVENSI

Kedua istilah tersebut sekalipun berbeda pengertiannya tetapi sangat erat


terkait satu dengan yang lain. Dalam pengertiannya yang berbeda itu, suatu debitur
yang sudah berada dalam keadaan insolven, dapat dinyatakan pailit oleh
pengadilan setelah dimintakan permohonan untuk memailitkan debitur yang
bersangkutan. Insolvensi (insolvency) adalah suatu keadaan keuangan (a
financial state) suatu subjek hukum perdata (legal entity), sedangkan kepailitan
(bankruptcy) adalah keadaan hukum (legal state) dari suatu subjek hukum perdata
(legal entity). Suatu debitur hanya dapat dinyatakan bankrupt (pailit) oleh

1|Page
pengadilan apabila debitur telah berada dalam keadaan insolven. Tetapi bukan
sebaliknya, yaitu suatu debitur yang telah insolven tidak demi hukum menjadi
bankrupt (pailit) tetapi harus terlebih dahulu dimohonkan kepailitannya kepada
pengadilan.

1.3 TUJUAN HUKUM KEPAILITAN

Menurut Levinthal sebagaimana dikemukakan diatas itu, semua hukum


kepailitan (Bankruptcy Law), tanpa memedulikan kapan atau dimana dirancang dan
diundangkan, memiliki tiga tujuan umum. Tujuan pertama, hukum kepailitan
mengamankan dan membagi hasil penjualan harta milik debitur secara adil kepada
semua krediturnya. Tujuan kedua, adalah untuk mencegah agar debitur yang
insolven tudak merugikan kepentingan krediturnya. Tujuan ketiga dari hukum
kepailitan adalah memberikan perlindungan kepada debitur yang beri’tikad baik
dari para krediturnya.

Dalam konteks Indonesia, hukum kepailitan Indonesia dibuat sebagai


pelaksaan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Apabila debitur sudah
insolven sehinnga jumlah semua utang debitur telah lebih besar daripada nilai
semua asetnya, maka penjualan semua asetnya tidak akan mencukupi untuk
melunasi semua utangnya kepada semua krediturnya. Untuk menghindarkan para
kreditur berebutan saling mendahului menyita dan menjual asset debitur, yaitu
dalam rangka para kreditur tersebut melaksanakan ketentuan mengenai hak
perdatanya yang diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, hukum
perlu mengatur mengenai cara pembagian harta kekayaan debitur diantara para
krediturnya.

Mengenai tujuan hukum kepailitan, menurut penulis, tujuan utama dari


hukum - hukum kepailitan, adalah :

1. Memberi kesempatan kepada debitur untuk berunding dengan para


krediturnya untuk melakukan restrukturisasi utang.
2. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka
sehubungan dengan berlakunya asas jaminan.

2|Page
3. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur diantara para kreditur
sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan
debitur kepada para kreditur konkuren atau unsecured creditors berdasarkan
pertimbangan besarnya tagihan masing-masing).
4. Memastikan siapa saja para kreditur yang memiliki tagihan (piutang)
terhadap debitur pailit dengan melakukan pendaftaran para kreditur.
5. Memastikan kebenaran jumlah dan keabsahan piutang para kreditur dengan
melakukan verifikasi.
6. Memberikan perlindungan kepada debitur yang beri’tikad baik agar
penagihan piutang kreditur tidak langsung dilakukan terhadap para debitur
tetapi melalui likuidator atau kurator setelah debitur dinyatakan pailit oleh
pengadilan.
7. Melindungi para kreditur dari debitur yang hanya menguntungkan kreditur
tertentu.
8. Melindungi para kreditur dari sesame kreditur.
9. Pada US Bankruptcy Code, undang-undang tersebut memberikan fresh
start bagi debitur pailit yang beri’tikad baik setelah seluruh harta
kekayaannya dilikuidasi dan hasilnya dibagikan kepada para krediturnya.
10. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan para kreditur.
11. Menegakkan ketentuan action pauliana.
12. Menghukum pengurus perusahaan yang karena kesalahannya telah
mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk
sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi sehingga dinyatakan
pailit oleh pengadilan.
1.4 TUJUAN UUK-PKPU

Penjelasan Umum UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dikemukakan mengenai beberapa
faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang. Yang merupakan tujuan dibentuknya undang-undang tersebut

3|Page
yang merupakan produk hukum nasional yang sesuai dengan kebutuhan dan
pembangunan hukum masyarakat.

1.5 ATURAN KEPAILITAN DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN


TERBATAS

Di dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terdapat


beberapa ketentuan mengenai tanggung jawab pribadi anggota direksi dan anggota
dewan komisaris.

1.6 SUMBER HUKUM KEPAILITAN INDONESIA

Sumber-sumber hukum kepailitan Indonesia:

1. KUHPerdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, dan Pasal 1134.


2. UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, L.N.R.I 2004, No.131.
3. UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal
104 dan Pasal 142.
1.7 FUNGSI UNDANG-UNDANG KEPAILITAN INDONESIA

Undang-undang Kepailitan dibuat agar para kreditur tidak berebutan dengan


saling mendahului menguasai harta kekayaan debitur mengingat berlakunya Pasal
1131 KUHPerdata tersebut. Masing-masing debitur akan merasa memiliki hak
hukum untuk memperoleh pelunasan dari harta kekayaan debitur mengingat
ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut. Tidak mustahil masing-masing
kreditur akan berebutan untuk dahulu mendahului mengajukan permohonan sita
jaminan kepadda pengadilan.

1.8 SUMBER UTANG

Debitur dapat memperoleh utang dari berbagai sumber antara lain tetapi
terutama dari kreditur sebagai berikut:

4|Page
a. Kreditur dari bank (baik berupa kredit biasa dari sebuah bank maupun kredit
sindikasi yang diberikan oleh beberapa bank yang terhimpun dalam suatu
sindikasi kredit).
b. Surat-surat utang jangka pendek (sampai dengan satu tahun).
c. Surat-surat utang jangka menengah (lebih dari satu tahun sampai dengan
tiga tahun).
d. Surat-surat utang jangka panjang (diatas tiga tahun).
1.9 JENIS KREDITUR

Dalam hukum, dikenal ada dua golongan kreditur, yaitu Kreditur Preferen
(Preferential Creditor atau Preferred Creditor) dan Kreditur Konkuren
(Unsecured Creditor). Kreditur Preferen terdiri atas Kreditur Hak Jaminan
(Secured Creditor) dan Kreditur Dengan Hak Istimewa (Privilage Right).

Disebut Kreditur Preferen karena kreditur tersebut mempunyai hak


preferensi (preferential right) atau hak untuk didahulukan pelunasan piutangnya
dari hasil harta pailit daripada pelunasan piutang para Kreditur Konkuren. Untuk
mengetahui para Kreditur Dengan Hak Jaminan sudah tertentu karena siapa saja
yang memegang hak jaminan yang diakui oleh undang-undang. Sementara itu,
piutang siapa saja yang merupakan Hak Istimewa ditentukan oleh undang-undang
secara spesifik.

1.10 URUTAN PRIORITAS HAK DIDAHULUKAN ANTARA PARA


KREDITUR

Pasal-pasal dalam KUHPerdata sebagaimana dijelaskan diatas mengatur


mengenai urutan prioritas para kreditur. Apabila tidak ditentukan bahwa suatu
piutang merupakan hak istimewa yang berkedudukan lebih tinggi daripada piutang
yang dijamin dengan suatu hak jaminan (gadai, fidusia, hak tanggungan atau
hipotek), maka urutan kreditur adalah sebagai berikut:

 Kesatu, kreditur yang memiliki piutang yang dijamin dengan hak jaminan.
 Kedua, kreditur yang memiliki hak istimewa.
 Ketiga, kreditur konkuren.

5|Page
Sementara itu, apabila suatu hak istimewa ditentukan harus dilunasi terlebih
dahulu daripada para kreditur lainnya termasuk para kreditur pemegang hak
jaminan, maka urutan kreditur adalah sebagai berikut:

 Kesatu, kreditur yang memiliki hak istimewa.


 Kedua, kreditur yang memiliki piutang yang dijamin dengan hak jaminan.
 Ketiga, kreditur konkuren.
1.11 KEPERCAYAAN ADALAH DASAR UTAMA PEMBERIAN KREDIT

Pada dasarnya, pemberian pinjaman oleh kreditur kepada debitur dilakukan


karena percaya bahwa debitur itu akan mengembalikan pinjamannya itu pada
waktunya. Dengan demikian, faktor pertama yang menjadi pertimbangan bagi
kreditur untuk bersedia memberikan pinjaman kepada debitur adalah kemauan
(willingness) dari debitur untuk pada saat jatuh temponya mengembalikan utangnya
itu. Tanpa adanya kepercayaan (trust) dari kreditur kepada debitur tersebut,
niscayalah kreditur tidak akan memberikan kredit atau pinjaman tersebut.

1.12 ASAS JAMINAN

Untuk memantapkan keyakinan kreditur bahwa debitur akan secara nyata


mengembalikan pinjamannya setelah jangka waktu pinjaman berakhir (due
date), dalam hukum terdapat beberapa asas. Asas pertama menentukan, apabila
debitur ternyata pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur karena
suatu alasan tertentu, maka harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupum
yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari,
menjadi agunan atau jaminan utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber
pelunasan utang itu. Asas kedua, yang menyangkut jaminan terdapat dalam Pasal
1132 KUHPerdata.

1.13 RUANG LINGKUP HUKUM KEPAILITAN

Materi apa saja yang pada umumnya diatur oleh suatu Undang-Undang
Kepailitan dari suatu Negara. Dikemukakan oleh Riesenfeld bahwa:

6|Page
Eventually, however, bankruptcy legislation was extended to provide
procedures for the adjustment of debts so as to avoid liquidation and for the
rehabilitation of insolvent debtors. Modern bankruptcy laws, therefor, include
detailed provisions for preventive compositions, arrangements, or corporate
reorganizations of various types. In fact, the salvage of an enterprise in financial
difficulties has become the principal focus of bankruptcy legislation with particular
concern for the maintenance of employment opportunites and the protection of
members of the labour force.

1.14 UU NO.37 2004 TIDAK MEMBEDAKAN KEPAILITAN


PERORANGAN DAN PERUSAHAAN

Dibeberapa bankruptcy law negara-negara di luar negeri, dibedakan dengan


jelas ketentuan mengenai kepailitan debitur perusahaan dan debitur perorangan
(individu). Tidak demikian halnya dengan UU 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) yang merupakan
bankruptcy law untuk Indonesia.

Seharusnya dan lebih baik apabila Indonesia menentukan aturan kepailitan


yang berbeda antara aturan kepailitan untuk korporasi dan aturan kepailitan untuk
perorangan (individu). Penulis berpendapat agar undang-undang yang mengatur
korporasi dan kepailitan perorangan (individu) hendaknya dan sebaiknya dibuat
terpisah. Sebaiknya apabila UUK-PKPU ditegaskan hanya untuk mengatur
kepailitan korporasi saja. Adapun untuk mengatur kepailitan perorangan (individu),
agar diatur dengan undang-undang tersendiri.

Menyangkut kepailitan perorangan, penulis berpendapat agar tidak semua


debitur perorangan sama ketentuannya. Harus dibedakan antara debitur perorangan
dengan jumlah utang minimum tertentu dan dengan jumlah utang diatas jumlah
minimum tersebut, misalnya ditentukan jumlah minimum Rp 1 miliar.

7|Page
BAB 2

SEJARAH HUKUM KEPAILITAN

2.1 SEJARAH HUKUM KEPAILITAN ZAMAN KUNO

Regulasi mengenai kepailitan merupakan bagian yang penting dalam seiap


system hukum dan dapat dijumpai dalam the Hammurabi Code (2250 BC), the
Twelve Tables of the Roman Republic (450 BC), the Talmud (200 AD), dan the
Corpus Juris Civilis (534 AD).

2.1.1 Hukum Kepailitan Zaman Yunani Kuno

Hukum kepailitan merupakan suatu konsep modern. Dalam zaman Yunani


Kuno (Ancient Greece), bankruptcy (kepailitan) tidak dikenal. Apabila seorang
berutang dan tidak dapat membayar kembali utangnya, maka dia, istri dan anak-
anaknya atau para pelayannya, dipaksa untuk menjadi budak, yaitu keadaan yang
disebut “debt slavery”. Keadaan tersebut berlangsung sampai kreditur memperoleh
penggantian atas kerugian yang dialaminya melalui debitur harus melakukan kerja
paksa (physical labor).

2.1.2 Hukum Kepailitan Menurut Taurat (Perjanjian Lama)

Kepailitan dapat ditelusuri ke belakang sampai kepada zaman kuno ketika


turunnya kitab suci Yahudi yang dikenal sebagai hukum Musa (Mose’ Law). Kitab
suci Yahudi adalah Taurat. Kitab suci tersebut menjelaskan mengenai “Tahun Suci”
(“Holy Year”) atau “Tahun Jubilee” (“Jubilee Year”) yang berlangsung 50 tahun
sekali. Setiap 50 tahun sekali semua utang ditiadakan di antara orang-orang Yahudi
dan para budak yang dijaminkan sebagai jaminan utang dibebaskan berdasarkan
perintah Tuhan (the heavenly command). Hukum mengenai pengampunan utang
tersebut dapat dijumpai di dalam perjanjian lama (the old testament) dari kitab Injil
(by the bible).

8|Page
2.2 SEJARAH HUKUM KEPAILITAN ZAMAN ROMAWI

Awal dari hukum kepailitan dapat ditelusuri sampai ke hukum Romawi di


tahun 118 SM. Dengan kata lain, sejarah hukum kepailitan sudah bermula lebih
dari 2000 tahun. Pada zaman Romawi, apabila seseorang debitur tidak dapat
melunasi utangnya, maka pribadi debitur secara fisik yang harus bertanggung
jawab. Pada abad ke-5 SM, apabila debitur tidak dapat melunasi utangnya, maka
kreditur berhak untuk menjual debitur sebagai budak. Hasil penjualan pribadi
debitur sebagai budak tersebut merupakan sumber pelunasan bagi utangnya kepada
kreditur. Namun demikian, sebelum dapat menjual debitur sebagai budak, kreditur
harus memberikan waktu selama 60 hari kepada debitur untuk mengupayakan
pelunasan utangnya itu.

Pada tahun 450 SM, the Roman Law of Twelve Tables menentukan bahwa
metode persuasive harus ditempuh oleh para kreditur untuk berurusan dengan
orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya ketika utang-utang
tersebut jatuh tempo.

2.3 SEJARAH HUKUM KEPAILITAN ZAMAN MODERN

Di zaman modern saat ini, berbagai negara, baik di Asia, Timur Tengah, Eropa,
Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Amerika Latin telah mengubah atau
mengganti undang-undang kepailitannya.

Akan dikemukakan uraian mengenai Undang-Undang Kepailitan beberapa


negara sebagai pembanding bagi Undang-Undang Kepailitan Indonesia, yaitu
Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

2.3.1 Sejarah Hukum Kepailitan Kerajaan Thailand

A. The Bankruptcy Act B.E., 2483 of 1940

Thailand merupakan negara anggota ASEAN seperti halnya Indonesia. Seperti


juga Indonesia, Thailand adalah negara yang menganut system civil law.

9|Page
Undang-undang Kepailitan Thailand yang berlaku pada saat ini adalah The
Bankruptcy Act B.E., 2483 yang ditulis pada tahun 1940 dan diubah pada tahun
1968, 1983, dan 1999. Undang-undang tersebut mengatur mengenai likuidasi, baik
bagi perorangan maupun perusahaan. Seperti halnya juga UUK-PKPU tidak
membedakan antara kepailitan bagi perorangan maupun bagi perusahaan.

B. The Bankruptcy Act No.4, B.E. 2541 of 1999

Reformasi pertama terhadap Undang-undang Kepailitan Thailand terjadi pada


permulaan tahun 1998 ketika Thai House and Senate menyetujui diundangkannya
The Bankruptcy Act No.4, B.E. 2541.apabila pengadilan yakin bahwa para
kreditur dan debitur dapat melakukan revitalisasi terhadap perusahaan, maka
pengadilan akan mengeluarkan suatu penetapan untuk rehabilitasi (order for
rehabilitation).

C. The Act for the Establishment of and Procedure for Bankruptcy Court of 1999

Pada Februari 1999, Senat (the senate) menyetujui The Act for the
Establishment of and Procedure for Bankruptcy Court. Undang-undang
tersebut menyempurnakan implementasi Undanh-undang Kepailitan. Dengan
dibentuknya pengadilan tersebut, tidak ada Pengadilan Tingkat Pertama (Courts
of First Instance) dapat menerima dan memutuskan kasus likuidasi atau
rehabilitasi.

D. The Bankruptcy Act No.5, B.E. 2542 of 1999

Berdasarkan The Bankruptcy Act B.E. 2541, suatu rencana (plan) memerlukan
suatu keputusan khusus, atau persetujuan dari setengah jumlah kreditur dan tiga
perempat dari nilai tagihan para kreditur.

E. The Bankruptcy Act (No.7), B.E. 2547 of 2004

Pada bulan Juni 2004, kerajaan Thailand mengundangkan amandemen atas


Undang-Undang Kepailitan Thailand (the Thai Bankruptcy Act). The
Amandements yang baru itu, yang dikodifikasikan ke dalam Bankruptcy Act

10 | P a g e
(No.7), B.E. 2547 (2004), berlaku sejak 16 Juli 2004, yaitu satu hari setelah
dipublikasikan dalam the Thai Government Gazette.

Tujuan dari diundangkannya the Amandements adalah untuk memodernisasi


Undang-Undang Kepailitan Thailand dengan antara lain memasukkan Chapter 3/1,
yaitu Chapter yang menyangkut Business Reorganization. The Amandements
dengan tegas menentukan bahwa suatu pembebasan utang (a discharge) akan
berlaku otomatis, kecuali dalam beberapa keadaan.

2.3.2 Sejarah Hukum Kepailitan Filipina

A. The Insolvency Law (Act No. 1956)

The Philippines Congress telah memulai pembahasan mengenai pengundangan


the Corporate Recovery Act yang bertujuan untuk mengefisiensikan (streamline)
rezim insolvensi yang ada di Filipina dan mengklarifikasi hak-hak dan kewajiban
para kreditur dan debitur yang akan menjalani rehabilitasi atau untuk menyatakan
dirinya insolven.

The insolvency law sifatnya rehabilitatif (rehabilitative) dan distributif


(distributive). Bersifat rehabilitatif karena melalui ketentuan-ketentuan yang
mengatur mengenai suspension of payments.

B. Presidential Decree No. 1758 of 1981

Pada tahun 1981, Presidential Decree No. 1758 mengubah the SEC Charter
(P.D.902-A) dengan memberikan kewenangan kepada SEC untuk menangani
permohonan mengenai suspension of payments. Tegasnya, Presidential Decree
No. 1758 (P.D.902-A) hanya memberikan kesempatan rehabilitasi kepada
perusahaan (corporation) bukan kepada debitur perorangan. The Rehabilitation
Rules tersebut memberikan kewenangan, baik kepada kreditur maupun debitur
untuk mengajukan permohonan rehabilitasi.

11 | P a g e
2.3.3 Sejarah Hukum Kepailitan China

A. The Bankruptcy Act of 1906, 1915, 1935, 1968

Suatu Undang-Undang Kepailitan untuk pertama kali diperkenalkan di China


pada tahun 1906, kemudian diterbitkan pada tahun 1915 dan pada tahun 1935
selama periode Republic of China yang berakhir pada tahun 1949.

B. The Enterprise Bankruptcy Law (EBL) of 2007

Undang-Undang baru tersebut berlaku bagi semua badan hukum (legal entities)
termasuk foreign invested enterprises, seperti WFOES dan Joint Ventures, tetapi
tidak berlaku bagi orang pribadi. Undang-Undang Kepailitan yang baru itu tidak
hanya memperkuat dan memperjelas ketentuan mengenai likuidasi dalam Undang-
Undang 1986.

Perbedaan utama antara Undang-Undang Kepailitan yang baru dan yang lama
adalah bahwa undang-undang yang baru memberikan kedudukan mendahului bagi
kreditur pemegang Hak Jaminan (secured claims) terhadap pegawai, pajak dan
piutang pada umumnya.

C. Pengadilan Kepailitan

Dalam suatu wawancara yang diunggah (posted) pada website dari The
Supreme People’s Court pada 24 Februari 2010, seorang pejabat dari The
Supreme People’s Court mengemukakan bahwa terdapat kekurangan para
administrator yang berpengalaman dan berkemampuan di China dalam bidang
kepailitan.

D. Kasus Reorganisasi

Dalam EBL terdapat ketentuan mengenai reorganization. Sementara sebagian


besar kasus di bawah EBL adalah kasus likuidasi, terdapat beberapa kasus
reorganisasi yang penting. Misalnya pada Juni 2009 terdapat 16 permohonan.

E. Kasus-kasus Kepailitan

 Sanlu (November 2008)

12 | P a g e
 East Star Airlines (permulaan 2009 di Wuhan)
 Ferro China
 Taizinai Group (April 2010)

2.3.4 Sejarah Hukum Kepailitan Jepang

A. The Bankruptcy Law of 1922

Jepang tidak mempunyai Undang-undang Kepailitan yang terkonsolidasi


seperihalnya dengan US Bankruptcy Code. Di Jepang, prosedur untuk melakukan
insolvensi diatur dalam beberapa undang-undang, termasuk the Bankruptcy Code
“Hasan-ho”, the Corporate Reorganization Code “Kaisha Kosei-ho”, the Civil
Reconstruction Law “Minjisaisei-ho”, and the Commercial Code “Sho-ho”.
Secara kolektif kesemuanya disebut the “Insolvency Laws”.

2.3.5 Sejarah Hukum Kepailitan Perancis

Pembatasan ketentuan bankruptcy hanya untuk orang-orang yang terlibat


dalam perdagangan saja, kemudian diperluas untuk juga berlaku untuk para kreditur
lainnya. Pada tahun 1807, Ordonnance tersebut disempurnakan menjadi Code de
Commerce (KUHD). Melalui asas konkordansi akhirnya hukum kepailitan
Belanda berlaku pula di Hindia Belnda.

2.3.6 Sejarah Hukum Kepailitan Jerman

A. Insolvency Code of 1919

Hukum Kepailitan Jerman (German Insolvency Law) diatur oleh suatu


Insolvency Code yang sangat komperhensif yang mulai berlaku pada 1 Januari
1999 yang telah mengalami beberapa kali amandemen dari waktu ke waktu.

B. The Act for the Further Facilitation of the Restructuring of Companies (ESUG)
of 2012

Lahirnya The Act for the Further Facilitation of the Restructuring of


Companies (ESUG) yang mulai berlaku pada 1 Maret 2012, merupakan respons
dari banyaknya kreditur yang mengeluhkan undang-undang insolvensi Jerman tidak

13 | P a g e
memberikan kewenangan yang cukup kepada para kreditur dalam beracara
pengajuan permohonan pailit. ESUG tersebut bertujuan untuk memebrikan lebih
banyaknya hak kepada para kreditur dalam kepailitan. The German Insolvency Act
yang lama dianggap kurang ramah terhadap reorganisasi bagi perusahaan
(reorganization friendly). Berdasarkan German Insolvency Act yang lama, suatu
reorganisasi perusahaan sulit direncanakan.

Undang-Undang Kepailitan Jerman yang baru itu disetujui oleh Parlemen


Jerman pada 2011 dan berlaku mulai 1 Maret 2012. Tujuan undang-undang tersebut
adalah memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap penunjukkan insolvensi
administrator.

C. Tahap-tahap Insolvensi

Dalam Undang-Undang Kepailitan Jerman, proses beracara insolvensi (the


insolvency proceeding) dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap awal (the
preliminary insolvency proceeding) dan tahap akhir (the final insolvency
proceeding).

D. Dasar-dasar Permohonan Insolvensi

Yang dimaksudkan judul ini adalah dasar-dasar untuk menyatakan seorang


Debitur insolvensi sehingga lebih lanjut dapat dinyatakan pailit (declared bsnkrupt)
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan Jerman. Debitur dianggap
ilikuid apabila Debitur berhenti melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya
pada waktu utang-utang tersebut jatuh tempo.

2.3.7 Sejarah Hukum Kepailitan Belanda

A. Code de Commerce of 1811

Kepailitan di Belanda mula-mula diatur dalam Code de Commerce (KUHD)


yang mulai berlaku tahun 1811. Undang-Undang ini membedakan status pedagang
dengan bukan pedagang.

14 | P a g e
B. Faillissementstwet 1893

Faillissementstwet 1893 diterima oleh Twedee Kamer pada 28 April 1893 dan
diterima oleh Eerste Kamer pada 27 September 1893 dan kemudian dikukuhkan
oleh Ratu Belanda pada 30 September 1893. Undang-undang tersebut telah disusun
oleh Molengraaff yang kemudian menjadi guru besar pada Universitas Utrecht.

C. The Duct Bankruptcy Act of 2013 (Faillissementstwet)

Faillissementswet yang mulai berlaku pada 1896 yang telah beberapa kali
mengalami perubahan. Faillissementswet 1896 yang berlaku tidak perlu diubah.
Namun mengejutkan sekali bagi banyak pihak bahwa pada 2013 legislator
mengundangkan Faillissementswet yang baru.

D. Syarat Kepailitan

Syarat kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) Faillissemenstwet, sama dengan syarat
kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) Faillissements-verordening (Undang-Undang
Kepailitan Indonesia) yang berlaku sebelum syarat kepailitan tersebut diubah oleh
UU No. 4 Tahun 1998 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang dan kemudian ditentukan dalam
Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 Kepailitan dan Kewajiban Penundaan
Pembayaran Utang.

Syarat kepailitan menurut Undang-Undang Kepailitan Indonesia yang semula


ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Faillissements-verordening telah berubah sama
sekali setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 1998 dan kemudian diubah lagi oleh
UU No. 37 Tahun 2004.

E. Perlindungan Bagi Kepentingan Kreditur

Undang-Undang Kepailitan Belanda menekankan kepada kepentingan para


kreditur. Sekalipun para pegawai dapat dianggap para kreditur, tetapi mereka tidak
memiliki posisi istimewa.

15 | P a g e
F. Perlindungan Bagi Kepentingan Pegawai/Buruh

Undang-Undang Kepailitan yang baru mengakomodasi secara berimbang


berbagai kepentingan berkenaan dengan perusahaan yang mengalami kesulitan
keuangan. Trade Unions telah pernah berhasil di masa yang lalu dengan inquiry
petition mereka berkenaan dengan penutupan perusahaan seperti ketika dilakukan
penutupan terhadap Batco pada 1979.

G. Pemohon Kepailitan oleh Debitur dan Kreditur

Menurut UUK-PKPU, sebagaimana menurut Pasal 2 ayat (2) UUK-PKPU,


permohonan pernyataan pailit dapat diajukan pula oleh kejaksaan untuk
kepentingan umum.

H. Pengadilan Kepailitan

Apabila di Indonesia permohonan pailit diajukan dan diputus oleh pengadilan


khusus, yaitu Pengadilan Niaga, di Belanda permohonan pailit diajukan dan diputus
oleh the District Court yang berada di tempat domisili debitur.

2.3.8 Sejarah Hukum Kepailitan Inggris

A. Hukum Kepailitan Tahun 1542

Menurut Steve Rhode, hukum kepailitan Inggris yang pertama (the first English
bankruptcy law) diundangkan di Inggris (England) pada 1570 dalam masa
pemerintah Raja Henry VII. Di Inggris, the Bankruptcy Act 1542 yang telah disebut
di atas itu memperkenalkan asas modern mengenai pari passu (yaitu pembagian
secara proporsional) atas kerugian diantara para kreditur (distribution of losses
among creditors).

B. Undang-Undang Kepailitan Tahun 1570

Undang-Undang Kepailitan 1570 dianggap merupakan undang-undang yang


tidak sejalan dengan Undang-Undang Kepailitan masa kini karena:

 Hanya seorang kreditur yang dapat mengajukan permohonan pernyataan


pailit terhadap debitur.

16 | P a g e
 Warga negara (citizens) yang tidak membayar utang dipenjara.
 Perorangan tidak dapat mengajukan permohonan untuk dinyatakan pailit.
 Hanya pedagang (a merchant) yang dapat menjadi debitur.
 Kepailitan bukan untuk debitur perorangan tetapi sebagai fasilitas bagi para
kreditur dalam menghadapi para debiturnya.
 Selama masa kepailitan, harta kekayaan (assets) deb itur disita, dijual, dan
didistribusikan kepada para kreditur tetapi tidak menghentikan penagihan
sisa uang yang masih terutang.
 Tidak ada pembebasan utang (discharge of obligation) untuk sisa utang.
 Upaya penagihan berlangsung terus setelah penjualan semua harta kekayaan
debitur.
 Kepailitan bukan merupakan suatu yang menentukan bagi debitur untuk
tidak berbuat sesuatu tetapi bagi debitur lebih merupakan debitur dalam
keadaan tertentu.
 Suatu kepailitan adalah suatu bentuk perilaku yang terjadi apabila seorang
debitur menghindari untuk tidak membayar utangnya.
 Bankruptcy Commissioners (Trustees), menurut UUK-PKPU disebut
curator, dapat memasuki rumah debitur dan menyita asset-aset debitur untuk
kemudian dijual guna melunasi utang-utangnya.
 Para debitur dapat dipotong kupingnya atau dipaku kupingnya ke suatu
tiang (pillory) di depan public.

C. Insolvency Law of 1986

Insolvency Law dari United Kingdom mengatur mengenai perusahaan-


perusahaan the United Kingdom yang tidak dapat melunasi utang-utang mereka.
Sumber-sumber hukum utama dari kepailitan adalah the Insolvency Act 1986. Di
Indonesia menurut UUK-PKPU para pihak yang mengurus administrasi proses
kepailitan adalah pengacara yang khusus memeriksa dan memutuskan kepailitan
debitur.

17 | P a g e
D. Sejarah Hukum Kepailitan

The Lord Consellor berwenang untuk membebaskan debitur yang pailit apabila
debitur tersebut mengungkapkan semua asetnya dan berbagai prosedur telah
ditempuhnya. Menurut the Insolvent Debtors Act 1813, para debitur dapat
memohon untuk dilepaskan setelah 14 hari di penjara dengan bersumpah bahwa
aset-aset mereka tidak melebihi £20, tetapi apabila ada di antara para kreditur yang
berkeberatan, maka kreditur harus tetap berada di dalam penjara.

Dalam pertengahan abad ke -19, sikap terhadap korporasi juga berubah dengan
cepat. Sejak terjadinya malapetaka the South Sea Bubble, perusahaan dianggap
tidak efisien dan berbahaya. Tetapi, dengan terjadinya revolusi industry, terjadi
perubahan yang luar biasa.

E. Alasan Bagi Pengajuan Permohonan Kepailitan

Ada tiga alasan untuk dapat dinyatakan pailit (made bankruptcy) oleh pengadilan
Inggris, yaitu :

 Mengajukan permohonan pailit kepada pengadilan apabila debitur tidak


dapat membayar utang-utangnya dan ingin menyatakan dirinya pailit.
 Kreditur mengajukan permohonan pailit terhadap kreditur apabila debitur
memiliki utang £750 atau lebih.
 Seorang insolvency practitioner mengajukan permohonan pailit untuk
mempailitkan seseorang karena orang tersebut melanggar ketentuan dalam
Individual Voluntary Arrangement.

F. Syarat Kepailitan

Bandingkan dengan UUK-PKPU yang tidak menyaratkan insolvensi debitur


sebagai syarat pengajuan permohonan pailit. Syarat debitur telah dalam keadaan
insolven merupakan syarat menurut hukum kepailitan pada umumnya di seluruh
dunia agar debitur dapat dinyatakan pailit.

18 | P a g e
G. Pemohon Kepailitan

Menurut Insolvency Act 1986 (sebagaimana telah diubah), debitur dapat


mengajukan permohonan pailit kepada pengadilan untuk dinyatakan pailit.

2.3.9 Sejarah Hukum Kepailitan Amerika Serikat

Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat yang berlaku pada saat ini


adalah Bankruptcy Reform Act of 1978 (Pub.L. 95-598, 92 Stat. 2549, November
6, 1978). The Bankruptcy Reform Act of 1978 telah beberapa kali diubah sejak
1978.

A. Sejarah Hukum Kepailitan

The Bankruptcy Act adalah Undang-Undang Kepailitan modern pertama


Amerika Serikat dan sebagian besar telah menjadi dasar bagi The Bankruptcy Code.

B. Bankruptcy Reform Act of 1978

Bankruptcy Code, adalah sebutan bagi Bankruptcy Reform Act of 1978, yaitu
Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat yang berlaku pada saat ini.

C. Pembagian Chapters dari The Bankruptcy Act

Bankruptcy Code terdiri atas beberapa chapter, Chapter yang sangat terkenal
adalah Chapter 11 tentang Reorganization. Chapter tersebut ialah :

 Chapter 1 : General Provisions, Definitions and Rules of Construction


 Chapter 3 : Case Administration
 Chapter 5 : Creditors, Debtor, and the Estate
 Chapter 7 : Liquidation
 Chapter 9 : Adjustment of the Debts of a Municipality
 Chapter 11 : Reorganization
 Chapter 12 : Adjustment of the Debts of a Family Farmer With Regular
Annual Income
 Chapter 13 : Adjustment of the Debts of an Individual With Regular Income

19 | P a g e
Selain sebagai chapter tersebut diatas, ada chapter baru, yaitu Chapter 15 yang
ditambahkan berdasarkan The Bankruptcy Abuse Prevention and Conssumer
Protection Act of 2005. Chapter 15 mengadopsi The Model Law on Cross-Border
Insolvency yang dilakukan oleh The United Nations Commission on International
Trade Law (UNCITRAL) pada 1997 yang menggantikan Section 304 dari The
Bankruptcy Code.

D. Chapter 7
Menyangkut debitur konsumen perorangan. Chapter 7 menyangkut prosedur di
bawah pengawasan pengadilan yang mengatur pengambilalihan harta pailit (the
debter’s estate).
E. Chapter 9

Chapter 9 berlaku khusus untuk suatu municipality. Chapter 9 mengatur


mengenai reorganisasi yang sangat menyerupai reorganisasi menururt Chapter 11.
Hanya saja Chapter 9 khusus mengenai reorganisasi “municipality”.

F. Chapter 11

Chapter 11 pada umumnya digunakan oleh perusahaan yang menginginkan


untuk dapat melanjutkan kegiatan bisnisnya dan dapat melunasi utang-utangnya
kepada para krediturnya sesuai dengan rencana reorganisasi yang disetujui oleh
pengadilan (a court-approved plan of reorganization). Debitur biasanya
mempunyai hak yang eksklusif untuk mengajukan suatu rencana reorganisasi untuk
120 hari pertama setelah debitur mengajukan permohonan berdasarkan Chapter 11
kepada pengadilan dan diharuskan memberikan kepada para krediturnya suatu
pernyataan (disclosure statement) yang berisi informasi yang memungkinkan para
kreditur untuk menilai rencana tersebut.

G. Chapter 12

Chapter 12 hanya mengatur penyesuaian (adjustment) bagi keluarga petani dan


nelayan yang memiliki penghasilan tetap per tahunnya. Proses berdasarkan Chapter
12 serupa dengan proses berdasarkan Chapter 13.

20 | P a g e
H. Chapter 13

Chapter 13 adalah untuk membantu debitur perorangan (bukan perusahaan)


yang mengalami kesulitan keuangan. Sekalipun Chapter 7 dimaksudkan untuk
membantu debitur konsumen perorangan tetapi Chapter 13 lebih disukai untuk
membantu kesulitan keuangan debitur perseorangan.

I. Chapter 15

Tujuan Chapter 15 adalah untuk menyediakan mekanisme bagi kasus-kasus


yang bersangkutan dengan cross-border insolvency (kepailitan transnasional).
Chapter 15 berlaku bagi debitur atau harta kekayaan yang tunduk pada undang-
undang Amerika Serikat dan juga pada undang-undang dari satu atau lebih negara
lain.

J. Jenis-jenis Dbeitur

U.S. Bankruptcy Code mengatur kepailitan, baik untuk debitur yang berbentuk
persektuan (partnership), perusahaan (corporation), maupun orang perorangan
(individual). Bankruptcy Code bahkan berlaku pula bagi badan hukum kotapraja
(municipality) yang diatur dalam satu chapter khusus, yaitu Chapter 9. Bankruptcy
Code mengecualikan debitur yang berbentuk perusahaan kereta api (railroad),
perusahaan asuransi (insurance company), dan lembaga perbankan (banking
institution).

K. Reorganization

Hukum kepailitan modern (modern bankruptcy laws) dan praktik-praktiknya


di Amerika Serikat menekankan pada upaya melakukan rehabilitasi (rehabilitation),
yang disebut reorganisasi (reorganizing), yaitu melakukan reorganisasi terhadap
debitur pailit dengan tidak bertujuan menghukum debitur.

L. The Securities Investor Protection Act of 1970

Industri sekuritas mengalami turbulensi yang dahsyat pada 1969 dan 1970 yang
mengakibatkan terjadinya banyak likuidasi sukarela, merger, pengampuan

21 | P a g e
perusahaan dibawah pihak lain, dan kepailitan yang luar biasa terhadap perusahaan-
perusahaan pialang (brokerage houses).

M. The Bankruptcy Amendment Act of 1984

Supreme Court pada 1983 memutuskan untuk tidak memungkinkan


perusahaan untuk memperoleh proteksi terhadap perjanjian perburuhan ketika
terjadi kepailitan. Sebagai akibat putusan Supreme Court tersebut, the Bankruptcy
Amendment Act of 1984 membatasi hak perusahaan untuk dapat mengakhiri
perjanjian perburuhan dalam hal terjadi kepailitan.

N. Gelombang Kepailitan 1980-1990

Selama tahun 1980-an dan permulaan 1990-an banyak kepailitan dari semua
jenis kepailitan, telah diajukan. Banyak perusahaan ternama yang mengajukan
kepailitan, terutama berdasarkan Chapter 11, termasuk LTV, Eastern Airlines,
Texaco, Continental Airlines, Allied Stores, Federated Department Stores,
Greyhound, R.H. Macy dan Pan Am.

O. The Bankruptcy Reform Act of 1994

Pada 22 Oktober 1994, Presiden Clinton menandatangani the Bankruptcy


Reform Act of 1994 (Public Law 103-394, October 22, 1994). Undang-Undang
tersebut merupakan legislasi kepailitan yang paling konprehensif sejak berlakunya
the 1978 Act. The 1978 Act tersebut memuat banyak ketentuan baik untuk
kepailitan bisnis maupun konsumen.

P. The Bankruptcy Abuse Prevention and Consumer Protection Act (BAPCA) of


2005

Pada tanggal 19 April 2005, Presiden Goerge W. Bush menandatangani the


Bankruptcy Abuse Prevention and Consumer Protection Act (BAPCA) of 2005
menjadi undang-undang.

22 | P a g e
Q. Amandemen The Federal Rules of Bankruptcy Procedure of 2007

Pada tanggal 1 Desember 2007, amandemen terhadap the Federal Rules of


Bankruptcy Procedure menjadi efektif setelah adanya persetujuan U.S. Supreme
Court padda April 2007. Amandemen tersebut hanya berlaku untuk kasus-kasus
yang menggantung (pending) terhitung 1 Desember.

2.4 SEJARAH HUKUM KEPAILITAN INDONESIA

Pada 22 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 Tanggal 22 April 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara RI Tahun
1998 No. 87 Undang-Undang Kepailitan). Perpu tersebut kemudian telah disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi Undang-Undang, yaitu menjadi UU
No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-
Undang tanggal 9 Spetember 1998 (Lembaran Negara RI Tahun 1998 No. 135).

2.4.1 Undang-Undang Kepailitan Indonesia Sebelum 1945

Mula-mula hukum Indonesia pada zaman Hindia-Belanda dibuat hanya


kepailitan untuk kasus pedagang (pengusaha). Aturannya diatur dalam Wetboek
van Koophandel (W.v.K), Buku ketiga yang berjudul Van de Voorzieningen in
geval van onvermogen van kooplieden.

Aslinya pertauran ini teermuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal 910
W.v.K, tetapi kemudian telah dicabut berdasarkan Pasal 2 Verordening ter
Invoering van de Faillissements-verordening (S. 1906-348).

2.4.2 Undang-Undang Kepailitan Indonesia Sejak 1945

A. Periode Tahun 1945-1947

Berdasarkan aturan peralihan tersebut, seluruh perangkat hukum yang berasal


dari zaman Hindia-Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi
kemerdekaan, kecuali jika setelah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai

23 | P a g e
yang terkandung di dalam Pancasila dan ketentuan yang terdapat di dalam UUD
1945. Setelah proklamasi kemerdekaan, untuk kepailitan berlaku Faillissements-
verordening S. 1905-217 jo. S. 1906-348 yang dalam bahasa Indonesia disebut
sebagai “Peraturan Kepailitan”.

B. Periode Tahun 1947

Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menerbitkan


Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissement 1947). Tujuannya
ialah untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan yang
terjadi sebelumnya jatuhnya Jepang.

C. Periode Tahun 1947-1998

Di dalam praktik, Faillissements-verordening relatif sangat sedikit digunakan.


Faktor penyebab antara lain karena keberadaan peraturan itu di tengah-tengah
masyarakat kurang dikenal dan dipahami. Sosialisasinya ke masyarakat sangat
minim.

Faillissements-verordening itu berlaku untuk pedagang di lingkungan


masyarakat yang tunduk pada hukum perdata dan dagang Barat saja. Akibatnya,
Faillissements-verordening itu tidak dirasakan sebagai sesuatu peraturan yang
menjadi milik masyarakat pribumi sehingga tidak pernah tumbuh di dalam
kesadaran hukum masyarakat.

D. Periode Tahun 1998-2004

Pada Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia. Krisis moneter tersebut
kemudian makin menjadi parah karena terjadinya kasus politik yang
mengakibatkan lengsernya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 21 Mei 1998.

Dihadapkan pada situasi tersebut, masyarakat kreditur bank-bank dalam negeri


dan luar negeri, mulai mencari-cari sarana yang dapat digunakan untuk menagih
tagihannya dengan memuaskan. Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada,
yaitu Faillissements-verordening, sangat tidak dapat diandalkan. Sementara itu

24 | P a g e
pula upaya restrukturisasi utang tidak tampak terlalu menjanjikan bagi para kreditur
karena masih terpuruknya sector riil.

Dalam penjelasan UU Kepailitan No.4 Tahun 1998, diuraikan pokok-pokok


penyempurnaan terhadap Faillissements-verordening itu. Pokok-pokok itu meliputi
segi-segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah
utang-piutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif

E. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

Kalangan DPR menginginkan agar materi yang diatur dalam Perpu itu diubah
karena banyak hal yang tidak memadai pengaturannya. Namun demikian, pihak
Pemerintah berpendapat bahwa sebaiknya Perpu itu diterima begitu saja oleh DPR
dan disahkan sebagai undang-undang. Alasan Pemerintah adalah deadline yang
ditetapkan dalam Letter of Intent yang telah ditandatangani antara IMF dan
Pemerintah mengenai keharusan bagi Indonesia untuk segera mengundangkan
Undang-Undang Kepailitan telah terlampaui waktunya.

25 | P a g e
BAB 3

ASAS-ASAS HUKUM KEPAILITAN

3.1 ASAS-ASAS UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG


KEPAILITAN

UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Kewajiban Penundaan Utang


(UUK-PKPU) dalam penjelasan umumnya mengemukakan bahwa undang-undang
tersebut didasarkan beberapa asas. Asas-asas yang diadopsi oleh UUK-PKPU,
antara lain :

1. Asas Keseimbangan
2. Asas Kelangsungan Usaha
3. Asas Keadilan
4. Asas Integrasi
3.2 ASAS “HUKUM KEPAILITAN JANGAN SAMPAI MEREDAM
MINAT INVESTOR, TERUTAMA INVESTOR LUAR NEGERI
UNTUK BERINVESTASI”

Undang-Undang Kepailitan Indonesia bukan saja harus sejalan dengan


falsafah pancasila, tetapi hendaknya juga memuat globally accepted principles dari
suatu undang-undang kepailitan yang modern, yaitu seperti yang berlaku di negara-
negara maju, misalnya Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Jepang, China, dan
lain-lain.

3.3 ASAS “KEPAILITAN MERUPAKAN JALAN TERAKHIR UNTUK


PENYELESAIAN UTANG DEBITUR”

Reorganisasi adalah yang pertama-tama dan terlebih dahulu harus diusahakan


oleh para kreditur dan debitur sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitur.

“asas berlangsungnya usaha” dalam UUK-PKPU, dapat disimpulkan bahwa


kepailitan jangan sampai menjadi the first resort tetapi hendaknya merupakan the
last resort setelah usaha perdamaian atau reorganisasi yang berupa restrukturisasi

26 | P a g e
utang dan restrukturisasi perusahaan dilaksanakan terlebih dahulu dan gagal dalam
implementasinya.

3.4 ASAS “HANYA DEBITUR YANG TELAH INSOLVEN SAJA YANG


DAPAT DIPAILITKAN”

Mengenai asas ini diuraikan dalam Bab I Subbab 1.2 tentang Bankruptcy vs.
Insolvency.

3.5 ASAS “MEMUNGKINKAN PERMOHONAN PAILIT DIAJUKAN


OLEH KREDITUR ATAU OLEH DEBITUR”

Apabila debitur atas permohonannya dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka


selanjutnya curator yang akan berhadapan dan melayani penagihan para kreditur.
Apabila permohonan pailit diajukan oleh debitur sendiri, maka jenis permohonan
pailit yang demikian itu disebut “kepailitan sukarela”. Sebaliknya apabila
permohonan pailit diajukan oleh seorang kreditur atau lebih, jenis permohonan
kepailitan yang demikian itu disebut “kepailitan tidak sukarela”.

3.6 ASAS “HARTA KEKAYAAN DEBITUR PAILIT BERADA DI


BAWAH SITA UMUM”

Menurut definisi kepailitan dalam Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU, Kepailitan


adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh curator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

3.7 ASAS “HARTA KEKAYAAN DEBITUR PAILIT YANG SUDAH


BERADA DI BAWAH SITA UMUM DIKELOLA KURATOR”

Harta kekayaan debitur yang telah berada dalam sita umum sebagai akibat
putusan pailit pengadilan disebut Harta Pailit (bankruptcy estate). Debitur yang
sudah dinyatakan pailit, tidak lagi dapat melakukan perbuatan hukum yang
berkenaan dengan harta kekayaannya. Selanjutnya untuk melakukan perbuatan
hukum menyangkut harta kekayaannya itu dilakukan oleh likuidator (trustee atau

27 | P a g e
liquidator) atau menururt UUK-PKPU dilakukan oleh curator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas.

3.8 ASAS “TIDAK SEMUA HARTA KEKAYAAN DEBITUR


DILETAKKAN DI BAWAH SITA UMUM, TETAPI BEBERAPA
JENIS KEKAYAAN DAN PENDAPATAN DEBITUR
DIKECUALIKAN UNTUK DIPAKAI SEBAGAI ALAT UNTUK
MEMPEROLEH SUMBER UANG BAGI KEHIDUPAN SEHARI-
HARI”

UUK-PKPU memberikan pengecualian mengenai jenis harta pailit debitur


yang tidak berada di bawah sita umum dan tidak di bawah pengelolaan curator.

3.9 ASAS “PARA KREDITUR TIDAK DAPAT LAGI MENGHUBUNGI


DEBITUR PAILIT UNTUK MENAGIH PIUTANGNYA,
SELANJUTNYA PARA KREDITUR DIWAJIBKAN
BERHUBUNGAN DENGAN KUTATOR”

Setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan, para kreditur tidak lagi
dapat menghubungi debitur secara langsung untuk melakukan penagihan
piutangnya, karena harta kekayaan debitur pailit sudah berada di bawah sita umum.

3.10 ASAS “HARTA PAILIT WAJIB DIJUAL SECARA LELANG


KEPADA PUBLIK UNTUK HASILNYA DIGUNAKAN SEBAGAI
SUMBER PELUNASAN UTANG DEBITUR KEPADA SEMUA
KREDITURNYA”

Asas ini dianut oleh UUK-PKPU sebagaimana ditentukan dan diatur dalam
Pasal 185 UUK-PKPU.

3.11 ASAS “MEMBERIKAN MANFAAT DAN PERLINDUNGAN YANG


SEIMBANG BAGI KREDITUR DAN DEBITUR”

Undang-undang kepailitan harus memberikan manfaat bukan saja bagi


kreditur tetapi juga bagi debitur. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Kepailitan
juga harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditur dan debitur.

28 | P a g e
Undang-undang kepailitan diadakan untuk memberikan manfaat dan perlindungan
kepada para kreditur apabila debitur tidak membayar utang-utangnya.

3.12 ASAS “PERSETUJUAN PUTUSAN PAILIT HARUS DISETUJUI


OLEH PARA KREDITUR MAYORITAS”
3.12.1 Kreditur Mayoritas

Paling sedikit dari para kreditur mayoritas menurut jumlah tagihan (piutang)
bukan mayoritas menurut jumlah orangnya. Permohonan pernyataan pailit dapat
diajukan oleh debitur sendiri, namun putusan pernyataan pailit itu seyogianya tidak
(dapat) diambil oleh pengadilan tanpa disetujui oleh semua atau mayoritas piutang
kreditur. Mayoritas kreditur yang dimaksudkan adalah para kreditur pemilik
sebagian besar piutang.

3.12.2 Pendirian UUK-PKPU

Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, seorang kreditur dapat mengajukan


permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitur sepanjang debitur
mempunyai dua atau lebih kreditur (mempunyai kreditur lain selain dari pemohon)
dan cukup apabila piutangnya saja yang tidak dibayar oleh debitur sekalipun
piutang debitur lain tetap dibayar.

Pendirian UUK-PKPU yang memungkinkan seorang kreditur saja untuk


dapat dikabulkannya permohonan pernyataan pailit terhadap debiturnya itu dapat
sangat merugikan para kreditur lain yang pada kenyataannya tidak mengalami
kesulitan atas pelaksanaan pembayaran tagiihannya.

3.13 ASAS “BERLAKUNYA KEADAAN DIAM” (AUTOMATIC STAY


ATAU AUTOMATIC STANDSTILL)

Undang-Undang Kepailitan seharusnya menganut ketentuan mengenai


berlakunya keadaan diam (standstill atau stay) yang berlaku secara otomatis
(berlaku demi hukum). Menurut US Bankruptcy Code, automatic standstill atau
automatic stay berlaku terhitung sejak permohonan pernyataan pailit didaftarkan di

29 | P a g e
pengadilan. Sementara itu, menurut UUK-PKPU, keadaan diam berlaku sejak
putusan pernyataan pailit dijatuhkan oleh pengadilan niaga.

3.13.1 Automatic Stay Menurut US Bankruptcy Code

US Bankruptcy Code memberlakukan automatic stay sejak permohonan


pernyataan pailit diajukan kepada pengadilan. Automatic stay merupakan bentuk
perlindungan hukum yang diberikan oleh US Bankruptcy Code kepada debitur dan
juga kepada para kreditur selama berlangsungnya proses pemeriksaan kepailitan.

3.13.2 Keadaan Diam dalam UUK-PKPU

UUK-PKPU menentukan mulai berlakunya sita umum atau keadaan diam


adalah sejak dijatuhkan putusan pernyataan pailit bukan sejak permohonan pailit
diajukan kepada pengadilan niaga.

3.13.3 Asas Actio Pauliana

Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan memberlakukan ketentuan


mengenai pembekuan harta kekayaan perusahaan debitur, Undang-Undang
Kepailitan mewajibkan pula agar debitur dan pihak ketiga untuk menyerahkan
kembali bagian dari harta kekayaan perusahaannya yang telah dialihkan oleh
debitur kepada pihak lain, baik melalui hibah, jual-beli, atau cara lain apa pun yang
dilakukan beberapa waktu yang lalu sebelum putusan pailit diambil oleh
pengadilan.

3.13.4 Hal-hal yang Tidak Terpengaruh oleh Automatic Stay

Hal-hal yang tidak mungkin dicegah oleh automatic stay adalah Certain tax
proceedings, Criminal proceedings, Loans from a pension, dan Multiple filings.

3.13.5 Automatic Stay Tidak Mutlak

Sekalipun automatic stay menghentikan semua upaya penagihan oleh


kreditur selama berlangsungnya kepailitan (bankruptcy), tetapi menurut US
Bankruptcy Code sifatnya tidak mutlak. Para kreditur dapat meminta kepada

30 | P a g e
pengadilan agar keadaan diam (stay) tersebut dicabut (remove), yaitu yang disebut
“lifting the automatic stay” atau “getting relief from the automatic stay”.

3.13.6 Pendapat Penulis Tentang Mulai Berlakunya Sita Umum

Menurut penulis, tepat sekali pendirian US Bankruptcy Code yang


memberlakukan automatic stay sejak permohonan pailit didaftarkan di pengadilan.
Penulis menyarankan agar dalam rangka perbaikan atau penggantian UUK-PKPU,
kiranya ketentuan mengenai saat mulai berlakunya keadaan diam dalam UUK-
PKPU disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam US Bankruptcy Code.

3.14 ASAS “MENGAKUI HAK JAMINAN SEBAGAI HAK SEPARATIS”


3.14.1 Status Hak Separatis

Hak separatis ialah hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditur
pemegang hak jaminan bahwa barang jaminan (agunan) yang dibebani dengan hak
jaminan (menurut istilah yang dipakai dalam UUK-PKPU ialah hak agunan) tidak
termasuk harta pailit.

Apabila Undang-Undang Kepailitan tidak memberikan jaminan terhadap


status hukum dari barang yang dibebani dengan hak jaminan untuk tidak
dimasukkan ke dalam harta pailit, maka hak jaminan kehilangan raison detre nya.

3.14.2 Posisi Hak Jaminan dalam UUK-PKPU

Bagaimana halnya dengan sikap UUK-PKPU mengenai status hak jaminan


berkenaan dengan kepailitan debitur? Menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUK-
PKPU, setiap kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek,
atau hak agunan kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan.

3.15 ASAS “PROSES PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT HARUS


SESINGKAT MUNGKIN”

Batas waktu itu tidak boleh terlalu lama tetapi juga tidak boleh terlalu pendek
karena hanya akan mengakibatkan dihasilkannya putusan pengadilan yang mutunya

31 | P a g e
mengecewakan. UUK-PKPU (maupun UU No. 4 Tahun 1998 yang digantikan oleh
UUK-PKPU) telah menganut asas “cepat” tersebut. Namun demikian, Pasal 8 ayat
(5) UUK-PKPU yang menentukan, putusan atas permohonan pernyataan pailit
harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal
permohonan pernyataan pailit didaftarkan adalah tidak realistis.

3.16 ASAS “PROSES PUTUSAN PAILIT TERBUKA UNTUK UMUM”

Mengingat putusan pernyataan pailit terhadap seorang debitur berdampak


luas dan menyangkut kepentingan banyak pihak, maka proses kepailitan haus dapat
diketahui oleh masyarakt luas. Putusan pailit terhadap seorang debitur bukan saja
menyangkut kepentingan satu atau dua orang kreditur, tetapi juga menyangkut
semua kreditur, karena dengan putusan pailit oleh pengadilan itu, maka terhadap
harta debitur diletakkan sita umum.

3.17 ASAS “PEMBERIAN FINANCIAL FRESH START KEPADA PARA


DEBITUR PAILIT SETELAH SELESAINYA TINDAKAN
PEMBERESAN”
3.17.1 Arti “Financial Fresh Start”

Dalam hukum kepailitan, lembaga yang demikian disebut “financial fresh


start” atau cukup disebut “fresh start” saja. Artinya, hukum kepailitan menawarkan
kepada debitur perorangan atau badan hukum kesempatan untuk “to start fresh by
forgiving debts that simply can’t be paid while offering creditors a chance to obtain
some measure of repayment based on what assets are available”.

3.17.2 Financial Fresh Start dalam UUK-PKPU

UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran (UUK-PKPU) tidak menganut asas fresh start. Baik debitur
perorangan maupun debitur korporasi tidak pernah diberikan pengampunan dengan
memberikan kesempatan fresh start sekalipun seluruh aset debitur perorangan
maupun debitur badan hukum telah dilikuidasi.

32 | P a g e
3.18 ASAS “PENGURUS PERUSAHAAN DEBITUR YANG
MENGAKIBATKAN PERUSAHAAN PAILIT HARUS
BERTANGGUNG JAWAB PRIBADI”

Sering ditemui tindakan tidak terpuji pengurus perusahaan itu antara lain
melakukan perbuatan-perbuatan yang berorientasi kepada kepentingan pribadi
dengan merugikan perusahaan. Di dalam suatu Undang-Undang Kepailitan
seharusnya dimuat asas bahwa pengurus yang karena kelalaiannya atau karena
ketidakmampuannya telah menyebabkan perusahaan berada dalam keadaan
keuangan yang sulit, harus bertanggung jawab secara pribadi.

3.19 ASAS “PERBUATAN-PERBUATAN YANG MERUGIKAN HARTA


PAILIT ADALAH TINDAK PIDANA”

UU No. 4 Tahun 1998 maupun UUK-PKPU ternyata tidak memuat


ketentuan pidana. Namun demikian, bukan berarti hukum Indonesia tidak mengenal
sanksi pidana yang khusus bagi debitur curang. Ketentuan tersebut memang tidak
dimuat dalam UU No. 4 Tahun 1998 maupun UUK-PKPU, tetapi dimuat dalam
KUHPidana. Namun demikian, masih banyak perbuatan, baik yang dilakukan oleh
debitur maupun oleh kreditur, yang seharusnya diskriminalisasi ternyata belum
diatur dalam KUHPidana.

33 | P a g e
BAB 4

SYARAT-SYARAT KEPAILITAN

4.1 SYARAT-SYARAT KEPAILITAN MENURUT PASAL 2 AYAT (1)


UUK-PKPU

Syarat-syarat agar suatu debitur dapat dipailitkan yang ditentukan dalam


Undang-Undang Kepailitan suatu negara merupakan saka guru terpenting dari
undang-undang tersebut. Apabila syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang sangat longgar, artinya dengan mudah satu debitur yang seharusnya belum
keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan,
maka system perekonomian dan bisnis negara yang bersangkutan akan rentan
terhadap kehancuran.

Syarat-syarat kepailitan merupakan tolak ukur bagi pengadilan yang akan


menetapkan kepailitan debitur. Syarat-syarat kepailitan dalam Undang-Undang
Kepailitan Indonesia, yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) ditentukan dalam
Pasal 2 ayat (1).

4.2 SYARAT INSOLVENSI

Dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tidak dicantumkan sebagai syarat agar
debitur dapat dipailitkan adalah dialaminya keadaan insolvensi keuangan debitur.
Debitur telah berada dalam keadaan insolven hanya apabila jumlah nilai
kewajibannya (utangnya) telah lebih besar daripada nilai asetnya (harta
kekayaannya). Keadaan yang debitur yang demikian itu disebut balance sheet
insolvency. Balance sheet insolvency dilawankan dengan cash-flow insolvency.

Berkenaan dengan syarat insolvensi bagi debitur yang dapat dinyatakan pailit,
ada pertanyaan yang mengusik berkenaan dengan dimungkinkannya pemberian
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang ditentukan dalam Pasal
222 UUK-PKPU. Mengenai syarat-syarat kepailitan yang ditentukan dalam Pasal
2 ayat (1) UUK-PKPU dan Pasal 222 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UUK-PKPU

34 | P a g e
dapat disimpulkan UUK-PKPU tidak mensyaratkan bahwa debitur hanya dapat
dipailitkan apabila keuangan debitur telah dalam keadaan balance sheet insolvency.

4.2.1 Insolvensi Seharusnya Merupakan Syarat Mutlak Bagi Putusan Pailit

Menurut asas yang berlaku secara universal, seorang debitur memenuhi


syarat untuk dinyatakan pailit hanya apabila debitur telah dalam keadaan insolven.
Menurut berbagai Undang-Undang Kepailitan di berbagai negara, syarat debitur
telah berada dalam keadaan insolven merupakan salah satu syarat mutlak agar
seorang debitur dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan.

4.2.2 Putusan Pailit Meletakkan Harta Kekayaan Debitur Pailit Berada di


Bawah Sita Umum

Dengan diletakkannya sita umum terhadap seluruh harta kekayaan debitur


memalui putusan pailit oleh pengadilan, maka baik kepentingan semua kreditur
maupun kepentingan debitur sendiri terjamin dari upaya dahulu mendahului antara
sesama kreditur sehingga tidak mustahil ada satu atau lebih kreditur yang tidak
memperoleh apa-apa karena kalah cepat dari kreditur lain.

4.3 SYARAT CONCURSUS CREDITORUM DALAM UUK-PKPU

Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, salah satu syarat yang harus dipenuhi
ialah debitur harus mempunyai dua kreditur atau lebih. Dengan demikian, undang-
undang ini hanya memungkinkan seorang debitur dinyatakan pailit apabila debitur
memiliki paling sedikit dua kreditur. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau
lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorum. Syarat bahwa debitur harus
mempunyai dua kreditur atau lebih tidak dipersyaratkan atau tidak ditegaskan
dalam Pasal 1 ayat (1) Faillissements-verordening.

4.3.1 Pembuktian Debitur Memiliki Lebih dari Satu Kreditur

Di dalam UUK-PKPU memang tidak diatur secara tegas mengenai


pembuktian bahwa debitur mempunyai dua atau beberapa kreditur. Di dalam UUK-
PKPU tidak ditentukan bahwa pemohon pernyataan pailit harus membuktikan
bahwa debitur mempunyai dua atau beberapa kreditur.

35 | P a g e
Dalam hukum acara perdata yang berlaku, sesuai dengan Pasal 163 HIR atau
Pasal 1865 KUHPerdata ditegaskan beban wajib bukti (burden of proof atau
bewijslast) dipikul oleh pemohon atau penggugat untuk membuktikan dalil (posita)
gugatannya. Dengan demikian, pemohon pernyataan pailit (baik kreditur maupun
debitur) harus dapat membuktikan bahwa debitur mempunyai dua atau beberapa
kreditur sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU.

4.3.2 Pengertian Kreditur dalam UUK-PKPU

Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU mengemukakan:

Yang dimaksud dengan “Kreditur” dalam ayat ini adalah baik Kreditur Konkuren,
Kreditur Separatis, maupun Kreditur Preferen”.

Sehubungan dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tersebut, maka


yang dimaksudkan dengan Kreditur adalah sembarangan Kreditur.

4.4 SYARAT ADANYA UTANG DALAM UUK-PKPU

Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah
harus adanya utang. Dalam Pasal 1 butir 6 UUK-PKPU telah mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan utang itu.

4.4.1 Syarat Status Utang

Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tidak membedakan tetapi menyatukan syarat


utang yang telah jatuh waktu dan utang yang telah dapat ditagih. Penyatuan tersebut
ternyata dari kata “dan” di antara kata “jatuh waktu” dan “dapat ditagih”. Kedua
istilah itu sebenarnya berbeda pengertian dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja
telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu. Pada perjanjian kredit perbankan,
kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu, ialah utang yang
dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit
itu, menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditur berhak untuk menagihnya. Di
dalam dunia perbankan disebut bahwa utang itu telah due atau expired.

36 | P a g e
4.4.2 Syarat Jumlah Utang dan Masalah Insolvensi Dalam UUK-PKPU

Salah satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU agar
seorang debitur dapat dimohonkan untuk dipailitkan adalah selain debitur memiliki
dua atau lebih kreditur juga cukup apabila satu utang kepada salah satu krediturnya
telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sama sekali tidak dipersyaratkan bahwa debitur
telah dalam keadaan insolven.

Menurut Penjelasan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU, bahkan perbedaan


besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit
tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit. Tegasnya, hanya
karena seorang debitur tidak membayar utang yang jumlahnya relatif sangat kecil
bila dibandingkan dengan aset perusahaan.

Seorang debitur berada dalam keadaan insolven adalah apabila debitur itu
tidak, mampu secara finansial membayar sebagian besar utang-utangnya atau nilai
aktiva atau asetnya kurang dari nilai pasiva atau liabilities-nya. Seorang debitur
tidak dapat dikatakan telah dalam keadaan insolven apabila kepada seorang kreditur
saja debitur tersebut tidak membayar utangnya.

4.5 HUKUM KEPAILITAN: DEBTOR-FRIENDLY VS. CREDITOR-


FRIENDLY

Bila dibandingkan hukum kepailitan (bankruptcy law) yang dipunyai oleh


negara-negara di dunia pada saat ini, hukum kepailitan dapat dipisahkan ke dalam
dua kelompok, yaitu hukum kepailitan yang berpihak kepada kepentingan debitur
(debtor-friendly) dan di pihak lain hukum kepailitan yang berpihak kepada
kepentingan kreditur (creditor-friendly).

Hukum kepailitan Amerika Serikat (US Bankruptcy Law) telah digambarkan


sebagai hukum kepailitan yang “debtor-friendly”, karena berorientasi kepada
pemberian kesempatan kepada perusahaan debitur untuk melakukan reorganisasi
sebelum debitur diputuskan pailit oleh pengadilan. Sementara itu, prosedur
kepailitan yang tradisional di banyak negara maju lainnya, termasuk the United
Kingdom, Jerman, Jepang, dan Swedia digambarkan sebagai hukum kepailitan

37 | P a g e
yang sebaliknya, yaitu hukum kepailitan yang “creditor-friendly”, karena lebih
menyukai agar secepatnya dilakukan likuidasi terhadap harta kekayaan (assets)
debitur dalam rangka penyelesaian piutang para kreditur. Sekalipun UUK-PKPU
menyebut tentang keseimbangan sebagai asas undang-undang ini tetapi menurut
UUK-PKPU merupakan Undang-Undang Kepailitan yang sangat memihak kepada
kepentingan para kreditur (creditor-friendly).

38 | P a g e
BAB V

INSOLVENSI DALAM KEPAILITAN

Salah satu asas hukum kepailitan yang dianut secara universal adalah bahwa
hanya Ditur yang telah insolvent (insolvent) saja yang dinyatakan pailit oleh
Pengadilan. Pengadilan harus menolak permohonan pailit apabila Debitur masih
dalam keadaan solven (solvent).

Berhubung dengan asas yang demikian itu, maka Debitur hanya dapat
mengajukan permohonan pailit apabila dapat membuktikan bahwa Debitur telah
dalam keadaan insolven. Demikian pula halnya apabila permohonan pailit diajukan
oleh Krediturnya. Artinya, Kreditur hanya dapat mengajukan permohonan pailit
terhadap Debiturnya apabila dapat membuktikan bahwa Debiturnya telah dalam
keadaan insolven.

5.1 HUBUNGAN KEPAILITAN DAN INSOLVENSI

Menurut Credit Counselling Society, dua istilah tersebut, yaitu kepailitan dan
insolvensi, sering membingungkan apabila tidak kita pahami dengan baik masing-
masing pengertiannya. Kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda tetapi
terkait satu sama lain. Kedua istilah tersebut berjalan berbarengan.

Dikemukakan oleh Rohan Lamprecht: Insolvency does not necessarily lead to


Bankruptcy, but all bankrupt debtors are considered insolvent" Tegasnya, sesuai
dengan keterangan tersebut di atas, putusan pailit hanya dapat terjadi terhadap
Debitur yang sudah insolven.

Sebagaimana dikemukakan oleh WiseGeek, istilah "bankruptcy" dan


"insolvency" sering kali digunakan saling menggantikan (interchangeable), tetapi
menurut WiseGeck sebenarnya merupakan dua istilah yang berbeda Dijelaskan
oleh WiseGeek perbedaan kedua istilah tersebut sebagai berikut :

 Insolvency may lead to bankruptcy but is an informal definition that


describes a person who cannot pay debts or who has liabilities that exceed

39 | P a g e
assets. Bankruptcy is a formal legal concept wherein the government has
starred in to resolve the debts of an insolvent person or business.
 Bankruptcy and insolvency are often linked, sine the state of insolvency
may lead to formal bankruptcy proceedings. Nevertheless in certain cases,
a business may be able to operate with out fear of bankruptcy despite being
technically insolvent at the present time. To understand how bankruptcy and
insolvency relate, it is important to understand the exact condition of
insolvency.
Dalam Debt.org dijelaskan mengenai perbedaan insolvency dan bankruptcy
sebagai berikut :

"Insolvency" is the financial state in which a person or company can no longer pay
its bills and other monetary obligations in a timely manner..., a person is insolvent
when his or her total debts add up to more than the fair market value of his or her
total assets--homes land, vehides, bank accounts and stocks and bonds

Selanjutnya dijelaskan bahwa

... bankruptcy is a court order that defines how an insolvent debtor will meet his or
her obligation and/or have assets liquidated (sold) to pay the creditors.

Berkenaan dengan perbedaan antara insolvensi dan kepailitan, Goodman Law


dalam tulisannya mengenai "What is the Difference between Insolvency and
Bankruptcy?” memberikan definisi keduanya sebagai berikut :

Insolvency is defined as a financial condition or state when :

 A legal entity or a parson's liabilities (debts) exceeds their assets (balance


sheet insolvency); or
 When a legal entity or person can no longer meet their debt obligations on
time as they fall due (cash flow insolvency).
Upon becoming insolvent the legal entity ar person must take immediate action to
rectify the upon becoming insolvent, the legal entity or person must take immediate
action to rectify the situation as soon as possible, in order to avoid possible

40 | P a g e
bankruptcy i.e by generating cash, minimizing overhead costs, cutting bank on
living expenses and settling or renegotiating the terms of current debts or
repayment.

Bankruptcy is defined as the result of a successful legal procedure that results


from :

 An application to a relevant court by a legal entity to have themselves volun


tarily declared bankrupt; or
 An application to the relevant art by creditor of a legal entitas or a person in
order to have that legal entity or person declared bankrupt;
 A special resolution wHugh a legal entity files the Registrar of Companies
in order to be declared bankrupt.
A state of insolvency can lead to bankruptcy However, it s also possibie that the
state of insolvency could be temporary and fixable Thus, insolvency does not
necessarily lead to bankruptcy, but all bankrupt legal entities or persons are deemed
to be insolvent.

Menurut uraian Goodman Law tersebut di atas. insolvensi (insolvency)


merupakan suatu keadaan keuangan. yaitu keadaan keuangan yang terjadi apabila
utang-utang (tidak hanya satu utang saja) dari Debitur melebihi asetnya Urain
Goodman Law tersebut di atas sesuai dengan penjelasan yang sudah di uraikan di
atas mengenai insolvent (insolvency) dan mengenai kepailitan (bankruptcy).

Sebagaimana dikemukakan dalam tulisan Goodman Law tersebut di atas, suatu


keadaan insolvensi dapat menjadi dasar untuk dinyatakan pailit. Namun demikian,
dapat pula keadaan insolvensi tersebut hanya sementara dan dapat diatasi sehingga
tidak harus berakhir kepada kepailitan Dengan demikian, insolvensi tidak harus
berakhir berupa Debitur menjadi pailit, tetapi sebaliknya semua badan hukum dan
orang perorangan yang dinyatakan pailit pasti insolven.

Seorang Debitur yang tidak melunasi utangnya kepada salah satu krediturnya
tidak selalu karena Debitur tidak dapat membayar utangnya, tetapi dapat juga
karena Debitur memang dengan sengaja tidak mau membayar utangnya karena

41 | P a g e
alasan yang berupa bukan karena Debitur tidak mampu membayar. Dengan kata
lain, keadaan keuangan Debitur masih mampu membayar utang. Debitur tidak
membayar utangnya kepada Kreditur bukan selalu karena Debitur tidak memiliki
"ability to repay." (tidak mampu membayar) tetapi mungkin saja karena Debitur
tidak memiliki "willingness to repay" (tidak mau membayar).

Menurut Stefan Albrecht Riesenfeld, sebagaimana ditulis untuk Encyclopaedia


of Britannica, menjelaskan tentang bankruptcy sebagai berikut:

bankruptcy the status of a debtor who has been declared by judicial proves
to be unable to pay his debts. Although sometimes used indiscriminately to
mean insolvency, the term have distinct legal significance. Insolvency as
used in most legal systems, indicates the inability to meet debts.

Bankruptcy, on the other hand, results from a legal adjudication that the
debtor has filed a petition or that creditors have filed a petition against him.

Bankruptcy merupakan suatu tindakan hukum (legal proceeding) Sebagaimana


dijelaskan oleh Ivestopedia :
A legal proceeding involving a person or business that unable to repay outstanding
debst. The bankruptcy process begins with a petition filed by the debtor (most
common) or on behalf of creditors (less common). All of the debtor's assets a
measured and evaluated, whereupon the assets are used to repay a portion of
outstanding debt. Upon the successful completion of bankruptcy proceeding, the
debtors is relieved of the debt obligations incurred prior to filing for bankruptcy.
5.2 SEBAB SEBAB TERJADINYA KEPAILITAN
Sementara itu kepailitan (bankrupt) merupakan akibat dari adanya hal-hal
sebagai berikut :
 Suatu permohonan yang diajukan kepada Pengadilan Kepailitan yang
berwenang oleh suatu badan hukum atau seorang pribadi untuk menyatakan
dirinya secara sukarela pailit (voluntarily declared bankrupt);

42 | P a g e
 Suatu permohonan kepada Pengadilan kepailitan yang berwenang yang
diajukan oleh seorang Kreditur, baik suatu badan hukum atau orang
perorangan, agar Debiturnya dinyatakan pailit atau
 Suatu resolusi khusus yang diajukan oleh suatu badan hukum atau orang
perorangan kepada the Registrar of Companies' agar dirinya dinyatakan
pailit.
5.3 INSOLVENSI
5.31 Pengertian Insolvensi
Menurut Price Water House Coopers dalam tulisannya Insolvency in Brief: A
guide to insolvency terminology and procedure memberikan pengertian mengenai
insolvency sebagai berikut :
Insolvency arises when individuals or businesses have insufficient assets to
cover their debts or are unable to pay their debts when they are supposed to.
Dalam tulisan yang sama sebagaimana tersebut diatas, Price Water House
Copers menjelaskan mengenai apa yang di maksud dengan corporate insolvency
sebagai berikut :
A company becomes insolvent if it does not have enough assets to cover its
debts and/or it cannot pay its debts on the due dates.
Menurut The Insolvency Service, dalam tulisan Dealing with Debt: How to
make someone bankrupt, mengemukakan bahwa pengadilan dapat menjatuhkan
putusan pailit apabila orang tersebut tidak dapat membayar utang utangnya (Penulis
tidak harus memiliki satu utangnya saja seperti dimaksud oleh UUK-PKPU)
The court can make a bankruptcy order against an individual who fails to
pay their debts. A bankruptcy order makes sure that the assets of the
bankrupt are shared out fairty among the creditors and imposes certain
resections on the bankrupt. Bankruptcy does not necessarily mean that the
debts of the bankrupt will be paid
Dalam tulisan yang dibuat oleh Australian Securities & Investments Commission
(ASIC) dengan tegas dikemukakan bahwa :
A company is insolvent if it is unable to pay all its debts when they are due.

43 | P a g e
Dengan demikian, sesuai dengan keterangan tersebut di atas debitur yang
insolven adalah Debitur yang tidak dapat membayar utang kepada semua
Krediturnya. Bukan tidak hanya dapat melunasi utang kepada satu Kreditur saja.
Bagaimana pula halnya dengan hukum Singapore agar seorang Debitur dapat
diputuskan bankrupt (pailit) oleh pengadilan? Dalam satu tulisan yang dibuat oleh
SingaporeLegalAdvice.com (23 Juli 2011) dikemukakan bahwa seseorang hanya
dapat diputuskan pailit (bankrupt) apabila telah insolven (insolvent), yaitu tidak
dapat membayar utang-utangnya kepada para Krediturnya Dikemukakan dalam
tulisan tersebut.
Dari beberapa tulisan mengenai pengertian tersebut di atas, ditegaskan bahwa suatu
perusahaan atau pribadi yang dapat dinyatakan insolven (insolvent) atau pailit
(bankrupt) adalah :

 Pertama :Insolvensi terjadi apabila debitur tidak dapat melunasi semua


utangnya.
 Kedua : Insolvensi (insolvency) adalah keadaan Debitur yang memiliki
jumlah utang yang melebihi seluruh jumlah harta kekayaannya.
Jumlah keseluruhan utang-utang Debitur tidak membeda-bedakan jenis para
Kreditur Tidak dibedakan apakah utang-utang Debitur tersebut kepada para
Kreditur konkuren, para Kreditur dengan Hak Jaminan dan kreditur dengan Hak
Istimewa. Untuk menentukan bahwa Debitur sudah berada dalam keadaan insolven,
harus dilakukan penjumlahan semua utang Debitur kepada semua jenis Krediturnya
dan kemudian dibandingkan dengan jumlah harta kekayaannya (aset) untuk
mengetahui apakah jumlah nilai utang tersebut masih lebih besar atau sudah lebih
kecil dari pada jumlah seluruh utangnya

5.3.2 Jenis Insolvensi

Terdapat dua jenis insolvens yaitu balance sheet insolvency dan cash flow
insolvency. Keadaan keuangan disebut balance sheet insolvency (insolvensi neraca)
apabila utang perusahaan atau perorangan sudah melebihi nilai asetnya. Sementara
itu, yang dimaksud dengan cash flow insolvency (insolvency arus kas) adalah
apabila suatu perusahaan atau perorangan yang sebenarnya masih memiliki aset

44 | P a g e
yang lebih besar dari jumlah utangnya tetapi tidak dapat memenuhi pelunasan
utang-utangnya pada saat utang-utang tersebut jatuh tempo. Hal tersebut
disebabkan arus nasuk dan arus keluarnya kas perusahaan tak seimbang yaitu arus
keluarnya lebih besar daripada arus masuknya. Sehingga mengakibatkan
perusahaan atau perorangan tersebut tidak memilihi dana tunai yang cukup untuk
membayar utang-utangnya dan kewajiban pembayaran lain yang sudah jatuh
tempo.

5.3.3 Berbagai Sebab Terjadinya Cash Flow Insolvency

Pengelolaan arus kas (cash flow management) sangat penting. Prediksi arus kas
(cash flow forecast) harus dilakukan dan cermat, sehingga sejak jauh hari sudah
dapat diketahui saat kapan terjadi arus kas keluar (cash outflow) lebih besar
daripada arus kas masuk (cash inflow).

Mengelola arus kas (cash flow) harus dilakukan oleh perusahaan setiap hari,
bukan setiap minggu atau setiap bulan apalagi setiap tahun. Arus kas (cash flow)
merupakan darah bagi suatu bisnis. Perusahaan yang mengalami masalah dengan
arus kasnya (mengalami cash flow problems) dapat akhirnya mengalami masalah
hukum, yaitu harus mengalami gugatan dari para krediturnya.

Problem arus kas (cash flow problems) menimbulkan masalah yang disebut
defisit arus kas (cash flow deficit). Terjadi defisit arus kas apabila arus kas keluar
(cash outflow) lebih besar dari pada arus kas masuk (cash inflow). Sebaliknya dari
defisit arus kas (cash flow deficit) adalah surplus arus kas (cash flow surplus).

Adanya berbagai macam pengeluaran perusahaan. Suatu perusahaan melakukan


pengeluaran uanf, artinya terjadi arus kas keluar, misalnya karena melakukan
pembelian stok, membayar gaji pegawai dan upah buruh, membayar sewa,
membayar listrik dan telpon, membayar angsuran kredit, dan lain sebagainya.

Problem arus kas dapat terjadi karena beberapa sebab. Penjualan barang atau
jasa menurun adalah salah satu penyebabnya. Misalnya karena mesin pabrik rusak,
pemesanan bahan baku terlambat diterima, atau karena faktor saingan dari
perusahaan sejenis yang menjadi pesaingnya. Sebab yang lain karena perusahaan

45 | P a g e
tidak memperoleh tambahan kredit dari bank sedangkan pengeluaran perusahaan
meningkat. Penyebab lainnya adalah macetnya piutang perusahaan (bad debt),
dengan kata lain tagihan perusahaan dari para Debiturnya yang berutang kepada
perusahaan

tidak mampu dibayar atau tidak mau dibayar. Bukan mustahil penyebab problem
arus kas adalah karena orang-orang yang menjabat dalam jabatan manajemen tidak
terampil atau melakukan kesalahan.

Problem arus kas bukan masalah yang tidak dapat diatasi. Dengan cara meminta
kredit bank atau melakukan factoring terhadap invoices (menjual surat-surat
tagihan) merupakan jalan keluar yang dapat ditempuh. Jalan lain adalah menjual
aset perusahaan, terutama aset yang tidak produktif. Untuk sementara waktu tidak
menaikkan gaji pegawai atau upah buruh. Atau untuk sementara tidak menambah
jumlah pegawai atau buruh. Cara yang hanya akan ditempuh setelah berbagai cara
lain tidak dapat dilakukan adalah melakukan cost cutting (pengurangan biaya),
misalnya mengurangi gaji pegawai atau upah buruh atau mengurangi jumlah
pegawai atau buruh. Apabila penyebabnya adalah para pemangku jabatan di
manajemen yang kurang terampil, maka perusahaan (Rapat Umum Pemegang
Saham dalam hal perusaha berbentuk Perseroan Terbatas) akan melakukan
penggantian direksi dan kemungkinan juga dewan komisaris.

5.3.4 Hanya Debitur yang Mengalami Balance Sheet Insolvency yang Dapat
Dipailitkan

Debitur dapat dimohonkan pernyataan pailit kepada pengadilan hanya apabila


Debitur mengalami balance sheet insolvency, Adapun dalam hal Debitur cidera
janji tidak membayar utangnya karena mengalami cash flow insolvency atau karena
alasan lain yang bukan disebabkan karena balance sheet insolvency, tidak dapat
diajukan permohonan pailit kepada pengadilan kepailitan, di Indonesia adalah
kepada Pengadilan Niaga, tetapi kepada Pengadilan Perdata, yaitu Pengadilan
Negeri dalam hal gugatan diajukan di Indonesia.

46 | P a g e
5.4 PENENTUAN INSOLVENSI

Pengadilan hendaknya mempertimbangkan permohonan kepailitan hanya


apabila Debitur telah dalam keadaan insolven. Untuk menentukan apakah Debitur
telah dalam keadaan insolven, aset (harta kekayaan) Debitur harus dinilai bukan
nilai pasar (market price) tetapi berdasarkan nilai likuidasi (liquidation price).

Nilai likuidasi adalah nilai dari aset tersebut ketika dijual (dilikuidasi). Nilai
likuidasi selalu lebih rendah daripada nilai pasarnya Dengan Demikian, untuk
menilai keadaan insolvensi Debitur adalah apabila nilai semua utang Debitur lebih
rendah dibandingkan dengan nilai likuidasi semua asetnya.

Apabila ternyata dapat dibuktikan berdasarkan pendirian kantor akuntan publik


dan konsultan keuangan tersebut bahwa Debitur masih solven (tidak
insolven),maka permohonan pernyataan pailit harus ditolak oleh pengadilan dan
selanjutnyapengadilan memutuskan agar sengketa antara Debitur dan kreditur
pemohon pailit diajukan kepada Pengadilan Negeri sebagai perkara cedera janji
dalam perkara perdata biasa.

Untuk menentukan apakah keadaan keuangan Debitur sudah dalam keadaan


tidak mampu membayar utang-utangnya, atau dengan kata lain Debitur telah dalam
keadaan insolven, harus dapat ditentukan secara objektif. Hal itu hanya dapat
dilakukan berdasarkan l financial due diligence yang dilakukan oleh suatu kantor
akuntan publik yang independen.

Untuk menghindarkan tolak ukur yang tidak objektif dalam menilai apakah nilai
aset Debitur masih lebih besar atau lebih kecil daripada utang-utang Debitur,
Debitur dan para Krediturnya hendaknya bersepakat untuk menunjuk kantor
akuntan publik dan konsultan keuangan (financial consultant) untuk melakukan
penilaian tersebut.

Apabila antara Debitur dan para Krediturnya tidak dapat mencapai kesepakatan
untuk menunjuk kantor akuntan publik dan konsultan keuangan yang dimaksud,
maka pengadilan yang wajib menunjuk kantor akuntan publik dan konsultan
keuangan yang dimaksud atas biaya para pihak yang bersengketa. Pengadilan wajib

47 | P a g e
menunjuk hanya dari daftar konsultan yang diajukan oleh Debitur dan para Kreditur
atau dari daftar kantor akuntan publik dan konsultan keuangan yang direkomendasi
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

5.5 SYARAT INSOLVENSI DALAM UUK-PKPU

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut standar internasional bahwa


dalam hal Debitur masih solven tetapi tidak membayar utangnya yang telah jatuh
tempo kepada Kreditur, maka Kreditur tidak boleh mengajukan gugatan kepailitan
di Pengadilan Kepailitan yaitu Pengadilan yang berwenang memeriksa dan
memutuskan Kepailitan. Di Indonesia adalah Pengadilan Niaga. Dengan kata lain,
Kreditur hanya boleh mengajukan permohonan pailit terhadap Debiturnya apabila
Debitur telah dalam keadaan insolven.

Dalam hal Debitur masih dalam keadaan solven tetapi tidak membayar
utangnya, Kreditur bukan mengajukan permohonan kepailitan tetapi mengajukan
gugatan perdata biasa. Di Indonesia, gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan
Negeri.

Dalam sejarah hukum kepailitan Indonesia, sikap yang demikian itu merupakan
sikap Faillissements-verordening (Fv). Hal tersebut dapat diketahui dari bunyi
Pasal 1 ayat (1). Namun bunyi pasal tersebut telah diubah oleh Perpu No. 1 Tahun
1998 sebagaimana kemudian telah diundangkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998.
Bunyi asli dari Pasal 1 ayat (1) Fv adalah:

(1) De schuldenaar, die in den toestand verkeert dat hij heeft opgehouden te
betalen, wordt heta op eigen aangifte, hetzij op verzoek van een of meer
ziiner schuldeischers, bij rechterlijke vonnis in staat en faillissement
verklaard IF 4.6, 2130, Levensv. 46, Ord Levensv. 59.77.99)

Bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia


sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Kepailitan dengan bunyi :

48 | P a g e
Setiap pihak yang berulang (Debitur) yang tidak mampu yang berada dalam
keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas
permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berkurangnya
(krediturnya) dinyatakan dalam keadaan pailit.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Fy, terhadap seorang Debitur dapat diajukan
permohonan pernyataan pailit hanya apabila Debitur telah berhenti membayar
utangnya. Keadaan berhenti membayar haruslah merupakan keadaan yang objektif,
yaitu karena keadaan keuangan Debitur telah mengalami ketidakmampuan
membayar utang-utangnya (in distressed) Dengan kata lain, Debitur tidak boleh
sekadar hanya tidak mau membayar utang-utangnya (not willing to pay his debts),
tetapi keadaan keuangannya sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang
utangnya (not able to repay his debts).

Syarat kepailitan ditentukan sebelumnya dalam Pasal 1 ayat (1) Fv. Syarat
kepailitan yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Fv ternyata kemudian telah
diubah Perubahan tersebut pertama tama dilakukan melalui Perpu No 1 Tahun 1998
yang kemudian telah diundangkan sebagai UU No. 1 Tahun 1998. Terakhir
perubahan tersebut terjadi dengan diberlakukannya UU No. 37 Tahun 2004 (UUK-
PKPU) Syarat kepailitan ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang
bunyinya adalah sebagai berikut :

Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permintaan satu atau lebih Krediturnya

Dengan bunyinya yang baru itu, maka agar seorang Debitur dapat dimohonkan
pernyataan pailit cukuplah apabila Debitur tersebut tidak membayar utang kepada
satu Kreditur saja asalkan Debitur yang bersangkutan memiliki dua atau lebih
Kreditur (memiliki lebih dari seorang Kreditur). Tidak disyaratkan bahwa keuangan
Debitur harus telah dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Dengan
kata lain, tidak disyaratkan keadaan keuangan Debitur telah insolven. Dengan

49 | P a g e
rumusan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU; maka perusahaan yang masih solven dapat
saja dipailitkan.

Rumusan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang baru itu sangat tidak sejalan dengan
asas hukum kepailitan yang diterima secara global. Sebagaimana telah
dikemukakan di atas, standar syarat kepailitan internasional menentukan bahwa
hanya Debitur yang telah dalam keadaan insolven saja yang dapat dinyatakan pailit.
Undang-Undang Kepailitan Belanda, yaitu Faillissementswet yang telah
diundangkan pada 1896, berarti telah berumur lebih dari 100 tahun, sampai
sekarang masih tetap mempertahankan rumusan sama dengan rumusan Pasal 1 ayat
(1) Fv tersebut di atas sekalipun Undang-Undang Kepailitan Belanda itu telah
mengalami beberapa kali perubahan. Artinya, Undang-Undang Kepailitan Belanda
juga menyarankan hanya Debitur yang telah berhenti membayar utangnya (telan
insolven) yang dapat dinyatakan pailit.
Dengan ketentuan sebagaimana dikemukakan sebelumnya, yaitu tidak
disyaratkan Debitur telah insolven, ditambah dengan tidak disyaratkan adanya
jumlah minimum piutang Kreditur, maka dimungkinkan setiap Kreditur sekalipun
dengan piutang yang berjumlah sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai asetnya
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Tidak mustahil apabila terhadap
Debitur dimohonkan pernyataan pailit oleh seorang pembantu rumah tangganya
atau seorang pegawainya karena upah mereka tidak dibayar sekalipun pada
hakikatnya
keadaan keuangan Debitur masih solven (belum insolven).
Apabila Debitur tidak membayar hanya kepada satu Kreditur yang tidak
menguasai sebagian besar utang Debitur, sedangkan kepada para Kreditur yang lain
masih tetap melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka kejadian itu bukan
kasus yang harus diperiksa oleh Pengadilan Niaga, tetapi merupakan kasus yang
harus diperiksadan diputus oleh pengadilan perdata biasa.
Dengan demikian, tidak mustahil sekalipun Debitur tidak membayar kepada satu
atau dua orang Kreditur tetapi Debitur masih dalam keadaan solven, yaitu masih
mampu membayar utang utangnya kepada para Krediturnya yang lain, dapat
dinyatakan pailit.

50 | P a g e
Dalam hal Debitur tidak membayar utang kepada salah satu Krediturnya, bukan
berarti karena Debitur tidak mampu lagi membayar utangnya, tetapi mungkin
karena ada alasan tertentu yang menyangkut Kreditur tersebut. Alasan tersebut yang
telah membuat Debitur tidak mau (tidak bersedia) membayar utangnya Misalnya,
Debitur menolak membayar utangnya kepada Kreditur oleh karena Kreditur telah
tidak melaksanakan kewajiban kontraktualnya kepada Debitur (atau yang dalam
hukum perdata dikenal sebagai mora creditoris). Dapat pula karena para Kreditur
tertentu tersebut memiliki juga utang kepada Debitur yang tidak dipenuhi oleh
Kreditur.
Menegaskan kembali yang telah dikemukakan di atas, Debitur yang tidak
membayar utangnya hanya kepada satu Kreditur tetapi masih membayar utang-
utangnya kepada para Kreditur lainnya yang menguasai sebagian besar utang
Debitur, seharusnya tidak dapat diajukan sebagai perkara kepailitan pada
pengadilan kepailitan(Indonesia: Pengadilan Niaga), melainkan pada pengadilan
perdata biasa.
Di atas telah dikemukakan bahwa hukum kepailitan, atau bankruptcy law atau
insolvency law, di banyak negara di dunia, menentukan bahwa Debitur hanya
dinyatakan bankrupt atau pailit oleh pengadilan apabila Debitur telah dalam
keadaan insolven. Tegasnya, apabila utang-utang Debitur kepada semua jenis
Krediturnya (Kreditur konkuren, Kreditur preferen, dan Kreditur dengan Hak
Istimewa) melebihi jumlah nilai semua asetnya (harta kekayaannya). Berkenaan
dengan hukum kepailitan Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004,
pertanyaannya adalah :
apa syarat yang ditentukan dalam undang-undang tersebut agar Debitur dapat
dinyatakan pailit oleh pengadilan? Apakah undang-undang tersebut menentukan
syarat insolvensi sebagai syarat untuk Debitur dapat dinyatakan pailit oleh
pengadilan.
Syarat agar Debitur dapat dimohonkan pailit kepada pengadilan, yaitu
Pengadilan Niaga, dalam ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK PKPU yang
berbunyi sebagai berikut:

51 | P a g e
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK PKPU, dapat disimpulkan bahwa permohonan
pernyataan pailit terhadap seorang Debitur hanya dapat diajukan apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Debitur, terhadap siapa permohonan pernyataan pailit itu diajukan, harus
paling sedikit mempunyai dua Kreditur, Dengan kata lain, harus memiliki
lebih dari satu Kreditur
2. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu
Krediturnya.
3. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih
(due and payable).
Menanggapi syarat tersebut perlu dipertanyakan mengenai hal-hal! sebagai ber
ikut:
Syarat pertama, yang menentukan Debitur harus paling sedikit memiliki
Kreditur, sudah sesuai dengan asas concursus creditorum pada kepailitan. Dalam
kepailitan, Debitur harus memiliki lebih dari satu Kreditur karena apabila memilik
satu Kreditur saja, maka Undang-Undang Kepailitan akan kehilangan raison d’etre.
Apabila Debitur hanya mempunyai satu Kreditur saja, maka kekhawatiran para
Kreditur akan berebut menguasai harta kekayaan Debitur tidak perlu ada. Sehingga
dengan demikian, Undang-Undang Kepailitan harus menentukan berlakunya asas
concursus creditorum, yaitu Debitur harus memiliki lebih dari satu Kreditur.
Mengenai syarat pertama tersebut di atas, dapat timbul masalah mengenai jenis
Krediturnya yang dapat mengajukan permohonan pailit. Apakah Kreditur yang
dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tersebut harus haya Kreditur
konkuren atau juga termasuk Kreditur preferen dan Kreditur dengan Hak Istimewa?
Menurut Penulis, Kreditur yang berhak mengajukan pailit haruslah hanya Kreditur
konkuren saja. Kreditur preferen sama sekali tidak memiliki kepentingan terhadap
kepailitan Debitur karena sudah dijamin memiliki kedudukan untuk didahulukan

52 | P a g e
pelunasan utangnya dari pelunasan para Kreditur konkuren. Kreditur preferen yang
berkedudukan sebagai Kreditur separatis, telah dijamin pelunasan utangnya dengan
hasil penjualan bagian harta kekayaan Debitur yang dijaminkan kepada Kreditur
preferen berdasarkan pengikatan Hak Jaminan, karena itu Kreditur preferen tidak
perlu berebut harta Debitur seperti halnya para Kreditur konkuren yang harus
berbagi harta kekayaan Debitur di antara mereka berdasarkan eksekusi Pasal 1131
dan 1132 KUH Perdata. Dengan tidak ditegaskannya jenis kreditur yang dapat
mengajukan permohonan pailit, yaitu apakah para Kreditur tersebut hanya Kreditur
konkuren saja, maka syarat kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU
menjadi tidak pasti.. Dengan kata lain, dapat menimbulkan kekisruhan dalam
menafsirkan pengertian Kreditur.
Mengenai syarat kedua yang menentukan Debitur tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang saja kepada salah satu Krediturnya, menunjukan bahwa UU
37/2004 tidak menganut asas insolvensi. Syarat tersebut bermakna bahwa sekali
pun Debitur memiliki lebih dari seorang Kreditur, tetapi tidak perlu semua Debitur
tidak membayar lunas semua utangnya kepada semua Krediturnya. Cukup apabila
hanya kepada satu Kreditur saja Debitur tidak membayar utangnya, sedangkan
kepada Kreditur lain tidak perlu utangnya dilunasi karena memang belum jatuh
tempo. Pelunasan utang Debitur kepada Krediturnya belum dapat dikatakan macet
(tidak membayar utang tersebut), apabila pelunasan Debitur ditentukan berjadwal.
Sepanjang jadwal pelunasan tersebut dipenuhi oleh Debitur, maka utang tersebut
tidak dapat diklasifikasikan sebagai telah jatuh waktu (due and payable). Utang
tersebut telah dikatakan telah jatuh waktu hanya apabila jadwal pelunasannya telah
lampau dan pada waktu jadwal tersebut sampai ternyata pelunasannya belum
dipenuhi oleh Debitur. Dengan demikian, Debitur belum dapat dikatakan insolven
hanya apabila tidak membayar utangnya kepada satu Krediturnya saja, sedangkan
kepada Kreditur yang lain masih belum menunggak.
Undang-Undang 37/2004 tentang Kepailitan menggunakan istilah “insolvensi"
dalam Pasal 57 ayat (1) UUK PKPU tetapi pengertian insolvensi di dalam pasal itu
bukan merupakan pengertian insolvensi sebagaimana yang telah diterangkan di atas
sebagaimana telah diterangkan di atas, pengertian insolvensi (insolvency) adalah

53 | P a g e
keadaan Debitur yang memiliki jumlah semua utangnya kepada semua Krediturnya,
tanpa membeda-bedakan jenis kreditur, melebihi jumlah nilai semua aset (harta
kekayaan) Debitur Dalam Pasal 57 ayat (1) UUK-PKPU dipakai istilah insolvensi
sebagaimana bunyinya di bawah ini:
Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berakhir demi
hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya
keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1).
Namun Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK PKPU tidak memberi arti insolvensi
(insolvency) seperti yang telah diuraikan di atas, tetapi menurut Penjelasan tersebut:
Yang dimaksud dengan solvensi adalah keadaan tidak mampu membayar.
Pengertian tidak mampu membayar tidak jelas apakah yang dimaksud adalah
“tidak mampu membayar semua utang utangnya" atau "tidak mampu membayar
utang kepada salah satu krediturnya saja" Sesuai logika hukum, tentunya harus
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK PKPU yang menentukan cukup
memenuhi syarat apabila Debitur tidak membayar lunas utangnya sekalipun hanya
kepada salah satu Krediturnya yang telah jatuh tempo, sedangkan kepada para
Krediturnya yang lain tidak menunggak utang.
Bila dibaca Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK PKPU, ternyata undang-undang
tersebut tidak membeda-bedakan jenis kreditur yang dimaksudkan dalam Pasal 2
ayat (1) UUK PKPU tersebut Semua jenis Kreditur berhak mengajukan
permohonan pailit Dikatakan oleh Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK PKPU sebagai
berikut..
Yang dimaksud dengan "Kreditur dalam ayat ini adalah baik Kreditur
konkuren Kreditur separatis maupun kreditur preferen Khusus mengenai
Kreditur separatis dan Kreditur preferen, mereka dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan
yang mereka miliki terhadap harta Debitur dan haknya untuk didahulukan
5.6 BEBAN PEMBUKTIAN INSOLVENSI DEBITUR
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut asas yang berlaku secara
universal, hanya terhadap Debitur yang telah dalam keadaan insolven saja yang
dapat dinyatakan pailit Permohonan pailit dapat diajukan baik oleh Debiturnya

54 | P a g e
sendiri atau oleh salah satu Krediturnya. Pertanyaannya adalah Siapa yang harus
membuktikan bahwa Debitur telah dalam keadaan insolven? Apakah Debitur
ataukah Kreditur?
Menurut asas hukum bahwa yang mengajukan dalih harus membuktikan
dalihnya, maka yang harus membuktikan insolvensi Debitur adalah Pemohon
kepailitan. Dengan kata lain, apabila permohonan pailit diajukan oleh Debitur,
maka insolvensi Debitur harus dibuktikan oleh Debitur sendiri. Sebaliknya, apabila
permohonan pailit diajukan oleh Kreditur, maka yang harus membuktikan
insolvensi Debitur adalah Kreditur.

55 | P a g e
BAB VI

Kepailitan (bankruptcy) seyogyanya ditempuh sebagai jalan terakhir untuk


menyelesaikan utang piutang di antara Debitur dan para Kreditur. Dengan kata lain,
kepailitan (bankruptcy) hendaknya menjadi ultimum remedium atau the last resort
bukan sebagai premium remedium atau the first resort bagi penyelesaian utang
piutang tersebut. Yang harus terlebih dahulu dilakukan adalah melakukan
reorganisasi utang-utang Debitur dan baru menempuh kepailitan apabila
kesepakatan melakukan reorganisasi tidak tercapai atau reorganisasi gagal
penyelesaiannya di tengah jalan.
6.1 REORGANISASI MERUPAKAN PREMIUM REMEDIUM
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kepailitan hendaknya diputuskan oleh
pengadilan sebagai ultimum remedium atau the last resort. Sebelum pengadilan
memutuskan Debitur dinyatakan pailit, hendaknya Debitur diwajibkan untuk
melakukan upaya reorganisasi (reorganization). Apakah yang dimaksudkan dengan
reorganisasi (reorganization)? Dalam In investopedia, reorganisasi didefinisikan
dan dijelaskan sebagai berikut:
A process designed to revive a financially troubled or bankrupt firm. A
reorganization involves the restatement of assets and liabilities, as well as
holding talks with creditors in order to make arrangements for maintaining
repayments. Reorganization is an attempt to extend the life of a company
facing bankruptcy through special arrangements and restructuring in order
to minimize the possibility of past situations reoccurring.
6.2 PENDIRIAN UUK-PKPU TENTANG REORGANISASI
Sayangnya, baik UU No. 4 Tahun 1998 maupun UUK-PKPU tidak berpendirian
bahwa kepailitan merupakan jalan terakhir atau merupakan ultimum remedium.
Artinya, UUK-PKPU berpendirian bahwa upaya kepailitan tidak harus hanya
ditempuh setelah para Kreditur dan Debitur telah terlebih dahulu mengusahakan
upaya reorganisasi tetapi ternyata upaya tersebut gagal disepakati atau gagal dalam
pelaksanaannya di tengah jalan. Kegagalan tersebut dapat terjadi baik karena
dinyatakan tidak layak untuk diberi kesempatan reorganisasi kepada Debitur setelah
dilakukan studi kelayakan atau karena tidak tercapainya kesepakatan antara Debitur

56 | P a g e
dan para Kreditur mengenai syarat-syarat organisasi. Dapat pula kegagalan itu
terjadi dalam implementasinya setelah reorganisasi disepakati oleh Debitur dan
para Krediturnya.
Sekalipun UUK-PKPU maupun undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 4
Tahun 1998 mengenal lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
kedua undang-undang tersebut tidak menentukan agar upaya PKPU terlebih dahulu
diupayakan sebelum Kreditur atau Debitur mengajukan permohonan pernyataan
pailit.
Menurut UUK-PKPU maupun UU No. 4 Tahun 1998, PKPU dapat diajukanBbaik
sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap Debitur maupun ketika
berlangsung proses pemeriksaan pengadilan terhadap permohonan pernyataan
pailit. UU No. 4 Tahun 1998 maupun UUK-PKPU bahkan memungkinkan
dilakukannya perdamaian antara Debitur dan para Krediturnya setelah ada putusan
pernyataan pailit dari pengadilan.
6.3 PUTUSAN PAILIT MERUGIKAN BANYAK PIHAK
Mengapa kepailitan harus dipertimbangkan sebagai ultimum remedium (the last
resort) bukan sebagai premium remedium (the first resort), terutama oleh hakim,
adalah karena kepailitan, terutama kepailitan Debitur yang berupa perusahaan
besar, menimbulkan banyak masalah dan kerugian, baik bagi Debitur yang
dinyatakan pailit maupun bagi para Kreditur dan masyarakat.
** Dalam peristiwa kepailitan terdapat banyak kepentingan yang terlibat, yaitu
selain kepentingan para Krediturnya juga kepentingan para pemangku kepentingan
(stakeholders) yang lain dari Debitur, lebih-lebih bila Debitur itu adalah
perusahaan. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengakui bahwa
yang terkait dengan kehidupan suatu perseroan adalah:
1) Kepentingan perseroan;
2) Kepentingan pemegang saham;
3) Kepentingan karyawan dan buruh perseroan;
4) Kepentingan masyarakat, antara lain para pemasok, distributor, dan
kanumeni
5) Kepentingan persaingan sehat dalam melakukan usaha

57 | P a g e
Kepentingan masyarakat yang harus diperhatikan oleh Undang-Undang
Kepailitan adalah kepentingan :
1. Negara yang hidup dari pajak yang dibayar oleh Debitur.
2. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja dari Debitur
3. Masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada Debitur.
4. Masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa
Debitur,
baik mereka itu selaku konsumen maupun selaku pedagang.
Dalam hal yang dinyatakan pailit adalah suatu bank, yang harus diperhatikan pula
adalah kepentingan
(1) Anggota masyarakat yang menyimpan dana pada bank (para penyimpan dana),
(2) Anggota masyarakat yang memperoleh kredit dari bank yang akan terpaksa
mengalami kesulitan menggunakan kreditnya (para Debitur bank) apabila banknya
dinyatakan pailit.
6.4 DAMPAK NEGATIF DALAM HAL DEBITUR BANK DIPAILITKAN
Bagi dunia usaha, sumber dana pembiayaan bagi kegiatan usaha mereka, baik
untuk investasi maupun untuk modal kerja, pada umumnya adalah bank Bank
tersebut, baik merupakan bank dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian,
bagi dunia usaha, Kreditur utama mereka adalah bank-bank. Lembaga pembiayaan,
seperti bank, dalam memberikan kredit kepada perusahaan yang menjadi
nasabahnya, selalu bersikap dan berkeinginan agar perusahaan yang diberi fasilitas
kredit akan tumbuh dan berkembang berkat fasilitas kreditnya. Bank
berkepentingan agar perusahaan nasabahnya itu akan terjaga eksistensinya dan
tumbuh berkelanjutan. Mengapa demikian? Perusahaan para Debitur adalah mitra
bank. Tumbuh dan berkembangnya perusahaan yang menjadi nasabah Debitur bank
pada gilirannya akan menumbuhkan dan mengembangkan pula bank tersebut.
Dengan demikian, hubungan antara bank dan nasabahnya dalam rangka pemberian
kredit dan fasilitas-fasilitas bank lainnya berorientasi kepada pemeliharaan
hubungan jangka panjang antara bank dan nasabah. Oleh karena itu, bank tidak
pernah bergembira apabila perusahaan yang menjadi nasabahnya terpaksa pailit dan
dilikuidasi. Bagi bank, kepailitan suatu perusahaan nasabahnya akan berarti

58 | P a g e
kehilangan salah satu potensi bagi penyaluran (outlet) dari kredit dan fasilitas
lainnya dari bank itu.Dari keterangan di atas, dunia perbankan dan lembaga
pembiayaan lainnya juga sangat menginginkan dan berkepentingan agar
perusahaan seyogianya tidak langsung dipailitkan apabila masih ada kemungkinan
untuk diselamatkan dan sehatkan kembali. Dalam praktik perbankan, bahkan bank
dalam melakukan restrukturisasi utang Debiturnya bahkan sering bersedia untuk
memberikan kredit baru, yang lazim disebut kredit injeksi, demi mempertahankan
kehidupan kegiatan usaha Debitur apabila masih memiliki prospek yang baik
Sebelum bank memberikan kredit kepada nasabah Debiturnya, bank harus
menganalisis dengan baik beberapa faktor agar nantinya kredit yang akan diberikan
itu tidak mengalami kemacetan. Dalam memberikan kredit kepada dunia usaha,
bank hanya akan memberikan kredit kepada calon Debitur apabila menurut
pertimbangan bank proyek nasabah yang akan dibiayai layak (feaseble) untuk
diberi kredit. Di samping itu, bank juga mempertimbangkan iktikad baik untuk
melunasi kembali kreditnya (memiliki willingness to repay) dari calon Debitur
(berdasarkan reputasi perusahaan, para pemegang saham, dan pengurus dalam
dunia usaha).
6.5 MEMAHAMI SELUK-BELUK REORGANISASI
Dalam praktik perbankan Indonesia, Restrukturisasi Kredit dapat disetujui oleh
bank hanya apabila:
Debitur masih memiliki prospek yang baik, dan Debitur pada masa yang lalu dalam
berhubungan dengan bank menunjukkaniktikad baik. Penyebab terjadinya kredit
bermasalah (problem loan) bukan karena penggunaan kredit yang tidak sesuai
dengan syarat-syarat tujuan pemberian kredit sebagaimana ditentukan dalam
perjanjian kredit, misalnya bukan karena Debitur menggunakan kredit tersebut
untuk keperluan lain (side streaming).
Apabila unsur-unsur tersebut di atas tersebut tidak ada pada Debitur, bank tidak
akan menyetujui adanya restrukturisasi kredit. Restrukturisasi Kredit dalam dunia
perbankan Indonesia dilakukan sepenuhnya berdasarkan kesepakatan antara bank
dan nasabah Debitur tanpa campur tangan atau putusan pengadilan. Kesepakatan
tersebut dituangkan dalam perjanjian bilateral antara bank dan nasabah Debitur.

59 | P a g e
Sepenuhnya diserahkan. kepada mekanisme asas kebebasan berkontrak
Restrukturisasi Kredit dapat berlangsung dengan menempuh cara-cara sebagai
berikut:
1. Memperpanjang jangka waktu pelunasan kredit yang telah jatuh tempo. Artinya,
jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian kredit dan waktu tersebut
terlampaui, oleh bank disetujui untuk diperpanjang.
2. Melakukan penjadwalan kembali terhadap jadwal penyicilan kredit dalam hal
menurut perjanjian kredit, kredit tersebut tidak harus diselesaikan sekaligus (bullet
repayment) pada akhir jangka waktu kredit.
3. Rescheduling dapat dibarengi pula dengan reconditioning, yaitu mengubah
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian kredit. Perubahan tersebut dapat
menyangkut besarnya tingkat bunga kredit, yaitu dengan penetapan suku bunga
yang lebih rendah, larangan pembagian dividen kepada para pemegang saham
sampai restrukturisasi kredit selesai, penambahan syarat-sayarat dan ketentuan,
misalnya penggantian atau penambahan jenis dan nilai agunan, perubahan syarat-
syarat dan ketentuan yang lain.
4. Kredit yang bermasalah dikonversi menjadi saham bank pada perusahaan
debitur. Karena kredit dikonversi menjadi saham bank, maka nasabah tidak wajib
bunga lagi. Menurut ketentuan bagi perbankan Indonesia, konversi kredit
bermasalah menjadi saham bank hanya berlaku selama-lamanya lima tahun atau
sampai Debitur telah berhasil memperoleh pendapatan dan keuntungan-keuntungan
yang besarnya cukup untuk dapat kreditnya.
5. Tidak mustahil dalam rangka restrukturisasi kredit, jumlah kredit bahkan
ditambah. Tambahan kredit tersebut disebut kredit injeksi Biasanya ada agunan
tambahan baru, misalnya Debitur dapat memberikan agunan miliknya sendiri atau
milik pihak ketiga yang sebelumnya tidak menjadi agunan tambahan. Bukan
mustahil ada penjamin (borgtocht atau guarantee) pihak ketiga yang menjamin
Debitur untuk melunasi kredit yang bermasalah dan kredit injeksi tersebut.
Penjamin (borgtocht atau guarantee) dapat berupa penjamin perorangan (personal
guarantor) dan/atau penjamin badan hukum (corporate guarantor) Tambahan
jumlah kredit ibarat tambahan darah bagi Debitur. Dalam memperhitungkan

60 | P a g e
kemampuan Debitur untuk melunasi kreditnya, bank harus dapat diyakinkan
(melalui perhitungan yang dibuat oleh akuntan atau ahli keuangan yang
independen) bahwa bukan saja kredit lama yang bermasalah dapat dilunasi kembali,
tetapi juga tambahan kredit dapat dilunasi, baik pokok maupun bunganya.
6.6 REORGANISASI DALAM US BANKRUPTCY CODE
Sebagaimana telah dikemukakan Bab 2 Subbab .. bahwa Undang-Undang
Kepailitan Amerika SerikatBYang berlaku pada saat ini adalah Bankruptcy Reform
Act of 1978 (Pub.L. 9559892 Stat. 2549, November 6, 1978). Undang-undang
tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1979 dan menggantikan The
Bankruptcy Act 1898, yang biasa disebut "Nelson Act (Act of July 1, 1898, ch. 541,
30 Stat. 544)". The Bankruptcy Reform Act of 1978 telah beberapa kali diubah
sejak 1978. Dalam Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat tersebut, hanya
Chapter 7 mengenai Liquidation, yang mengatur mengenai kepailitan dalam arti
yang sesungguhnya. Adapun chapter-chapter yang lain mengatur mengenai
reorganization. Chapter 7 mengatur mengenai Liquidation. Untuk memenuhi syarat
bagi Debitur untuk memperoleh kelapangan (relief) berkenaan dengan kesulitan
keuangannya, Debitur dapat merupakan individual (orang pribadi), partnership
(persekutuan atau kemitraan), corporation (perusahaan), atau business entity
(entitas bisnis) yang lain. Sepanjang Debitur adalah manusia pribadi (individuals)
dan telah lolos dari suatu tes tertentu yang diperuntukkan untuk mengetahui apakah
Debitur memenuhi syarat untuk mengajukan fasilitas yang disediakan oleh Chapter
7 US Bank ruptcy Code, maka Debitur dapat mengajukan permohonan untuk
memperoleh fasilitas yang diatur dalam Chapter 7 US Bankruptcy Code tersebut
dengan tidak memedulikan jumlah utangnya, atau tidak memedulikan apakah
Debitur sudah dalam keadaan insolven (insolvent) atau masih solven. Fasilitas
terpenting yang dapat diberikan oleh Chapter 7 kepada Debitur adalah fasilitas
untuk memperoleh "automatic stay". The automatic stay menghentikan para
Kreditur untuk dapat menagih piutangnya langsung kepada Debitur. Dijelaskan
dalam Nolo, Law for All:

61 | P a g e
So, at least temporarily, creditors cannot legally grab ("garnish") your
wages, empty your bank account, go after your car, house, or other property,
or cut off your utility service.
Baca lebih lanjut mengenai keadaan diam otomatis (automatic stay) dalam Bab 3
Subbab 3.2 mengenai asas keadaan diam otomatis (automatic stay atau automa
ticstandstill).
6.7 REORGANISASI DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN
PERANCIS
Pada tanggal 1 Januari 1986, suatu Undang-Undang tentang Kepailitan yang
baru (a new bankruptcy law) berlaku di Perancis dengan memberikan kesempatan
kepada perusahaan yang insolven yang mengalami kesulitan keuangan untuk
melakukan reorganisasi atas utangnya. Diakui bahwa undang-undang sebelumnya
yang diundangkan pada 1967, telah gagal untuk melakukan terobosan dalam
mengatasi sejumlah halangan hukum dan halangan sikap (attitudinal) yang telah
menghalangi para Debitur untuk mencapai reorganisasi yang realistis. Sementara
itu, undang undang yang baru, mencerminkan upaya bersama yang tidak semata-
mata memfasilitasi tetapi secara aktif mendorong terjadinya organisasi yang efektif
terhadap perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Di Perancis,
sistem mengenai reorganisasi tersebut berlaku untuk semua perusahaan.
6.8 PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)
ADALAH KETENTUAN MENGENAI REORGANISASI MENURUT UUK-
PKPU
Dalam UUK-PKPU, terdapat lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) yang harus diputuskan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga.
Lembaga PKPU inilah yang merupakan lembaga reorganisasi (reorganization)
sebagai mana dikemukakan di atas.
Dalam praktik perbankan, apabila kredit Debitur bank mengalami masalah
(indistress), sebelum bank akan melakukan upaya penyelesaian kredit dengan cara
mengeksekusi agunan kredit dan penjaminan (guarantee) oleh penjamin
(guarantor), bank akan mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan upaya
penyelamatan kredit. Upaya penyelamatan kredit dilakukan dengan cara yang

62 | P a g e
disebut Restrukturisasi Kredit (Credit Restructuring). Restrukturisasi Kredit
dilakukan bukan dalam rangka Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
yang harus dilakukan berdasarkan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam
UUK-PKPU. Tetapi Restrukturisasi Kredit dilakukan berdasarkan kesepakantan
bank dan Debitur dengan menuangkannya dalam perjanjian. Dengan demikian,
Restrukturisasi Kredit dalam praktik perbankan tidak memerlukan adanya campur
tangan Pengadilan Niaga sebagaimana bila ditempuh PKPU menurut UUK-PKPU.
Dalam praktik perbankan Indonesia, Restrukturisasi Kredit perbankan dapat
mengambil salah satu atau lebih bentuk sebagai berikut:"
Penjadwalan kembali pelunasan kredit (rescheduling); termasuk pemberian
masa tenggang (grace period) yang baru atau pemberian moratorium kepada
Debitur. Persyaratan kembali perjanjian kredit (reconditioning);
1. Pengurangan jumlah kredit pokok (haircut);
2. Pengurangan atau pembebasan jumlah bunga yang tertunggak, denda, dan biaya
lain;
3. Penurunan tingkat suku bunga kredit;
4. Pemberian kredit baru;
5. Konversi kredit menjadi modal perseroan (debt for equity conversion atau
disebut juga debt equity swap);
Penjualan aset yang tidak produktif atau yang tidak langsung diperlukan untuk
kegiatan usaha perusahaan Debitur untuk melunasi kredit; Bentuk lain yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

63 | P a g e
BAB VII
Pada umumnya Undang-Undang Kepailitan atau bankruptcy law berkaitan
dengan "utang" Debitur (debt) atau “piutang" atau "tagihan" Kreditur (claims).
Seorang Kreditur mungkin saja memiliki lebih dari satu piutang atau tagihan, dan
piutang atau tagihan yang berbeda-beda itu diperlakukan pula secara berbeda-beda
di dalam proses kepailitan.
7.1 PENGERTIAN UTANG
7.1.1 Pengertian Utang Menurut UU No. 4 Tahun 1998
Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU menentukan, "Debitur yang mempunyai dua atau
lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUK-PKPU, baik atas
permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih Krediturnya".
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU itu, perlu dipahami
dengan baik apa yang
dimaksud dengan "utang”. Menurut Pasal 1 angka 6 UUK-PKPU:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan Debitur.
Ketiadaan pengertian atau definisi yang diberikan oleh UU No. 4 Tahun 1998
mengenai apa yang dimaksudkan dengan utang telah mengakibatkan hal-hal
sebagai berikut:
Menimbulkan ketidakpastian hukum, karena menimbulkan selisih pendapat
mengenai hal-hal sebagai berikut:
Apakah "setiap kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar sejumlah
uang sekalipun kewajiban tersebut tidak timbul dari perjanjian utang
piutang/pinjam-meminjam uang dapat diklasifikasikan sebagai utang menurut
Undang-Undang Kepailitan! Dengan kata lain, apakah hanya ke wajiban membayar

64 | P a g e
sejumlah utang yang timbul dari perjanjian utang piutang yang dapat
diklasifikasikan sebagai utang, ataukah termasuk pula setiap kewajiban untuk
membayar uang yang timbulnya kewajiban itu karena alasan hak (rechtstitel) apa
pun, baik yang timbul dari perjanjian apa pun maupun yang timbul dari undang-
undang?
Apakah kewajiban untuk melakukan sesuatu sekalipun tidak merupakan kewajiban
untuk membayar sejumlah uang, tetapi tidak dipenuhinya kewajiban itu dapat
menimbulkan kerugian uang bagi pihak kepada siapa kewajiban itu harus dipenuhi,
dapat pula diklasifikasikan sebagai utang menurutUndang-Undang Kepailitan?
Apakah setiap kewajiban untuk memberikan sesuatu, atau untuk melakukan
sesuatu, atau untuk tidak melakukan sesuatu, yaitu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1234 KUH Perdata, sekalipun tidak telah menimbulkan bagian dapat pula
diklasifikasikan sebagai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Kepailitan! Mengingat integritas pengadilan yang belum baik pada saat ini, tidak
diberikannya oleh Undang-undang tentang pengertian utang telah memberikan
peluang bagi maraknya praktik korupsi dan kolusi oleh hakim dan pengacara.
7.1.2 Pengertian Utang dalam UU No. 4 Tahun 1998 Menurut Pengadilan
Dari uraian mengenai putusan pengadilan di bawah ini dapat diketahui bahwa
bahkan Mahkamah Agung sendiri tidak konsisten dengan pendiriannya mengenai
pengertian utang sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4 Tahun 1998. Adakalanya
Mahkamah Agung RI mengartikan utang dalam pengertian yang sempit, namun
pada saat yang lain dalam pengertian yang luas. Di bawah ini dikemukakan
beberapa kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan yang menggambarkan
mengenai bagaimana simpang siurnya dan berbeda-bedanya pendapat mengenai
pengertian utang berkaitan dengan UU No. 4 Tahun 1998.
Putusan MA No. 03K/N/1998
Kasus yang diputuskan dalam perkara ini menyangkut perjanjian pengikatan
jual-beli dengan cicilan rumah susun Golf Modern antara Drs. Husein Sani dan
Djohan Subekti sebagai pembeli dan PT Modern Land Realty yang menjadi
perusahaan pengembang. PT Modern Land Realty telah gagal melakukan
penyerahan unit rumah susun yang dipesan oleh Drs. Husein Sani dan Djohan

65 | P a g e
Subekti dan juga gagal mengembalikan uang pembayaran yang telah diterima dari
pembeli. Drs. Husein Sani dan Djohan Subekti kemudian mengajukan permohonan
pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap PT Modernland
Realty.
Putusan MA No. 02K/N/1999
Dalam perkara lain, Putusan MA No. 02K/N/1999, yaitu dalam kasus
permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Hasim Sutiono dan PT Inti Utama
selaku Kreditur dan selaku pemohon pailit terhadap PT Kutai Kartanegara Prima
Coal selaku Debitur dan termohon pailit, menarik pula untuk diketahui telah
terjadinya selisih pendapat mengenai pengertian utang. Dalam kasus ini, Majelis
Hakim Pengadilan Niaga (Judex Factie) mengartikan utang dalam pengertian luas
seperti yang dianut Judex Facti dalam memeriksa perkara kepailitan yang diajukan
oleh Drs. Husein Sani dan Djohan Subekti selaku pemohon pailit terhadap PT
ModernLand Realty.
Putusan MA No. 03K/N/1999
Dalam Putusan MA No. 03K/N/1999, Majelis Hakim Kasasi berpendirian:
«Bahwa dari ketentuan Pasal I ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 ditentukan tentang
objek kepailitan adalah hubungan hukum utang piutang". Mahkamah Agung
memperhatikan pula Penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 yang
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan utang yang tidak dibayar oleh Debitur
adalah utang pokok dan bunganya sehingga dapat disimpulkan pengertian
hubungan hukum hutang piutang di sini adalah yang didasarkan pada konstruksi
hukum pinjam meminjam uang. Dalam kasus ini, pandangan Majelis Hakim Kasasi
tidak sama dengan pandangan yang dianut Majelis Hakim Pengadilan Niaga (Judex
Facti). Judex Factie menganut pandangan yang mengartikan utang secara luas,
sedangkan Majelis Hakim Kasasi mengartikan utang secara sempit.
Dalam putusan perkara ini patut dicatat bahwa baik Majelis Hakim pada tingkat
Pengadilan Niaga maupun tingkat kasasi tidak merujuk putusan atau pertimbangan
hukum pengadilan yang sebelumnya mengenai masalah yang sama. Terhadap
putusan Majelis Hakim Kasasi, tidak diajukan permohonan Peninjauan Kembali.

66 | P a g e
Putusan MA No. 04K/N/1999
Perkara ini adalah mengenai pembelian satuan rumah susun dengan cara
angsuran di mana PT Jawa Barat Indah yang menjadi perusahaan pengembang atau
developer tidak dapat menyerahkan satuan unit rumah pada waktu jatuh waktunya
dan tidak mau mengganti kerugian kepada Sumeini Omar Sanjaya dan Widiastuti.
Dalam perkara ini, permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Sumeini Omar
Sandjaja dan Widiastuti yang merupakan Kreditur dari PT Jawa Barat Indah.
Permohonan kedua orang itu telah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga sesuai dengan
Putusan No. 27/Pailit/Pengadilan Niaga/Jkt.Pst. Terhadap putusan itu PT Jawa
Barat Indah telah mengajukan kasasi. Menurut PT Jawa Barat Indah, Pasal 1 ayat
(1) UU No. 4 Tahun 1998 beserta penjelasannya dengan tegas menyatakan bahwa
pengertian utang harus diartikan sebagai utang pokok dan bunga, sedangkan yang
terjadi adalah hubungan hukum pengikatan jual-beli. Bukti-bukti yang diajukan
pemohon pailit adalah bukti adanya hubungan hukum berupa perikatan antara
prodúsen dan konsumennya sehingga keliru diartikan sebagai hubungan antara
Debitur dan Kreditur dalam arti utang piutang.

Putusan MA No. 05K/N/1999


Perkara ini adalah perkara mengenai perjanjian pemborongan. Dalam perkara
ini PT Surya Tata Internusa telah mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap PT Abdi Persada Nusantara. Dalam pertimbangan hukumnya, Pengadilan
Niaga sebagaimana pada Putusan No. 29/Pailit/1998, menyebutkan bahwa utang
yang timbul oleh perjanjian pemborongan adalah termasuk utang yang dimaksud
dalam Pasal I ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan Terhadap putusan
Pengadilan Niaga yang telah mengabulkan permohonan PT Surya Tata Internusa,
telah diajukan kasasi. Pemohon kasasi selain PT Abdi Persa Nusantara, adalah PT
Bank Negara Indonesia (Persero), PT BNI Multi Finance, dan Serikat Pekerja
Tingkat Perusahaan (SPTP) Taman Festival Bali. Para pemohon kasasi tersebut
dalam permohonannya telah menyatakan keberatan terhadap pertimbangan hukum
Judex Factie, khususnya pertimbangan hukum mengenai utang. Menurut para
pemohon kasasi, dalam kasus ini yang terjadi adalah kekurangan pembayaran oleh

67 | P a g e
PT Abdi Persada Nusantara atas pekerjaan pemborongan yang telah diselesaikan
oleh PT Surya Tata Internusa, sehingga hubungan hukum yang
timbul adalah wanprestasi dari PT Abdi Persada Nusantara. Seharusnya tuntutan
hukum yang dilakukan PT Surya Tata Internusa adalah mengajukan gugatan
perdata melalui Pengadilan Negeri sebagai lembaga peradilan yang berwenang
untuk memeriksa perkara dimaksud, bukan dengan mengajukan permohonan
pernyataan pailit melalui pengadilan.
Putusan MA No. 20K/N/1999
Perkara yang diuraikan ini menyangkut hubungan hukum jual-beli tanah antara
Helena Melinda Sujotomo sebagai penjual dan PT Intercon Interprises sebagai
pembeli. Dalam perkara tersebut, uang muka telah dibayar oleh pembeli tetapi tanah
tersebut tidak diserahkan oleh penjual. Oleh karena, tanah tidak diserahkan, penjual
kemudian membuat surat pernyataan tanggal 9 Februari 1995 yang isinya
menyatakan bahwa apabila tanah tidak diserahkan dalam tenggang waktu 90 hari,
maka penjual akan menyerahkan kembali seluruh uang muka ditambah ganti rugi.
Sampai batas waktu 90 hari lewat ternyata tanah tidak diserahkan oleh penjual.
Masalah tersebut telah membuat PT Intercon Interprises mengajukan pailit terhadap
Helena Melinda Sujotomo. Pengadilan Niaga telah mengabulkan permohonan
pernyataan pailit yang di ajukan oleh PT Intercon Interprises terhadap Helena
Melinda Sujotomo. Terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut kemudian Helena
Melinda Sujotomo telah mengajukan permohonan kasasi. Majelis Hakim Kasasi
menerima permohonan Helena
Melinda Sujotomo dan membatalkan putusan Judex Facti. Majelis Hakim Kasasi
berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjadi antara pemohon kasasi dan
termohon kasasi adalah hubungan hukum jual-beli bukan hubungan utang piutang
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No.4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan.
Putusan MA No. 27K/N/1999
Perkara yang diuraikan ini antara Ssangyong Engineering & Construction Co.
Ltd. melawan PT Citra Jimbaran Indah Hotel mengenai hubungan kontrak
pekerjaan bangunan. Dalam perkara ini Mahkamah Agung tidak sependapat dengan

68 | P a g e
Pengadilan Niaga yang berpendapat bahwa "utang dalam konteks kepailitan
haruslah diartikan sebagai utang yang bersumber pada hubungan hukum pinjam
meminjam uang dan tidak meliputi bentuk wanprestasi lain yang tidak bersumber
dari konstruksi hukum pinjam-meminjam uang". Mahkamah Agung berpendapat
bahwa:
Bahwa menurut pengertian umum utang atau utang (debet) adalah janji absolut
untuk membayar sejumiah uang tertentu (to pay a certain sum of money) pada
waktu yang di tentukan (on a certain date), atau dapat juga diartikan sebagai suatu
kewajiban seseorang untuk membayar sejumlah uang kepada orang lain (an
obligation of one person to pay another) Bahwa berdasarkan definisi yang
dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan utang dengan pengertian hukum
kontrak adalah setiap kewajiban untuk membayar sejumlah uang tanpa
mempersoalkan apakah kewajiban itu timbul berdasarkan perjanjian pinjam uang
secara tunai, tetapi meliputi segala bentuk kewajiban pembayaran uang oleh salah
satu pihak kepada pihak lain.
Selain itu, pengertian utang dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1998 tidak
dapat ditafsirkan lain dengan pengertian utang dalam pasal-pasal lain dalam
undang-undang yang sama, sebab senin cara penafsiran yang demikian tidak lazim
juga akan menyulitkan penerapan dari undang-undang itu sendiri. Berbeda dengan
Pengadilan Niaga yang mengerikan utang secara sempit, Mahkamah Agung dalam
perkara ini mengartikan utang secara luas.
Putusan MA No. 30K/N/1999
Perkara yang diuraikan ini adalah antara PT Surya Citra Televisi melawan PT
Gebyar Cipta Kreasi. Dalam putusan ini Mahkamah Agung mengartikan utang
daalam pengertian yang sempit. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung
mengemukakan antara lain sebagai berikut:
Bahwa hubungan antara Pemohon pailit dan Termohon pailit pada mulanya
bukanlah utang piutang tetapi perjanjian untuk menayangkan iklan yang setelah
ditayangkan ternyata Termohon pailit melakukan wanprestasi yaitu tidak
melakukan pembayaran;

69 | P a g e
Bahwa dengan demikian, perbuatan Termohon pailit adalah berupa wanprestasi
terhadap suatu perjanjian yang bukan inerupakan hubungan utang piutang, sehingga
tidak seharusnya digugat melalui proses perkara kepailitan di Pengadilan Niaga,
tetapi merupakan perkara perdata biasa yang harus digugat di Pengadilan Negeri.
7.1.3 Pengertian Utang Menurut Pakar Hukum Perdata Indonesia
Sehubungan dengan pengertian utang di dalam Undang-Undang Kepailitan,
menurut Setiawan dalam tulisannya yang berjudul "Ordonansi Kepailitan Serta
Aplikasi Kini", pengertian utang yang dianutnya adalah pengertian utang
sebagaimana pendapat Jerry Hoff dalam bukunya “Indonesian Bankruptcy Law".
Di bawah ini dikutip pernyataan Setiawan sebagai berikut:
Utang Seyogyanya diberi arti luas; baik dalam arti kewajiban membayar
sejumlah uang tertentu yang timbul karena adanya perjanjian utang piutang (di
mana Debitur telah menerima sejumlah uang tertentu dari Krediturnya), maupun
kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu yang timbul dari perjanjian atau
kontrak lain yang menyebabkan Debitur harus membayar sejumlah uang tertentu.
Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan utang bukan hanya kewajiban untuk
membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena Debitur telah menerima
sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga kewajiban membayar
Debitur yang timbul dari perjanjian perjanjian lain.
7.1.4 Pengertian Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004
Menyadari telah timbulnya kesimpangsiuran mengenai pengertian utang
karena tidak diberikannya definisi atau pengertian mengenai apa yang dimaksudkan
dengan "utang" di dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagaimana telah diundangkan
dengan UU No. 4 Tahun 1998, UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) telah memberikan
definisi atau pengertian mengenai utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 6
UUK-PKPU sebagai berikut:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), yang timbul

70 | P a g e
karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan
bila tidak dipenuhi memberikan hak kepada Kreditur untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.
Menurut Penulis, bunyi frasa "kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah
uang sebagai utang tetap tidak memberikan kepastian mengenai pengertian utang.
Sejalan dengan pemikiran Penulis yang telah dikemukakan di atas, yaitu bahwa
utang dalam ruang lingkup kepailitan seharusnya jumlahnya telah pasti di samping
adanya telah pasti. Kalimat "kewajiban yang dapat dinyatukan dalam jumlah uang"
dalam Pasal 1 angka 4 UU Kepailitan tersebut menunjuk kepada sesuatu kewajiban
yang belum pasti nilai uangnya. Kalau suatu "kewajiban yang dapat di nyatakan
dalam jumlah uang telah dapat dikategorikan sebagai utang Debitur, sehingga telah
dapat didaftarkan di dalam daftar verifikasi, maka siapakah yang akan menentukan
nilai utang itu? Apabila Kurator yang diberi wewenang untuk menilai, baik dengan
atau tanpa persetujuan Hakim Pengawas, hanya akan menimbulkan masalah. Juga
tidak seyogianya penentuan nilai kewajiban itu berdasarkan kesepakatan antara
Kreditur yang bersangkutan dengan Debitur atau Kurator. Cara yang demikian juga
hanya akan menimbulkan masalah karena akan merugikan para Kreditur yang lain.
Penentuan dengan cara-cara tersebut tidak akan dirasakan sebagai cara yang fair.
Cara-cara penentuan yang demikian dapat dicurigai sebagai hasil, bahkan tidak
mustahil atau besar kemungkinannya terjadi adanya "permainan" oleh para pihak
yang bersangkutan yang dapat merugikan para Kreditur lain. Seyogianya
"kewajiban" yang tidak atau belum dinyatakan dalam jumlah uang harus lebih
dahulu telah dinyatakan dalam jumlah uang sebelum dikategorikan sebagai utang.
Dengan kata lain, kalau jumlahnya belum dapat dinyatakan dalam nilai uang, maka
“kewajiban" tersebut harus terlebih dahulu telah dinyatakan dalam jumlah uang.
Otoritas yang berwenang untuk menyatakan "kewajiban" tersebut dalam jumlah
uang, seyogianya hanya pengadilan. Oleh karena masalah ini termasuk dalam ruang
lingkup kepailitan, maka pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Niaga.
7.1.5 Penulis: Pengertian Utang Dalam UUK-PKPU
Pengertian utang di dalam UU No. 4 Tahun 1998 (ketika undang-undang
tersebut masih berlaku) tidak seyogianya diberi pengertian yang sempit, yaitu tidak

71 | P a g e
seharusnya diberi arti terbatas kepada kewajiban membayar utang yang timbul
karena nama perjanjian utang piutang saja. Tetapi utang harus diberi pengertian
sebagai setiap kewajiban Debitur yang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah
uang kepada Kreditur. Kewajiban yang dimaksud harus diartikan sebagai
kewajiban yang timbul baik karena perjanjian apa pun (tidak terbatas kepada
perjanjian hutang piutang saja), maupun karena ketentuan undang-undang, dan
karena putusan hakim vane telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dilihat dari
perspektif Kreditur, kewajiban membayar Debitur tersebut merupakan "hak untuk
memperoleh pembayaran sejumlah uang" atau “right to payment".
7.1.6 Pengertian Claim Menurut US Bankruptcy Code
Apabila dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bukan jumlah
piutang (claim) tetapi jumlah utang (debt) sebagai syarat seorang Debitur dapat
dimohonkar pailit. US Bankruptcy Code menitikberatkan pada claim (piutang atau
tagihan) Kreditur, bukan debt (utang Debitur) . Di dalam Bankruptcy Code Amerika
Serikat, apa yang dimaksudkan dengan claim (tagihan atau piutang) diberikan
definisinya di dalam section 101, yaitu:
Claim means:
a) right to payment, whether or not such right is reduced to judgment,
liquidated, unliquidateded, fixed, contingent, matured, unmatured, disputed,
undisputed, legal, equitable, secured or unsecured; or
b) right to an equitable remedy for breach of performance if such breach gives
rise to a right to payment, whether or not such right to an equitable remedy
is reduced to judgment, fixed, contingent, matured, unmatured, disputed,
undisputed, secured or unsecured.
7.2 PENGERTIAN DEBITUR DAN KREDITUR
Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, Debitur yang
mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, (dapat) dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU di atas, perlu
diketahui siapa saja yang disebut Kreditur, dan siapa saja yang disebut Debitur.

72 | P a g e
7.2.1 Pengertian Debitur dan Kreditur Menurut UUK-PKPU
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU yang dimaksud dengan
Debitur adalah sebagai berikut:
Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasanannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan Kreditur diberikan pengertiannya dalam
Pasal 1 angka 2 UUK-PKPU sebagai berikut:
Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
Dalam KUH Perdata tidak dipakai istilah "Debitur" dan "Kreditur", tetapi dipakai
istilah si berutang (schuldenaar) dan si berpiutang (schuldeiser). Menurut Pasal
1235 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata, dan Pasal 1239
KUH Perdata, si berutang adalah pihak yang wajib memberikan, berbuat atau tidak
berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena
perjanjian maupun karena undang-undang. Dalam pustaka-pustaka hukum dan
kehidupan masyarakat sehari-hari, schuldenaar disebut Debitur, sedangkan
schuldser disebut Kreditur.
7.2.2 Pengertian Debitur Menurut US Bankruptcy Code
Untuk memperluas pengetahuan kita mengenai bagaimana negara lain
mengatur masalah kepailitan dilihat dari jenis-jenis Debiturnya, di bawah ini
dikemukakan mengenai pengertian Debitur menurut US Bankruptcy Code. Sesuai
dengan jenis Debiturnya, US Bankruptcy Code dibagi ke dalam beberapa chapter.
Dengan kata lain, tergantung kepada siapa yang menjadi Debitur, maka Debitur
tersebut diatur oleh chapter yang berbeda pula dalam US Bankruptcy Code. Apabila
Debitur tergolong ke dalam Debitur yang berupa "person", maka kepailitannya
diatur menurut ke entuan Chapter 7. Person oleh Chapter 7, Section 109
(b) termasuk perorangan (individualis), perusahaan Debitur (corporations), dan
persekutuan (paatuarchin) Chapter 7 tidak berlaku bagi perusahaan Debitur yang
merupakan perusahaan kereta api (Railroad). perusahaan asuransi (insurance) atau
lembaga keuangan (financial institution). Namun utjan, Chapter 7 berlaku bagi

73 | P a g e
holding companies dari perusahaan Debitur yang tidak tunduk pada Chapter 7.
Misalnya suatu savings and loan holding company.
7.3 DEBITUR YANG DAPAT DINYATAKAN PAILIT
Objek di dalam Undang-Undang Kepailitan adalah Debitur, yaitu Debitur yang
tidak membayar utang-utangnya kepada para Krediturnya. Undang-undang
berbagai negara membedakan antara aturan kepailitan bagi Debitur orang
perorangan (individu) dan Debitur bukan perorangan atau badan hukum. Apakah
UUK-PKPU mengatur secara berbeda-beda pula kepailitan orang perorangan dan
bukan orang perorangan?
Tidak seperti di banyak negara, terutama negara-negara yang menganut common
law system, UUK-PKPU tidak membedakan aturan bagi kepailitan Debitur yang
merupakan badan hukum maupun orang perorangan (individu). Ruang lingkup
UUK-PKPU yang meliputi baik Debitur badan hukum maupun Debitur perorangan
memang tidak tegas-tegas ditentukan dalam undang-undang tersebut, tetapi hal itu
dapat disimpulkan dari bunyi pasal-pasalnya. Misalnya dari Pasal 3 ayat (5) UUK-
PKPU yang mengemukakan bahwa "Dalam hal Debitur merupakan badan hukum,
maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran
Dasarnya." Pasal 4 ayat (1) UUK-PKPU mengemukakan bahwa: "Dalam hal
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitur yang menikah, permohonan
hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri". Kepailitan bukan saja dapat
diajukan terhadap Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) tetapi dapat juga diajukan
terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
7.3.2 Kepailitan Holding Company
Dapatkah permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap suatu holding
company? Permohonan itu, Menurut Penulis dapat saja diajukan, oleh karena suatu
holding company adalah suatu perusahaan yang berbadan hukum. Sangat menarik
apabila kita mencermati putusan Pengadilan Niaga dalam perkara Ometraco, yaitu
Putusan No. 3/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst dan No. 4/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst
yang menolak permohonan pernyataan pailit terhadap holding company dengan
pertimbangan bahwa seharusnya permohonan terhadap holding company dan
terhadap anak perusahaan tersebut diajukan dalam satu permohonan. Terhadap

74 | P a g e
putusan ini Kartini Muljadi, S.H., salah satu perancang Perpu No. 1 Tahun 1998,
berpendapat bahwa pertimbangan Pengadilan Niaga tersebut kurang tepat.
Permohonan pernyataan pailit terhadap holding company dan anak perusahaannya
oleh UU No. 4 Tahun 1998 (yang pada waktu putusan itu dijatuhkan & menjadi
dasar hukumnya) tidak diwajibkan untuk diajukan dalam satu permohon an. Mereka
merupakan badan hukum yang berbeda, mempunyai Kreditur yang berbeda,
mungkin pula holding company adalah Kreditur dari anak perusahaannya.
7.3.3 Kepailitan atas Beberapa Jenis Perusahaan
Undang-Undang Kepailitan membedakan antara Debitur yang berbentuk
bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana
pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik serta Debitur
yang bukan perusahaan tersebut. Mengenai pailit dan perusahaan tersebut
dijelaskan di dalam bab lain.
7.3.4 Kepailitan Penjamin
Berkaitan dengan pemberian guarantee yang biasanya diminta oleh perbankan
dalam pemberian kredit bank, menurut Penulis, dengan undang-undang ini seorang
penjamin atau penanggung yang memberikan penjamin percrangan (personal
guarantee) atau perusahaan yang memberikan penjaminan perusahaan (corporate
guarantee) dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit. Selama ini sering tidak
disadari baik oleh bank maupun oleh para pengusaha bahwa seorang penjamin
perorangan (personal guarantor) dapat mempunyai konsekuensi hukum yang jauh
apabila pen jamin itu tidak melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah
bahwa penjamin (guarantor), baik penjamin perorangan (personal guarantee)
maupun penjaminan perusahaan (corporate guarantee) dapat dinyatakan pailit.
Banyak bankir merasa bahwa penjamin perorangan (personal guarantee) hanya
memberikan ikatan moral dari penjamin (guarantor)-nya. Hal itu tidak benar.
Menurut Pasal 24 UUK-PKPU, dengan pernyataan pailit, Debitur pailit demi
hukum kehilangan hak untuk menguasai kekayaannya yang dimasukkan dalam
Harta Pailit terhitung sejak hari pernyataan pailit diputuskan. Dengan demikian,
seorang penjamin yang dinyatakan pailit oleh pengadilan tidak lagi dapat

75 | P a g e
melakukan bisnis untuk dan atas nama pribadinya. Penjaminan atau penanggungan
diatur di dalam Pasal 1831 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Dari ketentuan
dalam KUH Perdata itu dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau
penanggung adalah juga seorang Debitur. Penjamin atau penanggung adalah juga
seorang Debitur yang berkewajiban melunasi utang Debitur kepada satu atau lebih
Kreditur apabila tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan/atau dapat
ditagih (Lihat uraian pengertian "utang yang telah jatuh waktu" dan "telah dapat
ditagih"). Oleh karena penjamin atau penanggung adalah Debitur, maka penjamin
atau penanggung dapat dinyatakan pailit berdasarkan UUK-PKPU.
7.3.5 Kepailitan Orang Mati
Apakah seorang yang telah meninggal dunia dan sewaktu hidupnya yang
bersangkutan memiliki utang-utang dapat diajukan terhadapnya permohonan
pernyataan pailit? UUK-PKPU menentukan bahwa hal yang demikian dapat
dilakukan oleh para Kreditur dari almarhum. Sesuai dengan ketentuan Pasal 207
UUK-PKPU, harta kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam
keadaan pailit, apabila dua atau beberapa Kreditur mengajukan permohonan untuk
itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa:
a. utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau
b. pada saat meninggalnya orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup
untuk membayar utangnya.
Menurut ketentuan Pasal 208 ayat (1) UUK-PKPU, permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 207 UUK-PKPU harus diajukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal terakhir Debitur yang meninggal. Ahli
waris harus dipanggil untuk didengar mengenai permohonan tersebut dengan surat
juru sita. Hal itu sesuai dengan Pasal 208 ayat (2) UUK-PKPU. Menurut Pasal 208
ayat (3) UUK-PKPU, surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus
disampaikan di tempat tinggal terakhir Debitur yang meninggal, tanpa keharusan
menyebutkan nama masing-masing ahli waris, kecuali nama mereka itu dikenal.

76 | P a g e
BAB VIII
Dalam bab ini diuraikan mengenai siapa-siapa saja yang dapat menjadi pemohon
untuk pernyataan pailit. Dalam Undang-Undang Kepailitan negara lain, pada
umumnya permohonan pernyataan pailit dapat diajukan, baik oleh Debitur sendiri
mau pun oleh salah satu atau lebih kreditur. Kalau kita baca ketentuan-ketentuan
dalam UUK-PKPU, permohonan pernyataan pailit bukan saja dapat diajukan oleh
Kreditur, tetapi juga dapat diajukan secara sukarela oleh Debitur sendiri. UUK-
PKPU bahkan memungkinkan diajukan permohonan pernyataan pailit oleh
kejaksaan demi kepentingan umum (untuk melindungi kepentingan umum).
Bagaimana pengaturan mengenai hal itu, diuraikan di bawah ini.
8.1 BERBAGAI PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PAILIT
UUK-PKPU membedakan antara pengajuan permohonan terhadap Debitur
yang berupa perusahaan bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan
penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik di satu pihak dan terhadap Debitur non-perusahaan yang telah
disebutkan di pihak lain.
Berkenaan dengan perbedaan tersebut, dalam Pasal 2 UUK-PKPU
membedakan siapa-siapa saja yang dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit terhadap Debitur yang berbeda-beda jenisnya itu. Tergantung kepada jenis
usaha Debitur, yang dapat tampil sebagai pemohon pernyataan pailit adalah:
a. Debitur sendiri.
b. Seorang atau lebih Kreditur.
c. Kejaksaan.
d. Bank Indonesia
e. Bapepam
f. Menteri Keuangan
Selain pihak-pihak tersebut, di dalam Pasal 149 ayat (2) UU Perseroan Terbatas
ditentukan likuidator yang melaksanakan likuidasi atas harta kekayaan perseroan
terbatas yang dibubarkan mengajukan permohonan pernyataan pailit apabila saat
untuk pengajuan permohonan itu terpenuhi. Dalam hal likuidator inemperkirakan

77 | P a g e
bahwa utang Perseroan lebih besar dari pada kekayaan Perseroan, likuidator wajib
mengajukan permohonan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan
menentukan lain, dan semua Kreditur yang diketahui identitas dan alamatnya,
menyetujui pembubaran dilakukan di luar kepailitan.
8.2 DEBITUR SEBAGAI PEMOHON PAILIT
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, permohonan pernyataan pailit terhadap
seorang Debitur dapat pula diajukan oleh Debitur sendiri. Dalam Istilah bahasa
Inggris disebut voluntary petition. Kemungkinan yang demikian itu menandakan
bahwa menurut UUK-PKPU permohonan pernyataan pailit bukan saja dapat
diajukan untuk kepentingan para Krediturnya, tetapi dapat pula diajukan untuk
kepentingan Debitur sendiri.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, seorang Debitur dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya (voluntary petition) hanya apabila
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Debitur mempunyai dua atau lebih Kreditur (lebih dari satu Kreditur), dan
2. Debitur sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan
telah dapat ditagih.
8.3 KREDITUR SEBAGAI PEMOHON PAILIT
Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU menentukan, di samping Debitur sendiri, Kreditur
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitur.
Seorang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang Debitur
hanya apabila terpenuhi sebagai berikut:
1. Debitur mempunyai dua atau lebih Kreditur (lebih dari satu Kreditur), dan
2. Debitur sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah jatuh waktu dan
telah dapat ditagih.
Tersebut tentu saja sama dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
Debitur yang bermaksud mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
karena landasan bagi keduanya adalah Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU. Seyogianya
UUK-PKPU mengambil sikap bahwa hakim hanya boleh mengabulkan
permohonan pernyataan pailit apabila permohonan itu disetujui oleh para Kreditur
mayoritas. adanya ketentuan yang demikian, maka putusan pailit itu hanya akan

78 | P a g e
Kreditur lain, yang jelas-jelas tidak mengalami kesulitan mengenai kewajiban
Debitur atas utangnya kepada para Kreditur mayoritas. Berkenaan dengan apabila
terhadap satu atau dua orang Kreditur saja Debitur tidak melunasi sedangkan
kepada sebagian besar para lainnya Debitur tetap memenuhi kewajiban pembayaran
utang-utangnya, maka hakim Pengadilan Niaga harus menolak permohonan
pernyataan pailit tersebut dan menyatakan agar Kreditur yang bersangkutan
mengajukan gugatan melalui pengadilan perdata.
8.4 PESERTA KREDIT SINDIKASI SEBAGAI PEMOHON PAILIT
Apabila hukum negara setempat atau apabila dalam perjanjian kredit sindikasi
tidak ditentukan lain, pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Debitur
harus dilakukan oleh agent. Dengan kata lain, apabila diinginkan agar pengajuan
permohonan pernyataan pailit terhadap Debitur tidak harus bergantung kepada
agent atau tidak perlu bergantung kepada keputusan mayoritas para peserta tetapi
dapat langsung dilakukan oleh setiap peserta yang menginginkan diajukannya
permohonan pernyataan pailit terhadap Debitur tersebut, hendaknya hak tersebut di
perjanjian di dalam perjanjian kredit sindikasi. Di dalam penerapan Undang-
Undang Kepailitan yang lama, yaitu UU No. 4 Tahun 1998, terdapat ketidakpastian
mengenai siapa yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
Debitur yang memperoleh kredit sindikasi. Apakah setiap peserta sindikasi berhak
mengajukan permohonan pernyataan pailit? Mengingat pada kredit sindikasi
terdapat peran agen (agent) yang mewakili sindikasi, apakah yang berhak
mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah hanya agen? Ataukah selain oleh
agen, permohonan pernyataan pailit dapat pula diajukan oleh anggota atau peserta
sindikasi? UU No. 4 Tahun 1998 tersebut tidak memberikan arahan apa pun
mengenai hal itu. Untunglah, UUK-PKPU yang menggantikan UU No. 4 Tahun
1998 telah memecahkan masalah tersebut dengan mengemukakan di dalam
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU bahwa:
"Bilamana terdapat Sindikasi Kreditur, maka masing-masing Kreditur
adalah Kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2".

79 | P a g e
8.5 KEJAKSAAN SEBAGAI PEMOHON PAILIT
Menurut Pasal 2 ayat (2) UUK-PKPU, permohonan pernyataan pailit dapat
diajukan pula oleh kejaksaan untuk kepentingan umum. Pasal 2 ayat (2) UUK-
PKPU berbunyi sebagai berikut:
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat juga diajukan oleh
Kejaksaan untuk kepentingan umum.
8.5.1 Pengertian Kepentingan Umum
Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK-PKPU, yang dimaksud dengan
"kepentingan adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan
masyarakat luas, misalnya:
a. Debitur melarikan diri;
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c. Debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan
usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;
d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat kata luas;
e. Debitur tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
f. Dalam hal lainnya menurut Kejaksaan merupakan kepentingan umum.
8.5.2 Pengertian Kepentingan Umum dalam Undang-undang Lain
Bukan hanya UUK-PKPU saja yang menyebut tentang "kepentingan
beberapa undang-undang lain juga menyebut tentang umum". Ada diantara undang-
undang lain itu yang memberikan batasan mengenai apa yang dimaksudkan dengan
umum" yang sangat berbeda dengan pengertian umum, menurut UUK-PKPU
tersebut.
Kepentingan umum misalnya disebut di dalam Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya.
Bunyi Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri

80 | P a g e
Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat
mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
8.5.3 Kewenangan Pengadilan Niaga untuk Menentukan
Adanya Umum Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUK-PKPU
yang menentukan, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan
untuk (demi) kepentingan umum, pertanyaan yang timbul adalah apakah yang dapat
dijadikan tolak ukur untuk menentukan ada atau tidak adanya unsur kepentingan
umum dalam hal kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
seorang Debitur? Apakah cukup diserahkan saja kepada kejaksaan untuk
menentukan, terdapat kepentingan umum berkaitan dengan permohonan
pernyataan pailit yang diajukan oleh kejaksaan itu yang notabene batasan
kepentingan umum sebagaimana dimaksud Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK-PKPU
tersebut begitu tanpa batas? Sebaiknya penentuan ada tidak adanya unsur
kepentingan umum, diserahkan secara kasuistis kepada hakim Pengadilan Niaga
yang memeriksa permohonan pernyataan pailit. Hal ini sejalan semangat ketentuan
Pasal 57 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang memberikan
wewenang kepada ketua pengadilan untuk menentukan suatu perkara menyangkut
kepentingan umum.
Sejalan dengan hal tersebut, hendaknya Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang
memeriksa permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kejaksaan
sebelumnya wajib memeriksa dan menentukan terlebih dahulu apakah ada unsur
kepentingan umum yang memberikan landasan bagi kewenangan kejaksaan untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit yang dimaksud. Apabila menurut
Majelis Hakim tidak terdapat unsur kepentingan umum, maka untuk permohonan
tersebut kejaksaan tidak berwenang mengajukannya dan oleh karena itu
permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaart).
8.5.4 Peranan Hukum
Pasal 7 ayat (1) UUK-PKPU menentukan, permohonan pernyataan pailit
harus diajukan oleh seorang penasihat hukum yang memiliki izin praktik.
Sehubungan dengan itu dan dengan diberikannya kewenangan oleh Pasal 2 ayat (2)
UUK-PKPU kepada kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit

81 | P a g e
untuk kepentingan umum, pertanyaan yang timbul adalah apakah kejaksaan harus
menunjuk atau memberi kuasa kepada seorang penasihat hukum yang memiliki izin
praktik yang dimaksudkan dalam Pasal 7 ayat (1) UUK-PKPU itu? Ataukah
kejaksaan dapat mengajukan sendiri permohonan itu? Dalam Undang-Undang
Kepailitan yang lama, yaitu UU No. 4 Tahun 1998, hal itu tidak ada penjelasannya.
Tidak seyogianya kejaksaan tidak dapat mewakili dirinya sendiri sebagai
pernyataan pailit. Untuk perbuatannya mengajukan pernyataan pailit, kejaksaan
adalah dalam kapasitasnya selaku "kuasa dari dan untuk kepentingan umum.
8.6 OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI PEMOHON PAILIT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari
campur tangan pihak lain, yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang tersebut. Menurut undang-undang tersebut,
Fungsi, Tugas, dan Wewenang OJK adalah:
Pasal 5
OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang
terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Pasal 6
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
8.6.1 Kepailitan Bank
Menurut Pasal 2 ayat (3) UUK-PKPU, dalam hal menyangkut Debitur yang
merupakan. bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank
Indonesia. Setelah berlakunya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi
kepailitan bank tidak diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sedangkan

82 | P a g e
OJK menurut Undang-undang tersebut telah mengambil alih tugas dan wewenang
Bank Indonesia untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap bank.
Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (3)UUK-PKPU yang dimaksud dengan "bank"
adalah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tentu saja
peraturan perundang-undangan yang dimaksud (pada saat tulisan ini dibuat) adalah
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 10 Tahun 1998.
8.6.2 Kepailitan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
Menurut Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU, dalam hal Debitur merupakan
perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebelum terbentuknya OJK
berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
pemohon pailit tersebut adalah Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Menurut
Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU, permohonan pernyataan pailit
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini hanya dapat diajukan oleh OJK karena
lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat
yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan OJK (dahulu Bapepam).
Lebih lanjut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU bahwa OJK
(sebelumnya adalah Bapepam) juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal
pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi yang berada di bawah
pengawasannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UUK-PKPU, panitera
yang bertugas mendaftarkan permohonan pernyataan pailit wajib menolak
pendaftaran permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan efek, bursa efek,
lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, apabila
permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh pihak selain OJK (dahulu
Bapepam).
8.6.3 Kepailitan Perusahaan Asuransi & Re-Asuransi
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU, dalam hal Debitur adalah
perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik

83 | P a g e
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (5)
UUK-PKPU, yang dimaksud dengan adalah perusahaan asuransi jiwa dan
perusahaan asuransi kerugian. Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
adalah perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian. Pada saat
tulisan ini dibuat, undang-undang mengenai usaha perasuransian yang dimaksud
adalah UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Penjelasan Pasal 2 ayat
(5) UUK-PKPU mengemukakan bahwa kewenangan untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit bagi perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi
sepenuhnya ada pada OJK (dahulu Menteri Keuangan). Dikemukakan pula dalam
Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU, diperlukan untuk membangun tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi
sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana
masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan
perekonomian.
8.6.4 Kepailitan Dana Pensiun
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU dalam hal Debitur
adalah dana pensiun, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh OJK
(dahulu Menteri Keuangan). Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU,
yang dimaksud dengan “Dana Pensiun” adalah sebagaimana dimaksud dalam
undang undang yang mengatur mengenai dana pensiun. Pada saat tulisan ini dibuat,
undang-undang yang mengatur mengenai dana pensiun yang dimaksud adalah UU
No. 11 Tahun 1992. Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU menegaskan bahwa
kewenangan untuk mengajukan pailit bagi dana pensiun, sepenuhnya ada pada OJK
(dahulu Menteri Keuangan). Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap dana pensiun, mengingat dana pensiun
mengelola dana masyarakat dalam jumlah besar yang merupakan hak dari peserta
yang banyak jumlahnya.

84 | P a g e
8.6.5 Kepailitan BUMN yang Bergerak di Bidang Kepentingan Publik.
Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal Debitur adalah
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan publik,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU, yang dimaksud dengan "Badan
Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik" adalah badan
usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas
saham. Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK-PKPU, disebutkan bahwa kewe
nangan OJK (dahulu Menteri Keuangan) dalam pengajuan permohonan pernyataan
pailit untuk instansi yang berada di bawah pengawasannya seperti kewenangan
OJK (dahulu Bank Indonesia) untuk mengajukan permohonan pailit terhadap bank
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (3) UUK-PKPU dan OJK (dahulu
Bapepam) untuk mengajukan permohonan pailit terhadap lembaga yang dahulu
sebelum adanya Undang-Undang OJK berada di bawah pengaturan dan
pengawasan Bapepam sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (4) UUK-PKPU.
8.7 KURATOR SEBAGAI PEMOHON PAILIT PERSEROAN TERBATAS
YANG DIBUBARKAN
Bab X UU No. 40 Tahun 2007 mengatur mengenai pembubaran perseroan
terbatas. Menurut Pasal 142 ayat (1) undang-undang tersebut, pembubaran
perseroan terjadi antara lain karena Harta Pailit perseroan yang telah dinyatakan
pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU
(baca Pasal 142 ayat (1) huruf e UU Perseroan Terbatas). Oleh karena di dalam
Penjelasan Pasal 142 ayat (1) UU Perseroan Terbatas tersebut tidak ditemukan
penjelasan mengnai apa yang dimaksud dengan "keadaan insolvensi" sebagaimana
dimaksud dalam pasal tersebut, maka untuk memahaminya harus dicari
pengertiannya dalam UUK-PKPU. Hal itu dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal
57 ayat (1) UUK-PKPU. "Keadaan insolvensi" yang dimaksudkan sebagaimana
menurut Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK-PKPU adalah "keadaan tidak mampu
membayar". Berkenaan dengan terjadinya pembubaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 142 ayat (1) UU Perseroan Terbatas tersebut, Pasal 142 ayat (2) UU
Perseroan Terbatas menentukan bahwa terjadinya pembubaran tersebut wajib

85 | P a g e
diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau Kurator. Berkenaan
dengan pelaksanaan likuidasi oleh likuidator sebagaimana dimaksud dalam Pasal
142 ayat (2) UU Perseroan Terbatas tersebut, Pasal 149 ayat (2) UU Perseroan
Terbatas menentukan bahwa:
Dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar
daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan
pernyataan pailit Perseroan, kecuali peraturan perundang-undangan
menentukan lain, dan semua Kreditur yang diketahui identitas dan
alamatnya, menyetujui pembubaran dilakukan di luar kepailitan.
8.8 PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM KEPAILITAN
UUK-PKPU mengenal ketentuan mengenai kemungkinan Debitur pailit
ditahan. Dahulu ketika Undang-Undang Kepailitan yang berlaku adalah UU No. 4
Tahun 1998, lembaga tersebut dikenal sebagai lembaga paksa badan atau
penyanderaan. Dalam bahasa Faillessementverordening dikenal sebagai lembaga
gijzeling. Dengan Undang-Undang Kepailitan yang baru, disebut Lembaga
Penahanan. Dalam bab ini dijelaskan mengenai lembaga penahanan Debitur pailit
sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU.
8.8.1 Alasan Penahanan
Dalam Bagian Keempat UUK-PKPU, tidak terdapat ketentuan yang mengatur
dalam hal apa saja penahanan terhadap Debitur pailit itu dapat diperintahkan oleh
Hakim Pengawas. Penjelasan Pasal 93 UUK-PKPU tidak pula memberikan
keterangan apa pun. Agar pelaksanaan lembaga penahanan Debitur pailit tersebut
tidak disalahgunakan dan menimbulkan praktik yang tidak sehat, seyogianya
ditentukan secara limitatif alasan apa saja yang dapat dijadikan pertimbangan untuk
pengajuan usul penahanan oleh Hakim Pengawas, atau sebagai alasan untuk
pengajuan permintaan oleh Kurator atau oleh Kreditur kepada pengadilan agar
Debitur pailit ditahan. Alasan tersebut tentu saja kemudian harus juga menjadi
alasan bagi Pengadilan Niaga untuk mengabulkan atau untuk menolak usul atau
permohonan agar Debitur pailit ditahan.

86 | P a g e
8.8.2 Penahanan Terhadap Anggota Pengurus Badan Hukum yang Pailit
Sesuai dengan ketentuan Pasal 111 UUK-PKPU, dalam hal kepailitan suatu
badan hukum, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal
95, Pasal 96, dan Pasal 97 UUK-PKPU hanya berlaku terhadap pengurus badan
hukum tersebut, dan ketentuan Pasal 110 ayat (1) UUK-PKPU berlaku terhadap
pengurus dan komisaris. Menurut Penjelasan Pasal 111 UUK-PKPU, yang
dimaksud dengan "komisaris" termasuk badan pengawas.
Oleh karena yang disebutkan dalam pasal tersebut adalah berlaku terhadap
pengurus badan hukum, maka ketentuan Pasal 111 UUK-PKPU tersebut berlaku
untuk badan hukum apa pun misalnya untuk pengurus dari Debitur yang berbentuk
perseroan terbatas, yayasan, koperasi, BUMN, universitas yang berbentuk badan
hukum, dan lain-lain. Namun perlu disepakati dengan jelas, siapa saja yang
dimaksudkan dengan "pengurus". Hal tersebut harus dapat ditentukan berdasarkan
Anggaran Dasar badan hukum yang dimaksud. Misalnya, apabila pada badan
hukum tersebut secara jelas dibedakan antara pengurus dan pembina, maka jelas
terhadap pembina tidak berlaku ketentuan Pasal 111 UUK-PKPU.
8.8.3 Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Penahanan
Menurut Pasal 93 ayat (1) UUK-PKPU, pengadilan dengan putusan
pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul Hakim Pengawas,
permintaan Kurator, atau atas permintaan seorang Kreditur atau lebih dan setelah
mendengar Hakim Pengawas, dapat memerintahkan supaya Debitur pailit ditahan
di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas. Menurut Pasal
93 ayat (1) UUK-PKPU itu salah satu yang dapat mengajukan permohonan untuk
menahan Debitur adalah Kreditur. Akan tetapi, UUK-PKPU tidak jelas menentukan
apakah permintaan penahanan itu dapat diajukan oleh, baik Kreditur konkuren
maupun Kreditur preferen, ataukah hanya dapat diajukan oleh Kreditur konkuren?
Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan masalah interpretatif.
8.8.4 Tempat Penahanan
Selanjutnya Pasal 93 ayat (1) UUK-PKPU itu menentukan pula bahwa
penahanan tersebut dapat dilaksanakan baik ditempatkan di Rumah Tahanan
Negara maupun di rumahnya sendiri. awas atau atas permintaan Kurator atau

87 | P a g e
seorang Kreditur atau lebih dan setelah men dengar Hakim Pengadilan Niaga dapat
memperpanjang masa penahanan itu untuk setiap kali untuk jangka waktu paling
lama 30 hari. Dengan demikian, masa penahanan dapat berkepanjangan karena
sekalipun setiap 30 hari masa penahanan itu berakhir tetapi selalu saja dapat
dimintakan perpanjangan untuk 30 hari lagi.
8.8.5 Pelaksana Penahanan
Perintah penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) UUK-
PKPU, menurut Pasal 93 ayat (2) UUK-PKPU dilaksanakan oleh jaksa yang
ditunjuk oleh Hakim Pengawas. Berkenaan dengan "jaksa yang ditunjuk oleh
Hakim Pengawas" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) UUK-PKPU
tersebut, sangat membingungkan. Apakah mungkin Hakim Pengawas memilih-
mililh siapa jaksa dalam jajaran kejaksaan yang akan ditunjuk sebagai pelaksana
ketentuan Pasal 93 ayat (2) UUK-PKPU itu? Bukankah seyogianya hakim meminta
institusi kejaksaan untuk melaksanakan penahanan yang dimaksud dalam Pasal 93
ayat (2) UUK-PKPU tersebut, menunjuk jaksa. Ketua kejaksaan yang seharusnya
menentukan siapa jaksa yang ditugasi untuk melaksanakan penahanan tersebut.
8.8.6 Jangka Waktu Penahanan
Apakah jangka waktu penahanan ditentukan batas waktunya? Pasal 93 ayat (3)
UUK-PKPU menentukan, perintah penahanan itu berlaku untuk 30 hari terhitung
dari hari mulainya penahanan itu dilaksanakan. Namun demikian, menurut Pasal 93
ayat (4) UUK-PKPU, pada akhir tenggang waktu tersebut, atas usul Hakim
Pengawas atau atas permintaan Kurator atau seorang Kreditur atau lebih dan setelah
mendengar Hakim Pengawas, Pengadilan Niaga dapat memperpanjang masa
penahanan itu untuk setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 hari. Dengan
demikian, masa penahanan dapat berkepanjangan karena sekalipun setiap 30 hari
masa penahanan itu berakhir tetapi selalu saja dapat dimintakan perpanjangan untuk
30 hari lagi.
8.8.7 Beban Biaya Penahanan
Siapakah yang akan menanggung biaya penahanan? Pasal 93 ayat (5) UKK-
PKPU menentukan bahwa biaya penahanan tersebut dibebankan kepada Harta
Pailit sebagai utang harta pailit.

88 | P a g e
8.8.8 Jaminan Pihak ketiga bagi Kepentingan Debitur
Menurut Pasal 94 ayat (1) UUK-PKPU, dengan jaminan uang dari pihak
ketiga bahwa Debitur pailit setiap waktu akan (wajib) menghadap pada panggilan
pertama, pengadilan berwenang melepas Debitur pailit dari tahanan atas usul
Hakim Pengawas atau atas permohonan Debitur pailit.
Pasal 94 ayat (2) UUK-PKPU menentukan, jumlah uang jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pengadilan. Selanjutnya ditentukan pula
bahwa apabila Debitur pailit (ternyata) tidak datang menghadap setelah dipanggil
oleh pengadilan, maka uang jaminan tersebut menjadi keuntungan (menjadi bagian
dari) harta pailit.
8.8.9 Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Paksa Badan
Pada tanggal 30 Juni 2000, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2000 tentang Paksa Badan. Sehubungan dengan
dikeluarkannya peraturan tersebut, timbul pertanyaan sebagai berikut:
apakah prosedur permohonan penahanan dan pelaksanaan putusan
penahanan terhadap Dedebitur pailit dilaksanakan berdasarkan ketentuan
peraturan Mahkamah Agung itu? Ataukah tunduk pada ketentuan
penahanan Debitur pailit dalam UUK-PKPU? Apabila terdapat perbedaan
antara Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2000 dan UUK-PKPU,
ketentuan mana yang harus diberlakukan? Mengingat UUK-PKPU
merupakan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi dari Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2000, apakah tidak seyogianya ketentuan
UUK-PKPUyang harus diberlakukan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, berikut ini dijelaskan isi
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2000 tanggal 30 Juni 2000 tentang
Paksa Badan. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2000 mencabut Surat
Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1964 dan No. 4 Tahun 1975.
Sebagaimana diketahui, dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1964
dan No. 4 Tahun 1975, diinstruksikan oleh Mahkamah Agung RI kepada para ketua
pengadilan dan hakim untuk tidak menggunakan lagi peraturan mengenai gijzeling

89 | P a g e
yang diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia yang
diperbarui (HIR) serta Pasal 242 sampai dengan Pasal 259 Reglemen Hukum Acara
untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg.). Larangan tersebut didasarkan
pertimbangan bahwa lembaga tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan dan
kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta
pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, sehingga perlu mencabut dan mengatur
kembali peraturan tersebut. Demikian dikemukakan dalam bagian pertimbangan
dari Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2000.

90 | P a g e
BAB IX

PENGADILAN KEPAILITAN

Pengadilan Kepailitan atau Bankruptcy Court adalah pengadilan yang khusus


memeriksa dan memutus perkara kepailitan. Di Indonesia, pengadilan khusus yang
tugas dan wewenangnya memeriksa dan memutus perkara kepailitan adalah
Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga bukan pengadilan tersendiri, seperti halnya
dengan Pengadilan Militer atau Pengadilan Agama, tetapi hanya merupakan
chamber saja dari Pengadilan Negeri seperti halnya dengan Pengadilan Anak. Di
luar negeri, perkara kepailitan adakalanya tidak ditangani oleh suatu pengadilan
khusus seperti Pengadilan Niaga di Indonesia, tetapi oleh Pengadilan Umum. Bab
ini menjelaskan Pengadilan Niaga dan Pengadilan Banding. Pengadilan Kasasi, dan
Pengadilan Peninjauan Kembali untuk perkara kepailitan.

9.1 PENGADILAN NIAGA

9.1.1 Yurisdiksi Pengadilan Niaga

Dengan diundangkannya UU No. 37 Tahun 2004 yang mulai berlaku pada


Langkal 18 Oktober 2004, dalam Pasal 307 UUK PKPU ditegaskan bahwa Faillis
sements-verordening (S) . 1905217 jo 51906348 dan UU No. 4 Tahun 1998 tentang
Perpu No. 1 Tahun 1998, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Mengenai
Pengadilan Niaga, dapat dijelaskan bukanlah merupakan tambahan pangandilan
baru yang telah ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970
Tanggal 17 Desember 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yaitu peradilan umum. Peradilan agama. peradilan militer dan
peradaan tata usaha negara. Pengadilan Niaga hanyalah merupakan bagian dari
peradilan umum (Baca l'asal 306 UUK-PKPU) Pengadilan Niaga hanya merupakan
ihamber dari pengadilan umum, seperti halya dengan pengadilan anak dan
pengadilan lalu lintas Oleh karena mellan Ni berada di lingkungan peradilan umum,
maka tidak ada jabatan ketua Pengadilan Niaga, karana ketua Pengadilan Negeri
yang berangkutan juga membawahi Pengadilan Niaga Pengaduan Pengadilan Niaga
dengan UUK PKPU mungkin kami berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 1986

91 | P a g e
tentang Peradilan Umum Pasal 8 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
tersebut menentukan Di lingkungan peradilan Umum dapat diadakan penelusuran
yang diatur Undang-undang Penjelasan Pasal 8 UU No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum tersebut mengemukakan Yang dimaksud dengan diadakan
pengkhususan ialah adara diferensial pelumas di lingkungan Peradilan Umum
misalnya Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak.

Pengadilan Economy

A Pembentukan Pengadilan Niaga

Sesuai dengan yang dikemukakan dalam Pasal 306 ayat (1) UUK-PKPU.
Pengadilan Niagarada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat van dibentuk berdasarkan
ketentuan asal 2 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang
Undang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998,
dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi
lingkup tugas Pengadilan Niaga. Tentu saja pada saat ini Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu telah terbentuk dan telah banyak pula
memeriksa dan memntuskan perkara permohonan pernyataan pailit dan
permohonan PKPU.

B. Yurisdiksi Pengadilan Niaga

Pembentukan Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkara kepailitan dan juga


kelak perkara perniagaan lainnya berdasarkan peraturan pemerintah, didasarkan
atas pertimbangan kecepatan dan efektivitas. Perkara kepailitan menurut UUK
PKPU ditentukan Jangka waktu pemeriksaannya di tingkat Pengadilan Niaga,
ditingkat kasasi, maupun di tingkat peninjauan kembali. Upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Niaga dalam
perkara kepailitan adalah langsung kasasi ke Mahkamah Agung tanpa upaya
banding melalui pengadilan tinggi. Dengan demikian, perkara kepailitan alan
berjalan lebih cepat bila dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di
Pengadilan Negeri. Putusan perkara permohonan pernyataan pailit akan efektif oleh
karena menurut ketentuan UUK-PKPU putusan perkara permohonan pernyataan

92 | P a g e
pailit tersebut bersifat serta-merta. Artinya, Kurator telah dapat menjual Harta Pailit
meskipun putusan pernyataan pailit tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
yang tetap. karena terhadap putusan itu diajukan permohonan kasasi.

C. Kewenangan Badan Arbitrase Memeriksa Perkara Kepailitan

Bolehkah badan arbitrase memeriksa dan memutus perkara kepailitan?


Mahkamah Agung RI dalam putusan No. 013 PK/N/1999 tanggal 2 Agustus 1999
berkenaan dengan permohonan peninjauan kembali perkara kepailitan antara PT
Putra Putri Fortuna Windu dan Kawan sebagai para pemohon pk/para termohon
kasasi/para termohon pailit melawan PT Environmental Network Indonesia (PT
Enindo) dan Kawar sebagai para terinohon peninjauan kembali/pemohon dan turut
termohon kasasi/pemohon pailit, dalam pertimbangan hukumnya mengemukakan
sebagai berikut: Bahwa bertitik tolak pada ketentuan Pasal 260 ayat (1) dan ayat (2)
Perpu No. 1 Tahun 1998, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan
Undang Undang No. 4 tahun 1998, status hukum dan kewenangan (legal status and
power) Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk
menyelesaikan permohonan pernyataan pailit: Bahwa clausula arbitrase
berdasarkan Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 jo. Pasal 377 HIR dan Pasal
615-651 Rv., telah menempatkan status hukum dan kewenangan arbitrase memiliki
kapasitas hukum untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian dalam
kedudukan sebagai extra judicial berhadapan dengan Pengadilan Negeri sebagai
pengadilan Negara biasa; Bahwa dalam kedudukan arbitrase sebagai extra judicial
yang lahir dari clausula arbitrase, yurisprudensi telah mengakui legal effect yang
memberi kewenangan absolute bagi arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul dari perjanjian, Asas Pacta Sunt Servanda yang digariskan Pasal 1338 KUH
Perdata;

Bahwa akan tetapi kewenangan absolut tersebut dalam kedudukannya sebagai


extra judicial tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga (extra
ordinary) yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili
penyelesaian insolvensi atau pailit oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 yang telah

93 | P a g e
ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998
sebagai undang-undang khusus (special law).

D. Putusan Pengadilan Niaga Dilakukan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama


dengan Majelis Hakim (Pasal 301 ayat (1) UUK-PKPU). Dalam menjalankan
tugasnya, hakim Pengadilan Niaga dibantu oleh seorang panitera atau seorang
panitera pengganti dan jurusita (Pasal 301 ayat (3) UUK-PKPU). Nantinya apabila
perkara lain telah dapat diperiksa dan diputuskan pula oleh Pengadilan Niaga,
menurut ketentuan Pasal 301 ayat (2) UUK-PKPU Ketua Mahkamah Agung dapat
menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus
oleh hakim tunggal (bukan oleh Majelis Hakim)

E. Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Niaga

Dalam Pasal 302 ayat (1) UUK-PKPU ditentukan bahwa hakim Pengadilan
Niaga diangkat berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung. Dengan
demikian, Ketua Mahkamah Agung yang berwenang mengangkat hakim
Pengadilan Niaga bukan pejabat atau lembaga lainnya Menurut Pasal 302 ayat (2)
UUK-PKPU. syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim Pengadilan Niaga
adalah:

a. telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;


b. mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah yang
men jadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga:
c. berwibawa, Jujur, adil dan berkelakukan tidak tercela; dan
d. telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada
Pengadilan Niaga.

Berdasarkan syarat-syarat di atas, hanya hakim pada peradilan umum yang


dapat diangkat sebagai hakim Pengadilan Niaga. Dapatkan bekas hakim dalam
lingkungan peradilan umum diangkat sebagai Pengadilan Niaga! Ketentuan dalam
UU No. 4 Tahun 1998 dan UUK PKPU tidak melarang hal itu. Hal tersebut dapat
saja diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung. Membaca Pasal 302 ayat (3)

94 | P a g e
UUK PKPU, untuk menjadi hakim Pengadilan Naga dapat pula diangkat hakim ad
hoc. Dalam hal seorang diangkat sebagai hakim ad hoc persyaratan yang ditentukan
pada Pasal 302 ayat (2) huruf a UUK-PKPU, yaitu telah berpengalaman sebagai
hakim dalam lingkungan peradilan umum, tidak disyaratkan. Menurut Pasal 302
ayat (3) UUK-PKPU, keputusan pengangkatan hakim ad hoc tersebut adalah
dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Hakim ad hoc
menurut ketentuan Pasal 302 ayat (3) UUK-PKPU dimungkinan pada setiap
tingkatan, yaitu baik pada tingkat Pengadilan Niaga, kasasi maupun peninjauan
kembali

F. Hukum Acara Pengadilan Niaga

Menurut Pasal 299 UUK PKPU, kecuali ditentukan lain dengan undang
undang, Hukum Acara Perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan
Niaga. Hukum Acara Perdata yang berlaku pada saat ini adalah HIR. Kalau
dipelajari dari UUK-PKPU, tampak terdapat ketentuan acara yang berbeda atau
menyimpang dari ketentuan dalam HIR. Bunyi ketentuan Pasal 299 UUK-PKPU
itu bermaksud bahwa apabila UUK-PKPU bersikap diam atau tidak mengatur
mengenal hal-hal tertentu yang menyangkut acara pengajuan permohonan
pernyataan pailit dan pemeriksaan perkara di dan oleh pengadilan, maka yang harus
dirujuk ialah HIR Seperti halnya UUK-PKPU, Bankruptcy Code Amerika Serikat
sekaligus juga merupakan Bankruptcy Rule. Rules tersebut hanya berkaitan dengan
proses, dengan masalah prosedural dan bukan dengan masalah substantif.

G. Peranan Advokat

Dalam kepailitan, advokat memegang peranan yang sangat sentral.


Permohonan pernyataan pailit, baik yang diajukan oleh Debitur atau Kreditur, tidak
dapat diajukan sendiri oleh Debitur atau Kreditur yang bersangkutan. Pasal 7 ayat
(1) UUK PKPU menentukan:

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal, Pasal 11. Pasal 12


Pasal 43 Pasal 56, Pasal 57. Pasal s8, Pasal 68, Pasal 161, Pasal 171, Pasal 207, dan
Pasal 212 harus diajukan oleh seorang advokat.

95 | P a g e
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUK-PKPU itu dapat dikatakan berlebihan.
SebaIknya diberikan kebebasan kepada pemohon untuk tidak menggunakan atau
menggunakan external lawyer. Perusahaan besar, antara lain bank-bank besar,
biasanya memiliki legal department atau legal division yang tangguh dengan
banyak in-house lawyer yang tangguh. Mereka banyak yang sudah terbiasa
mengurus perkara litigasi perdata yang dihadapi oleh perusahaan yang
bersangkutan. Bagi perusahaan yang merasa perkara yang dihadapinya, baik
sebagai penggugat maupun tergugat, atau sebagai pemohon atau lermohon
permohonan pernyataan pailit, yang dirasa kurang untuk menghadapi atau
menanganinya sendiri, akan dengan sendiruya menunjuk dan menggunakan
external lawyer. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUK-PKPU, maka
slalam Pasal 7 ayat (2) UUK PKPU pasal tersebut. membentuk undang-undang
dengan tegas meniadakan keharusan untuk menggunakan jasa pengacara, manakala
pilak yang mohon pailit itu adalahı Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas
Pasar Modal (Bapepam), dan Menteri Keuangan.

H. Permohonan Pernyataan Pailit oleh Debitur Perseroan Terbatas

Ada ketentuan lain yang perlu dicermati dalam hal permohonan pernyataan
pailit yang diajukan oleh Debitur sendiri yang berbentuk hukum perseroan terbatas.
Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 104 ayat (1) UU No. 40 Tahu 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Menurut ketentuan tersebut, direksi tidak berwenang
mengajukan permohonan pernyataan pailit atas perseroan sendiri kepada
Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU. Dengan kata lain
direksi tidak berwonang untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada
Pengadilan Niaga untuk menyatakan perseroan yang dipimpinnya pailit tanpa
adanya keputusan RUPS. dengan demikian, Pengadilan Niaga wajib meminta
kepada advokat yang mewakili perseroan Debitur agar menyampaikan keputusan
RUPS yang dimaksud. Pengadilan Niaga wajib menolak permohonan pernyataan
pailit oleh Debitur yang berbentuk perseroan terbatas apabila permohonan
pernyataan pailit itu tidak didasarkan keputusan RUPS.

96 | P a g e
Dalam UU Perseroan Terbatas yang sebelumnya, hal tersebut diatur dalam Pa
sal 90 ayat (1) UUPT. Menurut ketentuan Pasal 90 ayat (1) UUPT lama, dalam hal
Debitur adalah suatu perseroan terbatas dan permohonan pernyataan pailit diajukan
oleh direksi perusahaan Debitur tersebut, direksi perusahaan Debitur tersebut dapat
mengajukan permohonan ke Pengadilan Niaga agar perusahaan Debitur dinyatakan
pailit hanya berdasarkan keputusan RUPS.

J. Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga

Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUK-PKPU, putusan atas


permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan sebagaimana
dimaksud dalam UUK-PKPU, ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, yaitu yang daerah
hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitur. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUK-PKPU tersebut, maka permohonan pernyataan
pailit oleh pihak-pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 UUK-PKPU harus ditujukan kepada
Pengadilan Niaga. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUK PKPU
tersebut, yang perlu diketahui adalah kepada Pengadilan Niaga mana permohonan
itu harus di alamatkan. Berikut ini dikemukakan ketentuan yang berkaitan dengan
kewenangan Pengadilan Niaga dalam memutus perniohonan pernyataan pailit.
Menurut Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUK-PKPU yang dimaksud dengan hal hal
lain" (dalam Pasal 3 ayat (1) UUK-PKPU), adalah antara lain, actio pauliana,
perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara di mana Debitur,
Kreditur, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang
berkaitan dengan Harta Pailit termasuk gugatan Kurator terhadap direksi yang
menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.
Lebih lanjut menurut Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUK-PKPU, hukum acara yang
berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk "hal-hal lain adalah sama dengan
Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit
termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaiannya

K. Permohonan Sita Jaminan

97 | P a g e
Undang-Undang Kepailitan tidak menganut ketentuan mengenai automatic
stay sejak diajukan dan didaftarkan permohonan pernyataan pailit oleh pengadilan
seperti yang berlaku dalam US Bankruptcy Code. Menurut undang-undang
Amerika Serikat itu, sejak permohonan pernyataan pailit diajukan kepada
pengadilan, berlaku apa yang disebut automatic stay atau automatic standstill, atau
yang dapat disebut keadaan diam otomatis" atau "keadaan diam demi hukum" Sejak
saat itu harta kekayaan Debitur tidak dapat dipindahtangankan. Ketentuan
mengenai automatic stay adalah untuk melindungi kepentingan para Kreditur
Undang-Undang Kepailitan menerapkan automatic stay atau automatic standstill
bukan sejak pernyataan pailit didaftarkan, tetapi sejak putusan pernyataan pailit
dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga. Dengan demikian, selama berlangsungnya
proses pemeriksaan oleh Pengadilan Niaga terhadap permohonan pernyataan pailit,
praktis tidak ada perlindungan yang berlaku demi hukum bagi para Kreditur dan
kemungkinan Debitur memindahtangankan harta benda Untuk panduan
perlindungan itu, Pasal 10 ayat (1) UUK PKPU memberikan ketentuanang
memungkinkan Kreditur Vessaan pemohon pernyataan pailit untuk

a. mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk


b. meletakkan di jaminan terhadap bagian atau seluruh kekayaan Debitur atau
c. menunjuk Kurator Sementara untuk
d. mengawasi pengelolaan usaha Debitur dan
e. mengawasi pembayaran kepada Kreditur, pengalihan atau pengguna
kekayaan Debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan
Kurator

Menurut Penjelasan Pasal 10 UUK PKPU, upayA pengamanan sebagaimana


dimaksud dalam ketentuan ini bersifat preventif dan sementara dan dimaksudkan
untuk mencegah kemungkinan bagi Debitur melakukan tindakan terhadap
Kekayaannya selling dapat merugikan kepentingan Kreditur dalam rangka
pelunasan utangnya Permohonan Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
UUK PKPU to hanya dapat dikabulkan oleh Pengadilan Niaga apabila hal tersebut
tidak dengan sendirinya atau wajib dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Permohonan

98 | P a g e
sita dan penunjukan Kurator sementara diperlukan guna melindungi kepentingan
Kreditur (Pasal 10 ayat (2) UUK PKPU, Menurut Pasal 10 ayat (3) UUK PKPU,
dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dikabulkan
pengadilan dapat namun tidak wajib) menetapkan syarat agar Kreditur pemohon
memberikan Jaminan dalam jumlah yang dianggap wajar oleh pengadilan.
Penjelasan Pasal 10 UUK PKPU mengemukakan, dalam menetapkan persyaratan
tersebut, pengadilan untara lain harus mempertimbangkan ada tidaknya Jaminan
atas keseluruhan kekayaan Debitur Jenis kekayaannya, dan besarnya jaminan yang
harus diberikan dibandingkan dengan kemungkinan besarnya keruglan yang
diderita oleh Debitur apabila permohonan pernyataan pailit ditolak pengadilan
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 197, 198, dan 199 HIR, siapakah yang
menjalankan sita jaminan tersebut? Bagaimana melaksanakan serta apa akibat
hukumnya menurut Undang Undang Kepailitan? Sita jaminan dijalankan sih
panitera Pengadilan Negeri. Bila ia berhalangan dapat digantikan oleh seorang yang
cakap atau dapat dipercaya yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri. Sita
jaminan tidak boleh diletakkan atas hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh
berguna bagi tersita untuk menjalankan pencahariannya sendiri.

9.1.2 Putusan Pailit Pengadilan Niaga

Pembentuk undang-undang menginginkan agar putusan pernyataan pailit


dapat diputuskan secepat mungkin dan secepatnya pula dapat dieksekusi. Salah satu
cara adalah dengan menentukan di dalam Pasal 8 ayat (1) UUK-PKPU bahwa
"Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi" Cara yang lain
adalah dengan menentukan, putusan Pengadilan Niaga yang merupakan putusan
tingkat pertama bersifat serta-merta atau uitvoerbaar bij voorraad.

A Pembuktian Secara Sederhana

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut Pasal 8 ayat (4) UUK-


PKPU: Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan

99 | P a g e
yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal z ayat (g) telah dipenuhi Apakah yang
dimaksudkan dengan terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU Dalam Penjelasan Pasal
8 ayat (1) UUK PKPU tersebut dikemukakan: Yang dimaksud dengan fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana adalah fakta dta atau lebih kreditur dan
fakta utang yang telah jatuh waktu dan u dak dibayar Mapun perbedaan besarnya
jumlah uang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak
menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit pertanyaan yang timbul
sehubungan dengan Pasal 8 ayat (1) UUK-PKPU tersebut apakah pun itu harus
diartikan apabila tidak terdapat "fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana,
maka permohonan pernyataan pailit itu harus ditolak oleh Pengadilan Negeri
Dengan kata lou, apakah untuk perkara pembayaran utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih yang fakta dan keadaannya tidak dapat dibuktikan secara
sederhana, maka perkara tersebut tidak dapat diajukan sebagai perkara kepailitan
kepada pengadilan niaga karena perkara yang demikian itu merupakan yurisdiksi
dari Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa)? Berkaitan dengan pertanyaan
tersebut di atas, Mahkamah Agung RI dalam putusan No. 32K/N/1999 dalam
perkara kepailitan antara PT Bank Internasional Infonesia, Tbk. melawan (1) Abu
Hermanto, (2) Wahyu Budiono, dan (3) PT Surya Andalas Corporation berpendapat
bahwa apabila pembuktian tidak sederhana, maka pokok senketa masik harus
dibuktikan di Pengadilan Negeri. Dalam pertimbangannya, antara lain Majelis
Hakim Kasasi dalam perkara tersebut mengemukakan:

Baliwa permohonan pernyataan pailit tidak memenuhi syarat Pasal 6 ayat )


Perpu No. 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan
undang-undang No. 4 tahun 199 n karena pembuktian ternyata tidak sederhana
(sekarang Pasal 2 ayat (A) UU-PKPU, penuli) dalam kasus ini ternyata berkaitan
dengan hukum Inggris (sesual dengan perjanjian antara Pemohon dan Termohon
Kasasi) sehingga tentang pokok sengketa harus masih dibuktikan di Pengadilan
Negeri (Perdata) Penulis berpendapat, pendirian Majelis Hakim kasasi dalam
perkara pailitan tersebut di atas keliru sehingga karena itu perlu dipertanyakan.

100 | P a g e
Pasal B ayat (O) UUK PKPU sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa apabila
permohonan pernyataan pailit tidak terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana atau dengan kata lain fakta dan keadaannya tidak dapat dibuktikan secara
sederhana. mengakibatkan bahwa perkara tersebut tidak dapat diperiksa dan
diputuskan oleh Pengadilan Niaga. Apabila Pasal 8 ayat (1) UUK-PKPU tersebut
ditafsirkan seperti itu, maka samalah artinya bahwa pada perkara utang piutang
yang sangat ruwet (complicated) dan yang pembuktian fakta dan keadaannya tidak
dapat dilakukan Cara sederhana, antara lain perkara kredit sindikasi perbankan,
menjadi tidak mungkin bagi Krediturnya untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit terhadap Debitur. Kalau untuk perkara utang piutang yang sangat
ruwet itu tidak dapat diajukan sebagai perkara kepailitan kepada Pengadilan Niaga,
maka menjadi tidak PENGADILAN KETUPAT ada artinya ketentuan Pasal 1131
KUH Perdata yang merupakan sumber hukum kepailitan. Penafsiran yang demikian
itu mengakibatkan Kreditur dari kredit perbankan yang ruwet, yaitu bank-bank
menjadi terpatung haknya untuk dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit.
Hal ini sangat tidak adil. Menurut Penulis, bahwa Pasal B Ayat (1) UUK PKPU
hanyalah bertujuan mewajibkan hakim untuk tidak menolak (wajib mengabulkan
permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat dibuktikan secara
sederhana fakta dan keadaannya yaitu fakta dan keadaan yang merupakan syarat
kepailitan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, Akan tetapi,
bukanlah berarti bahwa apabila ternyata dalam perkara yang diajukan permohonan
pernyataan pailitnya itu tidak dapat dibuktikan secara sederhana fakta dan
keadaannya, maka Majelis Hakim Peng adilan Niaga atau Majelis Hakim Kasasi di
Mahkamah Agung wajib menolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara
kepailitan berdasarkan pertimbangan bahwa perkara yang demikian itu merupakan
kewenangan Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa), Majelis Hakim
Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Kasasi di Mahkamah Agung wajib tetap
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit yang fakta dan keadaannya
tidak sederhana. Tegasnya, sekalipun fakta dan keadaan yang tidak dapat
dibuktikan secara sederhana tetap menjadi tanggung jawab Majelis Hakim
Pengadilan Niaga. Bukan karena fakta dan keadaan tidak sederhana, maka Majelis

101 | P a g e
Hakim Kepailitan harus menetapkan bahwa perkara tersebut bukan perkara yang
menjadi wewenang Pengadilan Niaga tetapi Pengadilan Negeri atau Majelis Hakim
Kepailitan harus terlebih dahulu mempersilakan para pihak untuk meminta putusan
Pengadilan Negeri (pengadilan perdata biasa) mengenai fakta dan keadaan pokok
perkaranya. Alasan Penulis bahwa Majelis Hakim Pengadilan Niaga harus tetap
memeriksa perkara kepailitan dan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
memutuskan perkara tersebut karena bunyi Pasal 8 ayat (1) UUK PKPU bukan
menggunakan frasa "Permohonan pailit harus ditolak (oleh Pengadilan Niaga),
apabila terdapat fakta atau keadaan yang tidak terbukti secara sederhana untuk
dinyatakan pailit seba gaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi,
tetapi menggunakan frasa "Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi

B. Dissenting Opinion dari Ketua/Anggota Majelis Hakim

UUK PKPU mengambil sikap bahwa dibenarkan atau diperbolehkan apabila


ketua atau anggota Majelis Hakim yang memeriksa perkara permohonan
pernyataan pailit tersebut memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion)
dengan anggota lainnya. Hal itu dapat diketahui dari Pasal 8 ayat (6) hururfb UUK-
PKPU. Menurut Penjelasan Pasal 8 ayat (6) hurub UUK-PKPU, bahkan
pertimbangan hukum atau pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dari hakim
anggota atau ketua Majelis Hakim (harus) dimuat sebagai lampiran dari putusan
pengadilan tersebut Antara Pasal 8 ayat (6) huruf b UUK PKPU dan penjelasannya
terasa kort tradisi. Menurut Penjelasan Pasal 8 ayat (6) UUK PKPU pendapat yang
berbeda tersebut wajib dimuat dalam putusan pengadilan (putusan Majelis Hakim),
sedangkan di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (6) UUK PKPU pendapat yang berbeda
itu dimuat sebagai lampiran dari putusan pengadilan tersebut

9.1.3 Daya Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga

UUK-PKPU menentukan putusan Pengadilan Niaga (putusan pengadilan


tingkat pertama diberi daya "serta-merta atau uitvoerbaar bij voorraad, Artinya,

102 | P a g e
sekalipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap tetapi putusan
itu telah seketika dapat dilaksanakan oleh Kurator sekalipun terhadap putusan itu
dilakukan upaya hukum berupa kasasi atau peninjauan kembali. Sifat putusan
Pengadilan Niaga yang demikian itu ditentukan oleh ketentuan Pasal 8 ayat (7) dan
Pasal 16 ayat (1) UUK-PKPU, Ditentukan oleh Pasal 8 ayat (7) UUK-PKPU
sebagai berikut Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari
putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu
upaya hukum. Menurut Pasal 16 ayat (1) UUK-PKPU, terhitung sejak tanggal
putusan pernyataan pailit ditetapkan, Kurator berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

A. Keharusan Kurator Mengumumkan Putusan Pailit Debitur

Menurut Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU, dalam putusan pernyataan pailit,


harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari hakim
pengadilan. Berkaitan dengan putusan pernyataan pailit tersebut, menurut Pasal 15
ayat (4) UUK-PKPU, dalam jangka waktu paling lambat lima hari setelah tanggal
putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas, Kurator
mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dux
surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, mengenai ikhtisar
putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut

a. nama, alamat, dan pekerjaan Debitur;


b. nama Hakim Pengawas;
c. nama, alamat, dan pekerjaan Kurator,
d. nama, alamat, dan pekerjaan anggota Panitia Kreditur sementara, apabila
telah ditunjuk; dan
a. tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditur.

103 | P a g e
Berkenaan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU yang mewajibkan
Kurator mengumumkan ikhtisar putusan pernyataan pailit tersebut dalam Berita
Negara Republik Indonesia dan paling sedikit dua surat kabar harian, Penjelasan
Pasal 15 ayat (4) UUK-PKPU mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
"paling sedikit dua surat kabar harian" adalah:

1. surat kabar harian yang beredar secara nasional; dan


2. surat kabar harian lokal yang beredar di tempat domisili Debitur.

Dengan dilaksanakannya pengumuman tersebut, masyarakat luas menjadi


tahu bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) juncto Pasal 69 ayat (1) UUK
PKPU bahwa dengan diputuskannya Debitur pailit, maka Debitur tidak lagi
memiliki kewenangan hukum untuk melakukan tindakan hukum berkaitan dengan
harta kekayaannya. Segala perbuatan hukum berkenaan dengan harta Debitur
tersebut harus dilakukan oleh atau melalui Kurator.

B. Pengaruh Pelaksanaan Eksekusi dalam Penolakan Pailit Tingkat


Kasasi atau PK

Berkenaan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUK PKPU tersebut timbul
masalah hukum yang mendasar. Apabila terhadap putusan tersebut dilakukan upaya
hukum berupa kasasi atau peninjauan kembali dan Mahkamah Agung Rf
mengabulkan upaya hukum tersebut tetapi sementara itu Kurator telah melakanakan
tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit, misalnya telah menjual
actagtan dari Harta Pailit itu, bagaimana nasib barang Debitur yang telah dibeli oleh
orang lain itu? Bagaimana pula niasib pembeli, apakah pembeli diwajibkan untuk
mengent balikan barang yang telah dibelinya kepada Debitur? Bagaimana pula
hatinya apabila barang tersebut telah terlanjur dijual oleh pembeli kepada pihak lain
lagif Apakal pihak lain itu juga berkewajiban untuk mengembalikan barang itu
kepada penjualnya (kepada pembeli pertama yang membeli barang itu dari Kurator
atau wajit mengembalikan langsung kepada Debitur? Hila pembeli atau pihak lain
yang telali menjadi pembeli tingkat kedua diwajibkan untuk mengembalikan barang
yang telah dibelinya itu, bukanlah akan timbul ketidakpastian hukum liagt pembeli

104 | P a g e
Flora Pailit berdasarkan putusan serta-merta yang diambil oleh Pengadilan NiagA
(pengadilan tingkat pertama), Bukankah semestinya apabila hukum memberikan
jaminan kepastian hukum bagi pembeli, lebih-lebih lagi bagi pembeli yang
beriktikad balk. Bukapankah kepastian hukum memang merupakan salah satu
tujuan hukum Berkenaan dengan pertanyaan itu, bagaimana sikap UUK? Jawaban
atas masalah hukum tersebut di atas diberikan oleh ketentuan Pasal 16 Ayat (2)
UUK PKPU. Menurut Pasal 16 ayat (2) UUK PKPU, dalam hal putusan pernyataan
pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali segala
perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurafor
menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 UUK PKPU, tetap sah dan inengikat bagi Debitur. Sehubungan
dengan pendirian UUK PKPU sebagaimana ditentukan oleh Pasal 16 ayat (2) UUK
PKPU tersebut, maka dengan demikian pembeli tidak berkewajiban
mengembalikan burung yang telah dibelinya dengan kata lain yang bersangkutan
boleh tetap memiIkinya, dan berhak memindahtangankan barang tersebut kepada
pihak lain. Tanpa adanya ketentuan Pasal 16 ayat (2) UUK-PKPU itu, maka
ketentuan Pasal 12 ayat (1) UUK PKPU yang memberi sifat serta-merta kepada
putusan Pengadilan Niaga (putusan pengadilan tingkat pertama) tidak mempunyai
arti yuridis apa pun. Sehubungan dengan sikap UUK PKPU sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Pasal 16 ayat (2) UUK-PKPU tersebut, maka memang tidak dapat
dihindari kemungkinan terjadinya kerugian yang sangat fatal bagi kelangsungan
usaha Debitur setelah pembatalan putusan pernyataan pailit oleh Mahkamah Agung
RI. Tidak mustahil yang telah berhasil dijual oleh Kurator justru adalah harta utaina
yang mutlak dipertukan bagi operasi kegiatan usaha Debitur, karena tanpa
dimilikinya harta atau barang tersebut mustahil bagi Debitur untuk dapat
meneruskan lagi kegiatan bisnis wy. Misalnya usaha Debitur, adalah perhotelan dan
Harta Pailit Debitur adalah sehah hotel Apabila yang berhasil dijual oleh Kurator
adalah gedung hotel itu, maka mustahil bagi Debitur untuk dapat meneruskan usaha
perhotelannya setelah putusan pernyataan pailit mo dibatalkan oleh Mahkamah
Agung RI. Misalnya pula usaha Debitur, adalalh bidang manufaktur semen dan
Debitur memiliki sebuah pabrik semen. Apabila yang berhasil dijual oleh Kurator

105 | P a g e
adalah pabrik semen yang merupakan hewan dari Harta Pailit Debitur, maka
mustahil bagi Debitur untuk dapat melanjut kan kegiatan usahanya di bidang
manufaktur semen. Mengenai hal ini VUK-PKPU tidak menyikapinya. Seakan
akan UUK-PKPU bersikap bahwa hal yang demikian itu adalah nasib buruk Debitur
yang harus dipikulna

9.2 MAHKAMAH AGUNG: KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sesuai dengan ketentuan


Pasal 8 ayat (7) UUK PKPU, putusan pernyataan pailit terhadap Debitur oleh
Pengkeadilan Niaga mempunyai daya sementa Akan tetapi, terhadap putusan itu
masih dapat dinaikan supaya hukum Dengan pertimbangan prosan pailit harus
dapat dijalankan secepat-cepatnya bukan saja putusan Pengadilan Niaga (putusan
pengadilan tingkat pertama) diberi daya serta merta, tetapi juga upaya hukum yang
dapat diajukan terhadapnya adalah langsung berupa kasasi ke Mahkamah Agung
RL Dengan kata lain tidak melalui pemeriksaan banding pengadilan tinggi terlebih
dahulu. Namun demi keadilan terhadap putusan kasasi tersebut masih dapat
diajukan peninjauan kembali

9.2.1 Kasasi

A Upaya Hukum Kasasi

Terhadap putusan Pengadilan Niaga baik yang menyangkut permohonan per


nyataan pailit maupun menyangkut permohonan PKPU, dapat dilakukan upaya
hukum. Upaya hukum yang dimaksud berupa kasasi kepada Mahkamah Agung RI
Demikianlah ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 256 UUK-PKPU. Dengan
kata lain, terhadap putusan Pengadilan Niaga itu tidak dapat diajukan upaya
banding ke pengadilan tinggi. Siapakah yang dapat mengajukan permohonan
kasasi? Menurut Pasal 1 ayat (2) UU PTUN, permohonan kasasi dapat diajukan
oleh

1. Debitur dan
2. Kreditur yang merupakan pihak dalam persidangan tahap pertama

106 | P a g e
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUK PKPU ternyata tidak hanya memberikan
kesempatan kepada Kreditur yang merupakan pihak dalam persidangan tahap per
tama (yai persidangan Pengadilan Niaga) untuk dapat mengajukan kasasi tetapi
juga Kreditur in yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama
yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut.
Ketentuan ini sangat melegakan, terutama bagi dunia perbankan oleh karena tidak
muntah di bank-bank yang merupakan Kreditur besar akan dirugikan karena ulah
Kreditar dll yang menggunakan kesempatan mengajukan permohonan pernyataan
pailit kepada Debitur yang pada hakikatnya belum Insolven

107 | P a g e
BAB X

BERBAGAI AKIBAT KEPAILITAN

Ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh keputusan pailit. Akibat
Yang terutama adalah terhadap kewenangan hukum Debitur untuk mengelola harta
kekayaannya Dengan adanya putusan pailit, maka harta kekayaan Debitur dikenai
Sita Umum. Status hukum harta kekayaan Debitur yang dikenai Sita Umum
selanjutnya dalam peristilahan hukum kepailitan Indonesia disebut Harta Pailit atau
Budel Pailit. Kata "budel berasal dari kata "boedel" dalam bahasa Belanda. Kata
Harta Pailit atau Budel Pailit dalam bahasa Belanda adalah "Failliet Boedel. Dalam
bahasa Inggris "boedel" (boedel) disebut "estate" Dalam bahasa Inggris Harta Pailit
atau Budel Pailit disebut "Bankrupt Estate" Bukan hanya terhadap harta kekayaan
Debitur saja putusan pailit menimbulkan akibat. Ada beberapa akibat lain
berkenaan dengan kehidupan Debitur. Beberapa akibat yang dimaksud akan
dijelaskan di bawah ini.

10.1 TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR

Putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta kekayaan Debitur sejak


putusan itu dikeluarkan dimasukkan ke dalam harta pailit. Dengan kata lain, akibat
putusan pailit dan sejak putusan itu, harta kekayaan Debitur berubah statusnya
menjadi harta pailit. Terhadap Harta Pailit itu berlaku sita umum dan Debitur tidak
lagi berwenang untuk mengurus dan melakukan perbuatan hukum apa pun yang
menyangkut hartanya itu. Debitur telah dinyatakan berada di dalam pengampuan
sepanjang yang menyangkut harta kekayaannya pengampunya adalah Kurator.

10.1.1 Harta Debitur yang Termasuk harta Pailit

Menurut Pasal 21 UUK PKPU, Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Detur


baik yang sudah ada pada saat pernyataan pailit diucapkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Niaga serta segala sesuatu yang baru akan diperoleh oleh Debitur sama
berlangsungnya kepailitan. Pengertian yang dimaksudkan selama berlangsungnya
kepailitan adalah sejak putusan pailit diucapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Niaga sampai dengan selesainya tindakan pembubaran atau likuidasi oleh Kurator

108 | P a g e
Lengkapnya bunyi Pasal 21 UUK-PKPU adalah sebagai berikut: Kepailitan
meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan
serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan Ketentuan Pasal 21 UUK
PKPU tersebut merupakan pelaksanaan dari dan oleh karena itu sejalan dengan
ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata. Sebagaimana diketahui, menurut ketentuan
Pasal 1131 KUH Perdata, seluruh harta kekayaan Debitur, baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di
kemudian hari menjadi tanggungan (agunan) bagi seluruh utang Debitur.

10.1.2 Harta Debitur yang Tidak Termasuk Harta Pailit

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 21 UUK-PKPU tersebut bukan
tanpa pengecualian. Artinya, ada di antara harta kekayaan Debitur ada maupun yang
baru akan ada di kemudian hari yang tidak dimasukkan ke dalam harta pailit
Menurut Pasal 184 ayat (3) UUK-PKPU, Debitur pailit dapat diberikan sekadar
perabot rumah dan perlengkapannya, alat-alat medis yang digunakan untuk kese
hutan, atau perabot kantor yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. Ketentuan Pasal
184 ayat (3) UUK-PKPU tersebut merupakan aspek kemanusiaan dari UUK-PKPU.
Dengan kata lain, Pasal 184 ayat (3) UUK-PKPU memberikan pengecualian bahwa
ada dari di antara Harta Pailit yang tidak akan dijual oleh Kurator. Pengecualian
yang lain adalah apabila Debitur merupakan perusahaan dan diharapkan masih akan
tetap menjalankan usahanya setelah tindakan pemberesan oleh Kurator. Menurut
Pasal 184 ayat (2) UUK-PKPU, Harta Pailit perusahaan yang boleh dijual oleh
Kurator hanya benda-benda yang tidak diperlukan untuk keperluan meneruskan
perusahaan

10.1.3 Harta Pailit Menurut US Bankruptcy Code

US Bankruptcy Code mengenal pula pengecualian sebagaimana Pasal 22


UUK PKPU. Menurut US Bankruptcy Code, seluruh harta (property) Debitur
dengan putusan bankrupt terhadap Debitur menjadi property of the estate. Terhadap
property of the estate itu Debitur diperbolehkan untuk meminta pengecualian agar

109 | P a g e
terhadap harta kekayaan tertentu miliknya tidak menjadi property of the estate.
Demikian menurut Section 522(b) (1) "Property of the estate adalah istilah yang
dipakai oleh US Bankruptcy Code yang merupakan padanan bagi istilah "harta
pailit yang digunakan dalam UUK-PKPU. Bila diberikan pengecualian, pada
umumnya Debitur diperbolehkan untuk tetap memiliki harta kekayaan yang
dikecualikan itu. Artinya. harta yang dikecualikan itu tidak didistribusikan kepada
para Kreditur dan dilindungi terhadap tagihan yang diajukan oleh para Kreditur.
Namun demikian, pengecualian itu tidak berlaku bagi empat kelompok Kreditur
yaitu:

1. Para Kreditur yang memiliki tagihan pajak yang belum dibebaskan (belum
memperoleh discharge) berdasarkan ketentuan Section 523(a)(1).
2. Suami atau istri, bekas suami atau istri dan anak-anak dari Debitur yang
memi liki tagihan dalam negeri (domestic claim) yang belum dibebaskan
(belum memperoleh discharge) berdasarkan ketentuan Section 523(a)(5).
3. Para Kreditur yang memiliki tagihan yang timbul setelah diajukannya
permohonan pernyataan pailit.
4. Para Kreditur pemegang Hak Jaminan (liens) yang dibebankan atas harta
kekayaan yang tagihannya belum bebas karena pelunasan (redemption).

Apabila menurut UUK-PKPU berubahnya status harta kekayaan Debitur


menjadi Harta Pailit terjadi seketika setelah adanya putusan pailit Pengadilan
Niaga. Ketentuan tersebut berlaku sekalipun putusan tersebut belum memiliki
kekuatan hukum yang tetap karena terhadap putusan tersebut masih dapat diajukan
kasasi atau PK

10.2.1 Terhadap Debitur Pailit:

Pasal 24 ayat (1) VUK-PKPU menentukan, Debitur pailit demi hukum keta
Jangan hak untuk mengurus 'an menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit,
sejak hari putusan pailit diucapkan. Harus dicermati bahwa dengan diputuskannya
menjadi Debitur pailit, bukan berarti Debitur kehilangan hak keperdataannya

110 | P a g e
(komen handelingsbevoegdheid) untuk dapat melakukan semua perbuatan hukum
di bidang keperdataan. Debitur pailit hanya kehilangan hak keperdataannya untuk
mengurus dan menguasai kekayaannya. Sementara itu, untuk melakukan perbuatan
Keperdataan lainnya-misalnya untuk melangsungkan pernikahan dirinya
mengawinkan anaknya sebagai wali, membuat perjanjian nikah, menerima hibah
(sekalipon hibah tersebut demi hukum menjadi bagian harta pailit), mengurus harta
kekayaan pihak lain, menjadi kuasa pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum
ustuk dan atas nama pemberi kuasa-Debitur masih berwenang (masih memiliki
kematpuan hukum) untuk melakukan perbuatan keperdataan tersebut. Dengan
demikian sejak putusan pernyataan pailit diucapkan hanya harta kekayaan Debitur
pailit yang berada di bawah pengampuan (di bawah penguasaan dan pengurusan
pihak lain) sedangkan Debitur pailit itu sendiri tidak berada di bawah pengampuan
seperti yang terjadi terhadap anak di bawah umur atau orang yang sakit jiwa yang
dinyatakan berada di bawah pengampuan. Apa akibat terhadap kekuasaan pengurus
perusahaan Debitur atau badan hakum lainnya berkenaan dengan putusan
pernyataan pailit oleh pengadilan? Sebagai akibat putusan tersebut, kekuasaan
direksi suatu perseroan terbatas dan badan bekum lainnya untuk mengelola
perusahaan Debitur atau badan hukum tersebut "terbadan-badan hukum lainnya itu
menjadi functus officio. Segala sesuatunya diputus dan dilaksanakan oleh Kurator.
Mereka tidak memiliki kendali terhadap Kurator sebaliknya mereka harus
mematuhi petunjuk dan perintah Kurator (bandingkan dengan putusan pengadilan
Inggris dalam perkara Meigh v. Wickenden, (19421 2 K.B. 160, dan lihat juga
putusan pengadilan Inggris dalam perkara Ke Emmandart Ltd. (1979] Ch. 540 at
544. Juga lihat putusan pengadilan Inggris dalam perkara Federal Business
Development! Bank v. Shearwater Marine 1979102 D.L.R. (3d) 257., yang
menyatakan "The directors certainly lose their powers if the receiver is appointed
by the court", dan Re Scottish Propereis Pty Ltd. (1977) 2A.C.L.R. 264 yang
menyatakan "A receiver does not need the permission of the directors before
excerting power"

10.2.2 Terhadap Kekayaan Debitur Pailit.

111 | P a g e
Kekayaan Debitur pailit yang masuk Harta Pailit berada di bawah sita umum.
Artinya, penyitaaan tersebut berlaku untuk siapa pun, bukan hanya berlaku bagi
pihak tertentu seperti halnya sita jaminan yang diputuskan oleh hakim perdata
berkenaan dengan permohonan penggugat dalam sengketa perdata. Menurut Pasal
2I UUK-PKPU, Harta Pailit meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh Debitur
pailit.selama kepailitan (kecuali yang secara tegas dinyatakan oleh UUK-PKPU
dikeluarkan dari harta pailit). Demi pertimbangan kemanusiaan terhadap Debitur
(Debitur perorangan), ada barang-barang milik Debitur pailit yang oleh UUK-
PKPU dikecualikan dari harta pailit. Artinya, ada sebagian barang-barang milik
Debitur yang tidak dimasukan sebagai harta pailit. Barang-barang yang tidak
termasuk Harta Pailit ditentukan oleh Pasal 22 UUK-PKPU. Menurut Pasal 22
UUK-PKPU, barang atau benda milik Debitur pailit yang dikecualikan dari Harta
Pailit adalah:

1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitur


sehubungan dengan pekerjaannya perlengkapannya, alat-alat medis yang
digunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
digunakan oleh Debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga
puluh) hari bagi Debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
2. segala sesuatu yang diperoleh Debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai
peng gajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu
atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau,
3. uang yang diberikan kepada Debitur untuk memenuhi suatu kewajiban mem
beri nafkah menurut undang-undang.

Menurut Pasal 23 UUK-PKPU,"Debitur pailit" sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 21 dan Pasal 22 UUK-PKPU termasuk juga istri atau suami dari Debitur pailit
yang menikah dalam persatuan harta (suami-istri yang menikah tanpa membuat
perjanjian nikah yang menentukan bahwa terjadi pemisahan harta antara harta
suami dan harta istri, baik yang telah ada ataupun yang akan diperoleh oleh masing

112 | P a g e
masing di kemudian hari, sehingga dengan demikian harta suami dan harta istri
bergabung dan menyatu). Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUK-PKPU tersebut,
maka harta kekayaan istri atau suami dari Debitur pailit termasuk harta pailit.

10.2.3 Terhadap Perikatan Debitur

Semua perikatan Debitur yang terbit (yang timbul) sesudah putusan


pernyataan pailit diucapkan tidak lagi dapat dibayar (dipenuhi) dari harta pailit,
kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit. Demikian ditentukan dalam
Pasal 25 UUK-PKPU. Adakah perikatan yang seharusnya dibayar dari atas beban)
Harta Pailit yang menguntungkan harta pailit? Penjelasan Pasal 25 UUK-PKPU
tidak memberikan contoh-contohnya. Pengertian tidak lagi dapat dibayar dari harta
pailit" adalah atas beban harta pailit". Ada tiga hal yang harus diperhatikan
berkenaan dengan penerapan Pasal 25 UUK-PKPU tersebut, yaitu:

1. Ketentuan tersebut tidak hanya meliputi perikatan yang timbul dari


perjanjian saja, tetapi juga yang timbul dari undang-undang. Sudah tentu
termasuk yang timbul dari putusan hakim, baik hakim perdata untuk
membayar ganti rugi maupun putusan hakim pidana untuk membayar
pidana denda (kepada negara).
2. Perikatan tersebut hanya meliputi perikatan yang terbit (timbul) sesudah
putusan pernyataan pailit diucapkan
3. Mengingat frasa yang digunakan adalah tidak lagi dibayar dari harta pailit"

maka Pasal 25 UUK-PKPU tersebut hanya meliputi perikatan yang menimbul


kan kewajiban Debitur untuk membayar utang seperti yang dimaksud dalam pasal
1 angka 6 UUK-PKPU. Artinya, hanya berupa "kewajiban yang dinypakan atau
dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesla maupun mata
uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
kontinjen. yang timbul karena perjanjian atau undang-unJang dan yang wajib
dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur Dengan demikian, Pasal 25
VUK PKPU tersebut tidak meliputi hak Debitar pailit untuk memperoleh satu atau

113 | P a g e
memperoleh pembayaran dari pihak lain, karena hak tersebut bukan merupakan
utang Debitur tetapi merupakan piutang (tagihan) Debitur Sebagai konsekuensi
hukum dari Pasal 25 UUK-PKPU, apabila setelah putusan pernyataan pailit Debitur
masih juga tetap melakukan perbuatan hukum yang menyangkut harta kekayaannya
yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit, maka perbuatan hukum itu tidak
mengikat kecuali apabila perikatan yang dibuatnya itu mendatangkan keuntungan
bagi Harta Pailit tersebut.

10.2.4 Terhadap Penetapan Pengadilan Sebelumnya

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU. putusan pernyataan


pailit berakibat bahwa segala penetapan yang berkenaan dengan pelaksanaan
putusan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitur yang telah
dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu
putusan yang dapat dilakukan termasuk atau juga dengan menyandera Debitur.

10.2.5 Terhadap Penyitaan

Keputusan pernyataan pailit berakibat semua penyitaan yang telah dilakukan


menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan
pencoretannya. Demikian ditentukan Pasal 31 ayat (2) UUK-PKPU. Penjelasan
Pasal 31 ayat (2) UUK-PKPU mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan jika
diperlukan Hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya antara lain
pencoretan Terhadap penyitaan tanah atau kapal yang terdaftar.

10.2.6 Terhadap Penahanan Debitur

Menurut ketentuan Pasal 31 ayat (3) UUK-PKPU, dengan tidak mengurangi


berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalanı Pasal 93 UUK-PKPU. Debitur
yang sedang dalam pertahanan harus dilepaskan ketika setelah putusan pernyataan
pailit diucapkan. Penahanan yang dimaksudkan di sini menurut Penjelasan Pasal 31
ayat (3) UUK PKPU adalah gijzeling

10.2.7 Terhadap Kewajiban Pembayaran Uang Paksa

114 | P a g e
berlangsungnya kepailitan, menurut Pasal 32 UUK PKPU, Debiturk
dikenakan uang paksa. Maksud pasal ini, ialah apabila sebelumnya Debitur
dikenakan uang paksa sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan harus dibayar
oleh Debitur, maka dengan adan debitur, maka dengan adanya putusan pailit
tersebut Debitur tidak perlu lagi membayar uang paksa tersebut Menurut Penjelasan
Pasal 32 UUK-PKPU uang Data dalam ketentuan pasal ini mencakup uang palsa
yang dikenakan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

10.2.8 Terhadap Penjualan Bonda Milik Debitur

Ketentuan Pasal 33 UUK PKPU menentukan bahwa dalam hal sebelum


putuson pernyataan pailit diucapkan, penjualan benda milik Debitur baik bergerak
maupun tidak bergerak dalam rangka eksekusi sudah sedemikian jauhnya hinge
harpenjualan benda itu sudah ditetapkan, maka dengan izin Hakim Pengawas,
Kurator dapat meneruskan penjualan intan tanggungan harta pailit. Penjelasan Pasal
13 UUR-PKPU menentukan bahwa hasil penjualan benda milik Debitur masuk
dalam Harta Pailit dan tidak diberikan kepada pemohon eksekusi

10.2.9 Terhadap Perjanjian Pemindahtanganan

Menurut Pasal 34 UUK PKPU, kecuali ditentukan lain dalam undang undang
ini perjanjian yang bermaksud memindahtangankan hak atas tanah, balik namapal,
pembebanan hak tanggungan, hipotek, atau jaminan fidusia yang telah
diperjanjikan terlebih dahulu, tidak dapat dilaksanakan setelah putusan pernyataan
pailit diucapkan

10.2.10 Terhadap Perjanjian-perjanjian Tertentu

Oleh UUK PKPU diatur akibat kepailitan terhadap perjanjian tertentu.


Perjanjian yang dimaksud dengan akibat putusan pernyataan pailit terhadap
perjanjian Itu adalah sebagai berikut:

A Terhadap Perjanjian Timbal Balik

Pasal 36 ayat (1) UUK-PKPU menentukan dalam hal pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru

115 | P a g e
sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan Debitur dapat
meminta kepada Kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan
pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator
dan pihak tersebut. Bagaimana halnya apabila antara Kurator dan pihak tersebut
tidak mencapai keke pakatan mengenai jangka waktu pelaksanaan perjanjian itu?
Oleh Pasal 36 ayat (2) UUK-PKPU ditentukan apabila kesepakatan mengenai
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, Hakim Pengawas
menetapkan jangka waktu tersebut. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Kurator tidak memberikan jawaban atau tidak
bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut, Pasal 36 ayat (3) UUK-
PKPU menentukan perjanjian berakhir dan pihak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai Kreditur konkuren.
Menurut Pasal 36 ayat (4) UUK-PKPU, apabila Kurator menyatakan
kesanggupannya maka Kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan untuk
melaksanakan perjanjian tersebut Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2). ayat (3), dan ayat (4) tidak berlaku terhadap perjanjian yang mewajibkan
Debitur melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan. Demikian menurut Pasal
36 ayat (5) UUK-PKPU Sementara itu, Pasal 37 ayat (1) mengemukakan bahwa
apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UUK-PKPU telah
diperjanjikan penyerahanbenda dagangan yang biasa diperdagangkan dengan suatu
jangka waktu dan pihakyang harus menyerahkan benda tersebut sebelum
penyerahan dilaksanakan di nyata kan pailit, maka perjanjian menjadi hapus dengan
diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan
karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai
Kreditur konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Dalam hal Harta Pailit dirugikan
karena penghapusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 ayat (1) UUK PKPU,
ditentukan oleh Pasal 37 ayat (2) UUK-PKPU bahwa pihak lawan wajib membayar
ganti kerugian tersebut

B. Terhadap Perjanjian Sewa

116 | P a g e
Dalam Pasal 38 ayat (1) UUK-PKPU ditentukan bahwa dalam hal Debitur
telah menyewa suatu benda maka baik Kurator maupun pihak yang menyewakan
benda,dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat pemberitahuan
penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat
kebiasaan setempat. Pasal 38 ayat (2) UUK-PKPU mensyaratkan dalam hal
melakukan penghentian Sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diindahkan
jangka waktu pemberitahuan penghentian menurut perjanjian. Apabila dalam
perjanjian sewa tersebut tidak ditentukan jangka waktunya, Pasal 38 ayat (2) UUK-
PKPU tersebut menentukan paling singkat adalah 90 hari karena jangka waktu
tersebut menurut kelaziman merupakan jangka waktu yang dianggap patut.

10.2.14 Terhadap Transfer Dana dan Transaksi Efek

Tidak mustahil ketika putusan pailit diucapkan oleh Majelis Hakim


Pengadilan Niaga, terdapat transfer data oleh Debitur pailit kepada pihak lain, baik
yang dikukan melalui bank atau lembaga lain yang melakukan misalnya putan
Kiriman uang Tidak mustahil pula ketika itu telah terjadi transaksi efek di bursa
efilk yang mengakibatkan beralihnya saham atau obligasi yang dimiliki oleh
Debitur kepada pihak lain. Bagaimana nasib atau status hukum dari transaksi
tersebut Mengenai transaksi tersebut. Pasal 24 ayat (3) UUK PKPU menentukan
bahwa dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan
fradana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal pantun seguimd
maksud pada ayat (1), transfer tersebut wajib diteruskan. Sementara itu, Pasal 24
ayat (1) UUK PKPU menentukan bahwa dalam hal sebelum putusan perwatan pailit
diucapkan telah dilaksanakan transaksi efek di bursa efek, maka trans fer sebut
wajib diselesaikan Penjelasan Pasal 24 ayat (3) UUK PKPU mengemukakan bahwa
transfer dana melalui bank perlu dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan
kepastian sistem transfer melalui bank Sementara itu, Penjelasan Pasal 24 ayat (6)
UUK-PKPU mengemukakan bahwa transaksi cek di bursa efek perlu dikecualikan
untuk menjamis kelancaran dan kepastian hukum atas transaksi efek di bursa efek.
Adapun peydesaian transaksi cek di bursa efek dapat dilaksanakan dengan cara

117 | P a g e
penyelesatan pembukuan atau cara lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal

BAB XI

KURATOR, HAKIM PENGAWAS, DAN PANITIA KREDITUR

Setelah putusan pailit dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga untuk Indonesia,


maka ditetapkan Kurator dan Hakim Pengawas oleh Pengadilan Niaga. Kurator
adaih otoritas yang selanjutnya akan melakukan pengelolaan terhadap Harta
Kekayaan Debitur setelah dengan putusan pailit Debitur tidak memiliki
kewenangan lagi untuk mengelola kekayaannya dan untuk Harta Kekayaan Debitur
telah berada dalam Sita Umum. Kurator yang akan melakukan likuidasi Harta
Kekayaan Debitur dan membagikan hasil Harta Kekayaan Debitur tersebut kepada
masing-masing Kreditur. Pengadilan juga menetapkan Hakim Pengawas yang
bertugas untuk mengawasi kewenangan dan pelaksanaan tugas Kurator agar
Kurator senantiasa menjalankan kewenangan dan tugasnya dalam batas-batas yang
ditentukan dalam UUK PKPU. Berkenaan dengan tugas Kurator dengan verifikasi
utang piutang dibentuk pula Panitia Kreditur yang terdiri atas perwakilan masing-
masing kelompok Kreditur

11.1 KURATOR

Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU. dengan adanya


pernyataan pailit, terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu diucapkan
olx hakim Debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Tanggal putusan pernyataan pailit.
menurut Pasal 24 ayat (2) UUK-PKPU dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat.
Menurut Penjelasan Pasal 24 ayat (2) UUK-PKPU, yang dimaksud dengan waktu
setempat" adalah waktu tempat putusan pernyataan pailit diucapkan oleh
Pengadilan Niaga, misalnya, putusan diucapkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 2001
pukul 13.00 WIB, maka putusan tersebut dihitung mulai berlaku sejak pukul 00.00
WIB tanggal 1 Juli 2001 Sehubungan dengan berlakunya ketentuan Pasal 24 ayat

118 | P a g e
(1) UUK-PKPU tersebut, timbul pertanyaan, siapakah selanjutnya yang akan
mengurus harta kekayaan Debitur? Siapakah selanjutnya yang akan mengurus
kegiatan usaha Debitur? Siapakah selanjutnya yang akan membayar utang Debitur
kepada para Krediturnya? Menurut UUKPKPU, pengurusan mengenai hal-hal
tersebut di atas dilaksanakan oleh apa yang disebut Kurator. Menurut Pasal i angka
5 yang dimaksudkan dengan kurator, adalah Balai Harta Peninggalan atau orang
perorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta
Debitur pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-
undang ini. Bab ini menguraikan mengenai pertanyaan sebagai berikut: Siapa yang
dapat bertindak sebagai Kurator? Siapa yang menunjuk atau mengangkat Kurator?
Siapa yang mengusulkan pengangkatannya? Apa kewenangan dan tugas Kurator?
Bagalmana tanggung jawab Kurator dalam menjalankan tugasnya?

11.1.1 Pengangkatan Kurator dan Hakim Pengawas

Menurut Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU ditentukan bahwa dalam putusan


pernyataan pailit harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang
ditunjuk dari Hakim Pengadilan. Bunyi Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU adalah
sebagai berikut Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat Kurator Dan
seorang Hakim Pengawasyang ditunjuk dari hakim Pengadilan. Dengan adanya
ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU, maka suatu putusan pernyataan pailit
Pengadilan Niaga yang tidak menentukan kurator dalam putusan tersebut adalah
batal demi hukum. Sehingga dengan demikian, putusan tersebuttidak berkekuatan
hukum. Demikian pula konsekuensi hukumnya terhadap putusan pernyataan pailit
apabila dalam putusan pernyataan pailit tersebut tidak ditentukan siapa yang
menjadi Hakim Pengawas.

11.1.2 Jenis Kurator

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU tersebut di atas


maka siapa yang menjadi Kurator dapat diketahui dan hanya dapat diketahui dalam
putusan pernyataan pailit Pengadilan Niaga. Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU
menentukan dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat:

119 | P a g e
1. Kurator, dan
2. Seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan.

Menurut Pasal 70 ayat (1) UUK PKPU, kurator sebagaimana dimaksud Pasal
69 Juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 dan Pasal 15 ayat (1) adalah:

1. Balai Harta Peninggalan; atau


2. Kurator lainnya

Dalam hal apa yang bertindak sebagai kurator adalah Balai Harta Peninggalan
dan dalam hal apa yang bertindak sebagai kurator adalah bukan Balai Harta
Peninggalan? Mengenai hal itu ditentukan oleh Pasal 15 ayat (2) UUK-PKPU
Menurut Pasal 15 ayat (2) UUK-PKPU, dalam hal debitur, kreditur, atau pihak yang
berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2). ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) tidak mengajakan usul
pengangkatan kurator kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan diangkat
sebagai kurator "Pihak yang berwenang mengajukan perniohonan pernyataan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau aya: (5)
adalah Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri
Keuangan.

11.1.3 Pengangkatan Lebih Dari Seorang Kurator

Apakah dimungkinkan adanya lebih dari satu kurator? Meurut Pasal 71 di


mungkinkan adanya tambahan kurator atas

1. permohonan kurator sendiri:


2. permohonan kurator lainnya, jika aila:
3. Usul hakim pengawas; atau
4. permintaan debitur pailit.

Dari ketentuan Pasal 73 ayat (3) dapat pula disimpulkan bahwa dimungkinkan
untuk menunjuk salah satu kurator untuk melakukan tugas khusus.

11.1.5 Syarat-syarat Menjadi Kurator

120 | P a g e
Menurut Pasal 15 ayat (3) UUK PKPU Kurator yang diangkat sebagaimana
dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) UUK PKPU harus independen, tidak mempunyai
benturan kepentingan dengan Debitur atau Kreditur, dan tidak sedang menangani
perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari tiga
perkara. Penjelasan Pasal 15 ayat (3)UUK PKPU mengemukakan bahwa yang
dimaksud dengan independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan" adalah
bahwa kelangsungan keberadaan Kurator tidak tergantung pada Debitur atau
Kreditur dan tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan
ekonomis Debitur atau Kreditur. Keterangan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3)
UUK-PKPU tersebut di atas belum cukup spesifik. Demi kepastian sebaiknya
apabila UUK-PKPU memberikan ketentuan yang tegas dalam hal-hal apa saja
dianggap terjadi atau terdapat benturan kepentingan yang dimaksud itu. Sebaiknya
dianggap telah terjadi benturan kepentinggi apabila terjadi antara lain hal-hal
sebagai berikut Kurator menjadi salah satu Kreditur. Kurator memiliki hubungan
kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali atau dengan pengurus dari
perseroan Debitur. Kurator memiliki saham lebih dari 10% pada salah satu
perusahaan Kreditur atau pada perseroan Debitur. Kurator adalah pegawai, anggota
direksi, atau anggota komisaris dari salah satu perusahaan Kreditur atau dari
perusahaan Debitur. Sekalipun Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUK PKPU tidak
mengemukakan alasan mengapa seorang Kurator yang sedang menangani perkara
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari tiga perkara tidak
boleh ditunjuk lagi sebagai Kurator, namun dapat diperkirakan bahwa maksud
pembuat undang undang adalah agar perkara kepailitan tersebut dapat ditangani
oleh Kurator dengan baik. Apabila Kurator yang sudah sangat sibuk masih dibebani
lagi dengan perkarangan baik baru, dikhawatirkan perkara baru dan yang sedang
diurus itu tidak akan terurus dengan baik

11.1.6 Tugas Utama Kurator

Apa saja tugas Kurator? UUK-PKPU menyebutkan tugas Kurator dengan kali
mat yang singkat saja, yaitu sebagaimana menurut Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU
Menurut Pasal 69 ayat (1)UUK-PKPU "Tugas Kurator adalah melakukan Pengurus

121 | P a g e
an dan/atau pemberesan harta pailit". Penjelasan Pasal 69 ayat (1)UUK-PKPU tidak
memberikan keterangan apa pun mengenai apa yang dimaksudkan dengan
pengurusan harta pailit maupun "pemberesan harta pailit" Disebutkan dalam
Penjelasan Pasal tersebut dengan "cukup jelas" Berkenaan dengan tugas Kurator
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU, pertanyaan yang
timbul adalah apakah dalam melaksanakan tugas tersebut Kurator dapat
melaksanakan tanpa pembatasan? 11.1.7 Batas-batas kewenangan Kurator Dalam
rangka melaksanakan tugasnya, menurut Pasal 69 ayat (2)UUK-PKPU Kurator
tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan
terlebih dahulu kepada Debitur atau salah satu organ Debitur, meskipun alam
keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian persyaratkan
dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkan nilai
harta pailit. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dimungkinkan untuk adanya
lebih dari satu Kurator. Oleh karena itu, dapat timbul kemungkinan para Kurator
tersebut tidak mencapai kesepakatan bulat mengenai sesuatu hal. Untuk
menghadapi kemungkinanan yang demikian itu, Pasal 73 ayat (1) UUK-PKPU,
menentukan apabila diangkat lebih dari satu Kurator, maka untuk melakukan
tindakan yang sah dan mengikat, para Kurator memerlukan persetujuan lebih dari
1/2 jumlah para Kurator. Selanjut nya Pasal 73 ayat (2) UUK PKPU, menentukan,
apabila suara setuju dan tidak se tuju sama banyaknya, tindakan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 73 ayat (1) UUK PKPU harus memperoleh persetujuan Hakim
Pengawas Dalam hal diangkat lebih dari seorang Kurator, pengadilan dapat
menunjuk s lah satu di antara Kurator itu untuk menjalankan tugas khusus. Menurut
Pasal 73 ayat (3) UUK-PKPU, apabila pengadilan menunjuk salah satu dari Kurator
itu meLakukan tugas khusus, maka Kurator yang ditunjuk untuk tugas khusus
berdasarkan putusan pernyataan pailit, berwenang untuk bertindak sendiri sebatas
tugasnya

11.1.8 Wewenang Kurator untuk Mengajukan Permohonan Pinjaman

Berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf b, menurut


Pasal 69 ayat (3) UUK PKPU apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak kegu

122 | P a g e
Kurator perlu membebani Harta Pailit dengan gadai, Jaminan fiducia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya maka pinjaman
tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Hakim Pengawas. Lebih
lanjut UUK PKPU menentukan dalam Pasal 69 ayat (1) UUK PKPU bahwa
pembebanan Harta Pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek,
atau hak agunan atas kebendaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
hanya dapat dilakukan tarhadap bagian Harta Pailit yang belum dijadikan jaminan
utang Selain ketentuan Pasal 69 ayat (2) UUK-PKPU, Pasal 184 ayat (1)UUK-
PKPU menentukan pula bahwa dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 15
ayat (1) UUK-PKPU, Kurator harus memulai pet berkesan dan menjual semua
Harta Pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan Debitur apabila:

1. usul untuk mengurus perusahaan Debitur tidak diajukan dalam jangka


waktu sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, atau usul tersebut
telah diajuhan tetapi ditolak atau
2. Pengurusan terhadap perusahaan Debitur dihentikan.

Menurut Pasal 73 ayat (1) UUK-PKPU apabila diangkat lebih dari satu
Kurator, maka untuk melakukan tindakan yang sah dan mengilat para Kurator
memerukan persetujuan lebih dari setengah jumlah Kurator. Pasal 73 ayat (2) UUK-
PKPU menentukan, apabila suara setuju dan tidak setuju sama banyaknya, tindakan
sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) harus memperoleh persetujuan Hakim
Pengawas Selanjutnya dalam Pasal 73 ayat (3) UUK-PKPU ditentukan bahwa
seorang Kurator yang ditunjuk untuk tugas khusus berdasarkan putusan pernyataan
pailit, berwemang untuk bertindak sendiri sebatas tugasnya

11.1.9 Tugas Kurator Diawasi oleh Hakim Pengawas

Menurut UUK PKPU proses likuidasi yang dilakukan oleh Kurator dinasi
oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga Para Kreditur
menerima hasil likuidasi (penjualan harta kekayaan Debitur) sesuai dengan prioritas
Kreditur yang bersangkutan sebagaimana ditentukan oleh undang-undang Sesuai
dengan prioritas tersebut. para Kreditur yang dijamin dengan Hak Jaminan (secured

123 | P a g e
credtors) dibayar terlebih dahulu dari hasil penjualan barang yang dibebani dengan
Hak Jaminan untuk kepentingannya

11.1.10 Kewajiban Pelaporan oleh Kurator kepada Hakim Pengawas

Sesuai dengan ketentuan Pasal 74 ayat (1) UUK-PKPU, Kurator harus


menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan Harta Pailit
dan pelaksanaan tugasnya setiap tiga bulan. Pasal 74 ayat (3) UUK-PKPU
memberikan wewenang kepada Hakim Pengawas untuk dapat memperpanjang
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Menurut Pasal 74 ayat (2)
UUK-PKPU laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbuka untuk
umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma

11.1.11 Pengamanan Harta Pailit oleh Kurator

Sebagaimana ditentukan oleh Pasal 98 UUK-PKPU, sejak mulai


mengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan
Harta dan menyimpan semua surat, dokumen, uang. perhiasan, efek, dan surat
berharga lainnya dan memberikan tanda terima. Berdasarkan alasan untuk
mengamankan harta pailit, menurut Pasal 99 ayat (1) UUK-PKPU, Kurator dapat
meminta penyegelan Harta Pailit kepada pengadilan melalui Hakim Pengawas.
Menurut Pasal 99 ayat (2) UUK-PKPU, penyegelan sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh juru sita di tempat harta tersebut berada dengan
dihadiri oleh dua saksi yang salah satu di antaranya adalah wakil dari pemerintah
daerah setempat. Menurut Penjelasan Pasal 99 ayat (2) UUK-PKPU, yang
dimaksud dengan "wakil dari Pemerintah Daerah setempat", adalah lurah atau
kepala desa atau yang disebut dengan nama lain.Bukan mustahil Debitur akan
melakukan hal-hal yang tidak diinginkan terha dap harta pailit. Misalnya dalam
bentuk mengalihkan kepada pihak lain Harta Pailit tersebut, seperti dengan
dihibahkan atau dijual Untuk pengamanannya, Pasal 99 ayat (1)UUK-PKPU
memberikan kewenangan kepada Kurator untuk meminta melalui Hakim Pengawas
agar pengadilan melakukan penyegelan terhadap Harta Pailit tersebut. Pelaksanaan
penyegelan itu diatur dalam Pasal 90 ayat (2) UUK-PKPU. Menurut Pasal 99 ayat

124 | P a g e
(2) UUK-PKPU penyegelan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
panitera atau panitera pengganti di tempat harta tersebut berada dengan dihadiri
oleh dua saksi yang salah satu di antaranya adalah wakil dari pemerintah daerah
setempat.

11.1.12 Inventarisasi/Pencatatan Harta Pailit oleh Kurator

Kurator, menurut Pasal 100 ayat (1) UUK-PKPU, harus secepatnya mulai
membuat pencatatan mengenai harta pailit. Hal itu harus dilakukan dua hari setelah
Kurator menerima surat keputusan pengangkatan sebagai Kurator. Pencatatan Harta
Pailit tersebut, menurut Pasal 100 ayat (2) UUK PKPU dapat dilakukan di bawah
tangan sepanjang disetujui oleh Hakim Pengawas. Artinya, tidak perlu harus
dilakukan dengan akta otentik, misalnya yang dibuat oleh notaris. Untuk validitas
pencatatan tersebut, Pasal 100 ayat (3) UUK-PKPU menentukan anggota Panitia
Kreditur se mentara berhak menghadiri pembuatan pencatatan tersebut.

11.1.13 Kewajiban Kurator Menyimpan Benda-benda Tertentu

dari Harta Pailit Sepanjang yang menyangkut uang, perhiasan, efek, dan surat
berharga lainnya, Kur atoi bukan sekadar mencatat tetapi juga wajib menyimpan.
Hal itu ditentukan oleh Pasal 108 UUK PKPU. Untuk jelasnya di bawah ini
dikutipkan bunyi lengkap Pasal 108 UUK-PKPU sebagai berikut:

1. Uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya wajib disimpan oleh
Kurator sendiri kecuali apabila oleh Hakim Pengawas ditentukan lain
2. Uang tunai yang tidak diperlukan untuk Pengurusan harta pailit, wajib
disimpan oleh Kurator di bank untuk kepentingan Harta Pailit setelah
mendapat izin Hakim Pengawas

Menurut Penjelasan Pasal 108 UUK-PKPU, yang dimaksud dengan disimpan


oleh Kurator sendiri dalam pengertian tidak mengurangi kemungkinan efek atau
surat berharga tersebut disimpan oleh kustodian, tetapi tanggung jawab tetap atas
nama Debitur pailit. Misalnya, deposito atas nama Kurator Debitur pailit.

11.1.14 Wewenang Kurator Menjual Harta Pailit

125 | P a g e
Sebagaimana telah dikemukakan, menurut Pasal 98 UUK-PKPU tugas
pertama tama yang harus dilakukan oleh Kurator sejak mulai pengangkatannya
adalah me lakukan semua upaya untuk mengamankan harta pailit. Selanjutnya,
sesuai dengan ketentuan Pasal 100 ayat (1) UUK-PKPU, Kurator harus membuat
pencatatan Harla Pailit paling lambat dua hari setelah menerima surat putusan
pengangkatannya. Menurut Pasal 184 ayat (1) UUK-PKPU, dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU, Kurator (setelah tentunya
melakukan pengamanan dan pencatatan Harta Pailit tersebut harus memulai
pemberesan dan menjual semua Harta Pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan
atau bantuan Debitur. Kurator tidak perlu memperoleh persetujuan atau bantuan
Debitur hanya apabila Usul untuk mengurus perusahaan Debitur tidak diajukan
dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam undang-undang int, atau usul
tersebut telah diajukan tetapi ditolak, atau Pengurusan terhadap perusahaan Debitur
dihentikan Sesuai ketentuan Pasal 107 ayat (1) UUK-PKPU atas persetujuan Hakim
Pengwas, Kurator dapat menjual Harta Pailit sepanjang hal itu diperlukan untuk
mentup angkos kepailitan atau apabila penahanannya atas barang tersebut akan
mengakibatkan kerugian terhadap harta pailit, meskipun terhadap putusan
pernyataan pailit diajukan kasasi atau PK. Menurut Pasal 107 ayat (2) UUK PKPU,
dalam hal sebagaimana dalam ayat (1), maka Pasal 185 ayat (1) UUK PKPU
berlaku. Menurut Pasal 185 ayat (1) UUK PKPU, semua benda harus dijual di muka
umurm sesual dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.

11.1.15 Akibat Kepailitan Terhadap kewenangan Debitur untuk Dapat


Mengajukan Gugatan

Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa suatu tuntutan hukum yang
diajukan oleh Debitur (sebagai penggugat) dan yang sedang berjalan (pending)
selama kepailitan berlangsung atas permohonan tergugat, perkara harus
ditangguhkan untuk memberikan kesempatan kepada tergugat memanggil Kurator
untuk mengambil alih perkara dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim.
Menurut Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU, yang dimaksud dengan

126 | P a g e
"mengambil alih perkara" adalah pengalihan kedudukan Kreditur sebagai tergugat,
dialihkan kepada Kurator. Penjelasan tersebut tidak benar. Seharusnya yang
dimaksud oleh Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU itu adalah bahwa kedudukan Debitur
sebagai penggugat agar diambil alih oleh Kurator.

11.1.16 Gugatan Terhadap Debitur Pailit dan keberatan Terhadap


Harta

Pailit Melalui Kurator Pasal 105 ayat (1) UUK-PKPU menentukan, semua
surat pengaduan dan ke besaran yang berkaitan dengan Harta Pailit ditujukan
kepada Kurator. Hal tersebut adalah sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 24 ayat
(1) UUK-PKPU yang menentukan, Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam Harta Pailit sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Selain sebagai konsekuensi ketentuan
Pasal 24 ayat (1) UUK-I'KPU, ketentuan Pasal 105 ayat (1) UUK-PKPU juga
sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU yang menentukan
tugas Kurator adalah melakukan pengurus an dan/atau pemberesan harta pailit.
Lihat pula Penjelasan Pasal 105 UUK-PKPU. Sehubungan ketentuan Pasal 105 ayat
(1) UUK-PKPU tersebut, maka gugatan dari pihak mana pun juga terhadap Debitur
harus diajukan kepada atau terhadap Kurator.

127 | P a g e
BAB XII

PENCOCOKAN PIUTANG DAN ACTIO PAULIANA

Calah satu tujuan kepailitan adalah mengamankan tagihan atau piutang para
Kreditur. Tujuan kepailitan adalah juga untuk menjamin pelunasan piutang para
Kreditur dari hasil likuidasi Harta Pailit. Jaminan tersebut bukan saja bahwa
likuidasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang tetapi juga
menjamin agar jangan sampai ada Kreditur yang Nama sekali tidak memperoleh
bagian dari hasil likuidasi seberapa pun kecilnya jumlah piutangnya Sebelum hasil
likuidasi dapat dibagikan kepada masing-masing Kreditur, harus dapat dipastikan
bawa Kreditur yang akan memperoleh pelunasan piutangnya memang mempunyai
buku bukti yang sah mengenal adanya dan besarnya piutangnya. Jangan sampai
muncul Kreditur fiktif, yaitu Kreditur yang hanya mengaku-ngaku anemia tagihan
terhadap Debitur tetapi tidak memiliki bukti apa pun yang dapat meyakinkan dan
diterima secara hukum untuk mengklaim tagihannya tersebut. Tugas untuk
memastikan mengenai sahnya, adanya, dan besarnya piutang masing- masing
Kreditur adalah tugas Kurator dengan melakukan apa yang disebut dengan
"Pencocokan Piutang" Apa saja yang dilakukan Kurator berkenaan dengan tugas
pencocokan piutang akan diuraikan di bawah ini Di samping dalam bab ini akan
diuraikan mengenai lal-hal yang menyangkut pencocokan piutang, dalam bah ini
akan diuraikan juga mengenai lembaga hukum yang disebut Actio Pauliana. Actio
pauliana adalah hak Kreditur yang diberikan oleh undang-undang untuk
mengajukan permohonan kepada pengadilan agar pengamalan memutuskan
pembatalan segala perbuatan Debitur yang tidak diwajibkan untuk dilakukan
terhadap harta kekayaannya yang diketahui oleh Debitur bahwa perbuatan tersebut
merugikan Kreditur yang bersangkutan. Dalam kehidupan nyata dapat terjadi
seorang Debitur melakukan perbuatan hukum berkenaan dengan hartakekayaannya
yang merugikan satu atau lebih Kreditur tetapi menguntungkan satu atau lebih
kreditur ini sedangkan Debitur mengetahui bahwa Debitur akan pailit. Misalnya
Debitur mengetahui keadaan keuangannya teiah dalam keadaan insolven sehingga
harus mengajukan permohonan pailit atau terhadapnya diajukan pailit oleh satu atau

128 | P a g e
lebih Krediturnya. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai ketentuan Actio
Pauliana dalam KUHPerdata dan yang ditentukan dalam UUK-PKPU.

12.1 PENCOCOKAN PIUTANG

12.1.1 Istilah Piutang dan Tagihan dalam UUK-PKPU

Bagian Kelima dari UUK-PKPU diberi judul "Pencocokan Piutang" Bagian


Kelima tersebut terdiri atas Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 UUK-PKPU.
Sekalipun dalam judul Bagian Kelima tersebut digunakan istilah "piutang namun
dalam pasal-pasal dari bagian tersebut selain istilah "piutang" digunakan pula istilah
"fagihan" Istilah "tagihan muncul dalam Pasal 113 huruf a, Pasal 118 ayat (1), 142
ayat (3), Pasal 229 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 231 ayat (1) huruf b, Pasal
242 ayat (3), Pasal 244 huruf a, b, dan c, Pasal 268 aya t(1) huruf a, Pasal 270 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 274 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 2680, Pasal 281 ayat (1) huruf
a dan b UUK PKPU. Istilah piutang digunakan dalam pasal-pasal yang lain. Dalam
Pasal 1 UUK-PKPU tidak terdapat uraian mengenai apa yang dimaksud kan dengan
"piutang" maupun "tagihan" Dalam penjelasan tidak terdapat pula keterangan apa
pun mengenai apa yang dimaksudkan dengan "piutang" maupun "tagihan" dan tidak
dijelaskan pula apakah kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda
atau sama saja. Tidak jelas mengapa dalanı UUK-PKPU tidak digunakan satu
istilah saja, misalnya hanya istilah "piutang sesuai dengan judul Bagian Kelima
tersebut yang berbunyi "pencocokan Piutang" ! Setelah membaca pasal-pasal dalam
Bagian Kelima tentang pencocokan piutang tersebut, maka Penulis tidak melihat
alasan untuk membedakan pengertian "piutang dan "tagihan".

12.1.2 Pencocokar Piutang

Ketika Debitur dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, sejak


tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, Debitur demi hukum kehilangan
haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta
pailit. Demikian ditentukan dalam Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU. Sejak waktu itu
pula harta kekayaan Debitur dimasukkan sebagai harta pailit. Untuk mengurus
Harta Pailit tersebut, urut Pasal 15 UUK-PKPU, Pengadilan Niaga mengangkat

129 | P a g e
Kurator di samping sekaligus mengangkat pula seorang Hakim Pengawas Sesuai
dengan ketentuan Pasal 100 UUK-PKPU tugas Kurator antara lain, adalah segera
membuat daftar mengenai jumlah utang dan piutang Debitur dan jumlah piutang
para Kreditur setelah mem buat uraian harta pailit. Tugas tersebut dilakukan olch
Kurator mendahului tugasnya untuk membayar piutang atau tagihan masing-
masing Kreditur. Untuk dapat melaksanakan pembayaran piutang para Kreditur,
Kurator harus terlebih dahulu mendata siapa saja yang menjadi
Kreditur,memeriksa keabsahan dari piutang atau tagihan dari masing-masing
Kreditur itu. memastikan mengenai berapa jumlah atau nilai masing-masing
piutang atau tagihan para Kreditur tersebut. Dalam melakukan pendataan tersebut
dapat terjadi hal-hal sebagai berikut

1. Pihak yang menyatakan dirinya sebagai Kreditur tidak dapat membuktikan


ke keabsahan piutang atau tagihannya;
2. Pihak yang menyatakan dirinya sebagai Kreditur sekalipun dapat
membuktikan keabsahan piutang atau tagihannya, tetapi belum sepakat
mengenai jumlah atau nilainya; Dengan kata lain, antara Kurator dan
Kreditur yang bersangkutan masih bersengketa mengenai jumlah atau nilai
piutang atau tagihan tersebut. Hal itu dapat terjadi karena bukti mengenai
nilai utang Debitur yang dikuasai oleh Kurator (yang diperoleh dari Debitur)
berbeda dengan bukti yang dimiliki oleh Kreditur yang bersangkutan
3. Pihak yang mengaku sebagai Kreditur ternyata Kreditur palsu, misalnya
karena pihak tersebut telah mengajukan bukti-bukti yang dipalsukan;

Dalam bab in: diuraikan bagaimana aturan main yang ditetapkan oleh UUK
PKPU untuk menjadi pedoman bagi Kurator dalam melakukan tugas pencocokan
piutang Debitur dengan piutang atau tagihan masing-masing Kreditur tersebut

12.1.3 Penetapan Hari dan Tanggal Pencocokan Piutang

Pasal 113 ayat (1) UUK PKPU menentukan paling lambat 14 hari terhitung
setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan:

1. batas akhir pengajuan tagihan;

130 | P a g e
2. batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Chari,
tanggal, waktu, dan tempat rapat Kreditur untuk mengadakan pencocokan
piutang

12.1.5 Rapat Pencocokan Piutang

Debitur pailit wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang agar dapat
memberikan keterangan yang diminta oleh Hakim Pengawas mengenal sebab
musabab kepailitan dan keadaan Harta Pailit (Pasal 121 ayat (1) UUK PKPU)
Kreditur dapat meminta keterangan dari Debitur pailit mengenai hal hal yang
dikemukakan melalui Hakim Pengawas (Pasal 121 ayat (2) UUK-PKPU).
Pertanyaan yang diakan kepada Debitur pailit dan jawaban yang diberikan olehnya,
wajib dicatat dalam berita acara (Pasal 121 ayat (3) UUK PKPU) to Siapakah yang
harus hadir mewakili Debitur pailit dalam rapat pencocokan piutang itu? Menurut
Pasal 122 UUK PKPU, dalam hal yang dinyatakan pailit adalah suatu badan hukum,
semua kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2)
UUK PKPU, yaitu kewajiban untuk hadir dalam rapat pencocokan piutang dan
kewajiban untuk memberikan keterangan kepada Hakim Pengawas mengenai sebab
musabab kepailitan dan keadaan harta pailit, menjadi tanggung jawab pengurus
badan hukum tersebut Menurut Pasal 123 UUK PKPU, dalam rapat pencocokan
piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 UUK-PKPU, Kreditur dapat
menghadap sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Artinya, Kreditur tidak
harus menghadap sendiri tetapi dapat mewakilkan sebagai kuasanya. Menurut
Penjelasan Pasal 123 UUK PKPU, kuasa yang dimaksud dalam pasal ini bukan
kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan bagi pembuatan surat kuasa
tersebut berlaku peraturan perundang-undangan dari negara tempat dibuatnya surat
kuasa tersebut Apakah surat kuasa yang dimaksud dalam Pasal 123 UUK PKPU itu
harus dibuat autentik atau akta di bawah tangan. Penjelasan Pasal 123 UUK PKPU
tidak berbicara apa pun mengenai bentuk surat kuasa itu. Oleh karena tidak
ditentukan secara khusus, maka kuasa tersebut dapat dibuat, baik dalam bentuk akta
autentik maupun akta di bawah tangan. Hal tersebut sejalan dengan kuasa

131 | P a g e
sebagaimana di maksud dalam Pasal 125 ayat (1) UUK-PKPU yang menurut
penjelasannya dapat berupa akta autentik atau akta di bawah tangan. Sesuai dengan
ketentuan KUH Per- data, bahkan kuasa yang dimaksud dalam Pasal 123 UUK-
PKPU itu dapat berupa kuasa lisan. Namun demikian, di dalam pelaksanaannya,
sebaiknya kuasa tersebut dibuat secara tertulis untuk menghindarkan keraguan dan
ketidakpastian.

12.1.6 Berita Acara Rapat Pencocokan Piutang

Atas pelaksanaan rapat pencocokan piutang, menurut Pasal 126 ayat (A)
VUK PKPU harus dibuat berita acara rapat. Berita acara tersebut harus
ditandatangani baik oleh Hakim Pengawas maupun panitera pengganti Pengadilan
Niaga Pengakuan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (5)
UUR PKPU mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Debitur seperti suatu pu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian
menurut Pasal 205 ayat (1) UUK PKPU. Perlu diingatkan bahwa menurut ketentuan
Pasal 126 ayat (5) UUK PKPU, pengakuan suatu piutang yang dicatat dalam berita
acara rapat pencocokan piutang hanya mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
pailitan dan pembatalannya tidak dapat dituntut oleh Kurator sepanjang tidak ada
alasan yang dapat dijadikan dasar tentang adanya penipuan terhadap pengakuan
piutang itu. Bukan mustahil antara Debitur dan Kreditur terjadi kongkalikong untuk
mencip takan dan menyepakati adanya suatu piutang yang aktif. Pasal 205 ayat
(2)UUK-PKPU menentukan, ikhtisar berita acara rapat perico cokan piutang yang
dibuat dalam bentuk putusan yang dapat dilaksanakan, meru pakan alas hak yang
dapat dilaksanakan terhadap Debitur mengenai piutang yang diakui. Menurut
Penjelasan Pasal 205 ayat (2) UUK PKPU, yang dimaksud dengan "dibuat dalam
bentuk putusan yang dapat dilaksanakan adalah ikhtisar berita acara rapat yang
mempunyai titel eksekutorial

12.1.8 Daftar Piutang Yang Diakul & Dibantah

Berkenaan dengan ketentuan Pasal 116 UUK-PKPU, ditentukan oleh Pasal 1


UUK-PKPU bahwa Kurator wajib memasukkan piutang yang disetujutnya ke

132 | P a g e
dalam suatu daftar patang yang sementara diakui, sedangkan piutang yang dibantah
termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar tersendiri. Dalam pelaksanaan
tugas Kurator untuk mendaftar piutang piutang yang diajukan oleh para Kreditur
bukan mustahil terdapat piutang-piutang yang menurat ketentuan KUH Perdata
sudah kadaluarsa. Apabila dapat dibuktikan bahwa piutang tersebut sudah
kadaluarsa maka piutang tersebut demi hukum sudah dianggap tidak ada lagi
Sementara it. menurut Pasal 35 UUK-PKPU, pengajuan tagihan untuk dicocokan
dalam rangka kepailitan mencegah berlakunya tenggang waktu kedaluwarsa
tersebut. Dengan kata lain, sejak tanggal pengajuan tagihan tersebut untuk
dicocokkan masa berlakunya kedaluwarsa dimulai kembali Dalam daftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 UUK PKPU dibunuh kan pula catatan
terhadap setiap piutang apakah menurut pendapat Kurator piutang yang
bersangkutan diistimewakan atau dijamin dengan gadai, Jaminan fidusia, hak
Tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan
benda bagi tagihan yang bersangkutan dapat dilaksanakan. Demikian menurut Pasal
118 ayat (1) UUK-PKPU, Apabila Kurator hanya membantah adanya hak untuk
didahulukan atau adanya hak untuk menahan benda (hak retensi), maka menurut
Pasal 18 ayat (2) UUK PKPU piutang yang bersangkutan harus dimasukkan dalam
daftar bintang yang untuk sementara diakui berikut catatan Kurator tentang
bantalan serta alasannya Sesuai dengan ketentuan Pasal 119 UUK-PKPU, Kurator
wajib menyediakan di ke paniteraan pengadilan salinan dari masing-masing daftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 UUK PKPU. selama tujuh hari sebelum
hari pencocokan piutang dan setiap orang dapat melihatnya secara cuma cuma
Tentang penempatan daftar dimaksud dalam Pasal 119 UUK-PKPU, menurut Pasal
120 UUK-PKPU Kuratur wajib memberitahukan dengan surat tentang adanya
daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 UUK-PKPU kepada Kreditur yang
dikenal detta panggilan untuk menghadiri rapat pencocokan piutang dengan
menyebutkan rencana perdamai an jika telah diserahkan oleh Debitur pailit.

12.1.12 Piutang Berupa Bunga

133 | P a g e
Menan Pasal 134 ayat (1) GUK-PKPU, terhadap bunga atas utang yang tim
setelah putusan pernyataan pailit diucapkan tidak dapat dilakukan pencocokan
Berg. Real dan hanya apabila bunga tersebut dijamin dengan gadai, jaminan Fidusia
hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Terhadap bunga
yang dijamin dengan hak agunan sebagaimana dimaksud pada ayat . Pasal 139 ayat
(2 JUNE-PERPU penentuan terhadap bunga tersebut harus dilakukan pen cocokan
piutang secara pro memory Apabila bunga yang bersangkutan tidak dapat dilunasi
dengan hasil penjualan benda yang jadi agunan, Pasal 134 ayat (3) UUK-PKPU
menentukan Kreditur yang berangan tidak dapat melaksanakan haknya yang timbul
dari pencocokan piston Set piutang dengan syarat batal wajib dicocokkan untuk
seluruh jumlahmya dengan tak mengurangi akibat syarat batal apabila syarat
tersebut terpenuhi Den mimart Pasal 135 UUK-PKPU.

12.1.13 Piutang Bersyarat Tangguh

Piutang dengan syarat tunda syarat tangguh), menurut Pasal 136 ayat (1)
UUK PERPU. dapat dicocokan untuk nilainya yang dihitung sampai dengan saat
(tanggal) past paraan pailit diucapkan. Sementara itu, Pasal 136 ayat (2) UUK-
PKPU met an, zabala Kurator dan Kreditur tidak mencapai kata sepakat mengenai
can pencaplon piutang tersebut, maka piutang tersebut wajib diterima oleh Kurator
mpun Kredit untuk keseluruhan jumlahnya.

12.1.14 Piutang yang Diangsur Berkala

Menurut Pasal 137 ayat (1) UUK-PKPU, piutang yang saat penagihannya
belumas baik mengenai adanya maupun jumlahnya) atau piutang tersebut
memberikan hak kepada Kreditur untuk memperoleh pembayaran secara berkala
(dalam bentuk dalan berkala), wajib dicocokkan nilainya yang dihitung sampai
dengan saat (tanggal) pasan pernyataan pailit diucapkan.

12.1.15 Piutang yang Dapat Ditagih dalam Jangka Waktu Satu Tahun

Setelah Pernyataan Pailit Diucapkan Sensu piutang yang dapat ditagih dalam
jangka waktu satu tahun setelah tanggal putan pernyataan pailit diucapkan, menurut
Pasal 137 ayat (2) UUK PKPUwajib dipertikan sebagai jantung yang dapat ditagih

134 | P a g e
pada tanggal diucapkannya putusan pernyatan pailit tersebut. Sementara itu,
menurut Pasal 137 ayat (3) UUK PKPU, sem piutang yang dapat ditagih setelah
lewat satu tahun setelah tanggal putusan pentas pailit diucapkan wajib dicocokkan
untuk nilainya yang dihitung sampai dengan jangka waktu satu tahun setelah
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan Dalam melaksanakan perhitungan
tersebut di atas baik untuk menghitung besarnya nilai piutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dan ayat (2) UUK PKPU dan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) dan ayat (3) UUK- PKPU har dengan kom
diperhatikan tingkat suku bunga yang berlaku untuk putang tersirat dan besarnya
ongkos yang dibebankan oleh Kreditur kepada Debitur hapimana ditentukan di
dalam perjanjian antara Kreditur dan Debitur.

12.1.16 Piutang Kreditur Pemegang Hak Jaminan dan Pemegang Hak


Istimewa

Menurut Pasal 138 UU PTUN, Kreditur yang piutangnya dijamin dengan


sadat. jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan
lainnya Kreditur yang mempunyai hak yang diistimewakan atas satu benda
tertentuyang termasuk dalam Harta Pailit dan Kreditur tersebut dapat membuktikan
bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil
penjualan benda yang menjadi agunan, maka kreditur tersebut dapat meminta agar
diberilan hak-hak yang dimiliki oleh kreditur konkuren atas bagian piutang tersebut,
tanpa mengurangi haknya untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas
piutangnya itu

12.1.17 Piutang yang Nilainya Tidak Pasti

Ditentukan oleh Pasal 139 ayat (1) UUK-PKPU, piutang yang nilainya tidak
ditetapkan, tidak pasti, tidak dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia atau
sama sekali tidak ditetapkan dalam uang, wajib dicocokkan sesuai dengan nilai tak
sirannya dalam mata uang Republik Indonesia. Penetapan nilai piutang ke dalam
mata uang Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menurut Pasal
139 ayat (2) UUK-PKPU, ditetapkan menurut nilai: tukar yang berlaku pada

135 | P a g e
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Penetapan nilai piutang ke dalam mata
uang Republik Indonesia bagi piutang milik Kreditur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU dilakukan pada tanggal eksekusi benda agunan
dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia. Demikian menurut ketentuan
Pasal 139 ayat (3)UUK-PKPU. Menurut Penjelasan Pasal 139 ayat (3) UUK-
PKPU, kurs tengah Bank Indonesia dihitung dari kurs transaksi Bank Indonesia
yang diumumkan secara harian, dengan perhitungan: Kurs jual Bank Indonesia +
Kurs beli Bank Indonesia

12.1.18 Piutang Atas Tunjuk

Sesuai ketentuan Pasal 140 ayat (1) UUK-PKPU, piutang atas tunjuk dapat di
cocokkan dengan mencatatkan surat tersebut tanpa menyebutkan nama pembawa
atau dengan mencatatkannya atas nama pembawa. Pasal 140 ayat (2)UUK-PKPU
tersebut menentukan masing-masing piutang atas tunjuk yang dicocokkan tanpa
menyebutkan nama pembawa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
sebagui piutang Kreditur tersendiri.

12.1.19 Piutang yang Dijamin oleh Penanggung

Kreditur yang piutangnya dijamin oleh seorang penanggung dapat


mengajukan pencocokan piutang, namun jumlahnya adalah sebesar piutangnya
dikurangi dengan jumlah pembayaran yang telah diterimanya dari penanggung.
Demikian menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU, Sementara itu, menurut
Pasal 141 ayat (2) UUK-PKPU, penanggung berhak mengajukan pencocokan atas
pembayaran yang telah dilakukannya kepada Kreditur tersebut untuk jumlah
pembayaran kepada Kreditur tersebut

12.1.20 Beberapa Debitur Pailit yang Bertanggung Jawab Renteng

Dalam hal terdapat beberapa Debitur yang satu sama lain tangtung
menanggung (tanggung renteng) dan salah satu atau lebih dari Debitur tersebut
dinyatakan pailit, menurut Pasal 142 ayat (1) UUK-PKPU, Kreditur dapat
mengajukan putingnya kepada Debitur yang dinyatakan pailit atau kepada masing-
masing Debitur yang dinyatakan pailit sampai seluruh piutangnya dibayar lunas

136 | P a g e
Menurut Pasal 142 ayat (2) UUK PKPU, setiap Debitur tanggung menanggung
yang mempunyai hak untuk memohon penggantian dari Harta Pailit Debitur lainnya
yang dinyatakan pailit, dopat diterima dengan ketentuan dalam pencocokan tersebut
Kreditur tidak melakukan pencocokan sendiri Dorhout Mees dalam bukunya
Nederlandse Handels-en Faillissementsreckt mengemukakan bahwa dalam
beberapa hal tagihan terhadap Harta Pailit dapat di aku cara bersyarat, dan apakah
tagihan nantinya diakui atau tidak diakui adalah bergantung pala syarat Itu dapat
dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi. Berkenaan dengan alte UUK PKPU (yang sama
bunyinya dengan Pasal 136 F. Dorhout Mees mengemukakan bahwa sangat tepat
undang-undang tidak mengakui tagihan bersyarat tersebut bila Kreditur sendiri
maju dalam kepailitan, yaitu demi menghindari tagihan ganda

12.1.21 Laporan Pertanggungjawaban Kurator Setelah Pencocokan


Piutang Selesai

Menurut Pasal 143 ayat (1) UUK-PKPU, setelah berakhirnya pencocokan


piutang, Kurator wajib memberikan laporan (kepada Hakim Pengawas) mengenai
keadaan harta pailit, dan Kurator wajib memberikan kepada Kreditur semua
keterangan yang diminta oleh mereka. Sesuai dengan Pasal 143 ayat (2) UUK-
PKPU, setelah berakhirnya rapat pencocokan piutang, laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beserta berita acara rapat pencocokan piutang tersebut wajib
disediakan oleh Kurator di kepaniteraan Pengadilan Niaga dan di kantor Kurator.
Untuk mendapatkan salinan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak cuma-
cuma tetapi dikenakan biaya. Demikian menurut Pasal 143 ayat (3) UUK-PKPU.
Menurut Pasal 143 ayat (4) UUK-PKPU, setelah berita acara rapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tersedia, baik Kurator, Kreditur, atau Debitur pailit dapat
meminta kepada Pengadilan Niaga supaya berita acara rapat tersebut diperbaiki,
apabila terdapat kekeliruan.

12.2 ACTIO PAULIANA

Actio pauliana adalah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada


seorang Kreditur mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan

137 | P a g e
segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh Debitur terhadap
harta kekayaannya yang diketahui oleh Debitur perbuatan tersebut merugikan
Kreditur. Hak tersebut merupakan perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada
kreditur atas perbuatan Debitur yang dapat merugikan Kreditur. Hak tersebut diatur
oleh Pasal 1341 KUHPerdata. Istilah actio pauliana berasal dari bahasa Romawi
yang menunjuk kepada semua upaya hukum yang dapat menghasilkan batalnya
perbuatan Debitur yang meniada ban tujuan Pasal 1131 KUH Perdata. Berkaitan
dengan kepailitan misalnya, tindakan Debitur yang mengetahui akan dinyatakan
pailit, melakukan perbuatan hukum berupa memindahkan haknya atas sebagian dari
harta kekayaannya kepada pihak Lain dan perbuatan tersebut dapat merugikan pura
Krediturnya.

12.2.1 Actio Pauliana dalam KUH Perdata

Lembaga perlindungan hak Kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal


1341 KUH Perdata, yang dikenal dengan nama actio pauliana, memperoleh
peraturan pelaksanaannya dalam UUK-PKPU sebagaimana terdapat dalam
ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 UUK PKPU. Menurut Pasal 1341 KUH
Perdata: Meskipun demikian, setiap kreditur dapat mengajukan permohonan
pembatalan atas segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh
Debitur dengan nama apa pun yang merugikan para Kreditur, sepanjang dapat
dibuktikan bahwa ketika per buatan itu dilakukan, baik Debitur maupun orang
dengan atau untuk siapa Debitur itu melakukan perbuatan itu, mengetahui bahwa
perbuatan itu membawa akibat yang merugikan Kreditur. Hak-hak yang diperoleh
dengan iktikad baik oleh pihak ketiga atas barang barang yang menjadi pokok
perbuatan yang batal itu, dilindungi Untuk mengajukan hal batalnya perbuatan yang
dilakukan dengan cuma-Cuma olch Debitur, Kreditur cukup membuktikan bahwa
Debitur pada waktu melakukan perbuatan itu mengetahui bahwa dengan berbuat
demikian merugikan para Kredit turnya tanpa peduli apakah orang yang menerima
keuntungan itu juga mengetahuinya atau tidak bahwa perbuatan Debitur tersebut
merugikan para Krediturnya. Menurut Kartini Muljadi, kata actio kadang-kadang
dipertanyakan karena tidak per lu harus ada tuntutan/gugatan untuk membatalkan

138 | P a g e
suatu tindakan pauliana, karena tindakan hukum itu memang batal (nietig) dan
bukannya dapat dibatalkan (vernietigbaar). Selanjutnya, Kartini Muljadi
menyatakan, tidak perlu diajukan gugatan untuk menyatakan suatu tindakan
pauliana batal, tetapi cukup Kurator menyatakan (inroepen) bahwa tindakan itu
batal, asalkan Kurator dapat membuktikan bahwa pada saat Debitur melakukan
tindakan hukum tersebut, Kurator dan pihak dengan siapa Debitur melakukan
tindakan tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatannya itu
akan merugikan Kreditur. Ketentuan mengenai actio pauliana di dalam UUK-
PKPU merupakan ketentuan yang lazim ada pada bankruptcy law dari banyak
negara. Pencantuman ketentuan ini, yang dikenal pula dengan nama "claw back
provision", di dalam suatu Undang Undang Kepailitan sangat perlu.

12.2.2 Actio Pauliana dalam UUK-PKPU

Actio pauliana yang diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata memperoleh
ketentuan pelaksanaannya dalam Pasal 11 sampai dengan 50 UUK-PKPU
sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Sebagaimana telah dikemukakan, Pasal 1341
KUH Perdata

139 | P a g e
BAB XIII

TINDAKAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

Menurut ketentuan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU, jika dalam pencocokan
piutang (yaitu rapat verifikasi utang piutang) tidak ditawarkan Rencana
Perdamaian (oleh Debitur), atau Rencana Perdamaian yang ditawarkan tidak
diterima oleh rapat, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan
Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka demi
hukum Harta Pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utang
Debitur dan berada di bawah Sita Umum. Tindakan selanjutnya terhadap harta
Debitur pailit yang telah dinyatakan dalam keadaan insolfensi itu adalah
melakukan likuidasi, yaitu menjual Harta Pailit tersebut. Likuidasi tersebut
dilakukan oleh Kurator. Atas hasil likuidasi itu Kurator mendistribusikanya kepada
masing-masing Kreditur dalam rangka melunasi utang Debitur kepada masing-
masing Kreditur yang piutangnya telah diakui dalam proses pencocokan atau:
veriifikasi utang piutang. Distribusi tersebut dilakukan sesuai dengan urutan
tingkat masing-masing piutang mereka sebagaimana ditentukan oleh undang-
undang. Tindakan Kurator tersebut disebut Tindakan Pemberesan Harta Pailit.
Selain istilah “Tindakan Pemberesan”, di dalam praktik digunakan juga istilah
“Tindakan Likuidasi”. Atau “Likuidasi” saja.

Dalam bab ini dibahas mengenai ketentuan yang berkaitan dengan Tindakan
Pemberesan tersebut.

13.1 TUGAS WEWENANG DAN PELAKSANAAN PEMBERESAN


HARTA PAILIT OLEH KURATOR

Menurut Pasal 184 ayat (1) UUK-PKPU, dengan tetap memperhatikan


ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUK-PKPU, Kurator harus memulai pemberesan dan
menjual semua Harta Pailit (setelah dilakukan pencocokan piutang) tanpa perlu
memperoleh persetujuan atau bantuan Debitur apabila:

140 | P a g e
1. usul untuk mengurus perusahaan Debitur tidak diajukan dalam jangka
waktu sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU, atau usul tersebut telah
diajukan tetapi ditolak; atau
2. pengurusan terhadap perusahaan Debitur dihentikan.

Di samping ketentuan Pasal 184 ayat (1) UUK-PKPU tersebut, perlu pula
diperhatikan Pasal 69 ayat (2) UUK-PKPU yang menentukan, dalam
melaksanakan tugasnya, Kurator :

1. tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan


pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitur atau salah satu organ
Debitur, meskipun dalam keadan di luar kepailitan persetujuan atau
pemberitahuan demikian dipersyaratkan;
2. dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka (dengah
tujuan) meningkatkan nilai harta pailit.

13.2 PENGAJUAN UTANG BARU OLEH KURATOR PADA SAAT


BERLANGSUNGNYA PEMBEBASAN HARTA PAILIT

Dalam melaksanakan tugasnya, ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf b UUK-


PKPU memungkinkan bagi Kurator untuk mengajukan pinjaman (utang) dari pihak
ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Syarat mutlak yang
harus diperhatikan oleh Kurator ialah bahwa utang baru tersebut semata-mata untuk
meningkatkan nilai Harta Pailit saja.
Mengenai pinjaman baru yang dilakukan oleh Kurator, Pasal 69 ayat (3)
UUK-PKPU menentukan, apabila dalam melakukan pinjaman (utang) dari pihak
ketiga Kurator perlu membebani Harta Pailit dengan gadai, jaminan fudisia, hak
tanggunngan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, maka pinjaman
(utang) tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Hakim Pengawas.
Menurut Pasal 69 ayat (4) UUK-PKPU, pembebanan Harta Pailit dengan gadai,
jaminan fudisia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya

141 | P a g e
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya dapat dilakukan terhadap bagian Harta
Pailit yang belum dijadikan jaminan utang.

13.3 PERLAWANAN TERHADAP DAFTAR PEMBAGIAN

Berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (1) UUK-PKPU, selama tenggang


waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu
tenggang waktu penyediaan daftar pembagian piutang di kepaniteraan Pengadilan
Niaga, Kreditur yang merasa pembagian bagi dirinya tidak dapat disetujuinya,
maka dapat melakukan perlawanan terhadap daftar pembagian piutang tersebut
dengan cara mengajukan surat keberatan disertai alasan kepada panitera Pengadila
Niaga, dengan menerima tanda bukti penerimaan (panitera harus memberikan tanda
penerimaan surat keberatan tersebut kepada Kreditur yang bersangkutan). Di
samping itu, menurut Pasal 193 ayat (2) UUK-PKPU surat keberatan sebagaimana
dimaksud harus dilampirkan oleh panitera Pengadilan Niaga pada dartar pembagian
piutang yang disediakan di kepaniteraan.

13.4 SETELAH DARTAR PEMBAGIAN BERKEKUATAN HUKUM


PASTI

Oleh sebab lampaunya tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal


192 UUK-PKPU, sedangkan tidak ada yang mengajukan perlawanan atau
perlawanan yang diajukan telah diputus oleh pengadilan, maka daftar pembagian
menjadi mengikat. Demikian ditentukan dalam Pasal 196 ayat (4) UUK-PKPU
tersebut adalah, apakah putusan pengadilan yang dimaksud harus telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Artinya, harus menunggu putusan kasasi dalam hal diajukan
kasasi terhadap putusan Pengadilan Niaga terhadap perlawanan tersebut? Atau
putusan Pengadilan Niaga terhadap pengajuan perlawanan tersebut mengikat secara
serta merta sekalipun diajukan upaya kasasi, yaitu seperti halnya putusan
pernyataan pailit? Dari bunyi Pasal 196 ayat (4) UUK-PKPU maupun dari
Penjelasan Pasal tersebut, tidak jelas dapat diketahui apakah mengikatnya daftar

142 | P a g e
pembagian piutang tersebut berlaku secara serta merta pada putusan tingkat
pertama, yaitu pada tingkat Pengadilan Niaga.

13.4.1 Pelaksanaan Pemberesan Berkenaan dengan Hak-Hak Jaminan

Berdasarkan ketentuan Pasal 197 UUK-PKPU, Hakim Pengawas wajib


memerintahkan pencoretan pendaftaran hipotek, hak tanggungan, atau jaminan
fidusia yang membebani benda yang termasuk harta pailit, segera setelah daftar
pembagian yang memuat pertanggung jawaban hasil penjualan benda yang
dibebani, menjadi mengikat.

13.4.2 Perlakuan Terhadap Kreaditur yang Terlambat Mengajukan


Permintaan untuk Pencocokan Tagihan

Menurut Pasal 200 ayat (1) UUK-PKPU, Kreditur yang karena kelalaiannya
baru mencocokkan piutangnya setelah dilakukan pembagian, kepada Kreditur
tersebut dapat diberikan pembayaran atas tagihannya dari jumlah yang diambil
lebih dahulu dari uang yang masih ada (masih tersisa dari hasil pembagian
sebelumnya), seimbang dengan apa yang telah diterima oleh para Kreditur lain yang
diakui (Kreditur yang telah mengajukan pencocokan piutang sebelum pembagian
hasil penjualan Harta Pailit dilakukan). Menurut Pasal 201 UUK-PKPU, setelah
berakhirnya tenggang waktu untuk melihat daftar pembagian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 192, atau dalam hal terdapat pengajuan perlawanan yang
diajukan setelah putusan perkara perlawanan yang diajukan oleh pihak lain tersebut
diucapkan oleh Majelis Hakim, maka Kurator wajib segera membayar pembagian
piutang yang sudah ditetapkan (membayar piutang Kreditur sesuai dengan daftar
pembagian piutang yang telah mengikat). Dengan demikian, dapat ditafsirkan
terhadap ketentuan Pasal 201 UUK-PKPU, perlawanan baru tidak dapat diajukan
setelah perlawanan yang diajukan sebelumnya oleh pihak lain telah memperoleh
putusan dari Pengadilan Niaga.

13.5 PERTANGGUNGJAWABAN KURATOR SETELAH


SELESAINYA PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

143 | P a g e
Kurator dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Hakim
Pengawas. Dalam kaitan tanggung jawab itu, Pasal 202 ayat (3) UUK-PKPU
menentukan, Kurator wajib memberikan pertanggungjawaban mengenai
pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukannya kepada Hakim Pengawas
paling lama 30 hari setelah berakhirnya kepailitan. Semua buku dan dokumen
mengenai Harta Pailit yang ada pada Kurator wajib diserahkan kepada Debitur
dengan tanda bukti penerimaan yang sah. Demikianlah ditentukan oleh Pasal 202
ayat (4) UUK-PKPU.

Menurut Pasal 203 UUK-PKPU bila sesudah diadakan pembagian penutup,


ternyata pembagian yang semula dicadangkan berdasarkan Pasal 198 UUK-PKPU
jatuh kembali ke dalam harta pailit, atau bila ternyata masih terdapat kekayaan
Harta Pailit yang pada waktu dilakukan pemberesan tidak diketahui, atas perintah
Pengadilan Niaga, Kurator akan membereskan dan mengadakan pembagian atas
dasar pembagian yang sebelumnya. Demikianlah menurut ketentuan pasal 203
UUK-PKPU.

13.6 SIFAT KETETAPAN MENGENAI PENGURUSAN DAN/ATAU


PEMBERESAN

Semua penetapan mengenai pengurusan dan/atau pemberesan Harta Pailit


dietapkan oleh pengadilan dalam tingkat terakhir, kecuali undang-undang ini
menentukan lain. Perlu dicermati bahwa dalam sistem peradilan adalah berbeda
antara apa yang dimaksudkan dengan “putusan” dan “penetapan” . UUK-PKPU
mengambil sikap bahwa terhadap “putusan” Pengadilan Niaga dapat diajukan
upaya hukum, yaitu berupa kasasi dan peninjauan kembali, sedangkan terhadap
“penetapan” tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.

13.7 KOMPENSASI UTANG

Seorang Debitur yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan (Debitur Pailit)
sering kali bukan hanya mempunyai utang-utang atau kewajiban, tetapi pada saat
yang bersamaan dapat pula mempunyai tagihan kepada pihak lain. Dengan kata
lain, tidak mustahil Debitur pailit itu adalah juga berkedudukan sebagai Kreditur

144 | P a g e
dari Kreditur yang bersangkutan. Tidak mustahil bahkan Debitur pailit itu pada saat
yang bersamaan mempunyai tagihan bukan hanya kepada satu Kreditur saja tetapi
lebih Kreditur tertentu. Dengan kata lain, di samping di satu pihak ia menjadi
Debitur dari Krediturnya yang tertentu, tetapi di pihak lain pada saat yang
bersamaan ia sekaligus juga menjadi Kreditur dari Krediturnya itu.

13.7.1 Syarat-syarat Kompensasi Utang kepada Kepailitan

Menurut Pasal 51 ayat (1) UUK-PKPU, setiap orang yang mempunyai utang
atau piutang terhadap Debitur pailit dapat memohon diadakan perjumpaan utang,
apabila utang atau piutang tersebut diterbitkan sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan atau utang atau piutang tersebut terbit akibat perbuatan yang
dilakukannya dengan Debitur pailit sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Menurut Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUK-PKPU, yang dimaksud dengan
“perjumpaan utang” adalah kompensasi.

13.7.2 Pelaksanaan Kompensasi Utang pada Kepailitan

Pasal 51 ayat (2) UUK-PKPU mengemukakan bahwa bila diperlukan,


piutang Kreditur terhadap Debitur pailit dihitung menurut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 137 UUK-PKPU. Bagaimana bunyi
ketentuan Pasal 136 dan Pasal 137 UUK-PKPU sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (2) UUK-PKPU tersebut? Untuk jelasnya di bawah ini dikemukakan
isi dari Pasal 136 dan Pasal 137 UUK-PKPU tersebut.

Pasal 136

1. Piutang dengan syarat tunda dapat dicocokan untuk nilainya pada saat
putusan penyataan pailit diucapkan.
2. Dalam hal Kurator dan Kreditur tidak ada kata sepakat mengenai cara
pencocokan, piutangnya wajib diterima dengan syarat untukseluruh
jumlahnya.

145 | P a g e
Pasal 137
1. Piutang yang saat penagihannya belum jelas atau yang memberikan hak
untuk memperoleh pembayaran secara berkala, wajib dicocokan nilainya
pada tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
2. Semua piutang yang dapat ditagih dalam waktu 1 (satu) tahun setelah
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, wajib diperlakukan sebagai
piutang yang dapat ditagih pada tanggal tersebut.
3. Semua piutang yang dapat ditagih setelah lewat 1 (satu) tahun setelah
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, wajib dicocokkan untuk nilai
yang berlaku 1 (satu) tahun setelah tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan.
4. Dalam melakukan perhitungan nilai piutang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3), wajib diperhatikan:
- waktu dan cara pembayaran angsuran
- keuntungan yang mungin diperoleh; dan
- besarnya bunga apabila diperjanjikan

13.8 STATUS HUKUM DEBITUR SETELAH BERAKHIRNYA


TINDAKAN PEMBERESAN
Bagaimanakah status hukum kewajiban Debitur yang masih tersisa yang
belum dapat dilunasi dari hasil likuidasi harta pailitnya setelah berakhirnya
tindakan pemberesan yang dilakukan oleh Kurator? Apakah Debitur dinyatakan
bebas dari membayar sisa utang-utangnya itu? Bab ini menguraikan jawaban
mengenai pernyataan di atas.

13.8.1 Kewajiban Debitur Setelah Selesai Tindakan Pemberesan

Menurut Pasal 204 UUK-PKPU, setelah daftar pembagian penutup menjadi


mengikat, maka Kreditur memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitur
mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Apa yang dimaksudkan dengan

146 | P a g e
“pembagian penutup” dalam Pasal 204 UUK-PKPU itu? Istilah ini baru muncul
dalam Pasal 202 UUK-PKPU. Tidak ada penjelasan apa pun dalam Penjelasan
Pasal 202 UUK-PKPU maupun Pasal 204 UUK-PKPU mengenai apa yang
dimaksudkan dengan “pembagian penutup” tersebut. Dapat diartikan bahwa yang
dimaksudkan dengan “pembagian penutup” adalah selesainya pembagian Harta
Pailit kepada para Krediur.

13.8.2 Pembebasan Utang Menurut US Bankcruptcy Code

Sebagai perbandingan marilah kita lihat bagaimana hal itu menurut US


Bankcruptcy Code (Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat). Memberikan
kesempatan financial fresh start kepada Debitur setelah seluruh harta kekayaannya
dijual untuk melunasi utang-utangnya sekalipun tidak seluruh utang-utangnya dapat
dilunasi dari hasil likuidasi atau penjualan harta kekayaannya itu. Artinya, setelah
tindakan pemberesan dalam rangka kepailitan (bankcrutcy) dilakukan, maka
Debitur tersebut dapat mulai kembali melakukan keiatan bisnis tanpa dibebani
kewajiban melunasi utang-utang yang masih belum lunas. Debitur tersebut
diperlakukan seakan-akan orang baru yang “tidak berdosa” karena beban utang.

13.8.3 Pembebasan Utang bagi Debitur Pailit Perorangan

Undang-Undang lama, yaitu Faillissements-verordening S. 1905 No. 217 jo.


S. 1906 No. 348 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 4
Tahun 1998 juga UUK-PKPU yang berlaku ini sekarang ini, tidak mengenal
lembaga financial fresh start baik untuk Debitur perorangan maupun Debitur badan
hukum. Dengan demikian, bagi seorang individu yang dinyatakan pailit oleh
pengadilan akan dikejar terus selama hidupnya oleh para Krediturnya untuk
memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Apabila setelah seluruh harta
kekayaannya yang merupakan Harta Pailit dilikuidasi atau dijual oleh Kurator
ternyata masih terdapat sisa-sisa utang pada Kreditur yang tidak lunas, maka
Debitur tetap harus melunasi sisa utang-utangnya itu. Sesuai dengan hukum waris

147 | P a g e
bahkan kewajiban membayar utang tersebut beralih menjadi beban para ahli
warisnya, kecuali bila ahli waris tersebut menolak waris. Debitur tersebut hanya
dapat bebas dari utang-utangnya apabila para Krediturnya membebaskan utang-
utangnya itu. Berlainan dengan Debitur perorangan (individu) yang masih harus
memikul beban sisa utang-utangnya sampai kepada para ahli warisnya, bagi Debitur
badan hukum dapat terlepas dari beban sisa utang-utangnya dengn cara
membubarkan diri. Di samping itu, para pendiri atau para pemegang saham badan
hukum yang pailit dan telah membubarkan diri dapat mendirikan badan hukum baru
dari para Kreditur.

148 | P a g e
BAB XIV

HAK JAMINAN DAN PINJAMAN UTANG

Dana merupakan “darah” bagi suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan


bisnisnya. Seperti halnya manusia yang tidak mungkin hidup tanpa darah,
perusahaan juga akan mati tanpa dana. Dana bagi sebuah perusahaan diperoleh dari
berbagai sumber. Tergantung dari sumber dana yang diperolehnya, modal suatu
perusahaan dapat berupa modal (equity) (yang berasal dari pendiri) dan apabila
bentuknya Perseroan Terbatas modal tersebut berasal dari pemegang saham dan
berupa utang (loan) yang berasal dari satu atau lebih Kreditur.

Bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (limited liability


company) dana tersebut dapat diperoleh dengan cara menjual saham ke Pasar Modal
melalui Bursa Efek. Melalui Pasar Modal, modal diperoleh dari pemodal atau
investor yang membeli saham perusahaan. Memperoleh modal dengan cara menjual
saham dapat pula diperoleh di luar Pasar Modal dengan cara menjual saham
langsung kepada pemodal (direct placement atau private placement). Apabila
perusahaan tersebut tidak berbentuk perseroan terbatas, misalnya berbentuk firma
atau persekutuan (partnership), maka penyertaan modal oleh investor dilakukan
dengan cara menjadi kongsi atau mitra usaha perusahaan itu.

14.1 SUMBER PELUNASAN UTANG

Apabila Kreditor baik yang berupa lembaga keuangan seperti bank, lembaga
pembiayaan, atau memberikan kredit atau fasilitas pembiayaan kepada calon
nasabahnya atau membeli commercial paper atau obligasi (bond), maka lembaga
keuangan itu akan memastikan bahwa kredit, fasilitas pembiayaan, commercial
paper atau obligasi itu dapat dilunasi oleh Debitur pada waktunya, baik untuk
pokoknya maupun bunganya. Pertama-tama Kreditur harus memperoleh keyakinan
bahwa kegiatan atau usaha bisnis Debitur tersebut dapat menghasilkan pendapatan
yang cukup untuk melunasi kredit atau fasilitas pembiayaan tersebut. Sebelum
pendapatan itu dipakai untuk melunasi utang perusahaan, terlebih dahulu
pendapatan itu harus dapat menutupi kebutahan perusahaan dalam rangka

149 | P a g e
pemupukan cadangan perusahaan dan menutupi biaya-biaya perusahaan. Sumber
utama pelunasan utang dari pendapatan perusahaan sebagaimana dikemukakan di
atas itu dalam dunia perbankan disebut first way out.

14.2 KEKAYAAN DEBITUR MENJADI JAMINAN BAGI


UTANGNYA

Undang-Undang telah mengatur mengenai hal-hal yang yang berhubungan


dengan second way out bagi pemberian utang oleh Kreditur kepada Debitur
sebagaimana dikemukakan di atas. Ketentuan mengenai second way out itu diatur
di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

14.3 HAK JAMINAN DAN JENIS-JENISNYA

Sekalipun undang-undang telah menyediakan perlindungan kepada para


Kreditur sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH
Perdata, tetapi perlindungan tersebut belum tentu menarik bagi calon Kreditur
untuk memberikan utang kepada calon Debitur. Tentulah akan lebih menarik bagi
calon Kreditur apabila hukum menyediakan perlindungan yang khusus dan lebih
baik kepadanya terhadap para Kreditur yang lain dari pada sekedar perlindungan
berupa memperoleh pelunasan secara proporsional dari hasil penjualan harta
Debitur. Adanya pemberian perlindungan khusus telah diisyaratkan oleh Pasal
1132 KUH Perdata yang telah dikemukakan di atas. Pasal tersebut menyebutkan
bahwa seorang Kreditur dapat diberi hak untuk didahulukan dari Kreditur lain.
Bagaimana caranya seorang Kreditur dapat diberi hak untuk didahulukan dari
Kreditur lain sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1132 KUH Perdata?
Menurut Pasal 1133 KUH Perdata, hak didahulukan di antara para Kreditur timbul
dari:

1. hak istimewa
2. gadai
3. hipotek

14.4 ASAS-ASAS DAN HAK JAMINAN

150 | P a g e
Ada beberapa asas yang berlaku bagi Hak Jaminan, baik bagi gadai, fidusia,
hak tanggungan, dan hipotek. Berkaitan dengan uraian dalam tulisan yang
membahas mengenai kedudukan hukum Hak Jaminan dalam kepailitan ini,
dikemukakan beberapa asas yang berlaku bagi Hak Jaminan sebagai berikut:

1. Hak Jaminan memberikan kedudukan yang didahulukan bagi Kreditur


pemegang Hak Jaminan terhadap para Kreditur lainnya.
2. Hak Jaminan merupakan hak accesoir terhadap perjanjian pokok yang
dijamin dengan jaminan tersebut.
3. Hak Jaminan memberikan hak separatis bagi Kreditur pemegang Hak
Jaminan itu.
4. Hak Jaminan merupakan hak kebendaan.
5. Kreditur pemegang hak Hak Jaminan mempunyai kewenangan penuh
untuk melakukan eksekusi atas Hak Jaminannya.
6. Hak Jaminan merupakan hak kebendaan, maka Hak Jaminan berlaku bagi
pihak ketiga.

14.5 HAK JAMINAN DAN PENJAMINAN

Hak Jaminan yang dijelaskan di atas bersifat kebendaan. Artinya, hak


Kreditur terhadap benda yang dibebani dengan Hak Jaminan tersebut mengikuti
terus benda tersebut tanpa mengindahkan terjadinya peralihan hak milik atas benda
tersebut dari pemilik semula kepada orang lain. Tegasnya, peralihan hak milik atas
benda tersebut tidak menghapuskan Hak Jaminan yang dibebankan atas benda
tersebut. Dengan demikian siapa pun yang memiliki benda tersebut, baik pemilik
semula maupun pemilik baru yang memperoleh pemilikan atas benda itu karena
terjadinya peralihan hak milik dari pemilik lama kepada dirinya, terikat kepada Hak
Jaminan yang dibebankan atas benda tersebut. Dalam hukum perdata Indonesia,
penjamin (baik perorangan maupun badan hukum) yang tampil menjamin utang
Debitur tersebut disebut borg, sedangkan perjanjian pemjaminan yang dibuat antara
penjamin dan Kreditur disebut perjanjian borgtocht. Perjanjian borgtocht diatur
dalam Pasal 1800-1850 KUH Perdata.

151 | P a g e
14.6 AKIBAT KEPAILITAN TERHADAP HAK JAMINAN

Bagaimanakah status hukum dari benda-benda milik Debitur yang telah


dibebani dengan Hak Jaminan (yang bersifat kebendaan itu) terhadap harta pailit?
Marilah kita tengok bagaimana UUK-PKPU memperlakukan Hak Jaminan
tersebut.

14.6.1 Kedudukan Hak Separatis pada Kepailitan

Menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU, dengan tetap


memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan
Pasal 58 UUK-PKPU, setiap Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan kebendaan lainnnya, dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Menurut Pasal 55 ayat (2) UUK-
PKPU, dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136
dan Pasal 137 UUK-PKPU, maka mereka hanya dapat berbuat demikian setelah
dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang
diakui dari penagihan tersebut. Pasal 56 ayat (1) UUK-PKPU menentukan, hak
eksekusi Kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU
dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan
Debitur pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari
sejak tanggal putusan penyertaan pailit diucapkan.

14.6.7 Pembagian Hasil Eksekusi Hak Jaminan pada Kepailitan

Ketidakjelasan lain yang timbul sehubungan dengan ketentuan Pasal 56 ayat


(3) UUK-PKPU itu ialah tentang bagaimana uang hasil penjualan barang agunan
akan dibagikan kepada para Kreditur. Apakah hasilnya akan diserahkan seluruhnya
oleh Kurator kepada Kreditur preferen yang menjadi pemegang Hak Jaminan itu,
ataukah akan dibagikan kepada semua Kreditur dengan mengabaikan berlakunya

152 | P a g e
Hak Jaminan tersebut? Ternyata UUK-PKPU tidak berbicara apa-apamengenai hal
ini. Logika hukumnya menentukan, hasil penjualan itu harus diserahkan kepada
Kreditur preferen yang bersangkutan untuk melunasi piutangnya.

14.6.9 Pilihan Hukum

Sehubungan dengan adanya ketidakserasian antara berbagai undang-undang


yang mengatur mengenai Hak Jaminan dan Undang-Undang Kepailitan, timbul
masalah hukum mengenai undang-undang mana yang harus diberlakukan. Apabila
pilihan hukum tersebut didasarkan pada asas bahwa undang-undang yang baru
meniadakan berlakunya undang-undang yang lama, sulit pula untuk memilihnya.
Undang-undang jaminan fidusia merupakan undang-undang yang lebih baru dari
pada Undang-Undang Kepailitan. Jadi kalau asas tersebut yang diberlakukan, maka
apabila terjadi pertentangan antara Undang-Undang Kepailitan dan undang-undang
jaminan fidusia, maka seharusnya undang-undang jaminan fidusia yang harus
diberlakukan. Tetapi di pihak lain, karena UUK-PKPU lebih baru dari pada
ketentuan Hak Jaminan gadai yang diatur oleh KUH Perdata, ketentuan tentang Hak
Jaminan hipotek yang telah diatur oleh KUH Perdata maupun UU No. 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan dan UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, dan
UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka yang harus dipilih adalah UUK-
PKPU.

153 | P a g e
BAB XV

Ada dua cara yang disediakan oleh UUK-PKPU agar Debitur dapat terhindar
dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika Debitur telah atau akan berada
dalam keadaan insolven. Cara yang pertama, ialah dengan mengajukan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang disingkat PKPU. PKPU diatur dalam Bab III, Pasal
222 sampai dengan Pasal 294 UUK-PKPU. Tujuan pengajuan PKPU, menurut
Pasal 222 ayat (2) UUK-PKPU, adalah untuk mengajukan Rencana Perdamaian
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditur.
Menurut Penjelasan Pasal 222 ayat (2) UUK-PKPU, yang dimaksud dengan
“Kreditur” adalah baik Kreditur konkruen maupun Kreditur yang didahulukan.
Cara yang kedua yang dapat ditempuh oleh Debitur agar harta kekayaannya
terhindar dari likuidasi adalah mengadakan perdamaian antara Debitur dengan para
Krediturnya setelah Debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perdamaian
tersebut tidak dapat mengindarkan kepailitan, karena kepailitan itu sudah terjadi.

15.5 PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN PKPU

Secara khusus, UUK-PKPU menentukan tata cara (prosedur) yang harus


ditempuh untuk mengajukan permohonan PKPU. Menurut Pasal 224 ayat (1)
UUK-PKPU, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 222 UUK-PKPU harus diajukan kepada pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UUK-PKPU, dengan ditandatangani oleh
pemohon dan oleh advokatnya. Pasal 224 ayat (2) UUK-PKPU menentukan
bahwa dalam hal pemohon adalah Debitur, permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan
utang Debitur beserta surat bukti secukupnya. Dalam hal pemohon adalah Kreditur,
pengadilan wajib memanggil Debitur melalui juru sita dengan surat kilat tercatat
paling lambat tujuh hari sebelum sidang. Demikian ditentukan oleh Pasal 224 ayat
(3) UUK-PKPU. Selanjutnya, menurut Pasal 224 ayat (4) UUK-PKPU, pada
sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Debitur mengajukan daftar yang

154 | P a g e
memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitur beserta surat bukti secukupnya
dan, bila ada, rencana perdamaian.

15.8 PKPU SEMENTARA

Sebelum Pengadilan Niaga memutuskan untuk mengadakan pemberian


PKPU Tetap, baik Debitur maupun Kreditur dapat mengajukan untuk diberikan
putusan PKPU Sementara. Hal itu dapat diketahui dari ketentuan Pasal 225 ayat
(2) dan ayat (3) UUK-PKPU. Untuk jelasnya di bawah ini dikutipkan bunyi
lengkap Pasal 225 UUK-PKPU:
1. Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1), berikut
lampirannya, bila ada, harus disediakan di Kepaniteraan Pengadilan, agar
dapat dilihat oleh setiap orang dengan Cuma-Cuma.
2. Dalam hal permohonan diajukan oleh Debitur, Pengadilan dalam waktu
paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan
sebagaimana di maksud dalam Pasal 224 ayat (1) harus mengabulkan
penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk
seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu)
atau lebih Pengurus yang bersama dengan Debitur mengurus harta Debitur.
3. Dalam hal permohonan diajukan oleh Kreditur, Pengadilan dalam waktu
paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat
permohonan, harus mengabulkan permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari
hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih Pengurus yang
bersama dengan Debitur mengurus harta Debitur.
4. Segera setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara
diucapkan, Pengadilan melalui Pengurus wajib memanggil Debitur dan
Kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk
menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-
45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan penundaan kewajiban
pembayaran utang sementara diucapkan.

155 | P a g e
Dalam hal Debitur tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) penundaan kewajiban pembayaran utang sementara berakhir dan Pengadilan
wajib menyatakan Debitur Pailit dalam sidang yang sama.

15.9.6 Pemanggilan Para Kreditur dan Pengumuman tentang PKPU


Sementara

Dalam Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU ditentukan bahwa segera setelah
ditetapkan putusan PKPU Sementara, Pengadilan Niaga melalui pengurus yang
diangkat wajib memanggil Debitur dan Kreditur yang dikenal dengan surat tercatat
atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling
lambat pada hari ke-45 terhitung setelah putusan PKPU Sementara tersebut
diucapkan. Menurut Pasal 226 ayat (1) UUK-PKPU, putusan PKPU Sementara
wajib diumumkan pleh pengurus dalam:

a. Berita Negara Republik Indonesia, dan


b. Dua surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

15.9.7 Biaya Pengurusan & Imbalan Jasa Pengurus


Dalam putusan PKPU Sementara, menurut Pasal 234 ayat (5) UUK-PKPU,
Pengadilan Niaga harus mencantumkan besarnya biaya pengurusan harta Debitur
oleh pengurus dan imbalan jasa bagi pengurus. Pedoman mengenai besarnya
imbalan jasa bagi pengurus ditetapkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia.

15.14 PUTUSAN PKPU BERSIFAT FINAL

Pasal 235 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa terhadap putusan


penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apa
pun. Menurut Pasal 235 ayat (2) UUK-PKPU, putusan sebagaimana dimaksud

156 | P a g e
pada Pasal 235 ayat (1) UUK-PKPU tersebut harus diumumkan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 UUK-PKPU.

15.16 DAFTAR UMUM

Sehubungan dengan diberikannya PKPU, Pasal 232 ayat (1) UUK-PKPU


mewajibkan kepada panitera pengadilan untuk mengadakan daftar umum perkara
PKPU dengan mencantumkan hal-hal sebagai berikut:
a. putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap berikut
perpanjangannya;
b. kutipan putusan pengadilan yang menetapkan penundaan kewajiban
pembayaran utang sementara maupun yang tetap dan
perpanjangannya
c. nama Hakim Pengawas dan pengurus yang diangkat;
d. ringkasan isi perdamaian dan pengesahan perdamaian tersebut oleh
pengadilan;
e. pengakhiran perdamaian.

15.22.4 Perjanjian Kerja

Pasal 252 UUK-PKPU mengatur mengenai status hukum perjanjian kerja


sehubungan dengan berlakunya PKPU. Menurut Pasal 252 ayat (1) UUK-PKPU,
segera setelah PKPU Sementara dimulai, Debitur berhak untuk memutuskan
hubungan kerja dengan karyawannya. Pelaksanaan pemutusan hubungan kerja itu
harus dilakukan dengan mengindahkan:

Ketentuan Pasal 240 UUK-PKPU

Tenggang waktu yang telah disetujui atau disyaratkan dalam perjanjian kerja atau
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa
hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45
(empat puluh lima) hari sebelumnya.

157 | P a g e
15.24 KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM INTERNASIONAL

Menurut Pasal 264 UUK-PKPU, ketentuan hukum internasional


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212, Pasal 213, dan Pasal 214, berlaku
mutatis mutandis dalam hal PKPU. Baca penjelasan terdahulu di Bab 18 mengenai
pasal-pasal tersebut.

15.26 KASASI

Apabila permohonan PKPU Tetap ditolak, bagi Debitur tidak disediakan


upaya hukum untuk dapat melakukan kasasi. Sebaliknya, apabila PKPU Tetap itu
dikabulkan, Kreditur tidak pula dapat mengajukan upaya hukum berupa kasasi.
Bagi Debitur hal ini merupakan konsekuensi dari Pasal 230 ayat (1) UUK-PKPU
yang menentukan bahwa dalam hal permohonan PKPU Tetap ditolak, maka
pengadilan wajib menyatakan Debitur pailit.
Menurut Penjelasan Pasal 230 ayat (1) UUK-PKPU, persetujuan terhadap
rencana perdamaian harus dicapai paling lambat pada hari ke-270, sedangkan
pengesahan perdamaian dapat diberikan sesudahnya.

15.27 STATUS DEBITUR APABILA PERMOHONAN PKPU TETAP


DITOLAK

Pasal 228 ayat (5) UUK-PKPU menentukan apabila PKPU tetap tidak dapat
ditetapkan oleh pengadilan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 228 ayat (4) UUK-PKPU atau dalam jangka waktu 270 hari sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU, maka debitur wajib dinyatakan
pailit oleh hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa permohonan PKPU tersebut.

15.28 BERAKHIRNYA PKPU

158 | P a g e
Menurut Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU, PKPU dapat diakhiri atas
permintaan;
1. Hakim Pengawas
2. Satu atau lebih Kreditur

159 | P a g e
BAB XVI

Perdamaian dalam perkara Kepailitan

16.1 Definisi Perdamaian Kepailitan

Bahwa perdamaian merupakan salah satu mata rantai dalam proses


kepailitan. Perdamaian dalam proses kepailitan ini sering juga disebut dengan
istilah “akkoord” (bahasa Belanda) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
“composition”. Pasal 144 UU K-PKPU menentukan bahwa Debitor Pailit berhak
untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.

Bahwa perdamaian merupakan salah satu mata rantai dalam proses kepailitan.
Perdamaian dalam proses kepailitan ini sering juga disebut dengan istilah
“akkoord” (bahasa Belanda) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
“composition”. Sebenarnya perdamaian dalam proses kepailitan pada prinsipnya
sama dengan perdamaian dalam pengertian yang umum, yang intinya terdapatnya
”kata sepakat” antara para pihak yang bertikai. Jadi, kata kuncinya adalah “kata
sepakat”. Untuk perdamaian dalam proses kepailitan, kata sepakat tersebut
diharapkan terjadi antara pihak debitor dan para kreditornya terhadap rencana
perdamaian (composition plan) yang diusulkan oleh debitor. Berdasarkan
pengertian perdamaian diatas, maka dapat dikatakan bahwa perdamaian merupakan
perjanjian yang dilakukan kedua pihak antara kreditor dengan debitor [1]

16.2 Isi Rencana Perdamaian

Isi rencana perdamaian (composition plan) adalah kemungkinan:

1. Utang akan dibayar sebagian;


2. Utang akan dibayar dicicil;
3. Utang akan dibayar sebagian dan sisanya dicicil

Dalam rencana perdamaian tersebut harus jelas alternatif perdamaian dimaksud,


sehingga Kreditornya mempersiapkan diri untuk mempertimbangkannya dalam
rapat yang bersangkutan[2]

160 | P a g e
16.3 Prosedur & Pengaturan Pengajuan Rencana Perdamaian

Perdamaian dalam UU K-PKPU diatur dalam Pasal 144 sampai dengan


Pasal 177. Pengajuan Perdamaian dilakukan paling lambat 8 (delapan) hari sebelum
rapat pencocokan piutang. Rencana perdamaian disediakan di Kepaniteraan
Pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma-cuma oleh setiap orang yang
berkepentingan. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil
keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang, kecuali dalam hal yang
tersebut dilakukan penundaan

Penundaan dapat dilakukan jika:

Pembicaraan dan keputusan mengenai rencana perdamaian sebagaimana


dimaksud ditunda sampai rapat berikut yang tanggalnya ditetapkan oleh Hakim
Pengawas paling lambat 21

(dua puluh satu) hari kemudian, dalam hal:

1. apabila dalam rapat diangkat panitia kreditor tetap yang tidak terdiri atas
orang -orang yang sama seperti panitia kreditor sementara, sedangkan
jumlah terbanyak Kreditor menghen - daki dari panitia kreditor tetap
pendapat tertulis tentang perda maian yang diusulkan tersebut;
2. rencana perdamaian tidak disediakan di Kepaniteraan Penga- dilan dalam
waktu yang ditentukan, sedangkan jumlah terban- yak Kreditor yang hadir
menghendaki pengunduran rapat.

Yang tidak boleh ikut memberikan suara dalam dalam penentuan putusan rencana
perdamaian tersebut antara lain:

1. pemegang gadai;
2. pemegang jaminan fidusia;
3. pemegang hak tanggungan;
4. pemegang hipotik;
5. pemegang hak agunan lainnya;

161 | P a g e
6. Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah

Dalam Pemungutan suara tersebut tidak memutup kemungkinan terjadinya


pengulangan pemungutan suara sebagaimana diatur dalam UU K-PKPU:

“pemungutan suara akan diulang apabila lebih dari ½ jumlah Kreditor yang hadir
pada rapat dan mewakili Paling sedikit ½ jumlah piutang Kreditor yang mempunyai
hak suara Menyetujui untuk menerima rencana perdamaian tersebut.”

16.4 Berita Acara dalam Perdamaian.

Berita cara dalam perdamaian wajib memuat:

1. Isi perdamaian;
2. Nama Kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara dan
menghadap;
3. Suara yang dikeluarkan;
4. Hasil pemungutan suara; dan
5. Segala sesuatu yang terjadi dalam rapat

Berita acara rapat ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan panitera


pengganti. Setiap orang yang berkepentingan dapat melihat dengan cuma-cuma
berita acara rapat yang disediakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal
berakhirnya rapat di Kepaniteraan Pengadilan.

16.5 Homologasi

Menurut vide Pasal 216 UU No. 37 Tahun 2004 suatu perdamaian disetujui
oleh para kreditor konkuren menurut jumlah suara yang ditentukan dalam undang-
undang masih perlu disahkan oleh pengadilan niaga. Acara pengesahan ini disebut
dengan istilah ratifikasi dan sidang pengesahan tersebut disebut dengan
homologasi, selanjutnya dapat ditempuh proses rehabilitasi.

Ketentuan mengenai homologasi:

162 | P a g e
a. Homologasi dilakukan paling cepat 8 hari dan paling lambat 14 hari setelah
diterimanya rencana perdamaian dalam rapat pemungutan suara;
b. Sidang pengadilan untuk membahas pengesahan perdamaian dilakukan
terbuka untuk umum;
c. Homologasi wajib diberikan pada sidang tersebut atau paling lambat 7 hari
setelah sidang yang bersangkutan.

Jika Pengadilan Niaga menolak pengesahan perdamaian dalam sidang


homologasi, menurut Pasal 161 Ayat (1) UU K-PKPU tersedia prosedur kasasi ke
Mahkamah Agung bagi pihak-pihak yang berkeberatan atas penolakan tersebut.
Konsekuensinya adalah karena keputusan penolakan tersebut belum bersifat final
binding (inkracht), maka putusan perdamaian tersebut belum bisa dijalankan
(bukan merupakan keputusan uitvoorbaar bij voorraad), dan proses kepailitan juga
belum bisa berakibat insolvensi, atau pengakhiran kepailitan juga belum bisa terjadi
(Pasal 166 juncto Pasal 178 UU Nomor 37 Tahun 2004). Sebab jika perdamaian
diterima, kepailitan segera berakhir dan proses perdamaian akan segera direalisasi
(dilakukan pembagian). Akan tetapi, jika perdamaian ditolak, proses kepailitan
segera masuk ke tahap insolvensi.

Dalam sidang homologasi tersebut, pengadilan niaga dapat menolak pengesahan


suatu perdamaian jika ada alasan untuk itu. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai
berikut :

1. Harta pailit, termasuk hak retensi sangat jauh melebihi jumlah yang
dijanjikan dalam perdamaian.
2. Pemenuhan perdamaian tidak cukup terjamin.
3. Perdamaian telah tercapai karena penipuan, kolusi dengan seorang kreditor
atau lebih, atau penggunaan cara-cara lain yang tidak jujur, tanpa melihat
4. apakah debitor pailit turut melakukannya atau tidak.

(Pasal 159 Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004)

163 | P a g e
BAB XVII

BERAKHIRNYA KEPAILITAN KELANJUTAN DEBITUR PAILIT DAN


STATUS HUKUM DEBITUR PAILIT SETELAH TINDAKAN
PEMBERESAN

17.1 BERAKHIRNYA KEPAILITAN

menurut UUK PKPU, Kepailitan berakhir karena beberapa sebab. Selama


kepailitan belum dinyatakan berakhir, maka dengan sendirinya kepailitan masih
terus berlangsung Kepailitan hanya berakhir:

nutimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu apabila kepailitan
dicabut oleh pengadilan PKPU.

Putusan pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUK


sebagaimana dimaksud oleh Pasal 166 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu dalam hal
pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 202 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu dengan tidak mengurangi
berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, segera setelah
kepada Kreditur yang telah dicocokkan, dibayarkan jumlah penuh piutang mereka,
atau segera setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat.

17.2 PENCABUTAN PUTUSAN PAILIT

Undang-Undang Kepailitan menentukan, kepailitan Debitur yang


ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan dapat diakhiri dengan dua cara. Cara
yang sama, ialah dengan dicabutnya putusan pailit tersebut oleh Pengadilan Niaga.
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 19 UUK-PKPU. Cara yang kedua
ialah dengan tercapainya perdamaian antara Debitur pailit dengan para Kreditur dan
kemudian disahkannya perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga. Hal tersebut sesuai
dengan bunyi ketentuan Pasal 166 UUK-PKPU.

164 | P a g e
17.2.1 Putusan Pencabutan Kepailitan

Apakah kepailitan seorang Debitur dapat dicabut? UUK-PKPU


memungkinkan hal yang demikian itu, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 18 dan
Pasal 19 UUK-PKPU Menurut Pasal 18 ayat (1) UUK-PKPU, dalam hal Harta
Pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan (artinya, nilai Harta Pailit lebih
kecil daripada biaya untuk membereskannya), maka Pengadilan Niaga atas usul
Hakim Pengawas dan setelah mendengar Panitia Kreditur Sementara jika ada, serta
setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitur, dapat memutuskan
pencabutan putusan pernyataan pailit. Putusan pencabutan tersebut, demikian
ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) UUK-PKPU, wajib diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum. Sekalipun tidak ditentukan secara tegas dalam UUK-PKPU,
secara logika hukum dengan putusan pencabutan kepailitan tersebut, maka
berakhirlah kepailitan Debitur. Dengan pencabutan kepailitan tersebut, berakhir
pula kekuasaan Kurator untuk mengurus kekayaan Debitur dan selanjutnya Debitur
berwenang kembali mengurus harta kekayaannya seperti sebelum putusan
pernyataan pailit dijatuhkan. Menurut Pasal 18 ayat (3) UUK-PKPU. Majelis
Hakim yang memerintahkan pencabutan pailit tersebut wajib menetapkan jumlah
biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator. Selanjutnya Pasal 18 ayat (4) UUK-
PKPU, menentukan bahwa jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan kepada Debitur. UUK-PKPU
tidak menentukan bagaimana halnya apabila Debitur tidak mampu untuk memikul
jumlah biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator tersebut. Pasal 18 ayat (7)UUK-
PKPU menentukan bahwa untuk pelaksanaan pembayaran biaya kepailitan dan
imbalan jasa Kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua pengadilan
mengeluarkan penetapan eksekusi (fiat eksekusi) atas permohonan Kurator yang
diketahui Hakim Pengawas.Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUK-PKPU,
putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, wajib diumumkan oleh
panitera pengadilan.Pengumuman tersebut dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan palingsedikit dua surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (4) UUK-PKPU.

165 | P a g e
17.2.2 Perlawanan Terhadap Permohonan Pencabutan Kepailitan

Pasal 19 ayat (2) UUK-PKPU menentukan, Debitur dan para Kreditur


dibolehkan mengajukan perlawanan terhadap permohonan pencabutan kepailitan
dengan cara dan dalam jangka waktu yang sama pula seperti yang telah ditetapkan
mengenai putusan yang menolak pernyataan pailit. Berkenaan dengan hal tersebut,
apa terhadap putusan tersebut dapat diajukan perlawanan berupa kasasi dan/atau
peninjauan kembali? Ternyata menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUK-PKPU,
hal itu dimungkinkan. Namun demikian, Pasal 19 ayat (2) UUK-PKPU atau dalam
ayat-ayat yang lain tidak ditentukan siapa yang dapat mengajukan kasasi atau
peninjauan kembali itu. Oleh karena alasan pencabutan tersebut adalah tidak
cukupnya nilai Harta Pailit untuk menutup biaya pemberesan dan membayar
imbalan Kurator, maka perlu dipertanyakan apakah Debitur berkepentingan untuk
melakukan perlawanna terhadap pencabutan putusan pailit tersebut?

17.2.3 Pencabutan Kepailitan untuk Kedua Kalinya

Apakah setelah Pengadilan Niaga menetapkan pencabutan terhadap suatu


kepailitan masih dimungkin diajukar: lagi permohonan pernyataan pailit untuk
kedua kalinya terhadap Debitur yang bersangkutan? UUK-PKPU membuka
kemungkinan yang demikian itu yang diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UUK-PKPU.
Namun demikian, Debitur atau pemohon wajib membuktikan bahwa Debitur
memiliki harta yang cukup nilainya untuk membayar biaya kepailitan. Maksud
ketentuan ini adalah untuk menghindari terjadinya keadaan di mana ternyata biaya
kepailitan yang menurut ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUK PKPU harus dibayarkan
mendahului pembayaran tagihan para Kreditur konkuren memang betul lebih besar
jumlahnya daripada nilai harta pailit. Kalau sampai terjadi hal itu, maka putusan
pernyataan pailit yang kedua kali setelah putusan pernyataan pailit yang pertama
itu dicabut oleh Pengadilan Niaga akan sia-sia saja. Dengan bunyi Pasal 19 ayat (3)
UUK-PKPU yang demikian itu timbul pertanyaan yuridis sebagai berikut: Apakah
setelah permohonan pernyataan pailit diajukan lagi untuk kedua kalinya, yaitu
setelah kepailitan yang pertama dicabut, boleh diajukan permohonan pencabutan
untuk kedua kalinya? Berapa kali batas untuk dapat mengajukan pencabutan

166 | P a g e
kepailitan terhadap kepailitan yang sebelumnya sudah pernah dicabut oleh
pengadilan? UUK-PKPU tidak menentukan berapa kali batas pencabutan suatu
kepailitan Debitur boleh diajukan. Dengan demikian, secara teoretis dan yuridis
tidak dilarang untuk mencabut suatu kepailitan lebih dari satu kali.

17.2.4 Prioritas Biaya Kepailitan dan Imbalan Jasa Kurator

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pembayaran atas biaya kepailitan


dan Imbalan jasa Kurator menurut Pasal 18 ayat (5) UUK-PKPU harus didahulukan
atas semua utang yang tidak dijamin dengan agunan kata lain, memiliki kedudukan
utang-piutang yang dijamin dengan segala jenis Hak Jaminan bukan sebagai
piutang yang diistimewakan yang berkedudukan lebih tinggi daripada disamping
itu, menurut Pasal 18 ayat (6) UUK-PKPU, terhadap penetapan Majelis Hakim
mengenai biaya kepailitan dan imbalan jasa Kurator sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), tidak dapat diajukan upaya hukum. Penetapan tersebut bersifat final.

17.3 KELANJUTAN PERUSAHAAN DEBITUR PAILIT

Apabila menurut pertimbangan bahwa dalam rangka pelunasan utang-


utangnya kepada para Krediturnya, kegiatan usaha perusahaan Debitur akan lebih
memperhitungkan bagi kepentingan Kreditur dan/atau Debitur, tidak dilikuidasi
tetapi dilanjutkan, imaka hal yang demikian itu dapat diusulkan oleh Kurator atau
salah seorang Krediturnya yang hadir dalam rapat pencocokan piutang. Di Bab ini
dijelaskan mengenai proses pengusulan tersebut.

17.3.1 Pihak yang Berhak Mengusulkan kelanjutan Perusahaan Debitur


Pailit

Menurut Pasal 104 ayat (1) UUK-PKPU, berdasarkan persetujuan Panitia


Kreditur sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitur yang dinyatakan
pailit walaupun diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Namun demikian, apabila
dalam kepailitan tidak diangkat Panitia Kreditur, menurut Pasal 104 ayat (2) UUK-
PKPU, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 178 ayat (2) UUK-PKPU menentukan
bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104UUK-PKPU(dan Pasal

167 | P a g e
106 UUK-PKPU) tidak berlaku, apabila sudah ada kepastian bahwa perusahaan
Debitur pailit tidak akan dilanjutkan menurut pasal-pasal di bawah ini (yaitu Pasal
179 UUK-PKPU dan seterusnya) atau apabila kelanjutan usalia itu dihentikan.
Menurut Pasal 179 ayat (1) UUK-PKPU, jika dalam rapat pencocokan piutang tidak
ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan
tidak diterima (ditolak), Kurator atau Kreditur yang hadir dalam rapat dapat
mengusulkan supaya perusahaan Debitur pailit dilanjutkan (kegiatan usangan kata
lain tidak dibubarkan). Berkaitan dengan ushul sebagaimana dimaksu dalam ayat
(1) tersebut, menurut Pasal 179 ayat (2) UUK-PKPU.) Panitia Kreditur dan Kurator
wajib memberikan pendapat mengenai usul tersebut. Menurut Pasal 179 ayat (3)
UUK-PKPU, atas permintaan Kurator atau salah seorang dari Kreditur yang hadir,
Hakim Pengawas (wajib) menunda pembicaraan dan pengambilan keputusan atas
paling lambat 14 hari sesudah penundaan tersebut.usul tersebut, sampai
diadakannya rapat yang (harus) ditetapkan (oleh Hakim Pengawas)

17.3.2 Rapat tentang Usul Kelanjutan Perusahaan Debitur Pailit

Selanjutnya menurut Pasal 179 ayat (4) UUK-PKPU, Kurator wajib segera
memberitahu Kreditur yang tidak hadir dalam rapat (pencocokan piutang)
mengenai akan diadakannya rapat (sebagaimana dimaksud dalam ayat [3]) dengan
surat dimaksud dalam Pasal 119. yang memuat usul tersebut dan diingatkan tentang
adanya ketentuan sebagaimana dalam Pasal 119. Sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 119 UUK PKPU. Kurator wajib menyediakan di kepaniteraan pengadilan
salinan dari masing-masing daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 UUK-
PKPU, selama tujuh hari sebelum hari pencocokan piutang. dan setiap orang dapat
melihatnya dan Apabila Pasal 179 ayat (4) UUK-PKPU dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 12 UUK-PKPU, berarti untuk penyelenggaraan rapat yang dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (4) UUK-PKPU diwajibkan bagi Kurator untuk menyediakan selama
tujuh hari sebelum diselenggarakannya rapat yang dimaksud dalam Pasal 179 ayat
(3) PKPU di kepaniteraan Pengadilan Niaga masing-masing salinan daftar "piutang
yang sementara diakui" dan daftar dari "piutang yang dibantah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 117 UUK-PKPU. Menurut Pasal 179 ayat (5) UUK-PKPU,

168 | P a g e
dalam rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (yaitu rapat yang akan
membicarakan usul agar kegiatan perusahaan Debitur dilanjutkan), jika diperlukan
dapat dilakukan pula pencocokan terhadap piutang yang dimasukkan (yang
diajukan kemudian) sesudah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 113 ayat (1) UUK-PKPU dan belum dicocokkan menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133.

17.3.3 Putusan Hakim Pengawas Mengenal Usul tentang Kelanjutan

Perusahaan Debitur Pailit Menurut Pasal 183 ayat (1) UUK-PKPU, atas
permintaan Kreditur atau Kurator, Hakim Pengawas dapat memerintahkan supaya
kelanjutan perusahaan dihentikan. Yang dimaksud pasal ini adalah berkaitan
dengan keputusan untuk melanjutkan kegiatan usaha Debitur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 179 UUK-PKPU sampai dengan Pasal 182 UUK-PKPU.
Apabila ada alasan untuk itu, Kreditur atau Kurator dapat diberikan kepada Debitur
perusahaan untuk melanjutkan kegiatan usahanya tidak mengajukan permintaan
kepada Hakim Pengawas agar keputusan untuk diberlakukan lagi dan perusahaan
Debitur dihentikan kegiatan usahanya. Agar permintaan Kreditur atau Kurator
untuk menghentikan kelanjutan kegiatan usaha perusahaan tidak diajukan
sewenang-wenang (tanpa ada alasan yang dapat diterima), menurut Pasal 183 ayat
(2) UUK-PKPU Hakim Pengawas wajib memanggil dan mendengar alasan Panitia
Kreditur, apabila panitia tersebut memang ada. Kurator juga wajib didengar apabila
permintaan tersebut tidak diajukan oleh Kurator. Menurut Pasal 183 ayat (3) UUK-
PKPU, bakar. Hakim Pengawas juga dapat mendengar penjelasan Kreditur yang
mengajukan permintaan tersebut) dan Debitur pailit yang bersangkutan.
Sehubungan dengan itu, permintaan tersebut dapat dikabulkan atau ditolak. Bila
dikabulkan, maka perusahaan Debitur pailit tidak dilanjutkan kegiatan usahanya,
sedangkan apabila permintaan tersebut ditolak, kegiatan perusahaan Debitur pailit
tetap berlanjut (keputusan semula agar kegiatan usaha perusahaan Debitur
dilanjutkan tetap berlaku).

17.4 STATUS HUKUM DEBITUR SETELAH PEMBERESAN HARTA


PAILIT

169 | P a g e
Sesuai ketentuan Pasal 202 ayat (1) UUK-PKPU, segera setelah kepada
Kreditur yang telah dicocokkan dibayarkan jumlah penuh piutang mereka, atau
segera setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka berakhirlah
kepailitan, dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 203 UUK-PKPU. Bagaimana ketentuan Pasal 203 UUK-PKPU yang
disebut-sebut dalam Pasal 202 ayat (1) UUK-PKPU tersebut? Sebagaimana telah
pernah dikemukakan sebelumnya, Pasal 203 UUK-PKPU menentukan bahwa
apabila sesudah adakan pembagian penutup, ternyata ada pembagian yang tadinya
dicadangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (3) UUK PKPU jatuh
kembali dalam Ta pailit, atau apabila ternyata masih terdapat bagian Harta Pailit
yang sewaktu mengaadakan pemberesan tidak diketahui, maka Kurator atas
perintah Pengadilan Niaga membereskan dan membagikan cadangan yang jatuh
kembali ke dalam Harta pailit tersebut atau bagian dari Harta Pailit yang tidak
diketahui itu kepada para Kreditur berdasarkan daftar pembagian yang telah dibuat
sebelumnya. Dengan demikian, Kurator masih tetap harus menjalankan
kewajibannya sekalipun tindakan pemberesan telah selesai dan kepailitan berakhir
karena selesainya tindakan pemberian itu apabila terdapat keadaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 203 UUK-PKPU tersebut. Tindakan selanjutnya dari
Kurator, setelah kepailitan berakhir karena telah berakhirya tindakan pemberesan,
adalah melakukan pengumuman mengenai berakhirnya kepailitan tersebut dalam
Berita Negara Republik Indonesia dan surat kabar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) UUK PKPU. Demikian ditentukan oleh Pasal 202 ayat (2) UUK-
PKPU.

17.4.1 Rehabilitasi Debitur Pailit

Pertanyaan yang timbul sehubungan dengan berlakukan ketentuan Pasal


202 ayat (1) UUK-PKPU di atas, apakah dengan berakhirnya kepailitan Debitur
itu maka demi hukum Debitur kembali berwenang berusaha dan mengurus harta
kekayaannya? UUK-PKPU mengambil sikap bahwa sekalipun kepailitan sudah
berakhir, yaitu berakhir karena sebab-sebab yang ditentukan dalam Pasal 166 UUK-
PKPU (karena pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap)

170 | P a g e
dan Pasal 202 UUK-PKPU (karena Kreditur yang telah dicocokkan piutangnya
telah memperoleh pembayaran penuh atas piutangnya tersebut) UUK-PKPU, tidak
otomatis membuat Debitur pailit kembali berhak mengelola harta kekayaannya.
Untuk dapat kembali berwenang mengelola harta kekayaannya, terlebih dahulu
Debitur pailit yang bersangkutan harus memperoleh rehabilitasi. Menurut ketentuan
Pasal 215 UUK-PKPU, setelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 166, Pasal 202, dan Pasal 207 UUK-PKPU, Debitur atau ahli warisnya
berhak mengajukan permohonan rehabilitasi kepada pengadilanyang telah
mengucapkan putusan pernyataan pailit. Dengan demikian, agar kembali
berwenang untuk dapat melakukan kegiatan usaha dan mengurus kekayaannya,
Debitur harus mengajukan permohonan rehabilitasi kepada Pengadilan Niaga yang
semula memeriksa kepailitan yang bersangkutan. Dengan kata lain, kewenangan
untuk dapat melakukan kegiatan usaha dan mengurus harta kekayaannya tidak
terjadi demi hukum setelah tindakan pemberesan selesai dilakukan oleh. Kurator.
Penjelasan Pasal 215 UUK-PKPU mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
"rehabilitasi” adalah pemulihan nama baik Debitur yang semula dinyatakan pailit,
melalui putusan pengadilan yang berisi keterangan bahwa Debitur telah memenuhi
kewajibannya.

17.4.2 Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Rehabilitasi

Menurut Pasal 215, setelah berakhirnya kepailitan menurut Pasal 166 UUK-
PKPU (berakhirnya kepailitan karena diberikannya pengesahan perdamaian
pengadilan, Penulis) dan Pasal 202 UUK-PKPU (berakhirnya kepailitan karena
telah dibayarnya secara penuh piutang para Kreditur yang telah dicocokkan
piutangnya berakhirnya kepailitan karena pembagian penutup telah memperoleh
kekuatan yang pasti). Debitur pailit para ahli warisnya berhak untuk mengajukan
Permohonan rehabilitasi kepada Pengadilan Niaga yang semula memeriksa
kepailitanug bersangkutan. Ketentuan Pasal 215 UU-PKPU sebenarnya juga
menunjuk Pasal 207 UUK-PKPU sebagai ketentuan tentang berakhirnya kepailitan
tetapi bila Pasal 207 UUK-PKPU tersebut dibaca, ternyata Pasal 207 UUK-PKPU
tersebut tidak berkaitan dengan berakhirnya kepailitan tetapi berkaitan dengan

171 | P a g e
kepailitan harta peninggalan dari Debitur yang telah meninggal dunia. Dari bunyi
ketentuan Pasal 215 UUK-PKPU tersebut dapat disimpulkan bahwa yang berhak
mengajukan permohonan rehabilitasi hanya Debitur pailit atau ahli warisnya.
Dengan kata lain, baik Hakim Pengawas maupun salah satu atau lebih Krediturnya
tidak berhak untuk mengajukan permohonan rehabilitasi tersebut. Pasal tersebut
dapat menimbulkan selisih pendapat mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Apakah permohonan rehabilitasi itu harus diajukan oleh Debitur


pailit sendiri (atau ahli warisnya) atau harus diajukan oleh Kurator?
Pandangan yang dapat diajukan, adalah oleh karena perbuatan
pengajuan permohonan rehabilitasi adalah untuk kepentingan
pribadi Debitur pailit sendiri dan perbuatan tersebut bukan
merupakan perbuatan hukum yang menyangkut harta kekayaan
Debitur pailit yang menjadi kewenangan Kurator (yaitu karena
Debitur yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga tidak
memiliki kewenangan lagi untuk melakukan perbuatan hukum yang
menyangkut harta kekayaannya), maka pengajuan permohonan
rehabilitasi itu harus diajukan oleh Debitur pailit sendiri.
b. Apakah pengajuan permohonan tersebut harus diajukan oleh
penasihat hukum seperti halnya pengajuan permohonan pernyataan
pailit? Pendapat yang dapat diajukan, adalah oleh karena engajuan
permohonan rehabilitasi tersebut tidak memerlukan pengetahuan
hukum yang rumit, tidak ada masalah apabila permohonan
rehabilitasi tersebut dapat diajukan oleh Debitur pailit sendiri.

17.4.3 Syarat-syarat dan Tata Cara Pengajuan Permohonan Rehabilitasi

Permohonan Debitur pailit ataupun para ahli warisnya mengenai hal di atas,
menurut Pasal 216 UUK-PKPU tidak akan diterima sebagaimana mestinya, kecuali
apabila pada surat permohonan dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa semua
Kreditur yang diakui sudah memperoleh pembayaran tagihan secara memuaskan.
Dalam Penjelasan Pasal 216 UUK-PKPU dikemukakan bahwa yang dimaksud
dengan pembayaran secara memuaskan" adalah bahwa Kreditur yang diakui tidak

172 | P a g e
akan mengajukan tagihan lagi terhadap Debitur, sekalipun mereka mungkin tidak
menerima pembayaran atas seluruh tagihannya. Permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 216 UUK-PKPU tersebut harus diumumkan paling sedikit
dalam dua surat kabar yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga. Demikian ditentukan
oleh Pasal 217 UUK-PKPU.

17.4.4 Perlawanan Terhadap Permohonan Rehabilitasi

Dalam 60 hari setelah permohonan rehabilitasi diumumkan paling sedikit


dalam dua surat kabar harian, ketentuan Pasal 218 ayat (1) UUK-PKPU, setiap
Kreditur yang diakui dapat mengajukan keberatan terhadap permohonan telah
memasukkan surat keberatan disertai alasan di kepaniteraan pengadilan dan
panitera harus memberi tanda penerimaan, Pasal 218 ayat (2) UUD-Pkr bahwa
keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan apabila
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 UUK-PKPU tidak dipenuhi,
yaitu Debitur atau ahli warisnya tidak melampirkan dalam surat persyaratan bukti
bahwa semua Kreditur yang diakui sudah memperoleh pembayaran secara
melunaskannya. Mengenai hal tersebut dapat diberi pandangan, bahwa perlawanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (2) UUK-PKPU tidak boleh
didasarkan atas alasan lain, selain bahwa permohonan untuk mengajukan
rehabilitasi itu tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 216 UUK-PKPU. Dengan
kata lain, alasan untuk mengajukan perlawanan bersifat limitatif, yaitu hanya
berdasarkan alasan yang ditentukan dalam Pasal 216 UUK-PKPU. Sehubungan
dengan ketentuan tersebut timbul pertanyaan, dalam hal terdapat sebagian atau
seluruh Kreditur sekalipun belum dilunasi seluruh piutang mereka, tetapi para
Kreditur yang belum dilunasi seluruh piutang mereka itu telah memberikan
pembebasan utang (kwijtschelding atau discharge) dan menyatakan puas atas
keadaan piutangnya itu, apakah Debitur berhak pula mengajukan permohonan
rehabilitasi? Dalam hal semacam ini seyogianya ketentuan Pasal 215 jo. Pasal 218
ayat (2) UUK-PKPU tidak ditafsirkan secara harfiah sebagaimana kata-katanya
semata-mata, tetapi harus ditafsirkan menurut semangat atau tujuan dari pasal-pasal
tersebut. Hal yang terpenting dan menjadi inti dari pasal itu bukannya sudah

173 | P a g e
diterimanya pembayaran piutang para Kreditur yang diakui dalam pencocokan
piutang" tetapi adalah "kepuasan Kreditur masing-masing akan penyelesaian
piutang mereka" Dengan demikian, pengajuan permohonan rehabilitasi dapat
diajukan oleh Debitur atau ahli warisnya dan permohonan tersebut harus
dikabulkan oleh pengadilan serta tidak boleh dilawan oleh Kreditur yang telah
diakui piutangnya apabila permohonan rehabilitasi itu dilengkapi dengan
pernyataan penibebasan utang dari para Kreditur yang belum seluruh piutangnya
dilunasi. Dari ketentuan Pasal 218 ayat (1) UUK-PKPU, diketahui bahwa yang
dapat mengajukan perlawanan terhadap permohonan rehabilitasi adalah Kreditur
yang diakui piutangnya. Sehubungan dengan Pasal 218 ayat (1) UUK-PKPU itu
timbul. pertanyaan, apakah Kreditur yang tidak diakui piutangnya boleh pula
mengajukan perlawanan? Mengenai hal itu dapat diberi pendapat, bahwa Kreditur
yang tidak diakui piutangnya itu justru berkepentingan dengan rehabilitasi Debitur
pailit yang bersangkutan. Dengan diperolehnya rehabilitasi, maka Debitur tersebut
dapat kembali mengelola harta kekayaannya dan dapat kembali menjalankan
usahanya. Bagi Kreditur yang tidak diakui piutangnya dalam rangka pencocokan
piutang berkenaan dengan kepailitan Debitur tersebut akan dapat mengajukan
gugatan terhadap Debitur setelah direhabilitasi apabila memang Kreditur yang
bersangkutan masih menginginkan untuk mengajukan tagihan piutangnya tersebut
dan meyakini bahwa tuntutannya itu sah. Dari penjelasan di atas, memang
seyogianya hanya Kreditur yang telah diakui saja yang dapat mengajukan
perlawanan terhadap pengajuan permohonan rehabilitasi oleh Debitur.

17.4.5 Pengumuman Putusan Rehabilitasi

Setelah berakhirnya jangka waktu 60 hari seperti tersebut di atas, menurut


Pasal 219 UUK PKPU, Pengadilan Niaga harus mengabulkan atau menolak
permohonan itu, tanpa memedulikan apakah perlawanan telah diajukan atau belum.
Putusan mengenai pengabdian rehabilitasi tersebut, menurut Pasal 221 UUK PKPU
harus diambil di muka sidang terbuka untuk umum dan dicatat dalam daftar
(register)Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UUK-PKPU.

17.4.6. Upaya Hukum Terhadap Putusan Rehabilitasi

174 | P a g e
Menurut ketentuan Pasal 220 UUK-PKPU, terhadap keputusan Pengadilan Niaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 UUK-PKPU, tidak terbuka upaya hukum
apa pun. Dengan demikian, putusan Pengadilan Niaga mengenai permohonan
rehabilitasi itu merupakan putusan yang final dan tidak dapat diajukan upaya
hukum apa pun oleh siapa pun.

175 | P a g e
BAB XVIII

Bisnis beroperasi tidak hanya terbatas dalam wilayah suatu Negara saja,
tetapi beroperasi lintas batas Negara (transnasional). Dalam hal berlangsungnya
perdagangan yang transnasional itu, maka apabila bisnis tersebut mengalami
kegagalan, maka dapat terjadi, baik aset Debitur maupun para Krediturnya berada
di berbagai yurisdiksi (multiple jurisdiction). Oleh karena hukum kepailitan
merupakan hukum nasional yang hanya berlaku di wilayah Negara dari hokum yang
bersangkutan, maka hokum kepailitan suatu Negara tidak dapat menjangkau
kepailitan yang terjadi di Negara lain.

18.1 PERISTILAHAN

Istilah “Hukum kepailitan transnasional” dapat pula penulis sebut dengan


istilah lain, yaitu “hokum kepailitan lintas batas Negara”. Dalam bahasa Inggris
digunakan dengan beberapa istilah yaitu transnational bankruptcy, cross-border
bankruptcy, transnational insolvency, dan cross-border insolvency. Ada pula yang
menyebutkannya dengan istilah International Insolvency.

18.2 PERMASALAHAN PADA KEPAILITAN TRANSNASIONAL

Menurut Charles J. Tabb, apabila suatu perusahaan mengalami kesulitan


keuangan dan karena itu memerlukan pengurangan terhadap berbagai tekanan
berkenaan dengan kesulitan keuangannya tersebut dengan cara menempuh
keputusan pailit, maka berbagai persoalan hukum akan timbul.

Sementara itu menurut Dr. Marek Porzycki, cross-border bankruptcy (kepailitan


lintas batas negara) terjadi pada keadaan di mana:

a. Debitur memiliki sejumlah aset di luar negeri;


b. Debitur memiliki beberapa Kreditur di luar negeri;
c. Debitur melaksanakan aktivitasnya yang berbasis lintas batas negara;
d. Debitur adalah suatu entititas multinasional dengan memiliki perusahaan di
beberapa negara;

176 | P a g e
e. Debitur adalah entititas multinasional yang melangsungkan bisnisnya di
beberapa negara berdasarkan bentuk hukum setempat bagi perusahaan anak
(legal form of local subsidiaries) dan di negara lain itu memiliki beberapa
perusahaan;

Menyadari timbulnya berbagai masalah hukum tersebut sebagaimana


dikemukakan oleh Charles J. Tabb tersebut di atas, maka perlu adanya harmonisasi
internasional mengenai hukum kepailitan trarsnasional. Timbulnya berbagai
masalah kepailitan transnational telah merupakan ladang yang subur bagi para
reformis hukum di seluruh dunia untuk akhir-akhir ini mengatur mengenai
kepailitan transnasional.

18.3 KEPAILITAN TRANSNASIONAL DALAM UUK-PKPU

Makin pentingnya hokum kepailitan transnasional seharusnya dipikirkan


pula untuk diatur dalam UUK PKPU. Kesulitan utama yang dihadapi berkenaan
dengan suatu kepailitan transnasional, adalah tidak adanya sruktur hokum untuk
dapat menangani suatu kepailitan transnasional (cross-border insolvency)
berdasarkan UUK-PKPU Indonesia.

Cross-border Insolvency Law atau Hukum Kepailitan Transnasional


bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah yang timbul dari kepailitan
transnasional. Oleh karna UUK-PKPU Indonesia belum dilengkapi dengan
ketentuan yang mengatur mengenai kepailitan transnasional, maka dengan
masuknya Indonesia ke dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu mulai akhir
2015, maka hendaknya UUK-PKPU Indonesia segera dilengkapi dengan ketentuan
mengenai kepailitan transnasional.

18.4 PRINSIP-PRINSIP KEPAILITAN TRANSNASIONAL

Seperti telah dikemukakan di atas, kepailitan transnasional atau pada akhir-


akhir ini makin marak karena makin perkembangannya perdagangan internasional
sebagai dampak dari kemajuan teknologi informasi yang makin memudahkan dan
mempercepat komunikasi hubungan perdagangan antar perusahaan suatu Negara
dan Negara lain.

177 | P a g e
Menurut pendekatan universalitas, yang dianut oleh pengadilan Amerika
Serikat, suatu perkara international insolvency sejauh mungkin diperlakukan
sebagai suatu kasus tunggal dan para kreditur diperlakukan sama dimanapun
mereka berlokasi. Berdasarkan pendekatan teritorialitas, setiap Negara berusaha
terlebih dahulu untuk kepentingan para krediturnya sendiri sebelum
membangkitkan asset-aset debitur untuk melunasi kreditur yang berada di Negara
lain.

Menurut pendekatan teritorialitas, setiap Negara melaksanakan insolvency


proceeding mereka masing-masing berkenaan dengan dimana harta kekayaan
debitur terletak dalam batas juridiksinya tanpa memerdulikan proceeding yang
sedang berlangsung di Negara lain.

Sementara itu pendekatan teritorialitas berpandangan lebih pesimistik


bahwa para penagih setempat pada akhirnya tidak akan menerima bagiaannya
secara wajar dari pembagian asset debitur dalam suatu kepailitan asing. Oleh karena
itu, menurut pendekatan ini suatu pengadilan setempat haeus sedapat mungkin
memberikan harta kekayaan debitur dalam jurisdiksi pengadilan tersebut.

18.5 KELEMAHAN TERITORIALITAS DAN UNIVERSALITAS

Baik pendekatan teritorialitas maupun pendekatan universalitas


mengandung kelemahan.Berkenaan dengan adanya kelemahan dari kedua
pendekatan tersebut, maka dalam praktik tidak ada satu Negara pun yang
menerapkan atau universalitas sepenuhnya atau teritorialitas sepenuhnya, tetapi
menerapkan dengan melakukan modifikasi terhadap salah satunya.

Hukum Amerika Serikat memberikan deskrisi atau kebijakan kepada


pengadilan setempat untuk mengevaluasi keadilan dari prosedur Negara setempat
dan untuk melindungi kepentingan para kreditur local dalam keadaan tertentu.
Pengundangan terhadap US Bankruptcy Code $ 304 merupakan langkah besar
menuju kepada pendekatan universalitas.

178 | P a g e
Karena prinsip teritorialitas dan universalitas tidak memuaskan, maka
dikembangkan system ketiga yang merupakan system memodifikasi universalitas.
System tersebut ddisebut “free-choice regime”

18.6 CROSS-BORDER INSOLVENCY LAW BEBERAPA REGIONAL

18.6.1 Cross-border Insovelcy Uni Eropa

Perusahaan dan perorangan di Uni Eropa makin banyak yang melakukan


berbagai kegiatan bisnis atau memiliki berbagai kepentingan ekonomi di negara-
negara Uni Eropa selain dari di Negara mana kegiatan intinya berada. Apabila
mereka mengalami insolvensi, maka hal tersebut akan menimbulkan implikasi
langsung terhadap fungsi pasar internal mereka.

18.6.2 US Cross-border Insovelcy Law

Dalam beberapa dekade terakhir telah terlihat adanya peningkatan yang


signifikan pada tingkat integrasi diantara wilayah ekonomi diseluruh dunia di
samping peningkatan jumlah perusahaan multinasional. Dampaknya adalah adanya
sejumlah dan adanya kompleksitas restrukturitas lintas batas Negara yang juga
meningkatkan secara tajam. Peningkatan tersebut banyak di antaranya yang
melibatkan Amerika Serikat. Dengan demikian, terjadi pula meningkatnya lembaga
keuangan dan lembaga lainnya yang menghadapi berbagai situasi dimana mereka
akan terlibat dalam restrukturisasi lintas batas Negara (cross-border restructuring)
yang melibatkan Amerika Serikat. Sementara hokum kepailitan Amerika Serikat
telah memiliki suatu mekanisme untuk menangani cross-border restructuring, yaitu
Section 304 dari The United State Bankruptcy Code, namun kongres Amerika
Serikat mengganggap perlu untuk baru-baru ini mengubah hokum Amerika Serikat
terkait dengan cross-border insolvency proceedings secara signifikan dengan cara
mengganti Section 304 dengan Chapter 15 pada US Bankruptcy Code.

18.7 UNCITRAL MODEL LAW TENTANG KEPAILITAN


TRANSNASIONAL

179 | P a g e
UNCITRAL (The United Nations Commission on International Trade
Law), yaitu suatu lembaga yang didirikan oleh PBB (the United Nations) pada 17
Desember 1966 telah mengeluarkan beberapa Model Law mengenai kepailitan
transnasional (cross-border insolvency).

The UNCITRAL Model Law telah diadopsi (dengan beberapa variasi


tertentu) di Kanada, Mexico, Jepang, dan beberapa Negara lain. Sementara itu,
adopsi tersebut masih pending di United Kingdom (Inggris) dan Australia.

Beberapa Model Law tersebut akan diuraikan secara pendek dibawah ini.

18.7.1 UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency (1997)

Pada 30 Mei 1997, UNCITRAL menerbitkan UNCITRAL Mode Law on


Cross-Border Insolvency (1997). The Model Law tersebut telah diadopsi oleh
Amerika Serikat pada tahun 2005 dan Inggris (Great Britain) pada 2006.

Model Law tersebut didisain untuk membantu Negara-negara untuk


melengkapi hokum kepailitan Negara masing-masing dengan suatu modeen legal
framework agar lebih efektif dalam menangani cross-border insolvency proceeding
menyangkut pada debitur yang mengalami masalah finansial yang gawat atau
mengalami insolvensi. Model Law tersebut memfokuskan pada pemberian otoritasi
dan mendorong kerja sama dan koordinasi di antara berbagai jurisdiksi, daripada
berusaha untuk mendorong unifikasi dari hokum kepailitan substansif, dan
menghormati perbedaan diantara hokum acara nasional dari Negara-negara
tersebut. Guna tujuan the Model Law tersebut, suatu cross-border insolvency adalah
kepailitan transnasional dimana debitur yang insolven memiliki aset di lebih dari
satu Negara atau dimana beberapa krediturnya tidak berasal dari Negara dimana
proses kepailitan berlangsung.

18.7.2 UNCITRAL Legislative Guide on Insolvency Law, Part One and Two
(2004)

Pada tanggal 25 Juni 2004, UNCITRAL MENERBITKAN UNCITRAL


Legislative Guide on Insolvency Law, Part One and Two (2004). Tujuan dari

180 | P a g e
Legislative Guide tersebut adalah memberikan formulasi mengenai suatu
pernyataan yang komperhensif tentang tujuan penting (key objectives) dan prinsip
yang seharusnya tercermin dalam Undang-Undang Kepailitan suatu Negara (a
State’s insolvency laws). The legislative Guide tersebut dimaksudkan untuk
memberi informasi dan membantu reformasi undang-undang insolvensi yang
berlangsung diseluruh dunia, memberikan suatu rujukan atau referensi bagi otoritas
nasional dan lembaga legislatif ketika mempersiapkan Undang-Undang Kepailitan
atau berbagai peraturan yang baru menyangkut kepailitan atau ketika melakukan
peninjauan mengenai kelengkapan dari undang-undang dan peraturan tersebut.

18.7.3 UNCITRAL Practice Guide on Cross-Border Insolvency Cooperation


(2009)

Pada tanggal 1 Juli 2009, UNCITRAL telah menerbitkan UNCITRAL


Practice Guide on Cross-Border Insolvency Cooperation (2009). Tujuan dari the
Practice Guide on Cross-Border Insolvency Cooperation tersebut dikemukakan
dalam Practice Guide tersebut.

Ada beberapa ketentuan yg diatur dalam Practice Guide , yaitu sebagaimana


diatur dalam Chapter I, Chapter II, Chapter III dari Practice Guide tersebut
dikemukakan dalam website UNCITRAL

18.7.4 UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency:

The Judicial Perspective (2011)

Pada tanggal 1 Juli 2011, diterbitkan the UNCITRAL Model Law on Cross-
Border Insolvency: The Judicial Perspective. Pada tahun 2013 teks dari Model Law
tersebut mengalami pengkinian (update).

181 | P a g e
Dengan demikian, the Judicial perspective yang disusun oleh UNCITRAL
tersebut bertujuan untuk membantu para hakim sehubungan dengan berbagai
pertanyaan yang mungkin muncul dalam hubungannya dengan pengakuan para
hakim tersebut terhadap ketentuan yang diatur dalam the UNCITRAL Model Law
on Cross-Border Insolvency.

18.8 SAMBUTAN INTERNASIONAL TERHADAP THE MODEL LAW

Pada Umumnya the UNCITRAL Model Law in Cross-Border Insolvency


telah disambut baik oleh berbagai pustaka yang ditulis oleh para penulis diluar “the
English Language Comfort Zone, terutama USA, Canda, dan Australia”. Dengan
cepat sebagian besar pustaka menganjurkan diadopsinya Model Law tersebut.

Sementara itu, banyak Negara yang telah mengadopsi the UNCITRAL


Model Law tersebut, yaitu Negara-negara yang telah mengundangkan the Model
Law, atau sedang dalam proses mengundangkan the Model Law, atau membuat
legislasi yang diinspirasi oleh the Model Law. Beberapa Negara bahkan telah
membuat legislasi yang memasukan the Model Law ke dalam hokum domestiknya
seperti Eritrea, Japan, Poland, South-Africa, Spain, Mexico, and within Yugoslavia,
Montenegro, USA and (as of 6 April 2006) Great Britain (England, Wales and
Scotland). Di beberapa Negara lain, badan legislative Negara tersebut telah
mengajukan rencana (RUU) untuk diperdebatkan dalam forum badan legislative,
misalnya Australia, Argentina, Cayman Island, Canada, dan Italy.

18.9 PENULISAN: SARAN PEMBUATAN KONVENSI ASEAN


TENTANG KEPAILITAN TRANSNASIONAL DI ASEAN

Apabila dilihat dari daftar tersebut diatas, ternyata masih banyak Negara
Eropa yang telah bergabung dalam Uni Eropa yang belum mengadopsi UNCITRAL
Model Law on Cross-Border Insolvency (1997). Dilingkungan ASEAN hanya

182 | P a g e
Filipina yang telah mengadopsi UNCITRAL Model Law tersebut, sedangkan perlu
kiranya disikapi bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku pada akhir 2015.

18.10 PELUNASAN PIUTANG ATAS BEBAN HARTA PAILIT YANG


BERADA DI LUAR NEGERI

Dalam Bab ini dijelaskan bagaimana UUK-PKPU mengatur pembagian


Harta Pailit yang berupa barang-barang milik Debitur pailit yang berada di luar
negeri, sedangkan debitur tersebut dinyatakan pailit di Indonesia berdasarkan UUK.

18.11 PELUNASAN PIUTANG KREDITUR ATAS BEBAN HARTA


PAILIT DI LUAR NEGERI DENGAN PERSETUJUAN KURATOR

Menurut Pasal 212 UUK-PKPU, kreditur yang setelah putusan pernyataan pailit
diucapkan, mengambil pelunasan seluruh atau sebagian piutangnya dari benda yang
termasuk harta pailit yang terletak diluar wilayah Negara Republik Indonesia, yang
tidak di perlihatkan kepadanya dengan hak untuk didahulukan (dengan kata lain,
yang tidak dibebani dengan hak jaminan), wajib mengganti kepada harta pailit
segala apa yang diperoleh nya (mengganti kerugian harta pailit sampai senilai
pelunasan seluruh atau sebagian piutangnya tersebut).

Pasal 212 UUK-PKPU tidak mempersoalkan apakah kreditur tersebut adalah


kreditur yang berkedudukan hokum di Indonesia atau berkedudukan di luar negeri,
khususnya di Negara dimana barang milik debitur itu terletak. Dengan kata lain,
ketentuan Pasal 212 UUK-PKPU itu tidak berlaku hanya untuk Kreditur luar negeri
saja, tetapi juga untuk kreditur dalam negeri.

18.12 PELUNASAN PIUTANG KREDITUR ATAS BEBAN HARTA


PAILIT DI LUAR NEGERI TANPA PERSETUJUAN KURATOR

Dari kata “mengambil” yang tercantum dalam pasal 212 UUK-PKPU,


tindakan mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang debitur yang terletak
diluar wilayah Indonesia itu harus merupakan tindak sepihak dari kreditur sendiri.
Artinya, tindakan tersebut tanpa seizing Kurator.

183 | P a g e
18.13 PENGALIHAN PIUTANG KREDITUR KEPADA PIHAK KETIGA
DARI DEBITUR YANG AKAN ATAU SUDAH DIAJUKAN
PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT TANPA PERSETUJUAN
KURATOR DENGAN MAKSUD PIHAK KETIGA MENGAMBIL
PELUNASAN DARI HARTA PAILIT DI LUAR NEGERI

Pasal 213 ayat (1) UUK-PKPU menentukan bahwa kreditur yang


memindahkan seluruh atau sebagian piutangnya terhadap debitur pailit kepada
pihak ketiga, dengan maksud agar pihak ketiga mengambil pelunasan secara
didahulukan daripada orang lain atas seluruh atau sebagian piutangnya dari benda
yang termasuk harta pailit yang terletak di luar wilayah Negara Republik Indonesia,
wajib mengganti kepada harta pailit apa yang di perolehnya.

18.14 EKSEKUSI PUTUSAN PAILIT PENGADILAN ASING

Ada pertanyaan yang menarik berkaitan dengan putusan pengadilan asing.


Apakah putusan pengadilan asing dapat di eksekusi di Indonesia? Pertanyaan ini
timbuk sehubungan dengan prinsip yang dianut oleh system hokum di banyak
Negara bahwa putusan pengadilan mengenai suatu perkara, lebih-lebih lagi dalam
hal perkara itu adalah perkara kepailitan, tidak dapat di eksekusi di suatu Negara
lain. Penolakan eksekusi terhadap putusan asing itu terkait erat dengan konsep
kedaulatan Negara.

Pendapat Hikmahanto Juwana dapat dibenarkan bahwa dalam hokum


kepailitan Indonesia dapat ditafsirkan bahwa pengadilan niaga tidak akan
mengeksekusi putusan pailit pengadilan asing. Sejalan dengan pendapat
Hikmahanto Juwana tersebut, landasan hukumnya adalah pasal 299 UUK-PKPU
yang esensinya memberlakukan hokum acara perdata (HIR) pada pengadilan
Niaga. Sementara itu hokum acara perdata yang berlaku di Indonesia, yaitu pasal
436 Rv, secara tegas menentukan, putusan pengadilan asing tidak dapat diakui dan
tidak dapat di eksekusi oleh putusan pengadilan Indonesia.

184 | P a g e
185 | P a g e
BAB XIX

TANGGUNG JAWAB PRIBADI DIREKSI DAN KOMISARIS


PERSEROAN TERBATAS DALAM KEPAILITAN .

19.1 PENDAHULUAN

Khusus dalam suatu perseroan dinyatakan pailit dan kepailitan itu terjadi
karena kesalahan (karena kesengajaan atau kelalaian ) Direksi, undang-undang
No.4 tahun 2007 tentang perseroan terbatas (UU PT) mengatur secara khusus
tanggung jawab direksi yang melakukan kesalahan. Hal itu diatur dalam pasal 104
UU PT.

19.2 TANGGUNG JAWAB PRIBADI ANGGOTA DIREKSI, DEWAN


KOMISARIS,

DAN PEMEGANG SAHAM DALAM KEPAILITAN.

rikan nasehat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.

1. Tanggung Jawab Direksi

Menurut Pasal 97 ayat (2) UUPT, setiap anggota Direksi bertanggung jawab
penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah
atau lalai dalam menjalankan tugasnya.. Apabila Direksi terdiri dari atas 2 (dua)
anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud diatas, berlaku
secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. Berdasarkan Pasal 97 ayat (3)
UUPT, anggota Direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian
sebagaimana yang dimaksud diatas, apabila dapat membuktikan:

1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;


2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

186 | P a g e
4. Telah mengambil tindakan untuk mencagah timbul atau selanjutnya
kerugian tersebut.

Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta
pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan
tersebut, maka Pasal 104 ayat (2) UUPT mengatur bahwa setiap anggota Direksi
secara tanggung-renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit tersebut. Tanggung jawab yang dimaksud diatas, berlaku
juga bagi Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota
Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan.

Anggota Direksi dapat tidak bertanggung jawab atas kepailitan Perseroan


sebagaimana dimaksud diatas, jika dapat membuktikan bahwa: (i) kepailitan
tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; (ii) telah melakukan pengurusan
dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; (iii) tidak mempunyai
benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang dilakukan; dan (iv) telah mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kepailitan.

2. Tanggung Jawab Dewan Komisaris

Dewan Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan Perseroan sebagaimana


yang dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) UUPT yaitu dalam hal melakukan
pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik
mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasehat kepada
Direksi. Setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian,
dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberikan
nasehat kepada Direksi untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan. Kemudian setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung
jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah
atau lalai menjalankan tugasnya. Jika Dewan Komisaris terdiri atas 2 (dua) anggota

187 | P a g e
Dewan Komisaris atau lebih, maka tanggung jawab sebagaimana dimaksud diatas,
berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Dewan Komisaris (Pasal 114
ayat (3) UUPT). Namun, Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggung jawabkan
atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 114 ayat (3) UUPT apabila
dapat membuktikan:

1. Telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian


untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;
2. Tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan
kerugian; dan
3. Telah memberikan nasehat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.

Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris
dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh
Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban
Perseroan akibat kepailitan tersebut, Pasal 114 ayat (4) UUPT mengatur bahwa
setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab
dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi. Tanggung jawab
sebagaimana dimaksud diatas, berlaku juga bagi anggota Dewan Komisaris yang
sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Namun, anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud diatas, apabila dapat membuktikan
bahwa: (i) kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; (ii) telah
melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; (iii) tidak
mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan (iv) telah
membeikan nasihat kepada direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.

19.3 TUGAS DAN KEWAJIBAN ANGGOTA DIREKSI PERSEROAN

188 | P a g e
19.3.1 PENGARUH HUKUM PERUSAHAAN MENURUT COMMON
LOW SYSTEM TERHADAP UUPT

Dapat di mengerti mengapa sehingga doktrin-doktri atau asas hukum


perusahaan dalam common law system sangat mengaruhi atau diadopsi dalam
UUPT adalah karena konsep awal dari RUU tentng perseroan terbatas telah disusun
oleh tim ELIPS project atau proyek pengembangan hukum dan penyempurnaan
system pengadaan yang berada dibawah kantor menteri negara coordinator bidang
ekonomi. Oleh karena itu , untuk dapat memahami atau menafsirkan dan
menerapkan UUPT. Apabila kita memahami dengan baik pula doktrin dan asas-
asas hukum dari company law atau corporation law.

19.3.2 TUGAS,KEWAJIBAN,WEWENANG DIREKSI PERSEROAN


TERBATAS

Setiap jabatan memiliki kewajiban dan wewenang pada umumnya dari


seorang anggota direksi dapat diketahui dari ketentuan mengenai tugas dan
kewajiban serta wewenang seorang direksi yang ditentukan dalam Undang-Undang
No.40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas (UUPT).

Pasal 98 ayat (1) UUPT menentukan direksi mewakili perseroan baik di dalam
maupun diluar pengadilan.

Pasal 98 ayat (2) UUPT menentukan dalam hal anggota direksi terdiri lebih
dari 1 orang, yang berwenang mewakili perseroan ialah setiap anggota direksi.

Pasal 92 ayat (1) UUPT kepengurusan perseroan dilakukan oleh direksi untuk
kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Artinya
kegiatan yang dilakukan dan keputusan yang diambil harus dilakukan demi
kepnetingan dan tujuan perseroan .

19.4 AJARAN-AJARAN TENTANG KEWAJIBAN DAN


PERTANGGUNG JAWABAN

DIREKSI PERSEROAN.

189 | P a g e
Kewajiban direksi dan masing-masing anggotanya (direktur) ditentukan bukan
saja oleh undang-undang perusahaan (common law), di Indonesia adalah UUPT,
dan sumberhukum lain antara lain dari anggaran dasar (the constitution of the
company) dan yuris prudensi (case law atau judge made law).

19.4.1 THE FIDUCIARY DUTY

Kata fiduciary berasal dari kata bahas latin ‘fiducia’ yang berarti
‘kepercayaan’(trust atau faith). Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang
ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain,
dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang
sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai
kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban
(standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum.
Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu
wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan
sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan
kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian
(scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini
termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola,
pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). termasuk juga di
dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya.

Dalam pengelolaan perseroan atau perusahaan, para anggota direksi dan


komisaris sebagai salah satu organ vital dalam perusahaan tersebut
merupakan pemegang amanah (fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana
layaknya pemegang kepercayaan. Di sini direksi memiliki posisi fiducia dalam
pengurusan perusahaan dan mekanisme hubungannya harus secara fair.
Menurut pengalaman common law hubungan itu dapat didasarkan pada
teori fiduciary duty. Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas
kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi,
ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor).
Dalam memahami hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary relationship)

190 | P a g e
tersebut, common law mengakui bahwa Orang yang memegang kepercayaan
(fiduciary) secara natural memiliki potensi untuk menyalahgunakan
wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan pemegang kepercayaan tersebut harus
didasarkan kepada standar yang tinggi. Negara-negara common law seperti
Amerika Serikat yang telah mempunyai standar yang jelas untuk menentukan
apakah seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan
yang diambilnya, yaitu didasarkan pada standar duty of loyality dan duty of
care. Kewajiban utama dari direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan
bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok ,sesuai
dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah trustee dalam perusahaan. Posisi ini
mengharuskan seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan
tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang
direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan
(duty of loyality). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut dalam hubungannya
dengan Fiduciary Duty dapat menyebabkan direktur untuk dimintai pertanggung
jawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya. baik
kepada para pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.

Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini dapat kita jumpai dalam Undang-undang
No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Pasal l79 ayat (1) UUPT
pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi Lebih jelasnya pasal 82 UUPT
menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam
maupun di luar pengadi.lan. sedangkan Pasal 85 UUPT menetapkan bahwa setiap
anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat
menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.

Dalam konteks direktur, sangat penting untuk mengontrol perilaku dari para
direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola perusahaan,
termasuk menentukan standar perilaku (standart of conduct) untuk melindungi

191 | P a g e
pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku tidak sesuai
dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.

Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus


korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan
kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus
dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam
menjalan korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary
duty.

Jika kita menghubungkannya dengan identification theory dalam


wacana common law sebagaimana telah diuraikan diatas, kesalahan yang
dilakukan oleh anggota direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat
dibebankan pada korporasi jika memenuhi syarat: i) tindakan yang dilakukan oleh
mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan pada mereka, ii)
bukan merupan penipuan yang dilakukan untuk perusahaan, iii) dimaksudkan untuk
menghasilkan atau mendatangkan keuntungan bagi korporasi. Dengan kata lain,
jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul
oleh korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang
melakukan tindakan tersebut.

B. Duty of Care Atas Direksi

Salah satu cara untuk melihat apakah direksi melakukan pengelolaan perseroan
yang salah atau tidak bersalah adalah menilai apakah mereka gagal melakukan
tugasnya dalam pengelolaan perseroan tersebut. Di samping itu, bisa pula dilihat
dari berbagai kasus yang melibatkan direksi dalam konflik kepentingan (conflict of
interest).

Dalam konteks itu, harus dipisahkan penilaian berkenaan dengan kelalaian


dan incompetence. Hal ini dapat dipahami dari tradisi common law, seperti
Amerika Serikat, dimana terdapat pendapat pengadilan dalam Bayer v. Beran,
49 N.Y.S.2d 2, 6 (1944), yang menyatakan, bahwa “it is unusual for directors to
be liable for negligence in the absence of fraud or personal interest.” Tambahan

192 | P a g e
lagi, berbagai kasus menjelaskan bahwa dalam mengkritisi pengelolaan perseroan
oleh direksi bukan hanya didasarkan kepada peraturan perundang-undangan,
namun dilihat pula bagaimana direksi melakukan bisinis perseroan.

Dipandang secara sekilas hukum perseroan mengisyaratkan bahwa direksi


harus mengelola perseroan dengan kehati-hatian (care) yang semestinya
sebagaimana halnya para pengemudi harus mengendarai mobilnya dengan penuh
kehati-hatian. Hukum perseroan di Indonesia juga telah mengisyaratkan agar
direksi dalam mengelola perseroan dengan kehati-hatian. Pasal 85 ayat (1) UUPT
menentukan, bahwa “setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.”
Namun ketentuan Pasal 85 ayat (1) tersebut tidak menjelaskan batasan kehatian-
hatian. Akibatnya, sulit menentukan kapan direksi perseroan masuk pada kategori
tidak mengelola perseroan dengan kehati-hatian.

Berbeda dengan The American Law Institute Principles of Corporate


Governance yang telah menentukan 3 (tiga) kategori “kehatian-hatian yang
semestinya” (“due care”) dalam peraturan perundang-undangan. Pertama, “care
that an ordinarily prudent person would exercise in like position and under similar
circumstance.” Kedua, care exercised by prudent person in this own affairs.”
Ketiga,” in a manner he reasonably believes to be in the best interests of the
corporation.”

Dalam hal kehatian-hatian direksi mengelola perseroan tersebut perlu pula


mengkaji pertimbangan bisnis (business judgment). Hakim Shientag dalam perkara
Casey v. Woodruff, 49 N.Y.S.2d 625, 643 (1944) berpendapat sebagai berikut:

“The fundamental concept of negligence does not vary,wheter it is applied to


the case of a simple personal injury action or to liability of directors in the
managenment of the affairs of their corporation. A pedestrian crossing the street is
under a duty to use reasonable care. He is required to look before he crosses, “but
the law does not say how often he must look or precisely how far, or when or from
where…….. If he has used his eyes , and has miscalculated the danger, he may still

193 | P a g e
be free from fault,”Knapp v.Barret, 216 N.Y,230,110 N.E. 428, 429. The law does
not hold him guilty of negligence although if he had looked oftener the accident
might have been avoided. He discharges his duty when he has acted with
reasonable prudence. So it is with directors. The law requires the use of judgment,
the judgment of ordinary prudence, but it does not hold directors liable simply
because they might have use better judgment.

The question is frequently asked, how does the operation of the so-called
“bussines judgment rule” tie in with the concept of negligence? There is no conflict
between the two. When courts say that they will not interfere in matters of bussines
judgment, it is presupposed that judgment-reasonable diligence-has in fact been
exercised. A director cannot close his eyes to what is going on about him in the
conduct of the bussiness of the corporation and have it said that he is exercising
bussiness judgment. Courts have properly decided to give directors a widw atitude
in the management of the affairs of a corporation provided alwalys that judgment,
and that means an honest, unbiased judgment, is reasonably axercised by them.

Dalam sistem hukum perseroan di Indonesia, Komisaris adalah organ atau


badan pengawas mandiri PT. Berbeda dengan sistim hukum perseroan Anglo
Amerika yang tidak mengenal Komisaris. Tetapi ada kesan bahwa Board of
Directors yang dikenal dalam hukum perseroan Anglo Amerika mirip dengan
Komisaris. Tetapi jika diperhatikan kemiripan tersebut adalah semu. Karena pada
hakekatnya Board Of directors itu adalah organ eksekuttif PT. Hal ini terlihat dari
fungsi Board Of Directors sebagai the Power and the duty to manage or direct the
corporaton.

Selanjutnya disebutkan bahwa kewajiban Board Of Directors adalah sebagai.


berikut: .

a. Protect the assets and other interest of the share holder of the
corporations

194 | P a g e
b. To ensure the continuity of the corporation by inforcing the articless
and by laws and by seeing that a sound board of directors Is
maintained.
c. To make decisions that are not delegable, such as the payment of
dividends.

Komisaris dalam hukum perseroan di Indonesia mirip dengan jabatan


Komisaris, yang dikenal dalam hukum perseroan Belanda. Karena baik hukum
perseroan Indonesia maupun Hukum Perseroan Belanda menentukan bahwa tidak
ada keharusan bagi sebuah PT mempunyai komisaris. Kecuali PT tertentu di
Indonesia, seperti PT yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat,
peseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang, atau Perseroan Terbatas (Pasal
94 ayat (2) UUPT dan juga PT persero sebagaimana ditentukan pasal 34 ayat (1).
Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1983. Walaupun demikian sifat fakultatif dari
hukum perseroan tersebut, pembuat Undang-Undang mengandaikan bahwa setiap
PT yang mempunyai komisaris sebagaimana yang diatur dalam pasal 43, 52 dan 54
ayat 2 K.U.H.D serta Pasal 94 ayat (1) UUPT.

Penerapan prinsip duty of care dapat dipahami dalam Francis v. United Jersey
Bank, 392 A.2d. 1233(1978) dimana perkara ini relevan untuk kondisi perusahaan
termasuk perbankan di Indonesia. Perkara ini menyangkut Pritchard & Baird
Intermediaries Corp. Pritchard & Baird suatu perusahaan yang bergerak dalam
bisnis broker reasuransi. Charles Pritchard Sr., pendiri perusahaan yang selama
beberapa tahun adalah pemegang saham utama dan sekaligus pengendah
perusahaan. Pada tahun 1970 Pritctard Sr. mengajak anak-anaknya Charles Jr. dan
William turut mengelola perusahaan dan pada saat Pritchard Sr. meninggal pada
1973 kedua anaknya tersebut mengambil alih kendali perusahaan.

Kedua anaknya tersebut telah menggelapkan uang perusahaan dalam bentuk


“pinjaman pemegang saham” dan pembayaran-pembayaran yang tidak pada
tempatnya (improper) kepada anggota keluarga. Pengeluaran uang ini tercermin
dalam laporan keuangan perusahaan sebagai “pinjaman pemegang saham”. Akibat
transaksi ini perusahaan menjadi insolven, dan pada akhir 1975 bangkrut. Francis

195 | P a g e
kemudian ditunjuk sebagai trustee dalam kebangkrutan Pritchard & Baird. Dalam
upaya memenuhi kewajiban perusahaan, Francis menggugat: (1) warisan Richard
Sr., yang bertindak sebagai administraturnya adalah United Jersey; (2) warisan
Lilian Pritchard, isteri Richard Sr. dan komisaris perusahaan sejak saat perusahaan
berdiri sampai bangkrut. Lilian meninggal dunia pada saat proses kebangkrutan
dimulai. Pertanyaan utama dalam kasus ini adalah apakah Lilian Pritchard telah
bertindak sembrono (negligently) sebagai komisaris, sehingga tidak mengetahui
dan tidak menghentikan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak-
anaknya. Apabila jawaban terhadap pertanyaan ini benar, maka warisannya dapat
dijadikan sebagai sumber pembayaran kewajiban perusahaan. Dalam kasus ini
pendapat pengadilan sebagai berikut.

Komisaris bertanggungjawab atas menajemen perusahaan secara umum, dan


bertanggungjawab khusus dalam kaitannya dengan distribusi aset kepada
pemegang saham dan pemberian pinjaman kepada staf dan direksi. Benar bahwa
Mrs. Pritchard tidak pernah terlibat dalam bisnis perusahaan dan hampir tidak
memiliki pengetahuan mengenai kegiatan perusahaan. Tergugat jarang datang ke
perusahaan dan tidak pernah membaca dan mendapatkan laporan keuangan
perusahaan. Tergugat juga sudah tua dan tidak mengerti seluk-beluk bisnis asuransi.
Laporan keuangan Pritchard & Baird disusun setiap tahun. Bentuk laporan
keuangan ini sederhana tidak lebih dari tiga atau empat halaman. Laporan keuangan
tahunan perusahaan secara jelas memuat tentang pembayaran yang dilakukan
kepada keluarga Pritchard dan juga secara jelas mencerminkan kesulitan keuangan
perusahaan. Singkatnya, siapa saja yang melihat laporan keuangan tersebut dan
mengetahui sedikit tentang kegiatan perusahaan akan mengetahui bahwa Charles
Jr. dan William telah mencuri uang perusahaan yang seharusnya dibayarkan kepada
klien perusahaan.

Pengadilan menyatakan bahwa secara inheren tugas komisaris adalah yang


bersangkutan harus memiliki ide dasar atas bisnis perusahaan. Komisaris harus
mengetahui usaha apa yang dilakukan perusahaan dan harus memiliki ide dasar
tentang ruang lingkup kegiatan perusahaan. Dalam hubungan ini, Mrs. Pritchard

196 | P a g e
harus mengetahui bahwa Pritchard & Baird melakukan bisnis broker reasuransi dan
setiap tahun menangani jutaan dollar yang dimiliki oleh atau harus dipertanggung-
jawabkan kepada banyak nasabah. Dengan demikian pengadilan berpendapat
bahwa seorang komisaris pada posisi Mrs. Prichard memiliki kewajiban
“bare minimal” untuk meminta dan membaca laporan keuangan tahunan
lerusahaan dan bereaksi segera setelah membacanya. Meskipun komisaris tidak
diwajibkan mengaudit buku perusahaan, komisaris harus familiar dengan status
keuangan perusahaan dengan secara teratur mereview laporan keuangan
perusahaan dan bahwa seorang komisaris bukan hiasan tetapi merupakan bagian
penting dari corporate governance dan tidak dapat berlindung dibalik motto
“dummy director”.

Pengadilan menyatakan bahwa tergugat mampu mengetahui perbuatan yang


dilakukan oleh anak tergugat. Mendeteksi penyalahgunaan uang tidak memerlukan
keahlian khusus atau kepintaran yang luar biasa. Dengan membaca sepintas laporan
keuangan akan dapat mengetahui perbuatan tersebut. Dengan demikian apabila
Tergugat membaca laporan keuangan, tergugat akan mengetahui bahwa bahwa
anaknya telah melakukan penggelapan uang.

Pengadilan berpendapat bahwa Tergugat wajib membaca laporan keuangan


dan melakukan usaha-usaha secukupnya untuk mendeteksi dan mencegah
perbuatan melanggar hukum pejabat dan komisaris lainnya. Tergugat memiliki
kewajiban untuk melindungi nasabah perusahaan terhadap kebijakan dan praktik-
praktik yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan uang yang dipercayakan
kepada perusahaan. Tergugat telah melanggar kewajibaruiya tersebut. Argumentasi
bahwa tergugat hanya “figurehead director” tidak dapat diterima. Dalam
kontemplasi hukum tidak dikenal “figurehead director”, hal ini telah lama dikenal
dalam industri perbankan. 3A Fletcher, Cyclopedia of the Law of Private
Corporations, # 1090 menyatakan:

It quently happ ens that persons become directors of banking houses for the
purp ose o capitalizing the position in the community where the bank does business,
without any intention of watching or participating in the conduct of its affairs. It is

197 | P a g e
a dangerouspracticc for director, since such tgunheads and rubber stamps an
universally held liable on the ground that they have not discharged their duty nor
exercised the required amount of diligence exacted of them.

Tidak terdapat alasan berdasarkan peraturan bahwa yang dinyatakan oleh


Flecher tersebut hanya berlaku terbatas bagi perbankan. Pengadilan berpendapat
bahwa Mrs. Pritchard telah lalai dalam melaksanakan tugasnya sebagai komisaris
Pritchard & Baird. Apabila yang bersangkutan melakukan tugasnya dengan hati-
hati (due care) dia akan mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh Charles Jr. dan
William. Kelalaiannya tersebut telah menyebabkan kerugian pada nasabah. Dengan
demikian warisannya harus dipergunakan untuk membayar kewajiban perusahaan.

D. duty of good faith

Bahkan disebutkan dalam Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bahwa anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara
pribadi atas kerugian perseroan bilamana bersalah atau lalai menjalankan tugas
pengurusan dengan iktikad baik (good faith) serta penuh tanggungjawab. Lebih
memberatkan lagi, dalam Pasal 155 UU a quo, pertanggungjawaban
Direksi/Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya tak mengurangi
pertanggungjawabannya di bidang Pidana. Sebaliknya, direksi yang tak berani
ambil risiko juga dapat menghambat perkembangan perusahaan. Dilemanya,
keengganan Direksi dalam mengambil keputusan pun juga bisa dianggap sebagai
‘suatu keputusan’. Tak ingin serba salah dalam pengambilan keputusan? Nyatanya,
UU PT telah mengadopsi konsep Business Judgment Rule (BJR) yang bisa
dijadikan golden parachute (parasut emas) bagi Direksi/Komisaris.

Justifikasi parameter legal soal BJR, dapat dilihat pada Pasal 97 ayat (5) dan
Pasal 114 ayat (5) UU PT yang mengatur batasan-batasan tertentu soal kapan
direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko
keputusan atau tindakan pengawasan yang telah mereka ambil.

Khusus untuk Perusahaan Terbuka (Tbk), OJK juga mengabsorpsi konsep BJR
melalui POJK No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten

198 | P a g e
atau Perusahaan Publik. Dalam Pasal 13 ayat (2) POJK a quo juga diatur bahwa
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Emiten atau
Perusahaan Publik jika mampu membuktikan hal-hal berikut:

a. Kerugian terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;


b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, penuh
tanggungjawab, kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan Emiten/ Perusahaan Publik;
c. Tidak memiliki benturan kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian.

Tidak jauh berbeda dengan muatan prinsip BJR yang diatur Indonesia, Guru
Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, dalam Workshop
Hukumonline tentang Business Judgment Rule: Penerapan Perlindungan Hukum
terhadap Organ Perusahaan dalam Aktivitas Bisnis Perusahaan), Rabu (12/12),
menyebut karakteristik BJR di beberapa Negara meliputi terpenuhinya dasar iktikad
baik (good faith), pengambilan keputusan telah memperhatikan kepentingan
perusahaan (fiduciary duty), berdasarkan pengetahuan/data yang memadai
(informed basis), tidak dilakukan untuk berhambur-hambur (duty of care) dan tidak
didasarkan pada kepentingan pribadi (loyalty).

E. The corporate opportunity doctrine

Karena tugas fidusia direktur, ia tidak diizinkan untuk membuat keuntungan


yang tidak diungkapkan sehubungan dengan transaksi korporasi, untuk bersaing
secara tidak adil dengan perusahaan, atau untuk mengambil peluang bisnis
menguntungkan milik korporasi. Persyaratan loyalitas menemukan perebutan
kepentingan korporasi jika ada konflik antara tugas pejabat atau direktur kepada
perusahaan dan kepentingan pribadinya sendiri. Pelanggaran terhadap tugas
kesetiaan ini terjadi jika direktur membuat keputusan yang bukan semata-mata

199 | P a g e
untuk kepentingan korporasi dan keputusan itu justru menguntungkan pejabat atau
direktur. Pengadilan Texas menerapkan doktrin peluang perusahaan ketika
korporasi memiliki kepentingan atau harapan yang sah dalam, dan sumber daya
keuangan yang tersedia untuk mengambil keuntungan dari, peluang bisnis tertentu.

"Di mana peluang bisnis berada di garis kegiatan korporasi, dan merupakan
salah satu di mana korporasi memiliki minat atau harapan yang sah, peluang itu
menjadi milik korporasi." Para pejabat dan direktur tidak lagi memiliki hak untuk
mengalihkan peluang perusahaan dan menjadikannya milik mereka sendiri
daripada yang mereka miliki untuk mendapatkan properti perusahaan yang sesuai.
Seorang pejabat perusahaan atau direktur yang mengalihkan peluang perusahaan
melakukan pelanggaran kewajiban fidusia. Fidusia korporat yang mengalihkan
keuntungan dari korporasi yang melanggar hubungan fidusia-nya secara pribadi
bertanggung jawab atas semua keuntungan itu, bahkan ketika keuntungan diperoleh
oleh pihak ketiga.

Doktrin Peluang Korporat Membutuhkan Pengungkapan

Doktrin peluang perusahaan membutuhkan pengungkapan penuh, dan tidak


penting bahwa juri menemukan bahwa penggugat tidak akan mengambil
keuntungan dari peluang perusahaan. Hanya materi apakah peluang itu ada dalam
ruang lingkup bisnis korporasi. Doktrin peluang perusahaan tampaknya tidak
terpengaruh oleh aturan direktur yang tertarik dalam Dewan Komisaris § 21,418.
Jika seorang direktur mendapat untung dari kontrak dengan pihak ketiga yang
bergantung pada kontrak antara pihak itu dan korporasi, direktur mungkin terpaksa
menyerahkan keuntungannya kepada korporasi kecuali direktur itu mampu
menunjukkan bahwa tindakan itu adil dan bermanfaat bagi kepentingan korporasi.

Doktrin Peluang Korporat Membutuhkan Keadilan

Berbagai faktor dipertimbangkan dalam memutuskan apakah seorang direktur


telah melanggar tugasnya, tetapi ujian dasarnya adalah salah satu dari kewajaran.
Sejumlah prinsip umumnya diterapkan untuk memutuskan apakah transaksi itu adil,

200 | P a g e
termasuk apakah (1) direktur bersalah melakukan penjangkauan berlebihan; (2)
korporasi menerima nilai penuh; dan (3) kontrak dibuat terutama untuk kepentingan
korporasi dan bukan terutama untuk kepentingan direktur. Direktur harus
mengungkapkan kepada korporasi kemungkinan konflik antara tindakannya dan
kepentingan korporasi, dan perincian seputar kepentingan pejabat direktur juga
harus diungkapkan. Setiap transaksi yang mementingkan diri sendiri yang
melibatkan fidusia korporasi dianggap tidak adil bagi korporasi dan pelanggaran
kewajiban fidusia. Fidusia korporasi memiliki beban untuk membuktikan keadilan
kepada korporasi dari semua transaksi yang mementingkan diri sendiri. Transaksi
yang dirahasiakan yang merugikan korporasi hanya dapat disahkan dengan suara
bulat dari semua pemegang saham setelah pengungkapan penuh.

Pengecualian untuk Doktrin Peluang Perusahaan

Pengecualian untuk doktrin peluang perusahaan adalah ketika korporasi tidak


dapat memanfaatkan peluang. Beban memohon dan membuktikan
ketidakmampuan perusahaan untuk mengambil keuntungan dari peluang atau
pembelaan lain ditempatkan pada pejabat atau direktur yang menyalahgunakan
kesempatan tersebut. Selain itu, tidak penting apakah perusahaan atau pemegang
sahamnya benar-benar akan memanfaatkan peluang pada saat itu. Tugas fidusia
adalah "pengungkapan yang cepat dan lengkap" dari peluang pada saat itu muncul.
Jika fidusia korporasi melanggar kewajiban "pengungkapan total" dari peluang
pada saat itu muncul, maka hukum tidak mengizinkan penentuan setelah fakta,
apakah perusahaan akan mengambil keuntungan dari peluang itu jika diungkapkan.

Peluang Harus Milik Korporasi

Suatu perusahaan dapat melepaskan peluang bisnis kepada direktur setelah


pengungkapan penuh dan persetujuan dari mayoritas direktur yang tidak tertarik.
Direktur atau pejabat perusahaan tidak dilarang memasuki bisnis independen
asalkan mereka bertindak dengan itikad baik.Penyebab Tindakan Berdasarkan
Peluang Korporat Doktrin Milik Korporasi Penyebab tindakan untuk
penyalahgunaan peluang perusahaan adalah milik korporassi.Namun

201 | P a g e
demikian,tindakan tersebut biasanya ditegaskan secara derivatif oleh pemegang
saham atas nama perusahaan. Jika penyebab tindakan ditetapkan, pengadilan dapat
mengenakan.

F. In the best interest of the company

Bertindak 'dengan itikad baik' berarti bertindak dengan jujur atau tulus, tanpa
niat untuk menipu. Ini juga dikenal sebagai akting bonafide. Keputusan yang
diambil dengan itikad baik adalah keputusan di mana Anda benar-benar percaya itu
untuk kepentingan perusahaan secara keseluruhan dan bukan hanya untuk
kepentingan pribadi Anda. Namun, ini tidak berarti keputusan itu tidak
menguntungkan Anda juga. Keputusan yang menguntungkan Anda secara pribadi
dan perusahaan pada umumnya tidak harus diambil dengan niat buruk. Keputusan
Anda tidak harus memiliki manfaat aktual bagi perusahaan. Ini karena itikad baik
berhubungan dengan keadaan pikiran Anda ketika Anda membuat keputusan. Yang
penting adalah bahwa pada saat Anda membuat keputusan, Anda jujur percaya itu
untuk kepentingan terbaik perusahaan. Keyakinan ini juga harus masuk akal.
Konsep itikad baik terkait erat dengan bertindak demi kepentingan terbaik
korporasi. Bertindak demi kepentingan terbaik korporasi berarti bertindak untuk
kepentingan anggota (mis. Pemegang saham) perusahaan secara keseluruhan. Di
mana ada kepentingan yang bersaing, Anda sebagai direktur harus
menyeimbangkan kepentingan yang bersaing secara adil. Konsep yang bermanfaat
yang dikembangkan pengadilan untuk mempertimbangkan kepentingan terbaik
korporasi adalah 'anggota hipotetis'. Alih-alih melihat pemegang saham tertentu
atau kelompok pemegang saham, pengadilan membayangkan pemegang saham
rata-rata hipotetis. Pemegang saham hipotetis ini bisa menjadi pemegang saham
saat ini atau pemegang saham masa depan. Ini karena Anda sebagai direktur perlu
menyeimbangkan kepentingan perusahaan dalam jangka pendek, menengah dan
panjang. Pengadilan kemudian menilai apakah keputusan itu untuk kepentingan
terbaik pemegang saham hipotetis itu.

Untuk Tujuan yang Benar

202 | P a g e
Sebagai direktur, Anda memiliki kekuatan untuk mengelola perusahaan,
menerbitkan saham, dan menentukan dividen. Kekuatan-kekuatan ini bersifat
fidusia dan karenanya perlu dilakukan untuk tujuan yang tepat. Anda tidak dapat
menggunakan kekuatan Anda sebagai direktur untuk keuntungan pribadi, karena ini
akan dianggap sebagai tujuan yang tidak tepat. Anda harus melihat ke konstitusi
perusahaan dan perjanjian pemegang saham (jika ada) untuk menentukan ruang
lingkup kekuasaan Anda sebagai direktur. Dengan kata lain, tentukan apa yang
dapat Anda lakukan secara hukum sebagai direktur.

G. Duty to avoid conflict of interest

Istilah conflict of interest diberikan perdana dalam bahaa Indonesia dengan


istilah ‘’benturan kepentingan’’. Berkaitan dengan tugas direksi perseroan, apabila
direksi lebih memilih kepentingan pribadinya, maka direksi sudah berhianat
terhadap kepentingan perseroan yang menurut ketentuan pasal 92 ayat (1) UUPT
wajib menjadi perhatian utama dalam direksi menjalankan pengurusan perseroan.
Dalam hal ini komisaris lebih mengedepan kan kepentingan pribadinya dari pada
kepentingan perseroan , maka komisaris melanggar ketentuan pasal 114 ayat (2)
UUPT

H. Rangkuman tentang kewajiban – kewajiban direksi

Rangkuman kewajiban direksi yang disajikan dalam the code of directors


duties yang dibuat berdasarkan UK law tanggal 1 april 2007. Menurut the code of
directors duties yang berlaku di inggris,kewajiban direksi adalah :

1. Duty to act your powers.


2. Duty to promote the success of the company
3. Duty to exercise independen judgment
4. Duty to exercise reasonable care, skill and diligence
5. Avoiding a transaction conflict
6. Disclosing a transaction conflict
7. Accepting benefit from third parties

19.4.2 BUSINESS JUDGMENT RULE

203 | P a g e
Business judgment rule merupakan aturan (rule) yang dikembangkan
secara khusus oleh pengadilan amerika serikat.pengadilan amerika serikat merasa
penerapan duty of care tidak adil. Duty of care bukan salah tapi harus ditegakan.
Dengan adanya doktrin in telah memberikan kelegaan karena doktrin duty of care
telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para anggota direksi
perseroan di amerika serikat. Menurut blacks law dictionary memberikan
pengertian mengenai business judgment rule sebagai berikut ;

The presumption that in making business decision not involving direct self-
interst or self dealing,corporate directors act on an informed basis,in good faith
that their actions are In the corporations best interst. The rule shield directors and
officers from liability for unprofitable or harmful corporate transaction if the
transaction were made in good faith,with due care , and within the directors or
officers authority.

Sementara itu, business judgment rule diberikan pengertian dalam the free
dictionary sebagai berikut :

A legal principle that makes officers,directors,manager and other agent of a


corporation immune from iiability to the corporation for loss incurred in corporate
transactions there are within their authority and power to make when sufficient
evidence demonstrates that the transactions were mede in good faith.

The federal court,memutuskan :

That although the directors chose the wrong course of action, thay acted in
good faith and therefore were not liable to the shareholders, the court reasoned
that ‘mistakes or errors in the exercise of honest business judgment do not subject
the officers and dirctors to liability for negligence in the discharge of their
appointed duties.

Mengingat para direktur tidak dapat memastikan keberhasilan


perusahaan,berdasarkaan pertimbangan dalam perkara Aronson v. lewis pada tahun
1984 yang di ambil oleh pengadilan delawere,Amerika serikat, pengadilan tidak
akan menilai keputusan bisnis yang dilakukan oleh para direktur dalam

204 | P a g e
menjalankan kewajibannya sepanjang keputusan tersebut diambil dengan dasar
sebagai berikut :

1. In good faith
2. With the care that an ordinarily prudent person in a like position would
exercise
3. In a manner the directors reasonably belive to be in the best interests of the
corporation

Pada tahun 1984, Pengadilan Delaware dalam putusan perkara Grobow v.


perot, 539 A.2d 180 (Del.1988), memberikan pedoman baku untuk menilai
(standard of review) apakah keputusan para direktur perusahaan telah diambil
dengan memenuhi the business judgement rule. Tolok ukuranya adalah:
1. Act in good faith
2. Act in the best interests of the corporation;
3. Act on an informed basis;
4. Not be wasteful;
5. Not involve self-interest (duty of loyalty concept plays a role here)
Lain lagi pedoman yang diberikan dalam perkara Francis v. United Jersey
Bank,
432 A.2d 814 (N.J.1981). Perkara Francis v. United Jersey Bank (1981)
menawarkan pedoman yang dapat dijadikan pegangan bagin setiap anggota Direksi
perseroan dalam menjalankan tugasnya, yaitu bahwa anggota Direksi harus :
8. Memiliki pemahaman yang baik mengenal bisnis perseroan yang
dipimpinya.
9. Daei waktu ke waktu mengetahui menegenai kegiatan perseroan.
10. Melakukan pemantauan terhadap kegiatan perseroan.
11. Menghadiri rapat Direksi secara teratur.
12. Melakukan review atas laporan keuangan perseroan secara teratur.
13. Menanyakan apabila menjumpai masalah yang meragukan
14. berkonsultasi dengan penasihat.

205 | P a g e
19.4.3 DOCTRINE OF ULTRA VIRES

‘Ultra vires’ adalah kata latin yang berarti ‘melampaui kewenangan’


(beyond the power). Lawan dari ‘ultra vires’ adalah ‘intra vires’.
Menurut doktrin ultra vires (doctrine of ultra vires ), apabila suatu perseroan
yaitu tidak sesuai dengan maksud dan tujuannya maka perjanjian tersebut tidak sah
(illegal). Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT) menegaskan bahwa direksi adalah organ yang bertanggung-jawab penuh
terhadap kepengurusan sesuai dengan maksud dan tujuan dan
berwenang mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar, sesuai dengan
ketentuan Anggaran Dasar (Pasal 1 angka (5) UUPT). Berdasar ketentuan ini, maka
direksi memiliki dua fungsi yaitu fungsi manajemen ke dalam perseroan
dan fungsi kedua representasi ke luar dengan pihak ketiga. Direksi dalam
menjalankan kedua fungsi itu harus berpegang kepada maksud dan tujuan sebagai
dasar bekerjanya perseroan. Direksi yang tidak sejalan dengan maksud dan tujuan
dikategorisasikan telah melampaui batas kewenangan atau yang dikenal sebagai
doktrin ultra vires. Apakah ultra vires itu?
Ultra vires berasal dari bahasa latin yang berarti melebihi kekuasaan atau
kewenangan yang diizinkan oleh hukum. Menurut doktrin ini, direksi yang
menandatangani kontrak dengan pihak ketiga yang tidak di dalam kerangka
maksud dan tujuan perseroan, maka kontrak tersebut menjadi tidak sah atau batal
demi hukum (void). Lebih jauh bahkan apabila ternyata kontrak yang
ditandatangani itu merugikan perseroan, maka perseroan dapat saja menuntut
Direksi tersebut dengan dasar bahwa Direksi melakukan kelalaian atau kesalahan
dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan wewenang, sehingga konsekuensinya
kontrak itu menjadi tanggung jawab pribadinya Direksi (vide Pasal 97 ayat [2] dan
[3] UUPT). Hal ini terjadi dalam hal anggaran dasar menentukan maksud dan tujuan
perseroan adalah bergerak dalam bidang properti (perumahan), tetapi realitasnya
ternyata Direksi melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekspor barang elektronik
(yang tidak termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan), maka tindakan Direksi
itu termasuk di dalam kategori ultra vires.

206 | P a g e
Dengan berlandaskan kerangka arti dan konsekuensi jika dilanggarnya ultra
vires, maka akar pengaturan ultra vires, sesungguhnya, berada di anggaran dasar
perseroan. Anggaran dasar adalah basis dari kerangka kerja perseroan seluruh
organ-organ yang ada (RUPS, Komisaris dan Direksi) di dalam menjalankan
kegiatan sehari-hari dan salah satunya adalah ketentuan maksud dan tujuan.
Maksud dan tujuan itu memliki peran ganda, yaitu sebagai pengakuan terhadap
keberadaan perseroan dan kedua sebagai dasar pembatasan kecakapan direksi
bertindak. Hal ini berarti bahwa direksi yang melakukan kecakapan bertindak tidak
termasuk di dalam maksud dan tujuan perseroan adalah ultra vires dan menjadi
tanggung jawab direksi pribadi dan tidak mengikat perseroan. Untuk itu, maka
direksi harus mengetahui dua hal.
Pertama, apakah tindakan itu menurut perundang-undangan (misalnya,
UUPT) dan anggaran dasar adalah merupakan tindakan yang berada di luar
maksud dan tujuan perseroan. Kedua, apakah tindakan dari direksi perseroan itu
telah berada di luar kewenangan yang diberikan kepadanya dengan berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang berlaku, termasuk anggaran dasar perseroan. Kedua hal
tersebut diatas dapat dijadikan rujukan direksi dalam mengukur ultra vires itu telah
terjadi atau tidak, namun direksi juga harus memperhatikan kriteria tindakan di luar
maksud dan tujuan itu seperti apa?
Terdapat tiga kriteria untuk menentukan bahwa tindakan direksi itu termasuk
di luar maksud dan tujuan atau tidak yaitu apabila terpenuhi salah satu atau krieria
di bawah ini: pertama, perbuatan hukum direksi yang bersangkutan secara tegas-
tegas dilarang oleh anggaran dasar perseroan. Kedua, dengan memperhatikan
keadaan-keadaan khusus, maka perbuatan hukum direksi yang bersangkutan tidak
dapat dikatakan akan menunjang kegiatan - kegiatan yang disebut dalam
anggaran dasar perseroan. Ketiga, dengan memperhatikan keadaan-keadaan
khusus, maka perbuatan direksi itu tidak dapat diartikan sebagai
menunjang kepada kepentingan perseroan.
Dengan demikian koridor yang dapat dipergunakan direksi di dalam mencegah
pelanggaran ultra vires dan memenuhi kriteria intra vires, sesungguhnya, adalah
dengan selalu berpegang dan bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan

207 | P a g e
dalam batas-batas yang diizinkan umumnya oleh peraturan perundang-undangan
dan khususnya di dalam maksud dan tujuan anggaran dasar perseroan. Kondisi
yang masih dalam kerangka maksud dan tujuan perseroan menjadi intra vires
(masih di dalam kapasitasnya), sehingga tindakan direksi menjadi sah dan mengikat
perseroan. Hal ini mengandung arti bahwa Direksi memiliki limitasi bertindak
untuk dan atas nama perseroan. Hanya saja sampai seberapa jauhkah perbuatan dari
direksi dapat dikatakan telah terjadi penyimpangan dari maksud dan tujuan
perseroan (sehingga telah terjadi ultra vires) dapat dilihat dari kebiasaan atau
kelaziman yang terjadi di dalam praktik dunia usaha sebagai dasar ukurannya.

19.4.4 PUBLIC DOKUMENTS RULE

Dampak dari doktrin ultra vires menjadi makin meningkat oleh karena
berlakunya ajaran atau doktrin yang disebut ‘public dokuments rule’ atau ‘doktrine
of constructives notice’. Doktrin ini didasarkan kepada pendapat bahwa seseorang
yang berhubungan dengan perseroan dapat memeriksa companys public
documents.
Menurut penulis, sebagai kelengkapan dari pemberlakuan ultra vires doctrine
bagi pertanggung jawaban perseroan dan direksi berdasarkan UUPT, dan
diberlakukanpula public documents rule atau doctrine of constructives notice.

19.5 THE INDOOR MANAGEMENT RULE

Aturan atau ajaran the indoor management rule merupakan ajaran yang
dimaksudkan untuk membatsi bekerjanya doctrine public document rule.

Hal – hal yang tidak mungkin diketahui oleh pihak luar hanya dari dokumen
public itu ialah :

 Apakah direktur diangkat sebagaimana mestinya


 Apakah mereka yang menyatakan dirinya berhak bertindak sebagai
(para) direktur memiliki kewenangan untuk bertindak sebagaimana
yang dilakukannya

208 | P a g e
 Apakah RUPS atau rapat direksi diselenggarakan dengan melakukan
pemberitahuan sebagaimana mestinya
 Apakah RUPS atau rapat direksi telah diselenggarakan memenuhi
kurum yang ditentukan
 Apakah voting dalam rangka pengambilan keputusan telah
dilaksanakan sebagaimana mestinya.

19.6 PENYALAHGUNAAN WEWENANG DIREKSI

Anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula memperoleh keuntungan
pribadi dengan cara melakukan perbuatan yang tidak dilandasi itikad baik. Sebagai
contoh dari perbuatan yang tidak dilandasi dengan itikad baik itu ialah misalnya :

a. Perseroan membeli barang atau properties dari pihak lain dengan harga
yang lebih tinggi dari harga yang wajar
b. Perseroan menjual harta kekayaan perseroan kepada pihak lain dengan
harga jauh lebih rendah dari harga wajarnya
c. Apabila direksi dari suatu lembaga kredit seperti misalnya bank atau
perusahaan atau pembiayaan ( multifinance company ), telah
memberikan kerdit kepada pihak lain dengan tidak melakukan analisis
yang baik sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dimana
sekalipun permohonan keredit itu sebenarnya tidak layak (feasible)
d. Seorang anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula
memperoleh manfaat pribadi dari jabatan apabila memanfaatkan
kesempatan transaksi yang seyogyanya dilakukan dengan dan untuk
kepentingan perseroan yang dipimpinnya, tetapi transaksi itu
disalurkan kepada perseroan lain dimana anggota direksi yang
bersagkutan memiliki kepentingan.

Tidak mustahil akibat lebih lanjut dari perbuatan anggota direksi itu adalah
bahwa keuangan perseroan menjadi berbeda dalam keadaan tidak mampu
membayar kewajiban kepada pihak lain sebagai akibat tingkat pendapatan

209 | P a g e
perseroan yang menurun bahkan perseroan mengalami kerugian. Tidak mustahil
pula perseroan dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan.

19.7 TANGGUNG JAWAB PERDATA DIREKSI PERUSAHAAN


DEBITUR PAILIT

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,pasal 104 ayat (2) UUPT


menentukan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian
direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup menutup kerugian akibat kepailitan
tersebut, selanjutnya pasal 104 ayat (4) UUPT menentukan bahwa direksi yang
dapat membuktikan bahwa kepailitan itu bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya,tidak bertanggung jawab secara tanggung rentang atas kerugain
tersebut. Bunyi pasal 104 ayat (4) adalah :

a. Kepailitan tersebut bukan kesalahan atau kelalaian


b. Telah melakukan pengurusan denganitikad baik, kehati-hatian, dan
penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan
c. Tidak mempunya benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan

Dengan kata lain UUPT menegaskan bahwa salah satu kewajiban pribadi dari
anggota direksi suatu perseroan terbatas adalah memperhatikan kepentingan para
kreditur perseroan.

19.8 TANGGUNG JAWAB PRIBADI ANGGOTA DIREKSI


PAJANGAN

Prof. Clark mengemukakan bahwa pada umumnya gugatan yang sering


berhasil dilakukan terhadap para anggota direksi adalah berkenan dengan contoh
yang pertama, yaitu bahwa setelah menjadi anggota direksi ternyata anggota direksi
tersebut tidak melaksanakan kegiatan dasar yang seharusnya dilakukan dalam
jabatanya itu.

210 | P a g e
Sehubung dengan tanggung jawab yang begitu besar dan berat dari seorang
anggota direksi apabila melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan
tugasnya,maka seorang anggota direksi hendaknya menghindarkan diri untuk tidak
hanya menjadi figurehead director atau anggota pajangan saja.

19.9 TANGGUNG JAWAB PRIBADI KOMISARIS

Komisaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab


dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi untuk
kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Dengan demikian terhadap anggota dewan komisaris berlaku pula fiduciary


duty sebagaimana telah diterangkan.

Pasal 115 ayat (1) UUPT menentukan :

Dalam hal ini kepailitan karena kesalahan atau kelalaian anggota dewan
komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan
oleh direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh
kewajiban perseroan akibat kepailitan tersebut,setiap amggota dewan komisaris
secara tanggung rentang ikut bertanggung jawab dengan anggota direksi atas
kewajiban yang belum dilunasi.

19.10 PIHAK-PIHAK YANG DAPAT DIPANGGIL SEBAGAI


PENGGUGAT

Pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatanterhadap pribadi anggota direksi


dan komisaris yang karena kesalahan telah merugikan perseroan atau telah
mengakibatkan perseroan dinyatakan pailit oleh pengadilan antara adalah para
pemegang saham perseroan tersebut.

Menurut pasal 97 ayat (6) undang-undang No.40 2007 tentang perseroan


terbatas. Atas nama perseroan,pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10
bagian dari jumlah seluruh sahamdengan hak suara yang sah dapat mengajukan
gugatan kepengadilan negeri anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaian
menimbulkan kerugian kepada perseroan. Ketentuan yang serupa berlakupula

211 | P a g e
terhadap komisaris sebagaimana ditentukan dalam pasal 114 ayat (6) UUPT dari
undang-undang tersebut.

212 | P a g e
BAB XX

KETENTUAN PIDANA DALAM KEPAILITN

Kejahatan dan kecurangan dalam kepailitan merupakan salah satu bentuk


kejahatan kerah putih ( white-collar crime ). Dari uraian mengenai bentuk-bentuk
dibawah dan dari kemugkinan kejahatan kepailitan dibeberapa negara sebagaimana
diuraikan dibawah dan dari kemungkinan kejahatan kepailitan yang dilakukan
diindonesia, bentuk-bentuk kejahatan kepailitan, antara lain:

1) Bentuk- bentuk kejahatan kepailitan sebelum permohonan pailit diajukan


kepada pengadilan :
 Dalam rangka kredit dari bank, debitur berkerja berasama dengan
perusahaan konsultan yang membuat studi kelayakan (feasibility study)
menyerahkan study tersebut yang menyimpulkan bahwa perusahaan
debitur feasabel dan viable untuk memperoleh kredit
 Melakukan manipulasi keadaan keuangan debitur dengan bekerja sama
dengan kantor akuntan public sehingga neraca perusahaan debitur tidak
menggambarkan keadaan yang sesungguhnya
 Debitur memanipulasi nilai agunan yang jauh diatass harga pasar
 Kejahatan dilakukan debitur Karen keadaan keuangnnya mengalami
cash-flow insolvency atau balance-sheet insolvency, bentuk-bentuk
kejahatan yang dilakukan,antara lain:
 Dengan berkerja sama dengan kreditur tertentu memperbesar jumlah
hutangnya kepada krediur
 Untuk kepentingan pribadinya
 Debitur menyembunyikan satu atau lebih asetnya
 Kreditur tertentu dengan itikad buruk
 Debitue menciptakan utang baru yang fiktif
 Debiture tidak melaporkan tagihan (piutangnya)
 Memasukan data palsu ke dalam segala dokumen dan membuat bukti-
bukti palsu dalam rangka pengajuan permohonan pailit.

213 | P a g e
2) Bentuk kejahatan kepailitan selama proses pemeriksaan permohonan pailit
oleh pengadilan :
 Kejahatan yang dilakukan sebelum permohonan pailit diajukanb bukan
sejak putusan pailit dijatuhkan oleh pengadilan.
3) Bentuk kejahatan kepailitan setelah keputusan pailit dijatuhkan oleh
pengadilan :
 Di Indonesia memungkinkan curator memperoleh keuntungan pribadi
 Di Indonesia memungkinkan hakim pengawas bekerja sama dengan
curator mengungkapkan rahasia berkenaan dengan penjualan lelang
harta pailit
 Di ndonesia hakim pengawas berkerja sama dengan curator
menetapkan harga limit yang rendah untuk keuntungan pribadi mereka.

20.1 KETENTUAN PIDANA BELANDA

Menurut knegt,beukelman,popma,van wiligenburg and zaal (2005), kerjahatan


kepailitan (bankruptcy fraud) terjadi sebanyak 25% pada semua kasus kepailitan di
Belanda. Menurut alex van geldrop, dalam tulisannya yang berjudul bankruptcy
fraud, ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pelaku kejahatan kepailitan
yaitu :

 Assets can be with drawn from the company or can be kept from the
creditors.
 Assets can be retransfrred under the appearance of obligation or can be
sold at a price under market velue
 Fulfilling expenditure commitments towards friendly third parties or
other managers while there are other privilege creditors.

Alex vn geldrop mengemukakan bahwa prilaku curang (fraudulent behaviors)


yang dilakukan dalam kepailitan salah satunya adalah :

 The curator sees signal that property is being withdrawn from the
companys assets
 The PLC’s administration is missing or incomplete

214 | P a g e
 The activitis of (part of) company have been continued
 Shortly before the bankruptcy request there has been a declined request
for permission to terminate employment for several employes

20.2 KETENTUAN PIDANA PRANCIS

Undang-undang kepailitan prancis dapat dilacak kebelakang sampai kepada


pendirian republic prancis pada akhir abad ke-18 dan muculnya system
hukumprancis berdasarkan kode napoleaon (the Napoleonic codes). Evolusi dari
hukum kepailitan prancis dapat dibagi dalam tiga periode :

 Periode pertama : pengundangan the commercial code of 1807, yang


merupakan kodefilasi pertama dari ketentuan hukum mengatur
pengusaha (marchants) yang tidak mampu membayar utang-utangnya.
 Periode kedua : terjadinya perubahan besar-besaran dalam falsafah
kepailitan yang diperkenalkan dengundang-uan diterbitkannya undang-
undang kepailitan pada tahun 1967
 Periode ketiga : periode terakhir adalah penggunaan procedure
kepailitan sebagai cara untuk melindungi debitur dari para krediturnya
dan membantu para debitur untuk mereorganisasi perusahaannya untuk
kembali dalam keadaan keuangan yang sehat

System hukum yang berlaku pada saat ini ;

1. Undang-undang 1 maret 1984 tentang penyelesaian kesulitan perusahaan


yang menurut pasal 615-1 dari the france commercial code mempunyai dua tujuan
yaitu:
1. Pertama : undang-undang tersebut dimaksudkan untuk membantu
prusahaan menghindari diri agar tidak harus harus membutuhkan
perlindungan melalui penjualan kepailitian.
2. Kedua : undang-undang tersebut memfasilitasi antara debitur dan
kreditur untuk menghindari procedur kepailitan
3. Undang-undang 25 januari 1985 tentang reorganisasi dan likuidasi
perusahaan yang memprioritaskan tujuan kebijakan kepailitannya.

215 | P a g e
Tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan perusahaan,
memberikan perlindungan kerja, perlindungan terhadap kegiatan usaha
perusahaan.

Hukum kepailitan prancis merupakan hukum kepailitan yang memihak kepada


kreditur. Prioritas hukum kepailitan prancis adalah dalam tiga hal :

 Menyelamatkan perusahaan
 Menghindarkan redandasi (redundancies)
 Membenahi utang-utang perusahaan

Berberapa pihak berpendapat bahwa undang-undang tersebut tidak


mempertimbangkan realita ekonomi dari dari pasar dan terlalu ambisius Karen sulit
untuk mencapai tiga tujuan tersebut di atas.

20.3 KETENTUAN PIDANA JERMAN

Selama masa jerman dibawah pemerintahan prusia, hukum kepailitan telah


mengalami beberapa kali perubahan. Pelanggara baik ketika telah berlangsungnya
kepailitan maupun sebelum kepailitan, di jerman diatur dalam pasal-pasal 283-283d
kitab undang-undang hukum pidana jerman (the german penal code). Dalam UU
tersebut diatur mengenai hal-hal sebagai berikut :

 Banckruptcy (283)
 Aggravated bankcruptcy (283a)
 Violation of book-keeping duties (283b)
 Extending unlawfull benefits to creditors (283c)
 Extending unlawfull benefits to debtors (283d)

System ketentuan mengenai tidak pidana kepailitan jerman dapat dibagi


menjadi tiga kelompok kejahatan :

 Kejahatan yang merugikan kepentingan para kreditur


 Kejahatan yang khusus merugikan hak-hak milik atas harta kekayaan
 Kejahatan-kejahatan lainnya

216 | P a g e
Pasal 283 dan 283a kitab undang-undang hukum pidana jerman (the german
penal code), terdiri atas 5 model utama perilaku.

Model pertama, mengatur berbagai actus reusdalam kepailitan. Factor


utamanya adalah : (1) kewajiban perusahaan telah melebihi kekayaan assets nya,
(2)perusahaan akan mengalami tidak mampu (inability), (3) perusahaan telah
mengalami ketidak mampuan membayar hutang.

Model kedua, apabila kesulitan keuangan debitur karenanilai kewajibannya


melebihi nilai harta kekayaannya yang mengakibatkan ketidak mampuan debitur
untuk melunasi utang-utangnya.

Model ketiga, membebankan pertanggung jawaban pidana kepada pelaku yang


bermaksud melakukan percobaan kejahatan yang dimaksud dalam bagian pertama.
Sanksinya adalah pidana penjara yang tidak melebihi lima tahun atau pidana denda.

Model keempat, membebankan pertanggung jawaban pidana kepada pelaku


karena melakukan kejahatan yang dimaksud bagian pertama, karena lalai untuk
mengetahui bahwa nilai kewajiban perusahaan telah melebihi dari nilai
kekayaannya. Sanksi untuk prilaku demikian adalah penjara maksimum 2 tahunatau
pidana denda.

Model kelima, membebankan pertanggung jawaban pidana kepada mereka


yang karena kelalaiannya (negligence) sekurang-kurangnya lalai mengetahui
bahwa nilai kewajiban debitur melebihi nilai harta kekayannya atau yang karena
kelalaian berat (gross negligence) telah mengakibatkan perusahaan tidak mampu
membayar utangnya atau tidak akan mampu membayar utangnya. Pidananya adalah
pidana yang tidak melebihi 2 tahun atau pidana denda.

20.4 KETENTUAN PIDANA AMERIKA

Di Amerika Serikat, penuntutan yang sering dilakukan terkait dengan


kejahatan dalam kepailitan (bankcruptcy) adalah ‘the knowing and fraudulent
concealment of assets’ sebagaimana ditentukan dalam 18USCS 152 (1). Jenis
kejahatan lainnya adalah :

217 | P a g e
 Making a false oath or account
 Making a false declaration under penalty of perjury
 Presenting a false claim
 Receving property with the intent to defeat the provisions of title 11
 Bribery
 Transferring or conceling property
 Destroying or tamparing with recorded information affecting the debtor
 Postpetition with holding of recorded information

Terdapat banyak cara bagi debitur untuk menyembunyikan asetnya pada proses
kepailitan, menurut patricia dzikowksi termasuk cara-cara tersebut adalah :

 Laying about owning the assets


 Transferring assets into someone else’s name or giving them to someone
else to hold
 Creating fake lines or mortgages to make the assets seem like they have no
value

Dalam kepailitan dikenal adanya dua kejahatan, yaitu petition mills dan
multiple filing fraud. Petition mills adalahsalah satu jenis kejahatan kepailitan
yang sedang marak di amerika serikat yang dilakukan oleh pihak ketiga. Multiple
filing fraud adalah mengajukan permohonan pailit dibeberapa negara bagian
dengan menggunakan nama dan informasi yang sama.

20.5 KETENTUAN PIDANA INGGRIS

Di UK, kepailitan diatur oleh insolvency act 1986 (IA 1986) dan insolvency
rules 1986 (IA1986). The bankruptcy offenses (tindak pidana kepailitan) di inggris
dapat dijumpai dalam IA 1986,second group of parts, part IX, chapter VI.

Kebanyakan dari tindak pidana kepailitan menurut the IA 1986 hanya dapat
dilakukan oleh debitur pailit. Di antara perbuatan tersebut adalah :

 Failure to account for or explain loss of property


 Concealment of records

218 | P a g e
 False statement
 Absconding with property

Pada umumnya banyak dari tindakan kepailitan dilakukan dalam bentuk:

 Melakukan (acts) atau tidak melakukan (omissions) perbuatan setelah


dikeluarkannya bankcruptcy order
 Melakukan perbuatan sebelum dimulainya kepailitan debitur.

20.6 TINDAK PIDANA DALAM KUHP TERKAIT KEPAILITAN

Dalam UUK-PKPU tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai sanksi


pidana terhadap pihak-pihak terkait dengan kepailitan. Namun demikian, bukan
beratri debitur atau curator yang melakukan perbuatan yang dapat merugikan
kreditur atau harta pailit tidak dapat dikenakan pidana berdasarkan undang-undang
yang berlaku.

Di KUHP terdapat suatu bab khusus yaitu bab XXVI, yang memuat pasal-pasal
berkaitan dengan perbuatan yang merugikan kreditur atau orang yang mempunyai
hak. Pasal-pasal dari bab itu dimulai dari 396 s.d pasal 405. Ketentuan tersebut
berkaitan dengan perbuatan surat-surat yang isi nya tidak mengandung kebenaran
atau surat-surat yang dipalsukan sebagaimana diatur dalam BAB XII khususnya
pasal 263,364 dan 266. Terkait satu pasal yaitu pasal 520 yang terkait dengan
PKPU.

20.7 PEMALSUAN SURAT

20.7.1 pasal 263 KUHP

Dengan adanya hubungan debitur dan kreditur dalam perjanjian utang


piutang, dapat terjadi debitur melakukan tindakan yang merugikan seseorang atau
lebih krediturnya. Perbuatan tersebt adalah yang menyangkut pemalsuan surat-surat
yang berkanan dengan kewajiban utangnya.

20.7.2 pasal 264 KUHP

219 | P a g e
Pidana terhadap perbuatan pemalsuan surat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 264 KUHP, maksimum ancamannya ditetapkan lebih berat apabila surat-surat
yang isi nya tidak benar atau dipalsukan, lengkapnya bunyi pasal 264 KUHP itu
adalah sebagai berikut :

(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun,jika dilakukan menyangkut :
a. Akta autentik
b. Surat utang dan sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagaiannya
ataupun dari suatu lembaga umum
c. Surat sero atau surat utang atau sertifikat sero atau utang dari suatu
perkumpulan yayasan, perusahaan debitur atau maskapai.
d. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan
sebagaipengganti surat-surat itu.
e. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.

(1) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai
surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak benar atau yang dipalsukan
seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbilkan
kerugian.

20.8 MEMBERIKAN KETERANGAN PALSU

Dalam pemalsuan surat-surat autentik dapat terjadi bahwa yang palu atau tidak
benar itu adalah isi dari akta itu buan karena isinya dipalsukan oleh pejabat umum
yang membuat akta autentik tersebut tetapi orang yang memberikan keterangan
untuk dimuat dalam akta itu yang memberikan keterangan palsu. Untuk perbuatan
demikian itu, yang bersangkutan diancam pidana bedasarkan pasal 266 KUHP.
Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Barang siapa menyuruh memasukan keterangan palsu (keterangan yang


tidak benar) kedalam suatu akta autentik mengenai sesuatu hal yang

220 | P a g e
kebenaranya harus dinyatakan oleh akta tersebut. Diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
2. Diancam dengan pidana sama.

Tidak pidana tersebut adalah tindak pidana formil.

20.9 PEMBELIAN BARANG SECARA BERUTANG

Pasal ini mengancam pidana terhadap seseorang atau badan hukum yang
dengan sengaja membuat utang-utang melalui berbagai transaksi jual beli barang.
Tujuannya adalalah untuk mengemplang utangutang yang timbul dari transasksi
pembelian itu.

Perbuatan sebagaimana dilarang menurut pasal 379a KUHP tersebut dalam


bahsa belanda disebut flessentrekkerij.

20.10 PENIPUAN

Kalua timbulnya utang bukan karena pembelian, makan bukan pasal 379a
yang dapat dikenakan terhadap yang bersangkutan. Pasal yang dapat dikenakan
terhadap yang bersangkutan adalah pasal 378 KUHP yaitu pasal penipuan. Didalam
pasal peipuan tersebut, secara khusus disebutkan perbuatan yang berkaitan dengan
utang, yaitu perbuatan penipuan untuk mneggerakanorang memberi utang kepada
si pelaku atau menghapus utang si pelaku.

20.11 PERBUATAN DEBITUR PAILIT YANG MERUGIKAN


KREDITUR

KUHP memiliki pasal khusus yaitu pasal 396a KUHP untuk memidana
debitur pailit yang melakukan perbuatan yang dapat merugikan krediturnya. Bumyi
pasal tersebut sebagai berikut :

Pedagang (koopman) yang telah dinyatakan pailit (in staat van faillissement)
atau yang telah diizinkan oleh pengadilan untuk menyerahkan harta kekayaannya
(gerecthelijk bodelafstand),diancam, karena merugikan kreditur (bank breauk)
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan :

221 | P a g e
ke-1. Jika biaya penghidupannya terlampau boros

ke-2. Jika ia, dengan maksud mengulur kepailitannya telah meminjam uang
dengan syarat-syarat yang memberatkan, sedang ia mengetahui bahwa hal tersebut
tidak akan mencagah terjadinya kepailitan terhadap dirinya.

Ke-3. Jika ia tidak dapat memperlihatkan dalam keadaan baik dan lengkap

Sesuai dengan ketentuan pasal tersebut seorang pedagang yang telah


dinyatakan pailit oleh pengadilan dilarang melakukan perbuatan bulir
pertama,kedua dan ketiga dari pasal tersebut.

20.12 PEMINDAH TANGANAN HARTA KEKAYAAN DEBITUR


YANG MERUGIKAN

KREDITURNYA.

Pasal 397 KUHP mengancam pidana terhadap debitur yang secara curang
memindah tangankan harta kekayaannya, baik setelah yang bersangkutan
dinyatakan pailit atau yang bersangkutan mengetahui bahwa kepailitan terhadap
dirinya tidak dihindari dari perbuatan itu dapat mengakibatkan kerugian terhadap
para kreditur. Pasal ini erat hubungannya dengan ketentuan action pauliana
sebagaimana diatur dalam pasal 41 dan pasal 42 UUK-PKPU. Terhadap perbuatan
yang demikian itu, bukan saja barang itu dapat dituntut kembali oleh curator untuk
kemudian dimasukan ke dalam harta pailit asalkan perbuatan itu dilakukan dalam
jangka waktu satu tahun sebelum putusan pailit ditetapkan, tetapi terhadap debitur
dapat pula dijatuhi pidana berdasarkan pasal 397 KUHP tersebut.

20.13 PERBUATAN PENGURUS PERSEROAN TERBATAS YANG


MERUGIKAN

PARA KREDITUR

Menurut pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan


terbatas, setiap anghota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas
kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan

222 | P a g e
tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Ketentuan
mengenai tanggung jawab bagi anggota direksi itu diberikan oleh pasal 97 ayat (5)
UUPT yang berbunyi sebagai berikut :

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya


b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurus yang mengakibatkan kerugian
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut

Ketentuan mengenai tanggung jawab menurut pasal 104 ayat (4) UUPT tidak
berlaku apabila amggota direksi yang bersangkutan dapat membuktikan :

a. Kepailitan tersebut bukan karena kelalaiaan atau kesalahan


b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian dan dan
penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan kepengurusan yang dilakukan
d. Telang mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan

Disamping tanggung jawab perdata dari anggota direksi atau anggota dewan
komisaris perseroan terbatas, KUHP menetukan sanksi pidana bagi mereka. Hal itu
ditentukan pasal 398 KUHP. Dengan kata lain, apabila UUPT perseroan terbatas
menetukan tanggung jawab perdata dari anggota direksi dan dewan komisaris suatu
perusahaan debitur, KUHP menetukan ancaman pidana bagi anggota direksi dan
dewan komisaris yang telah mengakibatkan perusahaan debitur mengalami
kepailitan.

20.14 PENIPUAN OLEH DEBITUR PAILIT TERHADAP PARA


KREDITUR

223 | P a g e
Pasal 400 KUHP mengancam pidana kepada debitur yang curang sehubung
dengan kepailitan terhadap dirinya diancam dengan pidana penjara paling lama 5
tahun 6 bulan.

Sehubung dengan ketentuan pasal 400 ayat (2) KUHP apakah dapat dikenakan
terhadap kreditur? Kreditur tersebut tidak dapat dijerat dengan pasal tersebut,
namun demikian bukan berarti kreditur tersebut tidak dapat dijerat dengan passal
tersebut tetapi dapat dijerag dengan ketentuan KUHP yang mengancam pidana
terhadap perbuatan pemalsuan.

20.15 KESEPAKATAN CURANG ANTARA KREDITUR DENGAN


DEBITUR PAILIT

Pasal 401 ayat KUHP melarang perbuatan yang dilakukan oleh seorang
kreditur yang bergainning powernya yang kuat telah menekan debitur dengan
perdamaian diluar pengadilan dengan syarat-syarat yang di satu pihak sangat
menguntungkan kreditur dan dipihak lain sangat memberatkan debitur. Dengan
diberlakukannya pasal tersebut,hukum bermaksud untuk melindungi keoentingan
kreditur yang lain.

Dilihat dari hukum perdata perdamaian yang demikian itu batal demi hukum
Karena perdamaian itu tidak berdasarkan consensus murni yang menurut ketentuan
pasal 1320 KUHPer.

20.16 PERBUATAN DEBITUR PAILIT YANG MENGURANGI HAK-


HAK KREDITUR

Pasal 420 KUHP, pasal ini merupakan ketentuan yang mengancam pidana
bagi debitur pailit yang baik sebelum maupun setelah kepailitannya merekayasa
adanya utang (utang fiktif), pasal ini juga mengancam pidana bagoi debitur yang
setelah kepailitan memindahkan harta pailitnya, pasal tersebut juga mengancam
pidana apabila bagi debitur dalam melakukan perbuatan bertujuan hanya
menguntungkan salah satu kreditur saja.

224 | P a g e
20.17 PERBUATAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS YANG
BERTENTANGAN

DENGAN ANGGARAN DASAR

Pasal 403 KUHP, pasal ini mengncam pidana denda bagi pengurus debitur
yang berbentuk badan hukum yang membantu atau mengizinkan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 398 KUHP. Apabila pidana denda dalam pasal
ini hanya berbentuk pidana denda yang pada kenyataannya tida terlalu besar maka
praktis pasal tersebut tidak memiliki arti dalam rangka penegakan hukum terhadap
perbuatan curang sehubung dengan kepailitan.

20.18 TINDAK PIDANA DALAM RANGKA PKPU

Perbuatan pengurus atau pemilik yang dilakukan oleh debitur setelah


ditetapkan PKPU tanpa persetujuan pengurus merupakan tindak pidana melanggar
pasal 520 KUHP. Tindak pidana tersebut hanya ditentukan sebagai tindak pidana
pelanggar.

20.19 KESIMPULAN

Setelah KUHP dibandingkan dengan ketentuan pidana tentang kepailitan


dengan undang-undang negara yang telah diuraikan diatas, cukup baik KUHP
mengatur mengenai kecurangan dalam kepailitan. Demikian juga kecurangan yang
dilakukan oleh pengurus PKPU dengan atau tanpa kerja sama dengan hakim
pengawas yang hendaknya diatur pula dalam KUHP yang baru.

225 | P a g e
BAB XXI

BEBERAPA SARAN

21.1 SYARAT INSOLVENSI

Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur konkurer dan mempunyai
utang baik kepada semua krediturnya, baik kepada semua kreditur konkurer,
kreditur preferen dan kreditur dengan hak istimewa, baik yang hartanya berwujud
maupun tidak berwujud dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan yang berwenang
untuk memberikan putusan pailit.

21.2 KEADAAN DIAM

UUK-PKPU seharusnya menentukan keadaan diam (automatic stay)


berlaku seketika pada saat permohonan pailit telah didaftarkan dipengadilan niaga.
Berlakunya keadaan diam setelah adanya putusan pailit yang dapat membahayakan
kepentingan para kreditur karena kemungkinan adanya berbagai upaya debitur
untuk menyembunyikan harta pailit untuk kepentingannya sendiri.

21.3 HAK SEPARATIS KREDITUR

Menyimpang dari ketentuan mengenai hukum hak jaminan , UUK-PKPU


Mengambil sikap yang berbeda yaitu bahwa kreditur tidak mempunyai hak
separatis terhadap kekayaan debitur yang telah dibebani dengan hak jaminan untuk
kepentingan kreditur pemegang hak jaminan tersebut. Oleh karena itu disarankan
itu,disarankan agar ketentuan tersebut diubah dan dikembalikan kepada marwah
hak jaminan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
menyangkut baerbagai hak jaminan.

21.4 KEPAILITAN PERUSAHAAN DAN PERORANGAN

Undang-undang kepailitan Indonesia tidak membedakan aturan untuk


kepailitan perusahaan dan kepailitan untuk perorangan dan usaha kecil. Dengan
demikian dapat terjadi ketidak adilan yang besar antara debitur perusahaan yang

226 | P a g e
pailit disatu pihak dan kepailitan debitur perorangan dari usaha kecil dipihak lain,
karena kedua golongan tersebut memiliki sifat dan ciri yang sangat berbeda.

21.5 REORGANISASI

Ditambahkan ketentuan :

Undanh-undang ini hanya berlaku untuk kepailitan koroporasi yang berntuk


badan hukum.

Kepailitan untuk perorangan dan untuk korporasi yang bukan berbentuk badan
hukum anak diatur dengan undang-undang tersenidir. Disamping debitur hanya
kreditur konkuren dan pihak-pihak yang ditentukan dalam undang-undang ini yang
berhak mengajukan permohonan pailit. Kreditur preferen dan kreditur dengan hak
istimewa tidak berhak untuk mengajukan permohonan pailit.

Penjelasan :

Kreditur preferen dan kreditur hak istimewa tidak berhak untuk mengajukan
permohonan pailit. Alasannya karena kreditur preferen telah dijamin pelunasannya
dari hasil eksekusi hak jaminan dan piutangnya. Namun demikian sebagaimana
ternyata dari ketentuan dalam undang-undang ini,kreditur preferen diberi
wewenang untuk menyetujui atau menolak perjanjian perdamaian berupa
restrukturisasi utang-utang debitur.

227 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai