Anda di halaman 1dari 19

Inisiasi 13

BUSINESS LEGACY

KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(Abdul Gofur, SH, MM)

A. Kepailitan

Istilah kepailitan secara etimologi, kepailitan berasal dari kata pailit. Istilah pailit
berasal dari bahasa Belanda disebut “Failliet” sebagai arti ganti yaitu sebagai
kata benda dan kata sifat sedangkan istilah pailit sendiri berasal dari Perancis
yang dikenal dengan istilah “Failliete” yang berarti pemogokkan atau emacetan
pembayaran. Demikian juga istilah bangkrut dan bankrupt, yang sama artinya
dengan istilah pailit berasal dari kata bahasa Italia banca rotta yang berarti
meja yang patah. Dalam abad ke-16 meja yang patah merupakan simbol atau
lambang bagi peminjam uang yang insolven.

Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitor untuk
kepentingan semua kreditornya. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan
debitor oleh Kurator kepada semua Kreditor dengan memperhatikan hak-hak
mereka masing-masing. Melalui sita jaminan tersebut dihindari dan diakhiri sita
dan eksekusi oleh para Kreditor secara sendiri-sendiri. Dengan demikian, para
kreditor harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorium) sesuai
dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Sita
umum tersebut juga mencakup kekayaan debitor yang berada di luar negeri,
sekalipun dalam pelaksanaannya dianut asas teritorialitas sehubungan dengan
prinsip kedaulatan negara. Sehubungan dengan kepailitan perlu dikemukakan
di sini bahwa kepailitan hanya menyangkut kekayaan debitor, status pribadi
debitor tidak terpengaruh olehnya. Debitor tidak berada di bawah pengampuan
(curatele).

1/19
1. Sumber Hukum Kepailitan

Sejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan


masuknya Wetboek Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal
tersebut dikarenakan Peraturan-peraturan mengenai Kepailitan
sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya aturan
tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang
berdiri sendiri.

Sumber hukum Kepailitan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. KUHPerdata Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133 dan Pasal 1134;

2. Faillisements-Verordening, Staatsblad 1905-217 jo. Staatsblad 1906-


348;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998


tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang
kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan.;

4. Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


penundaan kewajiban pembayaran utang.

2. Fungsi Dan Tujuan Kepailitan

Filosofi kepailitan adalah mekanisme pendistribusian asset secara adil dan


merata terhadap para kreditor berkaitan dengan keadaan tidak
membayarnya debitor karena ketidakmampuan debitor melaksanakan
kewajiban tersebut. Oleh karena itu keberadaan UU KPKPU (Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) ini bertujuan untuk
menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor, untuk
menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang miik debitor tanpa
memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya, dan untuk

2/19
menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah
seorang kreditor atau debitor sendiri.

3. Prinsip-Prinsip Hukum Kepailitan

Prinsip-prinsip hukum dalam kepailitan adalah:

a. Perlakuan yang sama terhadap Kreditur, tidak ada diskriminasi

Hukum kepailitan mendukung perlakuan yang sama bukan suatu


balapan di mana kreditur pertama adalah yang paling memungkinkan
untuk dibayar (catch-as-catch). Perlakuan yang adil terhadap para
kreditur, baik domestik maupun asing adalah prinsip yang utama di
dalam hukum kepailitan Indonesia, setidaknya dari titik sudut pandang
peraturan hukum. Tidak akan ada suatu diskriminasi antara pihak
domestik dan kreditur asing.

b. Pernyataan Pailit

Pasal 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Pembayaran Utang menegaskan bahwa paling sedikit
harus ada dua kreditor, dan debitor sedikitnya tidak membayar satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Keharusan adanya
paling sedikit dua kreditor adalah sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 1132 KUHPerdata di mana ditetapkan bahwa pada dasarnya
pembagian kekayaan debitor antara para kreditornya harus dilakukan
secara pari passu pro rata parte.

c. Pihak yang dapat Mengajukan Permohonan Pailit

Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang mengatur tentang siapa
yang berhak mengajukan permohonan pailit:

1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak


membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh

3/19
tempo/waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.

2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat


diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum.

3) Dalam hal debitor adalah Bank, permohonan pernyataan pailit


hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

4) Dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa efek, Lembaga


Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal.

5) Dalam hal Debitor adalah perusahaan Asuransi, Perusahaan


Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang
bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan
pailit dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

d. Kepailitan Hanya Meliputi Debitor

Kepailitan merupakan suatu sita secara umum menurut hukum yang


meliputi seluruh kekayaan debitur. Kepailitan hanya meliputi
kekayaan. Status pribadi seorang individu tidak akan dipengaruhi oleh
kepailitan, ia tidak ditaruh di bawah pengampuan. Suatu perusahaan
juga tetap ada setelah suatu putusan pernyataan kepailitan diucapkan.
Selama proses kepailitan, tindakan terhadap harta kepailitan hanya
dapat dilakukan oleh Kurator, tetapi tindakan lain tetap merupakan
wewenang organ korporat debitur.

e. Paritas Creditorum

Secara prinsip, semua kreditor mempunyai hak yang sama atas


pembayaran. Hal ini berarti bahwa hasil harta kepailitan akan
dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan kreditor (Pasal 1131

4/19
dan Ps.1132 KUHPerdata). Kendati demikian prinsip paritas creditorum
tidak berlaku terhadap kreditur yang mempunyai hak jaminan khusus
(Jaminan atas hak tanggungan, hipotik, maupun gadai) dan para
kreditur yang menikmati suatu hak prioritas menurut peraturan hukum
(seperti halnya pihak pajak yang berwenang atau para karyawan)
sebagai diatur Pasal 1133 KUHPerdata.

f. Penetapan

Hanya para kreditur yang mempunyai tuntutan terhadap debitur pada


saat pernyataan kepailitan diucapkan dapat menuntut suatu
pembayaran dari harta kepailitan (yaitu para kreditur sebelum terjadi
kepailitan). Pada saat putusan kepailitan tersebut diucapkan tanggung
jawab debitur akan ”dibekukan”. Prinsip atas ”Penetapan” memainkan
peranan yang penting. Prinsip tersebut menentukan bahwa dengan
adanya putusan pernyataan kepailitan kedudukan para kreditur yang
terlibat dalam harta kepailitan menjadi tidak berubah. Dalam hal yang
sama, harta kepailitan akan ”dibekukan”, Debitur yang pailit tidak akan
mengalihkan kekayaannya.

g. Actio Pauliana

Dalam keadaan tertentu kreditur dapat menggugat keabsahan


transaksi hukum yang dimuat debitornya. Hak gugat ini berasal dari
hukum Romawi dan dikenal dengan nama Actio Pauliana. Tujuannya
adalah restitusition ininttegrum (pemulihan keadaan semula) dalam
hal terjadi fraus creditorium (Penipuan terhadap kreditor). Lembaga
actio pauliana tersebut di atas secara rinci diatur dalam Pasal 41-50
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran Utang juga dalam Pasal 1340 dan 1341 KUHPerdata.

5/19
h. Pencocokan Piutang (Verifikasi) dan Likuidasi.

Sistem Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Pembayaran Utang mengatur penyelesaian harta
kepailitan (Pasal 168-189) pada tempat urutan setelah semua tuntutan
kreditur dicocokkan (diverifikasi) dalam suatu rapat pencocokan
piutang (104-133). Dalam rapat percekcokan piutang Hakim Pengawas
wajib membacakan daftar piutangpiutang yang sementara diakui dan
daftar piutang-piutang yang oleh Kurator dibantah. Setiap kreditur
yang disebutkan dalam daftar tersebut, diperbolehkan meminta
supaya Kurator memberikan keterangan tentang masing-masing
piutang, alasan penempatannya dalam salah satu daftar, membantah
kebenaran piutang tersebut atau membantah adanya hak untuk
didahulukan atau adanya hak menahan suatu benda, atau dapat
menyetujui pembantahan yang telah dilakukan. Dia juga dapat
menuntut supaya kreditur menguatkan dengan sumpah, kebenaran
akan piutangnya yang tidak dibantah baik oleh Kurator maupun oleh
salah seorang kreditur.

Jika kreditur asal telah meninggal dunia, maka para pemegang hak
(waris) yang berhak harus menerangkan di bawah sumpah bahwa
mereka dengan itikad baik percaya bahwa piutang itu masih ada dan
belum dilunasi. Sumpah tersebut di atas dilakukan kreditur sendiri,
tapi juga dapat dilakukan oleh seorang wakil khusus dikuasakan untuk
itu, baik seketika dalam rapat tersebut maupun pada hari kemudian
yang ditentukan Hakim Pengawas. Kuasa untuk itu boleh diberikan di
bawah tangan atau berupa akte otentik

Menurut UU Kepailitan status piutang-piutang yang telah disusun Kurator


setelah dilakukan verifikasi adalah sebagai berikut:

a. Piutang-piutang yang diakui.

6/19
b. Piutang-piutang yang diakui dengan syarat, bahwa piutang tersebut
diakui kebenarannya oleh Kurator atau BHP (Balai Harta Peninggalan)
maupun kreditur, tetapi masih diperlukan syarat tambahan

c. Piutang yang dibantah atau tidak diakui, bahwa piutang tersebut


dibantah atau tidak diakui kebenarannya, baik oleh Kurator atau BPHN
maupun kreditur.

d. Piutang yang tidak dapat ditetapkan apakah akan didapat suatu hak
dan pencocokan utang secara pro memori (Pasal 124 ayat 2 Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran Utang).

Contohnya:

Bunga atas utang yang timbul setelah putusan pernyataan kepailitan


ditetapkan tidak bisa mencocokan utang, kecuali hanya sepanjang dijamin
dengan hipotik atau hak tanggungan, gadai, atau hak agunan atas
kebendaan yang lain. Terhadap bunga yang demikian harus dilakukan
pencocokan ulang secara pro memori. Bila bunga yang bersangkutan dapat
tidak dilunasi dengan hasil penjualan dari barang yang menjadi agunan,
kreditur yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan haknya yang timbul
dari pencocokan utang.

Walaupun demikian, praktik Belanda yang ada persamaannya dengan


praktek di Indonesia, Kurator segera mulai menjual kekayaannya jika 1)
upaya pendamaian ataupun 2) penjualan atas seluruh kegiatan usaha
sebagai suatu ”usaha yang berjalan” tidak feasible/ layak.

Dasar hukum bagi praktek ini dapat dilihat pada Pasal 98, yang menyatakan
bahwa dengan persetujuan hakim pengawas, kurator dapat, menjual
kekayaan harta kepailitan, sepanjang diperlukan untuk menutupi biaya
kepailitan atau Bila penahanan atas kekayaan harta kepailitan akan
menyebabkan kerusakan pada kekayaan kepailitan.

7/19
4. Syarat-Syarat Kepailitan

Syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah


sebagai berikut:

a. Adanya utang;

b. Minimal satu utang sudah jatuh tempo;

c. Minimal satu utang dapat ditagih;

d. Adanya debitor;

e. Adanya kreditor:

1) Kreditor Khusus (Separatis);

2) Kreditor Istimewa (Preferens);

3) Kreditor Konkuren;

f. Kreditor lebih dari satu;

g. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut


dengan “Pengadilan Niaga”;

h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;

i. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang


Kepailitan.

Apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, hakim ”harus menyatakan pailit”,


bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim
tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti
pada perkara lainnya.

5. Pihak Yang Dapat Dijatuhkan Pailit

a. Orang perorangan: pria dan wanita; menikah atau belum menikah. Jadi
pemohon adalah debitur perorangan yang telah menikah, maka

8/19
permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau
isterinya, kecuali tidak ada percampuran harta;

b. Perserikatan atau perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya. Jika


pemohon berbentuk Firma harus memuat nama dan tempat kediaman
masimh-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk
seluruh utang Firma;

c. Perseroan, perkumpulan, koperasi, yayasan yang berbadan hukum;.

d. Harta warisan.

B. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Suspension of Payment atau


Surseance van Betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang
melalui putusan Hakim Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak
Kreditur dan Debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara
pembayaran utang dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau
sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya
tersebut. Jadi, penundaan kewajiban pembayaran utang sebenarnya
merupakan sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium.

Dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 pada Pasal 222 ayat (2), bahwa
Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih., dapat
memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh
atau sebagian utang kepada Kreditor.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam Pasal 222


sampai Pasal 294 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU, adalah prosedur hukum atau (upaya hukum) yang memberikan hak
kepada setiap Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak dapat

9/19
melanjutkan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo, untuk memohon
penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan
rencana perdamaian yang meliputi tawaran pemayaran seluruh atau sebagian
utang kepada Kreditor.

1. Syarat dan Tata Cara Pengajuan Permohonan PKPU

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diajukan oleh debitur


sendiri maupun oleh Kreditornya. Ketentuan Kreditor dapat mengajukan
PKPU merupakan ketentuan baru dalam Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang.

Secara prinsip ada dua pola PKPU, yakni pertama, PKPU yang merupakan
tangkisan bagi Debitor terhadap permohonan kepailitan yang diajukan oleh
Kreditornya. Kedua, PKPU atas inisiatif sendiri Debitor yang memperkirakan
tidak mampu membayar utang-utang kepada kreditor.

Mengacu pada Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban pembayaran Utang, Debitor
dapat memohon ke Pengadilan Niaga untuk diterima penundaan kewajiban
pembayaran utang, apabila Debitor berada dalam keadaan tidak dapat atau
diperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utang, dengan
maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran
pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditor.

Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diajukan oleh


debitor baik sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan maupun
setelah permohonan pernyataan pailit diajukan. Hal ini dapat disimpulkan
dari bunyi ketentuan Pasal 222 jo. Pasal 229 ayat (4) Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepeilitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. Pengajuan PKPU ditujukan kepada Pengadilan Niaga dengan
melengkapi persyaratan:

10/19
a. Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua Pengadilan
Niaga setempat, yang ditandatangani oleh debitur dan penasihat
hukumnya;

b. Surat kuasa khusus asli untuk mengajukan permohonan (penunjukkan


kuasa pada orangnya bukan pada law-firm-nya);

c. Izin advokat yang dilegalisir;

d. Alamat dan identitas lengkap para kreditur konkuren disertai jumlah


tagihannya masing-masing pada debitor;

e. Financial report; dan

f. Dapat dilampirkan rencana perdamaian (accord) yang meliputi tawaran


pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada para kreditor
konkuren.

Dalam hal permohoan diajukan oleh Debitor, pengadilan dalam waktu paling
lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus
mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan
harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dan Hakim Pengadilan serta
mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus bersama dengan Debitor mengurus
harta Debitor. Sedangkan dalam hal permohonan diajukan oleh kreditor,
Pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal
didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan
penundaan kewajiban pembayaran utang sementara danharus menunjuk
Hakim Pengawas dari hakim Pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih
pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor.

2. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan PKPU

PKPU diatur dalam Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 Undang-Undang No.
37 Tahun 2004 tentang Kepailtan dan penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. PKPU berkaitan erat dengan ketidakmampuan membayar (insolvensi)

11/19
dari Debitor terhadap utang-utagnya kepada Kreditur, PKPU dapat diajukan
oleh:

a. Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau Debitor yang
tidak dapat atau memperkirakan tidak dapat melanjutkan membayar
utangutangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat
memohon PKPU, dengan maksud untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruhnya kepada Kreditor.

b. Kreditor, Kreditor yang dimaksud dalam hal ini adalah kreditor konkuren
atau kreditor preferen (kreditor yang didahulukan). Kreditor yang
memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar
utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat
memohon agar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih,
dapat memohon agar kepada Debitor diberi PKPU, untuk
memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya.

c. Pengecualian: Debitor Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, lembaga


Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan
Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

1) Dalam hal Debitornya adalah Bank, maka permohonan PKP hanya


dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

2) Dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, lembaga


Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
Permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.

3) Dalam hal Debitornya adalah perusahaan Asuransi, Perusahaan


Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang

12/19
bergerak di bidang kepentingan public, permohonan PKPU hanya
dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

3. Jenis-Jenis PKPU Berdasarkan Sifatnya

PKPU dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: PKPU yang bersifat
sementara dan PKPU yang bersifat tetap.

Dalam Pasal 228 ayat (6) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, diberikan batasan
waktu yang cukup ketat mengenai jangka waktu PKPU dimana total jangka
waktu PKPU sementara dan PKPU tetap serta berikut perpanjangannya tidak
boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah PKPU sementara
diucapkan. Apabila jangka waktu PKPU sementara berakhir karena Kreditor
tidak menyetujui pemberian PKPU tetap atau perpanjangannya tidak
diberikan, tetapi sampai dengan batas waktu 270 hari terhitung sejak PKPU
sementara diucapkan, belum tercapai persetujuan terhadap rencana
perdamaian, maka pengurus pada hari berakhirnya waktu tersebut wajib
memberitahukan hal itu melalui Hakim Pengawas kepada pengadilan dan
Pengadilan demi hukum harus menyatakan Debitor pailit paling lambat pada
hari berikutnya. Pengurus wajib mengumumkan hal tersebut dalam surat
kabar harian dimana permohonan PKPU sementara sebelumnya diucapkan.

Mengacu pada Pasal 229 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
pemberian PKPU tetap berikut perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan
berdasarkan :

a. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor konkuren yang


haknnya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling
sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau
yang sementara diakui dari Kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir
dalam sidang tersebut; dan

13/19
b. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya
dijamin dengan Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotk, atau
hak jaminan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling
sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan Kreditor atau
kuasanya yang dalam sidang tersebut.

4. Akibat Hukum Atas Penetapan PKPU

Selama PKPU berlangsung, Debitor tanpa persetujuan Pengurus tidak dapat


melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau
sebagian hartanya.Apabila Debitor melanggar ketentuan tersebut, Pengurus
berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan
bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan Debitor tersebut.

Kewajiban Debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari


Pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan
kepada harta Debitor sejauh hal itu menguntungkan harta Debitor. Pasal 242
ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, ditentukan bahwa selama berlangsungnya PKPU, Debitor tidak dapat
dipaksa membayar utang-utangnya, termasuk melakukan semua tindakan
eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang, harus
ditangguhkan. Kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh
Pengadilan berdasarkan permintaan Pengurus, semua sitaan yang telah
diletakkan gugur, dan dalam hal Debitor disandera, Debitor harus dilepaskan
segera setelah diucapkan putusan PKPU tetap atau setelah putusan
pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap dan atas
pemintaan Pengurus atau Hakim pengawas, jika masih diperlukan,
Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang
termasuk harta Debitor.

Ketentuan ini berlaku pula terhadap eksekusi dan sitaan yang telah dimulai
atas benda yang tidak dibebani, sekalipun eksekusi dan sitaan tersebut
berkenaan dengan tagihan Kreditor yang dijamin dengan Gadai, Jaminan

14/19
Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotek, Hak Jaminan atas Kebandaan Lainnya
atau dengan hak yang harus diistimewakan berkaitan dengan kekayaan
tertentu berdasarkan undangundang.

5. Perdamaian dalam PKPU

Perdamaian menjadi elemen yang paling esensial sekaligus merupakan


tujuan dalam suatu penundaan kewajiban pembayaran utang, tidak ada
gunanya dilakukan penundaan kewajiban pembayaran utang jika para pihak
tidak sungguhsungguh untuk melaksanakan perdamaian, yang dimulai oleh
Debitor dengan mengajukan rencana perdamaian (composition plan).

Hanya saja berbeda dengan perdamaian dalam proses kepailitan yang


jengkauannya lebih sempit (sebatas untuk pembagian dan pemberesan
harta pailit), maka perdamaian dalam proses PKPU mempunyai cakupan
yang lebih luas. Sebab, pengertian “tawaran pembayaran seluruh atau
sebagian utang” dalam Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut sudah mencakup pula
pengertian “restrukturisasi utang” dari Debitor tersebut.

Pasal 224 ayat (4), pasal 265 dan Pasal 266 Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan penundaan kewajiban Pembayaran Utang dapat
diketahui bahwa rencana perdamaian dalam rangka PKPU dapat diajukan
pada saat-saat sebagai berikut:

a. Bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU;

b. Sesudah permohonan PKPU diajukan, namun rencana itu harus diajukan


sebelum tanggal hari sidang;

c. Setelah hari sidang dimana selama berlangsungnya PKPU sementara itu,


yang tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari terhitung
sejak PKPU Sementara ditetapkan termasuk masa perpanjangannya.

Rencana perdamaian didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga yang


memeriksa dan mengadili permohonan penundaan kewajiban pembayaran

15/19
utang dan rencana perdamaian pula disampaikan kepada Hakim pengawas
dan pengurus serta ahli apabila ada segera setelah rencana perdamaian.
Segera setelah Penitera menerima rencana perdamaian Pengadilan Niaga
atau Hakim Pengawas harus menentukan:

a. Hari terkahir tagihan-tagihan yang terkena penundaan kewajiban


pembayaran utang atau tagihan-tagihan konkuren harus disampaikan
kepada pengurus.

b. Tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan tersebut akan


dibacakan dan diputuskan dalam rapat pemusyawaratan hakim.

c. Setelah daftar yang memuat piutang yang diakui, diakui sementara,


dibantah selesai dan hakim pengawas telah menentukan apakah dan
sampai jumlah berapakah para kreditur yang tagihannya dibantah dapat
ikut serta dalam pemungutan suara terhadap rencana perdamaian. Yang
dapat ikut pemungutan suara adalah Kreditur Konkuren yang haknya
diakui atau dikui sementara termasuk Kreditor konkuren, yang haknya
ditentukan hakim pengawas yang hadir dalam rapat pemusyawaratan.

Jika perdamaian disetujui oleh para kreditor, sebagaimana dalam Pasal 281
perdamaian hanya dapat diterima apabila memenuhi ketentuan sebagai
berikut:

a. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor Konkuren yang


haknya dikui atau sementara dikaui yang hadir pada rapat kreditor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 Undang-Undang Kepelailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang termasuk kreditor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 Undang-Undang kepailitan dan
Penundaan kewajiban Pembayaran Utang, yang bersama-sama mewakili
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui
dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut;
dan

16/19
b. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya
dijamin dengan Gadai, Jaminan Fidusia, hak Tanggungan, Hipotik, atau
Hak Jaminan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling
sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh taguhan dari Kreditor
tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Setelah rencana perdamaian diterima oleh para Kreditor dan disahkan oleh
Pengadilan Niaga. Berdasarkan pada Pasal 228 Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dimana PKPU dinyatakan berakhir pada saat putusan tentang
pengesahan perdamaian dan memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagaimana dalam Pengurus wajib mengumumkan mengenai berakhirnya
PKPU tetap tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam paling
sedikit dua surat kabar harian.

6. Pencabutan dan pengakhiran PKPU

a. Pencabutan PKPU.

Debitor setiap waktu dapat memohon kepada Pengadilan agar PKPU


dicabut, dengan alasan harta Debitor memungkinkan dimulainya
pembayaran kembali, dengan ketentuan bahwa Pengurus dan Kreditor
harus dipanggil dan didengar sepatutnya sebelum putusan diucapkan.
Pemanggilan tersebut wajib dilakukan oleh juru sita dengan surat dinas
tercatat, paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pengadilan.

b. Pengakhiran PKPU.

Setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, PKPU dapat


diakhiri. Adapun yang dapat mengajukan pengakhiran PKPU adalah atas
permintaan hakim pengawas, atas permohonan pengurus, atas
permintaan kreditor, atau atas prakarsa Pengadilan Niaga. Sedangkan
beberapa alasan untuk mengajukan pengakhiran PKPU adalah:

17/19
1) Debitor bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan
terhadap hartanya, selama waktu penundaan kewajiban pembayaran
utang.

2) Debitor telah merugikan atau mencoba merugikan kreditornya.

3) Debitor melanggar Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang kepelitian dan


Penundaan kewajiban Pembayaran Utang yang mengharuskan
Debitor bertindak menganai hartanya berdasarkan kewenangan yang
diberi oleh pengurus;

4) Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan


kepadanya oleh pengadilan pada saat atau setelah penundaan
kewajiban pembayaran utang diberikan, atau lalai melaksanakan
tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan
harta Debitor;

5) Selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, keadaan


harta debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya
penundaan kewajiban pembayaran utang; atau Keadaan Debitor
tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap
para Kreditor pada waktunya.

PKPU yang diakhiri berdasarkan alasan-alasan diatas, maka demi hukum


Debitor harus dinyatakan pailit dalam putusan yang sama. Dengan demikian
Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berlaku
mutatis mutandis terhadap putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan
pengakhiran PKPU.

Putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan pengakhiran PKPU harus


diumumkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. Selain dengan alasan yang dimaksud diatas, mengacu pada Pasal 288

18/19
UndangUndang No. 3 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa PKPU dapat berakhir pada saat
putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap dan
pengurus wajib mengumumkan pengakhiran tersebut dalam Berita Negara
Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 227 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang.

19/19

Anda mungkin juga menyukai