Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG PROSES KEPAILITAN, ASAS

KESEIMBANGAN, DAN TANGGUNG JAWAB KURATOR DALAM PEMBERESAN

HARTA PAILIT

A. Ketentuan umum tentang Hukum Kepailitan

Pada dasarnya, Hukum Kepailitan adalah hukum yang mengatur

hubungan antara Debitor pailit dengan Kreditor selaku pihak yang

berpiutang. Dalam kata lain, antara Debitor dan Kreditor terdapat

perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat

dari perjanjian tersebut, lahir suatu perikatan di antara para pihak yang

menimbulkan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing

pihak. Salah satu kewajiban dari Debitor ialah mengembalikan utang

sebagai suatu prestasi yang harus dipenuhi.1

Kepailitan diartikan sebagai suatu kondisi atau keadaan dimana

Debitor selaku pihak berutang yakni dapat merupakan orang-

perorangan atau badan usaha tidak dapat menyelesaikan pembayaran

terhadap utang-utang yang diberikan dari pihak Kreditor-Kreditornya.

Lazimnya keadaan tidak mampu membayar ini disebabkan karena

kesulitan kondisi keuangan dari usaha debitor yang tengah mengalami

kemunduran.2 Lain halnya dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran

1
Man Sastrawidjadja, Op. Cit. hlm. 1.
2
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, cet. 2,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 1.
Utang (PKPU), PKPU terjadi ketika debitor tidak dapat atau

memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-

utangnya pada waktu yang telah ditentukan.3 Mengacu pada Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 UUKPKPU, kepailitan itu sendiri

didefinisikan sebagai sita umum atas segala harta kekayaan dari

Debitor (orang yang berutang) yang pemberesannya dilakukan oleh

seorang Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. 4

1. Dasar Hukum Kepailitan

Undang-undang tentang kepailitan dibentuk dengan tujuan

untuk melindungi Kreditor dengan memberikan kepastian hukum dalam

penyelesaian transaksi utang piutang yang tidak terselesaikan. Dasar

Hukum Kepailitan di Indonesia bukan hanya yang telah diatur di dalam

UUKPKPU, melaikan juga segala sesuatu yang berkaitan dengan

kepailitan yang diatur dan juga tersebar di berbagai peraturan

perundang-undangan. Pasal 1131 KUHPerdata diartikan sebagai dasar

hukum kepailitan juga meliputi dasar mengapa dapat dilakukan

penyitaan terhadap harta benda atau harta kekayaan Debitor pailit,

dimana dijelaskan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang

bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun

3
Nyulistiowati Suryanti, Monograf Hukum Dagang, Bandung: Logoz Publishing, 2017,
hlm. 4.
4
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala

perikatan perseorangan.

Melalui ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa Debitor

dengan segala hartanya baik yang ada atupun akan ada bertanggung

jawab atas semua utang-utangnya. Ketentuan ini didasarkan kepada

asas tanggung jawab terhadap utang.5 Selain itu, Pasal 1132

KUHPerdata mengatur bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan

Bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya,

pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut

keseimbanganya itu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,

kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang

sah untuk didahulukan.

Ketentuan 1131 KUHPerdata tersebut sejalan dengan isi dari

pasal 21 UUKPKPU yang menjelaskan bahwa kepailitan meliputi

seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit

diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

Hanya ketentuan di dalam Pasal 1131 KUHPerdata lebih luas karena

mencakup harta yang sudah ada dan yang akan ada di kemudian hari,

sedangkan dalam pasal 21 UUKPKPU hanya kekayaan pada saat

putusan pernyataan pailit. 6

5
Man Sastrawidjadja, Op. Cit, hlm. 75.
6
Ibid, hlm. 76.
Hukum Kepailitan di Indonesia tidak membedakan antara

kepailitan orang perorangan dengan kepailitan suatu badan hukum

sebagaimana yang dijelaskan di dalam UUKPKPU yang mengatur

mengenai keduanya, baik kepailitan perorangan maupun kepailitan

badan hukum. Namun apabila di dalam UUKPKPU tidak cukup diatur

mengenai kepailitan orang perorangan ataupun badan hukum, maka

digunakanlah peraturan perundang-undangan lain sebagai dasar

hukum.7 Kepailitan bertujuan untuk melakukan pembagian kekayaan

Debitor oleh kurator pada semua Kreditor dengan memperhatikan hak-

hak masing-masing Kreditor. Sebelum harta kekayaan Debitor

dibenarkan oleh hukum untuk dijual dan kemudian dibagi-bagikan hasil

penjualannya terlebih dahulu harta kekayaan Debitor itu harus

diletakkan oleh pengadilan di bawah sita umum. 8 Sita umum tersebut

juga mencakup kekayaan ·Debitor yang berada di luar negeri, sekalipun

dalam pelaksanaannya dianut asas teritorialitas sehubungan dengan

prinsip kedaulatan negara.9 Dengan adanya putusan pernyataan pailit

maka Debitor pailit tidak memiliki kewenangan untuk

memindahtangankan harta pailit, hanya kuratorlah yang melakukan

7
Syamsudin Sinaga, Op. Cit, hlm. 34-35.
8
Dr Sylvia Janisriwati, Kepailitan Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia
dalam Kepailitan Suatu Bank, Bandung: LoGoz Publishing, 2011, hlm. 23.
9
FredB.G.Tumbuan, Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepaililan, Jakarta:
Prosiding, Pusat Pengkajian Hukum, 2004, hlm. 96.
pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit di bawah

pengawasan hakim pengawas.

2. Asas Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan

a. Asas-asas dalam Undang-undang Kepailitan

Adapun asas-asas yang terdapat dalam UUKPKPU

sebagaimana dijelaskan di dalam penjelasan Undang-undang tersebut,

yakni sebagai berikut:10

1) Asas Keseimbangan: Undang-undang ini mengatur beberapa

ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas

keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang

mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata lembaga

kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat

ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan

pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak

beritikad baik.

2) Asas Kelangsungan Usaha: Dalam undang-undang ini

terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor

yang prospektif tetap dilangsungkan.

3) Asas Keadilan: Dalam kepailitan asas keadilan mengandung

pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat

memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang

10
Sylvia Janisriwati, Op. Cit, hlm. 28.
berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya

kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan

pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor

dengan tidak memperdulikan Kreditor lainnya.

4) Asas lntegrasi; asas integrasi dalam undang-undang ini

mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan

hukum materielnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari

sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Berdasarkan penjelasan UU KPKPU, ada beberapa faktor

perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban

pembayaran utang: Pertama, untuk menghindari perebutan harta

Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang

menagih piutangnya dari Debitor; Kedua, untuk menghindari adanya

Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya

dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan

kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya; Ketiga, untuk

menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang

Kreditor atau Debitor sendiri.11

b. Asas Keseimbangan Menurut Para Ahli

Mengacu pada kamus Bahasa Indonesia, Asas sendiri

diartikan sebagai sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau

11
Sylvia Janisriwati, Op. cit, hlm. 23.
tumpuan berfikir atau berpendapat.12 Dalam kerangka norma hukum,

asas dapat diartikan sebagai sesuatu yang diyakini kebenarannya

dan dijadikan pokok atau dasar dari penyusunan suatu norma hukum

baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Keseimbangan secara

umum dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana terdapat

keserasian atau keharmonisan, dan tidak dalam kecendrungan berat

sebelah atau condong kepada hal tertentu dengan memperhatikan

proporsional masing-masing komponen yang melingkupinya.13

Herlien Boediono dalam bukunya “Asas Keseimbangan bagi

Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-

Asas Wigati Indonesia” membagi pengertian asas keseimbangan

dalam dua makna, antara lain:

1) Asas Keseimbangan sebagai Asas Etika

Kata "seimbang" (evenwicht) menunjuk pada pengertian

suatu "keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam

keadaan seimbang".14 Gagasan keseimbangan ini mendorong

semangat keseimbangan (evenwichtsgeest) di dalam hukum

adat, suatu pengakuan akan kesetaraan kedudukan individu

dengan komunitas dalam kehidupan bersama. "Keseimbangan"

12
WJS.Poerwadarminta, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Balai Pustaka, Jakarta,
1976, hlm.61
13
Serlika Aprita, “Penerapan Asas Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan”, , , Hlm.
80-81.
14
Salim HS, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”, Sinar Grafika, Jakarta, 2003,
hlm.161.
batin, dalam karakter atau jiwa, merujuk pada pemahaman

bahwa tidak adanya gejolak kejiwaan lagi karena telah tercapai

kesesuaian atau keselarasan antara keinginan dan kemampuan

memenuhinya, atau antara dorongan emosi dan kehendak. Hal

tersebut merujuk pada konsep dasar keterikatan kontraktual

yang layak dibenarkan (ger’[ec.htvaardige). Sekaligus hal ini

berarti bahwa janji antara para pihak hanya akah dianggap

mengikat sepanjang dilandasi pada asas adanya

keseimbangan hubungan antara kepentingan perseorangan

dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara

kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing

pihak mengharapkannya.

2) Asas Keseimbangan Sebagai Asas Yuridikal

Asas-asas hukum tidak saja bermanfaat untuk

memecahkan masalah-masalah baru dan membuka bidang

baru, tetapi juga diperlukan guna menafsirkan aturan-aturan

sejalan dengan asas-asas yang mendasari aturan-aturan

dimaksud. Asas-asas tersebut sangat penting peranannya

dalam menafsirkan dan memaknai aturan-aturan yang tidak


pernah dapat secara lengkap melingkupi semua masalah yang

mungkin muncul.15

Selain harus memiliki karakteristik tertentu, asas

keseimbangan juga harus secara konsisten terarah pada

kebenaran logikal dan secara memadai bersifat konkret.

Berdasarkan pertimbangan ini berkembang gagasan bahwa

asas keseimbangan dapat dipahami agar asas yang layak atau

adil dari, Selanjutnya diterima sebagai landasan keterikatan

yuridikal di dalam hukum kontrak Indonesia. Filsuf dan ahli

hukum mengkaitkan masalah keseimbangan dengan keadilan,

satu diantaranya adalah Plato sebagaimana dikutip oleh Theo

Huijbers menyatakan bahwa keadilan dalam diri manusia

dengan membandingkannya kepada kehidupan negara,

mengemukakan bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bagian

yaitu pikiran, perasaan dan nafsu baik psikis maupun jasmani,

rasa baik dan jahat. Jiwa itu teratur secara baik apabila

dihasilkan sesuatu kesatuan yang harmonis antara ketiga

bagian tersebut. Keadilan yang dimaksud di sini adalah terletak

15
Herlien Budiono“Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hlm. 306.
dalam batas seimbang antara ketiga bagian jiwa sesuai dengan

wujudnya masing- masing.16

Asas keseimbangan juga tercermin dalam perjanjian

atau kontrak mempunyai kekutan hukum yang sama dengan

perundang-undangan. Artinya perjanjian yang dibuat oleh

pihak- pihak tertentu dapat dijadikan dasar hukum bagi yang

membuatnya atau dengan kata lain perjanjian yang dibuat

tersebut mengikat para pihak secara hukum. Dalam kontrak

diperlukan penawaran dari pihak-pihak sebelum disetujuinya

perjanjian tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH

Perdata dijelaskan bahwa ”suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”, berdasarkan

penjelasan pasal ini menunjukkan bahwa hubungan hukum

yang terjadi antara debitor dengan kreditor terjadi diawali

dengan persetujuan kedua belah pihak yang telah membuat

perjanjian.17

Pada dasarnya, Asas keseimbangan dilandaskan pada

upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat

darinya harus memunculkan pengalihan kekayaan secara

16
Theo Hujibers, “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah”, Kanisius, Yogyakarta,
1986, hlm. 23.
17
Agus Yudha Hernoko, “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial”, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 29
absah serta adanya keseimbangan pemenuhan hak dan

kewajiban oleh para pihak.18 Asas keseimbangan yang

tercermin dalam hukum kontrak dimana di dalamnya

terkandung keadilan. Gustav Radbruch menyebutkan bahwa

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum merupakan tiga

ide dasar atau tiga nilai dasar hukum yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum. Ketiga asas inilah yang

sering menjadi permasalah utama yaitu masalah keadilan.215

Berkaitan dengan hal ini maka Friedman menjelaskan bahwa

keadilan sebagai asas hukum dengan sendirinya akan menjadi

rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan

maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan

upaya pemenuhan asas keseimbangan bagi debitor dan

kreditor.19

Faktor-faktor yang dapat mengganggu keseimbangan

perjanjian ialah cara terbentuk perjanjian yang melibatkan

pihak-pihak yang berkedudukan tidak setara dan/atau

ketidaksetaraan prestasi-prestasi yang dijanjikan timbal balik.

Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas

keadilan, mengingat hakikat keseimbangan adalah keadilan

18
Yahya Harahap, “Segi-Segi Hukum Perjanjian”, Alumni, Bandung, 1982, hlm.3.
19
Friedman, dalam Peter Mahmud Marzuki, “The Need for the Indonesian Economic
Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, Agustus, 1997, hal. 28.
bagi kepentingan debitor dan kreditor. Pada dasarnya setiap

orang dalam kedudukan serupa. Dengan demikian, bukan

unsur subjektif yang menentukan, melainkan faktor penentuan

bagi keabsahan atau keadilah pertukaran pada perjanjian

adalah kesetaraan para pihak. Keseimbangan perlindungan

antara kreditor dan debitor menampakkan fungsi hukum

sebagaimana dijelaskan oleh Rescoe Pond yaitu sebagai

sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan

menyeimbangakan kepentingan yang ada dalam masyarakat

atau social control.20

3. Tinjauan Umum Mengenai Syarat Pailit menurut Undang-

undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, syarat untuk dapat

dinyatakan pailit yakni bahwa Debitor memiliki dua atau lebih Kreditor

dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo

dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik

atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih si

Kreditor berpiutang. Ketika mendapatkan pinjaman, maka saat itu

Debitor telah memberikan piutang dari pemberi pinjaman atau Kreditor

sebagai kewajiban utangnya. Hanya saja ketika utang tersebut telah

20
Roscue Pond, dalam Peter Mahmud Marzuki, “Pembaharuan Hukum Ekonomi
Indonesia”, Universitas Airlangga, Surabaya, 2000, hlm. 3.
jatuh tempo, pihak yang berutang ini tidak bisa mengembalikan

pinjamannya, baik karena Debitor tidak mampu membayar atau juga

karena Debitor tidak mau membayar.21 Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1)

dan Pasal 8 Ayat (4) UUKPKPU dapat diketahui bahwa syarat untuk

dapat dinyatakan pailit melalui Putusan Pengadilan antara lain:22

a. Terdapat minimal dua orang Kreditor;

b. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;

c. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Mengenai syarat dinyatkan pailit dalam Pasal 1 ayat (1)

Faillissementsverordening (“FV”):

a. Debitor dalam keadaan telah berhenti membayar utang-

utangnya;

b. Dengan putusan hakim;

c. Atas permintaan baik Debitor, Kreditor, maupun Kejaksaan

(Pasal 1 ayat (2) FV)

Pengertian “telah berhenti” menurut pasal tersebut menunjukkan

bahwa pada saat jatuh tempo untuk membayar, yang bersangkutan

tidak melakukan kewajibannya (wanprestasi). Berhenti membayar ini

dapat terjadi karena debitor tidak mampu membayar atau debitor tidak

mau membayar. Pengertian tidak mampu bayar ini disebabkan karena

21
Isis Ikhwansyah, dkk, Op. Cit, hlm. 49.
22
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2010, hlm. 52.
Debitor memang tidak mempunyai dana atau tidak mencukupi untuk

melunasi utangnya, sedangkan tidak mau membayar berarti masih ada

kemungkinan Debitor berutang memiliki dana untuk melunasi utangnya

namun Debitor tersebut memiliki pertimbangan lain sehingga tidak

membayar utang-utangnya.23 Namun dalam pasal tersebut tidak

dimasukkan insolvensi sebagai syarat Debitor untuk dipailitkan.24

Syarat selanjutnya untuk dinyatakan dalam keadaan pailit yakni dengan

putusan hakim. Jadi, Debitor berutang dengan Kreditor berpiutang tidak

dapat menyatakan pailit tanpa proses hukum bahwa Debitor dalam

keadaan pailit karena telah berhenti membayar utangnya.

Syarat terakhir untuk dapat dinyatakan pailit adalah atas permintaan:

a. Debitor yang bersangkutan;

b. Kreditor atau para Kreditor; dan

c. Kejaksaan dengan alasan untuk kepentingan umum

Dengan demikian, meskipun Debitor berhenti membayar utang-

utangnya apabila tidak ada permintaan dari salah satu ketiga pihak

tersebut, pengadilan tidak akan secara otomatis memeriksa Debitor

untuk kemudian dinyatakan dalam keadaan pailit. Berdasarkan

Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-undang Kepailitan

(“UUK”), pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit seorang

Debitor adalah:

23
Man Sastrawidjadja, Op. Cit, hlm. 17-18.
24
Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit, hlm. 129.
a. Debitor sendiri;

b. Kreditor atau beberapa Kreditor;

c. Kejaksaan untuk kepentikan umum;

d. Bank Indonesia dalam hal Debitornya suatu bank; hal

demikian berarti nasabah berarti nasabah bank tidak dapat

mengajukan permohonan kepailitan bagi banknya yang

dalam keadaan berhenti membayar utangnya.25

e. Bapepam dalam hal Debitornya merupakan perusahaan efek.

Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 4

Tahun 1998 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

“perusahaan efek” yakni pihak yang melakukan kegiatan

sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan

atau manajer Investasi, sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.

Syarat-syarat kepailitan sebagaimana dimaksud dalam

UUKPKPU pada intinya yakni Debitor dapat dipailitkan asalkan telah

memiliki lebih dari satu Kreditor dan tidak membayar minimal satu utang

yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

25
Man Sastrawidjadja, Op. Cit, hlm. 20.
4. Tinjauan Umum Mengenai Pengurusan dan Pemberesan Harta

Pailit

Dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UUKPKPU dijelaskan bahwa yang

dimaksud pemberesan adalah penguangan aktiva untuk membayar

atau melunasi utang. Kepailitan terdiri dari dua fase atau dua periode

yakni Fase penitipan atau sekestrasi (Concervatoir) dan Fase insolvensi

atau fase eksekutor. 26 Namun Kepailitan tidak selalu beralih ke fase

kedua. Kemungkinan kepailitan sudah berakhir di fase pertama yakni

apabila upaya hukum berupa kasasi atau peninjauan Kembali berhasil

atau dikabulkan, Perdamaian disetujui atau diterima dan dihomologasi

atau disahkan, atau Kepailitan tidak dicabut dengan putusan pengadilan

karena harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan

sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUKPKPU.

Sebaliknya, kepailitan beralih dari fase pertama ke fase kedua

yakni fase insolvensi apabila antaralain karena perdamaian tidak

dilanjutkan, Perdamaian diajukan namun tidak disetujui atau tidak

diterima oleh Kreditor-Kreditor yang memiliki hak suara, perdamaian

diajukan dan disetujui oleh para Kreditor yang memiliki hak suara,

namun tidah dihomologasi atau disahkan oleh hakim, upaya hukum

tidak dikabulkan dan perdamaian tidak diajukan, upaya hukum tidak

26
Man Sastrawidjadja, Op. Cit, hlm. 187.
dikabulkan, perdamaian tidak diterima, upaya hukum tidak dikabulkan,

perdamaian diterima namun tidak mendapat pengesahan hakim. 27

Pemberesan baru dapat dilakukan setelah Debitor berada dalam

keadaan insolvensi sebagaimana telah disebutkan di atas. Mengenai

ketentuan tentang pemberesan harta pailit dalam fase insolvensi diatur

dalam Pasal 178 sampai dengan Pasal 203 UUKPKPU.

Beberapa ketentuan berkaitan dengan pemberesan harta pailit tersebut

yakni sebagai berikut:

a. Dalam fase insolvensi dimungkinkan untuk mengusulkan agar

perusahaan Debitor pailit dilanjutkan. Apabila dalam rapat pencocokan

piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana

perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, kurator atau Kreditor yang

hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya perusahaan Debitor pailit

dilanjutkan.28 Usulan tersebut harus diterima apabila telah disetujui oleh

Kreditor yang mewakili lebih dari 1⁄2 dari semua piutang yang diakui dan

diterima sementara, Kreditor tersebut adalah Kreditor yang tidak dijamin

dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak

agunan atas kebendaan lainnya.

27
Ibid, hlm. 188.
28
Pasal 179 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU)
b. Kurator harus mulai melakukan pemberesan dan menjual semua budel

pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan dari Debitor

apabila:

1) Usul untuk mengurus perusahaan Debitor tidak diajukan

dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, atau terdapat

usul tersebut namun ditolak;

2) Pengurusan terhadap perusahaan Debitor dihentikan,

namun dalam hal perusahaan dilanjutkan dapat dilakukan

penjualan benda termasuk harta pailit, yang tidak

diperlukan dalam meneruskan perusahaan.

c. Setelah harta pailit berada dalam keadaan insolvensi, maka hakim

pengawas dapat mengadakan suatu rapat Kreditor pada hari, jam, dan

tempat yang ditentukan untuk mendengar mereka seperlunya mengenai

cara pemberesan harta pailit dan jika perlu mengadakan pencocokan

piutang.29

d. Kurator wajib membuat suatu daftar pembagian untuk dimintakan

persetujuan kepada hakim pengawas. Daftar pembagian yang dimaksud

harus memuat yang termasuk didalamnya: 30

1) Rincian penerimaan dan pengeluaran;

2) Upah kurator;

3) Nama Kreditor;

29
Pasal 187 ayat (1) UUKPKPU
30
Pasal 189 ayat (1) UUKPKPU
4) Jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang termasuk bagian

yang wajib diberikan kepada setiap Kreditor.

Daftar pembagian yang telah disetujui oleh hakim

pengawas wajib disediakan di kepaniteraan pengadilan agar

dapat dilihat oleh Kreditor selama tenggang waktu yang

ditetapkan oleh hakim pengawas pada waktu daftar tersebut

disetujui dan diumumkan oleh kurator dalam surat kabar harian

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4)

UUKPKPU.31 Terhadap Kreditor konkuren, harus diberikan

bagiannya yang ditentukan oleh hakim pengawas. Kemudian

dalam Pasal 189 UUKPKPU diatur pula mengenai bagaimana

bagian yang harus diberikan kepada Kreditor Preferen dan

Kreditor Separatis. Setelah curator selesai dalam melaksanakan

pembayaran kepada masing-masing Kreditor berdasarkan daftar

pembagian, maka berakhirlah kepailitan.32

e. Membuat daftar perhitungan dan pertanggungjawaban pengurusan dan

pemberesan kepailitan kepada hakim pengawas. Kurator wajib

memberikan pertanggungjawaban mengenai pengurusan dan

pemberesan yang telah dilakukannya kepada hakim pengawas paling

lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya kepailitan. Semua buku dan

31
Pasal 192 UUKPKPU
32
Pasal 202 ayat (1) UUKPKPU
dokumen mengenai harta pailit wajib diserahkan kepada Debitor dengan

tanda bukti penerimanya.33

B. Tinjauan Umum Mengenai Kurator dalam Proses Pemberesan Harta

Pailit

Berdasarkan Pasal 1 angka (5) UUKPKPU, Kurator merupakan

balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh

pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor pailit di

bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini.

Menurut R. Keay dalam McPherson The Law of Company Liquidation

Fourth Edition, Sydney: LBC information Servie, 1999, P287,

memberikan definisi mengenai curator yakni perwakilan pengadilan dan

dipercayai dengan mempertaruhkan reputasi pengadilan untuk

melaksanakan kewajibannya dengan tidak memihak. 34 Pengangkatan,

penggantian, dan perhentian kurator diatur di dalam Pasal 15 ayat (1) UU

Kepailitan dan PKPU dimana dijelaskan bahwa bila Debitor dan Kreditor

tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada pengadilan maka

balai harta peninggalan bertindak selaku kurator.

1. Batasan Kewenangan dan Tanggung Jawab Kurator dalam

Menjalankan Tugas Eksekusi Boedel Pailit

Tanggung jawab seorang kurator diatur di dalam Pasal 72

UUKPKPU dimana dijelaskan bahwa kurator bertanggung jawab atas

33
Pasal 202 ayat (3) dan ayat (4), UUKPKPU
34
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Jakarta: Grafiti, 2002, hlm. 205.
kesalahan dan kelalaian yang menyebabkan kerugian terhadap harta

pailit. Baik perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja oleh

kurator mengakibatkan kerugian terhadap harta pailit, maka kurator

tersebut bertanggung jawab atasnya. Kurator dapat digugat dan wajib

membayar ganti rugi jika karena kelalaiannya, dan kesalahannya yang

dilakukan secara sengaja menyebabkan kerugian terhadap pihak-pihak

yang berkepentingan terhadap harta pailit terutama para Kreditor

konkuren.35

Pasal 78 UUKPKPU juga mengatur mengenai tanggung jawab

kurator terhadap perbuatan kepada pihak ketiga, dimana kurator

memerlukan izin dari hakim pengawas, namun jika izin tidak diperoleh

dan perbuatan tetap dilaksanakan serta dalam perbuatan tersebut

kurator tidak mengindahkan Pasal 83 dan 84 UUKPKPU maka kurator

bertanggung jawab sendiri secara pribadi terhadap Debitor dan

Kreditor.

Pasal 1365 KUHPerdata menjelaskan bahwa kurator yang

melakukan perbuatan melawan hukum dapat digugat untuk

bertanggung jawab secara pribadi oleh pihak-pihak yang dirugikan atas

perbuatan kurator serta bertanggung jawab pula secara pidana atas

perbuatannya.36

35
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, cet.1, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 67.
36
Ibid
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) KUHP, dapat dipahami bahwa

seseorang yang melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah

jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak dapat

dihukum.

Selain itu, tanggung jawab kurator dalam menjalankan tugasnya

tidak dapat terlepas dari batas kewenangan yang dimiliki seorang

kurator. Batasan kewenangan kurator dapat dilihat dari kewajiban

hukumnya. Kurator mempunyai dua kewajiban hukum dalam

melaksanakan tugasnya yakni antara lain:37

a. Statutory duties: Kewajiban yang ditentukan oleh undang-

undang.

b. Fiduciary duties atau fiduciary obligations: Kewajiban kurator

mengemban fiduciary duties (kepercayaan) terhadap

pengadilan yang diwakili oleh hakim pengawas, Debitor,

Kreditor, dan para pemegang saham.38

Hubungan dari batasan kewenangan dengan tanggung jawab

Kurator yaitu bahwa kurator bertanggung jawab jika tindakan kurator

yang dilakukan tidak sesuai dengan kewenangan yang diberikan

kepadanya oleh undang-undang, tanpa itikad baik, dan merugikan

harta pailit.

37
Pasal 72 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
38
Ibid, hlm. 228.
2. Independensi Kurator dalam Pemberesan Harta Pailit

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana

telah dijelaskan di atas, seorang kurator menganut asas

independensi dimana ia tidak memihak hanya pada kepentingan satu

pihak yakni Kreditor sendiri atau semata-mata untuk kepentingan

Debitor. Pasal Pasal 15 Ayat (3) UUKPKPU menyatakan bahwa

kurator harus menjunjung tinggi sikap independensi dan bebas dari

intervensi pihak Kreditor maupun Debitor.

Sebagaimana inventarisasi kewenangan, tugas, maupun

tanggung jawab kurator berdasarkan UUKPKPU sudah

membenarkan segala tindakan hukum kurator dalam bertugas

melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. kurator dalam

menjalankan tugasnya tersebut harus menjunjung tinggi

independensi dan bebas dari segala bentuk intervensi pihak-pihak

yang berkepentingan. Independen ialah dimana kelangsungan

keberadaan Kurator tidak tergantung pada Debitor atau Kreditor serta

Kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan

kepentingan ekonomis Debitor atau Kreditor. Independensi Kurator

selain dari ketentuan Pasal 15 ayat (3) UU No. 37/2004, hanya dapat

dilihat dari keseimbangan antara kepentingan para Kreditor dan

kepentingan Debitor dalam satu perkara kepailitan dalam


menjembatani kepentingan para Kreditor dengan kepentingan

Debitor.39

Kurator yang diangkat atau demi hukum menjadi Kurator

harus bertindak sebagai pihak yang independen atau tidak memiliki

interest atau kepentingan pribadi dengan harta pailit. Independensi

Kurator merupakan syarat terpenting yang harus dimiliki oleh Kurator

sebagai mana diatur oleh pasal 15 ayat (3) UU KPKPU, yang dapat

diuraikan sebagai berikut:40

1. Kurator tidak memiliki benturan kepentingan dengan kreditor

dan debitor pailit.

2. Kelangsungan Kurator sebagai pengurus dan pemberes harta

pailit tidak tergantung pada debitor dan kreditor.

3. Kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama

dengan debitor atau kreditor terhadap harta pailit.

4. Pada saat melakukan tugasnya, kurator tidak sedang

menangani pengurusan harta pailit atau PKPU lebih dari 3 (tiga)

perkara kepailitan.

39
Novitasari, Tata Wijayanta. Perlindungan Hukum terhadap Independensi Kurator
dalam Mengurus dan Membereskan Harta Pailit. Lambung Mangkurat Law Journal, vol. 1, no.
2, 25 Sep. 2016, hlm. 197.
40
Elyta Ras Ginting, Op. Cit, hlm. 61.

Anda mungkin juga menyukai