Anda di halaman 1dari 85

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF YANG DIKABULKAN DALAM

SENGKETA PERJANJIAN KREDIT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 8/Pdt.g/2018/Pn.Bms)

SKRIPSI

SKRIPSI

Disusun Oleh:

Aziz Nur Arifin

E1A014108

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2020
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana

caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan

hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum

yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata

materiil. Lebih konkret lagi, dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata

mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta

memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya. Tuntutan hak dalam hal

ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan

hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau

tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan

tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat

sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan

sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, tindakan menghakimi

sendiri ini tidak dibenarkan jika kita hendak memperjuangkan atau

melaksanakan hak kita.1

Perkataan ”acara” di sini berarti proses penyelesaian perkara lewat hakim

(pengadilan). Proses penyelesaian perkara lewat hakim itu bertujuan untuk

memulihkan hak seseorang yang merasa dirugikan atau terganggu,


1
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia , Liberty, Yogyakarta, Hlm. 2
3

mengembalikan suasana seperti dalam keadaan semula bahwa setiap orang

harus mematuhi peraturan hukum perdata supaya peraturan hukum perdata

berjalan sebagaimana mestinya. Secara teologis, dapat dirumuskan bahwa

hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk

mempertahankan berlakunya hukum perdata Karena tujuannya memintakan

keadilan lewat hakim, hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan

hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim

(pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan

hakim. Dalam peraturan hukum acara perdata itu, diatur bagaimana cara orang

mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan), bagaimana caranya pihak

yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap

pihak-pihak yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus

perkara sehingga perkara dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara

melaksanakan putusan hakim dan sebagainya sehingga hak dan kewajiban

orang sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata itu dapat berjalan

sebagaimana mestinya. Wirjono Prodjodikoro merumuskan, hukum acara

perdata itu sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara

bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan serta cara

bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan

berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata2

Dewasa ini kita sering menemui perjanjian kredit ataupun perjanjian utang

piutang antara debitur sebagai peminjam dan kreditur sebagai pihak bank.
2
Wirjono Prodjodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, , Sumur Bandung, Bandung,

Hlm.13.
4

Meskipun hubungan perjajian telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam

segala klausulnya untuk mengurangi resiko sengketa masih tetap saja kita

temui permasalahan meski hal itu sudah jelas tertulis dalam perjanjian dengan

berbagai macam alasan. Masalah yang sering timbul dalam perjanjian kredit

adalah masalah cidera janji (wanprestasi), yang berupa keterlambatan

pengembalian kredit sebagaimana yang diperjanjikan ataupun Perbuatan

Melawan Hukum(PMH) .

Perjanjian kredit ataupun perjanjianhutang piutang merupakan perjanjian

yang sering sekali kita temui didalam kehidupan masyarakat sehari-hari

.Perjanjian hutang piutang merupakan perjanjian yang kerap dilakukan dalam

masyarakat secara luas karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin

meningkat apalagi dikala pandemi Covid melanda. Perjanjian hutang piutang

sering diadakan dengan suatu kesepakatan antara dua belah pihak untuk

berjanji akan mentaati segala aturan yang ditetapkan dalam perjanjian yang

telah dibuat. Bilama kedua belah pihak sudah ada kata sepakat, dan disaksikan

oleh sejumlah saksi, maka dianggap perjanjian sudah lahir seketika itu. Dalam

bentuknya, perjanjian berupa suatu rangkaian yang mengandung kesanggupan

yang diucapkan atau dituliskan. Sedangkan yang dimaksud dengan perikatan

adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan

mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan

pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.3

3
Naja, H.R Daeng, 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi The Bankers Hand Book, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, Hlm.175.
5

Dalam perjanjian hutang piutang sering juga menggunakan jaminan harta

benda, bisa dalam bentuk benda bergerak atau tidak bergerak. Para pihak yang

mengadakan perjanjian terikat patuh terhadap perjanjian yang telah dibuat

sesuai dengan asas pacta sunt servanda dan segala hal yang telah disepakati

tersebut berlaku sebagai undang - undang bagi para pihak dalam perjanjian.

Asas pacta sunt servanda yang termuat di dalam ketentuan pasal 1338 ayat (1)

& (2) KUHPerdata yang merupakan dasar hukum dari kebebasan membuat

perjanjian dan pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik juga berlaku dalam

perjanjian kredit perbankan.4

Praktiknya, kreditur akan meminta debitur untuk menyertakan jaminan

dalam perjanjian utang piutang sebagai jaminan pelunasan utang kepada

kreditur. Jaminan merupakan perjanjian tambahan atau perjanjian acesoir

dalam perjanjian pokok utang piutang. Sifat dari perjanjian tambahan akan

selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Tujuan adanya pemberian jaminan dari

debitur kepada kreditur adalah untuk menambah kepercayaan kreditur bahwa

debitur akan melunasi hutangnya. Pemberian jaminan sebagai pelunasan utang

debitur diatur dalam pasal 1131 KUHPerdata mengenai jaminan umum dalam

perjanjian utang piutang. Pasal 1131 KUHPerdata dinyatakan bahwa segala

kebendaan debitur baik yang ada maupun yang akan ada, baik bergerak

maupun yang tidak bergerak, merupakan jaminan pelunasan utang yang

dibuatnya. Sedangkan pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan, harta kekayaan

4
R.Subekti, 2008, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Hlm.16.
6

debitur menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua krediur yang

memberikan utang kepadanya.5

Apabila debitur tidak memenuhi prestasi secara sukarela, kreditur

mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya. Serta apabila ada

perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian suatu pihak, maka

harus adanya pertanggungjawaban secara perdata dengan membicarakan

pelanggarannya dalam perjanjian-perjanjian terdahulu dan pihak yang

dirugikan itu untuk menerima ganti rugi, serta apabila adanya penuntutan

dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan/tuntutan ke Pengadilan Negeri.

Perjanjian kredit berisi kesepakatan tentang hak dan kewajiban masing masing

pihak yang akan menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Asas ini membentuk suatu hubungan kontraktual serta meletakkan hak dan

kewajiban terhadap para pihak sesuai dengan yang disepakati bersama.

Perjanjian kredit antara bank dan debitur dilandasi kesepakatan antara para

pihak, yaitu kesepakatan pihak bank sebagai kreditur dan pihak debitur.6

Kesepakatan yang melahirkan hubungan keperdataan dalam hal ini hutang

piutang, tentu menjadi undang-undang kepada para pihak sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Perjanjian adalah perbuatan

hukum, dari perjanjian maka timbul perikatan yang merupakan hubungan

hukum. Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta

kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas

5
Sri Soedewi, 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia:Pokok Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan
Perorangan, C.V.Bina Usaha,Yogyakarta, Hlm.45.
6
Djuhaendah hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang
Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, PT. Citra Aditya
bakti, Bandung, Hlm.184.
7

sesuatu dan pihak yang lainya berkewajiban atas sesuatu itu. Hubungan

hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat

hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan

perikatan. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang. 7

Namun pada prakteknya perjanjian kredit atau perjanjian hutang piutang

sering terjadi sengketa walaupun dengan pengaturan yang begitu jelasnya.

Salah satu pihak pasti merasa kalo hak-haknya dilanggar padahal dalam

kalausul perjanjianya sudah jelas, Entah kesalahpahaman penafsiran atau

kerugian yang dibuat-buat. Sehingga sering terjadi tuntun menuntut anatar

pihak.

Pihak yang merasa haknya dilanggar pasti akan mengajukan gugatan ke

pengadilan untuk memperoleh haknya kembali dengan membuat surat

gugatan. Sebelum menyusun Surat Gugatan terlebih dahulu harus mempunyai

pengetahuan hukum yang memadai mengenai permasalahan yang dihadapi

dan langkah berikutnyadalam mengumpulkan alat-alat bukti dan lain

sebagainya. Jadi inisiatif berperkara datang dari pihak yang merasa dirugikan

dalam perkara perdata mengenai perselisihan antara kepentingan perseorangan

dengan perorangan atau sekelompok orang atau kepentingan suatu badan

hukum, pemerintah dengan kepentingan perseorangan dan pihak yang

mengajukan tuntutan disebut dengan Penggugat atau kalau lebih dari satu

disebut Para Penggugat sedangkan pihak yang digugat disebut Tergugat atau

kalau lebih dari satu disebut Para Tergugat.

7
J. Satrio, 1999, Hukum perikatan, perikatan pada umumnya, Alumni, Bandung, Hlm.38.
8

Pihak yang menjadi tergugat biasanya akan membuat tangkisan demi

membela haknya juga yaitu dengan jalan eksepsi. Eksepsi dalam hukum acara

dimaknai sebagai tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti

pembelaan (plea) yang diajukan tergugat untuk mengkritisi syarat-syarat

formil dari surat gugatan penggugat.8

Pengajuan gugatan harus memperhatikan beberapa aturan antara lain harus

memperhatikan kompetensi maka perkara itu diajukan agar sesuai dengan

hukum yang berlaku demi menjaga formalitas hukum yang berlaku. Salah satu

hal penting jika ingin mengajukan gugatan ke pengadilan adalah

memerhatikan bahwa gugatan yang akan diajukan oleh Penggugat adalah

benar ditujukan kepada badan peradilan yang berwenang untuk mengadili

perkara tersebut. Pengadilan Negeri memiliki batasan kewenangan. Ada

perkara perdata sebagaimana dalam Hukum Acara Perdata telah diatur dua

macam kewenangan yaitu kewenangan/kompetensi relatif dan

kewenangan/kompetensi absolut. Banyak penggugat atau kuasa hukumnya

tidak teliti atas gugatanya tersebut dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah

hukumnya termasuk juga hukum acara sebagai hukum formalnya sering kali

terjadi kekeliruan baik disengaja maupun tidak sengaja. Selain Penggugat atau

kuasa hukumnya , Hakim sebagai penegak hukumnya, sebagai pemutus

permasalahan dalam sengketa harus lebih teliti dalam menerapkan hukum

dalam putusanya sendiri.

8
Litigasi,Pengertian Eksepsi Dalam Hukum Acara Persidangan, https://litigasi.co.id/hukum-
acara/569/pengertian-eksepsi-dalam-hukum-acara-persidangan,diakses pada tanggal 14 November
2020,pukul 23.15 WIB
9

Berdasarkan surat gugatan tanggal 20 Maret 2018 yang didaftarkan di

Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banyumas pada tanggal 21 Januari 2018

dalam Register putusan Nomor 8/Pdt.G/2018/PN.Bms telah terjadi Perjanjian

akad kredit antara Penggugat sebagai Debitur dengan PT. Bank Rakyat

Indonesia Tbk, KCP. Sokaraja, Kanca Purwokerto. Penggugat dengan atas

nama Mulyanto telah mendapat pinjaman kredit dari Tergugat sebesar

Rp350.000.000,-(tiga ratus lima puluh juta rupiah), atas pinjaman kredit

tersebut sebagai agunan milik Penggugat berupa sebidang tanah dan bangunan

Sertifikat Hak Milik Nomor 1034 Desa Banjaranyar luas 914 M2 atas nama

Mulyanto yang terletak di Kelurahan Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja,

Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Penggugat alias Debitur menggugat krediturnya sebagai telah melakukan

Perbuatan Melawan Hukum yang obyek sengketa yang berada di Desa

Banjaranyar luas 914 M2 atas nama Mulyanto yang terletak di Kelurahan

Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah

berada dalam lingkup kompetensi Pengadilan Banyumas yang dimana sesuai

dengan Forum Rei Sitaenya namun eksepsi dari Tergugat alias Debitur

mendasarkan Pasal 118 HIR ayat (1) dan 99 RV dalam hal mengajukan

gugatan aquo, Penggugat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri yang

daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Akta Notariil

Perjanjian Restrukturisasi Kredit No. 54 tanggal 30 November 2016 antara

Penggugat dan Terguggat yang pada intinya ditentukan bahwa tentang

perjanjian ini dan segala akibatnya Para Pihak telah memilih tempat tinggal
10

umum dan tetap pada Kantor Panitera Pengadilan Negeri di Purwokerto,

dengan tidak mengurangi hak dan wewenang Bank/Pihak Pertama untuk

menuntut pelaksaan/eksekusi atau mengajukan tuntutan hukum terhadap

Pengambil Kredit/Pihak Kedua berdasarkan perjanjian ini melalui atau

dihadapan Pengadilan-Pengadilan lainnya dimanapun juga didalam wilayah

Republik Indonesia.

Berdasarkan uraian di latar belakang masalah di atas, penulis tertarik

dalam penyusunan skripsi ini mengambil judul: “EKSEPSI KOMPETENSI

RELATIF YANG DIKABULKAN DALAM SENGKETA PERJANJIAN

KREDIT” (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor

18/Pdt.g/2018/Pn.Bms).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang

akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar pertimbangan hukum Hakim dalam memutus gugatan

dalam putusan Nomor :18/Pdt.G/2018/PN.BMS mengenai kewenangan

relative perjanjian kredit?

2. Bagaimana akibat hukumnya dengan dikabulkannya eksepsi mengenai

kewenangan relative di Pengadilan Negeri Banyumas?

C. Tujuan Penelitian
11

1. Mengetahui apakah pertimbangan hukum hakim Pengadilan Negeri

Banyumas mengenai gugatan kewenangan relatif pada putusan

18/Pdt.G/2018/PN.BMS sudah benar dalam memutuskan gugatan

tersebut.

2. Mengetahui akibat hukum dengan dikabulkanya eksepsi mengenai gugatan

kewenangan relative pada putusan 18/Pdt.G/2018/PN.BMS

D. Kerangka Teori

1. Eksepsi

Dalam Hukum Acara Perdata, eksepsi diatur dalam Pasal 125 ayat 2,

133, 134, 136 HIR - 149 ayat 2, 159, 160, 162 R.Bg. Pasal 113 Rv

(Regiement op de Burlijke Rechtsvordering) menetukan bahwa apabila

eksepsi berupa bantahan, maka harus disertai alasan-alasan. Sebab dengan

adanya alasan-alasan tersebut, duduk perkara dan inti permasalahan

menjadi jelas. Jawaban tergugat terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu :

1) Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut

eksepsi atau tangkisan; dan

2) Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara.9

Ketentuan pasal 125 ayat (2), pasal 132 dan pasal 133 HIR hanya

memperkenalkan eksepsi kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

Namun, pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. 10

Secara teoritis, eksepsi dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan,

yaitu :

9
H. Ridwan Syahrani, 2000, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung,,Hlm.69.
Ibid.
10
12

1) Eksepsi prosesuil (processuele exceptie)

Eksepsi ini berdasarkan hukum acara, yailu jenis eksepsi yang

berkenaan dengan syarat formil gugatan. Secara garis besar, eksepsi

prosesuil meliputi : eksepsi tidak berwenang mengadili (exceptie van

onbeveogheid) baik kewenangan absolut maupun kewenangan relatif

pengadilan.11

2) Eksepsi materil (materiele exceptie)

Menurut Pasal 136 HIR, cksepsi materil diperiksa dan diputus

bersamaan dengan pokok perkara, tidak diperiksa dan

dipertimbangkan secara terpisah dengan pokok perkara. Oleh karena

itu, penyelesaian eksepsi materil tidak berbentuk putusan sela, tetapi

langsung sebagai satu kesatuan dengan putusan pokok perkara dalam

bentuk putusan akhir. Adapun beberapa jenis ksepsi materil, antara

lain : exceptio dilatoria, yang berarti gugatan penggugat belum dapat

diterima untuk diperiksa sengketanya dipengadilan, karena masih

prematur atau diajukan terlampau dini. Exceptio peremptoria, berisi

sangkalan yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang

digugat tidak dapat diperkarakan. Misanya, karena daluwarsa atau

lampaunya waktu mengajukan gugatan.12

2. Pemeriksaan Perkara Perdata Di Pengadilan

11
M. Yahya Harahap, 2007, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan, Putusan Pengadilan, Bandung, Hlm.432.
12
Ibid, Hlm.457.
13

Proses pemeriksaan gugatan perdata di persidangan termasuk

kedalam tata urutan persidangan perkara perdata di Pengadilan Negeri

sebagai berikut:

1) Sidang dinyatakan terbuka dan terbuka untuk umum;

2) Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang

sidang;

3) Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula

diperiksa surat izin praktik dari organisasi advokat;

4) Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk

menyelesaikan dengan perkara secara damai;

5) Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN

atau dari luar (lihat PERMA RI No. I Tahun 2008);

6) Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan

dengan pembacaan surat gugat oleh penggugat atau kuasanya;

7) Apabila perdamaian berhasil maka diucapkan dalam persidangan

datam bentuk akta perdamaian yang bertittle “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YME”:

8) Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari tergugat;

(jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan

profisionil,gugatan rekonvensi);

9) Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai

penguggat rekonvensi;
14

10) Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia

berkedudukan sebagai tergugat rekonvensi;

11) Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada

gugatan intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst);

12) Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan

profisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolute, atau ada

gugat intervensi);

13) Pembuktian;

14) Dimulai dari Penggugat berupa surat bukti dan saksi;

15) Dilanjutkan dari Tergugat berupa surat bukti dan saksi;

16) Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat:

17) Kesimpulan;

18) Musyawarah oleh majelis hakim (bersifat rahasia):

19) Pembacaan putusan;

20) Isi putusan: a. Gugatan dikabulkan, b. Gugatan ditolak. c. Gugatan

tidak dapat diterima:

21) Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan

menerima, pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka

diberi waktu selama 14 hari;

22) Dalam hal ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu

dan dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk


15

menentukan sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap

maka dianggap menerima putusan.13 

3. Putusan Hakim

Hasil akhir dari pemeriksaan perkara di Pengadilan disebut sebagai

putusan atau vonis. Akan tetapi, lain halnya dengan permohonan penetapan,

maka hasil akhirnya disebut penetapan. Dalam permohonan penetapan tidak

dikenal adanya Tergugat sebagai lawan berperkara, tetapi hanya ada pemohon

saja. Berbeda dengan gugatan di mana ada 2 (dua) pihak yakni Penggugat dan

Tergugat.14

Menurut sistem HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Rbg

(Rechts Reglement Buitengewesten) hakim mempunyai peranan aktif

memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim

berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan

gugatannya ke pengadilan. Hal ini diatur dalam Pusal 119 HIR atau Pasal 143

Rbg dengan maksud supaya perkara yang dimagjukan itu menjadi alas

persoalannya dan memudahkan hakim dalam memeriksa itu.15 Putusan

pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan

atas mengakhiri perkara perdata. Menurut Darwan Prints, putusan merupakan

hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan.

13
Pengadilan Negen Sukoharjo, Tata Urutan Persidangan Perkara Perdata, diakses dati
http://www.pn-sukohario Bo id/index pho/kepaniteraan/bagian perdata/ tata-urutan -persidangan
perkara-perdata html, pada tanggal 5 Agustus 2020.
14
Darwan Prinst, 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Cetakan Ketiga
Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm.201.
15
Loc.Cit.
16

Pasal 185 ayat 1 HIR membedakan antara putusan akhir dan putusan

sela. Putusan akhir ialah putusan yang mengakhin suatu sengketa atau perkara

dalam suatu tingkat peradilan tertentu. Putusan akhir dari suatu perkara dapat

berupa :

a. Gugatan Tidak Diterima (Niet Omankeliyk Verntlaart)

Niet Onvankelijk Verklaart berarti gugatan dinyatakan tidak daput

diterima, yakni putusan pengadilan yang menyatakan bahwa gugatan

penggugat dinyatakan tidak dapat diterima. Alasan pengadilan mengambil

keputusan yaung menyatakan gugatan tidak dapat diterima, adalah :

1) Gugatan mengandung cacat atau obocuar libel;

2) Gugatan eror in persoma;

3) Gugatan tidak berdasar hukum;

4) Subjek gugatannya tidak lengkap;

5) Pengadilan tidak berkompeten;

b. Gugatan dikabulkan

Suatu gugatan apabila penggugat dapat membuktikan dalil-dalil

gugatannya yang terbukti kebenaranya dipengadilan sehingga gugatannya

akan dikabulkan seluruhnya atau sebagaian.

c. Gugatan ditolak

Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya didepan

pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu dapat

terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja.

Putusan sela adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir.


17

Putusan sela dapat berupa :

a. Putusan Provisional

Putusan provisional adalah putusan yang diambil segera

mendahului putusan akhir tentang pokok perkara karena adanya

alasan-alasan yang mendesak.

b. Putusan Preparatoir

Apabila penggugat dapat membuktikan dulil-dalil terbukti

kebenarannya dipengadilan, sehingga Putusan preparatoir adalah

putusan sela guna mempersiapkan putusan akhir. Misalnya putusan

yang menolak mengabulkan pengunduran sidang karena alasan yang

tidak tepat'tidak dapat diterima.

c. Putusan Insidental

Putusan Insidental adalah putusan sela yang diambil insidental

atau peristiwa yang dapat menghentikan proses peradilan biasa untuk

sementara. Hal ini terjadi misalnya karena kematian kuasa dari salah

satu pihak (PenggugatTergugat) dan lain sebagainya.

4. Sifat Putusan

Menurut Darwan Prints, putusan menurut sifatnya dapat dibagi atas16:

a. Pengaturan (Constituti)

Putusan bersifat constitutif adalah putusan yang menetapkan mengenai

sesuatu, seolah-olah membuat suatu kaidah/ketentuan baru.


16
Loc.Cit.
18

b. Pernyataan (Declaratoir)

Putusan bersifat declaratoir adalah putusan yang mempernyataan

mengenai sesuatu.

c. Menghukum (Condemnatoir)

Putusan bersifat condemnatoir adalah putusan yang isinya menghukum.

Amar atau diktum putusan merupakan peryataan (deklarasi) yang

berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak barang

objek yang disengketakan. Dan juga berisi perintah atau hukuman atau

condemnatoir yang ditimpakan kepada pihak berperkara.17

5. Kekuatan Putusan Pengadilan

Putusan pengadilan dalam perkara perdata mempunyai 3 (liga) macam

kekuatan yaitu :18

a. Kekuatan Mengikat

Putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yaitu

dengan menetapkan hak dan apa yang merupakan hukumnya. Apabila

para pihak yang berperkara tidak dapat menyelesaikan perkaranya secara

damai dan kemudian menyerahkan perkaranya kepada pengadilan, maka

pihak yang berperkara harus tunduk dan patuh pada putusan yang akan

dijatuhkan oleh pengadilan. Jadi, putusan pengadilan tersebut

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap para pihak yang

berperkara.

b. Kekuatan Pembuktian

17
M. Yahya Harahap, Op.cit, Hlm.811.
18
Loc.Cit.
19

Apabila terdapat gugatan baru mengenai hal (objek) yang sama, pihak-

pihak yang sama dan alasan yang sama, maka berdasarkan asas nebis in

idem gugatan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan

demikian, walaupun putusan pengadilan tidak punyai kekuatan hukum

yang mengikat terhadap pihak ketiga akan tetapi mempunyai kekuatan

pembuktian terhadap pihak ketiga.

c. Kekuatan Eksekutorial

Putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial artinya

mempunyai kekuatan secara paksa terhadap pihak yang tidak

melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Putusan pengadilan

mempunyai kekuatan eksekutorial karena diberi irah-irah "Demi

Keadilan Berdasarkan ketuhan Yang Maha Esa".

E. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber

informasi ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi

pembaca maupun masyarakat. Dan juga untuk memperkaya pengetahuan

khususnya di bidang Hukum Acara Perdata yang berkaitan dengan

kewenangan relative.

2. Kegunaan Praktis
20

Menyumbang pemikiran bagi pembuat kebijakan dalam rangka

untuk meningkatkan mutu dan prestasi di bidang hukum, khususnya bagi

praktisi hukum dan aparat pengadilan yang berkaitan dengan

kewenangan relative dalam penyelesaian dan domisili sengketa. Dan

juga menambah wawasan baru bagi Fakultas Negeri Jenderal Soedirman

khususnya pada mata kuliah Hukum Acara Perdata.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perjanjian Kredit
21

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Istilah kredit, berasal dari suatu kata dalam bahasa Latin yang

berbunyi Creder, yang berarti “Kepercayaan” atau Credo, arinya “Saya

Percata ”Bahwa pemberian suatu kredit terjadi, didalamnya terkandung

adanya kepercayaan orang atau badan yang memberikannya kepada orang

lain atau badan yang diberinya, dengan ikatan perjanjian harus memenuhi

segala kewajiban yang diperjanjikan untuk dipenuhi pada waktunya. Bila

transaksi kredit terjadi, maka akan dapat kita lihat adanya pemindahan

materi dari yang memberikan kredit kepada yang diberi kredit. Dalam

pengertian umum, kredit itu didasarkan kepada kepercayaan atas

kemampuan si peminjam untuk membayar sejumlah uang pada masa yang

akan datang.

Adapun pengertian kredit yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 11

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan:

Bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan dan kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga.

Berdasarkan pengertian diatas, menurut penulis kredit dalam dunia

perbankan diartikan sebagai kesanggupan akan meminjam uang dan


22

kesepakatan berdasarkan perjanjian tertentu yang telah disetujui oleh

masing-masing pihak berdasarkan kepercayaan dan risiko.

Dalam pengertian Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 10 tahun

1998 tentang Perbankan diatas terdapat unsur-unsur yang terkandung

dalam kredit tersebut, diantaranya sebagai berikut :

1) Adanya orang atau badan yang memiliki uang, barang atau jasa, dan

bersedia untuk meminjamkannya kepada pihak lain.

2) Adanya orang atau badan sebagai pihak yang memerlukan atau

meminjam uang barang atau jasa.

3) Adanya kepercayaan kreditur kepada debitur.

4) Adanya janji dan kesanggupan membayar dari debitur kepada kreditur.

5) Adanya perbedaan waktu, yaitu perbedaan antara saat penyerahan

uang, barang atau jasa, oleh kreditur dengan saat pembayaran kembali

oleh debitur.

6) Adanya risiko.Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil)

yang bersifat rill. Sebagai perjanjian yang bersifar prinsipil, maka

perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada dan berakhirnya

perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti rill ialah

bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang

oleh bank kepada nasabah debitur.19

Dilihat dari bentuknya, umumnya perjanjian kredit perbankan

menggunakan bentuk perjanjian baku (Standard Contract). Berkaitan

Hermansah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
19

Jakarta, Hlm.71.
23

dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah

disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya

mempelajari dan memahaminya dengan bank. Apabila debitur menerima

semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka ia

berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, tetapi jika

debitur menolak ia tidak perlu untuk menandatangani perjanjian kredit.

Perjanjian kredit ini perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh

bank sebagai kreditur maupun nasabah sebagai debitur, karena perjanjian

kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,

pengelolaan dan penatalaksanaan kredit tersebut.

Menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-

fungsi sebagai berikut : a. Perjanjian kredit berfungssi sebagai perjanjian

pokok; b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai bukti mengenai batasan-

batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur; c. Perjanjian

kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.20

Dalam perjanjian kredit perbankan pihak kreditur untuk

mengurangi terjadinya suatu risiko dalam perjanjian kredit, debitur harus

memberikan suatu jaminan untuk memberikan rasa yakin dan aman

terhadap kreditur dalam suatu perjanjian kredit. Adapun pengertian

jaminan menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Surat Keputusan Direksi

Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang

Jaminan Pemberian Kredit. Bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah

suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi suatu


20
Ibid.
24

kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Adapun menurut ketentuan Pasal

1 Butir 23 yang dimaksud dengan agunan adalah jaminan tambahan yang

diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas

kredit atau pembayaran berdasarkan prinsip syariah. Tujuan dari agunan

untuk mendapat fasilitas kredit dari bank. Agunan ini diserahkan oleh

debitur kepada bank. Adapun pengertian jaminan yang lainnya menurut

Hartono Hadisoeprapto bahwa Jaminan adalah sesuatu yang diberikan

kepada kreditur untuk memberikan keyakinan bahwa debitur akan

memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari

suatu perikatan. Adapun pengertian lainnya menurut M. Bahsan

berpendapat bahwa Jaminan adalah segala sesuatu yang diterima oleh

kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang

dalam masyarakat. Serta Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional di

Yogyakarta berpendapat bahwa Jaminan adalah menjamin dipenuhinya

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan

hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum

benda.21

2. Prinsip-Prinsip Kredit

Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang

diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam setiap pemberian

kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus memperhatikan

asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip kehati-hatian.

Salim H.S, 2014, Perkembangan Hukum jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
21

Hlm. 22.
25

Untuk itu, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian

yang seksama terhadap berbagai aspek.22

Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan yang

mesti dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit adalah watak,

kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur, yang

kemudian dikenal sebagai Prinsip 5 C’s. Prinsip 5 C’s ini akan

memberikan informasi mengenai itikad baik (Willingness to pay) dan

kemampuan membayar (Ability to pay ) nasabah untuk melunasi pinjaman

beserta bunganya.23

a. Penilaian Watak (Character)

Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan

untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk

melunasi atau mengembalikan pinjamannya. Sehingga tidak akan

menyulitkan bank dikemudian hari. Hal ini dapat diperoleh terutama

didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara bank dan calon

debitur atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang mengetahui

moral, kepribadian dan perilaku calon debitur dalam kehidupan

sehariharinya.

b. Penilaian Kemampuan (Capacity)

Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang

usahanya dan kemampuan manajerialnya. Sehingga bank yakin bahwa

usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat,


22
Racmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan II, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 240.
23
Dahlan Siamat, 1993, Manajemen Bank Umum, Intermedia, Jakarta, Hlm.99.
26

sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu maupun

melunasi atau mengembalikan pinjamannya.

c. Penilaian terhadap Modal (Capital)

Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara

menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan dating. Sehingga dapat

diketahui kemampuan pemodalan calon debitur dalam pembayaran

proyek atau usaha calon debitur yang bersangkutan.

d. Penilaian terhadap Agunan (Colleteral)

Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur

umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas

tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah

kredit atau pembiayaan yang diberikan kepadanya. Untuk itu sudah

seharusnya bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika

calon debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan

tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan.

e. Penilaian terhadap Prospek Usaha Nasabah Debitur (Kondisi Ekonomi)

Bank harus menganalisis keadaan pasar didalam atau diluar

negeri baik masa lalu maupun masa yang akan datang. Sehingga masa

depan pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitur yang

dibiayai bank dapat diketahui.

3. Tujuan dan Fungsi Kredit

Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk

merangsang bagi kedua belah pihak untuk saling menolong untuk tujuan
27

pencapaian kebutuhan, baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan

sehari-hari. Pihak yang mendapatkan kredit harus dapat membuktikan

prestasi yang lebih tinggi berupa keemajuan-kemajuan pada usahanya atau

mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya. Adapun pihak yang memberi

kredit, secara materil harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan

pertimbangan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit. Suatu

kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis, baik bagi

debitur, kreditur maupun masyarakat membawa pengaruh pada tahapan

yang lebih baik. Maksudnya, baik pihak debitur maupun kreditur

mendapatkan kemajuan. Kemajuan tersebut dapat tergambarkan apabila

mereka mengalami keuntungan juga mengalami peningkatan kesejahteraan

dan masyarakat pun atau Negara mengalami suatu penambahan dari

penerimaan pajak, kemajuan ekonomi, baik yang bersifat mikro maupun

makro. Dari manfaat nyata dan manfaat yang diharapkan maka kredit

dalam perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi:

1) Meningkatkan daya guna uang;

2) Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang;

3) Meningkatkan daya guna dan peredaran barang;

4) Salah satu alat stabilitas ekonomi;

5) Meningkatkan kegairahan berusaha;

6) Meningkatkan pemerataan pendapatan; dan

7) Meningkatkan hubungan internasional.


28

B. Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks

perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau

Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang

perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.”

Dari bunyi Pasal tersebut, maka dapat ditarik unsur-unsur PMH

sebagai berikut:

1) ada perbuatan melawan hukum;

2) ada kesalahan;

3) ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan;

4) ada kerugian.

Menurut Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai

suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol

atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu

kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi

terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.

Dahulu perbuatan melawan hukum hanya terbatas pada perbuatan

yang melanggar undang-undang tertulis saja. Namun sejak tahun 1919, Hoge

Raad Belanda dalam perkara Lindenbaum v Cohen memperluas penafsiran

perbuatan melawan hukum sehingga perbuatan melawan hukum tidak lagi


29

terbatas pada perbuatan yang melanggar undang-undang tapi juga mencakup

salah satu perbuatan sebagai berikut:

1) Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain

2) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri

3) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;

4) Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam

pergaulan masyarakat yang baik.

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dipahami unsur-unsur Perbuatan

Melawan Hukum sebagai berikut:24

1) Adanya suatu perbuatan;

2) Perbuatan tersebut melawan hukum;

3) Adanya kesalahan pihak pelaku;

4) Adanya kerugian bagi korban;

5) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

6)

C. Proses Sidang Acara Perdata

1. Gugatan

Dasar hukum gugatan Perdata adalah Pasal 1365 KUH Perdata “Setiap

orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dan menimbulkan

kerugian pada pihak lain wajib baginya mengganti kerugian itu”. Sistem

gugatan disebut juga "stelsel gugatan". Maksudnya bagaimana cara

memasukkan permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan agar

Munir Fuady, 2013, Perbuatan Melawan Hukum:Pendekatan Kontemporer, PT.Citra Aditya


24

Bakti, Bandung , Hlm.6.


30

permintaan dapat diterima pihak pengadilan. Mengenai persyaratan dan

pokok-pokok yang harus ada dalam gugatan yang meliputi:

a. Identitas dari pada para pihak

Identitas adalah ciri-ciri daripada penggugat dan tergugat ialah nama, 20

tempat tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, agama, usia, status.

b. Fundamentum petendi

Fundamentum petendi adalah dalil-dalil posita konkret tentang adanya

hubungan yang merupakan dasar serta ulasan daripada tuntutan.

Fundamentum petendi ini terdiri dari dua bagian :

1) Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa.

2) Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya.

Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara

tetang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yurudis

daripada tuntutan. Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus

menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan

melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam

persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan, yang member gambaran

tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu.

c. Petitum atau Tuntutan

Petitum atau Tuntutan adalah apa yang dimintakan atau diharapkan

penggugat agar diputuskan oleh hakim, jadi tuntutan itu akan terjawab

didalam amar atau diktum putusan, maka petitum harus dirumuskan

secara jelas dan tegas. Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna
31

dapat barakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula

gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama

lain disebut abscuur libel (gugatan yang tidak jelas dan tidak dapat

dijawab dengan mudah oleh pihak tergugat sehingga menyebabkan

ditolaknya gugatan) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut. Sebuah

tuntutan dapat dibagi 3 (tiga) ialah25 :

1) Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan

dengan pokok perkara.

2) Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada

hubungannya dengan pokok perkara.

3) Tuntutan subsidiair atau pengganti.

2. Upaya Perdamaian

Pengertian perdamaian dalam acara perdata yaitu penyelesaian sengketa

gugatan dengan perantara/kesepakatan para pihak untuk secara ikhlas

dengan mengorbankan sebagian kepentingannya dengan tujuan untuk

mengakhiri sengketa. Dalam persidangan, dikenal dengan adanya upaya

penyelesaian sengketa secara damai yang diatur dalam Pasal 130 HIR/154

RBG. Upaya perdamaian di persidangan merupakan hal yang wajib

dilakukan oleh Hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 131 ayat (1) HIR

yang berbunyi “jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang,

maka ketua pengadilan negeri akan mencoba mendamaikan mereka” dan

jika hakim tidak berhasil mendamaikan, maka harus disebutkan dalam

Astin Fajar,Skripsi: “Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Secara Prodeo Dalam Praktik”
25

(Semarang:UNES,2011),Hlm.20.
32

Berita Acara Persidangan. Untuk saat ini, pengaturan teknis dari Pasal 130

HIR/154 RBG diatur dalam Perma No 2 Tahun 2003 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan. Perdamaian itu sendiri pada dasarnya harus

mengakhiri perkara, harus dinyatakan dalam bentuk tertulis, perdamaian

harus dilakukan oleh seluruh pihak yang terlibat dalam perkara dan oleh

orang yang mempunyai kuasa untuk itu, dan ditetapkan dengan akta

perdamaian. Dalam sebuah upaya perdamaian, harus dipenuhi juga syarat-

syarat formalnya. Syarat formal dalam upaya perdamaian adalah adanya

persetujuan kedua belah pihak, mengakhiri sengketa, mengenai sengketa

yang telah ada, bentuk perdamaian harus tertulis, nilai kekuatan

perdamaian.26

3. Jawaban Gugatan

Jawaban adalah tanggapan tergugat atas surat gugatan penggugat. Dalam

surat jawaban tergugat bisa mengajukan 3 hal sebagai berikut :

a. Eksepsi

Eksepsi adalah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap

gugatan yang diajukan oleh penggugat yang tidak langsung menyentuh

pokok perkara, biasanya hanya berisi tuntutan untuk batalnya gugatan

(Sukresno, 2011:124). Eksepsi atas alasan diluar pokok perkara meliputi

formalitas perkara baik pada kompetensi absolute maupun relative serta

kecacatan surat gugutan dan lain sebagainya.

b. Jawaban pokok perkara

26
Loc.cit
33

Jawaban tergugat/termohon dalam pokok perkara harus mengacu pada

posita atau dalil-dalil yang dikemukakan penggugat/pemohon dalam surat

gugatannya. Jawaban hendaknya diberikan secara detail, jangan global,

jelas, kronologis/urut, sistematis dan relevan ( Sukresno, 2011:126 ).

Misalnya menjawab tidak benar, maka harus disertai fakta yang benar.

Pokok persoalan atau dalil-dalil penggugat/pemohon dijawab terlebih

dahulu, dan jika ada keterangan tambahan diuraikan pada bagian tersendiri.

Apabila eksepsi diterima maka gugatan tidak diterima. Dan penggugat dapat

mengajukan gugatan baru.

c. Rekonvensi

Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap

penggugat dalam gugatan konvensi dalam suatu sengketa diantara mereka.

Gugatan rekonvensi yang dibenarkan adalah :

1) Bila pengadilan yang memeriksa gugatan rekonvensi berwenang

mengadili materi rekonvensi.

2) Diajukan selama masih dalam tahap jawab jinawab, sebelum masuk

pembuktian.

3) Rekonvensi tidak boleh ada dalam memori banding.

Di dalam rekonvensi, para pihak disebut sebagai penggugat rekonvensi

(semula tergugat), tergugat/turut tergugat rekonvensi (semula penggugat).

Dalam perkara permohonan ijin ikrar talak, jika ada rekonvensi tetap disebut

gugatan rekonvensi, bukan permohonan rekonvensi.

4. Pembuktian
34

Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Membuktikan

dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup

kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang

kebenaran peristiwa yang diajukan. Hukum tentang yang berlaku saat ini di RI

terserak dalam HIR dan Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta

dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.

a. Prinsip-prinsip Pembuktian

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan

kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui

sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi (Sudikno,

1998:111). Beberapa hal / keadaan yang tidak harus dibuktikan antara

lain:Hal -hal/ keadaan yang telah diakui, hal-hal/ keadaan yang tidak, hal

disangkal, hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak

ramai.

b. Teori-teori Tentang Penilaian Pembuktian

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan

pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Terdapat 3 (tiga)

teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat

mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam

sidang, yaitu :

1) Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat

hakim, sehingga penilaian pembuktian dapat diserahkan kepada hakim.


35

2) Teori Pembuktian Negatif.

Dasar hukum teori pembuktian negatif terdapat dalam pasal 169 HIR.

Teori ini menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-

larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan

dengan pembuktian.

3) Teori Pembuktian Positif.

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah

kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat.27

5. Kesimpulan

Kesimpulan adalah konklusi yang diberikan oleh penggugat dan tergugat.

Setelah itu hakim akan membuat kesimpulan yang dinamakan putusan. Disini

kedua belah pihak membuat kesimpulan dari hasil-hasil sidang tersebut. Dari

adanya surat gugatan, jawaban, replik, duplik, keterangan para saksi dan

kesimpulan diambil intisari-nya saja untuk dijadikan suatu kesimpulan.

Kesimpulan harus dibuat poin-poin yang sistematis, jelas, dan harus relevan

dengan dalil-dalil yang pernah dikemukakan.

6. Putusan

a. Dari segi fungsinya, putusan Pengadilan dalam mengakhiri perkara adalah

sebagai berikut:

1) Putusan Akhir

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan

dipersidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun

yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan.


27
Ibid.Hlm.114.
36

2) Putusan Sela

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses

pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya

pemeriksaan. Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak

berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan.28

b. Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan

dijatuhkan,maka putusan Pengadilan dibagi beberapa jenis :

1) Putusan Verstek

Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena

tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara

resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan. Putusan verstek dapat

dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan

pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat (Sukresno,

2011:171). Hakim dapat mengadili dan memutuskan suatu perkara tanpa

hadirnya tergugat, dalam hal tergugat telah dipanggil dengan sepatutnya

tetapi tidak hadir tanpa suatu alasan yang sah. Putusan ini biasanya

merugikan, tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut verzet,

yang diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara tingkat pertama.

2) Putusan kontradiktoir

Putusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat

dijatuhkan /diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para

pihak. Dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik

28
Ibid, Hlm.169.
37

penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang. Terhadap

putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.

D. Eksepsi

Eksepsi dalam Bahasa Belanda ditulis “(objection)”, sedangkan dalam

Bahasa Inggris ditulis “exception” yang secara umum diartikan

“pengecualian”.Tetapi dalam konteks hukum acara, eksepsi dimaknai sebagai

tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang

diajukan tergugat untuk mengkritisi syarat-syarat formil dari surat gugatan

penggugat.

Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti “eksepsi”

adalah pengecualian, tangkisan atau pembelaan yang tidak menyinggung isi

surat tuduhan (gugatan), tetapi berisi permohonan agar pengadilan menolak

perkara yang diajukan oleh penggugat karena tidak memenuhi persyaratan

hukum.

Sedangkan menurut ahli hukum bernama Yahya Harahap (Halaman: 418),

“eksepsi” secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum

acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang

menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan

gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar

proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok

perkara. Eksepsi diatur dalam Pasal 136 Reglement Indonesia Yang

Diperbaharui (HIR).
38

Substansi Pasal 136 HIR angka 1 menyebutkan bahwa, eceptie itu adalah

perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat. Dalam angka 2

menyebutkan :

“Apakah yang dimaksud dengan eksepsi, dikatakan bahwa eksepsi itu harus

diartikan sebagai perlawanan tergugat yang tidak mengenai pokok

persoalannya, melainkan misalnya hanya mengenai acara belaka”.

Lilik Mulyadi berpendapat bahwa :

“Keberatan adalah merupakan salah satu upaya yang bersifat incidental berupa

tangkisan sebelum dilakukan pemeriksaan materi pokok perkara dengan tujuan

utama guna menghindarkan diadakannya pemeriksaan dan putusan akhir dari

pokok perkaranya”.

Menurut Pasal 162 RBg, "eksepsi" atau tangkisan yang merupakan bagian

dari jawaban Tergugat terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Yang

sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat kecuali tentang suatu hal yang

hakim tidak berwenang tidak dapat dikemukakan dan ditimbang sendiri-

sendiri, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan secara bersama-sama dengan

pokok perkara. Isi Pasal 162 RBg menyetakan:

“Sanggahan-sanggahan yang dikemukakan oleh pihak tergugat, terkecuali yang

mengenai wewenang hakim, tidak boleh dikemukakan dan dipertimbangkan

sendiri-sendiri secara terpisah melainkan harus dibicarakan dan diputuskan

bersama-sama dengan pokok perkaranya.”


39

Jadi, eksepsi atau tangkisan harus diajukan oleh Tergugat saat mengajukan

jawaban atas memori gugatan Penggugat, terhadap eksepsi harus diperiksa dan

diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.

Selanjutnya R. Soepomo dalam bukunya berjudul “Hukum Acara Perdata

Pengadilan Negeri” Halaman: 54 menyatakan bahwa “eksepsi” adalah

bantahan yang menangkis tuntutan penggugat sedangkan pokok perkara tidak

langsung disinggung. Dalam hukum acara, secara umum eksepsi dapat

diartikan sebagai suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap

gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang berisi

tuntutan batalnya gugatan.

Dalam hukum acara pidana “eksepsi” lebih diistilah dengan “keberatan”,

seperti yang dimaksud di dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang isinya

menyatakan:

“Dalam hal Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa

Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara atau dakwaan tidak dapat

diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan

oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menyatakan pendapatnya Hakim

mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil

keputusan.”

Pada prinsipnya “eksepsi” yang dimaksud di dalam hukum acara perdata

dan hukum acara pidana mengandung kesamaan, hanya saja pengaturan

eksepsi dalam persidangan pidana diatur di dalam Kitab Undang-undan Hukum

Acara Pidana (KUHAP).Baik hukum acara pidana maupun acara perdata


40

mengatur bahwa "eksepsi" itu diajukan untuk melakukan bantahan, keberatan

atau tangkisan terhadap syarat-syarat formil. Dalam hukum acara perdata maka

yang dibantah adalah syarat-syarat formil dari surat gugatan penggugat,

sedangkan dalam hukum acara pidana maka sasarannya adalah syarat-syarat

formil dari surat dakwaan jaksa penuntut umum. Eksepsi juga merupakan

keberatan untuk mengkritisi tepat atau tidaknya kompetensi relatif dan atau

kompetensi absolut dari lembaga peradilan yang sedang mengadili atau

memeriksa suatu perkara.29

E. Putusan Hakim

Menurut Sudikno Mertokusumo, Putusan hakim adalah “suatu pernyataan

yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan

dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau

sengketa antara para pihak”.

Suatu putusan hakim merupakan suatu pernyataan yang dibuat secara

tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu

yang diucapkan dimuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada

yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu

pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu

perbuatan  yang harus ditaati.

a. Dari segi fungsinya, putusan Pengadilan dalam mengakhiri perkara adalah:

1) Putusan Akhir

Litigasi,”Pengertian Eksepsi Dalam Hukum Acara Persidangan”, https://litigasi.co.id/hukum-


29

acara/569/pengertian-eksepsi-dalam-hukum-acara-persidangan”, (diakses pada 19 Agustus 2020,


pukul 17.15)
41

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan

dipersidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun

yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan.

2) Putusan Sela

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses

pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya

pemeriksaan. Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak

berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan.30

b. Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan

dijatuhkan,maka putusan Pengadilan dibagi beberapa jenis :

1) Putusan Verstek

Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena

tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara

resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan. Putusan verstek dapat

dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya, sesudah tahapan

pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat (Sukresno,

2011:171). Hakim dapat mengadili dan memutuskan suatu perkara tanpa

hadirnya tergugat, dalam hal tergugat telah dipanggil dengan sepatutnya

tetapi tidak hadir tanpa suatu alasan yang sah. Putusan ini biasanya

merugikan, tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut verzet,

yang diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara tingkat pertama.

2) Putusan kontradiktoir

30
Ibid, Hlm.169.
42

Putusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat

dijatuhkan /diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para

pihak. Dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik

penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang. Terhadap

putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan
43

Metode penelitian dilakukan secara Yuridis Normatif. Metode pendekatan

secara Yuridis-Normatif yaitu pendekatan yang mengkonsepsikan hukum

sebagai norma, kaidah, asas atau dogma-dogma. Selain itu dilakukan juga

pendekatan terhadap bahan hukum non undang-undang, dalam hal ini menguji

dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan bahasan yang diambil.

Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan masalah yang meliputi

pendekatan Undang-Undang (statute approach), Pendekatan Konseptual

(conceptual approach), pendekatan Kasus (case approach) dan pendekatan

perbandingan (comparative approach). Pendekatan Undang-Undang (statute

approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan

dan regulasi yang bersangkut paut dangan isu hukum yang sedang ditangani.

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum dilakukan guna menemukan

ide-ide dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu

yang dihadapi.31

B. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dilakukan secara preskriptif yaitu dengan melukiskan dan

menggambarkan fakta-fakta baik berupa data-data dengan bahan bahan hukum

seperti data sekunder bahan hukum premier yaitu peraturan perundang-

undangan, data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin, serta data

sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum.

C. Sumber Hukum Lain

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum,Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
31

Hlm.93-95.
44

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder, menurut Sumadi

Suryabrata, yang dimaksud dengan data sekunder yaitu data yang diperoleh

dari bahan kepustakaan data tersebut biasanya telah tersusun dalam bentuk

dokumen-dokumen.32Menurut Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji data

sekunder terdiri atas bahan hukum premier, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.33

1. Bahan Hukum Primer

Hukum atau data yang mempunyai otoritas yang tinggi dan bersifat

mengikat, karena data tersebut dikeluarkan/ditetapkan oleh pemerintah,

terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi dalam pembuatan

undang-undang dan putusan-putusan hakim.34

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata(Burgelijk Wetboek) (Staatblad

1847 No. 23);

3) HIR (Herzien Inlandsch Reglement staat beslag) (Staatblad 1984 No. 16

yang diperbaharui dengan Staatblad 1941 No. 44);

4) RBG (Reglement tot Regeling van Het Rechtswezen in de

GewestenBuiten Java En Madura) (Staatblad 1927 No. 227);

5) RV atau BRv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering)

(Staatsblad. 1847-52 jo. 1849-63.);

32
Sumadi Suryabrata,1992, Metode Penelitian, Rajawali Press, Jakarta, Hlm.84.
33
Soejono Soekamto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Rjawali Press, Jakarta,
Hlm.74.
34
Bambang Waluyo, 1985, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Raja Grafindo, Jakarta, Hlm. 23.
45

6) Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Banyumas Perkara Nomor18/

Pdt.G/ 2018/ Pn. Bms.

2. Bahan Hukum Sekunder

Yang dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin –

doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus (hukum), encyclopedia, dan lain-lain.

D. Metode Pengumpulan Data Lain

Metode yang pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis adalah

Studi Kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku, literature, perundang-

undangan, majalah serta makalah yang berhubungan dengan objek yang

diteliti. Dalam hal ini metode studi pustaka ini dilakukan dengan cara :

1. Menentukan sumber bahan hukum yang diperlukan.

2. Identifikasi

3. Inventarisasi sumber bahan hukum yang relevan dengan penelitian ini

Bahan hukum yang terkumpul kemudian diolah. Pengolahan bahan hukum

pada umumnya dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan bahan hukum (editing), yaitu mengoreksi apakah bahan

hukum yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah

relevan dengan masalah.


46

b. Penandaan bahan hukum (coding) yaitu memberi catatan atau

tanda yang menyatakan sumber bahan hukum.

c. Rekonstruksi bahan hukum (reconstruction) yaitu menyusun ulang bahan

hukum secara teratur, logis sehingga mudah dipahami dan

diinterprestasikan.

d. Sistematika bahan hukum (systematizing) yaitu menempatkan bahan

hukum dalam kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

E. Metode Analisis

Data sekunder yang berisi bahan-bahan hukum yang telah diperoleh

selanjutnya dianalisis dan di telaah yang kemudian dibuat suatu kesimpulan

terhadap hasil penelitian. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini

adalah deskriptif dan preskriptif.

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, biasanya

penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. Metode analisa data

yang dilakukan penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan:

1. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan

dengan permasalahan yang terdapat dapat penlitian ini.

2. Melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas

agar sesuai dengan permasalahan yang dibahas

3. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari

permasalahan.
47

Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan

kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan

tulisan.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
48

1. Putusan Nomor : 18/Pdt.G/2018/PN.BMS

a. Perkara Nomor 18/Pdt.G/2018/PN.BMS.

b. Pengadilan Negeri Banyumas.

c. Tanggal Rapat Pemusyawratan 13 September 2018.

d. Tanggal Putusan 20 September 2018.

Perkara Perdata Nomor 18/Pdt.G/2018/PN.BMS Penggugat dalam

gugatannya tanggal 21 Maret 2018 yang diterima dan didaftarkan di

kepaniteraan Pengadilan Negeri Banyumas dalam register Nomor

18/Pdt.G/2018/PN.BMS dan dilangsungkan rapat permusyawaratan Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Banyumas pada tanggal 13 September 2018 dan

diputuskan pada tanggal 20 September 2018.

2. Kasus Posisi

Pada sekitar Tahun 2013 terjadi perjanjian kredit antara Mulyanto alias

Penggugat dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, KCP. Sokaraja, Kanca

Purwokerto sebagai Terguggat dengan perjanjian akad kredit berupa

pinjaman sebesar Rp350.000.000,-(tiga ratus lima puluh juta rupiah),

pinjaman kredit tersebut merupakan anggunan berupa sebidang tanah dan

bangunan Sertifikat Hak Milik Nomor 1034 Desa Banjaranyar luas 914 M2

atas nama Mulyanto alias Penggugat yang terletak di Kelurahan

Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah

yang sekaligus merupakan obyek sengketa.

Penggugat mendalilkan tidak mengetahui isi dari perjanjian akad kredit

tersebut, sehingga tidak mengetahui dan tidak pernah ada pemberitahuan


49

oleh PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, KCP. Sokaraja, Kanca Purwokerto

sebagai Terguggat. Mulyanto alias Penggugat merasa telah membayarkan

angsuran sebesar RP52.900.000,-(lima puluh dua juta sembilan ratus ribu

rupiah) namun oleh terguggat hanya dihitung sebagai pembayaran denda

dan bunganya saja.

Merasa perjanjian kredit tersebut sepihak dan telah melaksanakan

kewajibanya penggugat merasa telah dirugikan karena tergugat

memberikan surat peringatan ketiga akan melakukan lelang terhadap

agunan SHM No. 1034 luas 914 M2 atas nama Mulyanto sehingga

penggugat merasa cemas dan tidak dapat secara konsentrasi menjalankan

pekerjaanya dan mengganggu aktifitas dalam menjalankan usaha

Penggugat. Dari dalil penggugat diatas maka penggugat mengajukan

gugatan atas sangkaan Terguggat telah melakukan perbuatan melawan

hukum dengan register perkara Nomor 8/Pdt.g/2018/Pn.Bms pada tanggal

20 Maret 2018 di Pengadilan Negeri Banyumas.

Perkara yang akan dibahas adalah mengenai Perjanjian kredit

sebagaimana diputus dalam Putusan Pengadilan Negeri Banyumas dalam

Perkara Perdata Nomor 18/Pdt.G/2018/PN.BMS antara Mulyanto sebagai

Penggugat/Pembanding dan PT.Bank Rakyat Indonesia Tbk, KCP.

Sokaraja sebagai Tergugat/Terbanding, Berikut adalah

2.1. Identitas dari para pihak:

a. Pihak Penggugat yaitu:


50

Mulyanto, berkedudukan di Banjaranyar RT. 03 RW. 04 Kelurahan

Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa

Tengah.

Dalam hal ini memberikan kuasa kepada: Amaludin M. Siagian, S.H.,

beralamat di Jl. Magelang KM 12 Wadas, Beteng, Tridadi, Sleman,

berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 Maret 2018 dan telah

didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banyumas tanggal 21 Maret

2018 dengan No. 46/SK/2018.

b. Pihak Tergugat yaitu:

PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, KCP. Sokaraja, Kanca Purwokerto,

bertempat tinggal di Jalan Jend. Sudirman No. 56 Sokaraja, Banyumas;

Dalam perkara ini diwakili oleh: Dewi Wahyu N; Ceriadi Prastowo;

Clementinus Akhirno Karsy; Dwi Ananto Wibowo; Sri Wahyuningsih;

Andina Purba Nurisnaini; Prista Ayu Megasari; Edy Wiyono, kesemuanya

adalah karyawan dari PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.,

berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 12 April 2018 yang telah

didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banyumas tanggal 12 April

2018 dengan nomor 56/SK/2018;

2.2. Duduk Perkara

Kasus ini bermula dari perjanjian kredit pada tahun 2013, bahwa dari

perjanjian tersebut Pihak Penggugat mendapatkan pinjaman dari Pihak

Tergugat sebesar Rp.350.000.000,-(tiga ratus lima puluh juta rupiah) dan

terhadap perjanjian tersebut pihak Penggugat menjaminkan sebidah tanah


51

dan bangunan Sertifikat Hak Milik Nomor :1034 seluas 914 M2(meter

persegi) atas nama Mulyanto (Penggugat) yang tanah tersebut terletak di

Sokaraja, Kabupaten Banyumas.

Bahwa setelah Penggugat melakukan pembayaran angsuran kepada

Pihak Tergugat sebesar Rp 52.900.000 (lima puluh dua juta Sembilan ratus

ribu rupiah) dari total pinjaman senilai tersebut diatas, maka menurut

Penggugat kekurangan pembayaran terhadap perjanjian kredit tersebur

senilai Rp.282.896.902 (dua ratus delapan puluh dua juta delapam ratus

Sembilan puluh enam ribu Sembilan ratus dua rupiah).

Bahwa alasan pihak Penggugat melayangkan Gugatan Perbuatan

Melawan Hukum kepada pihak adalah bahwa pihak Penggugat

mendapatkan surat peringatan ketiga dari pihak Tergugat dan pihak

Tergugat akan melakukan pelelangan terhadap objek jaminan SHM Nomor

1034 tersebut atas nama Mulyanto (Penggugat) . Hal tersebut menurut

Penggugat bahwa PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, KCP. Sokaraja atau

pihak Tergugat di indikasikan melanggar peraturan Bank Indonesia dan

asas kebebasan berkontrak.

Selanjutnya Penggugat mengajukan surat gugatan tanggal 20 Maret

2018 di Panitera Pengadilan Negeri Banyumas, yang serta dibacakan di

dalam Persidangan. Sebelum itu Majelis Hakim telah mengupayakan

perdamaian diantara para pihak melalui mediasi sebagaimana diatur dalam

Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

dengan menunjuk Parulian Manik, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri


52

Banyumas sebagai Mediator, namun berdasarkan Laporan Mediator tanggal

08 Mei 2018 upaya perdamaian tidak berhasil, sehingga pemeriksaan

perkara dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan. Setelah menjalani

proses pemeriksaan di muka sidang dari mulai pembacaan gugatan dan

jawaban gugatan dari Tergugat yang diajukan tanggal 26 Juni 2018 sebagai

bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat.

2.3 Jawaban Terguggat Atas Jawaban Terguggat

Berdasarkan keterangan atau jawaban dan atau eksepsi dari

Tergugat dan berdasarkan fakta yang tertulis dan dibuat Akta Perjanjian

Kredit Nomor 111 tanggal 05 Maret 2013, Akta Notariil Addendum

Perjanjian Kredit No. 100 tanggal 30 Maret 2016 dan Pasal 15 Akta

Notariil Perjanjian Restrukturisasi Kredit No. 54 tanggal 30 November

2016 bahwa didalam klausula akta tersebut yang dibuat oleh Pihak

Penggugat dan Tergugat terdapat klausul pemilihan tempat hukum apaila

dikemudian hari terjadi sengketa, yaitu di Panitera Pengadilan Negeri

Purwokerto, berdasarkan hal tersebut Tergugat dalam eksepsinya

menerangkan bahwa seharusnya pihak Penggugat mengajukan gugatan

sesuai dengan yang telah tertulis dan disepakati didalam Akta Perjanjian

tersbut, yaitu Pengadilan Negeri Purwoketo, atas dasar tersebut Tergugat

dalam eksepsinya menerangkan bahwa terhadap gugatan Penggugat telah

melanggar kewenangan relatife peradilan.

2.4 Alat Bukti Penggugat


53

1. Fotokopi Kartu tanda penduduk atas nama Mulyanto, selanjutnya

diberi anda bukti P-1;

2. Fotokopi Kuitansi bukti pembayaran tanggai 22 januari 2016

sebesar Rp5.700.000,-, selanjutnya diberi tanda bukti P-2;

3. Fotokopi Kuitansi bukti pembayaran tanggai 31 mei 2016

sebesar Rp600.000,-, selanjutnya diberi tanda bukti P-3;

4. Fotokopi Kuitansi bukti pembayaran tanggai 27 juli 2017

sebesar Rp5.600.000,-, selanjutnya diberi tanda bukti P-4;

5. Fotokopi Kuitansi bukti pembayaran tanggai 28 juli 2017

sebesar Rp3.000.000,-, selanjutnya diberi tanda bukti P-5;

6. Fotokopi Kuitansi bukti pembayaran tanggai 28 agustus 2017 sebesar

Rp3.000.000,-, selanjutnya diberi tanda bukti P-6;

7. Fotokopi Surat peringatan ketiga tanggai 8 maret 2018, selanjutnya

diberi tanda bukti P-7;

8. Fotokopi dari fotokopi Sertifikat Hak Milik No. 1034 luas 914 m2

atas nama Mulyanto yang terletak di Desa Banjaranyar, Kecamatan

Sokaraja, Kabupaten Banyumas, selanjutnya diberi tanda bukti P-8;

2.5 Alat Bukti Terguggat

1. Fotokopi Akta Notariil Perjanjian Kredit Nomor II tangga! 5 Maret

2013, selanjutnya diberi tanda bukti T-1;


54

2. Fotokopi Akta Notariil Perjanjian Kredit Nomor 45 tanggal 18

November 2013, selanjutnya diberi tanda bukti T-2;

3. Fotokopi Akta Notariil Addendum Perjanjian Kredit (Perpanjangan

Jangka Waktu Kredit) Nomor 100 tanggal 30 Maret 2016,

selanjutnya

4. Fotokopi Akta Notariil Perjanjian Restrukturisasi Kredit Nomor 54

tanggal 30 November 2016, selanjutnya diberi tanda bukti T-4;

5. Fotokopi Surat Penawaran Putusan Kredit (Offering Letter) Nomor :

B.120- KCP.VII/ADK/11/2016 tanggal 29 November 2016,

selanjutnya diberi tanda buktiT-5;

6. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor 1034/Desa Banjaranyar

tercatat atas nama Mulyanto terletak di Desa Banjaranyar,

Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas, selanjutnya diberi tanda

bukti T-6;

7. Fotokopi Sertifikat Hak Tanggungan Peringkat Pertama Nomor :

06788/2013 tanggal 18-09-2013 berdasarkan Akta Pemberian Hak

Tanggungan (APHT) Nomor: 760/2013 tanggal 31 Mei 2013,

selanjutnya diberi tanda bukti T-7;

8. Fotokopi Surat Nomor 115-VII/KCP/ADK/Q6/2015 tanggal Perihal

Surat Peringatan I, selanjutnya diberi tanda bukti T-8;

9. Fotokopi Surat Nomor B.12-VII/KCP/ADK/01/2018 tanggai 11

Januari 2018 perihal Surat Peringatan II, selanjutnya diberi tanda

bukti T-9;
55

10. Fotokopi Surat Nomor B.49/KCP-VII/ADK/03/2018 tanggai 8

Maret 2018 perihal Surat Peringatan Ketiga (Terakhir) , selanjutnya

diberi tanda bukti T-10;

2.6 Amar Putusan

Pada hari Kamis 20 September 2018, Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Banyumas yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan yakni Putusan

Pengadilan Negeri Banyumas No.8/Pdt .G/2018/PN Bms dengan

amar sebagai berikut:

Dalam Eksepsi

- Mengabulkan Eksepsi Tergugat

- Menyatakan Pengadilan Negeri Banyumas tidak berwenang

mengadili perkara ini

- Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang

timbul dalam perkara ini sejumlah Rp 2.055.500,00 (dua juta lima

puluh lima ratus rupiah)

3. Pokok Pertimbangan Hukum Hakim

Dasar Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Banyumas dalam Perkara

Perdata Nomor 18/Pdt.G/2018/PN.BMS

a. Menimbang, bahwa dalam eksepsi yang diajukan oleh Tergugat, dalam

poin ketiga menyebutkan pada pokoknya; Bahwa dalam Pasal 118 HIR dan

pasal 99 Rv diatur juga perihal domisili pilihan dimana Para Pihak boleh

menyepakati salah satu PN yang diberi wewenang secara relatif untuk


56

menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka. Bahwa dalam

Perjanjian Kredit antara Penggugat dengan Tergugat terdapat klausula

pilihan hukum bila terjadi sengketa dikemudian hari yaitu diatur dalam

Pasal 22 Akta Perjanjian Kredit No. 11 tangga 05 Maret 2013, Pasal 22

Akta Perjanjian Kredit No. 45 tanggal 18 November 2013, Pasal 18 Akta

Notariil Addendum Perjanjian Kredit No. 100 tanggal 30 Maret 2016 dan

Pasal 15 Akta Notariil Perjanjian Restrukturisasi Kredit No. 54 tanggal 30

November 2016 yang pada intinya ditentukan bahwa tentang perjanjian ini

dan segala akibatnya Para Pihak telah memilih tempat tinggal umum dan

tetap pada Kantor Panitera Pengadilan Negeri di Purwokerto, dengan tidak

mengurangi hak dan wewenang Bank/Pihak Pertama untuk menuntut

pelaksaan/eksekusi atau mengajukan tuntutan hukum terhadap Pengambil

Kredit/Pihak Kedua berdasarkan perjanjian ini melalui atau dihadapan

Pengadilan-Pengadilan lainnya dimanapun juga didalam wilayah Republik

Indonesia.

b. Menimbang, bahwa menurut Tergugat seharusnya gugatan aquo diajukan

ke Pengadilan Negeri Purwokerto dengan alasan Penggugat dan Tergugat

telah sepakat dalam Pasal 22 Akta Perjanjian Kredit No. 11 tanggal 05

Maret 2013, Pasal 22 Akta Perjanjian Kredit No. 45 tanggal 18 November

2013, Pasal 18 Akta Notariil Addendum Perjanjian Kredit No. 100 tanggal

30 Maret 2016, dan Pasal 15 Akta Notariil Perjanjian Restrukturisasi Kredit

No. 54 tanggal 30 November 2016, untuk memilih Pengadilan Negeri


57

Purwokerto sebagai pengadilan negeri yang mengadili akibat hukum dari

perjanjian-perjanjian di atas.

c. Menimbang, bahwa guna mendukung dalilnya tersebut Tergugat telah

mengajukan bukti berupa surat bertanda T-1 sampai dengan T-4, yaitu;

fotokopi Akta Notariil Perjanjian Kredit Nomor II tanggal 5 Maret 2013,

fotokopi Akta Notariil Perjanjian Kredit Nomor 45 tanggal 18 November

2013, fotokopi Akta Notariil Addendum Perjanjian Kredit (Perpanjangan

Jangka Waktu Kredit) Nomor 100 tanggal 30 Maret 2016, dan fotokopi

Akta Notariil Perjanjian Restrukturisasi Kredit Nomor 54 tanggal 30

November 2016.

d. Menimbang, bahwa dalam ketentuan Pasal 22 Akta Perjanjian Kredit No.

11 tanggal 05 Maret 2013, Pasal 22 Akta Perjanjian Kredit No. 45 tanggal

18 November 2013, Pasal 18 Akta Notariil Addendum Perjanjian Kredit

No. 100 tanggal 30 Maret 2016, dan Pasal 15 Akta Notariil Perjanjian

Restrukturisasi Kredit No. 54 tanggal 30 November 2016, dinyatakan

bahwa; Untuk perjanjian kredit ini dan segala akibatnya serta

pelaksanaannya para pihak memilih tempat tinggal (domisili) yang umum

dan tetap pada Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri di Purwokerto,

dengan tidak mengurangi hak dan wewenang BANK untuk menuntut

pelaksanaan/eksekusi atau mengajukan tuntutan hukum terhadap pengambil

kredit berdasarkan perjanjian ini, melalui dihadapan Pengadilan-pengadilan

Negeri lainnya dimanapun dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.
58

e. Menimbang, bahwa dari bukti surat bertanda T-1 sampai dengan T-4

tersebut diketahui yang menjadi debitor dalam perjanjian yang telah

disepakati adalah Penggugat sedangkan yang menjadi kreditur adalah

Tergugat. Dalam buktibukti tersebut terlihat bahwa para pihak sepakat

apabila terjadi suatu akibat serta pelaksanaannya, para pihak memilih

tempat tinggal (domisili) yang umum dan tetap pada Kantor Kepaniteraan

Pengadilan Negeri di Purwokerto.

f. Menimbang, bahwa mengenai domisili pilihan tersebut telah diatur dalam

Pasal 118 ayat (4) HIR, yang menyebutkan; Jika ada suatu tempat tinggal

yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh

mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam

daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu.

g. Menimbang, bahwa dalam ketentuan yang sama, terhadap perkara gugatan

dengan objek sengketa berupa tanah (benda tetap) menurut Pasal 118 ayat

(2) HIR, dinyatakan, bahwa; Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat

dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya,

maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat

tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu

tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam

daerah hukumnya terletak barang tersebut.

h. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 118 ayat (3) HIR tersebut,

menurut Majelis suatu gugatan dengan objek sengketa berupa tanah harus

diajukan di pengadilan negeri dimana benda tersebut berada, namun


59

ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya yang menegaskan para pihak

bisa memilih domisili hukum untuk menyelesaikan sengketa diantara

mereka dengan sepakat mencantumkan pengadilan pilihan tersebut dalam

suatu akta. Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa Pasal 118 ayat (4) HIR

lebih diutamakan mengingat kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam

suatu akta yang mengikat, dan hal tersebut sesuai dengan azas Pacta Sunt

Servanda (Pasal 1338 KUHPerdata).

i. Menimbang, bahwa kebebasan para pihak untuk menentukan pilihan

domisili penyelesaian perselisihan atau penyelesaian sengketa di

perbolehkan berdasarkan Pasal 118 ayat (4) HIR, yaitu para pihak dalam

perjanjian dapat menyepakati domisili pilihan yang berisi klausula sepakat

untuk memilih Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang

menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian. Bahwa pencatuman

klausul sepakat untuk memilih Pengadilan Negeri tertentu yang akan

berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut

harus berbentuk akta tertulis, dapat langsung dicantumkan sebagai klausula

dalam perjanjian pokok atau dituangkan dalam akta tersendiri.

j. Menimbang, bahwa sesuai bukti T-1 sampai dengan T-4 berupa perjanjian

kredit antara Penggugat dan Tergugat, ternyata secara tegas dan jelas, di

dalam perjanjian tersebut terdapat klausula sepakat untuk memilih

Pengadilan Negeri tertentu yang akan berwenang menyelesaikan sengketa

yang timbul dari perjanjian.


60

k. Menimbang, bahwa setelah Majelis mempelajari dalil gugatan Penggugat

dan eksepsi Tergugat, dihubungkan dengan bukti surat bertanda T-1 sampai

dengan T-4, maka Majelis berpendapat bahwa Penggugat selaku debitur

dan Tergugat selaku kreditur terikat dengan perjanjian kredit yang telah

disepakatinya, dan sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata, maka perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.

l. Menimbang, bahwa setelah Majelis mencermati klausul sebagaimana

tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi peselisihan

atau sengketa dalam pelaksanaan perjanjian antara Penggugat dengan

Tergugat, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikannya di Pengadilan

Negeri Purwokerto, sedangkan terhadap kreditur (Tergugat) diberikan hak

opsi, apakah akan mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri

Purwokerto atau Pengadilan Negeri lain.

m. Menimbang, bahwa dengan adanya klausula dalam perjanjian mengenai

pilihan domisili penyelesaian perselisihan antara Penggugat dengan

Tergugat yang menunjuk pada Pengadilan Negeri Purwokerto, maka

dengan demikian Pengadilan Negeri Purwokerto merupakan pengadilan

negeri yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan antara Penggugat

dengan Tergugat tersebut, dan guna terciptanya ketertiban dan kepastian

hukum, maka Pengadilan Negeri Banyumas tidak berwenang mengadili

perkara dan persengketaan antara Penggugat dan Tergugat berkaitan

dengan perjanjian yang telah disepakati.


61

n. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis

Hakim berpendapat eksepsi Tergugat cukup beralasan dan berdasar hukum

untuk dikabulkan.

o. Menimbang, bahwa oleh karena Pengadilan Negeri Banyumas telah

dinyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini maka sudah tidak ada

urgensinya lagi untuk mempertimbangkan pokok perkara.

4. Amar Putusan Nomor Perkara Perdata Nomor 18/Pdt.G/2018/PN.BMS

Dalam Eksepsi:

a. Mengabulkan Eksepsi Tergugat;

b. Menyatakan Pengadilan Negeri Banyumas tidak berwenang mengadili

perkara ini;

c. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam

perkara ini sejumlah Rp. 2.055.500,00 (dua juta lima puluh ribu lima ratus

rupiah).

B. Pembahasan

1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam Memutus Gugatan Dalam

Putusan Nomor :18/Pdt.G/2018/PN.BMS mengenai Kewenangan

Relative Perjanjian Kredit

Tindakan untuk mempertahankan hak dapat berupa gugatan, dimana

dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau suatu konflik yang harus

diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Di dalam suatu gugatan ada

seorang atau lebih yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka telah
62

dilanggar, akan tetapi orang yang “dirasa” melanggar haknya atau hak

mereka itu, tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu.35

Proses penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan dimulai

dengan diajukanya suatu gugatan. Terjadinya suatu gugatan pada umumnya

apabila setiap orang yang merasa hak-hak keperdataanya dirugikan dapat

mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian

sesuai koridor hukum yang berlaku, yaitu dengan mengajukan gugatan

terhadap pihak yang merugikan. Sebagaimana asas hukum acara perdata,

inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang

berkepentingan. Hal tersebut merupakan penegakan terhadap asas hakim

bersifat pasif atau menunggu dalam hukum acara perdata.36

Dalam hal perdamaian tidak berhasil maka tergugat mengajukan

jawaban atas gugatan penggugat. Jawaban tergugat dapat berupa tangkisan

(eksepsi) terhadap gugatan mengenai pokok perkara (verweer ten

principale), baik mengenai dalil-dalil fakta kejadian atau hukumnya.

Tergugat juga dapat menyertakan serangkaian tangkisan (eksepsi) 37. Eksepsi

Tergugat mengenai kewenangan mengadili (kompetensi absolut/relatif)

maka berdasarkan Pasal 136 HIR/162 RBg Pengadilan harus

mempertimbangkan terlebih dahulu eksepsi tersebut. Pasal 136 HIR/Pasal

162 RBg, yang mengatur bahwa :

35
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, 1979, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, Bandung, Mandar Maju, Hlm.10.
36
Pasal 118 HIR/ 142 RBg
37
Teori hukum mengenal eksepsi yang bersifat prosesuil dan materiil. Eksepsi prosesuil meliputi
kompetensi mengadili: kompetensi relatif (Pasal 125 ayat (2), Pasal 133, dan Pasal 136 H.I.R);
kompetensi absolut (Pasal 134 H.I.R); serta berhubungan dengan perkara yang telah diputuskan
sebelumnya (ne bis in idem). Eksepsi materiil meliputi eksepsi dilatoir dan eksepsi peremtoir.
63

Eksepsi yang sekiranya hendak dikemukakan Tergugat, kecuali hanya

hal-hal hakim tidak berkuasa, tidak boleh dikemukakan dan ditimbang satu-

satu, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan sekaligus dengan pokok

perkara.

Bahwa menurut Yahya Harahap (“Hukum Acara Perdata tentang

Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”.

Edisi kedua, Cetakan pertama, September 2017, Sinar Grafika) halaman

243 dijelaskan sebagai berikut: “Menurut hukum, yang dianggap

sebagai tempat tinggal seseorag meliputi:

• tempat kediaman, atau

• tempat alamat tertentu, atau

• tempat kediaman sebenarnya.

Yang dimaksud kediaman sebenarnya atau sebenarnya berdiam adalah

tempat secara nyata tinggal.”

Fundamentum Petendi atau posita merupakan dasar gugatan atau dasar

tuntutan. Posita berisi dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum

yang merupakan dasar, serta alasan-alasan daripada tuntutan (middellen

vanden eis). Hal tersebut menjadi landasan pemeriksaan dan penyelesaian

perkara di persidangan. Fundamentum Petendi atau dasar tuntutan terdiri

dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan tentang hukum. Sebagai

dasar dari tuntutan, Fundamentum Petendi harus memuat hak atau peristiwa

yang akan dibuktikan di persidangan nanti, yang memberi gambaran tentang

kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan yang diajukan.38


38
Loc.Cit
64

Petitum atau tuntutan adalah apa yang oleh penggugat diminta atau

diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Sehingga petitum akan dijawab di

dalam dictum atau amar putusan. Oleh karena itu, petitum yang dirumuskan

oleh penggugat harus dengan jelas dan tegas. Aturan-aturan mengenai

penyusunan gugatan dan kesesuaian harus di perhatikan dengan baik oleh

penggugat merupakan dasar serta menjadi acuan dalam pemeriksaan perkara

tersebut di pengadilan. Apabila dalam gugatan posita dan petitum tidak jelas

atau saling bertentangan, maka gugatanya menjadi kabur atau obscure

libellel sehingga akibat hukumnya adalah gugatan tersebut akan dinyatakan

tidak dapat diterima( Niet Ont Van Kelijk Ver Kloard)/NO. Selain itu

penggugat juga harus memperhatikan Kompetensi Pengadilan.

Di Indonesia kompetensi Pengadilan secara umum dibagi menjadi dua

yakni Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif. Tujuan utama dari

kompetensi pengadilan adalah untuk memberi penjelasan mengenai

permasalahan pengadilan mana yang benar dan mana yang tepat serta

berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul. Hali ini agar

pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru, sebab

apabila keliru maka akan mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima atas

alas an pengadilan yang dituju tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan

mengadili merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Kekeliruan

mengajukan gugatan atau pengadilan tidak berwenang mengakibatkan

gugatan salah alamat sehingga tidak sah dan gugatanya yang diajukan tidak

termasuk kewenangan absolut atau relative pengadilan yang bersangkutan.39


39
M. Yahya Harahap, Op.cit, Hlm.179.
65

Gugatan yang melanggar kompetensi pengadilan baik absolut maupun

relative maka gugatan tersebut telah melanggar syarat formil sehingga akibat

hukumnya gugatan tidak dapat diterima ( Niet Ont Van Kelijk Ver Kloard)/

NO. Gugatan yang mengandung cact formil oleh Terguggat dapat diajukan

tangkisan atau eksepsi yang merupakan suatu bantahan untuk menangkis

tuntutan penggugat namun tidak langsung menyinggung pokok perkara.

Tujuanya agar pengadilan.mengakhiri proses perkara serta menjatuhkan

putusan negative yang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (

Niet Ont Van Kelijk Ver Kloard)/ NO.

Eksepsi kerap diterjemahkan dengan istilah tangkisan yang merupakan

jawaban tergugat atau turut tergugat serta kuasanya yang tidak langsung

mengenai pokok perkara. Ditinjau dari aspek acara perdata pada prisipnya

eksepsi dapat dikategorikan menjadi dua jenis yaitu40:

1) Eksepsi prosesuil (processuele exceptie)

Eksepsi ini berrasarkan hukum acara, yailu jenis eksepsi yang

berkenaan dengan syarat formil gugatan. Secara garis besar, eksepsi

prosesuil meliputi : ecksepsi tidak berwenang mengadili (exceptie van

onbeveogheid) baik kewenangan absolut maupun kewenangan relatif

pengadilan.41

2) Eksepsi materil (materiele exceptie)

Menurut Pasal 136 HIR, cksepsi materil diperiksa dan diputus

bersamaan dengan pokok perkara, tidak diperiksa dan dipertimbangkan

40
Loc.Cit.
41
Loc.Cit.
66

secara terpisah dengan pokok perkara. Oleh karena itu, penyelesaian

eksepsi materil tidak berbentuk putusan sela, tetapi langsung sebagai

satu kesatuan dengan putusan pokok perkara dalam bentuk putusan

akhir. Adapun beberapa jenis ksepsi materil, antara lain : exceptio

dilatoria, yang berarti gugatan penggugat belum dapat diterima untuk

diperiksa sengketanya dipengadilan, karena masih prematur atau

diajukan terlampau dini. Exceptio peremptoria, berisi sangkalan yang

dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat

diperkarakan. Misanya, karena daluwarsa atau lampaunya waktu

mengajukan gugatan.42

Dalam Hukum Acara Perdata, eksepsi diatur dalam Pasal 125 ayat 2,

133, 134, 136 HIR - 149 ayat 2, 159, 160, 162 R.Bg. Pasal 113 Rv

(Regiement op de Burlijke Rechtsvordering), Untuk Eksepsi kompetensi

relative diatur dalam pada Pasal 118 HIR.

Patokan untuk menentukan pertimbangan hukum hakim dalam memutus

perkara dan kewenangan mengadili dihubungkan dengan batas daerah

hukum Pengadilan Negeri, merujuk kepada ketentuan Pasal 118 HIR (Pasal

142 RBg). Akan tetapi, untuk memperjelas pembahasannya, berorientasi

juga kepada Pasal 99 Rv.

Mengenai cara penyelesaian eksepsi43, apabila eksepsi yang diajukan

bukan mengenai eksepsi kompetensi, maka diperiksa Bersama-sama dengan

pokok perkara sehingga pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi

42
Ibid, Hlm.457.
43
Loc.Cit.
67

dan pokok perkara dituangkan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi

dikabulkan maka amar putusan akhirnya berbunyi mengabulkan eksepsi

tergugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Apabila

eksepsi ditolak maka putusan akhirnya akan mencantumkan amar putusan

yang berbunyi menolak gugatan penggugat dan mengabulkan gugatan

dibarengi dengan dictum menyatakan hak dan kedudukan atas objek

sengketa tidak sah dan harus dipulihkan kepada penggugat, hal ini juga

dijelaskan dalam pasal 136 HIR/159 RBg.

Penyelesaian eksepsi mengenai kompetensi relative Eksepsi ini diajukan

Tergugat berdasarkan Pasal 118 ayat (4) HIR memperbolehkan para pihak

dalam perjanjian menyepakati pemilihan domisili pilihan untuk memilih

Pengadilan tertentu dan atau diutamakan mengingat kesepakatan tersebut

harus dituangkan dalam suatu akta yang mengikat, dan hal tersebut sesuai

dengan azas Pacta Sunt Servanda atau yang diatur dalam Pasal 1338

KUHPerdata maka dari itu Pengadilan Negeri Purwokerto yang berwenang

menyelesaikan sengketa yang timbul dalam perjanjian.

Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata dengan Nomor

register 18/Pdt.G/2018/PN.Bms penggugat mengajukan gugatan

sebagaimana surat gugatan penggugat Bahwa alasan pihak Penggugat

melayangkan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada pihak adalah

bahwa pihak Penggugat mendapatkan surat peringatan ketiga dari pihak

Tergugat dan pihak Tergugat akan melakukan pelelangan terhadap objek

jaminan SHM Nomor 1034 tersebut atas nama Mulyanto (Penggugat) . Hal
68

tersebut menurut Penggugat bahwa PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk, KCP.

Sokaraja atau pihak Tergugat di indikasikan melanggar peraturan Bank

Indonesia dan asas kebebasan berkontrak, dengan adanya gugatan tersebut,

tergugat mengajukan jawaban gugatan sebagaimana disebutkan dalam

eksepsi kompetensi relatif yang isinya kewenangan mengadili secara relatif

yang berdasarkan pasal 134 dan 136 HIR dan pasal 99RV tentang pemilihan

tempat tinggal umum dan tetapnya dengan kantor panitera PN yang diberi

wewenang relatif. Tergugat dengan eksepsinya menyertakan bukti perjanjian

kredit antara penggugat dan tergugat yang mana didalamnya terdapat

klausula domisili, dengan tidak mengurangi hak dan wewenang bank/ pihak

pertama untuk menuntut pelaksanaan eksekusi atau mengajukan tuntutan

hukum terhadap pengambil kredit/pihak kedua berdasarkan perjanjian ini

melalui atau dihadapan pengadilan-pengadilan manapun juga dalam wilayah

NKRI. Dalam isi perjanjian kredit tersebut dinyatakan bahwa untuk

perjanjian kredit ini dan segala akibatnya serta pelaksanaanya para pihak

memilih tempat tinggal bukti tersebut terlihat bahwa para pihak memilih

tempat tinggal bukti tersebut terlihat bahwa para pihak telah sepakat dengan

domisili umum dan tetap daripada kantor kepanitraan pengadilan negeri di

Purwokerto apabila terjadi suatu akibat dengan tidak mengurangi hak dan

wewenang bank untuk menuntut pelaksanaan/eksekusi atau mengajukan

tuntutan hukum terhadap pengambil kredit berdasarkan perjanjian ini,

melalui dihadapan pengadilan-pengadilan negeri lainya dimanapun dalam

wilayah NKRI.
69

Dalam hal tersebut diatas dan yang menjadi obyek gugatan adalah tanah

benda tidak bergerak (tanah), maka ditempat benda yang tidak berbergerak

terletak.(ketentuan HIR dalam hal ini berbeda dengan RBg, Menurut pasal

142 RBg, apabila objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat

diajukan kepada Pengadilan Negeri dimana tanah itu terletak) Dalam hal ini

pilihan domisili secara tertulis dalam akta, jika penggugat mengkhendaki

ditempat domisili yang dipilih itu. Apabila tergugat pada hari siding pertama

tidak mengajukan tangkisan (ekspsi) tentangwewenang mengadili secara

relative ini, Pengadilan Negeri tidak boleh menyatakan dirinya tidak

berwenang.(Hal ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 133 HIR yang

menyatakan bahwa eksepsi mengenai kewenangan relative harus diajukan

pada permulaan siding, apabila diajukan terlambat, Hakim dilarang untuk

memperhatikan eksepsi tersebut.)

Majelis hakim dalam pertimbangan menggunakan pasal 118 ayat(3) HIR

ialah suatu gugatan dengan objek sengketa berupa tanah harus diajukan di

Pengadilan Negeri dimana benda itu berada , namun ada pengecualianya

yang menegaskan para pihak bisa memilih domisili hukum untuk

menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sepakat mencamtumkan

pengadilan pilihan tersebut dalam suatu akta , sehingga dapat disimpulkan

bahwa pasal 118 ayat(4)HIR lebih diutamakan mengingat kesepakatan

tersebut harus dituangkan dalam suatu akta yang mengikat, dan hal tersebut

sesuai dengan azas pacta sunt servanda (pasal 1338 KUHPER) yang

meskipun sengketa kepemilikan menyangkut obyek tanah maka baru dilihat


70

dimanakah yuridiksi Pengadilan Negeri manakah tempat obyek sengketa

tersebut berada.

Majelis hakim dalam pertimbanganya juga menyatakan dalam bahwa

penggugat selaku debitur dan tergugat selaku kreditur terikat dengan

perjanjian kredit yang telah disepakatinya dan sesuai dengan Pasal 1338

KUHPerdata ayat (1) maka perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang yang membuatnya dapat disimpulkan dengan

pertimbangan hakim mengenai klausul apabila terjadi perselisihan atau

sengketa dalam pelaksanaan dalam pelaksanaan perjanjian antara penggugat

dan tergugat, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan di Pengadilan

Negeri Purwokerto, mengajukan gugatan melalui melalui Pengadilan

Negeri Purwokerto atau pengadilan negeri lain.

Berdasarkan bukti surat yang diajukan oleh Tergugat yaitu bukti berupa

surat bertanda T-1 sampai dengan T-4, yaitu; fotokopi Akta Notariil

Perjanjian Kredit Nomor II tanggal 5 Maret 2013, fotokopi Akta Notariil

Perjanjian Kredit Nomor 45 tanggal 18 November 2013, fotokopi Akta

Notariil Addendum Perjanjian Kredit (Perpanjangan Jangka Waktu Kredit)

Nomor 100 tanggal 30 Maret 2016, dan fotokopi Akta Notariil Perjanjian

Restrukturisasi Kredit Nomor 54 tanggal 30 November 2016 yang

merupakan akta resmi yang dikeluarkan oleh Notaris dan atas kesepakatan

antara debitur dan kreditur, untuk itu sehingga bukti tersebut haruslah

dinyatakan sah dan dapat dipergunakan untuk mempertimbangkan eksepsi

kompetensi relative perjanjian kredit.


71

Kemudian apabila menggunakan Patokan untuk menentukan

pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara dan kewenangan

mengadili dihubungkan dengan batas daerah hukum Pengadilan Negeri,

merujuk kepada ketentuan Pasal 118 HIR (Pasal 142 RBg). Akan tetapi,

untuk memperjelas pembahasannya, berorientasi juga kepada Pasal 99 Rv:

1.Actor Sequatur Forum Rei (forum domicili).

2.Actore sequatur Forem rei dengan hak opsi.

3.Tempat Tinggal Penggugat.

4.Forum Rei Sitae

5.Forum rei Sitae dengan hak opsi

6.Domisili pilihan

Dalam perkara nomor Nomor :18/Pdt.G/2018/PN.Bms Diatas,

perkara tersebut telah melanggar kompetensi relative. Perkara tersebut

bukanlah kewenangan Pengadilan Banyumas melainkan kewenangan

Pengadilan Purwokerto.

Berdasarkan ketentuan pasal ketentuan Pasal 142 ayat (5) RBg maupun

Pasal 99 ayat (8) dan (9) Rv. Dengan penafsiran yang demikian maka

sepanjang yang menjadi obyek sengketa adalah benda tetap, maka

diterapkan asas forum rei sitae dan mengesampingkan asas actor sequitur

forum rei .

Dan pasal ketentuan Pasal 118 ayat (4) HIR yang memberikan

kebebasan kepada penggugat untuk memilih antara tempat tinggal tergugat

dengan pilhan domisili, dalam hal demikian pilihan domisili tidak dapat
72

diterapkan dalam hal perkara yang obyek sengketanya berupa benda tetap,

pilihan domisili saja tidak dapat mengesampingkan asas actor sequitur

forum rei bagaimana akan mengesampingkan asas forum rei sitae. Dengan

demikian maka, terhadap perkara yang obyek sengketanya adalah benda

tetap, berlaku asas forum rei sitae, bukan asas actor sequitur forum rei,

dengan dermikian eksepsi demikian harus ditolak

Dalam pasal 118 HIR diatas merupakan penyangkalan mengenai

wewenang pengadilan negeri Banyumas yang bersifat relative yaitu

wewenang kompetensinya. Maka eksepsi atau penyangkalan wewenang

yang bersifat relative dapat diajukan pada… Apabila penyampaian itu

ternyata betul dan beralasan, maka hakim karena jabatanya wajib mengakui

bahwa ia tidak berwenang. Hakim tidak dibenarkan memeriksa pokok

perkara sebelum ada putusan yang menegaskan apakah pengadilan

berwenang atau tidak dalam memeriksa perkara. Apabila eksepsi

kompetensi relative ditolak maka dituangkan dalam bentuk putusan

sela(Interlocutoty). Jika eksepsi dikabulkan maka diluangkan dalam bentuk

putusan akhir (End Vonnis).

Jika dicermati dan setelah meneliti lebih dalam ternyata gugatan

berdasarkan perbuatan melanggar hukum termasuk golongan gugatan yang

bersifat perorangan karena didasarkan atas perikatan yang bersumber dari

peraturan perundang-undangan, khususnya Pasal 1365 BW dan seterusnya.

Sedangkan pelaksanaan forum rei sitae merupakan pengaplikasian yurisdiksi

in rem sebagai sarana dalam mengajukan gugatan yang bersifat kebendaan,


73

khususnya terhadap hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak.

Sehingga pada dasarnya penerapan forum rei sitae terhadap gugatan

berdasarkan perbuatan melanggar hukum yang melibatkan kebendaan tetap

sebagai objek sengketa tidak dapat dibenarkan menurut hukum walaupun

berdasarkan Pasal 118 ayat (3) HIR, hal tersebut seolah-olah dapat

dilakukan, karena, berdasarkan teori yang ada, forum rei sitae merupakan

penerapan dari yurisdiksi in rem, sedangkan gugatan atas dasar perbuatan

melanggar hukum merupakan gugatan yang bersifat in personam, yang

mana antara keduanya tidak dapat saling dicampuradukkan.

Selain dari analisis dan pertimbangan hakim dalam pustusan perkara

nomor Nomor :18/Pdt.G/2018/PN.Bms menggunakan dasar Buku II tentang

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan

Khusus, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI pada halaman 50-51 mengenai

Wewenang Relatif, menyatakan : “Sesuai ketentuan Pasal 118 HIR/Pasal

142 RBg, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa gugatan yang daerah

hukumnya, meliputi huruf g. Jika ada pilihan domisili yang tertulis dalam

akta, maka gugatan diajukan di tempat domisili yang dipilih itu.”

Dapat ditarik kesimpulanya bahwa Hakim sudah tepat menerima eksepsi

Tergugat, yang menyatakan Pengadilan Negeri Purwokerto berwenang

memeriksa dan memutus perkara ini, dan menyatakan Pengadilan Negeri

Banyumas tidak berwenang memeriksa dan sudah tidak ada urgensinya lagi

untuk mempertimbangkan pokok perkara. Dasarnya adalah Pasal 118 dan

Pasal 99 Rv tentang pilihan domisili, dimana Para Pihak boleh menyepakati


74

salah satu PN yang diberi wewenang secara relatif untuk menyelesaikan

sengketa yang timbul di antara mereka dan bukti-bukti dalam persidangan

T1-T4 tentang Akta Perjanjian Kredit yang terdapat klausula pilihan hukum

apabila terjadi sengketa, yaitu di Panitera Pengadilan Negeri Purwokerto

dalam pasal 22 Akta Perjanjian Kredit.

Pengadilan Negeri Purwokerto menerima eksepsi tergugat dan turut

tergugat serta menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Hal ini

telah sesuai dengan cara penyelesaian eksepsi tentang kompetensi relative

yaitu dengan diperiksa dan diputus sebelum perkara pokok. Kemudian

dituangkan dalam putusan akhir Nomor :18/Pdt.G/2018/PN.Bms Majelis

Hakim Mengadili:

1. Mengabulkan Eksepsi Tergugat;

2. Menyatakan Pengadilan Negeri Banyumas tidak berwenang mengadili

perkara ini;

3. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara;

2. Akibat Hukum dengan Dikabulkannya Eksepsi Mengenai Kewenangan

Relative di Pengadilan Negeri Banyumas

Hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan yaitu putusan.

Putusan akhir merupakan Tindakan atas perbuatan hakim sebagai penguasa

atau pelaksana kekuasaan kehakiman untuk menyelesaikan dan mengakhiri

sengketa yang terjadi diantara pihak yang berperkara44. Putusan tersebut

menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang berperkara. Akibat hukum

ini merupakan segala akibat atau konsekuensi yang terjadi dari segala
44
Ibid, Hlm.888.
75

perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek

hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian

tertentu oleh hukum. Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan

sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi masing-masing subyek

hukum yang bersagkutan. Putusan akhir berisi pernyataan dan penegasan

tentang kepastian hubungan hukum antara para pihak dengan permasalahan

atau obyek yang disengketakan.

Putusan akhir dapat diklarifikasi sebagai berikut45.

1. Mengabulkan gugatan penggugat

Putusan ini bersifat positif dan merupakan kebalikan dari diktum

menolak gugatan penggugat. Dalam pengabulan gugatan, terjadi koreksi

dibarengi dengan pembebanan kewajiban hukum kepada tergugat berupa

hukuman untuk melaksanakan pemenuhan sesuatu yang dapat berupa

menyerahkan dan mengosongkan, membayar jumlah tertentu, membagi

sesuatu atau menghentikan sesuatu dan sebagainya46.

2. Menolak gugatan penggugat

Putusan akhir yang menolak gugatan penggugat merupakan

penetapandan penegasan yang pasti dan permanen mengenai hubungan

hukum diantara para pihak maupun dengan obyek sengketa karena

secara pasti penggugat tidak mempunyai hubungan hukum yang sah

dengan terguggat maupun dengan obyek gugatan , disebabkan alat bukti

yang diajukan tidak memenuhi batas minimal pembuktian atau alat bukti

45
Loc.Cit.
46
Loc.Cit.
76

yang diajukan penggugatdilumpuhkan dengan bukti lawan yang diajukan

tergugat. Patokanyang menjadi dasar hukum menjatuhkan putusan akhir

dengan amar menolak gugatan penggugat seluruhnya apabila

gugatantidak dapatmembuktikan dalil gugatanya. Hal tersebut

ditegaskan dalam Putusan MA No.1201 K/Sip/1973.6347.

3. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima

Cacat formil dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan

putusan akhir yang bersifat negative dengan amar yang menyatakan

gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard).Terdapat

berbagai macam cacat formil yang menjadi dasar bagi hakim untuk

menjatuhkan putusan dengan dictum menyatakan gugatan tidak dapat

diterima, diantaranya adalah Gugatan diluar yuridiksi absoluth dan

relative pengadilan. Perkara yang diajukan tersebut termasuk

kewenangan relatif peradilan Purwokerto.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Nomor :

18/Pdt.G/2018/PN.BMS, Majelis hakim memutus dengan amar putusan yang

menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Hakim memutus eksepsi

tersebut sebelum pemeriksaan pokok perkara, Hakim menyatakan menerima

eksepsi tergugat. Hakim harus menunda pemeriksaan pokok perkara, memeriksa

dan memutus eksepsi terlebih dahulu, tidak dibenarkan memeriksa pokok perkara

sebelum ada putusan yangmenegaskan apakah Pengadilan Negeri berwenang atau

tidak dalam memeriksa perkara, Karena dalam perkara eksepsi pihak tergugat

dikabulkan oleh hakim maka amar putusan akhirnya berbunyi mengabulkan


47
Loc.Cit.
77

Eksepsi Tergugat dan Menyatakan Pengadilan Negeri Banyumas tidak

berwenang mengadili perkara tersebut maka sudah tepat dalam pertimbangan

hukum hakim sudah tidak ada urgensinya lagi untuk mempertimbangkan pokok

perkara.

Akibat hukum dari putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima

adalah hubungan hukum antara penggugat dan terguggat dalam perkara a quo

Kembali pada keadaan seperti sebelum adanya putusan. Upaya hukum yang dapat

dilakukan oleh pihak penggugat adalah adalah penggugat berhak untuk

mengajukan gugatan baru dengan cara memperbaiki gugatanya ke pengadilan

yang berwenang dalam hal ini yaitu Pengadilan Negeri Purwokerto.

Jika salah satu pihak yang berperkara tidak menerima putusan maka dapat

mengajukan upaya hukum banding yang dapat dilakukan bagi pihak yang merasa

keberatan dengan adanya putusan tersebut dalam jangka waktu 14hari. Namun

apabila dalam jangka waktu 14hari tidak ada pihak yang mengajukan upaya

hukum, maka putusan akhir menjadi mempunyai kekuatan hukum pasti (Inkracht

Van Gewijsdel), Sehingga akibat hukumnya adalah putusan tersebut mempunyai

kekuatan hukum mengikat artinya mengikat bagi para pihak yang berperkara,

mempunyai kekuatan pembuktian serta mempunyai kekuatan eksekutorial.


78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari seluruh pembahasan bab-bab sebelumnya, maka

dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Memutus Gugatan Dalam Putusan

Nomor :18/Pdt.G/2018/PN.BMS mengenai Kewenangan Relative

Perjanjian Kredit berdasarkan pada :

 Gugatan mengandung cacat formil.


79

 Gugatan diluar kompetensi relative Pengadilan Negeri Banyumas

berdasarkan perjanjian kredit bukti perjanjian kredit antara

penggugat dan tergugat yang mana didalamnya terdapat klausula

domisili, dengan tidak mengurangi hak dan wewenang bank/ pihak

pertama untuk menuntut pelaksanaan eksekusi atau mengajukan

tuntutan hukum terhadap pengambil kredit/pihak kedua berdasarkan

perjanjian ini penggugat selaku debitur dan tergugat selaku kreditur

terikat dengan perjanjian kredit yang telah disepakatinya dan sesuai

dengan 1338 kuhper maka perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang yang membuatnya.

 Buku II tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan

Perdata Umum dan Khusus, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI pada

halaman 50-51 mengenai Wewenang Relatif, menyatakan : “Sesuai

ketentuan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, Pengadilan Negeri

berwenang memeriksa gugatan yang daerah hukumnya, meliputi

huruf g. Jika ada pilihan domisili yang tertulis dalam akta, maka

gugatan diajukan di tempat domisili yang dipilih itu.”

 Pertimbangan hakim telah sesuai dengan ketentuan pasal 118 ayat(3)

HIR ialah suatu gugatan dengan objek sengketa berupa tanah harus

diajukan di pengadilan negeri dimana benda itu berada , namun ada

pengecualianya yang menegaskan para pihak bisa memilih domisili

hukum untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan

sepakat mencamtumkan pengadilan pilihan tersebut dalam suatu


80

akta, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasal 118 ayat(4)HIR lebih

diutamakan mengingat kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam

suatu akta yang mengikat, dan hal tersebut sesuai dengan azas pacta

sunt servanda (pasal 1338 KUHPERDATA).

 kebebasan para pihak untuk menentukan pilihan domisili

penyelesaian atau penyelesaian sengketa diperbolehkan berdasarkan

pasal 118 ayat(4) HIR "para pihak dalam perjanjian dapat

menyepakati domisili pilihan yang berisi klausula sepakat untuk

memilih pengadilan tertentu yang akan berwenang menyelesaikan

sengketa yang timbul dari perjanjian."dan bahwa pencantuman

klausula sepakat untuk memilih pengadilan negeri tertentu yang akan

berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian

tersebut harus berbentuk akta tertulis, dapat langsung dicantumkan

sebagai klausula dalam perjanjian pokok atau dituangkan dalam akta

tersendiri yang tertuang dalam bukti T1-T4 tergugat.

 pengadilan negeri purwokerto merupakan pengadilan negeri yang

berwenang untuk menyelesaikan perselisihan antara penggugat

dengan terguggat tersebut dan guna terciptanya ketertiban dan

kepastian hukum, majelis hakim berpendapat pengadilan negeri

banyumas tidak berwenang mengadili perkara dan persengketaan

antara penggugat dan tergugat berkaitan dengan perjanjian yang

telah disepakati.eksepsi tergugat cukup beralasan dan berdasar

hukum untuk dikabulkan pengadilan negeri banyumas telah


81

dinyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini maka sudah tidak

ada urgensinya lagi untuk mempertimbangan pokok perkara.

2. Akibat hukum dengan dikabulkannya eksepsi tergugat dalam perkara

Nomor 18/Pdt.G/2018/PN.BMS, maka harus dijatuhkan putusan akhir

dengan amar:

 Gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima. Maka dalam hal

ini penggugat berhak mengajukan gugatanya Kembali ke pengadilan

dengan jalan memperbaiki gugatanya dan mengajukan gugatanya ke

pengadilan yang berwenang serta apabila salah satu pihak merasa

keberatan dapat mengajukan upaya hukum banding dalam jangka

waktu 14 hari.

B. Saran

Dalam mengakhiri penulisan skripsi ini, penulis dapat memberikan

beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam perkara ini,

yakni:

1. Advokat yang mewakili Penggugat dalam hal ini hendaknya lebih cermat

dan teliti dalam mengajukan surat gugatan ke pengadilan yang diajukan,

karena untuk mencegah gugatan tidak dapat diterima seperti dalam

sengketa yang diteliti oleh penulis ini, Penggugat dapat mengajukan

gugatan bar uke pengadilan dengan memperhatikan kewenangan relative

pengadilanya.
82

2. Dalam Etika Profesi sebagai Advokat selain diberikan mandat untuk

menangani dan menyelesaikan suatu perkara kepada yang diwakilkanya

seharusnya mampu memberikan pemahaman tentang wawasan hukum

sehingga kedepanya tidak terjadi kesalahan dalam pembuatan surat

gugatan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Fuady, Munir. 2013, Perbuatan Melawan Hukum:Pendekatan Kontemporer,

Bandung, PT.Citra Aditya Bakti.

Harahap M. Yahya. 2007, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian, dan, Putusan Pengadilan, Bandung, Sinar Grafika.

Hasan, Djuhaendah. 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda

Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas

Pemisahan Horizontal, Bandung, PT. Citra Aditya bakti.


83

H.R Daeng, Naja. 2005, Hukum Kredit dan Bank Garansi The Bankers Hand

Book. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Hermansah. 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana

Prenada Media Group.

H.S, Salim. 2014, Perkembangan Hukum jaminan di Indonesia, Jakarta, Raja

Grafindo Persada.

J. Satrio, 1999, Hukum perikatan: perikatan pada umumnya, Alumni, Bandung.

Mahmud Marzuki, Peter .2011, Penelitian Hukum. Jakarta, Kencana Prenada

Media Group.

Prinst, Darwan. 2002, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata,

Cetakan Ketiga Revisi,Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. 1979, Hukum Acara Perdata

dalam Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju.

Satrio,J. 1999, Hukum perikatan: perikatan pada umumnya, Bandung, Alumni.

Siamat, Dahlan. 1993, Manajemen Bank Umum, Jakarta, Intermedia.

Soedewi, Sri. 1980, Hukum Jaminan Di Indonesia:Pokok Pokok Hukum Jaminan

dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta, C.V.Bina Usaha.

Soekamto,Soerjono & Mamudji, Sri. 2006, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta,

Rajawali Press.

Subekti . 2008, Hukum Perjanjian. Jakarta, Intermasa.

Sudikno Martokusumo. 2006, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta, Liberti.

Suryabrata, Sumadi. 1992, Metode Penelitian. Jakarta, Rajawali Press.


84

Syahrani, Ridwan. 2000, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung,

Citra Aditya Bakti.

Usman, Racmadi. 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Cetakan II.

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Wirjono Prodjodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung.

Putusan

Pengadilan Negeri Banyumas, Putusan Nomor 18/Pdt.G/2018/PN.BMS.

Pengadilan Negeri Sukoharjo.Tata Urutan Persidangan Perkara Perdata, diakses

dati http://www.pn-sukohario.Bo.id/index-pho/kepaniteraan/bagian perdata/

tata-urutan–persidangan-perkara-perdata.html, pada tanggal 5 Agustus

2020.

Internet

Litigasi. Pengertian Eksepsi Dalam Hukum Acara Persidangan,

https://litigasi.co.id, diakses pada 19 Agustus 2020.

Jurnal dan Skripsi

Fajar, Astin. 2011.Skripsi: Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Secara Prodeo

Dalam Praktik .Semarang:UNES.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) (Staatblad 1847

No. 23).
85

HIR (Herzien Inlandsch Reglement staat beslag) (Staatblad 1984 No. 16 yang

diperbaharui dengan Staatblad 1941 No. 44).

RBG (Reglement tot Regeling van Het Rechtswezen in de GewestenBuiten Java

En Madura) (Staatblad 1927 No. 227).

RV atau BRv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) (Staatsblad. 1847-

52 jo. 1849-63.).

Anda mungkin juga menyukai