Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS HUBUNGAN MENGENAI KEPAILITAN

DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA


DAN UU NO 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

DISUSUN OLEH

Hammada Amjad E0015172


Herlina Nur Oktavia E0015177
Juwita Asmara E0015204
Muhammad Yusuf Habibie E0015258
Prasetyo Ade Witoko E0015316
Yoga Fiqri Wicaksono E0015433

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SEMESTER GANJIL 2017
[HUKUM ACARA PERADILAN NIAGA] FAKUTAS HUKUM UNS

1. KEPAILITAN
Berdasarkan tata bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan
pailit. Istilah “pailit” juga ada dalam bahasa Belanda, Prancis, Latin, dan Inggris namun
dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasa Belanda, pailit berasal dari istilah “failiet”
yang mempunyai arti ganda, yaitu selain sebagai kata benda, juga sebagai kata sifat. Dalam
bahasa Prancis, pailit berasal dari kata “faillite” yang berarti kemacetan pembayaran, dalam
bahasa Inggris diterjemahkan “failure” yang berarti gagal, dan dalam bahasa Latin disebut
“fallire”.
Pada persoalan Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Perusahaan dan lain-lain yang
sejenis, kepailitan merupakan suatu peristiwa bagi debitor yang mana putusan pailit tersebut
memaksa debitor untuk melepaskan seluruh haknya atas semua kekayaannya kepada kurator
melalui putusan pengadilan. Pengertian tersebut juga menyatakan bahwa tanpa adanya
putusan pailit dari pengadilan, debitor tidak dapat dianggap pailit. Selanjutnya dengan
adanya pengumuman putusan pailit tersebut, ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata berlaku atas
seluruh harta kekayaan debitor pailit.

2. DASAR HUKUM KEPAILITAN


Dasar hukum kepailitan bukan tentang pengaturan hukum kepailitan, namun dasar
dilakukan penyitaan terhadap harta benda kekayaan debitur pailit. Diantaranya kepailitan
diatur dalam Het Herziene Indonesche Reglement (HIR) juga dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tercantum dalam pasal 1131 dan 1132. Hukum kepailitan yang
semula berlaku di Indonesia adalah Faillissement Verordening atau Peraturan Kepailitan
yang termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 No. 348.

Pada saat terjadi krisis moneter pada tanggal 22 April 1998 Pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan atau
Peraturan Kepailitan (selanjutnya disebut Perpu PK) yang mulai berlaku tanggal 20
Agustus 1998, yaitu 120 hari sejak diundangkan.

Kemudian pada tanggal 9 September 1998, Perpu PK tersebut ditetapkan menjadi undang-
undang melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan
Menjadi Undang-Undang, yang mana dalam ketentuan Pasal 1 bagian akhir dari undang-
undang ini, dinyatakan bahwa Perpu PK selanjutnya dilampirkan dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari undang-undang ini dan disebut sebagai Undang-Undang Kepailitan.

Akhirnya, pada tanggal 18 Oktober 2004 Indonesia telah memiliki perangkat hukum terbaru
dibidang kepailitan yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia

2|HUKUM PERBANKAN
[HUKUM ACARA PERADILAN NIAGA] FAKUTAS HUKUM UNS

Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang (UUKPKPU) yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

3. KEPAILITAN DALAM KUH PERDATA


Pada KUH Perdata Buku III tentang Perikatan Bab XIX tentang Piutang Dengan Hak
Mendahulukan Bagian 1 tentang Piutang dengan Hak Didahulukan pada Umumnya di mulai
dari Pasal 1131 dan 1132. Pasal 1131KUHPerdata berbunyi:
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah
ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan
debitur itu”
Maksudnya adalah bahwa segala benda si berhutang, baik bergerak maupun tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang ada nanti kemudian hari itu menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan. Ketentuan ini adalah tanggung jawab utang debitur. Asas ini
untuk melindungi kreditur supaya seimbang dengan hak yang sudah diberikan debitur.
Lebih lanjut Pasal 1132 KUHPerdata berbunyi:
“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil
penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing
kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”
Pasal 1132 menyatakan alasan menentukan beberapa hal dalam hubungannya dengan utang
piutang yaitu:
1) Jaminan kebendaan berlaku bagi semua kreditur.
2) Apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka kebendaan tersebut akan di
jual.
3) Hasil penjualan akan di bagikan kepada kreditur berdasarkan besar kecilnya piutang
(Asas keseimbangan atau pondspondsgewijs).
4) Terdapat kreditur yang di dahulukan dalam memperoleh bagiannya dengan alasan-
alasan yang sah (kreditur preferent dan kreditur separatis).

Kedua pasal tersebut pada dasarnya telah mengatur tentang pemberian jaminan kepastian
kepada kreditor bahwa debitor berkomitmen untuk tetap memenuhi kewajibannya dan
komitmen tersebut dijamin dengan kekayaan debitor baik yang sudah ada maupun yang
masih akan ada di kemudian hari.

Pasal 1131 KUHPerdata mengandung asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap
utangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak

3|HUKUM PERBANKAN
[HUKUM ACARA PERADILAN NIAGA] FAKUTAS HUKUM UNS

maupun benda tidak bergerak, jika perlu dijual untuk melunasi utang-utangnya (asas schuld
dan haftung)1.
Sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata mengandung asas bahwa dengan demikian setiap
kreditor memiliki kedudukan yang sama terhadap kreditor lainnya (asas paritas
creditorum), kecuali ditentukan undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah
untuk didahulukan dari kreditur lainnya2.

4. KEPAILITAN DALAM UU NO 37 TAHUN 2004 TENTANG


KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN
UTANG
A. Pengertian
Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang berbunyi:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”

B. Asas-asas Kepailitan
Adapun asas-asas dalam Undang-Undang KPKPU adalah sebagai berikut:
i. Asas Keseimbangan
Undang-undang mengatur beberapa ketentuan yang merupkan perwujudan dari
asas keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oeh debitur yang
tidak jujur. Di lain pihak dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak baik3.
ii. Asas Kelangsungan Usaha
Ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap di
langsungkan.
iii. Asas Keadilan
Bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak yang berkepentingan. Mencegah kesewenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur,
dengan tidak memperdulikan kreditur lainnya4.
iv. Asas Integrasi
1
Purwahid Patrik dan Kashadi,Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, (Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 1998), hlm. 5
2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,Hukum Perdata: Hukum benda,(Yogyakarta: Liberty,2000), hlm. 32.
3 Lily Marheni, Kedudukan Benda Jaminan yang Dibebani Hak Tanggungan Apabila Terjadi Eksekusi dalam

Hal Debitur Pailit dari Perspektif Hukum Kepailitan. Tesis, (Bali, 2012), h.95
4 Munir Fuady. Hukum Kepailitan, (Jurnal Hukum Bisnis, 2005), h. 323.

4|HUKUM PERBANKAN
[HUKUM ACARA PERADILAN NIAGA] FAKUTAS HUKUM UNS

Bahwa sistem hukum formil dan materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh
dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

C. Syarat-Syarat Pengajuan Permohonan Kepailitan


Mengenai syarat-syarat pernyataan pailit, saat ini di Indonesia masih mengikuti hukum
acara yang berlaku di Pengadilan Niaga adalah hukum acara perdata yang berdasarkan
atas HIR/RBG, kecuali untuk hal yang ditetapkan lain oleh UUKPKPU. Pengajuan
permohonan pernyataan pailit harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan,
karena apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka permohonan pernyataan pailit
tersebut tidak dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
UUKPKPU, dapat disimpulkan syarat-syarat pengajuan permohonan pernyataan pailit
adalah sebagai berikut:
i. Debitur yang Diajukan Harus Memiliki Lebih Dari Satu Kreditur
Syarat keharusan adanya minimal dua atau lebih kreditor yang dikenal sebagai
concursus creditorum, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dan
ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata, yang menentukan pembagian harta pailit
kepada para kreditornya secara teratur berdasarkan prinsip pari passu pro rata
parte5.
Dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa besar Piutang yang harus
ditagih oleh seorang kreditor dari debitor yang bersangkutan, melainkan berapa
banyak orang yang menjadi kreditor dari debitor yang bersangkutan. Perihal
syarat sekurangnya dua orang kreditor merupakan suatu syarat mutlak sebab
apabila seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensi dari
UUKPKPU kehilangan raison d’être6-nya.
Apabila tetap diperkenankan mengajukan permohonan pernyataan pailit, maka
sesuai ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata, tidak perlu ada pengaturan mengenai
pembagian hasil penjualan seluruh harta kekayaan debitor yang merupakan
jaminan utangnya karena seluruh hasil penjualan tersebut merupakan sumber
pelunasan bagi kreditor satu-satunya itu. Sehingga tidak akan ada ketakutan
terjadi perlombaan dan perebutan terhadap harta kekayaan debitor karena hanya
ada satu orang kreditor.
Berdasarkan penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, maka yang
dimaksud dengan kreditor adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis dan
kreditor preferen.

5 Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte: bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para
kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka kecuali ada hak untuk didahulukan.
6 Dasar pemikiran, alasan menjadi.

5|HUKUM PERBANKAN
[HUKUM ACARA PERADILAN NIAGA] FAKUTAS HUKUM UNS

ii. Debitur Tidak Membayar Lunas Sedikitnya Satu Utang Kepada Salah Satu
Krediturnya.
Syarat keadaan dimana seorang debitor berhenti membayar atau tidak dapat
membayar utang, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka (6)
UUKPKPU mengenai pengertian utang. Menurut ketentuan Pasal 1233
KUHPerdata, kewajiban atau utang dapat timbul dari perjanjian atau dari
undang-undang. Ada kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
Beberapa contoh kewajiban yang timbul dari perjanjian adalah:
1) Kewajiban debitur untuk membayar bunga dan utang pokok kepada
pihak yang meminjamkan.
2) Kewajiban penjual untuk menyerahkan mobil kepada pembeli mobil
tersebut.
3) Kewajiban pembangun untuk membuat rumah dan menyerahkannya
kepada pembeli rumah.
4) Kewajiban penjamin (guarrantor) untuk menjamin pembayaran kembali
pinjaman debitur kepada kreditur.

Syarat ini dapat diartikan sebagai keadaan di mana debitur tidak berprestasi lagi
pada saat permohonan pernyataan pailit diajukan ke Pengadilan Niaga, sehingga
apabila debitur masih dapat berprestasi pada saat permohonan pernyataan pailit
diajukan ke pengadilan, maka debitur yang bersangkutan belum berada dalam
keadaan berhenti membayar. Sidang pengadilan harus dapat membuktikan
berdasarkan fakta atau keadaan bahwa debitur tidak berprestasi lagi, sehingga
dirinya dikatakan berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang-utangnya.

iii. Utang yang Tidak Dibayar Itu Harus Telah Jatuh Waktu dan Telah Dapat
Ditagih (Due and Payable)
Kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah
diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan,
pengenaan sanksi atau denda oleh instansi berwenang, maupun karena putusan
pengadilan, arbiter atau majelis arbiter. Syarat ini mengenai utang yang sudah
waktunya untuk dibayar, berdasarkan undang-undang atau perjanjian.

Kewenangan pengadilan untuk menjatuhkan putusan kepailitan itu telah ditentukan


secara tegas di dalam Undang-Undang Kepailitan. Apabila syarat-syarat terpenuhi,
sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU hakim harus “menyatakan pailit”, bukan
“dapat menyatakan pailit”.

6|HUKUM PERBANKAN
[HUKUM ACARA PERADILAN NIAGA] FAKUTAS HUKUM UNS

5. HUBUNGAN PASAL 1131 & 1132 KUH PERDATA DENGAN UU NO


37 TAHUN 2004 (UUKPKPU)
Kedua aturan mengenai Kepailitan ini sama-sama digunakan sebagai dasar hukum
dilakukan penyitaan terhadap harta benda kekayaan debitur pailit. Apabila ditilik dari
sejarah lahirnya, jelas bahwa KUH Perdata lebih dahulu lahir dibandingkan UUKPKPU.
Pada KUH Perdata berisi pasal-pasal umum mengenai suatu perbuatan perdata termasuk
utang-piutang. Oleh sebab KUH Perdata berisi pasal-pasal umum mengenai utang-piutang,
KUH Perdata belum mengatur mengenai teknis lebih lanjut, seperti proses beracara di
pengadilan, ketentuan pidana, dan lain-lain.

Sedangkan bertahun-tahun jauh sesudahnya lahirlah produk hukum sebagai pelengkap dari
aturan-aturan sebelumnya yaitu UUKPKPU. Disamping itu, bunyi pasal yang umum milik
pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata tetap diakui. Disinilah asas hukum lex specialis derogat
lex geleralis diterapkan. Buku III KUH Perdata (Pasal 1131 dan 1132) sebagai ketentuan
umum (lex generalis) dan UU KPKPU sebagai ketentuan khusus (lex specialis).

Pasal 1131 yang menyebut benda milik debitur, diatur lagi di UUKPKPU dengan berbagai
ketentuan. Misalnya Pasal 59 tentang membebaskan benda yang menjadi agunan, Pasal 61
tentang menahan harta debitur, Pasal 62 tentang benda yang menjadi harta bersama karena
ikatan perkawinan, Pasal 101 bahwa benda harus dimasukkan dalam pencatatan harta pailit,
Pasal 167 tentang pengembalian benda karena perdamaian, Pasal 185 (1) tentang benda
harus dijual dengan tata cara yang telah ditentukan, Pasal 185 (2) tentang harta yang tidak
dapat dibereskan, Pasal 189 (5) tentang hasil penjualan benda tidak mencukupi pembayaran
piutang, Pasal 191 tentang benda yang menjadi beban semua biaya kepailitan, Pasal 199
tentang benda yang mempunyai hak istimewa tertentu, dan lain sebagainya.

Disamping itu hubungan lain adalah, pada Pasal 1132 KUH Perdata tertulis bahwa barang
menjadi jaminan bersama semua kreditur dan barang itu dijual lalu di bagi menurut piutang
masing-masing. Lalu dijelaskan lagi dalam Pasal 33 UUKPKPU bahwa hasil penjualan
benda milik Debitur masuk ke dalam harta pailit.

Lalu pada Pasal 1132 KUH Perdata tertulis bahwa benda hasil penjualan Debitur pailit
dibagi menurut perbandingan piutang kecuali ada diantara mereka ada alasan yang kuat
untuk didahulukan. Diperkuat dengan Asas Keseimbangan dan Asas Keadilan pada
Penjelasan UUKPKPU dalam rangka mencegah kesewenang-wenangan Kurator dan
penyalahgunaan pranata oleh Kreditur.

7|HUKUM PERBANKAN
[HUKUM ACARA PERADILAN NIAGA] FAKUTAS HUKUM UNS

6. KESIMPULAN
Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengaturnya dalam Pasal 1131 dan 1132. Aturan
yang lebih khusus ada di UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Kepailitan dilatarbelakangi dengan adanya perjanjian utang-
piutang antara seseorang yang disebut Debitur dan mereka yang mempunyai dana yang
disebut Kreditur.

Akibat dari perjanjian tersebut lahir perikatan yang berupa hak dan kewajiban. Kewajiban
Debitur salah satunya mengembalikan uang yang dipinjamnya, sebagai suatu prestasi yang
harus dilakukan. Beberapa kasus, Debitur mengalami ketidakmampuan atau ketidakmauan
membayar sehingga pelunasan kepada Kreditur menjadi terhenti. Debitur yang tidak
melakukan pembayaran disebut wanprestasi.

Upaya yang dapat di tempuh terhadap wanprestasi yang dilakukan Debitur adalah mediasi
atau perdamaian, gugatan wanprestasi atau gugatan perdata, melalui Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), atau melalui pernyataan kepailitan. Penyelesaian masalah
utang-piutang dapat dilakukan berdasarkan aturan tertulis yang berlaku.

Hubungan antara Buku III KUH Perdata dengan UU KPKPU adalah Buku III KUH Perdata
sebagai ketentuan umum (lex generalis) dan UU KPKPU sebagai ketentuan khusus (lex
specialis). Selain itu bunyi pasal 1131 dan 1132 yang umum, dijelaskan secara rinci di
UUKPKPU.

7. DAFTAR PUSTAKA
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
3) https://www.erepublik.com/id/article/pengantar-hukum-kepailitan-2156084/1/20
(diakses pada Kamis, 21 September 2017 pukul 10:46 WIB)
4) http://etheses.uin-malang.ac.id/348/6/10220067%20Bab%202.pdf (diakses pada Kamis,
21 September 2017 pukul 17:33 WIB)
5) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26118/3/Chapter%2520II.pdf (diakses
pada Kamis, 21 September 2017 pukul 17:37 WIB)
6) https://mnfauzyblawg.wordpress.com/2013/02/22/actio-pauliana-sebagai-upaya-
terhadap-perlindungan-kreditor-dalam-kepailitan/ (diakses pada Kamis, 21 September
2017 pukul 19:14 WIB)

8|HUKUM PERBANKAN

Anda mungkin juga menyukai