Anda di halaman 1dari 33

Kajian Terhadap Sistem Pembuktian Sederhana Dengan Insolvency Test

Sebagai Syarat Pernyataan Pailit


Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat guna

menyelesaikan Program Sarjana (S1) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Disusun Oleh:

Nada Harlin Pratama

NIM.11010116130305

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2019

USULAN PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM

PROGRAM SARJANA STRATA 1


I. JUDUL PENULISAN HUKUM

“Kajian Terhadap Sistem Pembuktian Sederhana Dengan Insolvency Test

Sebagai Syarat Pernyataan Pailit”

II. PELAKSANAAN PENELITIAN

1. Nama Mahasiswa : Nada Harlin Pratama

2. Nomor Induk Mahasiswa : 11010116130305

3. Jumlah SKS : 140

4. IP Kumulatif : 3.55

5. Nilai Metodologi Penelitian Hukum :

III. DOSEN PEMBIMBING

Dosen Pembimbing I : Siti Mahmudah, S.H., M.H.

Dosen Pembimbing II : Sartika Nanda Lestari, S.H., M.H., LL.M.

IV. RUANG LINGKUP / BIDANG MINAT : Hukum Perdata


V. LATAR BELAKANG

Seiring perkembangan zaman, dinamika dalam perkembangan bisnis selalu


menarik untuk dibahas. Begitu pula dengan dinamika hukum kepailitan.
Permasalahan dalam kepailitan pun beragam seperti penetapan status pailit
perusahaan atau badan usaha, pelelangan aset hingga pemenuhan kewajiban
perusahaan pada para pekerja. Maka dari itu, dengan hadirnya berbagai
perkembangan dalam dunia bisnis yang mengakibatkan terjadinya dinamika dalam
kepailitan, diperlukan suatu kepastian hukum. Kepastian hukum sangat diperlukan
dalam kehidupan manusia disetiap interaksi antara sesama mereka.

Sebuah perusahan dalam mendirikan dan menjalankannya pasti memperoleh


modal dari pinjaman pihak ketiga yang dapat berupa bank, penanaman modal,
penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan. Dimana kegiatan
meminjam dana untuk modal dalam menjalankan usaha tersebut melahirkan
hubungan hukum antara perusahaan sebagai debitor dengan penyedia dana dalam
hal ini seperti bank dan lembaga pembiayaan lainnya. Debitor berkewajiban untuk
membayar utang-utangnya dan kreditor berhak untuk mendapatkan pembayaran atas
piutangnya. Pailit lahir dari keadaan dimana debitor berhenti membayarkan utang-
utangnya kepada kreditor yang telah jatuh tempo.

Dalam hal debitor hanya mempunyai satu kreditor saja, maka kreditor dapat
menggugat debitor apabila tidak mampu untuk membayar utangnya secara perdata
ke pengadilan negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber
pelunasan utang debitor tersebut. menjadi sebuah polemik apabila debitor
mempunyai lebih dari satu kreditor dan harta kekayaan debitor tersebut tidak
mencukupi dalam membayar seluruh utang-utangnya. Para kreditor akan berlomba-
lomba untuk menagihkan piutangnya apabila debitor sudah tidak mampu lagi untuk
membayarkan utang-utangnya untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih
dahulu. Berdasarkan hal tersebut, maka muncul kepailitan yang merupakan jalan
keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang
menghimpit debitor apabila tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya.
Kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan
prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan
(vermogensrechts).1 Prinsip paritas creditorium di Indonesia termuat dalam Pasal
1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya
perseorangan. Sedangkan prinsip pari passu prorate parte termuat dalam Pasal 1132
KUH Perdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu, menurut
besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu
ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kepailitan juga berarti pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan yang ada pada
Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Dalam perkembangannya, timbul berbagai permasalahan mengenai


penyelesaian utang piutang melalui kepailitan dalam masyarakat. Maka dari itu,
Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara
adil, cepat, terbuka, dan efektif diperlukan suatu perangkat hukum untuk
mengakomodir dan menyelesaikan permasalahan tersebut serta menciptakan suatu
kepastian hukum bagi penerapan kepailitan dalam masyarakat. Jika ditelusuri
berdasarkan sejarah pemberlakuan hukum kepailitan di Indonesia, Pengaturan
mengenai kepailitan di Indonesia telah ada sejak berlakunya Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) Buku III tentang Ketidakmampuan
Pedagang yang hanya berlaku bagi pedagang dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering Staatblads 1847-52 jo. 1849-63)
Buku III Bab VII tentang Keadaan Nyata-Nyata Tidak Mampu yang berlaku bagi
orang-orang bukan pedagang.2 Kemudian dua aturan kepailitan tersebut dicabut dan
diganti dengan Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements Verordening
Staatblads 1905 Nomor 217 jo. Staatblads 1906 Nomor 348) yang berlaku bagi

1
Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana, 2008. Hal.
3.
2
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 24.
semua orang, baik pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun
badan hukum. Setelah berlakunya Fv. S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348, Republik
Indonesia mampu membuat peraturan kepailitan sendiri meskipun masih tambal
sulam sifatnya, yakni sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan
produk hukum nasional dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU) No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
undang tentang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-Undang
No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi
dengan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban pembayaran Utang (UU KPKPU).3

Penyelesaian mengenai pembayaran utang piutang berdasarkan UU KPKPU


dapat diselesaikan melalui dua pilihan yaitu melalui pengadilan dan luar pengadilan.
Penyelesaian kepailitan melalui pengadilan merupakan pengadilan khusus yang
menangani mengenai perkara kepailitan yaitu pengadilan niaga. Sistem pembuktian
kepailitan berdasarkan UU KPKPU yang berlaku saat ini ialah menggunakan
pendekatan sistem pembuktian sederhana. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 2
ayat (1) UU KPKPU menjelaskan mengenai pembuktian kepailitan dengan
menggunakan asas Preasumption yaitu persangkaan terhadap insolvensinya harta
debitur. Adapun ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) tersebut antra lain:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Permohonan pailit tersebut harus dikabulkan oleh hakim apabila telah


memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 (1) UU KPKPU tersebut, yaitu mempunyai
dua atau lebih kreditor dan tidak membayaar hutangnyanya yang telah jatuh tempo.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU yang menyatakan bahwa
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan
yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Dimana apabila
3
Sri Rejeki Hartono, Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press, 2008, hal. 11.
pernyataan pailit tersebut telah diputuskan oleh hakim, maka akan berakibat
terhadap hilangnya kewenangan debitor pailit terhadap harta kekayaannya yang
termasuk dalam kepailitan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UU
KPKPU yang menyatakan bahwa “Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Harta kekayaan debitor selama
kepailitan serta yang diperoleh selama kepailitan yang menjadi harta pailit
merupakan sitaan umum (public attachment). Dalam Pasal 21 UU KPKPU
dikatakan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.

Akan tetapi dalam praktiknya, ternyata ketentuan mengenai pernyataan pailit


berdasarkan UU KPKPU tersebut menimbulkan beberapa permasalahan yang dapat
merugikan debitor karena mudahnya persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit
berdasarkan sistem pembuktian sederhana. Persyaratan yang dipandang terlalu
mudah untuk menyatakan pailit tersebut mengakibatkan dapat dipailitkannya debitor
walaupun dalam keadaan mampu secara finansial (solven). Hal tersebut akhirnya
dapat merugikan bagi debitor yang dalam keadaan solven, padahal sejatinya
pengaturan mengenai kepailitan dibuat untuk melindungi kepentingan seluruh pihak
baik kreditor maupun debitor.

Kondisi tersebut dapat dilihat dari kasus kepailitan yang terjadi pada PT.
Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) yang dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga
Jakarta pada tanggal 14 September tahun 2012.4 Permohonan pailit diajukan oleh PT
Prima Jaya Informatika (PJI) dikabulkan oleh majelis hakim walaupun menurut
pendapat pihak Telkomsel bahwa perusahaannya masih dalam keadaan solven.
Majelis hakim mengabulkan permohonan pailit tersebut, karena menurutnya telah
memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No 37 Tahun 2004. Syarat pertama pertama telah terpenuhi dengan adanya kreditor
lain yaitu PT Extent Media yang mencapai Rp 50 miliar, dimana fakta tersebut

4
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5052ed3be8cf3/telkomsel-dinyatakan-pailit, diakses
pada tanggal 3 Oktober 2019 Pukul 01.00 WIB.
disertakan oleh PJI dalam gugatannya. Adapun syarat yang kedua terpenuhi karena
Telkomsel tidak melaksanakan kewajibannya kepada PJI untuk menyediakan kartu
perdana dan voucher isi ulang yang akan dipasarkan oleh PJI.

Walaupun kasus kepailitan tersebut pada akhirnya dibatalkan oleh MA pada


tahap kasasi yaitu dalam putusan No. 704 K/Pdt.Sus/2012 5, untuk menghindari agar
tidak terulang lagi kasus yang sama maka munculah gagasan mengenai penerapan
insolvency test pada sistem pembuktian kepailitan di Indonesia dalam revisi UU
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pemberlakuan gagasan
insolvency test dalam revisi UU KPKPU, mengakibatkan kedudukan hakim menjadi
aktif dalam proses pembuktian kepailitan. Hal tersebut berimplikasi terhadap
perubahan klausula dalam Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU mengenai kewenangan
hakim yang semula ‘harus’ mengabulkan menjadi ‘dapat’ mengabulkan
permohonan pailit. Ketentuan ini turut dibahas oleh Tim Naskah Akademik Revisi
UU Kepailitan dan PKPU terkait perubahan kata ‘harus’ menjadi ‘dapat’
mengabulkan, sehingga hakim tak lagi dipaksa untuk mengabulkan permohonan
pernyataan pailit, melainkan diberi ruang diskresi untuk menguji bukti dari para
pihak.6

Namun menurut Ricardo, penerapan gagasan insolvency test sebagai syarat


permohonan pailit sangatlah sulit. Karena sistem hukum acara perdata Indonesia
kedudukan hakim bersifat pasif dan tidak berwenang melakukan pencarian bukti-
bukti.7 Hal tersebut juga dikuatkan oleh Elijana, hakim Pengadilan Niaga pada PN
Jakarta Pusat yang ikut menaruh perhatian pada undang-undang kepailitan
peninggalan Belanda. Menurut dia, Indonesia tak perlu meniru-niru praktek di
negara Anglo Saxon. Menurutnya, Indonesia menggunakan sistem Anglo-Saxon lain
yaitu penjabaran dalam Pasal 1131 BW, sehingga tidak perlu diadakan tes insolvensi
lagi. Karena kepailitan di Indonesia itu ialah mengenai hal dimana debitor tidak mau
5
F. R. P. Budiharto, Hendro Saptono, "Tanggung Jawab Kurator Setelah Adanya Putusan Mahkamah
Agung Yang Membatalkan Putusan Pailit (Studi Kasus Putusan Kepailitan PT Telkomsel)", Diponegoro
Law Journal, vol. 4, no. 4, pp. 8, Feb. 2016, hlm. 4.
6
Hamalatul Qur'ani, Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan
Sistem, diakses dari https://www.hukumonline.com/ pada tanggal 3 Oktober 2019 pukul 01.46 WIB.
7
Norman Edwin Elnizar, Gagasan Insolvency Test Tidak Relevan untuk Revisi UU Kepailitan, diakses dari
situs https://www.hukumonline.com/ pada tanggal 3 Oktober 2019 Pukul 01.07 WIB.
bayar utangnya, sedangkan di negara-negara Anglo-Saxon atau penganut Common
Law lainnya kepailitan ialah mengenai betul-betul pailitnya sebuah perusahaan.8

Lain halnya dengan Ricardo yang menolak gagasan tes insolvensi tersebut,
James Purba (Ketua AKPI tahun 2016-2019) justru setuju dengan perubahan
wewenang hakim wajib mengabulkan menjadi dapat mengabulkan permohonan
pailit pada pasal 8 ayat (4) UU UU 37/2004. 9 Menurutnya pada akhirnya, semua
tetap akan bergantung pada penilaian hakim. Pembuktian tersebut adalah judex facti
nya hakim untuk menentukan ini perkara sederhana atau tidak. Menurut James,
adapun dengan dilekatkannya kata ‘harus’ mengabulkan-pun tetap juga banyak yang
menolak permohonan hanya karena pendapat hakim tak bisa dikatakan sederhana.

Berdasarkan beberapa uraian diatas, maka penulis memutuskan untuk


mengkaji kedua sistem pembuktian kepailitan tersebut, sistem pembuktian melalui
insolvency test dengan sistem pembuktian sederhana sebagaimana yang telah
diterapkan saat ini. Dalam penulisan ini yang menjadi fokus utama pembahasan
ialah mengenai studi komparatif kedua sistem tersebut untuk mencari formulasi
ideal untuk menyelesaikan masalah-masalah kepailitan secara adil, cepat, terbuka,
dan efektif di Indonesia. Atas berbagai pertimbangan tersebut penulis memutuskan
untuk memberi judul penulisan skripsi ini dengan judul “Kajian Terhadap Sistem
Pembuktian Sederhana Dengan Insolvency Test Sebagai Syarat Pernyataan
Pailit”

VI. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat diangkat beberapa


permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut :

A. Bagaimana pengaturan mengenai sistem pembuktian sederhana yang


berlaku dalam UU Kepailitan dan PKPU saat ini dan penerapannya di
Indonesia?
8
Ibid.
9
Ibid
B. Bagaimana persyaratan dalam pemberlakuan sistem pembuktian kepailitan
melalui insolvency test dalam revisi UU KPKPU?

VII. TUJUAN PENELITIAN


Adapun tujuan dari penelitian dalam skripsi ini ialah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan dan
penerapan dari sistem pembuktian sederhana dalam proses
pembuktian kepailitan sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU
saat ini.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian proses pembuktian
kepailitan melalui Insolvency Test berdasarkan dalam revisi UU
KPKPU.

VIII. MANFAAT PENELITIAN


A. Secara Teoritis
Penelitian dan Penulisan Hukum ini dimaksudkan untuk memberikan
kontribusi atau masukan pemikiran bagi perkembangan bidang ilmu hukum,
terkhusus bidang hukum kepailitan dan penundaan pembayaran utang
mengenai sistem pembuktian yang ada dalam proses kepailitan di Indonesia.
B. Secara Praktis
Sebagai ilmu pengetahuan dan memberikan jawaban atas
permasalahan yang diteliti. Selain itu, penelitian ini diharapkan bukan hanya
bermanfaat bagi penulis melainkan diharapkan juga bermanfaat kepada:
a. Bagi pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan
masukan bagi pembentuk undang-undang dalam revisi terhadap
undang-undang kepailitan dan pkpu.
b. Bagi praktisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan suatu
gambaran daripada kehendak undang-undang mengenai sistem
pembuktian yang sesuai dengan konsep kepailitan di Indonesia;
dan
c. Bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
pengetahauan mengenai permasalahan dan penyelesaian proses
kepailitan di Indonesia sesuai dengan sistem kepailitan yang
berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait.

IX. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan penelitian ini akan disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:


BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini adalah bagian pembuka yang akan memaparkan tentang latar
belakang, pokok permasalahan, selain itu juga akan membahas tujuan dari
penelitian serta manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan diuraikan tentang tinjauan pustaka yang pada intinya
merupakan landasan teoritis untuk menganalisis masalah yang disajikan. Bab
ini pada intinya berisi kerangka pemikiran atau teori-teori yang berkaitan
dengan pokok permasalahan yang diteliti, akan tetapi bukan merupakan
pembahasan terhadap masalah yang dirumuskan dalam bab pendahuluan.
BAB III: METODE PENELITIAN
Pada bab ini disajikan secara sederhana langkah-langkah penelitian yang
dilakukan.
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas hasil penelitian dan analisisnya mengenai studi
komparatif atau perbandingan antara dua sistem pembuktian kepailitan yaitu
sistem pembuktian sederhana dengan Insolvency Test berdasarkan penerapan
dan praktik dalam proses penyelesaian kepailitan di Indonesia serta dalam
naskah akademik revisi UU Kepailitan dan PKPU.
BAB V: PENUTUP

Pada bab ini terbagi dalam dua sub bagian, yaitu kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan intisari hasil penelitian dan pembahasan, dimana dari
kesimpulan tersebut diarahkan dan disusun menurut urutan permasalahan.
Dalam saran akan diberikan rekomendasi serta perbaikan sebagai upaya yang
dapat ditempuh atau tindak lanjut dari penelitian yang dimaksud.
X. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Kepailitan

1. Defenisi Kepailitan
Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. Kepailitan secara
tata bahasa bermakna segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Dalam
bahasa Indonesia pailit diartikan bangkrut. Pailit adalah suatu keadaan
dimana seorangdebitor tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih.10 Istilah pailit itu sendiri berawal dari kata Belanda
yaitu failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan
sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite
yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. 11 Pada negara yang
berbahasa Inggris pailit dan kepailitan menggunakan istilah bankrupt dan
bankruptcy. Pailit adalah suatu keadaan dimana seorang Debitor tidak
membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.12
Defenisi kepailitan menurut Black’s Law Dictionary adalah:
“Bankrupt is the state or condition of a person (individual,
partnership, corporate, municipality) who its unable to pay its depts
as they are, or become due. The term includes a person againts whom
an involuntary petition has been filed, who has filed a voluntary
petition, or who has been adjudged a bankrupt.”

Berdasarkan defenisi oleh Black’s Law Dictionary, dapat disimpulkan


bahwa kepailitan adalah suatu kondisi dimana debitor sudah tidak mampu
lagi untuk membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo kepada
kreditor. Kondisi ketidakmampuan tersebut harus diikuti dengan tindakan
untuk mengajukan, baik oleh debitor itu sendiri maupun oleh pihak ketiga
(selain debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan.
Sedangkan Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, pailit adalah keadaan
seorang debitor apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya.
10
Zaeny Asyhadie, 2005, Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 225.
11
Victor Situmorang & Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
hlm. 18.
12
Zaeny Asyhadie, Op. cit.
Suatu keadaan yang menghendaki campur tangan Majelis Hakim guna
menjamin kepentingan bersama dari para kreditornya. 13 Munir Fuady juga
memberikan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan pailit atau
bankrut yaitu suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar tercapainya
perdamaian antara para kreditor dengan debitor atau agar harta debitor dapat
dibagi-bagi secara adil kepada para kreditor. 14 Sedangkan menurut H.M.N.
Puwosutjipto, berpendapat bahwa kepailitan adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan peristiwa pailit. Pailit adalah keadaan berhenti
membayar (utang-utangnya).15
Menurut Pasal 1 angka (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini. Dimana kepailitan tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1)
UU No. 37 Tahun 2004 mengenai pembuktian kepailitan dengan
menggunakan asas Preasumption yaitu persangkaan terhadap insolvensinya
harta debitur. Adapun ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) tersebut antra lain:
(1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik
atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih kreditornya.

(2) Permohonan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk


kepentingan umum.

Berdasarkan berbagai defenisi tersebut maka dapat disimpulkan


bahwa kepailitan adalah suatu kondisi dimana perusahaan atau debitor
berhenti membayar hutangnya kepada kreditornya, dimana dinyatakan pailit
oleh pengadilan niaga atas permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor
maupun debitor itu sendiri. Pengadilan menunjuk kurator untuk melakukan

13
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
14
Munir Fuady, 2002, Hukum Pailit, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 8.
15
H.M.N. Puwosutjipto,1978, Pengertian dan Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan,
Jakarta, hal. 28.
pengurusan dan/atau pemberesan terhadap harta debitor pailit, setelah
dikeluarkannya putusan pailit atas permohonan pailit tersebut. Kemudian
Kurator membagikan harta debitor pailit kepada para kreditor sesuai dengan
piutangnya masing-masing.

2. Prinsip Kepailitan

Mengenai kepailitan, terdapat beberapa prinsip dasar penerapan


kepailitan yang harus diketahui dalam mempelajari mengenai hukum
kepailitan. Adapun prinsip-prinsip tersebut terdiri dari prinsip paritas
creditorium, prinsip pari passu prorate parte, prinsip debt collection,
prinsip debt forgiveness, prinsip corporate rescue, prinsip commercial exit
from financial distress.

prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte


merupakan salah satu prinsip utama penyelesaian utang dari debitor
terhadap para kreditornya. Prinsip paritas creditorium adalah bahwa semua
kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak
bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-
barang dikemudian hari akan dimiliki debitor terikat pada penyelesaian
kewajiban debitor.16 Prinsip tersebut dianut dalam sistem hukum perdata di
Indonesia, yaitu Pasal 1131 KUH Perdata yang mengatakan bahwa bahwa
segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.
Sedangkan prinsip pari passu prorate parte merupakan bahwa harta
kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan
hasilnya harus dibagikan secara proporsional anata mereka, kecuali apabila
antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan
dalam menerima pembayaran tagihannya.17 Prinsip tersebut termuat dalam

16
Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, dalam Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:
Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana, hal. 27.
17
Ibid. hal. 29.
Pasal 1132 KUH Perdata bahwa bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu,
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara
para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Menurut Kartini Mulyadi sebagaimana dikutip oleh Hadi Shubhan,


bahwa rumusan dlaam Pasal 1131 KUH Perdata menunjukkan bahwa setiap
tindakan yang dilakukan seseorang dalam lapangan harta kekayaan selalu
akan membawa akibat terhadap harta kekayaannya, baik yang bersifat
menambah jumlah harta kekayaannya (kredit), maupun yang nantinya akan
mengurangi harta kekayaannya (debit). Demikianlah harta kekayaan setiap
orang akan selalu berada dalam keadaan yang dinamis dan selalu berubah-
rubah dari waktu ke waktu. setiap perjanjian dibuat maupun perikatan yang
terjadi dapat mengakibatkan harta kekayaan seseorang bertambah atau
berkurang.18

Kemudian prinsip debt collection adalah prinsip yang menekankan


bahwa utang debitor harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitor
tersebut sesegera mungkin dalam rangka menghindari itikad tidak baik dari
debitor dengan cara menyembunyikan atau menyalahgunakan segenap harta
benda miliknya yang sesungguhnya merupakan jaminan umum bagi
perlunasan utang-utangnya19. Adapum penerapan dari prinsip ini dalam
lembaga kepailitan adalah dengan adanya ketentuan-ketentuan untuk
melakukan pemberesan aset dengan jalan likuidasi cepat dan pasti, prinsip
pembuktian sederhana, diterapkannya putusan pengadilan secara serta merta
(uitvoerbaar bij voorraad), adanya ketentuan masa tunggu bagi pemegang
jaminan kebendaaan, dan adanya pihak ketiga yang independen untuk
melaksanakan dan mengawasi jalannya pengurusan dan pemberesan harta

18
Ibid. hal. 5.
19
M Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, cet I, (Jakarta: Kencana,
2008), hal. 41.
pailit20. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
prinsip ini bertujuan untuk melindungi kreditor dari adanya itikad buruk
debitor.

Selanjutnya ialah pengertian prinsip debt forgiveness, bahwa


kepailitan tidak hanya identik sebagai suatu instrumen yang digunakan
dalam pemaksaan atau penekanan terhadap debitor, melainkan bisa
bermakna sebaliknya, yaitu menjadi suatu alat yang dapat digunakan untuk
memperingan beban yang harus ditanggung oleh debitor sebagai akibat
kesulitan keuangan yang dideritanya sehingga ia tidak mampu untuk
melunasi utang-utangnya sesuai kesepakatan semula21. Penerapan dari
prinsip ini ialah penghapusan sisa utang debitor yang tidak terbayarkan
dalam hal setelah dilakukan pemberesan harta pailit ternyata masih ada
utang yang belum terbayarkan (discharge of indebtedness)22. Selain itu,
Implementasi lain dari prinsip ini adalah pengecualian beberapa harta
debitor pailit dari boedel pailit (assets exemption), tidak dipenjara
karena gagal membayar utang (suspension of payment) atau di Indonesia
lazim disebut sebagai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).23

Berdasarkan prinsip tersebut, maka debitor diberi kesempatan untuk


dapat memulai usahanya yang baru, tanpa dibebani utang-utangnya, sebab
prinsip ini dapat menghapuskan utang-utang debitor yang tidak terbayarkan
dalam hal seluruh harta kekayaannya tidak cukup untuk melunasi seluruh
utang-utangnya. Penghapusan utang-utang debitor tersebut, sehingga debitor
pailit a priori berkesempatan untuk memulai usaha baru tanpa dibebani oleh
utang-utang lama, juga dikenal dengan konsep fresh-starting di Amerika
Serikat24.

20
Ibid
21
Ibid
22
Ibid
23
Ibid, hal. 156.
24
Ibid.
Kemudian ialah prinsip corporate rescue. Menurut Tri Harnowo,
prinsip ini memiliki pengertian bahwa lembaga kepailitan sebenarnya juga
dibutuhkan oleh dunia bisnis untuk menyeleksi usaha yang tidak efisien. 25
Perusahaan yang tidak efisien hanya akan berdampak tidak baik bagi
perekonomian karena akan menjadi beban bagi sistem ekonomi itu sendiri.
Sedangkan Perusahaan yang efisien mampu untuk mengelola harta
kekayaannya secara efektif dan optimal serta tidak akan melakukan
pinjaman secara sembarangan tanpa perhitungan ekonomis yang matang dan
akan selalu menggunakan pinjaman yang diperolehnya secara efektif sesuai
dengan peruntukannya.
Berkaitan dengan prinsip ini, Douglas G. Baird mengejawantahkannya
sebagai berikut:26

“This view of bankruptcy law is needed to suffer from an


obvious difficulty: it may be impossible to discover what course
best advances society’s interest at large. Even if one wants to
save jobs, it doesn’t follow that allowing a bad restaurant to
fold reduces the number of jobs in the economy. The hardware
store that replaced the restaurant, in fact, might hire more
people. The person who bought the restaurant equipment
might open another restaurant in a different city, become very
successful, and need to hire more workers than the owner of the
bad restaurant.”

Pendapat dari Douglas tersebut pada intinya adalah penjelasan


mengenai kegunaan dari hukum kepailitan yang diilustrasikan dengan suatu
upaya untuk mengurangi angka pengangguran tidak serta merta tetap
dengan membiarkan restoran yang buruk menjalankan usahanya.
Menurutnya suatu perekonomian yang kuat, tidak akan membiarkan
25
Randi Ikhlas Sardoni, Instrumen Insolvensi Tes Pada Perkara Kepailitan Di Indonesia, Skripsi
Universitas Indonesia, 2011, hal.
26
Douglas H. Barid, “A World Without Bankcruptcy”, dalam Corporate Bankruptcy Economic and Legal
Perspective, edited by Jagdeep S. Bhandari and Lawrence A. Weiss, (New York: Cambridge University
Press, 1996), hal. 33.
perusahaan yang tidak efisien untuk tetap beroperasi, karena pada akhirnya
perusahaan yang demikian justru akan menjadi beban bagi perekonomian itu
sendiri, padahal perekonomian yang kuat harus didukung dan dibentuk oleh
kesatuan usaha yang efisien.

Terakhir ialah prinsip commercial exit from financial distress. Pada


dasarnya prinsip tersebut mempunyai dua pengertian. Pertama, prinsip
commercial exit from financial distress merupakan suatu jalan keluar yang
bersifat komersial bagi debitor yang terhimpit masalah utang, dimana
debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar
utang-utangnya kepada para para kreditor yang bersangkutan. Dengan
demikian, ketika keadaan tidak mampu dari debitor itu disadari oleh
kreditornya, maka debitor tersebut dapat mengajukan permohonan
penetapan pailit atas dirinya sendiri (voluntary petition forself bankruptcy),
atau penetapan status debitor menjadi dalam keadaan pailit juga dapat
dimohonkan oleh kreditornya sendiri apabila dapat dibuktikan bahwa
debitor telah memenuhi syarat-syarat untuk dinyatakan pailit.27

Pengertian kedua memberi makna bahwa dengan adanya prinsip


commercial exit from financial distress di dalamnya, lembaga kepailitan
juga dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah debitor yang
sedang mengalami kesulitan likuiditas yang menimpanya. 28 Solusi tersebut
di implementasikan ke dalam sarana Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) di dalam lembaga kepailitan sebagai jalan untuk
merestrukturisasi utang-utang debitor yang telah jatuh tempo. Jadi dalam hal
ini lembaga kepailitan benar- benar bisa digunakan sebagai suatu solusi bagi
debitor yang mengalami kesulitan keuangan, bukannya justru menjadi
sarana yang digunakan untuk memailitkan debitor yang sedang mengalami
pertumbuhan positif atau sedang dalam keadaan puncak.29 Demikian pula
dengan kemudahan untuk memailitkan suatu debitor sesunggunya sangat
27
Shubhan, op. cit ., hal. 2-3.
28
Ibid. hal. 64.
29
Ibid. hal. 59.
sejalan dengan prinsip ini yang pertama, yaitu sebagai alat penetapan pailit
bagi debitor yang benar-benar dalam keadaan insolven.30

3. Tujuan dan Fungsi Kepailitan


Menurut Louis E. Levinthal dalam bukunya The Early History of
Bankrupcty Law, bahwa tujuan utama dari dari hukum kepailitan
digambarkan sebagai berikut:
“All bankruptcy law, however, no matter when or where devised
and enacted, has at least two general objects in view, It aims first,
to secure an equitable division of the insolvent debtor’s property
among all his creditors, and in the second place, to prevent on the
part of the insolvent debtor conduct detrimental to the interest of
his creditors. In other words, bankruptcy law seek to protect the
creditors, first, from one another and, secondly, from their debtor.
A third object, is ought to be attained in some of the systems of
bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the
law.”

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa


tujuannya adalah sebagai berikut:
1. Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan
debitor di antara para kreditornya;
2. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang dapat merugikan kepentingan para kreditor;
3. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik
dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan
utang.
Menurut Profesor Radin dalam bukunya The Nature Of Bankruptcy
sebagaimana dikutip oleh Jordan bahwa tujuan adanya undang-undang
kepailitan adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memiliah
hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset debitor yang tidak cukup
nilainya (debt collection system).
Secara umum, berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan

30
Ibid. hal. 37.
bahwa tujuan dari hukum kepailitan ialah sebagai berikut:31
1. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak
mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan. Semua
harta kekayaan debitor baik yang bergerak, yang telah ada,
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan
bagi perikatan debitor, yaitu dengan cara memberikan fasilitas
dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-
tagihannya terhadap debitor. Menurut hukum Indonesia, asas
jaminan tersebut dijamin oleh pasal 1131 KUHPerdata. Hukum
kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara para
kreditor terhadap harta debitor berkenaan dengan asas jaminan
tersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan, maka akan
terjadi kreditor yang lebih kuat mendapatkan bagian yang lebih
banyak daripada kreditor yang lemah;
2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara
para kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara
proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor
konkuren berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-
masing). Di dalam hukum Indonesia, asas pari parsu dijamin
oleh pasal 1132 KUHPerdata;
3. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. Dengan
dinyatakan pailit, maka debitor tidak lagi memiliki kewenangan
untuk mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya;
4. Hukum kepailitan Amerika Serikat memberikan perlindungan
kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya,
dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum
kepailitan Amerika, seorang debitor perorangan (individual
debtor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya
tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta
kekayaannya. Sekali pun nilai harta kekayaannya setelah
31
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 29-30.
likuidasi atau dijual oleh likuidator tidak cukup untuk melunasi
seluruh utang-utangnya kepada para kreditornya, debitor
tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang
tersebut;
5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah
mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang
buruk, sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan
dinyatakan pailit oleh pengadilan;
6. Memberikan kesempatan kepada debitor dan para kreditornya
untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai
rekstrukturisasi utang- utang debitor.

Adapun fungsi dari adanya hukum kepailitan, menurut Prof. Sutan


Remy ialah sebagai berikut:32
1. Mengatur cara membagi hasil penjualan harta kekayaan
debitor untuk melunasi piutang-piutang dari masing-masing
kreditor berdasarkan tingkat prioritasnya;
2. Menentukan oleh siapa pembagian harta penjualan kekayaan
debitor itu dilakukan dan bagaimana cara melakukannya;
3. Mengatur bagaimana tata cara agar seorang debitor dapat
dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga;
4. Menentukan kebenaran, sahnya, dan jumlah yang pasti
mengenai adanya (eksistensi) suatu piutang (tagihan) seorang
kreditor;

5. Menentukan tata cara pencocokan atau verifikasi piutang-


piutang para kreditor terhadap debitornya;

6. Mengatur mengenai upaya perdamaian yang dapat ditempuh


oleh para debitor dan kreditornya, baik sebelum debitor

32
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal.
dinyatakan pailit atau setelahnya.

B. Tinjauan Umum Keadaan Tidak Mampu Bayar Hutang (Insolvensi)

1. Pengertian Insolvensi
Keadaan tidak mampu membayar hutang atau insolvensi tidak
didefinisikan dan dijelaskan secara tegas dalam Undang-undang Kepailitan.
Menurut Prof. Munir Fuady mengartikan insolvensi kedalam dua poin,
yaitu:33
1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika
jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis, atau

2. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu


tertentu.
Selain itu, Prof. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa seorang
debitor berada dalam keadaan insolven adalah apabila debitor itu tidak
mampu secara finansial membayar sebagian besar utang-utangnya atau nilai
aktiva atau asetnya kurang dari nilai pasiva atau liabilities-nya.34 Dalam
Dictionary of Business Terms, insolvency diartikan sebagai:35
1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika
jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis; atau
2. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu
tertentu.

Sedangkan insolven dalam kamus hukum diartikan sebagai keadaan


dimana seorang tak mampu bayar hutang.36 Istilah hukum insolvensi
menurut J.B. Huizink merujuk pada suatu kumpulan dari aturan-aturan

33
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi disesuaikan dengan
UU Nomor 37 Tahun 2004), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 289.
34
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 63.
35
Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms (New York, USA: Barron’s Educational Series Inc, 1987).
289.
36
Subekti dan Tjitrosoedibyo, op.cit., hal. 59.
yang mengatur hubungan debitor (yang berada dalam kesulitan pembayaran
akibat ketidakmampuan finansial) dengan para kreditornya. Hukum
insolvensi tidak termasuk dalam hukum publik, tetapi merupakan bagian
dari hukum privat dan juga hukum insolvensi memiliki sifat hukum-
kekayaan yang kental.37

Insovensi jika ditelaah berdasarkan perkembangan hukum kepailitan,


dasar insolvensi menurut faillissmentsverodening diartikan sebagai keadaan
“berhenti membayar”, terdapat pada Pasal 1 ayat (1). Tidak ada
pertimbangan oleh hakim bahwa debitor baru sekali atau dua kali tidak
membayar hutangnya yang telah jatuh tempo dapat dinyatakan pailit.
Menurut Tirtaatmidjaja, bahwa debitor yang baru sekali saja menolak
pembayaran maka hal itu belumlah merupakan keadaan berhenti
membayar.38

Sedangkan dasar insolvensi menurut UU No. 4 Tahun 1998 diartikan


sebagai keadaan “tidak membayar”, tertuang dalam Pasal 1 angka (1). Dasar
insolvensi diartikan sebagai “tidak membayar”, Prajoto mengartikan
sebagai39 : menolak untuk membayar; cidera janji atau wanprestasi; keadaan
tidak membayar tidak sama dengan keadaan kekayaan debitor tidak cukup
untuk melunasi seluruh utangnya; tidak diharuskan debitor memiliki
kemampuan untuk membayar (onvermogen) dan memikul seluruh utangnya;
atau istilah tidak membayar harus diartikan sebagai naar de letter, yaitu
debitor pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali
berhenti membayar utangnya.

Selanjutnya insolvensi menurut UU No. 37 Tahun 2004 diartikan


sebagai keadaan “tidak membayar lunas”, tertuang dalam Pasal 2 ayat (1).
Keadaan tidak membayar lunas diartikan sebagai sudah membayar sekali,
37
Huizink, Insolventie, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2004), hal. 21.
38
M. H. Tirtaatmidjaja, Pokok-Pokok Hukum Perniagaan, Jakarta: Djambatan, 1970, hlm. 128.
39
Pradjoto, “RUU Kepailitan ditinjau dari aspek Perbankan”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar
Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT, Jakarta, 27-2 Juli 1999, hlm. 5.
dua kali, dan seterusnya tetapi tidak seluruhnya, atau debitor sudah
membayar pokoknya tetapi belum membayar bunganya.

2. Tahapan Insolvensi
Untuk masuk ke dalam tahap insolvensi ada dua kemungkinan
yaitu40 :
1) setelah dinyatakan pailit. Keadaan insolvensi terjadi dengan sendirinya
tanpa putusan hakim apabila dalam rapat pencocokan utang tidak
ditawarkan accord, atau ada accord tetapi tidak disetujui oleh rapat
verifikasi, atau ada accord yang sudah disetujui tetapi tidak mendapat
homologasi dari hakim pemitus kepailitan, atau ada accord yang sudah
dihomologasi, tetapi ditolak oleh hakim banding; dan

2) melalui PKPU. Apabila, dalam waktu 270 hari setelah putusan


pembayaran sementara diucapkan rencana perdamaian tersebut tidak
diterima oleh para kreditor, atau perdamaian tersebut tidak disahkan
oleh pengadilan niaga, atau tidak ada persetujuan apapun yang telah
dicapai, hakim pengawas akan memberitahukan pengadilan niaga
kemudian harus menyatakan debitor pailit. Dalam keadaan inilah
debitor masuk fase insolvensi.

3. Akibat Insolvensi

Undang-undang Kepailitan harus memberikan perlindungan yang


seimbang antara kreditor, debitor, dan stakeholder. Undang-undang
kepailitan mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditor dengan
memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang
tidak dapat dibayar.41 Namun, di sisi lain hukum kepailitan seharusnya juga

40
SUNARMI, Sunarmi, et al. INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA (Studi Putusan No.
48/Pailit/2012/Pn. Niaga. Jkt. Pst Antara PT. Telekomunikasi Selular Vs PT. Primajaya Informatika). Fiat
Justisia, 2015, 8.2.
41
Erman Radjagukuguk. Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan, di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang..., Op.Cit. hlm. 181.
dapat melindungi debitor yang beritikad baik untuk membayar utangnya.
Perlindungan terhadap stakeholders mempunyai suatu tujuan imperatif,
yaitu bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan
stakeholders dijamin, diperhatikan, dan dihargai dalam suatu kegiatan
bisnis. Sebabnya, berbagai pihak tersebut dipengaruhi dan dapat
mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis.42
Dalam UU KPKPU, sama sekali tidak dipersyaratkan bahwa debitur
telah dalam keadaan insolven untuk agar seorang debitur dapat dimohonkan
untuk dipailitkan. Seorang debitur berada dalam keadaan insolven adalah
apabila debitur tersebut tidak mampu secara finansial membayar sebagian
besar utang-utangnya atau nilai aktiva atau asetnya kurang dari pasiva atau
liabilities-nya. Pailit sendiri sebagai kegagalan diartikan dalam beberapa arti
yaitu kegagalan ekonomi (economic failure) dan kegagalan keuangan
(financial failure).43 Kegagalan dalam arti ekonomi biasanya berarti bahwa
perusahaan ini berarti tingkat labanya sendiri lebih kecil dari kewajiban.
Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh di
bawah arus kas yang diharapkan. Kegagalan keuangan ini bisa diartikan
sebagai keadaan insolvensi yaitu dalam ukuran sebagai kekayaan bersih
negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang
diharapkan lebih kecil dari kewajiban.

Di Indonesia Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak


mensyaratkan agar debitur benar-benar dalam keadaan insolven untuk
menjadi persyaratan agar debitur benar-benar dalam keadaan insolven untuk
menjadi persyaratan agar debitur tersebut dapat diputuskan pailit. Tidak
diterapkannya suatu syarat insolven menyebabkan banyaknya perusahaan di
Indonesia bangkrut secara hukum, padahal mungkin perusahaan tersebut
masih tergolong dalam kategori perusahaan yang solven yang mampu
membayar utang-utangnya dengan baik.
42
A Sony Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 89, dalam Siti
Anisah (Ed), Op.cit, hlm. 35.
43
Adnan Muhammad Akhyar dan Eha Kurniasih, Analisis Tingkat Kesehatan Perusahaan Untuk
memprediksi Potensi Kebangkrutan Dengan pendekatan Altman (Kasus Pada Sepuluh Perusahaan di
Indonesia, Jurnal Akuntansi & Auditing Indonesia, 2000), hlm. 137.
XI. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Pendekatan
Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis

normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-

kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.44 Yuridis Normatif, yaitu

pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang

hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh

lembaga atau pejabat yang berwenang. Penelitian ini menggunakan pendekatan

perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan

digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum khususnya

penerapan hukum kepailitan.

B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif-analitis. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan
untuk melukiskan (menggambarkan) ssesuatu permasalahan di daerah tertentu. 45
Penelitian tersebut dilakukan untuk mengungkapkan fakta selengkap-lengkapnya
dan apa adanya. Menurut Sugiyono, metode deskriptif adalah metode yang
digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi
tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.46
Spesifikasi penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secraa
sistemik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai
bidang tertentu. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif
sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat
prediksi, maupun mempelajari implikasi.47
44
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016, hlM. 154.
45
Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori dan Praktik, Depok:
Rajawali Pers, 2018, hal. 133.
46
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta, 2010, hal. 21.
47
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hal. 7
C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data kualitatif, yaitu
data yang tidak berbentuk angka yang dapat diperoleh dari rekaman,
pengamatan, wawancara atau bahan tertulis (UU, dokumen, buku-buku, dan
sebagainya) yang berupa ungkapan-ungkapan verbal. Jenis sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder. Data sekunder adalah data
yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya (objek penelitian), tetapi
melalui sumber lain.48 Data yang didapatkan ialah data yang sudah jadi yang
dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode baik secara
komersial maupun non komersial. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh
dari bahan-bahan hukum berupa buku-buku literatur, peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, majalah ilmiah, jurnal dan laporan penelitian
serta kamus. Lebih lanjut mengenai bahan-bahan hukum tersebut mencakup tiga
bagian, yaitu:49

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer, merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat


sifatnya dan mempunyai otoritas yang terdiri dari:

a. Peraturan perundang-undangan, yang meliputi:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 (UUD NRI 1945);

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); dan

48
Suteki, Op. Cit., hal. 215.
49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 12.
3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-
Undang Kepailitan dan PKPU); dan

4) Peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki


relevansi dengan penelitian ini.

b. Putusan Pengadilan, yang meliputi:

1) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta


Pusat Nomor 48/PAILIT/2012/PN tertanggal 14 September
2012.

2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 704 K/Pdt.Sus/2012


tertanggal 21 November 2012.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai


bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk


maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder; contohnya
adalah kamus dan internet, ensiklopedia dan indeks kumulatif.

D. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka,
yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran dan
menelaah bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin
ilmiah, jurnal ilmiah dsb).

E. Teknik Analisis Data

Seluruh data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan
menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif yaitu metode yang
menganalisis terhadap data kualitatif yaitu data-data yang terdiri dari rangkaian
kata-kata.50 Data yang telah terkumpul tersebut, kemudian diuraikan dan
dihubungkan antara data yang satu dengan data yang lainnya secara sistematis,
pada akhirnya disusun atau disajikan dalam bentuk penulisan hukum.

F. Teknik Penyajian Hasil

Hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk uraian naratif. Sajian


data/bahan hukum lebih bersifat deskriptif-analitis. Sajian dalam bentuk narasi
ini diharapkan mampu mengelaborasi seluruh ralitas normatif yang terkait
dengan syarat pernyataan kepailitan dengan menggunakan sistem pembuktian
sederhana dan insolvency test di Indonesia. Tabel-tabel yang ada dalam laporan
penelitian ini bukan dimaksudkan untuk analisis kuantitatif, melainkan hanya
sebagai data pendukung terhadap data/bahan hukum sekunder yang ditemukan.

50
Ibid, hlm. 7.
XII. JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN

AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER

Persiapan

Pengumpulan

Data

Penyusunan

Laporan

Uji Penulisan

Hukum
XIII. DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

A. Buku dan Jurnal

Astofa Burhan. 2001. Metode penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

Asyhadie Zaeny. 2005. Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Azwar Saifuddin. 2003. Metode Penelitian. cet. Ke-4. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Barid Douglas H. 1996. “A World Without Bankcruptcy”, dalam Corporate


Bankruptcy Economic and Legal Perspective, edited by Jagdeep S.
Bhandari and Lawrence A. Weiss. New York: Cambridge University
Press.

Dewi Rusmy Mustari, Teddy Anggoro, dan Myra R. Budi Setiawan, Tinjauan
Yuridis Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan (Studi Kasus Kepailitan PT.
Telekomunikasi Selular dan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia),
Fakultas Hukum Indonesia, 2013.

Friedman Jack P. 1987. Dictionary of Business Terms. New York, USA:


Barron’s Educational Series Inc.

F. R. P. Budiharto, Hendro Saptono, "Tanggung Jawab Kurator Setelah Adanya


Putusan Mahkamah Agung Yang Membatalkan Putusan Pailit (Studi
Kasus Putusan Kepailitan PT Telkomsel)", Diponegoro Law Journal, vol.
4, no. 4, pp. 8, Feb. 2016.
Fuady Munir. 2002. Hukum Pailit, Bandung: Citra Aditya Bakti.

__________. 2005. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi
disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004). Bandung: Citra Aditya
Bakti.

Hartono Sri Rejeki. 2008. Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press.

Huizink. 2004. Insolventie. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.

Ibrahim Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.


Malang: Bayumedia Publishing.

Puwosutjipto H.M.N. 1978. Pengertian dan Pokok-Pokok Hukum Dagang


Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Shubhan M Hadi. 2008. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di


Peradilan. Jakarta: Kencana.

Situmorang Victor & Soekarso. 1994. Pengantar Hukum Kepailitan di


Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sjahdeini Sutan Remy. 2009. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang


No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri. 2011. Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Subekti R. dan R. Tjitrosudibio. 1973. Kamus Hukum. Jakarta: Pradnya


Paramita.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Sunarmi, et al. INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN DI


INDONESIA (Studi Putusan No. 48/Pailit/2012/Pn. Niaga. Jkt. Pst
Antara PT. Telekomunikasi Selular Vs PT. Primajaya Informatika). Fiat
Justisia, 2015, 8.2.

Sutedi Adrian, 2009. Hukum Kepailitan, Bogor: Ghalia Indonesia.

Sutedi Adrian. 2007. Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang,


Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika.

Suteki dan Taufani Galang. 2018. Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori
dan Praktik, Depok: Rajawali Pers.

Tirtaatmidjaja M. H. 1970. Pokok-Pokok Hukum Perniagaan. Jakarta:


Djambatan.

B. Peraturan Perundang-undangan
1) Faillisements verordening

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang

C. Skripsi dan Makalah


Randi Ikhlas Sardoni, 2011, Instrumen Insolvensi Tes Pada Perkara Kepailitan
Di Indonesia, (Skripsi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia).

Pradjoto, “RUU Kepailitan ditinjau dari aspek Perbankan”, Makalah yang


disampaikan dalam Seminar Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh
BPHN dan ELLIPS PROJECT, Jakarta, 27-2 Juli 1999, hlm. 5

D. Internet
Norman Edwin Elnizar, Gagasan Insolvency Test Tidak Relevan untuk Revisi
UU Kepailitan, diakses dari situs https://www.hukumonline.com/ pada
tanggal 3 Oktober 2019 Pukul 01.07 WIB.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5052ed3be8cf3/telkomsel-
dinyatakan-pailit, diakses pada tanggal 3 Oktober 2019 Pukul 01.00
WIB.

Hamalatul Qur'ani, Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU


Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem, diakses dari
https://www.hukumonline.com/ pada tanggal 3 Oktober 2019 pukul
01.46 WIB.

Anda mungkin juga menyukai