Disusun Oleh:
NIM.11010116130305
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
4. IP Kumulatif : 3.55
Dalam hal debitor hanya mempunyai satu kreditor saja, maka kreditor dapat
menggugat debitor apabila tidak mampu untuk membayar utangnya secara perdata
ke pengadilan negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber
pelunasan utang debitor tersebut. menjadi sebuah polemik apabila debitor
mempunyai lebih dari satu kreditor dan harta kekayaan debitor tersebut tidak
mencukupi dalam membayar seluruh utang-utangnya. Para kreditor akan berlomba-
lomba untuk menagihkan piutangnya apabila debitor sudah tidak mampu lagi untuk
membayarkan utang-utangnya untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih
dahulu. Berdasarkan hal tersebut, maka muncul kepailitan yang merupakan jalan
keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang
menghimpit debitor apabila tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya.
Kepailitan adalah pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan
prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan
(vermogensrechts).1 Prinsip paritas creditorium di Indonesia termuat dalam Pasal
1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya
perseorangan. Sedangkan prinsip pari passu prorate parte termuat dalam Pasal 1132
KUH Perdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu, menurut
besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu
ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kepailitan juga berarti pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan yang ada pada
Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
1
Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana, 2008. Hal.
3.
2
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 24.
semua orang, baik pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun
badan hukum. Setelah berlakunya Fv. S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348, Republik
Indonesia mampu membuat peraturan kepailitan sendiri meskipun masih tambal
sulam sifatnya, yakni sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan
produk hukum nasional dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU) No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
undang tentang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-Undang
No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi
dengan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban pembayaran Utang (UU KPKPU).3
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Kondisi tersebut dapat dilihat dari kasus kepailitan yang terjadi pada PT.
Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) yang dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga
Jakarta pada tanggal 14 September tahun 2012.4 Permohonan pailit diajukan oleh PT
Prima Jaya Informatika (PJI) dikabulkan oleh majelis hakim walaupun menurut
pendapat pihak Telkomsel bahwa perusahaannya masih dalam keadaan solven.
Majelis hakim mengabulkan permohonan pailit tersebut, karena menurutnya telah
memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No 37 Tahun 2004. Syarat pertama pertama telah terpenuhi dengan adanya kreditor
lain yaitu PT Extent Media yang mencapai Rp 50 miliar, dimana fakta tersebut
4
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5052ed3be8cf3/telkomsel-dinyatakan-pailit, diakses
pada tanggal 3 Oktober 2019 Pukul 01.00 WIB.
disertakan oleh PJI dalam gugatannya. Adapun syarat yang kedua terpenuhi karena
Telkomsel tidak melaksanakan kewajibannya kepada PJI untuk menyediakan kartu
perdana dan voucher isi ulang yang akan dipasarkan oleh PJI.
Lain halnya dengan Ricardo yang menolak gagasan tes insolvensi tersebut,
James Purba (Ketua AKPI tahun 2016-2019) justru setuju dengan perubahan
wewenang hakim wajib mengabulkan menjadi dapat mengabulkan permohonan
pailit pada pasal 8 ayat (4) UU UU 37/2004. 9 Menurutnya pada akhirnya, semua
tetap akan bergantung pada penilaian hakim. Pembuktian tersebut adalah judex facti
nya hakim untuk menentukan ini perkara sederhana atau tidak. Menurut James,
adapun dengan dilekatkannya kata ‘harus’ mengabulkan-pun tetap juga banyak yang
menolak permohonan hanya karena pendapat hakim tak bisa dikatakan sederhana.
Pada bab ini terbagi dalam dua sub bagian, yaitu kesimpulan dan saran.
Kesimpulan merupakan intisari hasil penelitian dan pembahasan, dimana dari
kesimpulan tersebut diarahkan dan disusun menurut urutan permasalahan.
Dalam saran akan diberikan rekomendasi serta perbaikan sebagai upaya yang
dapat ditempuh atau tindak lanjut dari penelitian yang dimaksud.
X. TINJAUAN PUSTAKA
1. Defenisi Kepailitan
Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. Kepailitan secara
tata bahasa bermakna segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Dalam
bahasa Indonesia pailit diartikan bangkrut. Pailit adalah suatu keadaan
dimana seorangdebitor tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih.10 Istilah pailit itu sendiri berawal dari kata Belanda
yaitu failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan
sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite
yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. 11 Pada negara yang
berbahasa Inggris pailit dan kepailitan menggunakan istilah bankrupt dan
bankruptcy. Pailit adalah suatu keadaan dimana seorang Debitor tidak
membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.12
Defenisi kepailitan menurut Black’s Law Dictionary adalah:
“Bankrupt is the state or condition of a person (individual,
partnership, corporate, municipality) who its unable to pay its depts
as they are, or become due. The term includes a person againts whom
an involuntary petition has been filed, who has filed a voluntary
petition, or who has been adjudged a bankrupt.”
13
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
14
Munir Fuady, 2002, Hukum Pailit, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 8.
15
H.M.N. Puwosutjipto,1978, Pengertian dan Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan,
Jakarta, hal. 28.
pengurusan dan/atau pemberesan terhadap harta debitor pailit, setelah
dikeluarkannya putusan pailit atas permohonan pailit tersebut. Kemudian
Kurator membagikan harta debitor pailit kepada para kreditor sesuai dengan
piutangnya masing-masing.
2. Prinsip Kepailitan
16
Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, dalam Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan:
Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana, hal. 27.
17
Ibid. hal. 29.
Pasal 1132 KUH Perdata bahwa bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu,
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara
para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
18
Ibid. hal. 5.
19
M Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, cet I, (Jakarta: Kencana,
2008), hal. 41.
pailit20. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
prinsip ini bertujuan untuk melindungi kreditor dari adanya itikad buruk
debitor.
20
Ibid
21
Ibid
22
Ibid
23
Ibid, hal. 156.
24
Ibid.
Kemudian ialah prinsip corporate rescue. Menurut Tri Harnowo,
prinsip ini memiliki pengertian bahwa lembaga kepailitan sebenarnya juga
dibutuhkan oleh dunia bisnis untuk menyeleksi usaha yang tidak efisien. 25
Perusahaan yang tidak efisien hanya akan berdampak tidak baik bagi
perekonomian karena akan menjadi beban bagi sistem ekonomi itu sendiri.
Sedangkan Perusahaan yang efisien mampu untuk mengelola harta
kekayaannya secara efektif dan optimal serta tidak akan melakukan
pinjaman secara sembarangan tanpa perhitungan ekonomis yang matang dan
akan selalu menggunakan pinjaman yang diperolehnya secara efektif sesuai
dengan peruntukannya.
Berkaitan dengan prinsip ini, Douglas G. Baird mengejawantahkannya
sebagai berikut:26
30
Ibid. hal. 37.
bahwa tujuan dari hukum kepailitan ialah sebagai berikut:31
1. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak
mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan. Semua
harta kekayaan debitor baik yang bergerak, yang telah ada,
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan
bagi perikatan debitor, yaitu dengan cara memberikan fasilitas
dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-
tagihannya terhadap debitor. Menurut hukum Indonesia, asas
jaminan tersebut dijamin oleh pasal 1131 KUHPerdata. Hukum
kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara para
kreditor terhadap harta debitor berkenaan dengan asas jaminan
tersebut. Tanpa adanya Undang-undang Kepailitan, maka akan
terjadi kreditor yang lebih kuat mendapatkan bagian yang lebih
banyak daripada kreditor yang lemah;
2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara
para kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara
proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor
konkuren berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-
masing). Di dalam hukum Indonesia, asas pari parsu dijamin
oleh pasal 1132 KUHPerdata;
3. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. Dengan
dinyatakan pailit, maka debitor tidak lagi memiliki kewenangan
untuk mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya;
4. Hukum kepailitan Amerika Serikat memberikan perlindungan
kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya,
dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum
kepailitan Amerika, seorang debitor perorangan (individual
debtor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya
tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta
kekayaannya. Sekali pun nilai harta kekayaannya setelah
31
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 29-30.
likuidasi atau dijual oleh likuidator tidak cukup untuk melunasi
seluruh utang-utangnya kepada para kreditornya, debitor
tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang
tersebut;
5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah
mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang
buruk, sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan
dinyatakan pailit oleh pengadilan;
6. Memberikan kesempatan kepada debitor dan para kreditornya
untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai
rekstrukturisasi utang- utang debitor.
32
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal.
dinyatakan pailit atau setelahnya.
1. Pengertian Insolvensi
Keadaan tidak mampu membayar hutang atau insolvensi tidak
didefinisikan dan dijelaskan secara tegas dalam Undang-undang Kepailitan.
Menurut Prof. Munir Fuady mengartikan insolvensi kedalam dua poin,
yaitu:33
1. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika
jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis, atau
33
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi disesuaikan dengan
UU Nomor 37 Tahun 2004), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 289.
34
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 63.
35
Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms (New York, USA: Barron’s Educational Series Inc, 1987).
289.
36
Subekti dan Tjitrosoedibyo, op.cit., hal. 59.
yang mengatur hubungan debitor (yang berada dalam kesulitan pembayaran
akibat ketidakmampuan finansial) dengan para kreditornya. Hukum
insolvensi tidak termasuk dalam hukum publik, tetapi merupakan bagian
dari hukum privat dan juga hukum insolvensi memiliki sifat hukum-
kekayaan yang kental.37
2. Tahapan Insolvensi
Untuk masuk ke dalam tahap insolvensi ada dua kemungkinan
yaitu40 :
1) setelah dinyatakan pailit. Keadaan insolvensi terjadi dengan sendirinya
tanpa putusan hakim apabila dalam rapat pencocokan utang tidak
ditawarkan accord, atau ada accord tetapi tidak disetujui oleh rapat
verifikasi, atau ada accord yang sudah disetujui tetapi tidak mendapat
homologasi dari hakim pemitus kepailitan, atau ada accord yang sudah
dihomologasi, tetapi ditolak oleh hakim banding; dan
3. Akibat Insolvensi
40
SUNARMI, Sunarmi, et al. INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA (Studi Putusan No.
48/Pailit/2012/Pn. Niaga. Jkt. Pst Antara PT. Telekomunikasi Selular Vs PT. Primajaya Informatika). Fiat
Justisia, 2015, 8.2.
41
Erman Radjagukuguk. Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan, di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang..., Op.Cit. hlm. 181.
dapat melindungi debitor yang beritikad baik untuk membayar utangnya.
Perlindungan terhadap stakeholders mempunyai suatu tujuan imperatif,
yaitu bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan
stakeholders dijamin, diperhatikan, dan dihargai dalam suatu kegiatan
bisnis. Sebabnya, berbagai pihak tersebut dipengaruhi dan dapat
mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis.42
Dalam UU KPKPU, sama sekali tidak dipersyaratkan bahwa debitur
telah dalam keadaan insolven untuk agar seorang debitur dapat dimohonkan
untuk dipailitkan. Seorang debitur berada dalam keadaan insolven adalah
apabila debitur tersebut tidak mampu secara finansial membayar sebagian
besar utang-utangnya atau nilai aktiva atau asetnya kurang dari pasiva atau
liabilities-nya. Pailit sendiri sebagai kegagalan diartikan dalam beberapa arti
yaitu kegagalan ekonomi (economic failure) dan kegagalan keuangan
(financial failure).43 Kegagalan dalam arti ekonomi biasanya berarti bahwa
perusahaan ini berarti tingkat labanya sendiri lebih kecil dari kewajiban.
Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh di
bawah arus kas yang diharapkan. Kegagalan keuangan ini bisa diartikan
sebagai keadaan insolvensi yaitu dalam ukuran sebagai kekayaan bersih
negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang
diharapkan lebih kecil dari kewajiban.
A. Metode Pendekatan
Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis
hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif-analitis. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan
untuk melukiskan (menggambarkan) ssesuatu permasalahan di daerah tertentu. 45
Penelitian tersebut dilakukan untuk mengungkapkan fakta selengkap-lengkapnya
dan apa adanya. Menurut Sugiyono, metode deskriptif adalah metode yang
digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi
tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.46
Spesifikasi penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secraa
sistemik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai
bidang tertentu. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif
sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat
prediksi, maupun mempelajari implikasi.47
44
Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016, hlM. 154.
45
Suteki dan Galang Taufani, Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori dan Praktik, Depok:
Rajawali Pers, 2018, hal. 133.
46
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta, 2010, hal. 21.
47
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hal. 7
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data kualitatif, yaitu
data yang tidak berbentuk angka yang dapat diperoleh dari rekaman,
pengamatan, wawancara atau bahan tertulis (UU, dokumen, buku-buku, dan
sebagainya) yang berupa ungkapan-ungkapan verbal. Jenis sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder. Data sekunder adalah data
yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya (objek penelitian), tetapi
melalui sumber lain.48 Data yang didapatkan ialah data yang sudah jadi yang
dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode baik secara
komersial maupun non komersial. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh
dari bahan-bahan hukum berupa buku-buku literatur, peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan, majalah ilmiah, jurnal dan laporan penelitian
serta kamus. Lebih lanjut mengenai bahan-bahan hukum tersebut mencakup tiga
bagian, yaitu:49
48
Suteki, Op. Cit., hal. 215.
49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 12.
3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-
Undang Kepailitan dan PKPU); dan
Seluruh data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan
menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif yaitu metode yang
menganalisis terhadap data kualitatif yaitu data-data yang terdiri dari rangkaian
kata-kata.50 Data yang telah terkumpul tersebut, kemudian diuraikan dan
dihubungkan antara data yang satu dengan data yang lainnya secara sistematis,
pada akhirnya disusun atau disajikan dalam bentuk penulisan hukum.
50
Ibid, hlm. 7.
XII. JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN
Persiapan
Pengumpulan
Data
Penyusunan
Laporan
Uji Penulisan
Hukum
XIII. DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
Dewi Rusmy Mustari, Teddy Anggoro, dan Myra R. Budi Setiawan, Tinjauan
Yuridis Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan (Studi Kasus Kepailitan PT.
Telekomunikasi Selular dan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia),
Fakultas Hukum Indonesia, 2013.
__________. 2005. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi
disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004). Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Huizink. 2004. Insolventie. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri. 2011. Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suteki dan Taufani Galang. 2018. Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori
dan Praktik, Depok: Rajawali Pers.
B. Peraturan Perundang-undangan
1) Faillisements verordening
D. Internet
Norman Edwin Elnizar, Gagasan Insolvency Test Tidak Relevan untuk Revisi
UU Kepailitan, diakses dari situs https://www.hukumonline.com/ pada
tanggal 3 Oktober 2019 Pukul 01.07 WIB.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5052ed3be8cf3/telkomsel-
dinyatakan-pailit, diakses pada tanggal 3 Oktober 2019 Pukul 01.00
WIB.