Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH AGAMA ISLAM

BEDAH MAYAT DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

Disusun Oleh:
Nada Harlin Pratama
11010116130305

Dosen Pembimbing:
Bapak Muhyidin, S.Ag.MAg.MH

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
2016/2017
KATA PENGANTAR
1
Puji syukur saya panjatkan kepada tuhan semesta alam ALLAH SWT karena
berkat limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya saya bisa menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tepat waktu.

Makalah ini saya kerjakan dalam rangka pemenuhan tugas yang diberikan oleh
dosen agama saya yaitu bapak muhyidin, S.Ag.M.Ag.MH. Oleh karena itu saya
berusaha untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugas ini dengan sebaik
mungkin.

Makalah ini saya kerjakan dengan semaksimal mungkin menggunakan dari


berbagai sumber seperti buku-buku, artikel di internet dan lain-lainnya. Tapi
terlepas dari itu semua, saya sadar diri dengan kemampuan saya yang belum
seberapa, sehingga makalah ini bisa dikatakan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu saya siap menerima segala kritik dan sarannya agar saya bisa
memperbaikinnya dimasa yang akan datang.

Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan


mahasiswa fakultas hukum tentang hukum islam terkhususnya pada kasus
bedah mayat yang akan dijelaskan nantinya segala hal dalam pandangan islam.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Penyusun

DAFTAR ISI
2
Halaman Judul...........................................................................................................1

Kata Pengantar..........................................................................................................2

Daftar Isi....................................................................................................................3

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................4

B. Rumusan Masalah.......................................................................................4

C. Tujuan.........................................................................................................4

BAB II. PEMBAHASAN

A. Defenisi Bedah Mayat.................................................................................6


B. Tujuan Dilaksanakan Bedah Mayat.............................................................6
C. Sejarah praktek bedah mayat...................................................................... 8
D. Hukum bedah mayat dalam pandangan kajian hukum islam..................... 9
E. Pendapat para ulama tentang bedah mayat................................................ 11
BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................15
B. Saran...........................................................................................................16
Daftar Pustaka...........................................................................................................17

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

3
Bedah mayat atau dapat kita sebut dengan istilah otopsi sudah tidak lagi asing kita
dengar dalam dunia terkhususnya bidang forensik. Otopsi biasa nya dilakukan dengan tujuan
untuk mencari penyebab kematian seseorang. Karena terdapat dugaan tertentu seperti
pembunuhan dan lain sebagainya terhadap peristiwa meninggalnya seseorang. Tujuan lainnya
dapat juga berupa sebagai sarana dalam memudahkan pembelajaran dalam dunia kedokteran.
Hukum bedah mayat dalam pandangan islam sebenarnya sampai sekarang masih
diperdebatkan oleh para ulama hingga detik ini. Karena bagaimanapun tujuan dari bedah
mayat itu, sangatlah tidak manusiawi karena mayat tersebut jadi terbengkalai karena tidak
segera dikuburkan.
Pada abad ke-21 ini, bedah mayat merupakan suatu perkara yang tidak dapat
dielakkan dan bukan asing dikalangan umat islam. Ini karena ia adalah tindakan yang perlu
diambil dan dilaksanakan untuk kepentiingan masyarakat seperti untuk kajian perobatan.
Buktinya dari masa ke masa berbagai kajian tersebut mampu menghasilkan teknologi modern
dalam ilmu bedah mayat dengan cara yang lebih saintifik bagi pencari kebenaran dan
keadilan. Oleh sebab itu sangatlah penting bagi kita terkhususnya umat islam untuk
mengetahui apa hukum bedah mayat dalam pandangan islam yang akan dibahas didalam
makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan bedah mayat?
2. Apakah tujuan dilaksanakannya bedah mayat?
3. Bagaimana perkembangan sejarah bedah mayat hingga saat ini?
4. Bagaimana hukum bedah mayat manusia dalam pandangan analisis hukum islam?
5. Bagaimana pendapat para ulama tentang hukum bedah mayat manusia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu bedah mayat
2. Untuk mengetahui tujuan dilaksanakan bedah mayat.
3. Untuk mengetahui perkembangan bedah mayat hingga saat ini
4. Untuk mengetahui analisis hukum bedah mayat dalam pandangan islam
5. Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang hukum bedah mayat

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi bedah mayat
5
Secara etimologi bedah mayat adalah pengobatan dengan jalan memotong bagian
tubuh seseorang. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Al-Jirahah yang berarti melukai,
mengiris, atau operasi pembedahan. Sedangkan secara terminologi bedah mayat adalah suatu
penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat organ tubuh dan susunannya
pada bagian dalam. Setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan
sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab
misteri suatu tindak kriminal.

ِ َ‫تَ ْش ِر ْي ُح ُجث‬
Perkataan bedah mayat, dimaksudkan oleh Dokter Arab dengan istilah  ‫ث‬
‫ال َموْ تى‬  Selanjutnya, dapat dirumuskan defenisinya sebagai berikut:

Bedah mayat  adalah suatu upaya team dokter ahli untuk membedah mayat, karena
dilandasi oleh suatu maksud atau kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan-
kepentingan tersebut dapat berupa tujuan tertentu. Tujuan dari pembedahan mayat, secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama, untuk otopsi. Kedua, untuk pembelajaran
calon dokter.

Otopsi sendiri dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama, untuk hukum pidana,
seperti, otopsi forensik yang dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian sehingga
mungkin menjadi masalah pidana. Agar memungkinkan mencari tersangka pembunuhan
tersebut dengan tujuan bisa menegakkan hukum Allâh Azza wa Jalla secara benar dan tepat.
Tujuan kedua, yang disebut otopsi klinis atau akademik. Ini dilakukan untuk mencari
penyebab medis kematian. Digunakan dalam kasus kematian yang tidak diketahui atau tidak
pasti. Otopsi ini biaq4t sanya dilakukan bila terjadi wabah penyakit baru yang menyebabkan
kematian tanpa diketahui jenis penyakit yang membunuhnya, maka diperlukan usaha untuk
mengetahui penyebab kematian secara pasti. Dan salah satu cara yang harus ditempuh adalah
dengan cara membedah mayat.

B. Tujuan Dilaksanakan Bedah Mayat


Adapun tujuan dilakukan bedah mayat adalah:
1)      Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
Pada prinsipnya ajaran Islam memberikan tuntutan pada umatnya, agar selalu
berijtihad dalam hal-hal yang tidak ada ditemukan dan sebagai landasannya adalah firman
Allah:

6
َّ ‫َو َجا ِهدُوا فِي هَّللا ِ َح‬
ٍ ‫ق ِجهَا ِد ِه هُ َو اجْ تَبَا ُك ْم َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬
‫ج‬
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”. (QS. Al-Hajj : 78).
2)      Untuk mengeluartkan benda yang berharga dari tubuh mayat
Dalam kehidupan sehari-hari bisa saja seseorang menyimpan berlian dalam perutnya
dengan tujuan untuk menghilangkan jejak pencuriannya dan setelah itu dia meninggal dunia.
Kemudian pemilik berlian tersebut menuntut untuk mengembalikan berliannya. Dan cara
untuk mengembalikannya tentu harus membedah jasadnya. Namun ada satu hal yang
sepantasnya menjadi pertimbangan pemilik berlian tersebut, yaitu tentang nilai berlian yang
ditelan itu. Mungkinkah dapat dimaafkan atau diminta pengganti dengan nilai yang serupa,
walaupun hukum membenarkan, tetapi hendaknya ada pertimbangan-pertimbangan yang
amat erat hubungannya dengan kemanusiaan dan kepribadian.
3)      Untuk kepentingan penegakan hukum
Untuk menegakkan hukum yang adil menurut Islahm, tertentu diserahkan kepada
ahlinya, agar para ahli itu dapat menerapkannya dengan cara yang adil dan benar, sebagai
firman Allah:
‫اس أَ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل‬ ِ ‫إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن تُ َؤ ُّدوا األ َمانَا‬
ِ َّ‫ت إِلَى أَ ْهلِهَا َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil…”. (QS. An-Nisa : 58).
Penghormatan terhadap si mayat memang perlu dijaga, tetapi penegakan hukum lebih
penting lagi, karena menyangkut dengan nasib seseorang yang akan dijatuhi hukuman, berat
atau ringan.
4)      Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran
Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang ada relevansinya dengan penbedahan
mayat, yaitu ilmu anatomi, yang dasar-dasarnya sudah disebutkan dalam al-Quran sejak
empat belas abad yang lalu. Konsep inilah sebenarnya dikembangkanoleh sarjana muslim
pada abad pertengahan dan kemudian dipelajari oleh bangsa Barat lewat penelitian ilmiah.
Konsep tersebut berbunyi:
ٍ ‫ت ثَال‬
‫ث‬ ٍ ‫يَ ْخلُقُ ُك ْم فِي بُطُو ِن أُ َّمهَاتِ ُك ْم خَ ْلقًا ِم ْن بَ ْع ِد َخ ْل‬
ٍ ‫ق فِي ظُلُ َما‬

7
“..Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan...”. (QS. Az-Zumar : 6).

Adapun tiga kegelapan yang dimaksud ayat tersebut di atas adalah: kegelapan dalam
perut, kegelapan dalam rahim dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim.
C. Sejarah Praktek Bedah Mayat
Salah satu versi tentang awal mula sejarah pembedahan dan pemisahan organ jenazah
adalah apa yang telah dilakukan oleh manusia pada 3000 tahun SM oleh bangsa Mesir Kuno
dalam praktek mumifikasi. Pembedahan mayat yang digunakan untuk autopsi sendiri bermula
pada sekitar awal millenium ketiga SM, walaupun sebenarnya hal ini berlawanan dengan
norma masyarakat saat itu yang menganggap pengrusakan terhadap tubuh jenazah akan
menghalanginya ke akhirat.
Konsep ilmu forensik modern saat ini bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari
jasa-jasa orang-orang di zaman dahulu. Buku berjudul “Xi Yuan Lu” , ditulis oleh Song Ci
(1186–1249) pada masa Dinasti Song tepatnya tahun 1248 adalah salah satu tulisan pertama
tentang penggunaan obat atau zat kimia dan Entomology untuk menemukan penyebab suatu
kematian. Buku ini juga memberikan nasihat tentang bagaimana membedakan antara korban
yang tewas karena tenggelam atau pencekikan, bersama dengan bukti-bukti lain dari hasil
pemeriksaan mayat yang pernah dilakukan untuk menentukan apakah kematian disebabkan
oleh pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan. 
Sejarah mencatat bangsa Romawi Kuno telah membuat peraturan tentang autopsi
sekitar 150 SM. Pada tahun 44 SM, jenazah Julius Caesar adalah salah satu yang beruntung
menjadi obyek resmi autopsi, dimana belakangan para autopsist menemukan bahwa tusukan
kedua pada tubuhnya-lah yang fatal sehingga berakibat pada kematian.Yunani kuno pada
abad ketiga SM juga memiliki 2 orang autopsist handal dan terkenal, Erasistratus dan
Herophilus Khalsedon yang tinggal di Alexandria.
Proses autopsi modern berasal dari para anatomis dari Renaissance. Giovanni
Morgagni (1682-1771), yang dikenal sebagai bapak patologi anatomi, menulis karya lengkap
pertama pada patologi, “De Sedibus et Causis Morborum per Anatomen Indagatis”.
Sedangkan sidik jari mulai digunakan untuk bukti ketika Juan Vucetich memecahkan kasus
pembunuhan di Argentina dengan memotong sebagian dari pintu dengan sidik jari berdarah
di atasnya. Di Eropa abad ke-16, praktisi medis ketentaraan dan universitas mulai

8
mengumpulkan informasi tentang sebab dan cara kematian. Ambroise Pare, seorang ahli
bedah tentara Prancis, mempelajari efek kematian karena kekerasan pada organ internal.
Dua ahli bedah Italia, Fortunato Fidelis dan Paolo Zacchia, membangun fondasi
munculnya patologi modern dengan mempelajari perubahan yang terjadi dalam struktur
tubuh akibat penyakit. Pada tahun 1776, kimiawan Swedia Carl Wilhelm Scheele
menemukan cara untuk mendeteksi oksida arsenous alias arsenik, di mayat meskipun hanya
dalam kasus arsenik yang berjumlah besar. Penyelidikan ini diperluas, pada tahun 1806, oleh
kimiawan Jerman Valentin Ross, yang mempelajari cara mendeteksi racun pada dinding perut
korban, dan oleh ahli kimia Inggris James Marsh, yang menggunakan proses kimia untuk
mengkonfirmasi penggunaan arsenik dalam suatu percobaan pembunuhan di tahun 1836.
D. Hukum Bedah Mayat Dalam Pandangan Analisi Hukum Islam
Fatwa yang mengharamkan
Alasannya karena otopsi pada hakikatnya melanggar kehormatan mayat, yang
telah dilarang berdasarkan sabda Nabi SAW :
Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang telah menjadi mayat sama saja
dengan mematahkan sewaktu masih hidup. (HR Malik, Ibnu Majah, Abu Daud)
Ini pendapat Taqiyuddin An-Nabhani, Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf.
Fatwa yang membolehkan
Dalil Syar’i Pembedahan Mayat
Kita tidak menemukan dalil yang sharih (tegas) baik di dalam Al-Quran Al-
Kariem atau hadits-hadits nabawi semua hal yang terkait secara langsung dengan masalah
otopsi mayat. Barangkali karena otopsi seperti di zaman sekarang ini belum lagi dikenal
di masa lalu. Yang kita temukan hanya dalil-dalil secara umum dari sunnah nabawiyah
tentang larangan merusak tulang mayat seorang muslim. Selain itu kita menemukan
Perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat.
1. Mematahkan Tulang Jenazah Muslim
Hadits yang melarang kita merusak jasad mayat yang telah meninggal dunia
adalah:
Dari Jabir ra berkata, "Aku keluar bersama Rasulullah SAW mengantar
jenazah, beliau duduk di pinggir kuburan dan kami pun juga demikian. Lalu
seorang penggali kubur mengeluarkan tulang (betis atau anggota) dan
mematahkannya (menghancurkannya). Maka nabi SAW bersabda, "Jangan kamu
patahkan tulang itu.Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang telah
9
menjadi mayat sama saja dengan mematahkan sewaktu masih hidup. (HR Malik,
Ibnu Majah, Abu Daud)
2. Membedah Perut Mayat
Sedangkan perbedaan pendapat di kalangan ulama klasik tentang membedah perut
mayat, kita dapati dalam kitab-kitab mereka. Hanya saja masalah juga tidak sama persis
dengan kasus otopsi. Mereka membedah perut mayat bila mayat itu menelan harta atau di
dalamnya ada janin yang diyakini masih hidup.
Para ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitab-kitab
mereka tentang kebolehan membedah perut seseorang yang telah wafat dan diyakini
bahwa di dalam perutnya ada harta benda. Dengan syarat bahwa harta di dalam perut
mayati itu milik orang lain, sedangkan mayat itu tidak punya harta yang ditinggakan
untuk mengganti harta milik orang lain itu. Maka dibolehkan saat itu untuk mengeluarkan
harta dari perutnya untuk melunasi hak orang lain.
Kebolehan itu dilandasi sebuah kaidah bahwa hak adami harus didahulukan dari
pada hak Allah. Mengembalikan harta orang lain itu adalah hak adami, sedangkan
menjaga mayat agar tidak dirusak adalah hak Allah (larangan Allah). Maka dibolehkan
hukumnya untuk membedah perut mayat itu meski harus melanggar larangan Allah.
Bahkan ulama di kalangan mazhab Asy-Syafi''iyah berpendapat lebih jauh. Bagi mereka,
kebolehan membedah perut mayat dan mengambil harta di dalamnya tidak harus dengan
syarat untuk mengembalikan hak orang lain. Bahkan bila harta itu memang milik si mayat
tersebut sekalipun, hukumnya tetap boleh dibedah dan diambil. Pendapat para ulama Al-
Malikiyah kira-kira tidak jauh berbeda dengan kedua mazhab di atas. Sedangkan mazhab
Imam Ahmad menolaknya.
3. Kebolehan Membedah Perut Wanita Hamil yang Meninggal
Didalam literatur fiqih klasik juga kita dapati pandangan para ulama tentang
hukum membedah perut wanita hamil yang meninggal. Perkara ini sedikti banyak juga
ada kaitannya dengan masalah otopsi, meski tidak terlalu mirip.
Mazhab Al-Hanafiyah dna Asy-Syafi'iyah mengatakan dibolehkan membedah
perut wanita hamil yang meninggal dunia, asalkan diyakini janin di dalam perutnya itu
masih hidup. Hal itu lebih diutamakan demi menyelamatkan nyawa manusia hidup, meski
harus dengan merusak mayat. Namun mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah tidak
membolehkan hal itu.
E. Pendapat Para Ulama Tentang Bedah Mayat

10
Dalam menentukan hukum bedah mayat, tidak sama pendapat para ulama,
sebagaimana terlihat para uraian berikut:

a.       Imam Ahmad bin Hambali


Seorang yang sedang hamil dan kemudian dia meninggal dunia, maka perutnya tidak
boleh, kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin itu masih hidup.
b.      Imam Syafi’i
Jika seorang hamil, kemudian dia meinggal dunia, dan ternyata janinnya masih hidup,
maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluartkan janinnya. Begitu juga hukumnya, kalau
dalam perut si mayat itu ada barang yang berharga.
c.       Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia dan di dalam perutnya ada barang berharga, maka
mayat itu harus di bedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak
perlu (tidak boleh dibedah), kalau hanya untuk mengeuarkan janin yang diperkirakan masih
hidup.
d.      Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk
mengeluarkan janin itu.
Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat :
1.      Pendapat pertama menyatakan semua jenis autopsi hukumnya haram
Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW
bersabda : “Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dengan
mematahkannya pada waktu hidupnya.”(HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
2.      Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya mubah (boleh)
Alasannya, tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan prisip-prinsip yang
ditetapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui
mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya, “Apakah kita harus berobat?” Rasulullah SAW
menjawab, “Ya, hamba Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak menurunkan
penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit, yaitu penyakit
tua.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad).
Rasulullah SAW memerintahkan berobat dari segala penyakit, berarti secara implisit
(tersirat) kita diperintahkan melakukan penelitian untuk menentukan jenis-jenis penyakit dan
cara pengobatannya.
Ketetapan Majma' Fiqih Islami
11
Majma' Fiqih Islami, sebuah institusi para ulama dunia yang berada di bawah
bendera Rabithah 'Alam Islami dalam sidang di Mekah Al-Mukarramah pada tanggal 17
Otober 1987 telah mengeluarkan ketetapan tentang masalah yang anda tanyakan.
     1.    Dibolehkan melakukan otopsi terhadap mayat selama bertujuan salah satu dari hal-
hal di bawah ini: Kepastian tuduhan yang bersifat kriminal untuk mengetahui penyebab
kematian seseorang. Hal itu apabila hakim kesulitan untuk memastikan penyebab
kematian. Kecuali hanya dengan jalan otopsi saja. Kepastian tentang penyebab suatu
penyakit yang hanya bisa dibuktikan lewat otopsi. Demi untuk mendapatkan kejelasan
penyakit tersebut serta menemukan obat penangkalnya. Untuk pengajaran kedokteran
dan pembelajarannya, yaitu seperti yang dilakukan di fakultas-fakultas kedokteran.

     2.    Bila otopsi itu bertujuan untuk pembelajaran, maka harus mengacu kepada hal-hal
berikut ini: Bila jasad itu milik orang yang diketahui identitasnya, maka dibutuhkan
izinnya sebelum meninggal atau izin dari keluarga ahli warisnya. Dan tidak boleh
mengotopsi orang yang darahnya terlindungi (muslim atau kafir zimmy) kecuali dalam
keadaan darurat. Wajib melakukan otopsi dalam kadar yang minimal atas tidak
merusak jasad mayat. Mayat wanita tidak boleh diotopsi kecuali hanya oleh dokter
wanita juga, kecuali bila memang sama sekali tidak ada dokter wanita.

    3.    Wajib dalam segala keadaan untuk menguburkan kembali semua jasad mayat yang
telah diotopsi.
Itulah ketetapan para ulama tentang hukum otopsi, yang pada hakiatnya dibolehkan
asal memenuhi ketetapan yang telah digariskan.
Komisi Fatwa MUI, membuat keputusan dengan beberapa klausul :
Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia itu
terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup wajib memenuhi hak-hak jenazah.
Salah satunya, menyelenggarakan jenazah dikuburkan.
Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad).
Dengan ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan keilmuan dan
mendatangkan mashlahat lebih besar; memberikan perlindungan jiwa. Bukan untuk praktek
semata.
Ketiga,  sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya
dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan janazah untuk penelitian harus dilakukan
12
dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah selesai, jenazah harus
segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Keempat, negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan
mekanismenya.

Kaidah dalam agama Islam, ulas Masdar F Mas’udi dari Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU), segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan sampai ada dalil yang
menyatakan terlarang.
Organ tubuh dalam hukum Islam menyangkut manusia hidup karena terkait dengan
jiwa. Sejauh ini belum ada aturan tentang donasi tubuh manusia setelah meninggal, karena itu
boleh dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah untuk menyelamatakan jiwa manusia. Hal ini
dihargai dan dinilai sebagai amal jariah.
Izin penggunaan mayat bisa diberikan oleh pemilik saat masih hidup atau izin keluarga
jika telah meninggal. Untuk mayat yang tak teridentifikasi, izin diberikan oleh pemerintah.
Hal senada dikemukakan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dari Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran jika
mendonorkan tubuh maka tubuh menjadi tidak lengkap saat menghadap Tuhan.
“Saat seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk menghadap
Tuhan, sedang tubuh hancur bersama tanah. Jika disumbangkan untuk riset dan pendidikan
yang bermanfaat bagi kemanusiaan, si pemilik akan mendapat pahala,” ujarnya.
Menurut Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia dr.
Agus Purwadianto, SpF, SH, Msi, Indonesia telah memiliki peraturan dan fatwa mengenai
bedah mayat, antara lain Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Kementerian
Kesehatan No 4/1955, yang menyatakan bedah mayat hukumnya mubah (tidak diharamkan
dan tidak dihalalkan).
Dalam Fatwa No 5/1957 dijelaskan tata cara penggunaan mayat untuk kepentingan
pendidikan. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis
dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia
(ATK).

13
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Sesuai dengan pembahasan yang dikemukakan pada makalah ini, maka dapat kita
simpulkan hukum bedah mayat dalam pandangan islam adalah mubah yaitu boleh dilakukan
dengan kondisi-kondisi tertentu sebagai berikut:
1) Bedah mayat boleh dilakukan untuk menyelamatkan janin yang berada didalam
rahim mayat. pembedahan ini dilakukan kalau ada harapan janin tersebut untuk
hidup atau berumur 6 bulan keatas.

14
2) Bedah mayat boleh dilakukan jika terdapat benda berharga didalam perut mayat.
Ini pun dilakukan jika pemilik benda tersebut menuntut untuk mengambil benda
berharga dalam perut mayat tersebut. Namun perlu diperhatikan, bahwa alangkah
baiknya benda berharga tersebut dimaafkan saja atau meminta ganti rugi yang
seimbang kepada keluarga sepeninggalannya. Karena memerhatikan nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan untuk mayat tersebut dan keluarga yang
ditinggalkannya.
3) Bedah mayat boleh dilakukan jika dibutuhkan untuk kepentingan penegakan
hukum. Ini dilakukan jika hanya dengan cara ini dapat menemukan keadilan untuk
banyak orang.
4) Bedah mayat boleh dilakukan untuk kepentingan-kepentingan dalam bidang
kedokteran. Kondisi in boleh dilakukan jika penelitian tersebut benar-benar
menghasilkan suatu penemuan yang sangat bagi banyak orang.
Itulah kondisi-kondisi bedah mayat boleh dilakukan karena terdapat lebih banyak

mamfaat daripada mudarat yang dihasilkan jika melaksanakan bedah mayat. Islam sebagai

agama yang telah disempurnakan oleh Allah SWT telah menetapkan beberapa kaidah untuk

menjawab permasalahan yang belum terjadi pada masa Rasulullah SAW diantara kaidah

tersebut adalah “Apabila berbenturan dua kemashlahatan maka yang dilakukan yang paling

banyak mashlahatnya, juga apabila berbenturan dua mufsadat maka dilakukan yang paling

ringan mufsadatnya.”[1]

B. Saran
Saya berharap sebagai penulis makalah ini agar kedepannya kita bisa lebih bijaksana
dalam mengambil keputusan untuk melakukan bedah mayat maupun otopsi. Karena kita perlu
mempethatikan nilai-nilai kemanusiaan terhadap mayat tersebut. Jika selagi masih ada alasan
untuk tidak melakukan bedah mayat atau mashlahatnya tidak seberapa dibanding mudaratnya
lebih baik untuk tidak dilakuakan.
Dan kita yang sebagai mahasiswa tertutama yang muslim hendaklah mempelajari
suatu ilmu dibidang apapun hendaklah kita juga mempelajari dan mengetahui dari sisi hukum

15
islam. Karena didalam agama islam telah ada aturan-aturan yang mengatur segala sesuatu
yang terjadi didunia ini.

DAFTAR PUSTAKA

Pengertian dan hukum bedah mayat http://al-badar.net/pengertian-dan-hukum-bedah-mayat/

Bedah mayat dalam tinjauan hukum islam https://almanhaj.or.id/4096-bedah-mayat-dalam-


tinjauan-hukum-islam.html

Makalah masailul fiqhiyah ( bedah mayat ) http://makalahe19.blogspot.co.id/2015/11/makalah-


masailul-fiqhiyah-bedah-mayat.html

16
Hukum bedah mayat http://www.trendilmu.com/2015/04/hukum-bedah-mayat.html

Bedah mayat ( otopsi ) http://akademi-pendidikan.blogspot.co.id/2012/02/bedah-mayat-otopsi.html

Makalah Bedah mayat http://akademi-pendidikan.blogspot.co.id/2012/02/bedah-mayat-otopsi.html

17

Anda mungkin juga menyukai