Anda di halaman 1dari 15

Upaya Hukum Kasasi yang Dimohonkan oleh PT Perindustrian Njonja

Meneer di Pengadilan Tinggi Jawa Tengah

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Reformasi hukum kepailitan merupakan sebuah agenda penting bagi pemerintah pasca
gejolak moneter yang menimpa Indonesia di pertengahan tahun 1997 hingga akhir tahun 1998.
Pada kurun waktu tersebut telah terjadi sebuah depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing khususnya Dollar Amerika yaitu dari nilai kurs Rp.2.300/US Dolar pada sekitar bulan
Maret 1997 menjadi Rp.5.000/US Dolar di akhir tahun 1997, bahkan pada pertengahan tahun
2008 rupiah sempat anjlok hingga menyentuh ke level terendah di kisaran Rp.16.000/US
Dollar. Pertumbuhan ekonomi terus merosot hingga minus 13 sampai dengan minus 14% dan
tingkat inflasi membumbung tinggi dari angka 10% menjadi sekitar 70%.1 Kondisi
perekonomian tersebut menimbulkan kelumpuhan total pada hampir seluruh sektor usaha dan
perdagangan, terlebih bagi perusahaan yang menggunakan US Dollar sebagai sistem
pembayarannya.2
Perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat dalam lapangan keperdataan
mendorong Pemerintah untuk melakukan penataan terhadap aspek-aspek hubungan perikatan
beserta penegakan hukumnya khususnya terkait permasalahan kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang. Seiring dengan upaya pemerintah mendorong perekonomian dan
iklim investasi di Indonesia agar mampu berkompetisi secara global, maka Pemerintah perlu
mewujudkan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil baik terhadap Kreditor dan Debitor dalam proses penyelesaian
hubungan utang-piutang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).3

1
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika
Serikat (Common Law System), -USU Reprosity Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004, hlm 2.
2
Catur Irianto, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 3, No.3, Hakim Pengadilan Tinggi
Pekanbaru, 2004, hlm 2, diakses dari file:///C:/Users/acer/Downloads/54-99-1-SM.pdf pada 14 Oktober 2019 pukul
20.10.
3
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang

1
2

Dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut UUKPKPU, pengertian
Kepailitan adalah
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Pailit merupakan suatu keadaan dimana
debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utangutang dari para
kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran.4 Kepailitan
merupakan suatu jalan keluar untuk dapat keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit
seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk
membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya. Apabila ketidakmampuan untuk
membayar utang yang telah jatuh tempo disadari oleh debitor, maka langkah yang dapat diambil
oleh debitor ialah dengan mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya
sendiri, atau dengan cara penetapan status pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan apabila telah
terbukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi untuk membayar utangnya
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.5
Dari sekian banyak kasus mengenai upaya hukum kepailitan, kelompok kami memilih
kasus PT. Nyonya Meneer dan Hendrianto Bambang Santoso dalam putusan nomor
1397K/Pdt.Sus-Pailit/2017.
II. Identifikasi Masalah
1. Apa upaya hukum yang dapat di ajukan dalam Kepailaitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang?
2. Bagaimana analisa putusan Pengadilan tinggi terhadap upaya hukum Kasasi yang di
mohonkan oleh PT. Perindustrian Njonja Meneer

4
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana, Jakarta, 2009,
hlm. 1.
5
Dedy Tri Hartono, Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan, Jurnal Ilmu
Hukum legal Opinion, Edisi 1, Vol. 4, Universitas Tadulako Palu, 2016, hlm. 2016, diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/145241-ID-perlindungan-hukum-kreditor-berdasarkan.pdf, tanggal 14
Oktober 2019, pukul 20.46
BAB II

PEMBAHASAN

1. Upaya Hukum Debitor terhadap Putusan Pailit dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang
a. Upaya Hukum Kasasi
Hakim sebagai manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan, sehingga putusan yang
dijatuhkan tidak luput dari kekeliruan bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Oleh karena
itu, demi kebenaran dan keadilan maka setiap putusan pengadilan perlu adanya pemeriksaan
ulang agar kekeliruan atau ketidakadilan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Putusan
pailit menimbulkan akibat hukum yang sangat berat bagi debitor. Oleh karenanya debitor
dapat mengajukan upaya hukum jika tidak menerima putusan tersebut.
Pada dasar setiap putusan hakim atau putusan pengadilan tersedia upaya hukum. Upaya
hukum merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
untuk memperoleh putusan yang adil. Upaya hukum adalah suatu usaha yang dilakukan oleh
pihak yang tidak puas terhadap putusan hakim. Upaya hukum merupakan langkah atau usaha
yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh putusan yang adil.6
Upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang dilakukan oleh pihak yang
berkepentingan terhadap suatu putusan hakim.7 Pihak tersebut mengajukan upaya hukum
karena menganggap putusan hakim mengandung kekeliruan, ketidakadilan atau supaya
terhindar dari akibat hukum karena putusan hakim tersebut.8
Dalam hukum acara perdata (HIR) dikenal adanya upaya hukum biasa dan upaya hukum
luar biasa. Upaya hukum biasa berupa perlawanan (verzet), banding dan kasasi. Upaya hukum
luar biasa berupa peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga.9 Terhadap putusan pailit

6
Victor M. Situmorang, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rinaka Cipta, Jakarta, hlm. 66
7
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung,
2006, hlm. 32
8
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1994, hlm. 49.
9
Man S. Sastrawidjaja, Op. Cit, hlm. 100

3
4

upayanya kasasi dan peninjauan kembali.10 Upaya hukum kasasi terhadap putusan pernyataan
pailit, pengaturannya dalam UUKPKPU tercantum dalam Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13.
Sedangkan upaya hukum peninjuan kembali tercantum dalam Pasal 14, Pasal 295 sampai
dengan Pasal 298.
Dalam kepailitan proses penyelesaiannya hanya pada peradilan tingkat pertama
(Pengadilan Niaga) dan kemungkinan juga pada peradilan tingkat terakhir (Mahkamah
Agung). Proses penyelesaian utang-piutang secara kepailitan tidak ada prosesnya pada
peradilan tingkat banding. Hal ini dimaksud supaya penyelesaiannya dapat terwujud secara
cepat.
Dalam perkara kepailitan upaya hukum yang dapat digunakan berupa kasasi jika putusan
pailit belum berkekuatan hukum tetap.11 Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11
UUKPKPU, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pailit
adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan pailit terhadap debitor oleh pengadilan niaga
mempunyai daya serta merta. Meskipun demikian terhadap putusan tersebut masih dapat
diajukan upaya hukum. Hal tersebut supaya putusan pailit dapat dijalankan secepat-cepatnya.
Secara terminologi kata kasasi berasal dari kata cassation yang berarti membatalkan atau
memecahkan. Kasasi adalah pembatalan putusan atau penetapan pengadilan dari semua
tingkat peradilan dalam tingkatan peradilan terakhir.12 Lembaga kasasi difungsikan sebagai
alat untuk membina keseragaman dan ketepatan penerapan hukum di Indonesia sehingga
tercapai suatu kesepakatan hukum dalam masyarakat.13
Terdapat 2 (dua) hal yang harus diperhatikan Debitor dalam mengajukan upaya hukum
kasasi terhadap putusan pailit yaitu alasan dan tenggang waktu mengajukan upaya hukum
tersebut. Meskipun UUKPKPU mengenal upaya hukum kasasi terhadap putusan pailit yang
belum berkekuatan hukum tetap, namun undang-undang tersebut tidak mengatur alasannya.
Pengaturan mengenai alasan-alasan dalam mengajukan upaya hukum kasasi tercantum dalam
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang
selanjutnya disebut UUMA. Adapun alasan mengajukan upaya hukum kasasi karena

10
Victor M. Situmorang, Op. Cit, hlm. 104
11
Man S. Sastrawidjaja, Op. Cit, hlm. 100
12
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan
Praktek,Bandung, 1989
13
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Ibid.
5

pengadilan tidak berwenang, pengadilan salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku atau pengadilan lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang mengancam kelalaian terebut dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.
Apabila ada salah satu alasan di atas, maka debitor dapat mengajukan upaya hukum kasasi
terhadap putusan pailit yang belum berkekuatan hukum tetap yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Niaga. Jika salah satu alasan kasasi sebagaimana tersebut di atas tidak ada, maka debitor tidak
perlu mengajukan upaya hukum kasasi karena putusan pailit yang telah dijatuhkan oleh
pengadilan niaga tidak akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Apabila diperhatikan alasan-alasan mengajukan upaya hukum kasasi sebagaimana di atur
dalam UUMA sukar untuk dapat dibedakan antara alasan pengadilan salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku dengan alasan pengadilan lalai dalam memenuhi syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian tersebut dengan
batalnya putusan yang bersangkutan. Dalam hal batalnya putusan yang bersangkutan, maka
seharusnya bukan alasan mengajukan upaya hukum kasasi karena putusan tersebut telah batal
dengan sendirinya dan tidak perlu lagi diajukan upaya hukum kasasi.
Debitor dalam mengajukan upaya hukum kasasi juga harus memperhatikan tenggang
waktunya. Menurut ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUKPKPU permohonan kasasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang
dimohon kasasi diucapkan. Tenggang waktu tersebut lebih singkat dari pada kasasi dalam
perkara perdata lainnya yang tenggang waktu selama 14 (empat belas) hari setelah putusan
dijatuhkan oleh pengadilan tinggi. Singkatnya tenggang waktu mengajukan upaya hukum
kasasi dalam perkara pailit, hal tersebut dimaksudkan agar putusan pernyataan pailit cepat
memperoleh kekuatan hukum.
Apabila debitor mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan pailit, maka debitor
berkewajiban mengajukan memori kasasi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12
ayat (1) UUKPKPU, pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada panitera pengadilan
memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan.
Debitor di dalam memori kasasi menjelaskan alasannya mengajukan permohonan kasasi
terhadap putusan pailit yang dijatuhkan oleh pengadilan niaga. Alasan yang diuraikan debitor
di dalam memori kasasi yakni sedikitnya satu alasan kasasi sebagaimana tercantum dalam
6

UUMA. Permohonan kasasi dan memori kasasi oleh debitor diajukan kepada Mahkamah
Agung melalui panitera pengadilan niaga yang memberi putusan pailit yang dimohon kasasi
tersebut. Mahkamah Agung harus memberi putusannya paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam pasal 13 ayat (3) UUKPKPU, putusan atas permohonan kasasi harus
diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima
oleh Mahkamah Agung.
Terhadap permohonan kasasi yang diajukan oleh debitor, maka Mahkamah Agung dapat
membatalkan putusan pailit yang telah dijatuhkan oleh pengadilan niaga jika menurut
pertimbangan hakim yang memeriksa kasasi tersebut bertentangan dengan salah satu alasan
kasasi sebagaimana yang di atur dalam UUMA. Apabila Mahkamah Agung tidak
membatalkan putusan pailit yang dijatuhkan oleh pengadilan niaga, maka debitor tetap dalam
keadaan pailit dan apabila tenggang waktu mengajukan upaya hukum kasasi lampau dan
debitor tidak mengajukan upaya hukum tersebut, maka putusan pailit tersebut menjadi
berkekuatan hukum tetap. Terhadap putusan tersebut jika ada alasan yang ditentukan dalam
UUK dan PKPU, maka debitor dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

b. Upaya Hukum Peninjauan Kembali


Dalam UUKPKPU pengaturan mengenai upaya hukum permohonan PK tercantum dalam
Pasal 14 dan Pasal 295 sampai dengan Pasal 298. Dalam Pasal 14 disebutkan, terhadap
putusan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan PK ke Mahkamah
Agung. Ketentuan yang hampir sama juga tercantum dalam Pasal 295 ayat (1) bahwa terhadap
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan PK
pada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain.
Dalam perkara kepailitan alasan untuk dapat mengajukan permohonan PK ditentukan
dalam Pasal 295 ayat (2) UUKPKPU. Menurut ketentuan pasal tersebut, permohonan PK
dapat diajukan apabila setelah perkara diputuskan ditemukan bukti-bukti baru yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum
ditemukan, atau dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.
Alasan dalam mengajukan permohonan PK terhadap putusan pailit yang telah berkekuatan
7

hukum tetap, alasanya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 298 ayat (2) yaitu, terdapat bukti
tertulis baru yang penting, yang apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya, akan
menghasilkan putusan yang berbeda, atau pengadilan niaga yang bersangkutan telah
melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum.
Debitor dalam mengajukan permohonan PK terhadap putusan pailit, selain harus ada salah
satu alasan yang disebutkan dalam Pasal 295 ayat (2) UUKPKPU, juga harus diperhatikan
oleh debitor tenggang waktu mengajukan upaya hukum tersebut. Tenggang waktu
mengajukan permohonan PK terhitung dari tanggal memperoleh kekuatan hukum tetap
putusan pailit yang diajukan upaya hukum PK tersebut. Tenggang waktu mengajukan
permohonan PK dalam perkara kepailitan sangat berkaitan dengan alasan pengajuan
permohonan PK.
Dalam Pasal 296 ayat (1) UUKPKPU disebutkan, pengajuan permohonan PK berdasarkan
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a, dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohon
PK memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan, pengajuan
permohonan PK berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) huruf
b, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan
yang dimohon PK memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas dapat dipahami bahwa jika debitor mengajukan
permohonan PK terhadap putusan pailit setelah lewat jangka waktu sebagaimana disebut
dalam Pasal 296 ayat (1) atau ayat (2) UUKPKPU, maka permohonan PK tersebut tidak dapat
diterima oleh Mahkamah Agung. Dalam hal ini putusan pailit yang dimohon PK tersebut
tidak dibatalkan atau tidak dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian debitor tetap
dalam keadaan pailit.
Dalam Pasal 296 ayat (3) UUK dan PKPU disebutkan, permohonan PK disampaikan
kepada panitera pengadilan (pengadilan niaga). Selanjutnya dalam Pasal 297 ayat (1)
disebutkan pemohon PK wajib menyampaikan kepada panitera pengadilan bukti pendukung
yagn menjadi dasar pengajuan PK. Berdasarkan ketentuan di atas dapat dipahami bahwa jika
debitor tidak mengajukan bukti pendukung terhadap permohonan PK yang diajukannya, maka
Mahkamah Agung tidak dapat menerima permohonan PK debitor. Apabila tenggang waktu
8

mengajukan permohonan PK telah lampau, maka permohonan PK tidak dapat diajukan lagi.
Dengan demikian debitor tetap dalam keadaan pailit.
Putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan PK yang diajukan debitor, baik putusan
tersebut membatalkan maupun menguatkan putusan pailit, salinan putusan tersebut harus
disampaikan kepada debitor. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 298 ayat (3)
UUKPKPU, dalam jangka waktu paling lambat 32 (tiga puluh dua) hari setelah tanggal
permohonan diterima panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung wajib menyampaikan
kepada para pihak salian putusan PK yang memuat secara lengkap pertimbangan yang
mendasari putusan tersebut.
2. Analisa Putusan Pengadilan Tinggi terhadap Upaya Hukum Kasasi yang
Dimohonkan oleh PT Perindustrian Njonja Meneer
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang telah diajukan Permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT. Citra Sastra Grafika dan PT.
Nata Meridian Investara terhadap PT. Perindustrian Njonja Meneer atau disingkat PT.
Njonja Meneer yang tercatat dalam registrasi Perkara Nomor :
01/Pdt.SusPKPU/2015/PN.Niaga.Smg. Pada proses PKPU PT. Njonja Meneer, DR. Charles
selaku Direktur Utama telah mengajukan Proposal Perdamaian tertanggal 05 Maret 2015.
Pada rapat tanggal 27 Mei 2015, Proposal Perdamaian yang ditandatangani oleh debitur in
person dan telah disetujui oleh Tim Pengurus dan pada rapat yang dipimpin oleh Hakim
Pengawas tersebut, Tim Pengurus melakukan proses pemungutan suara atas proposal
perdamaian tersebut dan hasil yang didapat atas pemungutan suara tersebut secara aklamasi
semua kreditur telah menyetujui proposal perdamaian yang diajukan oleh debitur. Majelis
Hakim pemeriksa perkara dalam perkara tersebut telah mengesahkan Proposal Perdamaian
yang diajukan oleh DR. Charles Saerang selaku Direktur Utama pada tanggal 01 Juni 2015.
Pemohon dalam permohonannya menyebutkan Termohon / PT. Njonja Meneer tidak
melakukan cicilan sesuai kesepakatan yang ditetapkan di dalam Proposal Perdamaian atau
di dalam Putusan Homologasi a quo yakni sebesar Rp. 7.040.970.500,- (tujuh milyar empat
puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah). Seharusnya sesuai dengan
Putusan Homologasi Termohon berkewajiban untuk melakukan pembayaran / cicilan kepada
Pemohon selama 5 (lima) tahun yakni di mulai dari akhir Juli 2015 hingga Juni 2020, apabila
dihitung sejak akhir Juli 2015 hingga diajukannya Permohonan Pembatalan Perdamaian ini,
9

maka Termohon seharusnya sudah melakukan cicilan sebanyak 24 (dua puluh empat) kali
yakni Juli 2015 sampai Mei 2017. Termohon telah menyerahkan 10 (sepuluh) lembar cek
yang kesemuanya tidak dapat dicairkan karena rekening ditutup sebagaimana bukti surat
yang dikirimkan oleh Termohon kepada Pemohon tertanggal 15 Juni 2015.
Pada Putusan Homologasi halaman 12 (dua belas) ditegaskan untuk jumlah utang di
atas Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) sampai dengan Rp. 35.000.000.000,- (tiga
puluh lima milyar rupiah) dicicil selama 5 (lima) tahun dimulai akhir Juli 2015 hingga Juni
2020. Tanggal 20 Juni 2017, salah satu kreditur PT Njonja Meneer, Hendrianto Bambang
Santoso, mengajukan surat permohonan pembatalan perjanjian perdamaian homologasi
dibawah register Nomor 11/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN.Niaga.Smg jo. Nomor 1/Pdt.Sus-
PKPU/2015/PN Niaga Smg. Pada intinya, Hendrianto mempermasalahkan bahwa dalam
Putusan Perjanjian Perdamaian Homologasi, seharusnya jika dihitung sejak akhir Juli 2015
hingga Permohonan Pembatalan ini, PT Njonja Meneer seharusnya sudah menyelesaikan
total cicilan sebanyak 24 (dua puluh empat) kali jika dihitung dari Juli 2015 hingga Mei
2017. Sehingga ia mempermasalahkan PT Njonja Meneer tidak melaksanakan pencicilan
sesuai kesepakatan yang sudah ditetapkan dalam Proposal Perdamaian yakni sebesar Rp.
7.040.970.500,- (tujuh miliar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima ratus
rupiah).
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Semarang mengabulkan gugatan Pemohon yang menuntut pembatalan
perjanjian perdamaian yang telah disahkan (Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004) dan sebagai konsekuensi lebih lanjut adanya pembatalan perjanjian perdamaian
yang telah disahkan tersebut, maka debitor harus dinyatakan pailit (Pasal 291 (2) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004).
Selanjutnya Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang di dalam
Putusannya Nomor 11/Pdt.SusPailit/2017/Pn.Niaga.Smg menimbang bahwa adanya itikad
tidak baik Termohon kepada Pemohon karena total jumlah pembayaran Termohon kepada
Pemohon adalah baru sejumlah Rp. 412.094.000 (empat ratus dua belas juta sembilan puluh
empat ribu rupiah) dan Majelis Hakim menilai jumlah pembayaran dimaksud tidak
sebanding (tidak signifikan) dengan kewajiban bayar sejumlah Rp. 7.040.970.500 (tujuh
milyar empat puluh juta sembilan ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah), dalam waktu
10

pembayaran yang cukup lama 2 (dua) tahun, terhitung sejak bulan Juli 2015 sampai perkara
ini diajukan (bulan Juli 2017). Termohon dalam pembayaran dengan menerbitkan bilyet
giro, akan tetapi bilyet giro dimaksud ketika dicairkan oleh Pemohon ternyata diblokir oleh
pihak Bank dengan alasan rekening Termohon telah ditutup. Fakta dimaksud menurut
penilaian Majelis Hakim, adanya itikad tidak baik pada Termohon dalam melaksanakan
pembayaran kepada Pemohon sehingga Hakim dalam pertimbangan hukumnya menimbang
bahwa Termohon dapat dipailitkan.
Setelah Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang tersebut
dibacakan pada tanggal 3 Agustus 2017, PT Njonja Meneer mengajukan permohonan Kasasi
pada tanggal 10 Agustus 2017. Isi Kontra Memori Kasasinya secara singkat adalah sebagai
berikut:
1. Bahwa menurut debitur, dengan tidak mempertimbangkannya bukti di persidangan
mengenai proposal perdamaiannya, karena Proposal Perdamaian yang digunakan
bukanlah proposal perdamaian yang benar, dimana proposal yang telah disahkan
oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang adalah proposal
perdamaian tanggal 27 Mei 2015 dan bukan Proposal Perdamaian 5 maret 2015,
sehingga proposal Perdamaian 5 Maret 2015 (bukti P-1) seharusnya tidak bisa
dijadikan bukti maupun acuan dalam pembayaran, sehingga menurut Pemohon,
Judex Facti sangat keliru dan melakukan kelalaian dalam memeriksa dan memutus
perkara ini. Judex Facti telah bersikap ambivalen dan tidak memberikan keadilan
dan kepastian hukum.
2. Mengenai pertimbangan hakim yang menyatakan jumlah pembayaran tidak
sebanding (tidak signifikan), dan menyatakan bahwa penutupan rekening yang
diblokir oleh pihak bank menandakan PT Njonja Meneer dalam keadaan lalai
bahkan tidak mampu membayar tanpa perlu melihat batas akhir pembayaran dalam
perjanjian yaitu tahun 2020, PT Njonja Meneer mengatakan bahwa Judex Facti lalai
dan tidak mempertimbangkan bukti di persidangan bahwa PT Njonja Meneer
beritikad baik dalam melaksanakan perdamaian tersebut yang dibuktikan dengan
jumlah pembayaran dengan pengiriman uang (Bukti T-5 s/d T18), bahkan 2 (dua)
hari setelah diajukannya permohonan pembatalan perjanjian perdamaian tersebut,
debitur masih melakukan pembayaran kewajibannya. Selain itu, dalam kontra
11

memori kasasinya, PT Njonja Meneer menyebutkan bahwa pihaknya tidak bisa


dikatakan lalai maupun wanprestasi dalam pemenuhan kewajibannya karena
pihaknya tidak sekalipun menerima surat teguran maupun surat peringatan (somasi)
dari kreditur bahwa pihaknya lalai dalam memenuhi kewajibannya. Lebih lanjut,
perjanjian perdamaian homologasi tersebut masih berakhir pada bulan Juli 2020,
sehingga PT Njonja Meneer tidak bisa dikatakan lalai maupun wanprestasi
dikarenakan perjanjian tersebut belum jatuh tempo yang berarti tuntutan Termohon
Kasasi adalah prematur (terlalu dini).
3. Bahwa Menurut PT Njonja Meneer, Judex Facti seharusnya memberikan
kelonggaran kepada Pemohon Kasasi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari untuk
memenuhi kewajibannya setelah diucapkannya putusan pemberian kelonggaran
apabila terdapat utang yang dimiliki Pemohon Kasasi kepada Termohon Kasasi, hal
ini sesuai dengan Pasal 170 (3) UUK PKPU. Sehingga dengan tidak menjalankan
dan tidak sesuai dengan Pasal 170 UUK PKPU tersebut menurutnya, Judex Facti
salah menerapkan hukum dalam memutus pembatalan perdamaian dan pernyataan
pailit karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 170 UUK PKPU. Terlebih lagi
dalam perkara a quo Judex Facti belum pernah memberikan atau menjatuhkan
putusan pemberian kelonggaran kepada Pemohon Kasasi. Lebih lanjut, menurut PT
Njonja Meneer seharusnya pengadilan mempertimbangkan kepailitan sebagai
ultimum remedium dan mempertimbangkan bahwa PT Njonja Meneer bukanlah
debitur yang telilit hutang karena perusahaan tersebut masih memiliki prospek yang
baik dan potensi untuk berkembang dan masih mampu membayar seluruh
kewajibannya.
4. Bahwa Judex Facti telah salah menerapkan hukum karena bertentangan dengan
tujuan hukum serta maksud kepailitan dan nilai-nilai keadilan. Bahwa dalam
mukadimah penjelasan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ada dikenal Asas
Keseimbangan dan Asas Kelangsungan Usaha yang dimana dapat disimpulkan
bahwa kepailitan ini sesungguhnya hadir dengan tujuan untuk melindungi hak-hak
debitur dan para kreditur dengan itikad baik, serta kepailitan memiliki maksud dan
tujuan agar lembaga kepailitan tidak digunakan secara tidak bertanggung jawab,
dan agar tetap memperhatikan usaha debitur terlebih lagi debitur yang masih
12

prospektif san dapat membayar utang-utangnya agar tidak serta merta dinyatakan
pailit.
5. Bahwa dalam Kontra Memori Kasasinya, PT Njonja Meneer menyebutkan bahwa
putusan pembatalan perjanjian perdamaian ini menyebabkan ketidakpastian hukum
bagi para kreditur yang dari awal menyepakati Perjanjian Perdamaian tersebut
karena dengan disetujui dan disahkannya perjanjian itu merupakan lambang bahwa
kreditur percaya terhadap debitur dan bahwa para kreditur sepakat tidak akan
menaruh debitur dalam pailit atau keadaan pailit. Hal ini berarti menurutnya
perkara a quo karena tidak mempertimbangkan fakta perlunya kepastian hukum
bagi kreditur konkuren lain. Selain itu dituliskan bahwa hal ini akan menyebabkan
contoh yang kurang baik dalam dunia perekonomian dan hukum kusunya dalam hal
kepastian hukum di Indonesia, serta khususnya bagi para kreditur konkuren PT
Njonja Meneer menjadi bagian serta terdaftar dalam perjanjian perdamaian tersebut
serta membawa implikasi ekonomi dan hukum yang besar serta kepada +1.000 ribu
karyawan PT Njonja Meneer.
6. Bahwa dengan tidak mempertimbangkan dan menunjuk kurator yang diajukan oleh
debitur selaku pemilik aset, Pemohon kasasi menganggap bahwa Judex Facti telah
lalai dan salah menerapkan hukum dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo.
Terhadap keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa keberatan yang diajukan tersebut tidak dapat dibenarkan dan
dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang tidak salah
menerapkan hukum dan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Semarang Nomor 11/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN Niaga Smg jo. Nomor 1/Pdt.Sus-
PKPU/2015/PN Niaga Smg tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-
undang, sehingga permohonan kasasi PT Njonja Meneer tersebut harus ditolak.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Upaya hukum debitor terhadap putusan pailit yaitu:
Pertama, Kasasi kepada Mahkamah Agung jika pailit belum berkekuatan hukum tetap
(inkracht). Kasasi diajukan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam dalam Pasal 11
ayat (2) UUK dan PKPU, berdasarkan salah satu alasan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 30 ayat (1) UUK dan PKPU Nomor 3 Tahun 2009. Mahkamah Agung dapat
menguatkan atau membatalkan putusan pailit yang diminta Kasasi tersebut. Apabila
Mahkamah Agung menguatkan putusan pailit, maka Debitor tetap dalam keadaan pailit.

Kedua, permohonan Peninjauan Kembali (PK) jika putusan pailit telah berkekuatan
hukum tetap. Permohonan PK diajukan berdasarkan salah satu alasan yang di atur dalam
Pasal 295 ayat (2) dan dalam tenggang waktu yang diatur dalam Pasal 295 UUK dan
PKPU. Jika putusan PK dari Mahkamah Agung menguatkan putusan pailit, maka
Debitor tetap dalam keadaan pailit, sedangkan jika putusan PK dari Mahkamah Agung
membatalkan putusan pailit, maka Debitor berada dalam keadaan pailit.

2. Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi, PT.


Perindustrian Njonja Meneer atau disebut PT. Njonja Meneer dengan alasan kelalaian
yang dilakukan oleh pemohon Kasasi dalam perjanjian homologasi. Hakim menghukum
pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi yang ditetapkan
sejumlah Rp.5.000.000.000.- (Lima Juta Rupiah).

13
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan
Amerika Serikat (Common Law System), -USU Reprosity Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2004.
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana,
Jakarta, 2009.
Victor M. Situmorang, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rinaka Cipta, Jakarta,1994.
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Alumni, Bandung, 2006.
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1994.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan
Praktek,Bandung, 1989.

UNDANG-UNDANG

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.

RUJUKAN ELEKTRONIK

Catur Irianto, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 3,
No.3, Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Tahun 2004, diakses dari
file:///C:/Users/acer/Downloads/54-99-1-SM.pdf pada 14 Oktober 2019.

Dedy Tri Hartono, Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan,


Jurnal Ilmu Hukum legal Opinion, Edisi 1, Vol. 4, Universitas Tadulako Palu, 2016, hlm. 2016,

14
15

diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/145241-ID-perlindungan-hukum-


kreditor-berdasarkan.pdf, tanggal 14 Oktober 2019.

Anda mungkin juga menyukai