Anda di halaman 1dari 31

TUGAS MAKALAH KEPAILITAN [FAKULTAS HUKUM]

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang merugi,
bangkrut.1[1] Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi menyebutkan bahwa, liquidation,
likuidasi: pembubaran perusahaan diikuiti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan
piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham.2[2]
Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal Penerapan Ketentuan
Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari Purwadi antara lain: Freed B.G
Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan
sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita
umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan
kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan
memperhatikan hak-hak mereka masing-masing”.3[3] Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.
Yang dapat dinyatakan mengalami kepailitan adalah debitur yang sudah dinyataka tidak
mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas: a. permohonan dibitur
sendiri (pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan); b. permohonan satu atau lebih krediturnya (pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan Tahun); c. pailit harus dengan putusan pengadilan (pasal 3 UU Kepailitan); d
Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan);
e. bila dibiturnya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (pasal 2
ayat (3) UU Kepailitan); f. Bila debiturnya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kriling dan
1[1] Daryanto, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997, hlm 455.

2[2] Kamus Hukum Ekonomi, ELIPS, 1997, hlm 105.

3[3] Ari Purwandi, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah, Jurnal tidak
diterbitkan, Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma Surabaya, 2011, hal 129.
Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan
oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan); g. dalam hal
debiturnya Perusahaan Asuransi, perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan). Sedangkan tujuan pernyataan
pailit adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta
benda disita atau dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya
(kreditur).
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat menentukan
keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang telah dinyatakan pailit. Salah
satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi.4[4] Yaitu suatu perusahaan
yang sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi.5[5] Padah tahap insolvensi penting
artinya karena pada tahap inilah nasib debitur pailit ditentukan. Apakah harta debitur akan habis
dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega dengan
diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila debitur sudah dinyatakan
insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi,
meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa
dilanjutkan.6[6]
Mengenai hal tersebut diatas maka proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui.
Kemudian tindakan selanjutnya adalah mengenai bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan
oleh Pengurus terhadap perseoroan yang mengalami kepailan. Maka kelompok kami tertarik
untuk menulis mengenai hal tersebut dengan judul PROSES KEPAILITAN DAN
TANGGUNGJAWAB PENGURUS TERHADAP PERSEROAN PAILIT.
B.  Rumusan Masalah
1.   Bagaimana proses terjadinya kepailitan?

4[4] Adi Nugroho Setiarso, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam Kepailitan (Studi
Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kapilitan dan Penundaan
kewajiban Pembayaran), Jurnat tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013,
hlm. 3.

5[5] Zaeni Asyhdie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm 1.

6[6] Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 135
2.   Bagaimana tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap Perseroan yang dipailitkan?
3.   Contoh kasus pailit batavia air dan bagaimana penyelesaiannya?

C. Tujuan
1.   Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses terjadinya kepailitan.
2.   Untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggungjawab hukum bagi Pengurus terhadap
Perseroan yang dipailitkan.
3.   Untuk memaparkan dan menganalisis kasus pailit yang terjadi pada PT Batavia Air dan
penyelesaiannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Terjadinya Kepailitan
1.   Prinsip-Prinsip umum dalam Proses terjadinya Kepailitan
Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan pengertian yang ada pada undang-undang kepailitan, para ahli hukum memberikan
makna atau pengertian yang jelas tentang kepailitan, salah satunya menurut Adrian Sutedi yang
meberikan pengertian “suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor untuk
kepentingan kreditor-kreditornya”.7[7] Kepailitan harus memenuhi dan berlandaskan pada asas:8
[8]
a.    keseimbangan, tidak ada penyalahgunaan lembaga atau pranata dalam kepailitan yang digunakan
oleh debitor yang tidak jujur dan terdapat ketentuan yang dapat mencegah kreditor melakukan
itikad tidak baik.
b.   asas kelangsungan usaha, debitor yang pada proses kepailitannya atau telah diputus
kepailitannya tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya

7[7] Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta,2009, hlm 24.

8[8] Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, 2007, hlm 16.
c.    asas keadilan, pada asas ini kepailitan dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang
memiliki kepentingan sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan baik yang dilakakan oleh
salah satu pihak.
d.   Asas integrasi, dalam hal ini kepailitan harus berdasarkan hukum formil dan materiil yang
berlaku di Indonesia.
Kepailitan diatur dalam suatu kaedah hukum memiliki tujuan untuk menuju hukum
kepailitan yang progresif. Untuk mencapai tujuan terdapat syarat yang harus dipenuhi dalam
mengajukan permohonan pailit, yaitu:9[9]
a.    Mempunyai dan diajukan oleh dua atau lebih kreditor, baik kreditor separatis, preferen, dan
konkurent. Kepailitan tersebut juga dapat diajukan oleh kejaksaan apabila debitor melakukan
tindak pidana, serta permohonan kepailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia ketika debitor
adalah perbankan, permohonan dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal apabila
debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga miring dan penjamin, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian. Permohan dapat pula diajukan oleh menteri keuangan apabila
debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, dan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN).
b.   Kreditur-kreditur tersebut menyatakan debitor tidak membayar lunas sedikit pun utang yang
harus dibayar dalam jangka waktu jatuh tempo.
2.   Prosedur Kepailitan
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu
pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan
permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun
2004 yang telah dibahas sebelumnya oleh penulis. Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada
pengadilan melalui panitera. Pengajuan selain dapat dilakukan oleh kreditur atau lembaga yang
diberikan kewenangan yaitu debitur itu sendiri. Debitur yang melakukan permohonan kepailitan
pada Perseroan Terbatas harus memenuhi syarat sebagai berikut:10[10]
a.          Surat permohonan bermaterai ditujukan kepada ketua pengadilan niaga
b.         Akta pendafataran perusahaan yang dilagalisir oleh kantor perdagangan

9[9] Penulis menafisrkan tentang syarat-syarat yang ada pada pasal 2 UU No 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU.

10[10] Opcit, hlm 74.


c.          Putusan sah Rapat umum Pemegang Saham (RUPS)
d.         Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
e.          Neraca keuangan terakhir
f.          Nama serta alamat debitur dan kreditur
Syarat yang harus dilakukan oleh kreditur yang melakukan permohonan kepailitan
adalah:11[11]
a.          Surat permohonan yang bermaterai yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Niaga
b.         Akta pendaftaran perusahaan yang dilegalisir oleh ketua perdagangan
c.          Surat perjanjian utang yang ditanda tangani kedua belah pihak
d.         Perincian utang yang tidak terbayar
e.          Nama dan alamat masing-masing kreditur/debitur
Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam
jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam
jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang
pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak
permohonan di mana dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau pencocokan utang antara debitur
dengan kreditur. Dalam rapat verifikasi atau pencocokan utang seorang debitor wajib datang
sendiri agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawasmengenai sebab
kepailitan dan keadaan harta pailit. Pada rapat pencocokan utang setelah semua pihak hadir baik
debitor, kurator, maupun kreditor, hakim pengawasakan membacakan daftar piutang yang diakui
sementara dan daftar yang dibantah oleh kurator.
Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila
fakta atau keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua atau lebih
kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar sedangkan perbedaan besarnya
utang didalihkan oleh permohonan pailit dan termohon pailit tidak menghalangi jatuhnya
putusan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan
biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.12[12]

11[11] Ibid, hlm 74.

12[12] Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 91.
Pada proses pengurusan harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan kepengurusan
yaitu:13[13]
a.       Hakim pengawas yang melakukan pengawasan pada pengurusan dan pemberesan
harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37 Tahun 2004
b.      Kurator, memiliki tugas melakukan pemberesan harta pailit
Dalam hal kepailitan terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan, kasasi ke
Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan pailit yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Proses pengurusan kepailitan dianggap telah berakhir apabila telah terjadi
hal-hal seperti berikut:14[14]
a.       Akur atau perdamaian, terjadi ketika terdapat perjanjian antara debitur pailit dengan
para kreditur di mana debitur menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat
bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa utangnya.
b.      Insolvensi atas pemberesan harta pailit, ketika terjadi insolvensi apabila kepailitan
tidak ditawarkan akur atau perdamaian atau tidak dipenuhinya suatu kesepakatan sehingga
terjadi keadaan tidak mampu membayar, sebagaimana diatur pada pasal 178 UU no 37 tahun
2004.
c.       Rehabilitasi, permohonan rehabilitasi dapat diajukan oleh debitur pailit atau ahli
warisnya dengan dibuktikan bahwa kreditur telah menerima seluruh pembayaran piutangnya.
Akibat hukum secara umum yang terjadi yang disebabkan oleh putusan pailit adalah
terhadap harta debitur akan dilakukan sitaan umum, perikatan debitur yang dibuat setelah
putusan pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta pailit, dan perbuatan hukum yang dilakukan
debitor sebelum putusan pailit diucapkan dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan pada
pasal 41 UU No 37 Tahun 2004.15[15]
B.  Tanggungjawab Hukum Bagi Pengurus Terhadap Perseroan yang Pailit
1.   Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)
Pasal 97 ayat (1) UUPT mewajibkan setiap anggota direksi untuk wajib dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab untuk melakukan pengawasan perseroan untuk kepentingan dan
usaha (tujuan perseroan). Sehingga Direksi bertanggung jawab atas pengurusan dan perwakilan

13[13] Rahayu Hartini,Opcit, hlm 126-127.

14[14] Rahayu Hartini,Opcit, hlm 175-186.

15[15] Jono, Opcit, hlm 107-108.


terhadap perseroan dalam rangka untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Tanggung jawab
direksi atas kepailitan PT dijelaskan dalam ketentuan pasal 104 UUPT, antara lain:
1.   Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada
Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan
sebagaimana diatur dalam UU kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2.   Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup
untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari
harta pailit tersebut.
3.   Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota direksi yang salah atau lalai yang pernah
menjabat sebagai anggota direksi dalam jangk waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan
pailit diucapkan.
4.   Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan:
a.    Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.   Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk
kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c.    Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang dilakukan; dan
d.   Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan;
5.   Ketentuan tersebut berlaku juga bagi direksi dari perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan
gugatan pihak ketiga.
Maka dapat diketahui bahwa berdasarkan pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) UUPT, setiap
anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan perseroan, jika
kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan juga
bagi anggota direksi yang salah/lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangka
waktu lima tahun sebelum putusan pailit diucapkan.
Pada ayat (4) memberikan kesempatan kepada anggota direksi untuk tidak bertanggung
jawab atas kepailitan perseroan, jika anggota direksi dapat membuktikan. Dengan demikian
beban pembuktian ada pada anggota direksi yang bersangkutan. Pembuktian adanya unsur
kesalahan atau kelalain menjadi kunci utama dalam menuntut pertanggungjawaban anggota
direksi. Menurut Schreuder, pengertian kesalahan menurut hukum pidana menuntut adanya 3
(tiga) unsur berupa:16[16]
1.                  Kelakuan yang bersifat melawan hukum;
2.                  Dolus (kesengajaan) atau culpa (kelalaian);
3.                  Kemampuan bertanggung jawab pelaku.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa beliau sependapat dengan sikap
pengadilan Amerika Serikat, bahwa seorang anggota direksi perseroan dalam menjalankan
tugasnya hanya bertanggung jawab apabila kelalaian yang dilakukan adalah kelalaian berat
(gross negligence).17[17] Meskipun demikian tidaklah mudah untuk membedakan mana
perbuatan hukum direksi yang bersifat kelalaian ringan dan mana perbuatan direksi yang bersifat
kelalaian berat, karena penilaian tersebut merupakan sesuatu yang bersifat subjektivitas.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap Direksi selaku pengurus perseroan
terbatas antara lain:
1.   Melakukan penahanan terhadap direksi selaku pengurus perseroan terbatas (pasal 93 sampai
dengan pasal 95 UU Kepailitan)
Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul
hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih dan
setelah mendengar hakim pengawas, dapat melakukan penahanan terhadap terhadap direksi
selaku pengurus perseroan pailit baik di rumah tahanan negara (rutan) maupun di rumah Direksi
tersebut, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Masa penahanan yang
berlaku palin lama 30 hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan dan dapat diperpanjang
selama 30 hari oleh pengadilan atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau
seorang kreditor lebih setelah mendengar hakim pengawas. Biaya penahanan dibebankan kepada
harta pailit sebagai utang harta pailit sebagai utang harta pailit.
Pengadilan juga berwenang melepaskan direksi dari tahanan atas usul hakim pengawas
atau atas permohonan direksi (mewakili debitur pailit), dengan jaminan uang dari pihak ketiga
bahwa direksi (mewakili debitur pailit) setiap waktu akan menghadap atas panggilan pertama.

16[16] S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-
Petehaem, Jakarta, 1996, hlm. 160-161.

17
2.   Meminta kehadiran Direksi pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit (pasal 96
UU Kepailitan)
Jika direksi yang ditahan, dalam hal diperlukan kehadiran kehadiran direksi pada sesuatu
perbutaan yag berkaitan dengan harta pailit maka direksi dapat diambil dari tempat tahan
tersebut atas perintah hakim pengawas. Perintah hakim pengawas tersebut dilaksanakan oleh
kejaksaan.
3.   Direksi tidak boleh meninggalkan domisilinya (pasal 97 UU Kepailitan)
Selama kepailitan, direksi selaku pengurus PT tidak boleh meninggalkan domisilinya
tanpa izin dari hakim pengawas.
4.   Direksi wajib menghadap hakim pengawas, kurator atau panitian kreditor apabila dipanggil
(pasal 110 ayat (1) UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib menghadap hakim pengawas, kurator/panitia
kreditor apabila dipanggil untuk memberikan keterangan.
5.   Direksi wajib hadir dalam rapat pencocokan piutang (pasal 121 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piuang
agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab
kepailitan dan keadaan harta pailit. Kreditor juga dapat meminta keterangan dari Direksi selaku
pengurus PT mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui hakim pengawas.
2.   Tanggung Jawab Dewan Komisaris atas Kepailitan Perseroan Terbatas
Pasal 115 mengatur sejauh mana tanggung jawab anggota DK atas kepailitan Perseroan.
Sekiranya Perseroan dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, baik hal itu terjadi atas permintaan
sendiri oleh Direksi setelah mendapat persetujuan RUPS melalui proses voluntary petition
maupun oleh pihak ketiga melalui proses involuntary petition.
a.   Faktor yang menyebabkan anggota Dewan Komisrais Bertanggung Jawab Atas Kepailitan
Perseroan
Pasal 115 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa
ikutnya anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab atas Kepailitan Perseroan, apabila
terpenuhi persyaratan atau digantungkan pada faktor berikut:18[18]
  Kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalian pengawasan yang dilakukan Dewan Komisaris

18
Syarat atau faktor pertama yang dapat menyeret anggota Dewan Komisaris selanjutnya
disebut dengan DK ikut memikul tanggung jawab atas kepailitan terjadi sebagai akibat kesalahan
atau kelalaian DK melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada pengurusan
yang dilaksanakan Direksi.
  Harta kekayaan perseroan tidak mencukupi membayar seluruh kewajiban
Syarat kedua ternyata harta pailit perseroan “tidak mencukupi” membayar seluruh
kewajiban Perseroan kepada para kreditor. Dalam hal demikian, setiap anggota DK ikut
bertanggung jawab scara tanggung renteng untuk membayar kewajiban yang belum terlunasi dari
harta kekayaan Perseroan. Tanggung jawab secara tanggung renteng yang dijelaskan diatas
berlaku juga bagi anggota DK yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan, asal terpenuhi syarat yang dijelaskan diatas.
b.   Faktor yang dapat menggugurkan tanggung jawab anggota Dewan Komisaris atas
kepailitan Perseroan
Pasal 115 ayat (3) memberi kemungkinan kepada anggota DK membebaskan diri dari
keikutsertaan bertanggungjawab pribadi dan solider atas kepailitan Perseroan. Syarat yang dapat
membebaskannya digantungkan pada faktor kemampuan membuktikan hal-hal berikut ini:
a)   Kepalilitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
b)   Telah melakukan tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan
c)   Tidak mempunyai kepentingan pribadi, langsung/tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh
direksi yang mengakibatkan kepailitan
d)  Telah memberikan nasihat ke direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan
Syarat pembebasan tanggung jawab pribadi ini bersifat “kumulatif” bukan bersifat
“alternatif”. Oleh karena itu supaya dapat bebas dan lepas memikul tanggungjawab kepailitan
itu, anggota DK yang bersangkutan harus mampu membuktikan hal- hal yang disebutkan pada a
sampai dengan d.
C. Contoh Kasus Pailit Batavia Air

Batavia Air Pailit 


Seiring palu majelis hakim, maka jelaslah status armada penerbangan berjadwal Batavia
Air. Status baru itu adalah Batavia Air dinyatakan pailit. Majelis hakim mengamini permohonan
pailit kreditor PT Metro Batavia, operator Batavia Air. Putusan majelis hakim Pengadilan Niaga
Jakarta melalui permohonan pailit yang mengabulkan permohonan yang diajukan International
Lease Finance Corporation, Rabu (30/1). Keputusan untuk memailitkan maskapai yang dikenal
dengan logo Trust Us to Fly ini karena telah memenuhi syarat-syarat kepailitan yaitu adanya
utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya kreditor lain. Syarat ini merujuk Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Perihal utang, Batavia Air diwajibkan membayar sewa pesawat senilai AS$4.688.064,07,
juga biaya cadangan, dan bunga yang tertuang dalam Aircraft Lease Agreement tertanggal 20
Desember 2009. Namun, Batavia tak lagi mampu membayar utang-utang tersebut sejak 2009 lalu
dan jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Tak ada kemampuan Batavia disebabkan force majeur,
yaitu kalah tender pelayanan transportasi ibadah haji dan umroh ini. Hal ini menjadi biang kerok
tersendatnya pembayaran. Karena pesawat yang disewa tersebut diperuntukkan melayani
penumpang yang hendak melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah-Madinah. Sehingga,
sumber pembayaran sewa pesawat berasal dari pelayanan penumpang yang melakukan ibadah
haji dan umrah.
Majelis tak mengalami kesulitan memutuskan perihal keberadaan utang ini. Batavia Air
dengan tegas mengakui utang tersebut. Alhasil, pengakuan tersebut menjadi bukti yang
sempurna di persidangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 164 HIR. “Sehingga, utang
tersebut tidak perlu dibuktikan lagi,” ucap Ketua Majelis Hakim Agus Iskandar, Rabu (30/1). 19
[19]
ANALISIS KASUS
Dari kasus yang terjadi, berdasarkan UU No. 37 tahun 2004 tentang kepailitian, putusan
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menyatakan pailit pada PT Metro Batavia. Keputusan pailit
PT. Metro Batavia disebabkan oleh utang sebanyak USD 4,68 juta yang sudah lewat jatuh tempo
namun tidak kunjung di bayar. Tuntutan pailit ini telah diajukan semenjak 20 Desember 2012
dan diputuskan pada tanggal 30 Januari 2013.
Penutupan Batavia Air pada tanggal 30 Januari ini merupakan salah satu kejadian yang
paling menyedihkan bagi industri penerbangan Indonesia. Di tengah pertumbuhan transportasi
udara yang cukup tinggi di Indonesia, Batavia Air malah menjadi terpuruk. Permohonan pailit
Batavia Air diajukan oleh International Lease Finance Corporation (ILFC) kepada Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat. Melihat kasus yang terjadi yang menimpa batavia airlines adalah preseden
buruk bagi konsumen penerbangan di Indonesia, belajar dari kasus yang ada, Adam Air dan
Mandala air penutupan operasi maskapai selalu menempatkan konsumen sebagai korban.
Batavia Air telah dinyatakan pailit karena tak mempu melunasi utang-utang dalam jutaan
Dollar itu yang muncul akibat perjanjian perbaikan pesawat yang tertuang dalam agreement on
Overhaul and repair pada 19 April 2007 dan 12 Mei 2008.20[20] Memang tak dapat dipungkiri

19

20
bahwa penggunaan utang sebagai modal operasional atau pun ekspansi usaha merupakan salah
satu hal yang dapat dilakukan oleh lembaga atau perusahaan. Menumpuknya utang oleh Batavia
Air karena ketika jatuh tempo pelunasan utang, yang terjadi adalah ketidakmampuan. Dalam hal
ini, menumpuknya utang mungkin saja disebabkan lemahnya aspek manajemen keuangan dalam
tubuh Batavia Air. Karena bagaimana pun kasus pailitnya Batavia Air diduga disebabkan oleh
utang. Apabila dikaji dari perspektif keuangan maka pailitnya Batavia Air mendeskripsikan
pengelolaan keuangan yang kurang bagus yang mana dapat terindikasi dari kemampuan
menghasilkan nilai lebih dari utang atau biasanya disebut sebagai cost lebih besar dari benefit.
Terlebih sebagai perusahaan swasta (private corporation) Batavia Air juga tidak memiliki
kewajiban untuk memberikan laporan keuangannya secara publik, sehingga dalam hal ini juga
sulit untuk memberikan dan menyimpulkan kondisi keuangan Batavia Air.
Dari kasus pailitnya Batavia Air dapat dipahami bahwa ada celah pemasukan dan
pengeluaran potensi bisnis yang tidak pasti. Oleh karena itu, pemanfaatan celah pasar yang
diharapkan pihak manajemen Batavia Air tidak berjalan sesuai rencana.
Proses Penyelesaian Pailit oleh Kurator
Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara
lain Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Pasaribu, dan Alba
Sumahadi. Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta
Pusat. Beberapa aktifitas yang sudah terjadwal21[21]:
-       15 Feb 2013-Rapat Kreditur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pukul 09:00.
-       18 Feb 2013-Mengundang kreditur non-tiket dan agen untuk mengajukan tagihan kreditur dan
pajak di Kantor Kurator.
-       18 Feb-1 Maret 2013-Penumpang Batavia Air bisa muendaftarkan diri sebagai kreditur Batavia
Air.
-       14 Maret 2013-Verifikasi dan pencocokan piutang di kantor Kurator.
Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu Kurator Batavia Air
(Turman Panggabean) sudah menyatakan bawah penggantian tiket calon penumpang dapat
dilakukan dengan syarat ada investor baru. Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang
tiket untuk bisa mendapatkan uang refund atau pengembalian.22[22]

21

22
Kreditur separatis, apakah ada hal2 yg mnybabkan tdak trpenuhi hak2nya dalam

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan
intisari permasalahan, adalah sebagai berikut
1.   Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan
niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan permohonan
pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004.
Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Panitera
mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling
lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling
lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan
mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan
kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak permohonan. Tahap putusan atas
permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau keadaan secara
sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60
hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan pada asas
peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.
2. Pengurus perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan perseroan, jika
kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian dari pengurus perseroan.
Namun pengurus tidak dapat dibebani tanggung jawab apabila dapat membuktikan kepailitan
tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad
baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan; tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan telah mengambil tindakan untuk
mencegah terjadinya kepailitan.
B.  Saran
1.   Sebaiknya kementerian perhubungan menerapkan klasifikasi kesehatan perusahaan penerbangan.
Perlu ada kategori airline dalam kondisi pengawasan khusus dan dilakukan pembatasan kegiatan
usaha, sebelum airline ditutup atau berhenti beroperasi. Dalam reformasi hukum kepailitan, perlu
adanya pendekatan yang berbeda dalam menangani perkara kepailitan untuk perusahaan yang
bergerak di bidang pelayangan publik. Sama halnya di sektor keuangan, dimana untuk
menyatakan pailit perlu ada persetujuan dari otoritas keuangan (kementerian keuangan dan Bank
Indonesia). Sudah waktunya  prinsip yang sama di terapkan di sektor perhubungan. Untuk
menyatakan sebuah operator jasa  transportasi dinyatakan pailit perlu ada persetujuan dari
Kementrian Perhubungan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta.
Munir Fuady, 1999, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung.
M. Yahya Harahap, 2011, Hukum Perseroan Terbatas, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Rahayu Hartini, 2007, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang.
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni Ahaem-
Petehaem, Jakarta.
Sofjan Sastrawidjaja, 1996, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai dengan Alasan Peniadaan
Pidana), Armico, Bandung.
Zaeni Asyhdie, 2005, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Kamus
Daryanto, 1997, Kamus Bahasa Indonseia Lengkap, Apollo, Surabaya.
Kamus Hukum Ekonomi, 1997, ELIPS.
JURNAL
Adi Nugroho Setiarso, 2013, Analisis Yuridis terhadap Keadaan Insolvensi Dlam Kepailitan (Studi
Normatif Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kapilitan dan
Penundaan kewajiban Pembayaran), Jurnal tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Malang.
Ari Purwandi, 2011, Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah, Jurnal tidak
diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Widjaya Kusuma Surabaya, Surabaya.
INTERNET
Batavia Air Pailit, (online), http://ekonomi.kompasiana.com, (14 November 2013).
Batavia Langsung Ganti Tiket, (online), http://bangka.tribunnews.com, (16 November 2013).
Happy Rayna Stephanny, Batavia Air Pailit (online), http://www.hukumonline. com, (14 November
2013).
Tim Kurator Mulai Data Utang Batavia, (online), http://www.merdeka.com, (16 November 2013)
KEPAILITAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.      A. LATAR BELAKANG

Perkembangan perekonomian global membawa pengaruh terhadap perkembangan hukum


terutama hukum dagang yang merupakan roda penggerak perekonomian. Erman Radjagukguk
menyebutkan bahwa globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan Negara-negara
berkembang mengenai investasi,perdagangan, jasa-jasa dan bidang perekonomian lainnya
mendekati Negara-negara maju. (Convergency).Dalam rangka menyesuaikan dengan
perekonomian global, Indonesia melakukan revisi terhadap seluruh hukum ekonominya.Namun
demikian tidak dapat disangkal bahwa perubahan terhadap hukum ekonomi Indonesia dilakukan
juga  karena tekanan dari badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan Worl Bank. Bidang hukum
yang mengalami revisi antara lain adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan sendiri merupakan
warisan dari pemerintahan Kolonial Belanda yang notabenenya bercorak sistem hukum Eropa
Kontinental. Di Indonesia saat ini dalam hukum ekonomi mendapat pengaruh yang cukup kuat
dari sistem hukum Anglo Saxon.

Pada dasarnya Kepailitan dapat terjadi karena makin pesatnya perkembangan perekonomian
dan perdagangan dimana muncul berbagai macam permasalahan utang piutang yang timbul
dalam masyarakat. Begitu juga dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah
memberikan dampak yang tidak  menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga
menimbulkan kesulitas besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk
meneruskan kegiatan usahanya.

Mempelajari perkembangan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari
kondisi perekonomian nasional khususnya yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Dari sisi
ekonomi patut disimak data yang dikemukakan oleh Lembaga Konsultan (think tank) Econit
Advisory Group, yang menyatakan bahwa tahun 1997 merupakan ‘Tahun Ketidak pastian” (A
Year of Uncertainty). Sementara itu, Tahun 1998 merupakan “Tahun Koreksi” (A Year of
Correction). Pada pertengahan tahun 1997 terjadi depresiasi secara drastis nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, khususnya US $ dari sekitar Rp. 2300,00 pada sekitar bulan Maret
menjadi sekitar Rp. 5000,00 per US $ pada akhir tahun 1997. Bahkan pada pertengahan tahun
1998 nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp. 16.000,00 per US $. Kondisi perekonomian ini
mengakibatkan keterpurukan terhadap pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya positif sekitar 6
– 7 % telah terkontraksi menjadi minus 13 – 14 %. Tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 %
menjadi sekitar 70 %. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya
terhadap para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan (Pailit).

1.      B. RUMUSAN MASALAH

Bertolak dari kerangka dasar berfikir sebagaimana diuraikan pada bagian latar belakang,
maka permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Kepailitan

1.      C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :

1. Untuk memenuhi tugas makalah Hukum Dagang.


2. Mengetahui mengenai konsep kepailitan perusahaan dan penundaan pembayaran .

3. Mengetahui mengenai proses dijatuhkannya pailit.

1.      D. METODOLOGI PENULISAN

Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode/cara pengumpulan data atau informasi
melalui :

 Penelitian kepustakaan ( Library Research ) yaitu penelitian yang dilakukan melalui studi
literature, internet, dan sebagainya yang sesuai atau yang ada relevansinya dengan
masalah yang dibahas.

1.      E. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang penulisan ini, maka terlebih dahulu penulis
akan menguraikan penulisannya agar lebih mudah dipahami dalam memecahkan masalah yang
ada. Di dalam penulisan ini dibagi dalam 3 ( tiga ) bab yang terdiri dari :
BAB I        : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, metodologi penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II       : Bab ini merupakan bab yang berisi pembahasan yang tercakup dalam rumusan masalah.

BAB III     : Bab ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran.

BAB II

PEMBAHASAN

KEPAILITAN

2.I. Dasar Hukum Kepailitan

Semula lembaga hukum kepailitan diatur undang-undang tentang Kepailitan dalam


Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348. Karena
perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi, serta modal yang
dimiliki oleh para pengusaha umumnya berupa pinjaman yang berasal dari berbagai sumber,
undang-undang tersebut telah menimbulkan banyak kesulitan dalam penyelesaian utang-piutang.
Penyelesaian utang-piutang juga bertambah rumit sejak terjadinya berbagai krisis keuangan yang
merembet secara global dan memberikan pengaruh tidak menguntungkan terhadap
perekonomian nasional. Kondisi tidak menguntungkan ini telah menimbulkan kesulitan besar
terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya.

Undang-undang tentang Kepailitan (Faillissements verordening, Staatsblad 1905:217


juncto Staatsblad 1906:348), sebab itu, telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang
Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan tersebut juga ternyata belum memenuhi perkembangan dan
kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga pada tahun 2004 pemerintah memperbaikinya lagi
dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU). Dan juga adapun BW secara umum
khususnya pasal 1131 sampai dengan 1134.
23
[2]

2.2 Pengertian dan Syarat Kepailitan

Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU), “kepailitan”
diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Menurut
kamus, pailit berarti “bangkrut” atau “jatuh miskin”. Dengan demikian maka kepailitan adalah
keadaan atau kondisi dimana seseorang atau badan hukum tidak mampu lagi membayar
kewajibannya (Dalam hal ini utangnya) kepada si piutang.

Tampak bahwa inti kepailitan adalah sita umum (beslaang ) atas kekayaan debitor.
Maksud dari penyitaan agar semua kreditor mendapat pembayaran yang seimbang dari hasil
pengelolaan asset yang disita. Dimana asset yang disita dikelola atau yang disebut pengurusan
dan pemberesan dilakukan oleh curator.

23
Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu Debitur tidak dapat membayar utangnya, maka jika
Debitur tersebut hanya memiliki satu orang Kreditur dan Debitur tidak mau membayar utangnya
secara sukarela, maka Kreditur dapat menggugat Debitur ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta
Debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditur. Namun, dalam hal Debitur
memiliki lebih dari satu Kreditur dan harta kekayaan Debitur tidak cukup untuk melunasi semua
utang kepada para Kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para Kreditur akan berlomba-
lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu.
Kreditur yang belakangan datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran
karena harta Debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan Kreditur
yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum.
Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran
tagihan-tagihan para Kreditur dengan berpedoman pada KUHPer, terutama pasal 1131 dan 1132,
maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU.

Pasal 1131 KUHPer:

“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu.”

Pasal 1132 KUHPer:

“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil
penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila
di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”

Dari dua pasal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pada prinsipnya pada setiap individu
memiliki harta kekayaan yang pada sisi positif di sebut kebendaan dan pada sisi negatif disebut
perikatan. Kebendaan yang dimiliki individu tersebut akan digunakan untuk memenuhi setiap
perikatannya yang merupakan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan.

Syarat Kepailitan

Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) UUK :

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak mambayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan,
baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan
1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur, maka pernyataan pailit tersebut
harus dilakukan dengan putusan Pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada
Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit
tersebut kepada Pengadilan adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu
membayar Debitur. Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum
bahwa Debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan
kepada Kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan tindakan. Dengan demikian, dari
pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa dikabulkannya suatu pernyataan pailit jika
dapat terpenuhinya persyaratan kepailitan sebagai berikut:

1)             Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih Kreditur

Untuk melaksanakan Pasal 1132 KUHPer yang merupakan jaminan pemenuhan


pelunasan utang kepada para Kreditur, maka pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan
PKPU mensyaratkan adanya dua atau lebih Kreditur. Syarat ini ditujukan agar harta kekayaan
Debitur Pailit dapat diajukan sebagai jaminan pelunasan piutang semua Kreditur, sehingga
semua Kreditur memperoleh pelunasannya secara adil. Adil berarti harta kekayaan tersebut harus
dibagi secara Pari passu dan Prorata. Pari Passu berarti harta kekayaan Debitur dibagikan
secara bersama-sama diantara para Kreditur, sedangkan Prorata berarti pembagian tersebut
besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-masing Kreditur terhadap utang Debitur
secara keseluruhan.

Dengan dinyatakannya pailit seorang Debitur, sesuai pasal 22 jo. Pasal 19 Undang-undang
Kepailitan dan PKPU, Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang dimasukkan ke dalam kepailitan. Terhitung sejak tanggal putusan
Pengadilan, Pengadilan melakukan penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan Debitur Pailit,
yang selanjutnya akan dilakukan pengurusan oleh Kurator yang diawasi Hakim Pengawas. Dan
bila dikaitkan dengan pasal 1381 KUHPer tentang hapusnya perikatan, maka hubungan hukum
utang-piutang antara Debitur dan Kreditur itu hapus dengan dilakukannya “pembayaran” utang
melalui lembaga kepailitan.

(2)      Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih.

Gugatan pailit dapat diajukan apabila Debitur tidak melunasi utangnya kepada minimal
satu orang Kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu yang telah ditentukan sesuai dalam
perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya disebutkan perihal kapan suatu kewajiban itu harus
dilaksanakan. Namun dalam hal tidak disebutkannya suatu waktu pelaksanaan kewajiban, maka
hal tersebut bukan berarti tidak dapat ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238 KUHPer
mengatur sebagai berikut:

“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan
kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Adapun criteria yang harus dipenuhi, yakni debitur mempunyai atau lebih kteditur dan
tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Rumusan utang
dijelaskan dalam Pasal 1 butir 6 UUK menyebutkan utang adalah kewajiban yang dinyatakan
atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing,
baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian
atau UU dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada
Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.

Adapun syarat yang lain dalam kepailitan yaitu :

 Pailit berarti pemogokan pembayar atau kemacetan pembayaran.


 Debitur dalam keadaan berhenti membayar, dengan putusan hakim dia dinyatakan pailit.

 Putusan pailit akan diucapkan hakim, bila secara sumir terbukti adanya peristiwa atau
keadaan yang menunjukan adanya keadaan berhenti membayar dari debitur.

 Sumir terbukti berarti untuk pembuktian tidak berlaku peraturan pembuktian yang biasa   
( buku IV KUHPerdata ).

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia atau mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul dikemudian hari yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat
pemenuhan dari harta kekayaan debitur.

2.3. Asas Utama Undang-Undang Kepailitan

1) Cepat

Proses kepailitan lebih sering digunakan oleh pelaku usaha, sehingga memerlukan keputusan
yang cepat.

2) Adil

Melindungi kreditur dan debitur yang beritikad baik serta pihak ketiga yang tergantung dengan
usaha debitur.

3) Terbuka

Keadaan insolven suatu badan hukum harus diketahui oleh masyarakat sehingga tidak akan
menimbulkan efek yang negative dikemudian hari, dan mencegah debitur yang beritikad buruk
untuk mendapatkan dana dari masyarakt dengan cara menipu.

4) Efektif

Keputusan pengadilan harus dapat dieksekusi dengan cepat, baik keputusan penolakan
permohonan pailit, keputusan pailit, keputusan perdamaian ataupun keputusan PKPU.

2.4 Tujuan hukum kepailitan

1. Agar debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela walaupun telah ada putusan
pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu
untuk membayar seluruh hutangnya, maka seluruh harta bendanya disita untuk dijual dan
hasil penjualan itu dibagi-bagikan kepada semua krediturnya menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan;
2. untuk menghindarkan kreditur pada waktu bersamaan meminta pembayaran kembali       
piutangnya dari si debitur;

3. Menghindari adanya kreditur yang ingin mendapatkan hak istimewa yang menuntut hak-
haknya dengan cara menjual sendiri barang milik debitur, tanpa memperhatikan
kepentingan kreditur lainnya;
4. Menghindarkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh si debitur sendiri, misalnya
debitur melarikan atau menghilangkan semua harta kekayaannya dengan maksud
melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur, debitur menyembunyikan harta
kekayaannya, sehingga para kreditur tidak akan mendapatkan apa-apa.

5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaannya


mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan
insolvensi.

2.5. Fungsi Undang-Undang Kepailitan

1. Mengatur tingkat Prioritas dan urutan masing-masing piutang para kreditor.


2. Mengatur tata cara agar seorang debitur dapat dinyatakan pailit.

3. Mengatur tata cara menentukan kebenaran mengenai adanya suatu piutan kreditur.

4. Mengatur mengenai sahnya piutang atau tagihan.

5. Mengatur mengenai jumlah yang pasti dari piutang.

6. Mengatur bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitur untuk
pelunasan piutang masing-masing kreditur berdasarkan urutan tingkat prioritasnya.

7. Untuk eksekusi sita umum oleh pengadilan terhadap harta debitur sebelum pembagian
hasil penjualan.

8. Mengatur upaya perdamaian yang ditempuh oleh debitur dengan keditur sebelum
pernyataan pailit dan sesudah pernyatan pailit.

2.6. Pelindungan Kepentingan Kepailitan Perseroan

1. Kepentingan perseroan.
2. Kepentingan pemegang saham minoritas.

3. Kepentingan karyawan perseroan.

4. Kepentingan persaingan usaha yang sehat.


5. Kepentingan masyarakat.

2.7 Perlindungan Kepentingan Kepailitan Masyarakat

1. Pajak yang dibayar debitur oleh negara.


2. Masyarakat yang memerlukan kesempatan kerja dari debitur.

3. Masyarakat yang memasok barang dan jasa kepada dibitur.

4. Masyarakat yang tergantung hidupnya dari pasokan barang dan jasa ( konsumen atau
pedagang ).

2.8. Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan

Selain oleh Kreditur dan Debitur sendiri, suatu permohonan pailit dapat diajukan oleh
pihak-pihak lain seperti yang disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang Kepailitan dan PKPU.
Mereka adalah:

1.  Kejaksaan untuk kepentingan umum.

Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan masyarakat luas.

2.  Bank Indonesia dalam hal Debitur adalah bank

Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu bank sepenuhnya merupakan


kewenangan Bank Indonesia. Pengajuan tersebut semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi
keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu
dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan
ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai
pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan
perundang-undangan.

3.  Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian

Permohonan pailit juga dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) karena
lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang
diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal. Badan
Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan
pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya
kewenangan Bank Indonesia terhadap bank.

4.  Menteri Keuangan dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

2.9. Pihak yang Dapat Dijatuhkan Pailit

1. Orang perorangan : pria dan wanita; menikah atau belum menikah. Jadi pemohon adalah
debitur perorangan yang telah menikah, maka permohonan hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami atau isterinya, kecuali tidak ada percampuran harta.
2. Perserikatan atau perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya. Jika pemohon berbentuk
Firma harus memuat nama dan tempat kediaman masimh-masing persero yang secara
tanggung renteng terikat untuk seluruh utang Firma.

3. Perseroan, perkumpulan, koperasi, yayasan yang berbadan hukum.

4. Harta warisan.

2.10. Akibat Kepailitan

1. Kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit diucapkan
serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Kecuali tempat tidur,pakaian, alat-
alat pertukangan, buku-buku yang diperlukan dalam pekerjaan,makanan dan minuman
untuk satu bulan, alimentasi atau uang yang diterima dari pendapatan anak-anaknya.
2. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan ( sejak pukul 00.00 waktu setempat ).

3. Kepailitan hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitur pailit.

4. Harta pailit diurus dan dikuasai curator untuk kepentingan semua kreditur dan debitur.
Hakim pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.
5. tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau
terhadap curator.

6. Segala perbuatan debitur yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit, apabila dapat
dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara sadar dilakukan debitur untuk merugikan
kreditur maka dapat dibatalkan oleh curator atau kreditur atau gugatan yang diajukan
curator demi menyelamatkan keutuhan harta pailit demi kepentingan kreditur 
(Aktiopauliana ).

7. Hibah dapat dibatalkan sepanjang merugikan harta kepailitan ( boedel pailit ). Missal
penghibahan 40 hari menjelang kepailitan dianggap dibuat untuk  merugikan para
kreditur.

1. Perikatan selama kepailitan yang dilakukan debitur apabila perikatan tersebut


menguntungkan bisa diteruskan. Namun apabila perikatan tersebut dapat merugikan,
maka kerugian sepenuhnya ditanggung oleh debitur secara pribadi atau perikatan tersebut
dapat dimintakan pembatalan.

2. Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam satu persatuan harta, diperlakukan sebagai
kepailitan persatuan harta tersebut.

2.11. Cara Penundaan Kepailitan

Cara penundaan kepailitan ini dapat ditempuh dengan mekanisme pengajuan perdamaian.
Debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditur atau
melakukan PKPU.

l      Jika pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kepailitan berakhir.

l   Kurator wajib mengumumkan perdamaian tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia
dan paling sedikit 2 surat kabar harian.

l      Jika tidak ditentukan lain, Kurator wajib mengembalikan kepada Debitur semua benda,
uang, buku dan dokumen yang termasuk harta pailit dengan tanda terima yang sah.

2.12. Prosedur Permohonan Pailit


Bagaimana prosedur permohonan pailit? Hal ini diatur dalam pasal 6 UUK,yaitu sebagai
berikut :

(1)      Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada ketua pengadilan.

(2)      Penitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani
oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

(3)      Penitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3),(4) dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.

(4)      Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan paling
lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

(5)      Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan
pailit didaftarkan,pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

(6)      Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyatan pailit diselenggarakan dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

(7)      Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda
penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan paling lambat 25
(dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

2.13. Upaya Hukum

Jika para pihak tidak puas terhadap keputusan pengadilan niaga, dapat mengadakan upaya
hukum, yakni kasasi. Dijabarkan dalam Pasal 11 UUK, yang mengemukakan :

(1)      Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit
adalah kasasi ke MA.

(2)      Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8
(delapan) hari setelah tanggal putusan yang domohonkan kasasi diucapkan, dengan
mendaftarkan kepada panitera pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit.
(3)      Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selain dapat diajukan oleh
debitor dan kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat24[3]
diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang
tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.

(4)      Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan
diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera
dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

2.14. Putusan Pailit

Jika pengadilan menerima permohonan pailit,diangkat curator untuk melaksanakan tugas


pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit. Curator dapat ditunjuk oleh :

a.  Debitor atau kreditor

b. Pengadilan

Curator adalah pihak yang diberi tugas untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan atas
harta pailit. Dalam melakukan tugasnya, kurator :

1. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan


terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan
diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;
2. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, semata – mata dalam meningkatkan nilai
harta pailit. Bila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga curator perlu membebani
harta pailit dengan hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, maka
pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan hakim pengawas.

Curator yang dimaksud di atas terdiri dari 2 macam, yaitu :

1. Balai Harta Peninggalan (BHP)


2. Curator lainnya yaitu perseorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di
Indonesia yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan
atau membereskan harta pailit dan telah terdaftar pada departemen Kehakiman.

2.15. Berakhirnya Kepailitan

24
Pembatalan oleh MA setelah adanya upaya hukum.

1. Pencabutan kepailitan atas usul curator karena kekayaan debitur sangat tidak mencukupi
untuk membayar utang.
2. Pemberesan.

3. Perdamaian.

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Krisis moneter membuat hutang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan
banyak sekali Debitor tidak mampu membayar utang-utangnya. Di samping itu, kredit macet di
perbankan dalam negeri juga makin membubung tinggi secara luar biasa (sebelum krisis moneter
perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah yaitu sebagai
akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter.

Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat diandalkan. Banyak
Debitor yang dihubungi oleh para Kreditornya karena berusaha mengelak untuk tanggung jawab
atas penyelesaian utang-utangnya. Sedangkan restrukturisasi utang hanyalah mungkin ditempuh
apabila Debitor bertemu dan duduk berunding dengan para Kreditornya atau sebaliknya.

Di samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor harus masih memiliki
prospek yang baik untuk mendatangkan revenue, sebagai sumber pelunasan utang yang
direstrukturisasi itu. Dengan demikian diharapkan adanya feedback antara kreditor dan debitor
dengan baik. Sehingga dirasakan dapat menguntungkan kedua belah pihak.

2.      Saran
Seyogyanya Majelis Hakim pengadilan niaga dalam memeriksa perkara kepailitan harus tetap
memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku seperti memperhatikan subyek yang menjadi
persengketa
DAFTAR PUSTAKA

Radjagukguk, Erman., Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal
Hukum Vol.II No.6

Prof.Dr.H.Man S.Saatrawidjaja,S.H.,S.U.2006,Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang,cetakan pertama,PT Alumni,Bandung

Sembiring Sentosa,Hukum Dagang, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2008

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang

Fred B.G.Tumbuan, Pokok-pokok Penyempurnaan Aturan Tentang Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Undang-Undang
Kepailitan,Jakarta,3-14 Agus

Anda mungkin juga menyukai