Anda di halaman 1dari 24

PP Ke 12

PERUSAHAAN PAILIT

A. Pengertian
 Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit.

 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang


mempunyai arti ganda sebagai kata benda dan sebagai kata sifat.

 Istilah Faiyit sendiri berasal dari bahasa Perancis yaitu Faillite yang
berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.

 Pada negara berbahasa Inggris pailit dan kepailitan menggunakan


istilah bankrupt dan bankruptcy.
 Kepailitan merupakan suatu sitaan umum, atas seluruh harta
kekayaan dari orang yang berutang, untuk dijual di muka umum, guna
pembayaran hutang-hutangnya kepada semua kreditor, dan dibayar
menurut perbandingan jumlah piutang masing-masing.

 Sedangkan pailit adalah suatu keadaan dimana seorang debitor tidak


membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

 Rachmadi Usman :
Kepailitan adalah keadaan dimana seorang debitor tidak mampu
melunasi hutang-hutangnya pada saat hutang tersebut jatuh tempo.
Pernyataan pailit tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus
dinyatakan oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun
atas permintaan seseorang atau pihak ketiga.
 Definisi Kepailitan menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan),
kepailitan adalah:

“...sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini“

 Berdasarkan definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepailitan


merupakan suatu keadaan dimana seorang Debitor berhenti membayar utang-
utangnya kepada Kreditor.

 Debitor dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan
pailit yang diajukan oleh Debitor sendiri atau Kreditor.

 Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut, Pengadilan Niaga


dapat menunjuk Kurator untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan
terhadap harta Debitor pailit. Kurator kemudian membagikan harta Debitor pailit
kepada para Kreditor sesuai dengan piutangnya masing-masing .
B. Syarat-syarat Pengajuan kepailitan
 Menurut UU No.37 Th 2004 tentang KPKPU (Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran) :

1. Dalam Pasal 2 Ayat (1) :


a) Ada dua atau lebih kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai
piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka
pengadilan “Kreditor” di sini mencakup baik kreditor konkuren, kreditor
separatis maupun kreditor preferen;

b) Ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Artinya adalah
kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah
diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana
diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang
berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis
arbitrase;

2. Dalam Pasal 8 Ayat (4) :


Kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditor dan adanya utang yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih) dapat dibuktikan secara sederhana.
C. Prosedur Pengajuan Pailit
Dalam mengajukan kepailitan, ada syarat tertentu yang harus
dipenuhi, sehingga nanti pengajuan tersebut bisa diproses dan
diputuskan. Pemenuhan syarat pengajuan kepailitan ini termasuk
dalam prosedur pengajuan kepailitan. Adapun syarat pengajuan
kepailitan ini diatur langsung dalam UU Kepailitan.

Berdasarkan Pasal 2 UU Kepailitan, syarat yuridis kepailitan harus


dipenuhi terlebih dahulu, agar bisa mengajukan kepailitan atas
sebuah perusahaan. Syaratnya adalah adanya utang yang salah
satunya minimal sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Selanjutnya, ada 2 atau lebih kreditur, adanya debitur,
permohonan pernyataan pailit dan pernyataan pailit dari
Pengadilan Niaga.

Agar bisa memperoleh pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga,


maka ada prosedur pengajuan kepailitan juga yang harus dijalani.
Prosedur pengajuan ini sendiri diatur dalam UU No.37 Tahun 2004
yang membahas tentang Kepailitan. Berikut prosedur yang harus
dilalui untuk memperoleh pernyataan pailit dari Pengadilan Niaga.
1) Pendaftaran Permohonan Pailit
Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 6 (ayat 1) UU
KPKPU Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit
kepada Pengadilan Niaga. Panitera Pengadilan Niaga wajib
mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan dan kepada Pemohon diberikan tanda terima
tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan
tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran (Pasal 6 ayat (2)
UU KPKPU).

Pengajuan permohonan pailit kepada Ketua Pengadilan melalui


Panitera. dalam hal ini Menunjuk Advokat Berlisensi Kurator.
Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada
Ketua Pengadilan paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan
didaftarkan. Hari sidang akan ditetapkan dalam jangka waktu 3 hari
setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Sidang pemeriksaan akan dilakukan dalam jangka waktu paling


lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
2) Tahap Pemanggilan Para Pihak
Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui Juru
Sita melakukan pemanggilan para pihak, antara lain:

a) Wajib memanggil Debitor, dalam hal permohonan


pernyataan pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan,
Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan
(Pasal 8 ayat (1) huruf a UU KPKPU)

b) Dapat memanggil Kreditor, dalam hal permohonan


pernyataan pailit diajukan oleh Debitor (voluntary
petition) dan terdapat keraguan bahwa persyaratan
untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan telah terpenuhi.

Pemanggilan atas debitur atau kreditur akan dilakukan


oleh juru sita dengan surat kilat, paling alam 7 hari
sebelum persidangan pertama dilakukan.
3) Tahap Persidangan dan Permohonan Pailit
 Dalam jangka waktu 3 hari setelah tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari
permohonan dan menetapkan sidang (Pasal 6 ayat (5) UU
KPKPU).

 Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut


diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari
setelah tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 6 ayat (6)
UU KPKPU).

 Atas permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang


cukup seperti adanya surat keterangan sakit dari dokter,
pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang
pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah
tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 6 ayat (7) UU
KPKPU).
4) Tahap Putusan dan Pernyataan Pailit
 Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat (5) UU KPKPU).

 Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam


sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut.

 Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit


disampaikan oleh Juru Sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitor,
pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, Kurator, dan
Hakim Pengawas paling lambat 3 hari setelah putusan atas
permohonan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 8 ayat (6) UU KPKPU).

Pertimbangan hukum yang mendasari putusan atas permohonan


penyataan pailit tersebut harus termuat secara lengkap di dalamnya.
Putusan tersebut juga harus memuat pendapat Majelis Hakim, yang harus
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan
terlebih dahulu, sekalipun ada upaya hukum atas putusan tersebut.
D. Akibat Hukum Putusan Pailit
 Putusan pernyataan pailit Pengadilan Niaga akan membawa
akibat bagi Debitor dan Kreditor.

 Akibat hukum dari putusan pernyataan pailit itu diatur dalam Pasal
UU KPKPU yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat
putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan.

 Debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdatanya


untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan yang telah
dimasukkan ke dalam harta pailit namun Debitor yang dinyatakan
pailit itu tetap dapat melakukan perbuatan hukum yang
menyangkut dirinya karena kepailitan hanya berakibat pada harta
Debitor pailit, bukan mengenai diri pribadi Debitor pailit.
 Perusahaan yang bukan badan hukum yaitu Firma dan Persekutuan
Komanditer (CV) kepailitan tidak dijatuhkan kepada persekutuannya
tetapi yang dinyatakan pailit adalah sekutunya. Para sekutu masing-
masing bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perikatan-perikatan
persekutuan tersebut maka utang-utang yang tidak dibayar oleh
persekutuan adalah utang-utang dari para sekutu Firma dan CV.

 Apabila CV mengalami kepailitan maka yang bertanggungjawab secara


hukum adalah sekutu komplementer karena sekultu komplementer
merupakan sekutu pengurus yang bertanggungjawab atas jalannya
persekutuan, sedangkan tanggung jawab sekutu komanditer hanya
terbatas pada sejumlah modal yang disetorkan saja.

 Pasal 69 ayat (1) UU KPKPU menentukan bahwa Kurator berwenang


melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit untuk
kepentingan Kreditor dan Debitor dengan pengawasan hakim Pengawas.
 Pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit itu dilaksanakan sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan. Dalam hal debitor Pilit adalah perusahaan yang berbadan
hukum yaitu Perseroan Terbatas maka berdasarkan Pasal 104 UUK-PKPU yang
menentukan bahwa atas persetujuan Panitia Kreditor sementara.

 Kurator dapat menjalankan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap
putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau Peninjauan Kembali. Dari
ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang dinyatakan pailit
kehilangan haknya untuk mengurus perusahaan itu namun kepailitan tidak secara
langsung membuat perusahaan itu berhenti menjalankan operasional perusahaan
karena Kurator yang akan mengambil alih perusahaan itu dengan melanjutkan usaha
Debitor Pailit.

 Dengan diteruskannya usaha Debitor pailit itu maka ada beberapa keuntungan yang
diperoleh yaitu :
a. Dapat menambah harta Debitor pailit dengan keuntungan-keuntungan yang
mungkin diperoleh dari perusahaan itu
b. Ada kemungkinan Debitor pailit akan dapat membayar utang-utangnya secara
penuh
c. Ada kemungkinan tercapainya suatu perdamaian.
 Apabila dalam masa pengurusan dan/atau pemberesan harta
pailit itu ternyata putusan pernyataan pailit dibatalkan oleh
Mahkamah Agung karena adanya upaya hukum Kasasi atau
Peninjauan Kembali maka pengurusan dan/atau pemberesan
harta pailit yang telah dilakukan Kurator sebelum pembatalan
putusan itu adalah tetap sah dan mengikat Debitor.

 Setelah putusan pernyataan pailit itu dibatalkan maka


Majelis Hakim menetapkan jumlah biaya kepailitan yang
timbul dan imbalan jasa Kurator tersebut, Kurator dapat
memohonkan kepada Ketua Pengadilan untuk
mengeluarkan eksekusi.

 Terhadap penetapan biaya dan pemberesan ini tidak dapat


diajukan upaya hukum apapun untuk melawannya.
E. Upaya Hukum dalam Kepailitan
Terhadap permohonan bahkan putusan pailit dapat dilakukan upaya hukum, seperti
dijabarkan berikut ini :

1) Selama Permohonan Pailit:


a. PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
 Upaya hukum atas permohonan kepailitan yang telah diajukan ke
Pengadilan Niaga dapat dilakukan selama proses
pengajuan/pemeriksaan permohonan pernyataan pailit atau setelah
putusan atas permohonan pernyataan pailit dijatuhkan oleh Pengadilan
Niaga.

 Upaya hukum selama proses pengajuan/pemeriksaan permohonan


pernyataan pailit dapat dialkukan dengan mengajukan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Debitor.

 Pada dasarnya PKPU kepada Debitor dimaksudkan agar Debitor


mempunyai kesempatan untuk melunasi atau melaksanakan
kewajibannya atas utang-utang sehingga tidak sampai dinyatakan pailit.
 Syarat-syarat untuk dapat mengajukan PKPU menurut pasal 222 UU
KPKPU :
1) Debitor tidak mampu atau merasa tidak mampu membayar utang-
utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.
2) Kreditor memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan
membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

 Dalam hal permohonan PKPU dan permohonan pailit diajukan dan


diperiksa bersama di Pengadilan Niaga, maka atas permohonan PKPU
harus diputus terlebih dahulu dan harus diajukan pada sidang tingkat
pertama (Pasal 229 ayat 4 UU KPKPU).

 Selama berlangsungnya PKPU Debitor tidak dapat dipaksa membayar


utang-utangnya, termasuk melakukan semua tindakan eksekusi yang
telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang, harus ditangguhkan.
Kecuali telah ditetapkan tanggal yang lebih awal oleh Pengadilan, semua
sitaan yang telah diletakkan gugur, dan dalam hal Debitor disandera maka
harus segera dilepaskan segera setelah diucapkan putusan PKPU tetap.

 Seluruh proses PKPU tidak boleh melebihi jangka waktu 270 hari terhitung
sejak putusan Pengadilan niaga terhadap PKPU tersebut diucapkan.
 Apabila lewat dari jangka waktu tersebut belum dicapai dan disahkan
perdamaian, maka Debitor yang bersangkutan demi hukum dianggap pailit,
dan proses atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat
dilanjutkan.

b. Akibat hukum terhadap debitur jika mengajukan PKPU (Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang)
1) Debitor kehilangan independensinya.
Dalam PKPU, kebebasan debitor dibatasi dengan keberadaan Pengurus
selaku Pengawas (Psl 240)

2) Perkara yang sedang berjalan ditangguhkan.


Pasal 243 ayat (1) dan ayat (2) secara prinsip PKPU tidak menghentikan
perkara yang sudah mulai diperiksa atau menghalangi perkara yang baru.
Tapi terhadap perkara yang semata-mata mengenai tuntutan pembayaran
suatu piutang yang telah diakui debitor, sementara Kreditor tidak mempunyai
kepentingan untuk mendapatkan suatu putusan guna melaksanakannya
kepada Pihak ketiga setelah dicatatnya pengakuan tsb, maka Hakim dapat
menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal tsb hingga
berakhirnya PKPU.
3) Debitor tidak boleh menjadi Penggugat dan Tergugat.
Pasal 243 ayat (3) Debitor yang telah ditunda kewajiban
pembayaran hutangnya tidak boleh beracara di Pengadilan, baik
sebagai Penggugat ataupun sebagai Tergugat dalam perkara yang
yang berhubungan dengan harta kekayaan kecuali bantuan dari
Pihak Pengurus.

4) Pembayaran kepada Debitor yang telah memperoleh penundaan


pembayaran hutang tidak membebaskan harta kekayaan . Untuk
hal itu berlaku kewajiban sbb:
Pembayaran atas hutang yang timbul sebelum putusan PKPU
sementara dijatuhkan, tapi pembayarannya dilakukan setelah
putusan PKPU diumumkan.
Maka dalam hal ini tidak membebaskan si Pembayar tsb dari harta
kekayaan, kecuali dapat dibuktikan bahwa si Pembayar tsb tidak
mengetahui ttg telah adanya putusan PKPU tsb (Pasal 253 ayat (1)).
2) Setelah Putusan atas Permohonan Pailit
Setelah permohonan pernyataan pailit diputus
oleh Pengadilan Niaga, maka upaya hukum
yang dapat dilakukan jika Para Pihak keberatan
atas putusan pailit yang dikeluarkan oleh
pengadilan Niaga adalah mengajukan Kasasi ke
Mahkamah Agung RI, dalam hal masih merasa
keberatan, maka para pihak dapat mengajukan
peninjauan kembali ke Mahkamah agung.
F. Rencana Perdamaian
 Pada dasarnya, debitur berhak untuk mengajukan rencana perdamaian sebagaimana
merujuk pada Pasal 222 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) yang juga
menerangkan bahwa rencana perdamaian tersebut meliputi tawaran pembayaran
sebagian atau seluruh utang kepada kreditur.

 Dalam UU 37/2004 tidak diatur dengan jelas dan rinci mengenai rencana perdamaian,
atas hal tersebut, berdasarkan praktik, rencana perdamaian adalah sebuah dokumen
hukum yang berisikan penawaran penjadwalan pembayaran utang-utang debitur kepada
kreditur dengan tata cara yang telah disepakati terlebih dahulu. Dalam rencana
perdamaian dapat disampaikan beberapa usulan dari debitur, antara lain:
1. Memperpanjang waktu jatuh tempo;
2. Menghapus penalti;
3. Pengurangan tingkat bunga;
4. Pemotongan pokok;
5. Konversi utang-utang menjadi saham;
6. Penerbitan instrumen utang yang dapat dikonversi (baik berupa opsi maupun wajib);
7. Hak membeli (call option) atas utang; dan/atau
8. Penggabungan yang di atas.
1) Pengajuan Rencana Perdamaian dalam Kepailitan
Ketentuan tentang kapan dan bagaimana rencana perdamaian dapat
kita lihat pada Bagian Keenam UU 37/2004 tentang perdamaian yang
dimulai dari Pasal 144 – Pasal 177 UU 37/2004.

Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, diatur dengan jelas bagaimana


rencana perdamaian diajukan. Secara garis besar, rencana
perdamaian dapat diajukan oleh debitur kapan saja sepanjang
dilakukan sebelum rapat pencocokan piutang ditutup. Hal tersebut
sesuai dengan Pasal 178 ayat (1) UU 37/2004 yang berbunyi:

Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana


perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima,
atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit
berada dalam keadaan insolvensi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan jika dalam kepailitan, debitur dapat
mengajukan rencana perdamaian kapan saja setelah putusan pailit diucapkan,
namun tidak dapat dilakukan setelah rapat pencocokan piutang berakhir. Hal
ini dikarenakan dalam hal debitur tidak mengajukan rencana perdamaian
selambat-lambatnya pada saat rapat pencocokan piutang, maka harta debitur
pailit harus dinyatakan demi hukum dalam keadaan insolvensi.

Patut diperhatikan pula bahwa rapat pencocokan piutang dilaksanakan setelah


pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 113 ayat (1) UU 37/2004
yang berbunyi:

1. Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit


diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan:
a. batas akhir pengajuan tagihan;
b. batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
c. hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat Kreditor untuk mengadakan
pencocokan piutang.
2) Pengajuan Rencana Perdamaian dalam PKPU
Pengajuan rencana perdamaian dalam Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (“PKPU”) dapat kita temukan di Bagian Kedua, secara
khusus dalam Pasal 265 – Pasal 294 UU, 37/2004. Pasal 265 UU 37/2004
menerangkan bahwa:

Debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan PKPU atau


setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada kreditor.
Maka dari itu, rencana perdamaian dapat diajukan bersamaan dengan
pengajuan PKPU atau setelahnya. Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya
Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan menjelaskan bahwa
berdasarkan Pasal 224 ayat (4), Pasal 265, dan Pasal 266 UU 37/2004,
rencana perdamaian dalam PKPU dapat diajukan pada (hal. 453 – 454):
1. Bersamaan dengan diajukannya permohonan PKPU;
2. Sesudah permohonan PKPU diajukan, namun harus diajukan
sebelum tanggal hari sidang; atau
3. Setelah tanggal hari sidang dalam masa PKPU Sementara dan
sepanjang tidak melebihi 270 hari terhitung sejak PKPU Sementara.
Maka dari itu, jika rencana perdamaian diajukan setelah permohonan PKPU,
maka rencana tersebut masih dapat diajukan ‘sebelum hari sidang’ putusan
PKPU Sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) jo. Pasal 226
ayat (2) UU 37/2004 yang menerangkan bahwa:

Pasal 266 ayat (1) UU 37/2004


Apabila rencana perdamaian tersebut tidak disediakan di Kepaniteraan
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 maka rencana tersebut
diajukan sebelum hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 atau
pada tanggal kemudian dengan tetap memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (4).

Pasal 226 ayat (2) UU 37/2004


Apabila pada waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara
diucapkan sudah diajukan rencana perdamaian oleh Debitor, hal ini harus
disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari sebelum
tanggal sidang yang direncanakan.
Rencana perdamaian juga dapat diajukan pada saat setelah tanggal sidang,
sehingga terhadap pengajuan tersebut, kreditor harus menentukan pemberian
atau penolakan PKPU Tetap dengan maksud untuk memungkinkan debitor,
pengurus, dan kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui rencana
perdamaian pada rapat atau sidang yang diadakan selanjutnya. PKPU Tetap
bersama perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 hari setelah putusan PKPU
Sementara.

Dapat disimpulkan bahwa debitur dapat mengajukan rencana perdamaian


dalam PKPU pada saat bersamaan dengan pengajuan permohonan PKPU,
sebelum tanggal hari sidang putusan PKPU Sementara diselenggarakan, atau
pada saat berlangsungnya PKPU Tetap dengan jangka waktu tidak boleh lebih
dari 270 hari.

Perlu digarisbawahi bahwa, harus ada alasan yang kuat dan jelas dalam hal
debitur hendak mengajukan rencana perdamaian melewati dari tanggal sidang
terkait PKPU Sementara.

Anda mungkin juga menyukai