Anda di halaman 1dari 5

HUKUM KEPAILITAN

1. KEPAILITAN

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk
membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan niaga,
dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya, Harta debitur dapat dibagikan kepada
para kreditur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau yang disingkat dengan UUK 2004 . Pasal 1 angka
(1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.

 Sebelum diundangkannya UUK 2004, masalah kepailitan diatur dalam Staatsblad 1905:217 jo.
Staatsblad 1906:348 tentang Faillissement Verordening (Undang-undang tentang Kepailitan)
yang kemudian diperbarui melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998 dan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.

a. Dasar Hukum (Pengaturan) Kepailitan di Indonesia:


1) UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran;
2) UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
3) UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
4) UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia
5) Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal 1131-1134.
6) Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU
No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16
Tahun 2001 ) Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992).

b. Pihak yang Dapat Mengajukan Pailit:


1) Atas permohonan debitur sendiri
2) Atas permintaan seorang atau lebih kreditur
3) Kejaksaan atas kepentingan umum
4) Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank
5) Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.
c. Syarat Yuridis Pengajuan Pailit:

1) Adanya hutang

2) Minimal satu hutang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih

3) Adanya debitur

4) Adanya kreditur (lebih dari satu kreditur)

5) Permohonan pernyataan pailit

6) Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga

d. Langkah-Langkah dalam Proses Kepailitan:

1) Permohonan pailit, syarat permohonan pailit telah diatur dalam UU No. 4

Tahun 1998, seperti apa yang telah ditulis di atas.

2) Keputusan pailit berkekuatan tetap, jangka waktu permohonan pailit sampai


keputusan pailit berkekuatan tetap adalah 90 hari.

3) Rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran utang – piutang, pada langkah ini

dilakukan pendataan berupa jumlah utang dan piutang yang dimiliki oleh

debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang paling penting dalam kepailitan

karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing – masing

kreditur.

4) Perdamaian, jika perdamaian diterima maka proses kepailitan berakhir, jika

tidak maka akan dilanjutkan ke proses selanjutnya. Proses perdamaian selalu

diupayakan dan diagendakan.

5) Homologasi akur, yaitu permintaan pengesahan oleh Pengadilan Niaga, jika

proses perdamaian diterima.

6) Insolvensi, yaitu suatu keadaan dimana debitur dinyatakan benar – benar tidak

mampu membayar, atau dengan kata lain harta debitur lebih sedikit jumlah

dengan hutangnya.

7) Pemberesan / likuidasi, yaitu penjualan harta kekayaan debitur pailit, yang

dibagikan kepada kreditur konkruen, setelah dikurangi biaya – biaya.

8) Rehabilitasi, yaitu suatu usaha pemulihan nama baik kreditur, akan tetapi

dengan catatan jika proses perdamaian diterima, karena jika perdamaian

ditolak maka rehabilitasi tidak ada.

9) Kepailitan berakhir

2. AKIBAT HUKUM PUTUSAN PENGADILAN

akibat hukum dari putusan pailit. Hal

yang utama adalah dengan telah dijatuhkannyaputusan kepailitan, si debitur (si

pailit) kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta

bendanya. Pengurusan dan penguasaan harta benda tersebut beralih ke tangan

curator/Balai Harta Peninggalan. Namun, tidak semua harta bendanya akan beralih

penguasaan dan pengurusannya ke curator/ Balai Harta Peninggalan. Dikecualikan

dari hal ini (kepalitan) adalah:

a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan sehubungan dengan


pekerjaannya, perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan
keluarganya, dan bahkan makanan untuk tiga puluh hari bagi debitur dan
keluarganya.
b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian suatu jabatan atau jasa, upah, uang tunggu, dan uang tunjangan, sejauh yang dientukan oleh
Hakim Pengawas
c. Uang diberikan kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya member nafkah. (pasal 22 UU No. 37
tahun 2004)
Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum apabila dengan perbuatan
hukum tersebut akan menambah harta kekayaannya. Apabila ternyata di kemudian hari, perbuatan
hukum itu merugikan kekayaan pailit, curator/ Balai Harta Peninggalan dapat mengumukakan
pembatalan perbuatan hukum tersebut.

apabila suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur dan perbuatan hukum tersebut
seluruh aspek kehidupan baik itu di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan
diatur dan ditata oleh hukum, sehingga persoalan atau konflik yang timbul dalam masyarakat
diselesaikanmenurut ketentuan hukum yang berlaku (rule of law). dapat merugikan para kreditor serta
dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum pernyataan pailit ditetapkan, sedangkan perbuatan
hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, (kecuali dapat dibuktikan sebaliknya) debitur dan pihak
dengan siapa perbuatan itu dilakukan dianggap mengetahui/sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.

Selain itu, hal yang terpenting sebagai akibat hukum dijatuhkannya putusan
kepailitan, adalah hal-hal yang berkaitan dengan sebagai berikut:
a. Penghibahan. Dalam hal ini ditentukan bahwa hibah yang dilakukan debitur dapat
dimintakan pembatalan apabila curator dapat membuktikan bahwa pada saat
hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui atau patut mengetahui bahwa
tindakan tersebut akan mengakibatkankerugian bagi kreditor (pasal 44 UU No. 37
Th 2004).
b. Pembayaran utang yang belum dapat ditagih (belum jatuh tempo), atau debitur
melakukan perbuatan yang tidak wajiib, perbuatan itu dapat dibatalkan demi
keselamatan harta pailit. Hal tersebut harus dibuktikan bahwa pada waktu
dilakukannya perbuatan tersebut, baik debitur maupun pihak ketiga mengetahui
bahwa perbuatannya (debitur) itu akan merugikan pihak kreditor (pasal 45 UU No.
37 Th 2004).

3. PENUNDAAN PEMBAYARAN

Permohonan penundaan pembayaran itu harus diajukan oleh debitur kepada


pengadilan dan oleh penasihat Hukumnya, disertai dengan :
a. Daftar-daftar para kreditor beserta besar piutangnya masing-masing;
b. Daftar harta kekayaan (aktiva/pasiva) dari si debitur.
Surat permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh
semua pihak yang berkepentingan. Sepanjang jangka waktu yang ditetapkan untuk penundaan
pembayaran, atas permintaan pengurus, kreditor, hakim pengawas atau atas prakarsa pengadilan,
penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diakhiri dengan alasan-alasan
berikut ini (pasal 255 UU No. 37 Th 2004)
a. Debitur selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang bertindak dengan
iktikad tidak baik dala melakukan pengurusan terhadap hartanya.
b. Debitur mencoba merugika para kreditornya
c. Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak
atas sesuatu bagian dari hartanya
d. Debitur lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh pengadilan dan yang
disyaratkan oleh pengurus
e. Keadaan harta debitur selama penundaan pembayaran tidak memungkinkan lagi
bagi debitur untuk melakukan kewajibannya pada waktunya
Dengan dicabutnya penundaan kewajiban pembayaran utang, hakim dapat
menetapkan si debitur dalam keadaan pailit sehingga ketentuan kepailitan berlaku
bagi si debitur. Debitur yang memohon penundaan kewajiban pembayaran utang
dapat mengajukan rencana perdamaian melalui pengadilan. Perdamaian itu diajukan
pada saat atau setelah mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran
utang.

4. BERAKHIRNYA KEPAILITAN
Suatu kepailitan dapatdikatakan berakhir apabila telah terjadi hal-hal sebagai
berikut.
a. Perdamaian
Debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua
kreditor. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah
selesainya pencocokan piutang. Keputusan rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat
kreditor oleh lebih dari seperdua jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang mewakili
paling sedikit dua pertiga dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau untuk sementara
diakui oleh kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Apabila lebih dari seperdua jumlah kreditor yang hadir dalam rapat kreditor dan mewakili paling paling
sedikit seperdua dari jumlah piutang kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima
rencana perdamaian, dalam jangka waktu paling sedikit delapan hari setelah pemungutan suara
pertama diadakan, harus diselenggarakan pemungutan suara kedua. Pada pemungutan suara kedua
kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama. Dalam setiap rapat
kreditor wajib dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan panitera
pengganti.
Berita acara rapat tersebut harus memuat:
1) Isi perdamaian
2) Nama kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara dan menghadap
3) Suara yang dikeluarkan
4) Hasil pemungutan suara, dan
5) Segala sesuatu yang terjadi dalam rapat (pasal 154 UU No. 37 Th 2004)
Setiap orang yang berkepentingan dapat melihat dengan Cuma-Cuma berita acara rapat yang disediakan
paling lambat tujuh hari setelah tanggal berakhirnya rapat di Kepaniteraan Pengadilan.

b. Insolvensi Insolvensi merupakan fase terakhir kepailitan. Insolvensi adalah suatu kejadian di mana
harta kekayaan (boedel) pailit harus dijual lelang di muka umum, yang hasil penjualannya akan
dibagikan kepada kreditor sesuai dengan jumlah piutangnya yang disahkan dalam akor.

SEJARAH HUKUM KEPAILITAN

Sejarah hukum kepailitan Hukum kepailitan sudah ada sejak zaman Romawi. Kata “bangkrut”, dalam
bahasa Inggris disebut “Bangkrupt”, berasal dari undangundang Italia, yaitu banca nipta. Sementara itu,
di Eropa abad pertengahan ada praktik kebangkrutan di mana dilakukan penghancuran bangku-bangku
dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para
kreditor. Bagi Negara-negara dengan tradisi hukum common law, di mana hukum berasal dari Inggris
Raya, tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun tersebu hukum pailit dari tradisi
hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris.

Perkembangan Substansi Hukum Terdapat sebahagian perubahan mengenai


substansi hukum antara aturan kepailitan yang lama dengan aturan kepailitan yang
baru. Substansi tersebut antara lain:
a. Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu
batas waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian
akan menjadi sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian
mengenai batas waktu. Hal ini dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga
dalam penyelesaiannya lebih singkat karena ditentukan masalah Frame Time.
b. Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama
Weestcomer atau Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja
dari Balai Harta Peninggalan sangat mengecewakan dan terkesan lamban
sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur adanya Kurator Swasta.
c. Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam
penyelesaian kasus kepailitan yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan
Kasasi, kini dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi
sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal tersebut dikarenakan lamanya waktu
yang ditempu dalam penyelesaian kasus apabila Banding diperbolehkan.
d. Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya
yang dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin praktek.
e. Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan
permohonan kepailitan. Masa berlakunya Faillisements Verordening

Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif.


Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb.
1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordeningmasih
baik.
Namum sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat
maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai
yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar
penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian dilaksanakanlah
penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau aillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun
1998 tentang perubahan UU tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU
No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang
tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135.31. Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37
Tahun 2004 Pada 18 Oktober 2004
UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas
karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang
piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:
a. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang
diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.
b. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya
pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan
pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.

Anda mungkin juga menyukai