Disusun Oleh:
Putri Maharani Alena Zaril
11000120140214
I. Latar Belakang
Pailit adalah suatu keadaan di mana debitor tidak dapat melakukan pembayaran-
pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.1 Keadaan tidak mampu membayar
pada umumnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha
debitor yang telah mengalamu kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan
pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, yang ada
maupun yang akan ada di kemudian hari. Dalam pengurusan dan pemberesan kepailitan
dilakukan oleh curator yang mana pengawasannya di bawah hakim pengawas yang
bertujuan menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh
utang debitor pailit tersebut secara proposional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur
kreditor.
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa “Kepailitan
adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini”.2 Apabila dilihat secara menyeluruh pihak-pihak yang berkolerasi
dalam kepailitan antara lain debitor, kreditor, kurator, hakim pengawas, advokat atau
pengacara, panitera. Dalam pengajuan pailit, debitor yang dapat berupa perorang maupun
badan hukum yang meliputi perseroan terbatas, koperasi, yayasan, perkumpulan dan BUMN
yang meliputi persero dan perum. Badan usaha yang berbentuk persekutuan dengan firma
dan persekutuan komanditer merupakan badan usaha yang tidak memiliki karakter sebagai
badan hukum, tetapi melekat pada sekutunya. Dengan karakter tersebut, yang dapat
dipailitkan adalah para sekutunya bukan persekutuannya.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan menyatakan
“Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang”.3
Untuk menjalankan segala hak maupun kewajiban PT, ilmu hukum telah merumuskan organ
2
PT beserta peranannya. Organ dalam PT tersebut diatur pada Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang PT yakni Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi serta Dewan Komisaris.
Pemegang saham PT tidak dapat memiliki maupun mengalihkan kekayaan yang dimiliki
oleh perseroan kepada pihak ketiga. Sehingga harta kekayaan yang dimiliki oleh PT menjadi
milik PT seutuhnya yang mengakibarkan PT wajib bertanggungjawab penuh atas kerugian
yang timbul dengan menggunakan harta kekayaan PT tanpa menggunakan harta kekayaan
dari organ PT. Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas yang mengatur bahwa “pemegang saham tidak bertanggungjawab secara pribadu
atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian
perseroan melebihi saham yang dimiliki”. Hal tersebut mengartikan pemegang saham hanya
bertanggungjawab sebatas jumlah saham yang dimilikinya sehingga tidak dapat dimintai
tanggungjawab secara mandiri atau menggunakan harta pribadi pemegang saham. 4
Kegiatan menjalankan suatu PT, terkadang perseroan berjalan tidak sesuai dnegan
harapan yang menyebabkan PT bangkrut, bubar hingga likuidasi kepailitan. Dalam hal PT
pailit, dapat diajukan oleh kreditornya jika hartanya yang dimiliki PT tersebut tidak
memenuhi kewajibannya. Sama halnya yang dialami oleh PT Cosfra Interguna Jaya yang
mengalami kepailitan karna tidak mampunya membayar hutang.
4 Kansil, 2009, Seluk Beluk Perseroan Terbatas, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 2.
3
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
5 Prof. Dr. Rahayu Hartini, S.H., M.Si., M.Hum., Hukum Kepailitan, cet.5, (Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang, 2020), hlm.4.
6 Zaeny Asyhadie, Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), hlm.225.
7 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1973), hlm. 225.
4
Black’s Law Dictionary yang mendefinisikan pailit sebagai “the state condition of a
person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as
they are, or become due”. The term includes a person agains whon an voluntary petition
has been field, or who has been adjudged a bankrupt.”8 Berdasarkan pengertian yang
diberikan Black’s Law Dictionary bahwa pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan
untuk membayar dari seseorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo,
ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan tindakan yang nyata untuk mengajukan,
baik yang dilakukan sukarela oleh debitur sendiri maupun permintaan pihak ketiga. 9
b. Debitur paling sedikit tidak membayar satu utang kepada salah satu kreditor
Keadaan berhenti membayar utang-utang harus diartikan sebagai suatu keadaan
bahwa debitur tidak membayar utangnya yang seharusnya di bayar. Apabila baru satu
kali tidak membayar, maka belum bisa dikatakan suatu keadaan berhenti membayar.
Keadaan berhenti membayar adalah adanya lebih dari satu kali tidak membayar,
keadaan ini merupakan syarat yang mutlak untuk pernyataan pailit.
c. Debitur paling sedikit tidak membayar satu utang kepada salah satu kreditor
Keadaan berhenti membayar utang-utang harus diartikan sebagai suatu keadaan
bahwa debitur tidak membayar utangnya yang seharusnya di bayar. Apabila baru satu
kali tidak membayar, maka belum bisa dikatakan suatu keadaan berhenti membayar.
Keadaan berhenti membayar adalah adanya lebih dari satu kali tidak membayar,
keadaan ini merupakan syarat yang mutlak untuk pernyataan pailit.
8 Bryan A. Garner, Black Law’s Dictionary, (St. Paul: West Group: 1999), hlm.141.
9 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2009), hlm.11.
5
Debitor yang mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya harus dapat
mengeukakan dan membuktikan bahwa debitur memiliki lebih dari satu kreditu, selain
itu debitur harus bisa membuktikan bahwa ia tidak membayar utang kreditur yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih.
10 Undang-Undang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penjelasan Pasal 2 ayat (2)
6
f. Menteri keuangan
Dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun
atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan public,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri keuangan.
3. Asas Keadilan
Asas keadilan memuat mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak yang berkepentingan.
4. Asas Integrasi
Pada Undang-Undang ini mengangandung pengertian bahwa sistem hukum formal
dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dana hukum acara nasional.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam analisis kepailitan PT Cosfra Interguna Jaya dengan
PT Luxasia Indonesia yaitu:
1) Prinsip Utang
Dalam proses kepailitan konsep utang sangat menentukan, karena tanpa adanya
utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Tanpa adanya utang
7
tersebut maka kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan adalah merupakan pranata
hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayra utang-utangnya
terhadap para kreditornya. Ned Waxman mengatakan “The concept of a claim is
significant in determining which debts are discharged and who share ini distribution”.
Jerry Hoff berpendapat bahwa utang menunjuk pada kewajiban dalam hukum perdata.
Kewajiban atau utang menunjuk pada kewajiban dalam hukum perdata. Kewajiban atau
utang dapat timbul baik dari perjanjian atau dari undang-undang.
Prinsip utang selain Batasan dari definisi utang terdapat konsep besarnya nilai utang
untuk dapat diajukan sebagai dasar mengajukan permohonan pailit. Pembatasan jumlah
nilai nominal utang sebagai dasar pengajuan permohonan kepailitan dimaksudkan
untuk membatasi permohonan pailit terhadap kreditor yang memiliki jumlah utang yang
sedikit (di bawah minimum) dan pembatasan skala penangan kepailitan. Pembatasan
tersebut ditujukan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap kreditor mayoritas dari
kesewenangan-wenangan kreditor minoritas.
Pembatasan nilai minimu utang hanya yang berkaitan dengan legal standing in
judicio (kewenangan untuk mengajukan perkara) sedangkan pengajuan kreditor yang
di bawah nilai minimal tersebut dalam proses pembagian harta pailit sama dengan
kreditor lainnya secara proporsional.
8
mampu melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya sesuai dengan agreement
semula dan bahkan sampai pada pengampunan atas utang-utangnya sehingga utang-
utangnya tersebut menjadi hapus sama sekali.
Implementasi dari prinsip ini dalam norma-norma hukum kepailitan adalah
diberikannya moratorium terhadap debitor atau yang dikenal dengan nama penundaan
kewajiban pembayaran utang untuk jangka waktu yang ditentukan, kecuali beberapa
aset debitor dari boedel pailir (asset exemption), discharge of indedtedness
(pembebasan debitor atau harta debitor untuk membayar utang pembayaran utang yang
benar-benar tidak dipenuhinya), diberikannya status fresh-starting bagi debitor
sehingga memungkinkan debitor untuk mulai melakukan usaha baru tanpa dibebani
utang-utang lama, rehabilitasi terhadap debitor jika ia telah benar-benar menyelesaikan
skim kepailitan, dan perlindungan hukum lain yang wajar terhadap debitor pailit.
Karen Gross menyatakan bahwa pemberian permaafan terhadap debitor yang benar-
benar mengalami kebangkrutan adalah sebuah penyeimbang dari sistem kepailitan itu
sendiri. Karen mengungkapnkan hal itu “For debtors, the ideal system provides a fresh
start, premised on recognition that mistakes happen but debtors can be rehabilitated
through forgiveness”. Gross menyatakan dan bahkan pengampunan itu sebagai solusi
terhadap utang-utang debitor yang tidak terbayarkan. Sutan Remy Sjahdeini
menyatakan bahwa suatu undang-undang kepailitan yang baik haruslah dilandaskan
pada asas untuk memberikan perlindungan yang seimbang bagi semua pihak yang
terkait dan berkepentingan dengan kepailitan seorang atau suatu perusahaan.
9
Kegagalan suatu perusahaan yang pada akhirnya menuju pada kebangkrutan
bukanlah sesuatu yang luar biasa yang jarang terjadi, akan tetapi merupakan hal yang
bisa dan sering terjadi dalam lingkungan dunia usaha. Kegagalan perusahaan bukanlah
cacat bagi seorang pengusaha akan tetapi, merupakan salah satu dimensi dari risiko
usaha. Dalam teori keuangan perusahaan yang lazim dikenal pada manajemen keuangan
membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi:
a. Economic Failure bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total,
termasuk biaya modal. Usaha yang mengalami economic failure dapat menerushkan
operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal
dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian (return) di bawah tingkat bunga
pasar;
b. Business Failure
Istilah ini digunakan oleh Dun & Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure
statistic, dalam mendefinisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat
kerugian bagi kreditor. Suatu usaha dapat diklasifikasikan sebagai gagal meskipun
tidak melalui kebangkrutan secara normal. Serta usaha dapat berhenti/ menutup
usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal;
c. Insolvency in bankruptcy
Sebuah usaha dikatakan insolvency in bankruptcy dilihat dari nilai buku dari total
kewajiban melebihi nilai pasar dari aset perusahaan. Hal tersebut menjadi suatu
keadaan yang lebih serius bila dibandingkan dengan technical insolvency, sebab
pada umumnya hal tersebut merupakan pertanda dari economic failure yang
mengarah ke likuidasi suatu usaha;
d. Legal Bankruptcy
Kepailitan ini merupakan putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh pengadilan
sesuai dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan
keuangan tersebut.
C. Aturan Hukum
1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
2. Putusan Pengadilan Nomor 17/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN Niagara Jkt.Pst
10
BAB III
PEMBAHASAN
B. Kasus Posisi
1. PT Cosfra Interguna Jaya memiliki utang kepada PT Luxasia Indonesia yang
sudah jatuh tempo dan sudah mengirimkan beberapa tagihan;
2. Diketahui bahwa PT Cosfra Interguna Jaya dengan PT Luxasia Indonesia terdapat
hubungan kerja sama dengan berdasarkan Agreement yang mengatur tentang
perjanjian jasa pengelolaan keuangan dan administrasi;
3. Pembayaran tidak dilakukan pelunasan karna PT Cosfra Interguna Jaya tidak
memiliki dana untuk melakukan kewajiban pembayaran atas utangnya yang telah
jatuh tempo;
4. PT Cosfra Interguna Jaya memiliki utang lebih dari satu kreditor;
11
Nomor: 19 tanggal 08 Juni 2018 yang dibuat oleh/dihadapan Sri Intansih, S.H., Notaris di
Jakarta, beralamat di Prudential Tower 12th Floor, Jl. Jend. Sudirman Kav. 79, Jakarta Selatan,
dalam hal ini diwakili oleh Nessy Wisesa Meghayaniselaku Direktur Utama, oleh karenanya
sah bertindak mewakili Perseroan tersebut, dalaam hal ini diwakili oleh Kuasanya : Bhoma
Satriyo Anindito, S.H., dan Gomgom Parlindungan, S.H.,para Advokat/Konsultan Hukum pada
RAHASUNA L. SATRIYOCounsellors at Law,beralamat di Penthouse Plaza Marein, Lv. 23,
Jl. Jend. Sudirman, Kv. 76- 78, Jakarta 12910, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 10
Januari 2020.
Menimbang, bahwa Termohon adalah suatu Badan Hukum PT COSFRA INTERGUNA
JAYA, Suatu Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Negara Republik
Indonesia, yang beralamat dan berkantor di GedungOne Stop Success 1st Floor, Jl. TB
Simantupang, Kav 15, Cilandak, Jakarta – 12560, dalam hal ini diwakili oleh Tjhin Inarti selaku
Direktur Utama dan dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Imron Halimy, S.H., Advokat /
Pengacara - Konsultan Hukum pada LAW FIRM IMRON HALIMY & RIZAL RITONGA, di
Jalan Pengadegan Timur II Nomor 2A, Pancoran, Jakarta Selatan – 12770, berdasarkan surat
kuasa khusus tanggal 12 Juni 2020;
Menimbang, bahwa Pemohon dipersidangan telah mengajukan Kreditur Lain yaitu PT L
BEAUTY BRAND, Perseroan Terbatas yang beralamat di Prudential Tower 12th Floor, Jl.
Jend. Sudirman Kav. 79, Jakarta Selatandalam hal ini diwakili oleh Kuasanya : Bhoma Satriyo
Anindito, S.H., dan Gomgom Parlindungan, S.H.,para Advokat/Konsultan Hukum pada
RAHASUNA L. SATRIYOCounsellors at Law,beralamat di Penthouse Plaza Marein, Lv. 23,
Jl. Jend. Sudirman, Kv. 76-78, Jakarta 12910, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 10
Januari 2020;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut diatas cukup alasan bagi Majelis Hakim
untuk menyatakan bahwa permohonan PKPU yang diajukan oleh Pemohon PKPU telah
memenuhi syarat formil yang telah ditentukan oleh undang-undang;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P-5A, P-5B, dan P-6 yang bersesuaian dengan
T-4 yang menerangkan perjanjian tertanggal 1 Januari 2014 antara Pemohon Pailit dengan
Termohon Pailit dimana Termohon Pailit mempunyai sisa utang kepada Pemohon Pailit sebesar
Rp. 436,486,281,- (empat ratus tiga puluh enam juta empat ratus delapan puluh enam ribu dua
ratus delapan puluh satu rupiah) ;
Menimbang, bahwa utang Termohon tersebut berdasarkan bukti surat P-7, P-8, P-9A, P-
9B, P-10A, P-10B dan P-11 yang bersesuai dengan T-5, T-6A, T- 6B, yang menerangkan bahwa
Pemohon Pailit telah memperingatkan Termohon Pailituntuk melunasi utangnya kepada
12
Pemohon Pailit, selanjutnya Termohon Pailit menanggapi belum dapat memenuhi kewajiban
pembayaran tersebut dikarenakan ketiadaan dana diperusahan kami ;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut diatas Termohon Pailit mempunyai utang
kepada Termohon Pailit sebesarRp. 436,486,281,- (empat ratus tiga puluh enam juta empat
ratus delapan puluh enam ribu dua ratus delapan puluh satu rupiah) utang tersebut diakui oleh
Termohon Pailit dan telah jatuh tempo dan dapat ditagih ;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P-10A dan P-10B yang menerangkan bahwa
Termohon Pailit diingatkan oleh Kreditur Lain untuk membayar utangnya sebesar Rp.
6.278.866.207,- (enam miliar dua ratus tujuh puluh delapan juta delapan ratus enam puluh
enam ribu dua ratus tujuh rupiah) ;
Menimbang, bahwa bukti surat KL-11 menerangkan bahwa antara Termohon Pailit dengan
Kreditur Lain menandatangani perincian utang Termohon Pailit kepada Kreditur Lain sebesar
Rp. 6.278.866.207,- (enam miliar dua ratus tujuh puluh delapan juta delapan ratus enam puluh
enam ribu dua ratus tujuh rupiah) ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Termohon Pailit
mempunyai utang kepada Kreditur Lain sebesar Rp. 6.278.866.207,- (enam miliar dua ratus
tujuh puluh delapan juta delapan ratus enam puluh enam ribu dua ratus tujuh rupiah) dan utang
tersebut telah diakui oleh T ermohon Pailit dan telah jatuh tempo dan dapat ditagih;
Menimbang, bahwa tagihan Pemohon tersebut tidak dibayar olehnya dimana hutang
tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga permohonan ini secara sederhana dan
Termohon Pailit memenuhi syarat un tu k dimohonkan Pailit karena memiliki dua atau lebih
kreditor yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) jo.
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 ; maka berdasarkan ketentuan pasal 2
ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentan g Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang permohonan ini beralasan untuk hukum untuk
dikabulkan ;
Menimbang, bahwa permohonan pailit Pemohon Pailit dikabulkan oleh karena itu
terhadap Termohon Pailit / PT. Cosfra Interguna Jaya, haruslah dinyatakan Pailit dengan segala
akibat hukumnya ;
Menimbang, bahwa dikabulkannya permohonan Pailit dan Termohon Pailit dinyatakan
Pailit, berdasarkan pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 37
tahun2004dalamputusanPailitiniharusdiangkatKuratordanseorang Hakim Pengawas dari
Hakim Niaga Pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagaimana tertuang dalam amar putusan
ini ;
13
Menimbang, bahwa Pemohon telah mengusulkan Balai Harta Peninggalan sebagai Kurator
maka berdasarkan Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004maka
Majelis Hakim menunjuk dari Balai Harta Peninggalan Jakarta Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM RI beralamat di Jalan di Jalan Let. Jend. M.T. Haryono No. 24, Cawang
Atas, Jakarta Timur, 13630, untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terh adap harta
pailit;
Menimbang, bahwa mengenai biaya jasa Kurator ditetapkan kemudian berdasarkan
pedoman yang telah ditetapkan oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2016 tentang Pedoman Imbalan bagi Kurator setelah
menjalankan tugasnya ;
Menimbang, bahwa permohonan pailit Pemohon Pailit dikabulkan, maka Termohon Pailit
harus dibebani pula untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan ditentukan dalam amar
putusan ini ;
Memperhatikan, Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta ketentuan-ketentuan
lain yang bersangkutan ;
D. Amar Putusan
1. Mengabulkan permohonan pemohon pailit seluruhnya;
2. Menyatakan Termohon Pailit PT COSFRA INTERGUNA JAYA, Suatu
Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Negara Republik
Indonesia, yang beralamat dan berkantor di GedungOne Stop Success 1st Floor,
Jl. TB Simantupang, Kav 15, Cilandak, Jakarta – 12560, Pailit dengan segala
akibat hukumnya ;
3. Menunjuk dan Mengangkat Sdr. Agung Suhendro, S.H., M.H., Hakim Niaga
Pengadilan Niaga pada pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas
dalam kepailitan tersebut;
4. Menunjuk dan Mengangkat Balai Harta Peninggalan Jakarta Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM RI beralam di Jalan Let. Jend. M.T. Haryono
No.24, Cawang Atas, Jakarta Timur, 13630, sebagai curator
5. Menetapkan biaya imbalan curator dan biaya kepailitan akan ditetapkan
kemudian setelah kepailitan berakhir
6. Menghukum termohon pailit untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp
6.061.000,- (enam juta puluh satu ribu rupiah)
14
E. Analisis Kasus Pertimbangan Hukum Hakim
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
15
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya”
PT Cosfra Interguna Jaya memiliki utang kepada lebih dari 1 (satu) kreditor. Utang
tersebut kepada pihak lain yaitu PT L Beuaty Brand dengan nilai utang sebesar Rp.
6.278.866.207,- (enam miliar dua ratus tujuh puluh delapan juta delapan ratus enam puluh
enam ribu dua ratus tujuh rupiah). PT L Beauty Brand telah menagih utang kepada PT Cosfra
Interguna Jaya atas kewajiban yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dilihat dari syarat-syarat permohonan pailit PT Cosfra Interguna Jaya susah memenuhi
dan terbukti secara sederhana. Pasal 2 ayat (1) UUK mengatur syarat-syarat permohonan pailit
sebagai berikut:
“(1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih kreditornya.”
Kemudian dilihat pada Pasal 8 ayat (4) UUK menyatakan bahwa:
“(4) Permohonan Pernyataan Pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”
16
KESIMPULAN
PT Luxasia Indonesia selaku pemohon pailit dan PT Cosfra Interguna Jaya selaku termohon
pailit. PT Cosfra Interguna Jaya memiliki hutang kepada PT Luxasia Indonesia dan utang
tersebut telah jatuh tempo. Namun PT Cosfra Interguna Jaya tidak dapat membayarkannya
karena tidak memiliki dana untuk melakukan kewajibannya pembayaran utang yang telah jatuh
tempo.
PT Cosfra Interguna Jaya memiliki lebih dari 1 kreditor. Diketahui PT Cosfra Interguna Jaya
memiliki utang kepada pihak lain yakni PT L Beauty Brand. PT Cosfra Interguna Jaya
memenuhi syarat-syarat dalam pailit suatu perseroan terbatas. PT Luxasia Indonesia
mengajukan permohonan untuk PT Cosfra Interguna untuk pailit. Hal tersebut sesuai dengan
Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang.
Dilihat dari dokumen-dokumen serta bukti yang konkret, hakim mengabulkan pailit PT
Cosfra Interguna Jaya pailit dengan segala akibat hukumnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Kansil. 2009. “Seluk Beluk Perseroan Terbatas”. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 2.
Prof. Dr. Rahayu Hartini, S.H., M.Si., M.Hum. “Hukum Kepailitan.” cet.5, (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2020), hlm.4.
Bryan A. Garner. “Black Law’s Dictionary”. (St. Paul: West Group: 1999), hlm.141.
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. “Seri Hukum Bisnis”. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada: 2009), hlm.11.
18