Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN

A. Pengertian Kepailitan

Secara umum pengertian pailit adalah suatu sitaan umum menurut hukum

atas seluruh harta benda debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para

kreditur supaya harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di antara para kreditur.

Dalam hal ini penyitaan tersebut dilaksanakan oleh Pengadilan dan kemudian

dilakukan eksekusi atas semua harta kekayaan debitur tersebut demi untuk

kepentingan bersama para Kreditur.

Penyitaan dan eksekusi tersebut merupakan penyitaan bersama untuk


menjaga agar semua kreditur memperoleh manfaat dari budel pailit yang
dilakukan dengan jalan dibagi menurut perimbangan hak tagihan/tuntutan
masing-masing. Dengan demikian secara prinsip semua kreditur mempunyai
hak yang sama atas pembayaran yang berarti bahwa hasil harta kepailitan akan
dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan kreditur (paritas
creditorum).53

Prinsip kepailitan yang demikian ini merupakan realisasi dari ketentuan

Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, yang menyatakan semua harta kekayaan debitur

baik yang sudah ada atau yang akan ada dikemudian hari merupakan jaminan atas

segala perikatan yang dilakukannya. Dan kebendaan tersebut menjadi jaminan

bersama-sama bagi semua kreditur yang dibagi menurut prinsip keseimbangan atau

“pari Pasu Prorata Parte”.54

53
Dr. Lee A Weng, SH, Tinjauan Pasal Demi Pasal Faillissements-Verordering S. 1905 No. 217 jo
S. 1906 No. 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UU No. 4 Tahun 1998, Medan, 2001, hlm. 19.
54
Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan Indonesia, Penterjemah Kartini Mulyadi, Cet. 1, PT.
Tatanusa, Jakarta, Oktober 2000, hlm. 13.

27
28

Dalam Black’s Law Dictionary menyebutkan pengertian “pailit atau

bankrupt adalah : “The state or condition of person (individual, partnership,

corporation, municipalty) who is unable to pay its debt as they are, or become

due”. The term includes person against whom an involuntary petition has been

filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a

bankrupt.” 55

Pengertian pailit menurut Black’s Law Dictionary di atas, adalah

ketidakmampuan untuk membayar dari debitor atas utang-utangnya yang telah

jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata

untuk mengajukan suatu permohonan ke Pengadilan, baik yang dilakukan secara

sukarela oleh Debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar

Debitor).

Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa

yang dimaksud dengan “pailit atau bangkrut antara lain adalah seseorang yang oleh

suatu pengadilan dinyatakan bangkrut, dan aktivanya atau warisannya telah

diperuntukan untuk membayar hutang-hutangnya”.56

Menurut Charles Himawan dan Mochtar Kusumaatmaja mengatakan

bahwa : “A Debtor may be declared bankrupt if he has stopped paying hisdebts,

eventhough he is not insolvent, so long as he owe more than one debt. Summary

evidence that the debtor has stoopped payng his debts is sufficient for an

55
Hendry Campbell Black, 1998, Black’s Law Dictionary 6 th edition, St. Paul, Minnesota.
page. 74
56
Munir Fuady., Op.Cit, hlm. 8.
29

adjudication of bankruptcy.”57 Artinya seorang debitur dapat dinyatakan pailit

apabila dia berhenti membayar utangnya, walaupun dia belum pailit, asalkan dia

memiliki lebih dari satu utang. Jadi singkatnya apabila debitur berhenti melakukan

pembayaran utangnya dia sudah dapat diputuskan pailit.

Imran Nating dalam sebuah artikelnya mengatakan bahwa yangdimaksud

dengan Kepailitan adalah : “Suatu proses dimana seseorang Debitur yang memiliki

kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh

pengadilan,dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak

dapat membayar utangnya. Harta Debitur dapat dibagikan kepada para kreidiur

sesuai dengan Peraturan pemerintah”.58

Pengertian kepailitan menurut undang-undang dapat dilihat pada Pasal 1

Butir 1 UUKPKPU No. 37 Tahun 2004 menyebutkan kepailitan sebagai “sita

umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya

dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur

oleh undang-undang ini.

Dari pengertian kepailitan ini dapat disebutkan unsur-unsur yang perlu

diketahui :

1. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjianatau undang-

undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.

57
Charles Himawan and Mochtar Kusumaatmaja, 1984, Business Law Contracts And Business
Associations, Lembaga Penelitian Dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, hlm.
100
58
Imran Nating, 9 Maret 2006, Kepailitan di Indonesia, Solusi Hukum.com
30

2. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-

undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

3. Debitur pailit : debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.

4. Kurator adalah Balai Harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat

oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah

pengawasan Hakim pengawas.

5. Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan

pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Dari beberapa pengertian kepailitan yang dikemukakan di atas, ditemukan

berbagai pendapat mengenai pengertian kepailitan. Kepailitan adalah suatu usaha

bersama untuk mendapatkan pembayaran semua piutang secara adil. Pendapat yang

lain menyebutkan bahwa kepailitan merupakan penyitaan umum atas kekayaan si

pailit bagi kepentingan semua penagihannya sehingga Balai Harta Peninggalanlah

yang ditugaskan dengan pemeliharaan serta pemberesan budel dari orang yang

pailit.

Adapula yang menyebutkan bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan

eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor untuk kepentingan seluruh kreditornya

bersama-sama, yang pada waktu kreditor dinyatakan pailit mempunyai piutang dan

untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditor miliki pada saat itu.

Berdasarkan beberapa definisi atau pengertian yang diberikan oleh

beberapa sarjana tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwakepailitan

mempunyai unsur-unsur :

1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor.


31

2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan.

3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para kreditornya secara bersama-

sama.

B. Syarat-Syarat Permohonan Pailit

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

menyatakan bahwa “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak

membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri

maupun atas permohonan satu atau lebih Krediturnya”.

Pengadilan Niaga yang berwenang menurut Pasal 1 angka (7) UUKPKPU

No. 37 tahun 2004, akan menyatakan Debitur pailit apabila terbukti secara

sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU No. 37 tahun 2004 dipenuhi. Dari ketentuan tersebut,

diperoleh syarat yuridis agar Debitur dapat dinyatakan pailit, yaitu :

1. Adanya utang;

2. Ada dua utang atau lebih;

3. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;

4. Adanya Debitur;

5. Lebih dari dua Kreditur;

6. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan khusus yang disebut dengan

“Pengadilan Niaga;
32

7. Permohonan menyatakan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu

pihak Debitur, satu atau lebih Kreditur, Jaksa untuk kepentingan umum, Bank

Indonesia jika debiturnya bank, Bapepam jika debiturnya perusahaan efek;

8. Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam undang-undang

kepailitan;

9. Apabila syarat-syarat terpenuhi, “Hakim menyatakan pailit”, bukan dapat

dinyatakan pailit”. Sehingga dalam hal ini kepada Hakim tidak diberi ruang

untuk memberikan “Judgement” yang luas seperti pada kasus-kasus lain,

sesungguhnya limited defence masih dibenarkan mengingat yang berlaku

adalah prosedur pembuktian yang sumir (pasal 8 UUKPKPU No. 37 tahun

2004)

Saebagai syarat pertama untuk dapat dipailitkan adalah harus ada utang.

Utang menurut Pasal 1 angka (6) UUKPKPU adalah :

Menunjuk kepada hukum kewajiban dalam Hukum Perdata. Kewajiban


atau utang dapat timbul baik dari kontrak maupun dari undang-undang (Pasal
1233 KUHPerdata). Ada kewajiban untuk memberi sesuatu dan kewajiban
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Kreditur
berhak atas pelaksanaan kewajiban oleh Debitur.59

Menurut Jerry Hoff penngertian utang adalah :

“kewajiiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila
tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan Debitur”.60

59
Jerry Hoff, Op. Cit, hlm. 17-18
60
Lihat Pasal 1 Angka (6) UUKPKPU No. 37 Tahun 2004
33

Dengan demikian utang adalah kewajiban pembayaran yang terbit dari

adanya hubungan hukum pinjam meminjam/perikatan utang piutang, dimana pihak

Kreditur yang memiliki piutang dan pihak Debitur yang mempunyai utang, berupa

kewajiban melakukan pembayaran kembali utang yang telah diterima dari Kreditur

berapa utang pokok ditambah bunga.

Dari uraian tersebut di atas, yang dimaksud dengan utang yang

berhubungan dengan kepailitan adalah :

a) Terdiri dari hutang pokok atau bunganya;

b) Kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh Debitur terhadap Kreditur;

c) Timbul karena undang-undang maupun karena perikatan; dan

d) Bersifat pinjam meminjam dengan perjanjian.

Selanjutnya persyaratan kedua menyatakan terdapat dua utang atau lebih.

Dalam hal ini berarti Debitur mempunyai utang kepada dua Kreditur.

Persyaratan yang ketiga adalah minimal ada satu utang yang sudah jatuh

tempo dan dapat ditagih.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo :

“Telah jatuh waktu” berarti hari atau saat pembayaran sudah tiba
(vervaldag). Sedangkan “utang dapat ditagih” berarti hal ini menyangkut soal
penagihan (ingegebreke). Penagihan di sini diartikan suatu pemberitahuan oleh
pihak Kreditur bahwa pihak Kreditur ingin supaya Debitur melaksanakan
janjinya yaitu dengan segera atau pada suatu waktu yang disebut dalam
pemberitahuan itu.61

Persyaratan Keempat, Adanya Debitur. Debitur atau schuldenaar adalah

pihak wajib menunaikannya dengan jalan memberikan sesuatu atau tidak berbuat

61
Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan : Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan, Cet. I,
Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 16.
34

sesuatu atau wajib melaksanakan suatu prestasi berupa utang atau uitschuld-nya.

Atau dapat juga disebut sebagai orang yang mempunyai utang.

Syarat Kelima, Lebih dari dua Kreditur. Kreditur atau schuldeiser atau

creditor adalah pihak yang berhak untuk menuntut suatu prestasi. Dalam hal ini

karena adanya hak dari Kreditur atas prestasi itu yang berupa pelunasan utang.

Persyaratan keenam adalah Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan

khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”. Debitur hanya dapat dinyatakan

pailit atau diberikan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh Pengadilan

Niaga (Pasal 300 ayat (1) UUKPKPU No. 37 Tahun 2004).

Syarat Ketujuh, Permohonan menyatakan pailit diajukan oleh pihak yang

berwenang, yaitu pihak Debitur, satu atau lebih Kreditur, Jaksa untuk kepentingan

umum, Bank Indonesia jika Debiturnya bank, dan Bapepam jika Debiturnya

perusahaan efek. Sehingga dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3)

UUKPKPU No. 37 Tahun 2004, hanya pihak-pihak inilah yang dapat mengajukan

permohonan pailit.

Kedelapan, Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam UUPKPU

No. 37 Tahun 2004.62 Syarat-syarat yang lain di sini berarti syarat-syarat yang

ditentukan dalam undang-undang, seperti pembuktian yang sumir atau sederhana

(Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU No. 37 Tahun 2004), permohonan pailit harus

dimajukan oleh seorang penasehat hukum (pengacara/advokat) yang memiliki izin

praktek (Pasal 7), syarat jangka waktu pemeriksaan, dll.

62
Munir Fuady, Hukum Bisnis : Dalam Teori dan Praktek Jilid 1, Cet. 1, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996, hlm. 9 (selanjutnya disebut Munir Fuady III)
35

Kesembilan, Apabila syarat-syarat terpenuhi, “Hakim menyatakan pailit,

bukan dapat dinyatakan pailit”. Sehingga dalam hal ini kepada Hakim tidak diberi

ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada kasus-kasus lain,

sesungguhnya “limited defence” masih dibenarkan mengingat yang berlaku adalah

prosedur pembuktian yang sumir (Pasal 8 UUKPKPU No. 37 Tahun 2004).

C. Prosedur Permohonan Kepailitan

Pada dasarnya Hukum Acara yang berlaku pada dalam permohonan

kepailitan adalah hukum acara perdata (Het Herziene Indonesisch Reglement/HIR,

Rechtsreglement Buitengewesten/RBg), sebagaimana hukum acara yang berlaku

di Pengadilan Negeri, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang. Pengadilan

Niaga diadakan agar perkara-perkara gugatan kepailitan dapat diselesaikan secara

lebih cepat, oleh karenanya “sungguhpun hukum acara perdata yang berlaku

sebagai hukum positif tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan

penyempurnaan agar dapat tercapai peradilan yang cepat, sederhana dan murah”.63

Proses permohonan kepailitan dilakukan dengan melalui proses dan/atau

tahapan sebagai berikut :

a. Pendaftaran Permohonan

Tahap awal permohonan pailit adalah pendaftaran permohonan melalui

Panitera di Pengadilan yang berwenang. Pengadilan yang berwenanang menerima

pendaftaran adalah Pengadilan Niaga. Meskipun demikian belum tentu semua

63
J. Djohansjah., Kewenangan Pengadilan Niaga Menurut Perpu No.1 Tahun 1998., makalah
disampaikan pada Seminar Penanganan Permasalahan Perkara Kepailitan Di Pengadilan Niaga,
yang diselenggarakan oleh Ikatan Hakim Indonesia bekerjasama dengan Mahkamah Agung
Republik Indonesia, di Gedung Serba Guna BNI, Jakarta, pada hari Selasa, tanggal 25 Agustus
1998, hlm. 9-13
36

Pengadilan Niaga berwenang karena masih harus mempertimbangkan masalah

kompetensi relatif dan tempat kedudukan para pihak.

Pengadilan yang berwenang mengadili permohonan kepailitan adalah

Pengadilan Niaga yang dibentuk berdasarkan Pasal 281 Ayat (1) Perpu No. 1

Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan

sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998

dinyatakan tetap berwenang dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas

Pengadilan Niaga.

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 97

tahun 1999, Pemerintah telah membentuk Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan

Niaga Surabaya, dan Pengadilan Niaga Semarang. Pembagian daerah hukum

Pengadilan Niaga berdasarkan Pasal 2 jo, Pasal 5 Keppres No. 97 tahun 1999

adalah :

a. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang daerah hukumnya

meliputi wilayah propinsi :

1) Sulawesi Selatan

2) Sulawesi Tenggara

3) Sulawesi Tengah

4) Sulawesi Utara

5) Maluku

6) Irian Jaya

b. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan daerah hukumnya meliputi

wilayah Propinsi :
37

1) Sumatera Utara

2) Riau

3) Sumatera Barat

4) Bengkulu

5) Jambi

6) Daerah Istimewa Aceh

c. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya daerah hukumnya meliputi

wilayah propinsi :

1) Jawa Timur

2) Kalimantan Selatan

3) Kalimantan Tengah

4) Kalimantan Timur

5) Bali

6) Nusa Tenggara Barat

7) Nusa Tenggara Timur

d. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang daerah hukumnya meliputi

wilayah propinsi :

1) Jawa Tengah

2) Daerah Istimewa Yogyakarta

e. Pengadilan Naiaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat daerah hukumnya

meliputi wilayah Propinsi :

1) Daerah khusus Ibukota Jakarta

2) Jawa Barat
38

3) Sumatera Selatan

4) Lampung

5) Kalimantan Barat

Pengajuan permohonan pailit harus diajukan oleh seorang Advokat.64

Jangka waktu proses pemeriksaan perkara kepailitan, adalah 60 (enam puluh) hari,

dimana putusan pengadilan harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari

setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

Pembatasan jangka waktu dalam proses pemeriksaan memberikan

kepastian bagi para pihak menyangkut waktu yang dibutuhkan dan estimasi biaya-

biaya termasuk biaya pengacara dalam rangka permohonan kepailitan ini.

Pembatasan itu juga dapat mempersempit atau memperkecil kemungkinan rusaknya

asset atau dilarikan oleh debitur.

Pasal 2 UUKPKPU No. 37 Tahun 2004 menentukan pihak-pihak yang

dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu :

a. Kejaksaan untuk kepentingan umum;

b. Bank Indonesia, dalam hal debitur adalah Bank;

c. Badan Pengawas Pasar Modal, dalam hal debitur adalah Perusahaan efek, Bursa

efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian;

d. Menteri Keuangan, dalam hal debitur adalah perusahaan Asuransi, Perusahaan

Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang

bergerak di bidang kepentingan publik.

64
Lihat Pasal 7 UUKPKPU No. 37 Tahun 2004
39

Ditetapkannya Menteri Keuangan berdasarkan UUKPKPU No. 37 Tahun

2004 adalah dalam hal debitur yang akan dimohonkan pailit adalah Perusahaan

Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,atau Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang bergerak dibidang kepentingan publik. Penjelasan Pasal 2 ayat (5)

UUKPKPU menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengajukan permohonan

pailit bagi perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang diberikan kepada

Menteri Keuangan karena perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola resiko

dan sekaligus sebagai pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan

strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.

Permohonan pailit harus disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri

oleh penasehat hukum65. Sebaliknya kalau permohonan itu lisan, maka permohonan

itu akan dibuat akta yang ditandatangani oleh penitera Pengadilan Negeri. Langkah

selanjutmya Panitera mendaftarkan permohonan dan menyampaikannya ke Ketua

Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lambat 1 x 24 jam.

b. Penetapan Hari Sidang dan Cara Pemanggilan

Pengadilan dalam waktu dua hari (2 x 24 jam) harus sudah bisa

menetapkan hari sidang.66 Selanjutnya dilakukan pemanggilan oleh panitera.67

Pemanggilan pihak pihak cukup dilakukan dengan surat kilat tercatat, sedangkan

pemanggilan para ahli waris dalam kepailitan harta peninggalan dilakukan dengan

surat juru sita dan harus disampaikan di tempat tinggal terakhir si debitor. Yang

menjadi persoalan adalah pemanggilan para pihak yang dilakukan oleh juru sita

65
lihat Pasal 5 UUKPKPU No. 37 Tahun 2004
66
Lihat Pasal 4 ayat (4) UUKPKPU No. 37 Tahun 2004
67
Lihat Pasal 6 ayat (2) UUKPKPU No. 37 Tahun 2004
40

melalui surat kilat tercatat kalau yang bersangkutan menyangkal/membantah tidak

pernah menerima pemanggilan. Oleh karenanya perlu dipikirkan secara seksama

cara pemanggilan yang harus dilakukan oleh juru sita dengan menyampaikan

exploit/relaas panggilan kepada yang bersangkutan adalah lebih menjamin

kepastian hukum.

c. Pemeriksaan dan Putusan oleh Hakim Majelis

Pemeriksaan dilaksanakan “paling lambat 20 hari setelah didaftarkan dan

kepailitan dibicarakan dalam sidang tertutup”68 Hakim dapat memerintahkan

debitur untuk menghadap secara pribadi atau dengan kuasanya, untuk didengar.

Masa sidangnya dibatasi, “menjadi hanya 30 hari” 69 serta membuat secara lengkap

pertimbangan hukum yang mendasari putusan. Aturan Kepailitan ini lebih

revolusioner jika dilihat dari segi waktu putusan kepailitan yang cepat.

Bilamana dalam pemeriksaan secara sumir terbukti bahwa keadaan

berhenti membayar ada, dan permohonan itu diajukan oleh seorang kreditur yang

berhak, maka oleh hakim diucapkan putusan kepailitan dengan putusan hakim

(vonnis) di muka sidang yang terbuka untuk umum. Putusan dilaksanakan seketika

dan atas aslinya, tanpa menunggu adanya perlawanan atau banding (op de minuut

uitvoerbaar bij voorraad). Putusan kepailitan bersifat konstitutif, sebab dengan

adanya putusan itu timbullah keadaan baru.

Untuk perkara kepailitan sesuai dengan ketentuan yang ada, maka majelis

dapat memutus bahwa perkara:

68
Lihat Pasal 4 ayat (5) UUKPKPU No. 37 Tahun 2004
69
Lihat Pasal 6 ayat (4) UUKPKPU No. 37 Tahun 2004
41

a. Tidak dapat diterima (niet ontvankelijk atau NO), atau

b. Menolak gugatan/permohonan, atau

c. Menerima gugatan/permohonan kepailitan, atau

d. Menerima permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (surseance

van betaling).

Putusan kepailitan memuat identitas penggugat, tergugat, pertimbangan,

dictum serta juga memuat pula:

a. Penetapan hakim pengawas pengadilan negeri sebagai hakim pengawas;

b. pengangkatan Kurator untuk kepentingan penrusan budel pailit.

Dalam hal debitur atau kreditur tidak mengajukan usul pengangkatan kurutor,

maka Balai Harta Peninggalan bertindak selaku Kurator70.

Dalam pemeriksaan permohonan pailit di Pengadilan Niaga dilaksanakan

berdasarkan asas adil, cepat, terbuka, dan efektif. Lebih cepat dan dapat

dipercepatnya jangka waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga, antara

lain dipengaruhi oleh system pembuktian yang dianut yaitu bersifat sederhana

dengan asas summarily providing (pembuktian secara sumir).

Kriteria pembuktian yang sederhana dapat digunakan oleh Hakim di

Pengadilan Niaga untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya dan

menyatakan bahwa perkara yang diajukan adalah perkara kepailitan atau perkara

perdata biasa, karena mengandung konstruksi yuridis exception non adimpleti

contractus.

70
Erman Rajagukguk., Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
tentang Kepailitan, makalah pada Pendidikan dan Pelatihan Hukum Kepailitan, diselenggarakan
oleh IKADIN Medan dan STIH Graha Kirana, di Hotel Dirga Surya Medan, tanggal Sabtu 17 & 19
Oktober 1998, hlm. 6
42

Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan sifat pembuktian ini adalah

bahwa pada tingkat Kasasi atau Peninjauan Kembali adakalanya Majelis Hakim

berpendapat lain, sehingga menimbulkan pendapat adanya putusan yang

kontradiktif. Keadaan ini tidak jarang dinyatakan sebagai wujud tidak adanya

kepastian hukum beracara di Pengadilan Niaga di Indonesia. Demikian juga halnya

bahwa bukti kliping Koran tidak dapat dijadikan sebagai bukti.

D. Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Pengurusan Kepailitan

Adapun pihak-pihak yang berperan aktif dalam pelaksanaan Kepailitan

seperti yang diatur menurut Undang-Undang adalah :

1. Kurator (Receiver):

Dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat pengurus dan pemberes

harta pailit yang disebut Kurator. Kurator ini dinamakan juga Reciver for

liquidation in bankcrupty. Yang disebut Kurator adalah mereka yang berdomisili di

Indonesia dan memiliki surat tanda lulus ujian yang diselenggarakan oleh Asosiasi

Kurator dan Pengurus Indonesia artinya bahwa untuk dapat menjadi seorang

Kurator maka dia harus melalui pendidikan yang spesifik terlebih dahulu untuk

kemudian di uji kelulusannya oleh lembaga berwenang.

Dalam hal debitur atau kreditur tidak mengusulkan Kurator kepada

Pengadilan Niaga, maka Balai Harta Peninggalan akan ditunjuk sebagai Kurator.

Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit yang berweang mengurus harta

pailit adalah Kurator, meskipun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya

hukum. Dalam hal putusan pernyataaan pailit dibatalkan oleh Mahkamah Agung
43

maka semua tindakan yang telah dilakukan Kurator sebelum atau pada tanggal

menerima pemberitaan putusan permbatalan tetap sah dan mengikat debitur.

Kurator dapat terdiri dari “Balai Harta Peninggalan atau Kuator lainnya

baik perseorangan maupun persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia,

memiliki keahlian khusus dalam mengurus dan atau membereskan harta pailit dan

terdaftar di Departement Kehakiman dan HAM”.71

Pengertian Kurator menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah

“pengurus dan pengawasan atas harta benda orang lain”.72

Menurut UUKPPU 37 Tahun 2004 yang dimaksud dengan Kurator adalah

“Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan

Niaga untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan

Hakim Pengawas (Pasal 1 angka 5 UUKPKPU).

1.1. Tugas dan Kewenangan Kurator;

Tugas Kurator secara umum adalah melakukan “pengurusan dan/atau

pemberesan harta pailit”.73 Kurator dalam menjalankan tugas bersifat independen

dengan pihak Debitor dan Kreditor, tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari

atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau Kreditor. 74

Tugas Kurator secara rinci antara lain adalah sebagai berikut:

(1) Mengumumkan putusan pernyataan pailit, tempat danwaktu penyelenggaraan

rapat pertama Kreditor dalam Berita Negara R.I dan dua surat kabar harian

71
Abdul R Saliman, Ahmad Jalis, Hermansyah, 2004, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Fajar
Interpratama Offset, Jakarta, Hlm. 95
72
Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998, hlm. 479.
73
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1999, hlm. 64. Selanjunya di sebut Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya II)
74
Munir Fuadi, Op.Cit., hlm. 44.
44

yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, dalam jangka waktu paling lambat 5

(lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima (Pasal 15 ayat

(4) UUKPKPU);

(2) Mengusahakan keselamatan harta pailit dengan melakukan penyimpanan

semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek dan surat-surat berharga lainnya

dengan memberikan tanda penerimaan (Pasal 98 UUKPKPU);

(3) Membuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima

surat putusan pengangkatannya sebagai Kurator (Pasal 100 UUKPKPU), dan

setelah itu harus membuat daftar tentang sifat dan jumlah piutang dan utang

harta pailit, nama dan tempat tinggal para kreditor beserta jumlah piutang

mereka masing-masing (Pasal 102 UUKPKPU). Pencatatan harta pailit

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan daftar sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 102 harus diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan untuk dapat

dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma (Pasal 103 UUKPKPU);

(4) Mengumumkan dalam dua surat kabar harian batas akhir pengajuan tagihan

Kreditor, hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat pencocokan piutang, yang

ditetapkan oleh Hakim Pengawas (Pasal 114 UUKPKPU);

(5) Mencocokkan tagihan-tagihan yang masuk (Pasal 116 UUKPKPU);

(6) Membuat daftar piutang yang sementara diakui dan yang dibantah (Pasal 117

UUKPKPU);

(7) Menyediakan di Kepaniteraan Pengadilan salinan daftar piutang yang

sementara diakui dan yang sementara dibantah (Pasal 119 UUKPKPU);


45

(8) Memberitahukan kepada para Kreditor tentang adanya daftar piutang yang

sementara diakui dan yang sementara dibantah, serta memanggil untuk hadir

dalam rapat pencocokan piutang (Pasal 120 UUKPKPU);

(9) Memberikan laporan mengenai keadaan harta pailit, setelah rapat pencocokan

piutang berakhir (Pasal 143 ayat (1) UUKPKPU);

(10) Memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian (Pasal 146

UUKPKPU);

(11) Membuat/menyusun daftar pembagian dan dimintakan persetujuan kepada

Hakim Pengawas (Pasal 189 ayat (1) UUKPKPU) dan menempatkan daftar

pembagian yang telah disetujui Hakim Pengawas di Kepaniteraan Pengadilan

untuk dapat dilihat oleh para Kreditor selama tenggang waktu yang

ditetapkan Hakim Pengawas (Pasal 192 UUKPKPU);

(12) Melaksanakan pembagian yang sudah ditetapkan (Pasal 201 UUKPKPU);

(13) Mengumumkan ikhtisar berakhirnya kepailitan dalam surat kabar yang

ditunjuk oleh Hakim Pengawas dan dalam Berita Negara (Pasal 202 ayat (2)

UUKPKPU);

(14) Memberikan pertanggung jawaban mengenai tugas pengurusan dan

pemberesan yang telah dilakukannya kepada Hakim Pengawas (Pasal 202

ayat (3) UUKPKPU).

1.2. Kewenangan Kurator

Kewenangan Kurator melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta

pailit pada prinsipnya dimulai sejak adanya putusan pernyataan pailit dari
46

Pengadilan Niaga, walaupun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau

peninjauan kembali (Pasal 16 ayat (1) UUKPKPU).

Beberapa kewenangan Kurator antara lain adalah sebagai berikut:

(1) Memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian yang belum

atau baru sebagian dipenuhi oleh Debitor (Pasal 36 ayat (1) UUKPKPU).

(2) Berwenang menghentikan sementara sewa menyewa barang yang telah

dilakukan oleh Debitor (Pasal 38 UUKPKPU), menghentikan hubungan

perburuhan (Pasal 39 ayat (1) UUKPKPU).

(3) Mengangkat atau mengubah syarat penangguhan hak eksekusi Kreditor

pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan

atas kebendaan lainnya, seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 57 ayat (2)

UUKPKPU).

(4) Menuntut kepada Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,

hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya untuk menyerahkan benda

yang menjadi agunan, setelah berakhirnya jangka waktu bagi Kreditor tersebut

untuk melaksanakan hak eksekusi atas benda yang menjadi agunan seolah-olah

tidak terjadi kepailitan (Pasal 59 ayat (2) UUKPKPU).

(5) Melanjutkan usaha Debitor.

Dengan persetujuan panitia Kreditor, kurator berkuasa untuk melanjutkan

usaha Debitor yang dinyatakan pailit, walaupun terhadap putusan pernyataan

pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Apabila dalam putusan

pernyataan pailit tidak diangkat panitia Kreditor, persetujuan untuk

melanjutkan usaha tersebut diatas, dapat diberikan oleh Hakim Pengawas


47

(Pasal 104 ayat (1) UUKPKPU).3) Membuka surat dan telegram yang

ditujukan kepada Debitor (Pasal 105 UUKPKPU).

(6) Memberikan suatu jumlah uang yang ditentukan Hakim Pengawas untuk

penghidupan Debitor pailit dan keluarganya(Pasal 106 UUKPKPU).

(7) Mengalihkan harta pilit.

Dengan pertimbangan untuk menutup ongkos kepailitan atau apabila

penahanan barang-barang akan mengakibatkan kerugian pada harta pailit,

maka atas persetujuan Hakim Pengawas, kurator dapat mengalihkan harta

pailit. Pengalihan harta pailit ini dapat diselenggarakan, meskipun terhadap

putusan pernyataan pailit diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 107

ayat (1) UUKPKPU).

(8) Mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan

atau mencegah timbulnya perkara (Pasal 109 UUKPKPU);

(9) Meminta kepada Kreditor memasukkan surat yang belum diserahkan,

memperlihatkan catatan dan surat bukti asli, dalam rangka pencocokan

perhitungan piutang Kreditor (Pasal 116 ayat (2) UUKPKPU);

(10) Berhak menarik kembali pengakuan sementara atau bantahannya, atau

menuntut supaya Kreditor menguatkan dengan sumpah kebenaran piutangnya

yang tidak dibantah oleh Kurator atau salah seorang Kreditor (Pasal 124 ayat

(3) UUKPKPU);

(11) Kurator dapat melakukan penjualan barang secara dibawah tangan, dengan izin

Hakim Pengawas (Pasal 185 ayat (2) UUKPKPU).


48

Dalam prakteknya kebanyakan Kurator adalah advokat, konsultan Hukum

dan akuntan public. Dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit,

Kurator tidak perlu memperoleh persetujuan dari debitur. Kurator dapat meminjam

uang dari pihak ketiga untuk meningkatkan nilai harta pailit. Jika dalam melakukan

pinjaman tersebut Kurator perlu membebani harta pailiut dengan hak tanggungan

atau hak gadai maka pinjaman uang yang demikian itu terlebih dahulu harus

mendapatkan persetujuan Hakim Pengawas. Pembebanan harta pailit dengan hak

tanggungan atau hak gadai hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang

belum dijadikan jaminan utang.

2. Hakim Pengawas

Dalam putusan pailit ditetapkan seorang Hakim Pengawas yang berasal

dari Hakim Pengadilan Niaga. Hakim pengawas bertugas pada pengurusan dan

pemberesan harta pailit yang dilaksanakan oleh Kurator. Sebelum melakukan

penetapan berkenaan dengan pengurusan atau pemberesan harta pailit, Pengadilan

Niaga harus mendengar terlebih dahulu pendapat Hakim Pengawas. Hakim

Pengawas berkewengan untuk memperoleh keterangan mengenai kepailitan,

mendengar saksi ataupun memerintahkan penyelidikan kepailitan oleh ahli.

Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam

putusan pailit atau putusan penundaan pembayaran utang (Pasal 1 angka 8

UUKPKPU).

2.1. Tugas Hakim Pengawas


49

Tugas pokok Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan dan

pemberesan harta pailit. Tugas pokok Hakim Pengawas tersebut dalam UUKPKPU

No. 37 Th. 2004 tertuang pada Pasal 65, sedang pengurusan dan pemberesan harta

pailit menurut Pasal 69 ayat (1) ditugaskan kepada Kurator. Pengawasan oleh

Hakim Pengawas terhadap pengurusan dan pembersan harta pailit meliputi: 75

(1) Apakah Kurator dalam menjalankan tugasnya tetap bergerak dalam batas-batas

yang telah ditetapkan dalam undang-undang mengenai wewenangnya;

(2) Apakah Kurator bertindak untuk kepentingan harta pailit;

(3) Apakah Kurator menjalankan tugasnya dengan baik.

Hakim Pengawas tidak boleh ikut serta dalam penguasaan dan pengurusan

harta pailit, tetapi tugas pengawasan itu meliputi juga memberi nasehat dan

peringatan kepada kurator.

2.2. Kewenangan Hakim Pengawas

Kewenangan Hakim Pengawas menurut UUKPKPU No. 37 Th. 2004

antara lain adalah sebagai berikut :

(1) Menetapkan 2 (dua) surat kabar harian untuk mengumumkan ikhtisar putusan

pernyataan pailit, dan menentukan hari, tanggal, waktu dan tempat rapat

Kreditor pertama yang harus diselenggarakan paling lambat 30 (tiga puluh)

hari setelah putusan pailit diucapkan (Pasal 15 ayat (4) jo. Pasal 86 ayat (1)

UUKPKPU);

(2) Memberi izin kepada Kurator untuk meneruskan penjualan benda milik

Debitor atas tanggungsn harta pailit, dalam rangka eksekusi yang hari

75
Kartono., Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta, 1974, hlm. 59
50

penjualannya telah ditetapkan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Hasil penjualan benda milik Debitor tersebut masuk dalam harta pailit dan

tidak diberikan kepada pemohon eksekusi (penjelasan Pasal 33 UUKPKPU);

(3) Menetapkan jangka waktu pelaksanaan perjanjian timbal balik yang belum

atau baru sebagian dipenuhi, dalam hal Kurator tidak memberi kepastian

tentang jangka waktu kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut (Pasal 36

ayat (2) UUKPKPU);

(4) Memberikan penetapan atas permohonan pengangkatan penangguhan hak

eksekusi Kreditor pemegang gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak

agunan atas kebendaan lainnya;

(5) Pasal 67 ayat (1): Mendengar keterangan saksi atau memerintahkan

penyelidikan oleh para ahli untuk memperoleh kejelasan tentang segala hal

mengenai kepailitan (Pasal 57 ayat (3) UUKPKPU);

(6) Menentukan hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat Kreditor pertama (Pasal

86 ayat (1) UUKPKPU);

(7) Menetukan tempat penyimpanan harta pailit berupa uang, perhiasan, efek,

surat berharga lainnya (Pasal 108 ayat (1) UUKPKPU);

(8) Menetapkan batas akhir pengajuan tagihan, batas akhir verifikasi pajak, serta

hari, tanggal, waktu dan tempat rapat pencocokan piutang (Pasal 113 ayat (1)

UUKPKPU);

(9) Menetapkan hari sidang Pengadilan yang akan memutuskan mengenai

disahkan atau tidaknya rencana perdamaian (Pasal 156 ayat (1) UUKPKPU);
51

(10) Memerintahkan supaya kelanjutan perusahaan dihentikan (Pasal 183

UUKPKPU);

(11) Memberi izin penjualan harta pailit secara dibawah tangan, dalam hal

penjualan di muka umum tidak tercapai (Pasal 185 ayat (2) UUKPKPU);

(12) Memberi izin kepada Kurator melakukan tindakan terhadap semua benda

(harta pailit) yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan Pasal

185 ayat (3) UUKPKPU);

(13) Memerintahkan kepada Kurator untuk melakukan pembagian kepada Kreditor

apabila telah terdapat cukup uang tunai; ( Pasal 188 UUKPKPU);

(14) Menetapkan hari sidang untuk memeriksa perlawanan terhadap berakhirnya

tenggang waktu bagi kreditor untuk melihat daftar pembagian Pasal 194 ayat

(1) UUKPKPU;

(15) Memerintahkan pencoretan pendaftaran hipotek, hak tanggungan, atau

jaminan fidusia yang membebani benda yang termasuk harta pailit, segera

setelah daftar pembagian yang memuat pertanggungjawaban hasil penjualan

benda yang dibebani menjadi mengikat (Pasal 197 UUKPKPU);

3. Panitia Kreditor

Panitia Kreditor adalah pihak yang mewakili para Kreditor, sehingga

Panitia Kreditor tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak

Kreditor.76 Panitia Kreditor keberadaannya bersifat fakultatif, sebab Panitia

Kreditor hanya dibentuk bilamana keadaan atau kepentingan harta pailit

Ibid, hlm. 39 – 40.


76
52

menghendakinya.77 Panitia Kreditor dibedakan antara Panitia Kreditor Sementara

dan Panitia Kreditor Tetap (difinitif).

Pembentukan Panitia Kreditor Sementara adalah ditunjuk oleh Hakim

Pengadilan Niaga dalam putusan pernyataan pailit, sedangkan Panitia Kreditor

Tetap dibentuk oleh Hakim Pengawas apabila dalam putusan pailit tidak diangkat

Panitia Kreditor Sementara.

Panitia Kreditor Sementara terdiri dari tiga orang yang dipilih dari para

Kreditor yang dikenal, dengan maksud memberikan nasehat kepada Kurator (Pasal

79 ayat (1) UUKPKPU). Yang dimaksud dengan “Kreditor yang dikenal” adalah

Kreditor yang telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi (Penjelasan Pasan 79 ayat

(1) UUKPKPU). Panitia Kreditor Tetap (definitif) diangkat oleh Hakim Pengawas

setelah rapat pencocokan piutang selesai dilakukan.

3.1. Tugas dan Kewenangan Panitia Kreditor

Tugas dan wewenang panitia Kreditor antara lain adalah sebagai berikut :

(1) Tugas utama panitia Kreditor adalah memberi nasehat atau saran kepada

Kurator. Ini kadang-kadang sangat berguna, terutama dalam bidang teknik dan

perdagangan, oleh karena pengetahuan Kurator boleh dikatakan hanya terpusat

pada soal-soal yuridis dan administratif; 78

(2) Panitia Kreditor berkewajiban memberikan pendapat tertulis tentang rencana

perdamaian dalam rapat verifikasi {Pasal 146 UUKPKPU);

77
E. Suherman, Faillissement (Kepailitan), Binacipta, Bandung, 1988, hlm.45.
78
Kartono., Ibid, hlm. 62
53

(3) Panitia Kreditor wajib memberikan pendapat mengenai usul untuk melanjutkan

perusahaan Debitor pailit yang diusulkan Kurator atau Kreditor, setelah tidak

ada penawaran perdamaian atau setelah penawaran perdamaian yang

ditawarkan ditolak dalam rapat verifikasi (Pasal 179 ayat (2) UUKPKPU);

(4) Panitia Kreditor setiap waktu berhak meminta diperlihatkan semua buku dan

surat-surat yang berhubungan dengan kepailitan. Sebaliknya Kurator

diwajibkan memberikan keterangan-keterangan yang dimintanya (Pasal 81

UUKPKPU);

(5) Panitia Kreditor dapat mengajukan surat keberatan kepada Hakim Pengawas

terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Kurator atau memohon kepada Hakim

Pengawas untuk mengeluarkan surat perintah agar Kurator melakukan

perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan yang sudah direncanakan

(Pasal 77 ayat (1) UUKPKPU);

(6) Panitia kreditur berhak meminta diadakannya rapat para kreditur (Pasal 81 ayat

(1) UUKPKPU);

(7) Panitia Kreditor berhak menghadiri pencatatan harta pailit yang dilakukan oleh

kurator (Pasal 100 ayat (3) UUKPKPU);

(8) Panitia Kreditor berwenang memberikan persetujuan kepada kurator untuk

melanjutkan usaha debitur yang dinyatakan pailit, walaupun terhadap putusan

pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali (Pasal 104

ayat (1) UUKPKPU);

(9) Panitia Kreditor berwenang memanggil Debitor untuk memperoleh

keterangannya (Pasal 110 ayat (1) UUKPKPU);


54

(10) Panitia kreditur berhak untuk meminta penetapan Hakim Pengawas dalam hal

tidak menyetujui Kurator mengajukan gugatan atau meneruskan perkara yang

sedang berlangsung ataupun menyanggah gugatan yang diajukan atau yangt

sedang berlangsung (Pasal 84 ayat (3) UUKPKPU).

E. Akibat Hukum Kepailitan

Putusan kepailitan akan berakibat hilangnya hak menguasai dan mengurus

kekayaannya (Persona Standi In Ludicio). Pasal 24 UUKPKPU Nomor 37 Tahun

2004 menentukan “terhitung sejak ditetapkannya putusan pernyataan pailit,

debitor pailit tidak mempunyai kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta

kekayaan yang dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan harta kekayaan debitor

dialihkan kepada kurator atau Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai

kurator yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

Menurut Munir Fuady akibat hukum kepailitan terhadap pihak debitor

yang dipailitkan antara lain :

Dapat berupa boleh dilakukannya kompensasi, kontrak timbal balik yang


boleh dilanjutkan, berlakunya penangguhan eksekusi, berlakunya actio
pauliana, berlakunya sitaan umum atas seluruh harta debitor, gugatan hukum
harus oleh atau terhadap kurator, transaksi forward dihentikan, dapat
dilakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan, hak retensi tidak
hilang, debitor pailit dapat disandera (gijzeling), harta pailit dapat disegel,
keputusan bersifat serta merta, dan masih banyak lagi.79

Pada prinsipnya salah satu akibat hukum kepailitan, adalah sitaan umum.

“Sitaan umum ini berlaku terhadap seluruh harta debitor yaitu harta yang telah ada

pada saat pernyataan pailit ditetapkan, dan harta yang diperoleh selama kepailitan.

Adanya putusan pernyataan pailit berakibat terhadap semua penyitaan yang telah

79
Munir Fuady, op.cit., hlm. 63-64.
55

dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus

memerintahkan pencoretannya.”80

Pembatasan kewenangan debitur adalah meliputi seluruh kekayaan milik

debitor pada saat putusan pernyataan pailit ditetapkan serta seluruh kekayaan yang

diperoleh debitor selama berlangsungnya kepailitan, “misalnya karena hibah atau

warisan. Yang dimaksud dengan kekayaan adalah semua barang dan hak atas benda

yang dapat diuangkan (ten gelde kunnen worden gemaakt).” 81

Perihal apa yang dimaksudkan dengan kekayaan adalah meliputi

“kekayaan terdiri tidak hanya dari harta benda yang bertubuh seperti barang-barang

tak bergerak dan barang-barang bergerak saja, melainkan juga tuntutan-tuntutan

hukum (utang-piutang misalnya)”.82

Namun demikian, sesudah pernyataan kepailitan ditetapkan debitor masih

dapat mengadakan perikatan-perikatan. Hal ini akan mengikat bila perikatan-

perikatan yang dilakukannya tersebut mendatangkan keuntungan – keuntungan

debitor. Hal tersebut ditegaskan UUKPKPU Nomor 37 Tahun 2004 yang

menentukan bahwa semua perikatan debitor pailit yang dilakukan sesudah

pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit itu, kecuali bila perikatan-

perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit.

Pengecualian terhadap berlakunya ketentuan Pasal 21 UUPKPU Nomor 37

Tahun 2004 adalah terhadap hak penguasaan dan pengurusan atas beberapa barang

80
Siti Anisah, op.cit., hlm. 191.
81
Frederick B.G Tumbuan, Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan Sebagaimana
Diubah Oleh Perpu No. 1/1998, Makalah Pelatihan Kurator, Departemen Kehakiman, Jakarta,
1998, hlm. 4.
82
Kartono, Op. Cit., hlm. 39.
56

atau benda sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 22 Undang-undang Kepailitan

Nomor 37 Tahun 2004, yaitu:

1. Benda, ternasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan

dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan

untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh

debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (Tiga Puluh) hari bagi

debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;

2. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai

pengajuan dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau

uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau

3. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban

memberi nafkah menurut undang-undang. Yang termasuk harta kepailitan

adalah kekayaan lain yang diperoleh debitor pailit selama kepailitan misalnya

warisan. Pasal 40 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004

menyebutkan bahwa segala warisan yang jatuh kepada debitor pailit selama

kepailitan tidak boleh diterima oleh kuratornya, kecuali dangan hak istimewa

untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan. Sedangkan untuk menolak

warisan, kurator memerlukan kuasa dari Hakim Pengawas. Selanjutnya

mengenai hibah, debitor pailit yang dilakukan mengenai hibah yang dilakukan

oleh debitor pailit dapat dimintakan pembatalannya oleh kurator apabila dapat

dibuktikan bahwa pada waktu dilaksanakan hibah, debitor pailit mengetahui

atau patut mengetahui bahwa tindakannya tersebut dapat merugikan para

kreditor.
57

Ketika seorang debitor dinyatakan pailit, bukan berarti debitor yang

bersangkutan tidak cakap lagi untuk melakukan perbuatan hukum dalam rangka

mengadakan hubungan hukum tertentu dalam hukum kekeluargaan, misalnya

melakukan perkawinan, mengangkat anak dan sebagainya. Debitor pailit “hanya

dikatakan tidak cakap lagi melakukan perbuatan hukum dalam kaitannya dengan

penguasaan dan pengurusan harta kekayaannya. Dengan sendirinya segala gugatan

hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban kekayaan debitor pailit harus

dimajukan terhadap kuratornya.

Selanjutnya terhadap gugatan-gugatan hukum yang diajukan atau kepada

debitor pailit tersebut mengakibatkan penghukuman debitor pailit, menurut Pasal 26

UUKPKPU Nomor 37 Tahun 2004, penghukuman itu tidak mempunyai kekuatan

hukum terhadap harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit

(boedel pailit).

Gugatan atau tuntutan hukum akibat Kepailitan dapat digolongkan kepada

3 (tiga), yaitu:

(1) Gugatan atau tuntutan hukum yang tidak secara langsung mengenai harta

pailit.

Gugatan terutama mengenai kepentingan pribadi debitor atau keluarganya,

misalnya: tuntutan mengenai perceraian, pisah ranjang, pengingkaran sahnya

anak dan sebagainya;

(2) Mengenai hal ini pada umumnya diberlakukan ketentuan Pasal 26 ayat (1)

UUKPKPU, yang menentukan bahwa tuntutan-tuntutan termaksud harus

diajukan oleh atau terhadap kurator. Jika tuntutan-tuntutan itu mengakibatkan


58

suatu penghukuman terhadap Debitor, penghukuman itu tidak mempunyai

suatu kekuatan hukum terhadap harta kekayaan yang telah pailit.

(3) Gugatan atau tuntutan hukum yang bertujuan mendapat pemenuhan suatu

perikatan dari harta pailit (Pasal 27 UUKPKPU).

Dalam hubungan ini, pemenuhan perikatan dalam pasal tersebut mempunyai

arti yang luas, yakni apakah yang menjadi objek perikatan itu suatu jumlah

uang ataupun barang sesuatu lainnya. Terhadap objek perikatan (piutang-

piutang) yang harganya tidak ditetapkan, tidak pasti, tidak dinyatakan dalam

uang Indonesia ataupun sama sekali tidak ditetapkan dalam uang, harus

dicocokkan untuk harganya yang ditaksir dalam uang Indonesia. Penetapan

nilai piutang ke dalam mata uang rupiah tersebut dilakukan pada tanggal

putusan pernyataan pailit ditetapkan (Pasal 139 UUKPKPU).

F. Kedudukan Kreditor Separatis Dalam Hukum Kepailitan

Pada dasarnya kedudukan para kreditor adalah sama (paritas creditoritum)

dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit

sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari passu pro rata parte).

Namun demikian asas tersebut mengenal pengecualian yaitu golongan kreditor

yang memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya

didahulukan berdasarkan Undang-undang kepailitan peraturan perundang-undangan

lainnya. Dengan demikian, asas paritas creditorium berlaku bagi para kreditor

konkuren saja.83

83
Frederick B.G Tumbuan., Ibid h. 107
59

Yang dimaksud kreditur preferen dalam golongan secured creditors

semata-mata karena sifat piutangnya oleh undang-undang diistimewakan untuk

didahulukan pembayarannya. Dengan kedudukan istimewa ini, kreditur preferen

berada diurutan atas sebelum kreditur konkuren atau unsecured creditors lainnya.

Kedudukan preferen lebih tinggi dari kedudukan kreditur lainnya. Menurut Pasal

1133 KUHPerdata, seorang kreditur merupakan kreditur preferen apabila tagihan

kreditur tersebut adalah merupakan:

a. Piutang yang berupa hak istimewa;

b. Piutang yang dijamin dengan Hak Gadai;

c. Piutang yang dijamin dengan Hipotik;

Setelah berlaku UUHT 4 Tahun 1996 dan UUF 42 Tahun 1999, maka selain

kreditur yang memiliki piutang sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 1133

KUH Perdata, juga kreditur-kreditur yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak

fidusia termasuk kreditur preferen atau separatis.

Kreditur separatis kedudukannya sebagai Kreditur preferen pada

prinsipnya mendapat kedudukan didahulukan dibandingkan dengan kreditur-

kreditur lainnya. Kedudukan didahulukan ini dalam KUH Perdata pasal 1133 ayat

(1) KUH Perdata dinyatakan bahwa: “ Hak untuk didahulukan diantara orang-orang

berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik”, 84 dimana apabila

debitur wansprestasi (ingkar janji), kreditur pemegang hak tanggungan akan

mempunyai hak yang didahulukan dalam pelunasan piutangnya dibandingkan

84
Lihat Pasal 1133 KUH Perdata
60

dengan kreditur-kreditur lainnya yang bukan pemegang hak tanggungan. Sifat

pemenuhan piutang yang didahulukan ini disebut dengan kreditur preferen.

Dalam penjelasan umum UUHT No. 4 Tahun 1996 khususnya pada angka

4 pada alinea 2 terdapat perkecualian dari kedudukan yang diutamakan (preferen)

dari pihak kreditur pemegang hak tanggungan, yaitu : bahwa kedudukan

diutamakan kreditur pemegang hak tanggungan tidak mengurangi preferensi

piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian

kedudukan yang diutamakan, kreditur pemegang hak tanggungan dikalahkan oleh

piutang negara.

Dalam hal piutang Negara yang mengalahkan kreditur pemegang hak

tanggungan, Sjahdeini berpendapat bahwa : “berpedoman kepada ketentuan Pasal

1137 KUHPerdata, piutang negara yang kedudukannya lebih tinggi dari hak

tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam angka Penjelasan Umum Undang-

Undang Hak Tanggungan hanya pajak saja”.85 Sedangkan Pasal 1134 KUHPerdata

hipotik (sekarang hak tanggungan) mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari

hak istimewa, namun demikian kedudukan yang lebih tinggi dari hak tanggungan

dapat dikalahkan oleh hak istimewa apabila undang-undang menentukan lain.

Menurut Setiawan, Hak Separatis adalah : "Hak yang diberikan oleh

hukum kepada kreditur pemegang hak jaminan, bahwa barang jaminan (agunan)

tidak termasuk harta pailit".86 Kreditur separatis adalah “kreditur yang memiliki

85
Sutan Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuanketentuan Pokok Dan Masalah
Yang Dihadapi Oleh Perbankan,Cet. IV, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 21
86
Setiawan., Hak Tanggungan Dan Masalah Eksekusinya, Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun
XI No. 131, Agustus 1996, hlm. 145
61

jaminan hutang kebendaan (hak jaminan), seperti pemegang hak tanggungan,

hipotik, gadai, fidusia, dan Iain-lain”87

Kreditur dengan jaminan yang bukan jaminan kebendaan (seperti garansi

termasuk garansi bank) bukan merupakan kreditur separatis.88 Dengan demikian

yang dimaksudkan dengan hak kreditur separatis adalah hak yang diberikan oleh

hukum kepada kreditur pemegang hak jaminan untuk tetap dapat melaksanakan

hak-hak eksekusinya meskipun debiturnya dinyatakan pailit.

Istilah "separatis" yang berkonotasi "pemisahan" karena kedudukan kreditor

tersebut memang dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti kreditor dapat

menjual sendiri dan mengambil hasil penjualan, terpisah dengan harta pailit

umumnya. Menurut Setiawan, hak separatis adalah: "hak yang diberikan oleh

hukum kepada kreditor pemegang hak jaminan, bahwa barang .jaminan (agunan)

yang dibebani dengan hak janainan (hak agunan) tidak termasuk harta pailit'. 89

Kreditur separatis mempunyai kedudukan yang terpisah dengan kreditur

lainnya. Kreditur separatis dapat menjual dan mengambil hasil penjualan seolah-

olah tidak terjadi kepailitan. Bahkan, jika diperkirakan hasil penjualan jaminan

hutang tersebut tidak menutupi masing-masing seluruh hutangnya, kreditur

separatis dapat meminta agar kekurangannya diperhitungkan sebagai tagihan

kreditur konkuren. Sebaliknya, apabila hasil penjualan asset tersebut melebihi

hutang-hutangnya, plus bunga setelah pernyataan pailit (Pasal 134 ayat (3) KUH

87
Lihat Pasal 56 UUKPKPU No. 37 Tahun 2004
88
Munir Fuady. , ibid., hlm. 99
89
Ibid.
62

Perdata ), ongkos-ongkos dan hutang, kelebihan tersebut haruslah diserahkan

kepada pihak debitur.

Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU No. 37 Tahun 2004 mengakui hak separatis

kreditur pemegang hak jaminan, dapat melakukan eksekusi seolah-olah tidak terjadi

kepailitan, tetapi akan menjadi kontradiktif setelah melihat ketentuan pasal 56 ayat

(1) UUKPKPU : "Hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam pasal 55

ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam

penguasaan debitur pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling

lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan".

Penjelasan Pasal 56 ayat (1) menyebutkan masa penangguhan yang

dimaksudkan dalam ketentuan ini bertujuan, antara lain :

a. Untuk memperbesar kemnungkinan tercapainya perdamaian; atau

b. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau

c. Untuk memperbesar kemungkinan Kurator melaksanakan tugasnya secara

optimal.

Selama masa penangguhan segala tuntutan hukum yang diajukan kreditur

maupun pihak ketiga untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat

diajukan dalam sidang badan peradilan. Kreditur juga dilarang mengeksekusi atau

memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan. Ketentuan hukum yang

menentukan terjadinya keadaan yang disebut standstill atau automatic stay.

Sutan Remy Sjahdeini menyebutkan berdasaran asas yang dianut oleh

UUKPKPU No. 37 Tahun 2004 menentukan setelah pernyataan pailit dijatuhkan

oleh Pengadilan, seharusnya tidak ada lagi upaya-upaya perdamaian. Upaya-upaya


63

perdamaian seyogyanya sebelum pernyataan pailit diputuskan oleh pengadilan.

Mengenai alasan penangguhan dimaksudkan untuk memperbesar kemungkinan

mengoptimalkan harta pailit sangat bertentangan Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun

1996, yang menentukan bahwa “apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan

pailit, maka pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak

yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan

(UUHT)”90.

Dalam sertifikat Hak Tanggungan dan Fiducia dicantumkannya irah-irah

"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", menunjukkan adanya

kekuatan eksekutorial yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan

Putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van

gewijsde) dan kekuatannya mengikat para pihak (final and binding).

Berdasarkan penjelasan diatas, Sertifikat Hak Tanggungan dan Sertifikat

Jaminan Fidusia, telah memberikan kewenangan yang cukup kepada kreditor

pemegang hak jaminan untuk dapat mengeksekusi langsung apabila debitor cidera

janji atau tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban atas utangnya.

Selanjutnya kreditur separatis dapat melakukan eksekusi tanpa terpengaruh dengan

adanya kepailitan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 21 UUHT No. 4 Tahun

1996 jo. Pasal 27 ayat (3) UUF No.42 Tahun 1999 kreditor separatis tidak

terpengaruh dengan penyelesaian-penyelesaian seperti dalam ketentuan hukum

kepailitan, karena hak kreditor kreditor separatis dipisahkan dan didahulukan dari

kreditor konkuren.

90
Lihat Penjelasan Pasal 56 UUKPKPU
64

Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa

setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak

agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak

terjadi kepailitan. Namun demikian ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU No. 37

Tahun 2004 telah membatasi kewenangan dari kreditur separatis yang dijamin

oleh UUHT No. 4 Tahun 1996 dan UUF No. 42 Tahun 1999. Penjelasan Pasal 56

ayat (1) menunjukkan tidak konsisten, di satu sisi ketentuan Pasal 55 ayat (1)

kelihatan mengakui hak separatis dan kreditur preferen, tetapi disisi lain ketentuan

Pasal 56 ayat (3) justru mengingkari hak separatis itu karena menentukan bahwa

barang yang dibebani dengan hak jaminan merupakan harta pailit.

Tidak konsistennya UUKPKPU 37 Tahun 2004 menyebabkan merupakan

ketidak pastian hukum Jaminan, sehingga membuat tidak ada artinya penciptaan

lembaga hak jaminan di dalam hukum perdata, membuat kaburnya konsep dan

tujuan hak jaminan itu sendiri. Adanya konflik norma antara UUHT No. 4 Tahun

1996 dan UUF No. 42 Tahun 1999 dengan UUKPKPU No. 37 Tahun 2004 tersebut

telah menimbulkan ketidak pastian bagi pemegang hak jaminan manakala debitur

mengalami pailit.

Ketentuan Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 59 UUKPKPU No. 37 Tahun 2004

bukan saja menegaskan sikap Undang-Undang UUKPKPU No. 37 Tahun 2004

yang tidak mengakui hak separatis dari kreditur pemegang hak jaminan, sebab

dengan memasukkan benda-benda yang dibebani Hak Jaminan sebagai harta pailit,

adalah “sebagai tindakan yang tidak mengakui hak kreditur pemegang Hak Jaminan

untuk dapat mengeksekusi sendiri hak jaminannya, dengan cara menjual benda-
65

benda yang telah dibebani jaminan itu.”91 Kewenangan yang diberikan kepada

kreditur kreditur separatis oleh UU KPKPU adalah kewenangan yang semu.

Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU 37 Tahun 2004 menentukan “Dengan tetap

memperhatikan Pasal 56 UUKPKPU No. 37 Tahun 2004 kreditur pemegang hak

jaminan "harus" melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu dua bulan

terhitung sejak dimulainya insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat

(I) UUKPKPU No. 37 Tahun 2004. Selanjutnya Pasal 59 ayat (2) UUKPKPU No.

37 Tahun 2004 menentukan apabila setelah lewat jangka waktu dua bulan kreditur

separatis tidak dapat melaksanakan haknya, kurator "harus" menuntut

diserahkannya barang yang menjadi anggunan untuk selanjutnya dijual sesuai

dengan cara sebagaimana Pasal 185 UUKPKPU No. 37 Tahun 2004, tanpa

mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil penjualan agunan.

Kata “harus” dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UUKPKPU No. 37

Tahun 2004 adalah merupakan ketentuan yang bersifat memaksa dan mengikat

kreditur pemegang hak tanggungan, sehingga kreditur pemegang hak tanggungan

tidak dapat menyimpanginya. Dengan demikian apabila setelah debitur sudah

dinyatakan insolvensi, maka terhitung sejak hari itu juga Kreditur Separatis harus

dapat menjual obyek hak tanggungan dengan tata cara sebagaimana Pasal 60

UUKPKPU No. 37 Tahun 2004 tentang KPKPU.

91
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal 9

Anda mungkin juga menyukai