Anda di halaman 1dari 30

Nama : Agus Rosadi

Nim : 442010101

Kelas : HKM.20.B.1

MK HUKUM DAGANG

Materi 1 Tentang Kepailitan

A. Pengertian Umum Kepailitan

Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Jika
kita baca seluruh ketentuan yang dalam UndangUndang Kepailitan, kita tidak akan menemui
satu rumusan atau ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan yang menjelaskan pengertian
maupun definisi dari kepailitan atau pailit. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atau
seluruh kekayaan si debitor (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua
kreditorkreditornya (orang-orang berpiutang).

Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun


2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dalam Pasal 2
menyebutkan:

1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.
2. Permohonan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kreditor
dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki
terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan.

Dasar hukum Hukum Kepailitan Indonesia tidak hanya yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004, tetapi juga segala sesuatu yang berkaitan dengan kepailitan
yang diatur dan tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.
Asas hukum Hukum Kepailitan Indonesia secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUH
Perdata dan asas khusus dimuat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Dalam hubungan dengan peraturan perundang-undangan kepailitan, peraturan


dimaksud juga berfungsi untuk melindungi kepentingan pihakpihak terkait dalam hal ini
Kreditor dan Debitor, atau juga masyarakat. Mengenai hal ini, penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Faktor-faktor dimaksud yaitu:

1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan
debitor atau para kreditor lainnya.
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang
kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan
kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya
dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta
kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para
keditor.

Kepailitan ini tidak hanya menimpa pada orang perorangan namun juga pada suatu
perusahaan. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan membawa dampak dan
pengaruh buruk, bukan hanya pada perusahaan itu saja namun juga dapat berakibat global.
Oleh sebab itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas
bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar.
Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar
dari pasar. Di dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan.

Hukum Kepailitan Indonesia sebagai sub sistem dari Hukum Perdata Nasional harus
merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata (hukum perdata materiil) dan
hukum acara perdata (hukum perdata formil). Hukum kepailitan Indonesia sebagaimana dimuat
dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lainnya, selain memuat
hukum materiil juga memuat hukum formil. Namun mengenai hukum acaranya, tidak diatur
secara rinci. Dengan demikian, berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
berlakulah Hukum Acara Perdata Perdata sebagaimana diatur dalam :

1. Reglemen Indonesia yang diperbarui (het herziene indonesisch reglement) S.Tahun


1941-4 disingkat RID/HIR.
2. Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar jawa dan madura (Regeling Van Het
Rechtswezen In De Gewesten Biuten Java en Madura) S. Tahun 1927-227 disingkat
RBg.
3. Reglemen Acara Perdata(Reglement op de Rechtsverordening) S.Tahun 1847-52 jo S.
Tahun 1847-52 jo S.Tahun 1849-63 disingkat Rv Hukum Kepailitan Indonesia tidak
membedakan kepailtan orang perseorangan dengan kepailitan badan hukum.

Hukum Kepailitan Indonesia sebagaimna dieleborasi dalam Undang-Undang Nomor


37 Tahun 2004, mengatur keduanya, baik kepailitan orang perseorangan maupun kepailitan
badan hukum. Apabila dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak cukup diatur
mengenai kepailitan orang perseorangan meupun kepailitan badan hukum, maka digunakanlah
peraturan perundang-undangan yang lain sebagai dasar hukum.

Secara keseluruhan, kepailitan dapat diartikan sebagai sita umum atas harta kekayaan
debitor baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan
berlangsung untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu kreditor dinyatakan pailit
mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. Yang dimaksud
pengawasan pihak berwajib tersebut adalah, proses pemberesan dan pengurusan harta pailit
yang dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas.

Apabila seorang debitor (yang utang) dalam kesulitan keuangan, tentu saja para kreditor
akan berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya dengan jalan
mengajukan gugatan perdata kepada debitor kepengadilan dengan disertai sita jaminan atas
harta si debitor atau menempuh jalan yaitu kreditor mengajukan permohonan ke pengadilan
agar si debitor dinyatakan pailit. Jika kreditor menempuh jalan yang pertama yaitu melalui
gugatan perdata, maka hanya kepentingan kreditor/si penggugat saja yang dicukupi dengan
harta si debitor yang disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditor, kreditor
lain yang tidak melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya
apabila kreditor-kreditor memohon agar pengadilan menyatakan debitor pailit, maka dengan
persyaratan pailit tersebut, maka jatuhlah sita umum atas semua harta kekayaan debitor dan
sejak itu pula semua sita yang telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur.
Dikatakan sita umum, adalah sita yang dilakukan tidak hanya untuk perorangan atau
bebrapa kreditur saja, melainkan untuk semua kreditur, atau dengan kata lain untuk mencegah
penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara perorangan. Dalam hal lain,
kepailitan itu hanya berkaitan dengan harta benda debitor, bukan pribadi debitor, maka debitor
tetap dapat menjalankan hak nya diluar lingkup harta benda, seperti hak nya sebagai keluarga,
hak sebagai orang tua maupun hak sebagai kepala keluarga.

Dalam hukum Islam, juga diatur mengenai masalah utang, yang erat kaitannya dengan
kepailitan. Hukum Islam mengatur tentang perjanjian utang piutang dalam Al-Quran Surat Al-
Baqarah ayat 280: “Dan jika (orang yang berutang) dalam kesukaran maka berilah tangguh
hingg ada kelapangan baginya. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui”.

Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 283: “Dan jika kamu dalam perjalanan dan tidak
memperoleh penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang di pegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertaqwa kepad
Allah Tuhannya”. Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah, memerintahkan kepada orang
yang bertransaksi agar membuatnya dalam bentuk tertulis yaitu perjanjian utang piutang
(perjanjian kredit). Perjanjian tertulis tersebut dapat dibuat di bawah tangan atau secara otentik
yang dibuat oleh notaris serta disaksikan dua orang saksi. Dalam perjanjian utang piutangnya
hendaklah ada barang jaminan milik debitor yang dipegang oleh kreditor.

Di dalam Islam kepailitan atau pailit disebut dengan At-taflis, diambil dari kata al-fals
jamaknya fulus. Al-fals adalah jenis uang yang paling sedikit (uang recehan) yang terbuat dari
tembaga. Fulus biasanya dikesankan sebagai harta seseorang yang paling buruk dan mata uang
yang paling kecil. Orang-orang miskin biasanya hanya memiliki mata uang fals atau fulus.
Mereka tidak memiliki mata uang dinar dan dirham. Dari uraian tersebut terlihat hubungan
taflis dengan pailit. Secara etimologi, at-taflis berarti pailit, tekor atau jatuh miskin. Orang yang
pailit disebut muflis, yaitu seorang yang tekor, di mana hutangnya lebih besar dari assetnya.
Dalam konteks ekonomi, istilah taflis diartikan sebagai orang yang hutangnya lebih besar dari
hartanya. Sedangkan secara terminologi ahli fiqh, At-taflis (penetapan pailit) didefinisikan oleh
para ulama dengan : ”Keputusan hakim yang melarang seseorang bertindak hukum atas
hartanya”. Larangan itu dijatuhkan karena ia terlibat hutang yang meliputi atau bahkan
melebihi seluruh hartanya.
Contohnya, apabila seorang pedagang (debitur) meminjam modal dari orarng lain
(kreditur) atau kepada Bank, dan kemudian ternyata usaha dagangnya rugi dan bahkan habis,
maka atas permintaan kreditur kepada hakim, supaya debitur dinyatakan pailit, sehingga ia
tidak dapat lagi bertindak secara hukum terhadap sisa hartanya. Pencegahan tindakan hukum
debitur pailit ini untuk menjamin hutangnya kepada kreditur (Bank).

Dengan demikian muflis (taflis) ialah adalah orang yang hutangnya lebih banyak dari
hartanya. Apabila seseorang telah habis hartanya dan tidak mampu membayar hutang-
hutangnya,dinamakanlah dia sebagai pailit (bangkrut). Menjatuhkan hukum terhadap orang
sebagai tidak mampu bayar hutang, dinamakan “taflis” (pernyataan bangkrut).

B. Syarat-Syarat Permohonan Pernyataan Pailit

Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1)


Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Syarat Adanya Dua Kreditor atau Lebih (concurcus creditorium)


Syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor, sangat terkait
dengan filosofis lahirnya hukum kepailitan. Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa hukum kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 11132 KUH
Perdata. Dengan adanya pranata hukum kepailitan, diharapkan pelunasan utang-utang
debitor kepada kreditor-kreditor dapat dilakukan secara seimbang dan adil. Setiap
kreditor (konkuren) mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari
harta kekayaan debitor. Jika debitor hanya mempunyai satu kreditor, maka seluruh harta
kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan
tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari passu. Dengan demikian, jelas
bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor tersebut hanya mempunyai satu
kreditor.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, mencantumkan pengertian dari debitor dalam Pasal 1
angka 3, yaitu debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasanyya dapat ditagih di muka pengadilan.
Bagian penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, memberikan definisi
kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah:
Yang dimaksud dengan “kreditor” dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren,
kreditor separatis maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan
kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa
kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan
haknya untuk didahulukan.
Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditor yang dikenal dalam KUH Perdata,
yaitu sebagai berikut:
a. Kreditor Konkuren Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUH
Perdata. Kreditor konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu dan pro
rata, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa
ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang
masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan,
terhadap seluruh harta kekayaan debitor tersebut. Dengan demikina, para
kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari
harta debitor tanpa ada yang didahulukan.
b. Kreditor Preferen (yang diistimewakan), yaitu kreditor yang oleh undang-
undang, semata-mata sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu.
Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu
suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang
sehingga tingkatnya lebih tingi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134 KUH Perdata).
c. Kreditor Separatis, yaitu kreditor pemegang hak jaminan kebendaan in rem,
yang dalam KUH Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Pada saat ini,
sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan, antara
lain:
1. Hipotek Hipotek diatur dalam Pasal 1162 s.d Pasal 1232 Bab XXI KUH
Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang
berukuran minimal 20m3 dan sudah terdaftar di Syahbandar serta
pesawat terbang.
2. Gadai Gadai diatur dalam Pasal 1150 s.d Pasal 1160 Bab XX KUH
Perdata yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Dalam
sistem jaminan gadai, seorang pemberi gadai (debitor) wajib
melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut
kepada penerima gadai (kreditor).
3. Hak Tanggungan Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor
4 Thaun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanag beseat Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak
atas tnah tertentu berikut kebendaan yang melekaat di atas tanah
4. Fidusia Hak fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa
bendabenda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek, dan hak
tanggungan.

Penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut, ini berarti Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 memberikan hak kepada kreditor separatis dan kreditor preferen untuk
dapat tampil sebagai kreditor konkuren tanpa harus melepaskan hakhak untuk didahulukan atas
benda yang menjadi agunan atas piutangya, tetapi dengan catatan bahwa kreditor separatis dan
kreditor preferen dapat membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tersebut tidak cukup
untuk melunasi utang-utangnya dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan atau piutang
tersebut, haruslah dibuktikan. Beban pembuktian atas kemungkinan tidak dapat terlunasinya
utang debitor dari penjualan benda tersebut berada di pundak kreditor separatis atau kreditor
preferen.

Pengertian debitor dan kreditor juga terbagi terbagi di dalam 2 bagian, yaitu dalam arti
luas dan sempit. Debitor dalam arti sempit adalah debitor yang memiliki utang yang timbul
semata-mata dari perjanjian utang-piutang saja, sedangkan dalam arti luas debitor adalah pihak
yang memiliki kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul karena sebab apapun, baik
karena perjanjian utang-piutang dan perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-
undang. Pengertian kreditor dalam arti sempit adalah pihak yang memiliki tagihan atau hak
tagih berupa pembayaran sejumlah uang yang hak tersebut timbul semata-mata dari perjanjian
utang-piutang.

2. Syarat Harus Adanya Utang


Pengertian utang telah dicantumkan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang
Kepailitan, yaitu “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang, baik dalam mata uang ndonesia maupun mata uang asing, baik
secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila
tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta
kekayaan debitor”. Melalui definisi utang yang diberikan oleh Undang-Undang
Kepailitan, jelaslah bahwa definisi utang harus ditafsir secara luas, tidak hanya meliputi
utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian pinjam-meminjam,
tetapi juga utang yang timbul karena unangundang atau perjanjian yang dapat dinilai
dengan sejumlah uang.
3. Syarat Cukup Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih Syarat
Bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih meunjukkan bahwa
kreditor sudah mempunyai hak untuk menuntut debitor untuk memenuhi prestasinya.
Menerut Jono, syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna
(adanya schuld dan haftung). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari
perikatan alamiah (adanya schuld tanpa haftung) tidak dapat dimajukan untuk
permohonan pernyataan pailit. Misalnya utang yang lahir dari perjudian. Meskipun
utang yang lahir dari perjudian telah jatuh waktu hal ini tidak melahirkan hak kepada
kreditor untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian, kreditor tidak mempunyai
alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut. Dengan demikian, kreditor tidak
berhak memajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari perjudian.

C. Pihak Yang Dapat Dinyatakan Pailit

1. Orang perseorangan baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun
belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitor
perorangan yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami/istrinya, kecuali antara suami-istri tersebut tidak ada percampuran
harta.
2. Perserikaan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum
lainnya. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu “firma” harus memuat nama dan
tempat kediaman masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk
seluruh utang firma.
3. Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang
berbadan hukum. Dalam hal ini berlakulah ketentuan mengenai kewenangan masing-
masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya.
4. Harta peninggalan.
Materi 2 Tentang Lembaga Pembiayaan Perkreditan, Lembaga Penjamin Simpanan
dan Bentuk Investasi Pemerintah

A. Pengertian Lembaga Pembiayaan Perkreditan

Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan dana atau barang modal. Lembaga Pembiayaan meliputi:

1. Perusahaan Pembiayaan, adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan
Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu
Kredit.
2. Perusahaan Modal Ventura, adalah badan usaha yang melakukan usaha
pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan
pembiayaan (investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan
saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan atau pembiayaan
berdasarkan pembagian atas hasil usaha.
3. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk
melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur.

B. Fungsi dari Lembaga Pembiayaan

Seperti yang telah disinggung di awal, lembaga pembiayaan memiliki peranan yang
penting, yakni sebagai solusi alternatif untuk perekonomian. Fungsi utama dari lembaga
pembiayaan ini adalah menjadi pondasi perekonomian nasional yang mana lembaga ini
dimaksudkan menjadi solusi untuk pelaku usaha dalam hal permodalan.

C. Jenis-jenis Lembaga Pembiayaan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ada berbagai jenis lembaga pembiayaan yang
ada di Indonesia. Dari beragam jenis lembaga ini, tentunya memiliki fungsi dan maksud tujuan
yang berbeda-beda. Agar lebih jelas, pelajari jenis-jenisnya sebagai berikut ini.

1. Sewa Guna Usaha


Sewa guna usaha atau yang lebih populer dikenal sebagai leasing merupakan
kegiatan pembiayaan yang bergerak dalam penyediaan barang modal. Penyediaan
barang modal ini berlaku untuk sewa guna usaha dengan finance lease atau hak opsi
ataupun sewa guna usaha operating lease atau tanpa hak opsi.
2. Modal Ventura
Kembali membahas Peraturan Presiden, pada Peraturan Presiden nomor 9 tahun
2001 Bab 1 pasal Perusahaan Modal Ventura, di sana dijelaskan secara lengkap
mengenai jenis lembaga ini. Definisinya modal ventural adalah perusahaan yang
melakukan penyertaan modal ataupun pembiayaan ke satu badan usaha penerimanya
atau investee company untuk jangka waktu tertentu.
Usaha pembiayaan atau penyertaan modal ini bisa dalam berbagai bentuk, seperti
penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi dan/atau
pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha.
3. Anjak Piutang
Populer dengan sebutan factoring, anjak piutang kerap dikaitkan dengan piutang
dari pembelian yang dilakukan perusahaan factoring kepada kliennya. Jika menengok
ke dalam peraturan, anjak piutang telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
1251/KMK.013/1998. Pada Keputusan Menteri Keuangan tersebut, anjak piutang
diartikan badan usaha yang salah satu kegiatannya melakukan pembiayaan dalam
bentuk pembelian, penagihan, serta mengurusi piutang dalam jangka pendek. Piutang
yang dimaksud adalah piutang perusahaan yang dihasilkan dari transaksi perdagangan,
baik itu dari dalam negeri ataupun luar negeri.

D. Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan

LPS atau Lembaga Penjamin Simpanan merupakan sebuah badan hukum yang dibentuk
berdasarkan UU no.24 tahun 2004 yang fungsi-nya menjamin simpanan nasabah penyimpan
dan melakukan penyelesaian dan penanganan bank gagal sebagai bagian dari pemeliharaan
stabilitas sistem perbankan. Penjaminan simpanan nasabah yang dilakukan LPS bersifat
terbatas, namun dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. Setiap bank yang menjalankan
usahanya di Indonesia wajib menjadi peserta LPS dan membayar premi penjaminan.

E. Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

- Menjamin simpanan nasabah penyimpan.

- Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

F. Tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

- Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.


- Melaksanakan penjaminan simpanan.

- Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam turut aktif memelihara stabilitas sistem
perbankan.

- Merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank


resolution) yang tidak berdampak sistemik.

- Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.

G. Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

- Menetapkan, memungut premi penjaminan.

- Menetapkan, memungut kontribusi peserta.

- Mengelola kekayaan dan kewajiban LPS.

- Mendapatkan data nasabah, kesehatan, laporan pemeriksaan.

- Rekonsiliasi, verifikasi, konfirmasi data.

- Menetapkan syarat, cara, ketentuan klaim.

- Menunjuk, menguasakan, menugaskan pihak lain untuk kepentingan LPS.

- Melakukan penyuluhan kepada bank & masyarakat.

- Menjatuhkan sanksi administrative.


Materi 3 Tentang Bank syariah

A. Pengertian bank syariah

Berdasarkan Undang Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank
syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah atau
prinsip hukum islam. Prinsip syariah Islam yang dimaksud mencakup dengan prinsip keadilan
dan keseimbangan ('adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah),
serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram, sebagaimana yang
diatur dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Selain itu, Undang Undang Perbankan Syariah juga memberi amanah kepada bank
syariah untuk selalu menjalankan fungsi sosial sekaligus menjalankan fungsi seperti lembaga
baitul mal. Lembaga baitul mal yaitu sebuah lembaga yang menerima dana berasal dari zakat,
infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada
pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).

B. Penanggung Jawab Bank Syariah

Dalam pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
tetap menerapkan tata kelola yang sama dengan bank konvensional, yaitu dengan menjalankan
prinsip kehati-hatian dan juga memastikan tata kelola berjalan dengan baik. Meskipun begitu,
tata kelola dan pengawasan tetap mendapatkan penyesuaian dengan prinsip-prinsip yang jadi
pedoman oleh sistem perbankan syariah. Secara hakikatnya, bank syariah merupakan lembaga
yang menawarkan produk perbankan sesuai dengan prinsip syariah Islam. Lembaga perbankan
syariah harus mematuhi pada prinsip syariah Islam yang sudah ditetapkan. Pasalnya, prinsip
syariah dalam lembaga perbankan ini jadi hal yang cukup fundamental, mengingat eksistensi
dari bank syariah sendiri didasari oleh prinsip syariah Islam tersebut.

Tetap teguh dalam menjalankan aktivitas perbankan pada prinsip syariah juga
dipandang sebagai sisi kekuatan dari bank syariah. Untuk menjaga konsistensi dalam
menjalankan aktivitas perbankan berdasarkan prinsip syariah islam, bank syariah juga diawasi
oleh Dewan Syariah Nasional dari Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Perihal pengawasan
tersebut dijelaskan melalui Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dalam Undang Undang tersebut terdapat pernyataan pemberian kewenangan kepada MUI
melalui DSN-MUI untuk menerbitkan fatwa kesesuaian syariah terhadap suatu produk
perbankan. Ketetapan tersebut juga didukung oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
yang menegaskan bahwa seluruh produk perbankan syariah hanya boleh ditawarkan kepada
masyarakat setelah bank mendapat fatwa dari DSN-MUI dan memperoleh izin dari OJK.

C. Jenis bank syariah

Perlu diketahui bahwa secara umum terdapat dua bentuk usaha dari bank syariah itu
sendiri. Pertama adalah bank umum syariah dan yang kedua adalah bank pembiayaan rakyat
syariah (BPRS). Kedua jenis usaha bank syariah tersebut memiliki fungsi dasar yang sama
dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Namun ada perbedaan dalam sistem
operasi yang ditawarkan kepada nasabah.

1. Fungsi Sosial
Fungsi sosial merupakan aspek pertama yang memperlihatkan perbedaan antara
bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah secara signifikan. Dalam
pelaksanaan aktivitas perbankan syariah, bank umum syariah dapat menjalankan fungsi
sosial sebagai lembaga baitul mal. Dalam hal ini adalah penerimaan dana yang
bersumber dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya. Dana yang
diterima tersebut nantinya bisa disalurkan kepada organisasi pengelola zakat untuk
keperluan sosial. Sedangkan bank pembiayaan rakyat syariah tidak memiliki fungsi
sosial tersebut.
2. Penghimpunan Dana
Dalam sistem penghimpunan dana, bank umum syariah diperbolehkan untuk
menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf berbentuk uang. Wakaf uang yang
diterima tersebut akan disalurkan kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan
kehendak pemberi wakaf (wakif). Sedangkan untuk bank pembiayaan rakyat syariah,
bank hanya bisa melakukan penghimpunan dana nasabah melalui rekening bank
pembiayaan rakyat syariah.
3. Penyaluran Dana
Bank pembiayaan rakyat syariah hanya bisa menyalurkan dana masyarakat
dalam bentuk pembiayaan bagi hasil dan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau
tidak bergerak kepada nasabah yang didasari oleh akad ijarah. Selain itu pembiayaan
yang boleh dilakukan oleh bank pembiayaan rakyat syariah juga bisa dilakukan dengan
cara sewa beli serta pengambil alihan utang berdasarkan akad hawalah. Untuk produk
perbankan sendiri, bank pembiayaan rakyat syariah menawarkan simpanan berupa
tabungan dan juga investasi dalam bentuk deposito. Manfaat yang bisa dirasakan oleh
nasabah harus didapatkan melalui akad wadi'ah dan mudharabah atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

D. Istilah-istilah Dalam Bank Syariah

Dalam aktivitas perbankan syariah, terdapat beberapa kosakata atau istilah yang
berbeda digunakan oleh bank syariah jika dibandingkan dengan bank konvensional. Agar
memahami maksud dan fungsi bank syariah lebih baik, berikut adalah istilah yang akan sering
Anda temui sebagai seorang nasabah.

1. Pembiayaan
Dalam aktivitas perbankan secara umum, mungkin Anda mengenal kata kredit.
Namun untuk aktivitas bank syariah, hal tersebut dikenal dengan istilah pembiayaan.
Meskipun begitu, tidak hanya sekadar perbedaan nama saja. Pembiayaan merupakan
salah satu program dari bank syariah yang bertujuan untuk membantu masyarakat
dalam penyediaan dana dan/atau barang serta fasilitas lain. Dalam hal ini proses
pembiayaan juga harus dilakukan sesuai dengan prinsip syariah. Segala bentuk
pembiayaan di bank syariah harus merujuk pada akad yang telah dikeluarkan fatwanya
oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) atau Pernyataan
Kesesuaian Syariah dari DSN MUI.
2. Ujroh
Dalam perjanjian pembiayaan, sebagai nasabah bank syariah Anda juga perlu
memperhatikan kata ujroh. Istilah ini memiliki makna yang berarti sebuah persetujuan
atas nilai atau harga sewa yang harus dibayarkan oleh penerima manfaat pembiayaan
terkait penggunaan manfaat atas obyek pembiayaan. Ketentuan besaran nilai yang
dibayarkan perlu ditetapkan melalui akad yang disepakati oleh kedua belah pihak.
3. Akad
Sebagai nasabah bank syariah, Anda akan sering menemukan istilah akad dalam
berbagai fasilitas atau produk perbankan yang digunakan. Istilah satu ini memiliki arti
yang mengacu pada kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis antara bank dan
nasabah atau pihak lain. Dalam kesepakatan tersebut dimuat juga informasi mengenai
hak dan kewajiban, standar operasional, serta persyaratan yang disepakati sesuai
dengan prinsip syariah dan hukum yang berlaku. Mengacu pada OJK, terdapat 9 akad
yang ada dalam setiap transaksi perbankan syariah yaitu, wadi’ah, mudharabah,
musyarakah, murabahah, salam, istina’, ijarah, ijarah muntahiyah bit tamlik, dan qardh.
Materi 4 Tentang Sengketa Ekonomi Syariah

A. Pengertian Sengketa Ekonomi Syariah

Pada dasarnya, kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang berkaitan dengan masalah harta
dan benda, dengan kata lain kegiatan ekonomi adalah kegiatan manusia untuk mencapai
kemakmuran hidupnya. Kegiatan ekonomi bisa terjalin apabila terjadi transaksi antara satu
pelaku ekonomi dengan pelaku ekonomi lainnya. Namun dalam pelaksanaan transaksi tersebut
terkadang menimbulkan sengketa dikemudian hari. Secara etimologi, menurut KBBI, sengketa
adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan, atau
perselisihan. Adapun secara istilah, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih
yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya dan dapat diberikan sanksi hukum terhadap salah
satu diantara keduanya.

Menurut Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, sebagaimana dikutip Rachmadi
Usman, dalam kosakata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict”dan “dispute”, yang
keduaduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan di antara kedua pihak atau
lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata dispute dapat diterjemahkan dengan kosa
kata “sengketa”. Sebuah konflik, yakni sebuah situasi dimana 2 (dua) pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sengketa apabila
pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya.
Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang
merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung
kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.

Selanjutnya, ekonomi syariah (Islamic Economics) diartikan sebagai ilmu yang


mempelajari tata kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencapai
ridha Allah, dengan kata lain merupakan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syariah, atau juga dapat diartikan sebagai suatu sistem ekonomi yang
didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan sengketa ekonomi syariah adalah suatu pertentangan antara dua pihak atau lebih pelaku
ekonomi yang kegiatan usahanya yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip dan asas hukum
ekonomi syariah yang disebabkan persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak
milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya dan dapat diberikan sanksi hukum
terhadap salah satu diantara keduanya. Secara garis besar, sengketa ekonomi syariah dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu:

a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga


pembiayaan syariah dengan nasabahnya.
b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah.
c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang
mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang
dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah

B. Sumber Hukum Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah

Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum segala sesuatu yang melahirkan
hukum. Sumber hukum dapat pula disebut sebagai asal muasal hukum. Adapun Sumber
Hukum ekonomi syariah adalah sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Berikut ini,
sumber hukum yang dapat digunakan dasar hukum untuk menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah:

1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)


Sumber hukum formil adalah pembicaraan ilmu hukum, bukan pembicaraan
filsafat hukum. Sumber hukum formil atau bentuk-bentuk dimana kita dapat
menemukan atau mengenal hukum yang berlaku sebagai hukum positif di suatu Negara.
Sumber hukum formil memiliki bentuk yang berlaku secara umum dan telah diketahui
atau berlaku umum. Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili
sengketa ekonomi syari’ah adalah Hukum Acara yang berlaku dan dipergunakan pada
lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Berikut ini
merupakan sumber hukum formil penyelesaian sengketa ekonomi syariah, yaitu:
a. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra
dan Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura.
b. Rechtreglement Voor De Buittengewesten (R.Bg)
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra
dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka
Landraad. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan
Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama.
c. Bugerlijke Wetbook (BW)
Disebut juga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam
Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993. Juga diberlakukan Wetbook Van
Koophandel (Wv.K) yang diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23,
khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275.
Selain itu pula, peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam
Failissements Verordering (Aturan Kepailitan) sebagaimana yang diatur dalam
Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek
Peradilan Indonesia.
d. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)
Hukum Acara yang termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk
golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie
gerecht.
e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
f. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 jo, Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2009 yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal
yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah
Agung.
g. UU No. 2 Tahun 1986 , UU No. 8 Tahun 2004, UU No. 49 Tahun 2009
Tentang Peradilan Umum, dalam UU ini diatur tentang susunan dan
kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di
lingkungan Peradilan Umum tersebut.
h. Yurisprudensi Mahkamah Agung.
i. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA).
2. Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum materiil adalah sumber darimana hukum berasal atau sumber
tempat materi hukum diambil. Sumber hukum materiil merupakan sumber yang dilihat
dari segi isinya dan sumber hukum inilah yang menjadi faktor yang membantu
pembentukan hukum. Biasanya yang menjadi sumber-sumber hukum materil adalah
aneka gejala yang ada dalam kehidupan masyarakat, baik yang telah menjelma menjadi
peristiwa maupun yang belum menjelma menjadi peristiwa. Pembicaraan sumber
hukum materiil merupakan salah satu bidang kajian filsafat hukum. Sumber-sumber
hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi
perjanjian, undang-undang, yudisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan
ilmu pengetahuan.
a. Undang-undang
Peraturan Perundang-Undangan beserta Peraturan Pemerintah yang
menyertainya yang berhubungan dengan ekonomi syariah, yaitu sebagai
berikut, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, UU No.
19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan lain-
lainnya.
b. Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
Dewan syari’ah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada
tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa
tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
c. Aqad Perjanjian (Kontrak)
Menurut Taufiq dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah,
sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan
pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami jika suatu aqad
perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian.
Materi 5 Tentang Surat Berharga

A. Pengertian Surat Berharga

Pengertian surat berharga atau biasa yang memiliki nama lain commercial paper seperti
yang di lansir dari laman resmi Investopedia, adalah dokumen yang mempunyai nilai berharga
berupa uang yang sudah diakui dan bahkan dilindungi oleh hukum untuk keperluan transaksi
pembayaran, perdagangan, penagihan, atau jenis lainnya. Surat berharga ini sering
dimanfaatkan untuk alat pembayaran dalam kegiatan transaksi perdagangan modern,
khususnya pada kalangan pengusaha. Banyak diantara para pengusaha yang memanfaatkan
surat berharga ini sebagai alat bayar transaksi perdagangan karena dinilai lebih praktis, aman,
dan juga memiliki prestige tersendiri.

Selain mampu memudahkan berbagai kegiatan transaksi, surat berharga juga berguna
sebagai surat legitimasi karena surat berharga adalah panduan untuk para pemegang surat yang
dinilai sebagai pihak yang mampu melakukan ataupun memiliki suatu hak tertentu.

B. Manfaat Surat Berharga

Fungsi dan manfaat yang terkandung di dalam surat berharga bisa dilihat dari dua sisi,
sisi yuridis dan juga sisi fungsinya.

1. Secara Yuridis
Dilihat dari sisi yuridisnya, surat berharga bermanfaat sebagai alat pembayaran,
alat pemindahan hak tagih karena sudah diperjual belikan, dan juga sebagai surat
legitimasi atau surat bukti tagih yang sah.
2. Secara Fungsinya
Sedangkan jika dilihat berdasarkan fungsinya, maka surat berharga memiliki
fungsi sebagai surat yang memiliki sifat hukum kebendaan, surat tanda keanggotaan
dari suatu persekutuan, dan juga surat tagihan utang.

C. Ciri-Ciri Surat Berharga

Pada umumnya, surat berharga memiliki kesamaan, ciri-ciri, dan persyaratan tertentu.
Ciri-ciri tersebut adalah berbentuk dokumen tertulis, harus memiliki nama, terdapat beberapa
tanda tangan dari pihak terkait, berisi perintah atau janji tanpa syarat, terdapat nama orang yang
membayar, dan terdapat keterangan waktu pembayaran yang harus dilakukan.
D. Unsur-unsur Surat Berharga

1. Surat Bukti Tuntutan Utang


Seperti yang sudah diketahui, surat adalah akta, sedangkan akta adalah suatu
urat yang sudah ditandatangani dan sengaja diterbitkan agar bisa digunakan sebagai
suatu alat bukti. Untuk itu, akta adalah tanda bukti dari adanya ikatan utang dari
penandatangan. Utang adalah suatu perikatan yang sudah seharusnya dilunasi oleh
penanda tangan akta atau debitur, dan pemegang akta atau krediutr memiliki hak untuk
menuntut kepada orang yang menandatangani akta tersebut. Tuntutan tersebut bisa
diperoleh dalam bentuk uang atau cek, berbentuk benda atau konsumen, dan juga bisa
berbentuk tuntutan atau charter party.
2. Pembawa Hak
Dalam hal ini, hak adalah suatu hak untuk bisa menuntut sesuatu kepada pihak
debitur surat berharga, yang berarti hak tersebut akan terus ada pada akta surat berharga.
Jika suratnya hilang, maka haknya pun akan hilang. Sebagai contoh, jika uang kertas
hilang, maka Anda tidak bisa meminta uang kertas baru pada Bank Indonesia.
3. Mudah Dijual Belikan
Tujuan lain dari adanya penerbitan surat berharga adalah demi memenuhi
prestasi pembayaran sejumlah uang.

E. Cara Menerbitkan Surat Berharga

Untuk menerbitkan suatu surat berharga, Anda memiliki dua cara. Pertama, Anda bisa
langsung menerbitkannya secara langsung kepada pihak investor jangka panjang seperti pada
lembaga keuangan. Pada umumnya, proses penerbitan langsung ini akan dilakukan oleh
lembaga keuangan yang mempunyai kebutuhan tetap atas pinjaman dana yang nilainya cukup
besar dan memilih menerbitkannya langsung agar lebih ekonomis dibandingkan dengan
memanfaatkan suatu pialang investasi.

Di Amerika, para perusahaan yang melakukan penerbitan surat berharga komersial


secara langsung mampu menghemat hingga 3 basis poin per tahunnya. Dan di luar Amerika,
imbalan jasa pialang investasi ini akan jauh lebih murah. Kedua, menerbitkan secara tidak
langsung dengan menjualnya kepada pialang dan pialang yang akan menjual nya ke pasar uang.
Bursa perdagangan surat berharga yang komersial ini akan mengikutsertakan berbagai
perusahaan pialang besar dan anak perusahaan bank yang mana diantara banyak adalah pialang
pada pasar keuangan Amerika Serikat.
F. Surat Berharga sebagai Surat Legitimasi

Dalam hal ini, surat legitimasi diartikan sebagai bukti bagi para pemegang yang sah
atau orang yang memiliki hak atas penagihan yang ada di dalamnya. Asas legitimasi digunakan
untuk memperlancar peredaran surat berharga dalam lalu lintas pembayaran yang sesuai
dengan fungsi penerbitan surat berharga. Berdasarkan KUHD, terdapat dua jenis surat
legitimasi, yaitu:

1. Legitimasi Formil
Legitimasi formil adalah bukti bahwa surat berharga tersebut diklaim sebagai
seorang yang memiliki hak atas tagihan di dalamnya, karena jika pemegang surat
berharga tersebut tidak mampu membuktikannya secara formil sesuai peraturan UU,
maka tidak bisa dikatakan sebagai pemilik surat berharga yang sah.
2. Legitimasi Materiil
Legitimasi materil adalah suatu bukti pemegang surat berharga yang
sebenarnya. Kesimpulan dari adanya legitimasi ini adalah:
a. Pemilik surat berharga secara sah adalah mereka yang memiliki hak tagih
dengan tanpa mengesampingkan adanya nilai kebenaran materiil di dalamnya.
b. Pihak debitur tidak memiliki kewajiban dalam meneliti apakah pemegang surat
berharga tersebut adalah benar-benar yang memiliki hak.
c. Debitur hanya memiliki kewajiban dalam meneliti berbagai syarat yang
terkandung di dalam surat berharga yang diberikan kepadanya saat diminta
pembayaran.
d. Undang-undang akan lebih mengutamakan legitimasi formal untuk bisa
menjamin fungsi dan tujuan surat berharga.

G. Jenis-Jenis Surat Berharga

1. Jenis Surat Berharga Berharga Berdasarkan KUHD


a. Wesel
Surat berharga jenis wesel adalah surat berharga yang didalamnya
terdapat kata wesel dan memiliki kandungan perintah untuk melakukan
pembayaran sesuai syarat yang sudah ditetapkan dalam KUHD.
b. Cek
Surat berharga jenis cek adalah suatu surat yang di dalamnya terdapat
kata cek dan dikeluarkan pada tanggal dan tempat tertentu serta memiliki
perintah tanpa syarat dari pihak nasabah kepada bank untuk membayar sejumlah
uang yang sudah tertulis di dalamnya atau kepada pihak pembawa cek tersebut.
c. Surat Sanggup atau Promes
Surat berharga jenis surat sanggup adalah surat kontrak yang
didalamnya terdapat janji yang detail dari suatu pihak atau pembayar guna
membayarkan sejumlah uangnya kepada pihak lain. Kewajiban ini bisa timbul
karena adanya kewajiban pelunasan atas suatu utang. Surat sanggup ini
memiliki jatuh tempo paling lama satu tahun, sehingga dinilai sebagai salah satu
instrumen investasi jangka pendek.
d. Kwitansi dan Promes Atas Tunjuk
Surat berharga jenis kwitansi dan promes atas tunjuk merupakan surat
yang sudah diberikan tanggal dan juga dikeluarkan oleh sang penandatangan
kepada orang lain untuk membayarkan sejumlah uang yang sebelumnya sudah
ditentukan di dalamnya kepada penunjuk pada waktu yang sudah tertulis. Sifat
yang terkandung di dalam promes atas tunjung adalah siapa saja yang
memegang surat tersebut dan setiap saat menunjukannya kepada yang
bertandatangan, maka dia akan mendapatkan hak pembayaran.
2. Jenis Surat Berharga Di Luar KUHD
a. Bilyet Giro
Surat berharga jenis bilyet giro adalah salah satu jenis surat perintah
nasabah yang sebelumnya sudah diberikan standarisasi bentuk kepada bank
penyimpan dana untuk memindahbukukan sejumlah uang dari rekening yang
bersangkutan ke rekening pihak yang namanya sudah tertulis di dalam bilyet
giro tersebut pada bank yang sama atau bank yang berbeda.
b. Commercial Paper
Surat berharga jenis commercial paper adalah salah satu instrumen
utang jangka pendek tanpa adanya jaminan yang dikeluarkan oleh suatu
perusahaan bukan bank, lalu diperjualbelikan melalui bank atau suatu
perusahaan efek dengan jangka waktu pendek dan sistem diskonto.
c. Surat Saham
Surat berharga jenis surat saham adalah surat berharga yang dijadikan
sebagai bukti penyertaan modal dalam suatu perusahaan perseroan yang
dibuktikan dengan surat saham sebagai suatu surat resmi yang di dalamnya
berisi bahwa pemegang saham adalah orang atau badan hukum yang memiliki
hak atas dividen, hak suara, dan hak lainnya.
d. Obligasi
Surat berharga jenis obligasi adalah jenis sertifikat bukti utang yang
dikeluarkan oleh suatu perusahaan atau badan pemerintah sebagai pihak yang
nantinya akan berhutang dan berjanji untuk membayarnya dengan bunga dan
pokok utang dalam kurun waktu tertentu kepada pemilik obligasi.
e. Delivery Order
Surat berharga jenis delivery order adalah suatu bentuk dokumen yang
memiliki fungsi sebagai surat pengantar atas suatu barang yang di dalamnya
tercantum dan ditujukan kepada pembeli atau penerima yang sudah ditentukan
oleh pembeli serta dilindungi hukum legalitas yang dibutuhkan di jalan raya,
mulai dari mereka keluar perusahaan hingga tiba di wilayah pembeli.
f. Surat Utang Negara (SUN)
Surat berharga jenis jenis Surat Utang Negara adalah salah satu bentuk
surat utang berharga negara yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah. Surat
utang negara ini merupakan suatu surat pengakuan utang dalam mata uang
rupiah ataupun dalam valuta asing yang dijamin dengan suatu pembayaran
bunga dan pokoknya oleh pemerintah negara sesuai dengan masa berlakunya
surat tersebut.
Materi 6 Tentang Pengertian Arbitrase

A. Pengertian Arbitrase

Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration
(inggris), schiedspruch (jerman), dan arbitrage (prancis), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesutu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit1pangertian
arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak terkait dengan dengan
berbagai formalitas, cepat dan memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta
mengikat, yang mudah untuk melaksanakan karena akan di taati para pihak.

Arbitrase adalah suatu prosedur yang oleh para pihak yang berselisih secara suka rela
setuju untuk terikat pada putusan pihak ketiga yang netraldi luar proses peradilan yang normal.
Logika dan kesederhanaan dari arbitrase mendapat pujian bahwa proses tersebut ditujukan untu
manusiasejak abad permulaan. Untuk alasan yang sama pula arbitrase secara luas
diterimasebagai pelengkap dari hukum formildari orang-orang romawi dan lebih di sukai
sebagai alat penyelesaian perselisiahan komersil pada abad pertengahan. Sementara itu,
menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitarse dan alternatif penyelesaian
senketa umum pasal 1 angka 1, arbitarse adalah: “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar peradilan umum yang di dasarkan pada perjanjian arbitraseyang dibuat secara tertulis oleh
para puhak yang bersengketa.”

Sementara itu pendapat lain menurut Priyatna Abdulrrasyid mengatakan “Arbitrase


adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan bentuk tindakan
hukum yang diakui oleh undang-undang di mana satu pihak atau lebih menyerahkan
sengketannya, ketidaksepahamannya, ketidakkesepakatannya dengan salah satu pihak lain atau
lebih kepada satu orang (Arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter majlis) ahli yang profesional, yang
akan bertindak sebagai hakim atau peradilan swasta yang akan menerapkantata cara hukum
perdamaian yang telah disrpakati bersama oleh para pihak tersebut untuk sampai pada putusan
yang final dan mengikat.” Menurut H.M.N Poewosutjipto menyatakan bahwa perwasiatan
adalah “suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agarperselisihan mereka
tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim
yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat kedua
belah pihak.”
B. Unsur-unsur, Ruang Lingkup, Azas-azas, Syarat-syarat, Kelemahan dan Keuntungan,
Serta Objek Arbitrase

a. Unsur-Unsur Arbitrase
1. Adanya kesepakatan para pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketanaya
pada para pihak ke tiga, yaitu melalui proses di luar pengadilan atau non litigasi.
2. Sengketa yang di selesaiakan hanyalah di bidang perdagangan.
3. Putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum dan mengikat para pihak.
4. Ruang Lingkup Arbitrase Ruang lingkup arbitarse seperti yang tercantum dalam
undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrasedan alternatif
penyelesaian sengketa sebagai mana dikutip, ternyata cukuplah luas, yaitu semua
jenis sengketa dibidang keperdataan. Dalam hal ini tentunya yang bisa diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa-sengketa dibidang bisnis, sengketa-senketa di
bidang perburuan/ketenagakerjaan, sepanjang sengketa tersebut menyangkut hak
pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai oleh para pihak. Adapun yang dimaksud
dengan hak pribadi adalah hak-hak yang untuk menegakanya tidak bersangkut paut
dengan ketertiban atau kepentingan umum, misalnya proses-proses mengenai
perceraian, status anak, pengakuan anak, penetapan wali, pengampuan, dan lain-
lain.
b. Azas-Azas Arbitrase
1. Azas kesepakatan adalah kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan
perselisihanya melalui pihak ke tiga atua di luar pengadilan.
2. Azas musyawarah adalah setiap perselisihan diupayakan daselesaikan secara
musyawarah melalui seorang arbiter.
3. Azas final mengikat adalah putusan arbitrase bersifat final dan tidak dapat
dilakukan lagi upaya hukum lainya.
c. Syarat-syarat Arbitrase
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi
akan diselesaikan melalui arbitrase jika arbitrase diadakan tanpa kesepakatan kedua belah
pihak maka itu bukan perjanjian arbitrase dengan adanya perjanjian arbitrase maka
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara tersebut,dalam hal para pihak
memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadipersetujuan
mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditanda tangani
kedua belah pihak.
d. Keuntungan dan Kelemahan Arbitrase
a. Keuntungan Arbitrase
1. Ketidak percayaan pihak pada pengadilan negeri. Sebagaimana
diketahui, penyelesaian sengketa dengan membuat suatu gugatan
melalui pengadilan, akan menghabiskan jangka waktu yang relatif
panjang. Hal ini disebabkan karena biasanya melalui pengadilan umum
akan melalui berbagai tingkatan, yaitu pengadilan negeri, pengadilan
tinggi, bahkan bisa sampai ke mahkamah agung. Apabila memperoleh
putusan dipengadilan negeri (tingkat pertama), pihak yang merasa tidak
puas dengan putusan itu akan naik banding dan kasasi sehingga akan
memakan waktu yang panjang dan berlarut-larut.
2. Prosesnya cepat Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase
sering kali lebih cepat atau tidak terlalu formal, dan lebih murah dari
pada proses litigasi di pengadilan. Pada umunya prosedur arbitrase
ditentukan dengan memberikan batas waktu penyelesaian sengketa.
Contoh menurut pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, pemeriksaan sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 hari
atau enam bulan sejak arbiter atau majlis arbitrase terbentuk. Kemudian,
dalam ayat (2) nya ditentukan dengan persetujuan para pihak dan apabila
diperlukan arbiter ataupara arbiter, jangka waktu tersebut dapat
diperpanjang.
3. Dilakukan secara rahasia Suatu keuntungan bagi dunia bisnis untuk
menyerahkan suatu sengketa kepada badan atau majelis arbitrase adalah
pemeriksaan maupun pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase
selalu dilakukan secara tertutup sehingga tidak ada publikasi dan para
pihak terjaga kerahasiaanya.
4. Bebas memilih arbiter Para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih
arbiter yang akan menyelesaikan persengketaan mereka. Jika dalam hal
ini para pihak tidak bersepakat dalam memilih arbiter, maka dalam pasal
13 (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan sebagai
berikut: “Apabila tidak tercapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter
atau tidak ada ketentuan mengenai pengangkatan arbiter, ketua
pengadilan negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”.
5. Diselesaikan oleh ahlinya (expert) Menyelesaikan perselisihan
dipengadilan kadangkala memerlukan biaya tambahan. Hal ini
dikarenakan sering kali dijumpai hakim kurang mampu menangani
kasus atau perselisihan yang bersifat teknis sehingga memerlukan saksi
ahli yang membutuhkan biaya. Dalam hal penyelesaian melalui
arbitrase, saksi ahli tidak mesti diperlukan karena para pihak yang
bersengketa dapat menunjuk para ahli untuk menjadi arbiter, yang serba
mengetahui masalah yang dipersengketakan.
6. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding) Putusan
arbitrase pada umunya dianggap final dan binding (tidak ada upaya
untuk banding). Namun, apabila ada hukum yang berlaku dalam
yurisdiksi yang bersangkutan menetapkan pelaksanaan putusan
arbitrase melalui pengadilan, pengadilan yang harus mengesahkanya
dan tidak berhak meninjau kembali persoalan (materi) dari putusan
tersebut.
7. Biaya lebih murah Biaya arbitrase biasanya terdiri dari biaya
pendaftaran, biaya adminstrasi dan biaya arbiter yang sudah ditentukan
tarifnya. Prosedur arbitrase dibuat sederhana mungkin dan tidak terlalu
formal. Disamping itu, para arbiter adalah ahli dan pratiksi dibidang atau
pokok yang dipersengketakan sehingga diharapkan akan mampu
memberikan putusan yang cepat dan objektif. Hal itu ditentukan
menghemat biaya jika dibandingkan dengan melalui pengadilan. Bebas
memilih hukum yang diberlakukan Para pihak dapat memilih hukum
yang akan diberlakukan, yang ditentukan oleh para pihak sendiri dalam
perjanjian. Khusus yang dalam kaitanya dengan para pihak yang
berbeda kewarganegaraan, para pihak yang bebas memilih hukum ini,
berkaitan dengan teori pilihan hukum dalam hukum perdata
internasional (HPI). Hal ini karena masing-masing negara mempunyai
HPI tersendiri.
b. Kelemahan Arbitrase
1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk
memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa
keadilan para pihak.
2. Apabial pihak yang salah tidak mau mau melaksanakan putusan
arbitrase, maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan
eksekusi atas putusan tersebut.
3. Pada prakteknya pengakuan dan pelaksanakan keputusan arbitrase asing
masaih menjadi hal yang sulit.
4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah
perusahaan-perusahaan yang besar, oleh karena itu, untuk
memepertemukan kehendak para pihak yang bersenketa dan
membawanya ke arbitrase tidaklah mudah.
5. Lembaga arbitrase tidak mempunyai wewenang untuk mengeksekusi
perkara arbitrase.
6. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaiain
yang dicapai dalam arbitrase sehingga sering kali mengingkari dengan
berbagai cara.
7. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suati mekanisme
Ekstra Judicial, arbitrase hanya dapat bertumpu pada etika bisnis.

e. Objek Arbitarse

Objek perjanjian arbitarse (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui
lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaiain sengketa lainya) menurut pasal 5
ayat (1), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang arbitarse dan alternatif penyelesaiain
sengketa, hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa.
Adapun kegitan dalam dunia perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri, dan hak milik intelektual. Sementara itu pasal 5 ayat (2), undang-
undang nomor 30 tahun 1999, tentang arbitrase dan alternatif penyelesaiain sengketa,
menjelaskan bahwa sengketa-sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitarse adalah
sengketa yang menurut perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagai mana
diatur dalam KUHPerdata buku III bab ke 18 pasal 1851 s/d 1854.
Materi 7 Tentang Jenis-jenis Artbitrase

A. Jenis-Jenis Arbitrase

1. Arbitrase Institusional
Arbitrase institusional adalah arbitrase di mana lembaga khusus ditunjuk dan
mengambil peran mengelola proses arbitrase/manajemen kasus. Setiap lembaga
memiliki seperangkat aturan sendiri yang berkaitan dengan kerangka kerja, seperti
jadwal pengajuan dokumen atau prosedur untuk membuat aplikasi dll untuk membantu
proses arbitrase. Keuntungan dari arbitrase institusional adalah bantuan administratif
yang diberikan oleh institusi. Ketersediaan aturan yang ditetapkan juga membantu
arbitrase agar bisa selesai tepat waktu. Lembaga biasanya akan menagih persentase dari
jumlah yang disengketakan sebagai biaya mereka, yang kadang-kadang bisa sangat
besar dalam perselisihan besar.
Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen, sehingga disebut juga permanent arbitral body yaitu selain dikelola dan
diorganisasikan secara tetap, keberadaannya juga terus menerus untuk jangka waktu
tidak terbatas. Ada sengketa maupun tidak ada, lembaga tersebut akan tetap berdiri dan
tidak akan bubar, sekalipun setelah sengketa yang ditanganinya telah selesai diputus.
Didirikannya arbitrase ini dengan tujuan dalam rangka menyediakan sarana
penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan. Arbitrase institusional pada
umumnya dipilih oleh para pihak sebelum sengketa terjadi, yang dituangkan dalam
perjanjian arbitrase.
2. Arbitrase Ad Hoc
Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang tidak dikelola oleh suatu institusi. Para
pihak akan menentukan peran mereka sendiri dalam aspek arbitrase, seperti penunjukan
arbiter, aturan yang berlaku, dan jadwal waktu untuk mengajukan berbagai dokumen.
Tanpa lembaga pengelola, para pihak dalam arbitrase ad hoc bebas untuk untuk
menggunakan prosedur pilihan mereka. Dalam kasus-kasus di mana tidak ada aturan
prosedural yang disepakati, majelis arbitrase akan mengelola arbitrase dengan cara
yang dianggapnya sesuai. Arbitrase ad hoc juga dapat diubah menjadi arbitrase
institusional. Jika pihak merasa mereka memerlukan bantuan dari lembaga khusus
untuk menangani kasus ini di beberapa hal.
Menurut Harahap (2001), terdapat dua jenis perjanjian arbitrase, yaitu pactum
de compromittendo dan akta komparis. Penjelasan kedua perjanjian arbitrase tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Pactum De Compromittendo
Pactum de compromittendo artinya kesepakatan setuju dengan
keputusan arbiter. Adapun penjelasan atas Pactum de compromittendo diatur
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, yaitu undang-undang ini
mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam
suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase
yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang
timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase
atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
b. Akta Kompromis
Akta kompromis adalah perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbul
perselisihan antara para pihak atau dengan kata lain dalam perjanjian tidak
diadakan persetujuan arbitrase. Lebih lanjut mengenai akta kompromis diatur
dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 yaitu sebagai berikut:
1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase
setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus
dibuat dalam bentuk akta notaris.
3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud harus memuat hal-hal sebagai
berikut, masalah yang dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal
para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter,
tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan, nama
lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan
kesediaan dari arbiter, dan pernyataan kesediaan dari pihak yang
bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
4. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) batal demi hukum.

Anda mungkin juga menyukai