Kabupaten Bekasi
Jurnal
Kabupaten Bekasi
ANALISIS HAK DAN PERLINDUNGAN ANAK YANG
MENJADI KORBAN AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA
ABSTRAK
Pernikahan adalah sesuatu hal yang sangat sakral dan apabila hubungan tidak
dapat dilanjutkan maka harus diselesaikan secara baik-baik. Perceraian memang
tidak dilarang dalam agama Islam, namun Allah membenci sebuah perceraian.
Bercerai adalah jalan terakhir ketika terjadi permasalahan dan saat semua cara
telah dilakukan untuk mempertahankan rumah tangga, namun tetap tidak ada
perubahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab tingginya angka cerai
gugat disebabkan banyak faktor, diantaranya karena pemahaman perempuan
terhadap hak-hak mereka sebagai isteri, semakin terdidiknya perempuan,
informasi yang semakin mudah diakses, kemandirian ekonomi, dan kepedulian
berbagai lembaga terhadap kaum perempuan. Faktor utama pemicunya adalah
karena ketidakharmonisan, yang disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan
hidup, kekerasan fisik/psikis, krisis akhlak, gangguan pihak ketiga, dan poligami
tidak sehat. Selain itu ada beberapa faktor lain, namun tidak dominan. Solusi
untuk mengatasinya adalah pembekalan generasi muda, terutama yang akan
menikah, dengan bekal pengetahuan dan penanaman nilai-nilai agama yang
cukup. Akibat banyaknya kasus perceraian, banyak juga anak-anak yang menjadi
korban, mulai dari anak yang sudah dewasa, remaja, bahkan anak yang masih
dibawah umur. Tidak sedikit anak yang mengalami depresi hebat akibat
perceraian orang tua, ada juga anak yang terbiasa dengan situasi yang dialami.
Orang tua yang mengalami perceraian harus bisa menjamin atas hak anak dari
mulai materi sampai kasih sayang tiada henti.
ABSTRACT
A. PENDAHULUAN
Bagi orang tua, tidak ada salahnya berpikir ulang sebelum memutuskan cerai
dengan pasangannya. Anak-anak tidak memiliki kontrol sebaik orang dewasa.
Mereka melihat perceraian sebagai hancurnya satu-satunya keluarga yang mereka
kenal. Keluarga yang menjadi sumber perlindungan tidak lagi ada. Seorang anak
membutuhkan dua sosok orangtua yang dapat meyakinkan bahwa ia dicintai.
Selain itu, ia juga butuh dua orangtua yang akan selalu ada untuk segala hal dalam
hidupnya.
Membangun komunikasi yang baik antara kedua orang tua yang sudah berpisah
dengan anak dapat sedikit mengobati penderitaan seorang anak karena dapat dekat
dengan kedua orag tuanya, tentunya kasih sayang yang baik dari kedua orang tua.
2. Metode Penelitian
Jawa Timur merupakan provinsi dengan penduduk berstatus cerai hidup terbanyak
secara nasional. Jumlahnya mencapai 829,14 ribu jiwa atau 2,02% dari total
penduduk Jawa Timur yang mencapai 40,99 juta jiwa.
Penduduk Jawa Barat berstatus cerai hidup sebanyak 825,25 ribu jiwa atau 1,73%
dari total populasinya yang mencapai 47,59 juta jiwa. Di Jawa Tengah, ada 691,25
ribu penduduk berstatus cerai hidup atau 1,86% dari total populasinya yang
mencapai 37,23 juta jiwa.
Kemudian, ada 159,29 ribu penduduk berstatus cerai hidup di Jakarta atau 1,42%
dari total populasinya yang mencapai 11,25 juta jiwa. Penduduk Banten yang
berstatus cerai hidup sebanyak 144,27 ribu jiwa atau 1,22% dari total populasinya
yang sebesar 11,79 juta jiwa.
Penduduk Sumatera Utara yang berstatus cerai hidup sebanyak 113,94 ribu jiwa
atau 0,75% dari total populasinya yang mencapai 15,18 juta jiwa. Di Nusa
Tenggara Barat, sebanyak 109,7 ribu penduduk berstatus cerai hidup atau 2,03%
dari total populasinya yang mencapai 5,4 juta jiwa.
Sulawesi Selatan memiliki 109,26 ribu penduduk berstatus cerai hidup atau 1,19%
dari total populasinya yang mencapai 9,19 juta jiwa. Sedangkan di Kalimantan
Selatan dan Sumatera Barat, penduduk berstatus cerai hidup masing-masing
sebanyak 84,1 ribu jiwa (2,05%) dan 80,68 ribu jiwa (1,44%).
Setelah terjadinya perceraian, tanggung jawab ayah dan ibunya terhadap anaknya
tidak akan terhenti karena orang tua masih mempunyai kewajiban untuk
menanggung biaya hidup anaknya, tidak hanya materi tetapi juga kasih sayang,
kepedulian, perhatian, serta memberikan tempat tinggal atau rumah yang nyaman
dan layak bagi anaknya dengan harapan anak tersebut dapat tumbuh dan
berkembang sebagaimana anak pada umumnya, walaupun dalam keadaan orang
tua yang telah bercerai. Sebagaimana diatur Surakarta dengan Nomor :
941/Pdt.G/2019/PA.Ska. Pemohon dan Termohon telah dinyatakan resmi bercerai
oleh Hakim. Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara perceraian
sesuai dengan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Perkawinan serta Pasal 19 PP
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, yaitu
suami dan isteri sering terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada lagi
harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Pemohon dan Termohon selalu
bertengkar karena Termohon (Istri) tidak menghormati dan menghargai Pemohon
(suami), serta bersikap kasar kepada Pemohon dan anaknya. dalam Pasal 41
Undang-Undang Perkawinan. Putusan perceraian yang sudah didapatkan oleh
penulis berupa putusan cerai talak di Pengadilan Agama Sebelum menjatuhkan
putusan, Majelis Hakim menawarkan mediasi kepada kedua pihak. Akan tetapi
tidak berhasil dan kedua pihak sepakat untuk bercerai. Akibat dari terkabulnya
permohonan cerai yang diajukan oleh Pemohon ialah :
1. Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i kepada
Termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Surakarta;
2. Menetapkan hak asuh anak Pemohon dan Termohon ada pada Pemohon
(Ayahnya);
Setelah terjadinya perceraian, tanggung jawab orang tua tidak pernah putus. Hal
ini untuk melindungi hak-hak anak agar anak tersebut tidak terlantar. Sebagai
anak yang menjadi korban perceraian kedua orang tuanya wajib hukumnya untuk
melindungi hak-haknya. Tidak hanya kedua orang tuanya. Tetapi siapapun wajib
untuk melindungi anak.
Oleh karena itu, anak sebagai bagian dari manusia yang memiliki Hak Asasi
Manusia (HAM) berhak untuk dilindungi dan dijunjung hak-haknya, serta
perlindungan hukum terhadap anak agar anak terhindar dari tindakan kekerasan,
diskriminasi, pelecehan, dan hal apapun yang dapat merugikan anak. Anak
dianggap seseorang yang belum cakap hukum sehingga hukum sangat dibutuhkan
oleh anak agar ia selalu dilindungi, mendapatkan keadilan, serta memperoleh
kesejahteraan. Penulis berpendapat mengenai perlindungan hukum terhadap anak
yang didasari peraturan perundang-undangan dan peran aparat penegak hukum
belum sepenuhnya menjamin perlindungan anak atas hak-haknya.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat perlindungan anak
masih terpisah-pisah dan tidak dijadikan satu kesatuan peraturan yang benar-benar
khusus mengatur perlindungan anak dari berbagai aspek permasalahan. Tidak
hanya itu, peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan anak banyak
yang belum diketahui oleh masyarakat awam. Sehingga masih banyak ditemukan
kasus-kasus pelanggaran terhadap hakhak anak. Kemudian peran penegak hukum
juga belum mampu menjamin perlindungan hak-hak anak, salah satunya Hakim
Pengadilan Agama yang memutus perkara perceraian, dimana Hakim hanya
memutus apa yang digugat atau diminta oleh para pihak berperkara.
Selain itu, Majelis Hakim juga harus mempertimbangkan secara matang putusan
perceraian tersebut, agar tidak merugikan para pihak terutama anak yang menjadi
korban perceraian ayah dan ibunya. Akan tetapi setelah dikeluarkannya Putusan
perceraian oleh Hakim Pengadilan Agama, belum sepenuhnya menjamin hak-hak
anak. Apabila telah diputuskan mengenai hak asuh anak dan hak nafkah anak,
belum tentu pemegang hak asuh anak memenuhi sebagian atau seluruh hak-hak
anak. Bahkan setelah adanya putusan perceraian oleh Hakim Pengadilan Agama,
bisa jadi pemegang kuasa hak asuh anak tidak memenuhi hak-hak anak, karena
tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur
pengawasan hak-hak anak pasca perceraian ayah dan ibunya. Selanjutnya
mengenai anak korban perceraian perlu mendapat perhatian oleh pemerintah.
Mengingat banyaknya angka perceraian yang terjadi di Indonesia, secara tidak
langsung banyak anak-anak yang menjadi korban pasca perceraian. Permasalahan
yang terjadi yaitu banyak anak korban perceraian yang terlantar dan tidak
diberikan nafkah oleh orang tuanya. Padahal anak tersebut masih menjadi
tanggung jawab orang tuanya.
Menurut penulis, orang tua seharusnya memiliki kesadaran diri bahwa setelah
putusnya perkawinan anak masih menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, perlu
dibuat peraturan yang dengan tegas memberikan hukuman apabila menelantarkan
anak korban perceraian agar pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab salah
satunya orang tua dari si anak akan merasa takut apabila memiliki niat untuk
menelantarkan anaknya.
Hal ini dirasa efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun tidak hanya
dibuat peraturan perundang-undangan saja, tetapi peran Pemerintah, penegak
hukum, serta masyarakat itu sendiri harus ikut serta melindungi hak-hak anak.
Penulis yakin apabila orang tua yang telah putus perkawinannya betul-betul
menyadari kewajibannya untuk memenuhi hak-hak anaknya, serta peran
Pemerintah, penegak hukum, serta masyarakat saling bekerja sama untuk
melindungi hak-hak anak. Maka besar kemungkinan tidak terjadi kasus-kasus
yang menimpa hak-hak anak. Anak-anak akan hidup dengan nyaman, bahagia,
terjamin kesejahteraannya dan tumbuh berkembang dengan baik.
Penulis juga menyarankan kepada orang tua yang memutuskan untuk bercerai
agar tetap mengawasi, menjamin dari mulai kebutuhan harian beruapa materi serta
kasih sayang serta kebutuhan lainnya seperti sekolah sampai anak memutuskan
untuk menikah.
Kedua, Pencabutan Kuasa Hak Asuh. Tercantum dalam Pasal 49 Ayat 1 Undang-
Undang Perkawinan, yaitu apabila salah satu diantara ayah dan ibunya atau
keduanya dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk
waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis
lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang
dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal: Ia sangat melalaikan kewajiban
terhadap anakanaknya; Ia berkelakuan buruk sekali.
Upaya pencabutan hak asuh bisa dilakukan apabila pihak ibu atau ayahnya atau
keluarga dengan garis lurus keatas mengajukan permohonan pencabutan hak asuh
ke Pengadilan Agama. Sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan. Walaupun ada upaya
pencabutan hak asuh, kedua orang tua harus tetap memelihara anaknya dengan
baik (Jaenuri, 2020) Dengan demikian hak-hak anak masih tetap terjamin dan
anak dapat tumbuh berkembang dengan baik walaupun kedua orang tuanya telah
bercerai.
Ketiga, upaya pemenuhan hak nafkah ini dapat dilakukan tanpa kedua orang
tuanya bercerai. Pemenuhan hak nafkah anak dapat diajukan ke Pengadilan
Agama terkait dengan gugatan nafkah yang ajukan oleh salah satu diantara orang
tua tanpa adanya perkara perceraian (Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Perkawinan).
Apabila pihak ayah melalaikan tanggung jawabnya dan tidak memberi nafkah
kepada anaknya, maka seorang ibu bisa mengajukan gugatan nafkah namun tidak
mengajukan gugatan perceraian di pengadilan. Akan tetapi hal ini masih sangat
jarang terjadi, karena masyarakat belum banyak mengenal. Kebetulan di
Pengadilan Agama Surakarta belum pernah menjumpai adanya gugatan nafkah.
Akan tetapi gugatan nafkah bisa saja diajukan asalnya dengan alasan yang
sesungguhnya dan dapat dibuktikan (Wahid Afani, 2020) Menurut penulis upaya
ini bisa menjadi alternatif untuk meminta hak nafkah anak tanpa adanya
perceraian apabila ayahnya tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik.
Sehingga rumah tangga kedua orang tua masih utuh dan apabila dalam rumah
tangga terjadi perselisihan dapat diperbaiki secara kekeluargaan oleh para pihak.
4. Kesimpulan
Setelah terjadinya perceraian, tanggung jawab orang tua tidak pernah putus. Hal
ini untuk melindungi hak-hak anak agar anak tersebut tidak terlantar. Sebagai
anak yang menjadi korban perceraian kedua orang tuanya wajib hukumnya untuk
melindungi hak-haknya. Tidak hanya kedua orang tuanya. Tetapi siapapun wajib
untuk melindungi anak.
perlindungan hukum terhadap anak agar anak terhindar dari tindakan kekerasan,
diskriminasi, pelecehan, dan hal apapun yang dapat merugikan anak. Anak
dianggap seseorang yang belum cakap hukum sehingga hukum sangat dibutuhkan
oleh anak agar ia selalu dilindungi, mendapatkan keadilan, serta memperoleh
kesejahteraan. Penulis berpendapat mengenai perlindungan hukum terhadap anak
yang didasari peraturan perundang-undangan dan peran aparat penegak hukum
belum sepenuhnya menjamin perlindungan anak atas hak-haknya.
http://www.pa-masohi.go.id/layanan-hukum/hak-hak-perempuan-
dan-anak-pasca-perceraian
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/07/inilah-10-
provinsi-dengan-penduduk-berstatus-cerai-hidup-terbanyak
https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/23/125701920/anak-
jadi-korban-terberat-jangan-libatkan-mereka-jika-anda-
komentari?page=all https://repository.unair.ac.id/52269/1/Per
%20154-05%20Rah%20h.pdf