Anda di halaman 1dari 15

JURNAL HUKUM PERDATA ISLAM

FAKULTAS EKONOMI, BISNIS DAN ILMU SOSIAL (FEBIS)

PROGRAM STUDI HUKUM

UNIVERSITAS PELITA BANGSA (UPB)

Kabupaten Bekasi

Jurnal

ANALISIS HAK DAN PERLINDUNGAN ANAK YANG MENJADI


KORBAN AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

Agus Rosadi ( 442010101 )

Reno Wandika ( 44201099)

MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI, BISNIS DAN ILMU


SOSIAL (FEBIS)

PROGRAM STUDI HUKUM

UNVERSTAS PELITA BANGSA (UPB)

Kabupaten Bekasi
ANALISIS HAK DAN PERLINDUNGAN ANAK YANG
MENJADI KORBAN AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

Agus Rosadi1, Reno Wandika2

ABSTRAK

Pernikahan adalah sesuatu hal yang sangat sakral dan apabila hubungan tidak
dapat dilanjutkan maka harus diselesaikan secara baik-baik. Perceraian memang
tidak dilarang dalam agama Islam, namun Allah membenci sebuah perceraian.
Bercerai adalah jalan terakhir ketika terjadi permasalahan dan saat semua cara
telah dilakukan untuk mempertahankan rumah tangga, namun tetap tidak ada
perubahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab tingginya angka cerai
gugat disebabkan banyak faktor, diantaranya karena pemahaman perempuan
terhadap hak-hak mereka sebagai isteri, semakin terdidiknya perempuan,
informasi yang semakin mudah diakses, kemandirian ekonomi, dan kepedulian
berbagai lembaga terhadap kaum perempuan. Faktor utama pemicunya adalah
karena ketidakharmonisan, yang disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan
hidup, kekerasan fisik/psikis, krisis akhlak, gangguan pihak ketiga, dan poligami
tidak sehat. Selain itu ada beberapa faktor lain, namun tidak dominan. Solusi
untuk mengatasinya adalah pembekalan generasi muda, terutama yang akan
menikah, dengan bekal pengetahuan dan penanaman nilai-nilai agama yang
cukup. Akibat banyaknya kasus perceraian, banyak juga anak-anak yang menjadi
korban, mulai dari anak yang sudah dewasa, remaja, bahkan anak yang masih
dibawah umur. Tidak sedikit anak yang mengalami depresi hebat akibat
perceraian orang tua, ada juga anak yang terbiasa dengan situasi yang dialami.
Orang tua yang mengalami perceraian harus bisa menjamin atas hak anak dari
mulai materi sampai kasih sayang tiada henti.
ABSTRACT

Marriage is something that is very sacred and if the relationship cannot be


continued then it must be resolved amicably. Divorce is not prohibited in Islam,
but Allah hates a divorce. Divorce is the last resort when there are problems and
when all means have been done to maintain the household, but still nothing
changes. The results showed that the cause of the high rate of divorce was due to
many factors, including women's understanding of their rights as wives, more
educated women, more accessible information, economic independence, and the
concern of various institutions towards women. The main triggering factor is
disharmony, which is caused by non-fulfillment of the necessities of life,
physical/psychic violence, moral crisis, interference from third parties, and
unhealthy polygamy. In addition there are several other factors, but not dominant.
The solution to overcome this is to equip the younger generation, especially those
who are about to get married, with sufficient knowledge and inculcation of
religious values. Due to the large number of divorce cases, many children are
also victims, ranging from children who are adults, teenagers, and even children
who are still underage. Not a few children who experience severe depression due
to the divorce of their parents, there are also children who are used to the
situation they are in. Parents who experience divorce must be able to guarantee
the rights of children from material to endless love.

A. PENDAHULUAN

Perkawinan, yang merupakan perjanjian yang kokoh, diharapkan tidak akan


pernah putus, kecuali oleh kematian yang menimpa salah satu dari keduanya.
Tetapi dalam realitas kehidupan, ternyata putusnya perkawinan di tengah
perjalanan, dari waktu ke waktu jumlahnya semakin banyak dan sebabnya pun
semakin beragam. Perceraian yang seharusnya menjadi alternatif terakhir dalam
aturan agama, bila keadaannya memang sangat sulit dan tidak ada jalan lain lagi
untuk menjaga kepentingan suami isteri.
Namun, realitanya aturan dan langkah yang telah ditentukan agama sudah tidak
lagi diindahkan oleh kebanyakan orang. Perceraian terjadi dengan sangat mudah
dan karena alasan-alasan sepele yang tidak mendasar, walaupun tidak semuanya
begitu. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah kasus perceraian di Pengadilan
Agama, yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup signifikan, dan
ironisnya cerai gugat jumlahnya lebih besar dua kali lipat dari cerai talak, bahkan
lebih. Pada masa lalu perceraian menjadi hal yang tabu dan sangat dihindari oleh
perempuan. Karena itu, banyak diantara mereka yang lebih menderita, rela
dipoligami, ditinggalkan begitu saja, tidak dibiayai dan lain sebagainya dari pada
dicerai. Karena itu, banyaknya kasus cerai gugat sekarang ini menimbulkan
pertanyaan besar, kenapa perempuan (isteri) sekarang mau dan berani menggugat
cerai suaminya? Padahal perceraian itu akan menimbulkan dampak negatif yang
tidak sedikit, dan kadang lebih banyak, terutama untuk diri mereka sendiri dan
anak-anak mereka. Apakah sudah terjadi pergeseran nilai dan paradigma?
Menjawab pertanyaan ini, psikolog Nella Safitri, seperti dikutip oleh okezone.
com menyatakan ada empat penyebab utama dari perkembangan budaya cerai
gugat ini. Pertama, bertambah baiknya pemahaman perempuan terhadap hak
mereka dalam rumah tangga (hak sebagai isteri), sehingga mereka tidak rela kalau
mereka diperlakukan tidak adil dan hak-hak mereka diabaikan. Kedua,
kemandirian ekonomi, dimana banyak perempuan yang bekerja merasa memiliki
power untuk menghidupi diri, dan bahkan anak-anaknya, meskipun nantinya
berstatus janda. Ketiga, pemahaman yang lebih baik terhadap agama (termasuk
tentang ketentuan talak tiga, yang kadang dengan mudah diucapkan oleh suami).
Ketika perempuan merasa telah ditalak tiga oleh suaminya, maka ia merasa bahwa
agama tidak lagi membolehkan mereka bersama. Dalam kondisi ini, kalau suami
tidak merasa telah melakukan itu, sedangkan isteri merasa bahwa hal itu telah
terjadi, maka biasanya isteri maju untuk menggugat cerai, karena tidak mau
melanggar aturan agama. Keeempat, keengganan isteri untuk menerima kenyataan
kalau keadaan rumah tangganya digantung oleh suaminya.2 Perceraian, baik cerai
talak maupun cerai gugat manakala tidak dilakukan dengan hati-hati dan penuh
pertimbangan, maka akan lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dengan
dampak positifnya. Dampak negatif ini tidak hanya dirasakan oleh pihak suami
dan isteri, tetapi juga oleh anak-anak. Dampak negatifnya terhadap anak-anak,
terutama yang belum dewasa akan sangat terasa, sehingga mempengaruhi
pertumbuhan dan kejiwaan mereka. Fenomena yang terjadi di kalangan
masyarakat adalah banyaknya orang yang me lakukan perceraian tanpa mem
pertimbangkan banyak hal, sehingga seringkali perceraian malah bukannya
menjadi solusi dari persoalan yang dihadapi, justru memunculkan banyak
permasalahan baru yang kadang-kadang lebih berat dan rumit. Begitu juga halnya
dengan cerai gugat yang seakan menjadi trend di kalangan masyarakat kita akhir-
akhir ini. Bahkan dari data perceraian di atas terlihat cerai gugat menduduki posisi
teratas dan setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan. Dari sini
timbul pertanyaan besar, apakah fenomena trend cerai gugat ini timbul
berlandaskan kebutuhan? Ataukah hanya sekedar pelampiasan emosi? Atau
mungkin karena prosedur pengajuan gugat di Pengadilan Agama yang terlalu
mudah? Tentunya, tingginya grafik peningkatan cerai gugat ini tidaklah kita
harapkan, apalagi manakala cerai gugat itu tidak berlandaskan pertimbangan yang
matang, karena hanya akan menimbulkan persoalan baru dan akibat hukum yang
berkepanjangan. Untuk itu, perlu dikaji lebih jauh apa yang melatar belakangi
trend cerai gugat ini? Apa saja yang menjadi faktor penyebabnya? Dan solusi
apakah yang efektif untuk menekan angka perceraian, khususnya cerai gugat di
Indonesia yang semakin tahun semakin meningkat jumlahnya? Untuk menjawab
masalah itu semua studi ini dilakukan dengan menjadikan PA Jakarta Selatan
sebagai satu-satunya pegadilan yang menjadi studi kasusnya. Anak menjadi pihak
yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tua. Selain mengalami beban
mental, juga fisik serta masa depan mereka. Sudah banyak contoh, anak korban
perceraian kehidupannya terlantar, tak terurus hingga terjerumus ke pergaulan
salah. Terlebih jika usia si anak masih dibawah umur yang seharusnya
membutuhkan banyak kasih sayang dan bimbingan orang tua.

Bagi orang tua, tidak ada salahnya berpikir ulang sebelum memutuskan cerai
dengan pasangannya. Anak-anak tidak memiliki kontrol sebaik orang dewasa.
Mereka melihat perceraian sebagai hancurnya satu-satunya keluarga yang mereka
kenal. Keluarga yang menjadi sumber perlindungan tidak lagi ada. Seorang anak
membutuhkan dua sosok orangtua yang dapat meyakinkan bahwa ia dicintai.
Selain itu, ia juga butuh dua orangtua yang akan selalu ada untuk segala hal dalam
hidupnya.

Membangun komunikasi yang baik antara kedua orang tua yang sudah berpisah
dengan anak dapat sedikit mengobati penderitaan seorang anak karena dapat dekat
dengan kedua orag tuanya, tentunya kasih sayang yang baik dari kedua orang tua.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan UU No 16


Tahun 2019 jo PERMA No 3 Tahun 2017 jo SEMA No 3 tahun 2018 jo SEMA
No 2 Tahun 2019 jo Kompilasi Hukum Islam dengan mengedepankan hak anak
pasca perceraian.

Pelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian deskriptif. Penulis akan


menggambarkan mengenai perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian
atas hak nafkah secara rinci dan sistematis.

3. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil


(Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 3,97
juta penduduk yang berstatus perkawinan cerai hidup hingga akhir Juni 2021.
Jumlah itu setara dengan 1,46% dari total populasi Indonesia yang mencapai
272,29 juta jiwa.
 
Dari 10 provinsi dengan penduduk berstatus perkawinan cerai terbanyak di tanah
air, lima di antaranya berada di Jawa. Sebanyak dua provinsi di Sumatera, satu
provinsi di Nusa Tenggara, satu provinsi di Sulawesi, dan satu provinsi di
Kalimantan.

Jawa Timur merupakan provinsi dengan penduduk berstatus cerai hidup terbanyak
secara nasional. Jumlahnya mencapai 829,14 ribu jiwa atau 2,02% dari total
penduduk Jawa Timur yang mencapai 40,99 juta jiwa.
 
Penduduk Jawa Barat berstatus cerai hidup sebanyak 825,25 ribu jiwa atau 1,73%
dari total populasinya yang mencapai 47,59 juta jiwa. Di Jawa Tengah, ada 691,25
ribu penduduk berstatus cerai hidup atau 1,86% dari total populasinya yang
mencapai 37,23 juta jiwa.

Kemudian, ada 159,29 ribu penduduk berstatus cerai hidup di Jakarta atau 1,42%
dari total populasinya yang mencapai 11,25 juta jiwa. Penduduk Banten yang
berstatus cerai hidup sebanyak 144,27 ribu jiwa atau 1,22% dari total populasinya
yang sebesar 11,79 juta jiwa.

Penduduk Sumatera Utara yang berstatus cerai hidup sebanyak 113,94 ribu jiwa
atau 0,75% dari total populasinya yang mencapai 15,18 juta jiwa. Di Nusa
Tenggara Barat, sebanyak 109,7 ribu penduduk berstatus cerai hidup atau 2,03%
dari total populasinya yang mencapai 5,4 juta jiwa.

Sulawesi Selatan memiliki 109,26 ribu penduduk berstatus cerai hidup atau 1,19%
dari total populasinya yang mencapai 9,19 juta jiwa. Sedangkan di Kalimantan
Selatan dan Sumatera Barat, penduduk berstatus cerai hidup masing-masing
sebanyak 84,1 ribu jiwa (2,05%) dan 80,68 ribu jiwa (1,44%).

Berdasarkan data perceraian selama tahun 2021, pernikahan di Indonesia sangat


lemah untuk di pertahankan. Evaluasi dan kesadaran diri harus dilakukan sebelum
mengakhiri sebuah pernikahan sebab dampak perceraian sangat banyak mulai dari
kedua orang yang bercerai mengakhiri kisah mereka dan yang paling fatal adalah
anak yang menjadi korban dari perceraian. Setelah merasakan dan melihat orang
tua terus bertengkar karena ketidakharmonisan di keluarga mereka, anak
mengalami serangan mental yang hebat dan mengalami depresi bahkan ada yang
memilih jalan keluar dengan meninggalkan kedua orang tua mereka. Meskipun
tidak semua anak seperti itu, tetapi sedikit atau banyak itu tetap harus di antisipasi.

Setelah terjadinya perceraian, tanggung jawab ayah dan ibunya terhadap anaknya
tidak akan terhenti karena orang tua masih mempunyai kewajiban untuk
menanggung biaya hidup anaknya, tidak hanya materi tetapi juga kasih sayang,
kepedulian, perhatian, serta memberikan tempat tinggal atau rumah yang nyaman
dan layak bagi anaknya dengan harapan anak tersebut dapat tumbuh dan
berkembang sebagaimana anak pada umumnya, walaupun dalam keadaan orang
tua yang telah bercerai. Sebagaimana diatur Surakarta dengan Nomor :
941/Pdt.G/2019/PA.Ska. Pemohon dan Termohon telah dinyatakan resmi bercerai
oleh Hakim. Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara perceraian
sesuai dengan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Perkawinan serta Pasal 19 PP
Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, yaitu
suami dan isteri sering terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada lagi
harapan untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Pemohon dan Termohon selalu
bertengkar karena Termohon (Istri) tidak menghormati dan menghargai Pemohon
(suami), serta bersikap kasar kepada Pemohon dan anaknya. dalam Pasal 41
Undang-Undang Perkawinan. Putusan perceraian yang sudah didapatkan oleh
penulis berupa putusan cerai talak di Pengadilan Agama Sebelum menjatuhkan
putusan, Majelis Hakim menawarkan mediasi kepada kedua pihak. Akan tetapi
tidak berhasil dan kedua pihak sepakat untuk bercerai. Akibat dari terkabulnya
permohonan cerai yang diajukan oleh Pemohon ialah :

1. Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i kepada
Termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama Surakarta;

2. Menetapkan hak asuh anak Pemohon dan Termohon ada pada Pemohon
(Ayahnya);

3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.


486.000,- (empat ratus delapan puluh enam ribu rupiah).

Berdasarkan putusan tersebut, Majelis Hakim memutuskan juga mengenai


penetapan hak asuh anak yang jatuh pada Pemohon atau ayahnya. Hal ini tertuang
dalam Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama menyatakan bahwa permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak,
nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan
permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan. Hakim dalam
mempertimbangkan hak asuh anak jatuh ke tangan ayahnya (Pemohon) karena
ibunya (Termohon) dianggap tidak layak untuk mengasuh karena bersikap kasar
terhadap anaknya, tidak memperlakukan anak dengan baik, dan tidak mendidik
anak dengan baik. Anak tersebut juga sangat dekat dan akrab dengan ayahnya.
Sehingga Hakim memutuskan hak asuh anak jatuh kepada ayahnya. Akan tetapi
dalam putusan perceraian tersebut tidak diputuskan mengenai beban biaya atau
nafkah yang harus ditanggung oleh si ayah kepada anaknya. Hal ini sangat
memungkinkan hak-hak anak terabaikan apabila ayahnya lalai dalam menunaikan
kewajibannya.

Setelah terjadinya perceraian, tanggung jawab orang tua tidak pernah putus. Hal
ini untuk melindungi hak-hak anak agar anak tersebut tidak terlantar. Sebagai
anak yang menjadi korban perceraian kedua orang tuanya wajib hukumnya untuk
melindungi hak-haknya. Tidak hanya kedua orang tuanya. Tetapi siapapun wajib
untuk melindungi anak.

Satijipto Raharjo berpendapat mengenai perlindungan hukum yaitu memberikan


pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan oleh orang lain
dan perlindungan diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-
hak yang diberikan oleh hukum. Menurut penulis perlindungan hukum terhadap
anak merupakan bentuk usaha yang dilakukan oleh seluruh masyarakat yang
menyadari begitu pentingnya anak bagi negara.

Oleh karena itu, anak sebagai bagian dari manusia yang memiliki Hak Asasi
Manusia (HAM) berhak untuk dilindungi dan dijunjung hak-haknya, serta
perlindungan hukum terhadap anak agar anak terhindar dari tindakan kekerasan,
diskriminasi, pelecehan, dan hal apapun yang dapat merugikan anak. Anak
dianggap seseorang yang belum cakap hukum sehingga hukum sangat dibutuhkan
oleh anak agar ia selalu dilindungi, mendapatkan keadilan, serta memperoleh
kesejahteraan. Penulis berpendapat mengenai perlindungan hukum terhadap anak
yang didasari peraturan perundang-undangan dan peran aparat penegak hukum
belum sepenuhnya menjamin perlindungan anak atas hak-haknya.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat perlindungan anak
masih terpisah-pisah dan tidak dijadikan satu kesatuan peraturan yang benar-benar
khusus mengatur perlindungan anak dari berbagai aspek permasalahan. Tidak
hanya itu, peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan anak banyak
yang belum diketahui oleh masyarakat awam. Sehingga masih banyak ditemukan
kasus-kasus pelanggaran terhadap hakhak anak. Kemudian peran penegak hukum
juga belum mampu menjamin perlindungan hak-hak anak, salah satunya Hakim
Pengadilan Agama yang memutus perkara perceraian, dimana Hakim hanya
memutus apa yang digugat atau diminta oleh para pihak berperkara.

Selain itu, Majelis Hakim juga harus mempertimbangkan secara matang putusan
perceraian tersebut, agar tidak merugikan para pihak terutama anak yang menjadi
korban perceraian ayah dan ibunya. Akan tetapi setelah dikeluarkannya Putusan
perceraian oleh Hakim Pengadilan Agama, belum sepenuhnya menjamin hak-hak
anak. Apabila telah diputuskan mengenai hak asuh anak dan hak nafkah anak,
belum tentu pemegang hak asuh anak memenuhi sebagian atau seluruh hak-hak
anak. Bahkan setelah adanya putusan perceraian oleh Hakim Pengadilan Agama,
bisa jadi pemegang kuasa hak asuh anak tidak memenuhi hak-hak anak, karena
tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur
pengawasan hak-hak anak pasca perceraian ayah dan ibunya. Selanjutnya
mengenai anak korban perceraian perlu mendapat perhatian oleh pemerintah.
Mengingat banyaknya angka perceraian yang terjadi di Indonesia, secara tidak
langsung banyak anak-anak yang menjadi korban pasca perceraian. Permasalahan
yang terjadi yaitu banyak anak korban perceraian yang terlantar dan tidak
diberikan nafkah oleh orang tuanya. Padahal anak tersebut masih menjadi
tanggung jawab orang tuanya.

Menurut penulis, orang tua seharusnya memiliki kesadaran diri bahwa setelah
putusnya perkawinan anak masih menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, perlu
dibuat peraturan yang dengan tegas memberikan hukuman apabila menelantarkan
anak korban perceraian agar pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab salah
satunya orang tua dari si anak akan merasa takut apabila memiliki niat untuk
menelantarkan anaknya.
Hal ini dirasa efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun tidak hanya
dibuat peraturan perundang-undangan saja, tetapi peran Pemerintah, penegak
hukum, serta masyarakat itu sendiri harus ikut serta melindungi hak-hak anak.
Penulis yakin apabila orang tua yang telah putus perkawinannya betul-betul
menyadari kewajibannya untuk memenuhi hak-hak anaknya, serta peran
Pemerintah, penegak hukum, serta masyarakat saling bekerja sama untuk
melindungi hak-hak anak. Maka besar kemungkinan tidak terjadi kasus-kasus
yang menimpa hak-hak anak. Anak-anak akan hidup dengan nyaman, bahagia,
terjamin kesejahteraannya dan tumbuh berkembang dengan baik.

Penulis juga menyarankan kepada orang tua yang memutuskan untuk bercerai
agar tetap mengawasi, menjamin dari mulai kebutuhan harian beruapa materi serta
kasih sayang serta kebutuhan lainnya seperti sekolah sampai anak memutuskan
untuk menikah.

Upaya Pemenuhan Hak Nafkah Anak

Pertama, Permohonan Eksekusi, dimana putusan pengadilan mempunyai


kekuatan mengikat dan kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan putusan pengadilan
yang dimuat dalam permohonan untuk mengeksekusi dengan alat negara apabila
pihak tersebut yang telah dinyatakan oleh pengadilan untuk memenuhi kewajiban
dan pihak tersebut tidak menjalankan kewajiban sesuai dengan putusan
pengadilan atau dengan sengaja melalaikan kewajibannya, maka Pemohon dapat
mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama terkait.

Kedua, Pencabutan Kuasa Hak Asuh. Tercantum dalam Pasal 49 Ayat 1 Undang-
Undang Perkawinan, yaitu apabila salah satu diantara ayah dan ibunya atau
keduanya dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk
waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis
lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang
dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal: Ia sangat melalaikan kewajiban
terhadap anakanaknya; Ia berkelakuan buruk sekali.

Upaya pencabutan hak asuh bisa dilakukan apabila pihak ibu atau ayahnya atau
keluarga dengan garis lurus keatas mengajukan permohonan pencabutan hak asuh
ke Pengadilan Agama. Sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan. Walaupun ada upaya
pencabutan hak asuh, kedua orang tua harus tetap memelihara anaknya dengan
baik (Jaenuri, 2020) Dengan demikian hak-hak anak masih tetap terjamin dan
anak dapat tumbuh berkembang dengan baik walaupun kedua orang tuanya telah
bercerai.

Ketiga, upaya pemenuhan hak nafkah ini dapat dilakukan tanpa kedua orang
tuanya bercerai. Pemenuhan hak nafkah anak dapat diajukan ke Pengadilan
Agama terkait dengan gugatan nafkah yang ajukan oleh salah satu diantara orang
tua tanpa adanya perkara perceraian (Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Perkawinan).

Apabila pihak ayah melalaikan tanggung jawabnya dan tidak memberi nafkah
kepada anaknya, maka seorang ibu bisa mengajukan gugatan nafkah namun tidak
mengajukan gugatan perceraian di pengadilan. Akan tetapi hal ini masih sangat
jarang terjadi, karena masyarakat belum banyak mengenal. Kebetulan di
Pengadilan Agama Surakarta belum pernah menjumpai adanya gugatan nafkah.
Akan tetapi gugatan nafkah bisa saja diajukan asalnya dengan alasan yang
sesungguhnya dan dapat dibuktikan (Wahid Afani, 2020) Menurut penulis upaya
ini bisa menjadi alternatif untuk meminta hak nafkah anak tanpa adanya
perceraian apabila ayahnya tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik.
Sehingga rumah tangga kedua orang tua masih utuh dan apabila dalam rumah
tangga terjadi perselisihan dapat diperbaiki secara kekeluargaan oleh para pihak.

Penulis juga menambahkan untuk hak kepengasuhan anak yang di atur


sedemikian rupa dalam undang-undang, sebaiknya jangan terlalu memaksakan
anak untuk mengikuti orang tua yang mendapatkan hak asuh karena anak belum
tentu betah di asuh oleh Bapak/Ibu dari anak tersebut. Anak cenderung
mempunyai ego atau kenyamanan sendiri untuk memilih. Hak asuh boleh saja
jatuh pada Bapak/Ibu, tetapi anak dapat tinggal dengan siapa saja yang menurut
anak tersebut nyaman. Terkadang orang tua bersikeras untuk mendapatkan hak
asuh anak tetapi anak tersebut tidak mendapatkan kenyamanan yang membuat
anak tersebut semakin mengalami tekanan mental akibat keegoisan orang tua.
Penulis juga berharap untuk kedepannya tidak ada pernikahan yang berakhir
dengan perceraian. Minimal dari tahun 2022 sampai tahun-tahun berikutnya
perceraian dapat berkurang dengan signifikan.

4. Kesimpulan

Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil)


Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 3,97 juta penduduk yang
berstatus perkawinan cerai hidup hingga akhir Juni 2021. Jumlah itu setara dengan
1,46% dari total populasi Indonesia yang mencapai 272,29 juta jiwa.
diatur Surakarta dengan Nomor : 941/Pdt.G/2019/PA.Ska. Pemohon dan
Termohon telah dinyatakan resmi bercerai oleh Hakim. Pertimbangan Majelis
Hakim dalam memutuskan perkara perceraian sesuai dengan Pasal 2 huruf f
Undang-Undang Perkawinan serta Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, yaitu suami dan isteri sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada lagi harapan untuk hidup rukun
dalam rumah tangga. Pemohon dan Termohon selalu bertengkar karena Termohon
(Istri) tidak menghormati dan menghargai Pemohon (suami), serta bersikap kasar
kepada Pemohon dan anaknya. dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan.
Putusan perceraian yang sudah didapatkan oleh penulis berupa putusan cerai talak
di Pengadilan Agama Sebelum menjatuhkan putusan, Majelis Hakim menawarkan
mediasi kepada kedua pihak. Akan tetapi tidak berhasil dan kedua pihak sepakat
untuk bercerai.

Setelah terjadinya perceraian, tanggung jawab orang tua tidak pernah putus. Hal
ini untuk melindungi hak-hak anak agar anak tersebut tidak terlantar. Sebagai
anak yang menjadi korban perceraian kedua orang tuanya wajib hukumnya untuk
melindungi hak-haknya. Tidak hanya kedua orang tuanya. Tetapi siapapun wajib
untuk melindungi anak.

perlindungan hukum terhadap anak agar anak terhindar dari tindakan kekerasan,
diskriminasi, pelecehan, dan hal apapun yang dapat merugikan anak. Anak
dianggap seseorang yang belum cakap hukum sehingga hukum sangat dibutuhkan
oleh anak agar ia selalu dilindungi, mendapatkan keadilan, serta memperoleh
kesejahteraan. Penulis berpendapat mengenai perlindungan hukum terhadap anak
yang didasari peraturan perundang-undangan dan peran aparat penegak hukum
belum sepenuhnya menjamin perlindungan anak atas hak-haknya.

Penulis juga menambahkan untuk hak kepengasuhan anak yang di atur


sedemikian rupa dalam undang-undang, sebaiknya jangan terlalu memaksakan
anak untuk mengikuti orang tua yang mendapatkan hak asuh karena anak belum
tentu betah di asuh oleh Bapak/Ibu dari anak tersebut. Anak cenderung
mempunyai ego atau kenyamanan sendiri untuk memilih. Hak asuh boleh saja
jatuh pada Bapak/Ibu, tetapi anak dapat tinggal dengan siapa saja yang menurut
anak tersebut nyaman. Terkadang orang tua bersikeras untuk mendapatkan hak
asuh anak tetapi anak tersebut tidak mendapatkan kenyamanan yang membuat
anak tersebut semakin mengalami tekanan mental akibat keegoisan orang tua.
http://eprints.ums.ac.id/84104/10/Naskah%20Publikasi
%20ERFANDHA.pdf

http://www.pa-masohi.go.id/layanan-hukum/hak-hak-perempuan-
dan-anak-pasca-perceraian

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/07/inilah-10-
provinsi-dengan-penduduk-berstatus-cerai-hidup-terbanyak

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/23/125701920/anak-
jadi-korban-terberat-jangan-libatkan-mereka-jika-anda-
komentari?page=all https://repository.unair.ac.id/52269/1/Per
%20154-05%20Rah%20h.pdf

Anda mungkin juga menyukai