Anda di halaman 1dari 5

Efek Poligami di Masyarakat Umum

Nama: Ignatius Maraden Yehosha Lubis


NIM: 202205000101

Pendahuluan
Poligami didefinisikan oleh KBBI sebagai perkawinan yang membolehkan seseorang
mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Dalam hukum Indonesia diperbolehkan
poligami selama mendapat izin dari pengadilan daerah dan perizinan isteri.

Efek poligami dalam masyarakat paling berdampak pada keluarganya secara psikis,
tetapi juga pada masyarakat secara umum oleh sebab perilaku yang didorong oleh sebabnya
dan pada dampaknya pada keturunan. Efek psikis seperti harga diri lebih rendah pada isteri
dan prestasi lebih rendah pada keturunan bersumber sama yaitu sumber daya yang lebih
terbatas. Efeknya juga berlimpah pada masyarakat yang ahkirnya memiliki diskriminasi
gender.

Permasalahan
Penulisan ini ingin menjelaskan efek poligami pada masyarakat dan pada individu dan
masyarakat secara umum dan dangkal. Tujuanya untuk mengidentifikasi kerugian dan apa
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut sebagai pembuka diskusi lebih
dalam.

Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah desktriptif kuantitatif. Melalui berbagai sumber dan
media. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi penelitian kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati1.

Penelitian ini dilakukan di Jakarta pada 2022 sebab penulis tinggal disana. Teknik
pengumpulan data untuk penelitian ini sepenuhnya dilakukan dengan cara studi dokumentasi
yang dibuat oleh peneliti lain.

1
Bogdan dan Taylor, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja
Karya:1975
Pembahasan

Mengapa Poligami Terjadi


Pengucilan, tidak mampunya melahirkan keturunan, budaya, dan pandangan peran
wanita berdampak pada bagaimana poligami terjadi dalam suatu masyarakat. Di Bali
poligami terdapat dalam 10% rumah tangga2, dan beberapa wanita menganggapnya sebagai
hal positif sebab kewajiban rumah tangga dan membesarkan anak dapat dikerjakan secara
bersama-sama.

Kepercayaan budaya memiliki dampak besar terhadap pandangan masyarakat. Di bali


poligami juga dilihat sebagai cari untuk menyelamatkan wanita wanita tertentu sebagai
lanjang, atau untuk menyelamatkan nama keluarga melalui pernikahan. Dalam budaya bali
dilihat lebih baik berpoligami daripada merusak nama diri atau keluarga.

Kesuburan memiliki peran penting mengapa terdapatnya poligami. Hukum Indonesia


membenarkan poligami untuk berbagai alsan dan salah satunya adalah jika wanita tidak dapat
memperoleh keturunan. Alasan yang sama juga dapat digunakan untuk perceraian, maka
terdapat kasus dimana seorang wanita sebab takutnya dicerai memilih untuk membolehkan
suaminya mengambil isteri kedua.

Efek Positif Poligami

Efek positif dari poligami dapat pertama dilihat sebagai memajukan kesejahteraan
wanita. Wanita seringkali kurang diberdayakan secara ekonomis, dan dengan menikah
sumber daya suami dapat dibagikan pada istri. Dengan poligami pendapatan rumah tangga
juga dapat meningkat dan mengurangi kemiskinan dalam masyarakat.

Kedua poligami dapat dilihat membuat rumah tangga yang lebih stabil. Dengan
memiliki lebih dari satu istri berkurang kemungkinanya perzinaan dari suami. Jika terdapat
kecelakaan dan salah satu orang tua meninggal, dengan adanya poligami anak-anak tidak
menjadi yatim atau piatu.

Ketiga poligami dapat meningkatkan integrasi sosial dalam suatu masyarakat.


Poligami seringkali menyatukan tiga keluarga dalam suati masyarakat. Ikatan yang dibuat
melalui poligami mempromosikan keharmonisan dalam masyarakat.

2
Linden, Sheri, "'Bitter Honey' doesn't sugarcoat polygamy", Los Angeles Times:(2014)
(Diambil 28 December 2022)
Efek Negatif Poligami

Efek negatif pada poligami sangat besar. Anak dan wanita adalah yang paling
terdampak dalam masyarakat poligami. Efek ini terasa secra psikis, ekonomis, dan sosial.
Secara tidak langsung semua kerugian poligami akan ditanggung oleh masyarakat secara
luas.

Kekerasan rumah tangga juga dapat dilihat meningkat dalam perkawinan poligami
dibanding perkawinan monogami3. Walaupun ini seringkali istri memilih untuk tidak
melaporkan kekerasan tersebut sebab takut meninggalkan anak dan hilangnya status di
masyarakat. Dalam masyarakat poligami nilai seorang wanita sering terikat pada
pernikahanya dan peranya sebagai ibu, dan diasumsikan bahwa kebutuhanya akan
dikorbankan untuk kebutuhan keluarganya.4

Pernikahan poligami mendorong kompetisi antar istri. Beberapa terdorong untuk


memiliki anak sebanyak mungkin untuk mendapat lebih banyak sumber daya rumah tangga
untuk urusan pewarisan. Hal ini mendorong masyarakat masuk lebih dalam kemiskinan
bersamaan dengan beban beban lainya.

Pernikahan poligami juga menjadi beban untuk suami dan isteri. Suami mendapat
beban lebih berat sebab harus mempertahankan keluarga besar, dan wanita mengalami
kekersan psikis sebab martabatnya direndahkan. Hal ini menghasilkan anak anak yang kurang
diperhatikan . Orang tua mengalokasikan lebih sedikit uang dan waktu untuk pemeliharaan,
edukasi, dan perawatan penting lainya. Ahkirnya masyarakat juga yang menanggung bebanya
dari efek kurangnya pendidikan. Salah satu efek umum adalah pengunaan

Salah satu efeknya pada laki adalah kelangkaan wanita lajang. Poligami menghalang
laki laki muda berstatus renah untuk menikah sebab laki yang sudah lebih tua, kaya, dan
berstatus sudah mengambil lebih banyak wanita. Ini meningkatkan kompetisi dalam
masyarakat atas pandangan bahwa kekayaan menarik wanita. Ahkirnya kompetisi
meningkatkan kelakuan pidana dan masyarakat melihat meningkatnya pencurian,
pemerkosaan, pembunuhan, dan penculikan.

Efek Psikis Poligami

3
Al-Krenawi A, Lev-Wiesel R., Wife Abuse Among Polygamous and Monogamous Bedouin-Arab Families,
Journal of Divorce & Remarriage: 2002
4
Elbedour, Onwuegbuzie, Caridine & Abu-Saad, The effect of polygamous marital structure on behavioral,
emotional, and academic adjustment in children: a comprehensive review of the literature, Clin Child Fam
Psychol Rev.: 2002
Efek poligami pada istri dapat muncul dalam bentuk iri dan kompetisi atas pembagian
sumber daya rumah tangga yang tidak adil. Hal ini dapat mendorong kesakitan psikis pada
wanita yang menjalin hubungan tersebut. Penyakit atau gejala psikiatrik yang sering dialami
beragam dan dapat berupa dalam bentuk somatisasi, kecemasan, perendahan harga diri,
kesepian, gangguan ingatan, dan gangguan makanan. Hubungan poligami dapat berpengaruh
pada harga diri dan potensi yang lebih rendah sebab harus berkompetisi dengan wanita lain
untuk suaminya. Efek ini dilihat lebih berpengaruh pada istri senior.

Dalam budaya yang mempraktekan poligami mereka menanggung beban yang berat.
Mereka harus mengelola bugungan yang erat dan unik dengan lebih dari satu wanita. Mereka
harus meyakinkan dan memperhatikan kebutuhan rumah tangga. Memiliki tanggung jawab
ini memiliki beban stress yang tinggi. Dalam beberapa situasi suami meninggalkan istri
seniornya untuk istri junior. Dalam situasi tersebut yang ditinggal sering memiliki perasaan
duka dan terabaikan.

Dalam budaya yang mempraktekan poligami, anak tidak dibesarkan untuk


memandang diri sebagai individu otonom, melainkan terikat dengan komunitasnya. Terdapat
kekurangan dalam jumlah perhatian yang diterima setiap anak (secara khusus dari
pbapaknya) dan kurangnya tokoh panutan sebab konflik antara orang tua. Anak dari
pernikahan poligami diobservasi memiliki rasa iri, konflik, stress emosional, tegangan,
ketidakamanan, and kecemasan lebih tinggi dibanding keluarga monogami. Mereka juga
sering memiliki masalah dengan sikap dan memiliki prestasi lebih rendah yang mungkin
disebabkan oleh kurangnya sumber daya terbatas (waktu, uang, perhatian orang tua).

Diskriminasi Gender dan Poligami


Menurut Strauss, sebuah masyarakat poligami menimpa peraturan beratpada wanita5.
Wanita didorong dari tekanan religi, budaya, dan keluarga untuk menindaklanjutkan
pendidikan. Mereka terdorong untuk masuk pernikahan untuk mencapai kesejahteraan
ekonomis. Dorongan religi dan sosial juga terdapat untuk patuh pada suami dan tidak mencari
perceraian.

Strauss juga menjelaskan bahwa terdapat gender bias dan diskriminasi yang besar
antara masyarakat poligami. Mereka menerima suami dapat memiliki lebih dari satu istri,
tetapi melarangnya untuk suatu istri memiliki lebih dari satu suami.

Hal ini terdapat dalam hukum Indonesia pada UU 1 1974 tentang pernikahan, pasal 4.
Di dalam pasal tersebut dinyatakan boleh memiliki lebih dari satu isteri jika tidak
menjalankan kewajibanya sebagai isteri; memiliki cacat badan yang tidak dapat
disembuhkan; atau tidak dapat melahirkan keturunan. Hukum ini sudah membedakan sebab
tidak ada ketentuan yang sama jika seorang suami tidak menjalankan kewajibanya, memiliki
cacat badan, atau tidak dapat melahirkan keturunan.

5
Strauss, G., Is Polygamy Inherently Unequal?, SSRN:2012
Kesimpulan dan Saran
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah perubahan mengenai hukum poligami
yang sudah membedakan antar gender. Jika ditetapkan bahwa poligami masih tetap ada
kesetaraan bisa mulai didorong untuk mengubah bahasa yang digunakan agar tidak
diskriminatif terhadap satu gender. Seperti seorang istri dapat memiliki lebih dari suatu suami
dan juga hak anak yang lebih adil bagi yang melakukan perceraian dari pernikahan poligami.

Hal ini tidak dapat dilakukan jika pandangan masyarakat secara umum tentang peran
gender dalam masyarakat berubah. Selama didalam masyarakat tidak dijawab kesenjangan
antara wanita dan pria hal ini tidak dapat diatasi.

Maka dibutuhkanya program yang membantu masyarakat secara umum. Sebuah


pendidikan atau sosialisasi terhadap efeknya dapat memungkinkan lebih banyak masyarakat
untuk masuk/menolak pernikahan poligami dengan pengetahuan. Hal yang sama diiringi
program ekonomis juga akan mengurangi jumlah orang yang masuk pernikahan poligami
untuk kesejahteraan ekonomis.

Daftar Pustaka
● Al-Krenawi A, Lev-Wiesel R., Wife Abuse Among Polygamous and Monogamous
Bedouin-Arab Families, Journal of Divorce & Remarriage: 2002
● Elbedour, Onwuegbuzie, Caridine & Abu-Saad, The effect of polygamous marital
structure on behavioral, emotional, and academic adjustment in children: a
comprehensive review of the literature, Clin Child Fam Psychol Rev.: 2002
● Bogdan dan Taylor, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Karya:1975
● Sunaryo, A., POLIGAMI DI INDONESIA (SEBUAH ANALISIS
NORMATIF-SOSIOLOGIS), Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender Dan Anak: 2015
● Robert Lemelson, Bitter Honey [film], Elemental Productions:2014.
● Strauss, G., Is Polygamy Inherently Unequal?, SSRN:2012

Anda mungkin juga menyukai