Anda di halaman 1dari 7

ANALISA GENDER PADA MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN HUTAN DI KOTA DAN KABUPATEN BIMA

LOKASI DAMPINGAN PROGRAM BUCRACCE YRII – LP2DER


NOVEMBER 2022

I. PENDAHULUAN
Salah satu tujuan utama program Bucracce adalah membangun keadilan gender dalam pelaksanaan
pertanian ramah iklim melalui pemberdayaan dan memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki
maupun perempuan untuk berpartisipasi, memperoleh akses, melakukan control, dan mendapatkan
manfaat secara berimbang pada fasilitas microfinance syariah serta kegiatan-kegiatan lainnya. Artinya
merupakan suatu keniscayaan dalam pelaksanaan seluruh kegiatan Bucracce untuk mengintegrasikan
gender, mempertimbangkan kesetaraan/ keseimbangan peran, partisipasi, akses, manfaat, dan kontrol
masyarakat marginal tanpa ada perbedaan perlakuan bagi masyarakat laki-laki dan perempuan pada
seluruh komponen kegiatan program.
Analisa Gender yang telah dilakukan oleh LP2DER dengan dukungan IR betujuan untuk memotret dan
mendalami kondisi empiris dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi selama ini dalam
berbagai level interaksi mulai dari rumah tangga, masyarakat sampai pada level pemerintah. Dari hasil
Analisa gender diketahui ada ketimpangan gender yang terjadi pada tiga level tersebut.

II. METODOLOGI ANALISA GENDER


Metodologi dan alat analisa
Analisa Gender ini menggunakan analisa kwalitatif dengan metode pengumpulan data menggunakan Focus
Group Diskusi (FGD). Metode pengumpulan data tersebut dilaksanakan untuk menggali secara mendalam
interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pada level 1) rumah tangga, 2) masyarakat,
dan 3) pemerintah kelurahan/ desa.
Panduan FGD di design bersama antara personel LP2DER dan IR menggunakan alat Analisa Gender sebagai
berikut:
 Lima Bentuk Ketidak Adilan Gender – yang bertujuan untuk melihat bentuk-bentuk ketidak adilan
gender: 1) Marjinalisasi – Pemiskinan; 2) Subordinasi – Penomorduaan; 3) Stereotipe – Pelabelan; 4)
Kekerasan – Fisik, Psycklogis, Ekonomi, Seksual; 5) Multi Beban – Banyak Beban.
 Gender Analysis Pathway (GAP) untuk mendalami 1) Akses; 2) Partisipasi; 3) Manfaat; dan 4) Control.
Dengan kedua alat Analisa tersebut telah dilakukan identifikasi secara sistematis tentang isu-isu gender
yang disebabkan karena adanya perbedaan peran serta hubungan sosial antara kelompok gender
berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur, difable, strata ekonomi dan sosial. Ditemukan juga
kesenjangan, permasalahan yang ditimbulkan, dan perbedaan yang muncul sebagai akibat bias gender yang
terjadi pada level rumah tangga, sosial kemasyarakatan, dan keterlibatan masyarakat dalam program
pemerintah kelurahan/ desa.
Lokasi Analisa Gender
Analisa Gender dilaksanakan pada masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan yang masuk dalam
kelompok dampingan program Bucracce YRII – LP2DER di 10 wilayah Kota dan Kabupaten Bima.
Peserta FGD
Unsur peserta analisa terdiri dari laki-laki dan perempuan perwakilan anggota kelompok dampingan, istri-
istri anggota kelompok dampingan, perwakilan pemuda, dan tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda
penggerak masyarakat, aparat kelurahan/ desa yang termasuk dalam Gender Male Champion.
Jumlah peserta FGD sebanyak 395 orang yang terdiri atas 247 Laki-laki, dan 148 Perempuan dari 10 lokasi
dampingan program Bucracce YRII – LP2DER.
Waktu Analisa Gender
Studi Analisa Gender dilaksanakan pada 26 Juli s/d 14 Agustus 2022

III. TEMUAN LAPANGAN


Dalam proses analisa gender dengan pengumpulan data melalui FGD diperoleh beberapa temuan lapangan
tentang kejadian umum, testimoni, dan reaksi peserta FGD. Kejadian dan reaksi peserta disampaikan

Laporan Analisa Gender_Bucracce YRII – LP2DER


1
sebagai refleksi diri atas kondisi yang mereka alami dalam kehidupan di lingkungan keluarga, masyarakat
serta relasi masyarakat dengan pemerintah.
Secara umum temuan-temuan yang didapat yaitu:
1) Umumnya peserta setuju dan menyadari kondisi riil yang dialami yang terungkap lewat analisa
menggunakan tools analisa. Ketidak adilan gender yang mereka rasakan adalah adanya ketimpangan
relasi laki dan perempuan dalam pembagian jam kerja di rumah tangga, semua tugas rumah tangga
dibebankan pada istri/ perempuan, aktifitas di masyarakat lebih dominan laki-laki yang berpartisipasi
dan mengambil keputusan, aktifitas di pembangunan kelurahan/ desa laki sangat dominan
berpartisipasi dan mengambil keputusan, sehingga konsekwensi yang terjadi laki-laki lebih berkembang
dari perempuan dalam berbagai aspek.
2) Munculnya ungkapan refleksi dari peserta FGD bahwa selama ini tanpa sadar mereka telah melakukan
hal-hal yang tidak adil terutama dalam rumah tangga. Mereka kemudian berkomitmen untuk melakukan
perubahan kearah yang lebih baik.
3) Beberapa peserta yang terharu bahkan sampai menangis ketika bermain peran, metode analisa
menggambarkan kondisi kekerasan/ marginalisasi perempuan yang umum dialami selama ini di rumah
tangga, masyarakat, dan hubungan dengan pemerintah.
4) Dari berbagai pernyataan peserta, terbangun kesadaran pentingnya relasi yang setara antara laki-laki
dan perempuan, antara yang dominan dengan yang terpinggirkan selama ini.

IV. HASIL ANALISA GENDER


1) Bentuk-bentuk ketidak adilan gender pada level rumah tangga
Hasil Analisa kwalitatif data FGD ditemukan bentuk-bentuk ketidak adilan gender pada level rumah
tangga yaitu:
 Ditemukan kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh kepala keluarga laki-laki terhadap
perempuan dan anak. Kekerasan tersebut umumnya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, ketidak
terbukaan antara suami istri seperti hubungan laki-laki dengan wanita lain, peminjaman hutang oleh
ibu-ibu pada pihak keuangan informal (rentenir). Bentuk-bentuk kasus kekerasan yang ditemukan
berupa kekerasan fisik seperti pemukulan, dan tamparan. Kerasan psikis dalam bentuk bentakan dan
luapan amarah sudah lumrah mereka alami dan temukan. Ketika kondisi ini dilaporkan kepada
tokoh masyarakat dan apparat kelurahan/ desa, selalu dikatakan sebagai permasalahan internal
rumah tangga, pihak luar tidak baik dan tidak boleh ikut campur. Peserta menyadari ada
ketidakadilan yg lumrah terjadi secara turun temurun dengan perempuan & anak menjadi korban.
 Ditemukan proses pemiskinan. Mayoritas peserta FGD mengatakan mereka tidak mempunyai
tabungan untuk modal usaha pertanian, terutama untuk budidaya jagung mereka mengandalkan
kredit dari bank seperti BRI. Ternyata hasil usaha tani jagung mereka kurang menguntungkan,
sehingga tidak cukup digunakan untuk membiayai kehidupan rumah tangga. Banyak dari peserta
FGD terpaksa menjual asset seperti tanah dan rumah untuk mengembalikan hutang. Kondisi ini
memicu stress pada laki-laki dewasa sehingga memukul istri dan anak sebagai sasaran karena
mereka dianggap makhluk lemah dibawah suami/ ayah. Pembagian warisan antara anak laki-laki
dan perempuan didapati hitungan pembagian secara Syariah Islam yaitu 2/3 bagi anak laki dan 1/3
bagi anak perempuan. Sayangnya peserta FGD masih kurang dalam memahami tentang tanggung
jawab laki-laki dengan mendapatkan 2/3 bagian tersebut. Pemahaman yang lebih menerapkan hak
tetapi mengabaikan kewajiban dalam agama, menyebabkan perempuan (dewasa, remaja, dan anak)
jatuh kedalam pemiskinan yang sistematis.
Selanjutnya, karena kondisi ekonomi, pendidikan anak sering terabaikan, anak diikutkan untuk
membantu pekerjaan disawah dan ladang pada jam sekolah sebagai buruh tani tanpa upah oleh
orangtua, sehingga anak bolos sekolah dalam waktu yang cukup panjang. Jikapun ada biaya untuk
pendidikan anak, pilihan lebih diutamakan bagi anak laki-laki. Dari FGD ini juga muncul diskusi
bahwa upah tenaga kerja perempuan lebih rendah dari upah tenaga kerja laki-laki dalam satuan
kerja yang sama, misalnya upah buruh tani laki-laki rata-rata Rp. 100.000 per hari, sementara upah
buruh tani perempuan rata-rata Rp. 70.000 per hari. Para istri mengambil kredit dari rentenir untuk
menutupi biaya hidup rumah tangga, dan untuk biaya sekolah anak.

Laporan Analisa Gender_Bucracce YRII – LP2DER


2
 Pada semua FGD ditemukan multi beban pada perempuan (istri dan anak) seperti tugas mengurus
rumah tangga dengan menyiapkan semua kebutuhan anggota keluarga dan ikut membantu mencari
nafkah dengan bekerja sebagai buruh tani untuk menutupi beban biaya rumah tangga. Testimoni dari
istri petani jagung yang sedang hamil harus mengantar bekal untuk suami ke ladang dengan medan
berbukit, juga ikut membantu suami mengurus budidaya tanaman jagung di ladang. Dari pembagian
alokasi waktu kerja pertanian, pengasuhan anak dan mengurus lansia, serta jenis pekerjaan rumah
tangga lebih banyak dikerjakan oleh istri/ perempuan. Kondisi seperti ini yang mengakibatkan
perempuan pada posisi multi beban.
 Ditemukan Pelabelan pada istri/ perempuan. Bias pemahaman agama masih cukup kental
ditemukan pada 10 wilayah dampingan. Hasil FGD mengatakan bahwa sudah menjadi kodrat
istri/perempuan untuk mengurus semua urusan domestik seperti memasak, mencuci, bersih rumah,
dan mengasuh anak. Kodrat istri/ perempuan untuk mengurus segala keperluan anggota keluarga.
Pemahaman ini berdampak pada kondisi perempuan cenderung tidak memiliki waktu dan peluang
untuk berpartisipasi aktif dan menerima manfaat pada kegiatan sosial kemasyarakatan dan pada
pemerintahan kelurahan/ desa.
 Ditemukan Penomorduaan pada istri/ perempuan dan anak. Suami/ laki-laki dominan dalam
pengambilan keputusan penting menyangkut kelangsungan kehidupan rumah tangga. Pada posisi ini
istri/ perempuan hanya menerima apapun keputusan yang diambil oleh suami/ laki-laki, keputusan
suami sebagai kepala keluarga dianggap menjadi keputusan keluarga. Pandangan umum dalam
keluarga memposisikan laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan perempuan.
2) Bentuk-bentuk ketidak adilan gender pada level masyarakat
Hasil analisa, didapatkan bentuk-bentuk ketidak adilan gender pada level masyarakat yaitu:
 Kekerasan:
Mayoritas tokoh masyarakat dan aparat desa mengatakan bahwa pemukulan oleh suami terhadap
istri dan anak, juga oleh guru terhadap siswanya adalah bentuk “cara mengajar“ supaya ada efek jera.
Tokoh masyarakat dan tokoh agama beranggapan bahwa permasalahan dan atau perkelahian dalam
rumah tangga adalah urusan internal, pihak luar tidak baik dan tidak boleh ikut campur. Hasil FGD
tidak melihat ini sebagai sebuah relasi kuasa yang kuat berhak melakukan apa saja terhadap yang
lemah. Hardikan dan dampratan itu juga hal lumrah yang “mestinya tidak dibesar-besarkan” supaya
hidup ini aman. Namun beberapa tokoh yang masuk dalam gender male champion, justru
menganggap itu sebagai bentuk kekerasan fisik yang harus dilaporkan ke polisi. Meraka mengatakan
supaya bentuk-bentuk kekerasan fisik dan kekerasan batin (psikologis) perlu diminimalisasi bila
tidak mungkin di hentikan/ stop.
 Pemiskinan:
Hasil FGD secara umum mengatakan bahwa pada akhir-akhir ini perempuan mulai terlibat pada
kegiatan kemasyarakatan, meskipun masih dominan pada ranah domestik seperti menyiapkan
masakan dan minuman pada pertemuan kelompok tani/ pertemuan kampong, kegiatan memasak
dan membuat kue dari PKK, berperan aktif sebagai kader posyandu yang terkait dengan pengasuhan
anak dan lansia. Bentuk pemiskinan pengetahuan dan keterampilan bagi sebagian perempuan karena
tidak banyak terlibat dalam kegiatan social kemasyarakatan khususnya pada kegiatan-kegiatan
produktif yang memerlukan kekuatan fisik. Meskipun demikian perempuan dan anak (laki dan
perempuan) berperan aktif mengangkut batu, pasir, dan bata saat pembangunan masjid.
Dari penggalian dalam diskusi, peserta belum menyadari bahwa, tidak melibatkan perempuan dalam
diskusi sosial menyangkut hajat hidup orang banyak seperti air bersih, listrik, masjid, kegiatan
kelompok tani justru akan merugikan keluarga dan masyarakat secara umum. Misalnya, design pipa
air yang tidak menjawab kebutuhan mayoritas pemakainya (perempuan). Teknologi pertanian
seperti cara tanam, pemupukan yang seharusnya dipahami oleh perempuan karena mereka
mayoritas yang mengerjakannya. Pentingnya lampu jalan untuk keamanan anak perempuan mereka
ketika pulang mengaji malam hari. Belum adanya kesadaran bahwa tidak melibatkan dan
mengakomodir suara perempuan dalam pertemuan masyarakat akan merugikan masyarakat itu
sendiri.

Laporan Analisa Gender_Bucracce YRII – LP2DER


3
 Multi Beban:
Dari sudut pandang ibu-ibu, ada beban psikologis pada mereka ketika perempuan akan terlibat aktif
pada kegiatan social kemasyarakatan khususnya pada pertemuan untuk kegiatan-kegiatan produktif.
Sedangkan mereka juga tidak bisa meninggalkan beban kerja domestik dirumah. Multi beban ini
menjadi barrier perempuan untuk terlibat aktif pada kegiatan-kegiatan produktif social
kemasyarakatan. Kecenderungan umum perempuan mengurungkan niat, tidak mengambil
kesempatan untuk terlibat aktif pada kegiatan-kegiatan produktif social kemasyarakatan walaupun
sesungguhnya perempuan memiliki kapasitas untuk ikut aktif. Sehingga ada kecenderungan
perempuan yang ikut aktif dalam level kemasyarakatan adalah dari strata sosial yang mampu karena
mereka memiliki orang lain untuk membantu menyelesaikan kerja-kerja domestik.
Sedangkan dari pandangan tokoh masyarakat, yang memang tugas perempuan memang sebaiknya
kerja domestik di rumah. Kalau mereka mau ya silahkan saja yang penting kerja domestik dan
pengasuhan tidak ditinggalkan sebagai kodrat mereka yang utama. Tampak jelas disini tidak ada
pandangan untuk berbagi peran domestik untuk memberi akses perempuan aktif dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan.
 Pelabelan:
Temuan FGD, perempuan lebih banyak ikut serta dalam kegiatan social kemasyarakatan non
produktif yaitu ikut di kegiatan hajatan mengurus konsumsi. Ada beban psikologis yang menjadi
barrier bagi sebagian besar perempuan untuk terlibat aktif pada kegiatan produktif pada tingkat
sosial kemasyarakatan khususnya yang memerlukan kekuatan fisik. Di beberapa lokasi masyarakat
mencemooh perempuan yang bekerja menggunakan kekuatan fisik dengan ungkapan Bahasa Bima
“Siwe dende” “Saramone” (perempuan kelaki-lakian), dianggap kurang pantas untuk dikerjakan oleh
perempuan. Contoh jenis pekerjaan produktif laki-laki lebih dominan yaitu kegiatan pembangunan
sarana prasarana di lingkungan masyarakat, kegiatan pelatihan keterampilan pertanian, peternakan
dan perikanan.
 Penomorduaan:
Perempuan ada pada prioritas kedua untuk ikut serta dalam kegiatan social kemasyarakatan yang
produktif seperti pelatihan keterampilan pertanian, peternakan dan perikanan. Perempuan pada
umumnya akan diundang untuk hadir dan terlibat bila ada sisa kuota untuk memenuhi target jumlah
kepesertaan yang diharapkan. Kehadiran mereka lebih diharapkan untuk memenuhi jumlah
(kuantitas) bukan untuk kontribusi secara kualitas.
3) Bentuk-bentuk ketidak adilan gender pada level Pemerintah Kelurahan/ Desa
Cara pandang pemerintah kelurahan/ desa dominan diwarnai cara pandang umum yang terbentuk dari
cara pandang masyarakat dalam memposisikan perempuan pada posisi yang terpinggirkan lebih khusus
pada kegiatan-kegiatan pembangunan kelurahan/ desa yang produktif.
Hasil analisa, didapatkan bentuk-bentuk ketidak adilan gender pada level pemerintah kelurahan/ desa
yaitu:
 Kekerasan:
Ketika diskusi tentang bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan pada level rumah tangga, Sebagian
aparat desa mengatakan bahwa hal tersebut adalah urusan internal rumah tangga, namun sebagian
lagi berpendapat bahwa semua bentuk kekerasan atau KDRT dan Kekerasan di sekolah harus di
laporkan ke polisi. Kami dari aparat desa dan tokoh masyarakat seharusnya berfungsi sebagai
mediator. Tetapi karena pemahaman kami disini yang masih terbatas sehingga melihat kasus-kasus
kekerasan yang terjadi di masyarakat samar-samar saja. Peserta mengangkat contoh tentang
perdagangan para anak dibawah usia 17 tahun yang dipekerjakan sebagai buruh migran, aparat
pemerintah ikut terlibat melakukan kekerasan dengan memalsukan usia anak perempuan, para
aparat juga punya hubungan dekat dengan para calo TKW yang diketahui akan melakukan
perdagangan anak perempuan dari warganya.
 Pemiskinan:
Disampaikan bahwa terjadi pemiskinan pengetahuan, keterampilan, dan manfaat terhadap bantuan
bagi sebagian perempuan terutama perempuan dari keluarga miskin. Mereka tidak banyak dilibatkan

Laporan Analisa Gender_Bucracce YRII – LP2DER


4
dalam pertemuan, pelatihan serta kegiatan-kegiatan yang diorganisir oleh pemerintah kelurahan/
desa, khususnya pada kegiatan-kegiatan produktif yang mendatangkan finansial.
Pendekatan Pemerintah kelurahan/ desa dalam menentukan target penerima manfaat kegiatan
dirasakan ada ketidak adilan, memilih target penerima manfaat bukan berdasarkan indikator yang
semestinya. Pemilihan penerima manfaat, keterlibatan dalam pertemuan sensus penduduk,
pelatihan-pelatihan, ditentukan lebih berdasarkan kedekatan hubungan kekerabatan dan kesamaan
pandang politik, sehingga ada proses pemiskinan pada masyarakat yang selama ini terpinggirkan,
orang miskin semakin miskin karena kurangnya dukungan dari pemerintah kelurahan/ desa.
Misalnya bantuan Beras Miskin, BLT, PKH, BST yang seharusnya diutamakan bagi masyarakat miskin,
janda, lansia. Namun dalam realita pembagian berdasarkan kedekatan hubungan diatas. Pada
akhirnya, perempuan miskin yang paling merasakan kondisi pemiskinan ini.
 Multi Beban:
Perempuan lebih banyak dilibatkan pada kegiatan-kegiatan praktis seperti hadir pada pertemuan-
pertemuan kelurahan/ desa, yang cukup banyak menyita waktu kerja perempuan. Namun
perempuan tidak banyak dilibatkan pada kegiatan-kegiatan strategis seperti kelompok tani,
pengembangan usaha kecil yang kira-kira dapat membantu meringankan beban biaya rumah tangga
serta pendidikan anak. Hal ini sebagai barrier, ada kecenderungan umum perempuan mengurungkan
niat, tidak mengambil kesempatan untuk terlibat aktif pada kegiatan-kegiatan pragmatis yang
diorganisir pemerintah kelurahan/ desa walaupun sesungguhnya perempuan memiliki kapasitas
untuk ikut aktif.
 Pelabelan:
Perempuan lebih banyak ikut serta dalam kegiatan yang tidak memerlukan kekuatan fisik, dan
cenderung untuk dilibatkan pada kegiatan yang non produktif seperti pelatihan keterampilan
pertanian, peternakan dan perikanan. Anggapan yang masih melekat dan dominan dalam diskusi
dikatakan bahwa kegiatan-kegiatan pembangunan yang diorganisir pemerintah kelurahan/ desa
sebenarnya lebih cocok bagi laki-laki bukan untuk ibu-ibu gender. Lebih jauh aparat desa
menjelaskan, namun kami mulai menerima masukan-masukan dari beberapa proyek seperti proyek
air bersih PAMSIMAS, proyek Kota-Ku, proyek DRR Oxfam-LP2DER, Proyek Bucracce YRII-LP2DER,
supaya melibatkan minimal perempuan sejak awal sampai akhir proyek. Namun terkadang
perempuan ini yang sulit untuk dilibatkan. Diundang tidak datang, namun bila tidak diundang
mereka protes. Mereka juga mengatakan, bahwa melibatkan perempuan Bima dalam kegiatan-
kegiatan di kelurahan/desa memang membutuhkan banyak tantangan baik dari pihak bapak-bapak
maupun juga pihak perempuan itu sendiri.
 Penomorduaan:
Keputusan-keputusan penting dalam rapat-rapat pembangunan kelurahan/ desa masih didominasi
laki-laki. Anggota LPM, Ketua Karang Taruna, Ketua TSBK/ TSBD, Ketua RW, Ketua RT, Kepala Dusun
masih dominan dijabat laki-laki. Karena posisi kepemimpinan masih mayoritas laki-laki maka
leadership dan control juga oleh laki-laki. Unsur-unsur tersebut diatas menentukan berbagai
keputusan yang ada di kelurahan dan desa (sumber: gender male champion). Perempuan di Kota dan
Kabupaten Bima membutuhkan perjuangan yang cukup panjang untuk bisa setara dalam hal
pengambilan keputusan dan control di daerah ini.
Menggali lebih jauh tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak serta kasus-kasus lainnya
yang di alami oleh perempuan dan anak, dilakukan diskusi dengan staf Dinas Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Kota Bima dan Ketua Lembaga Perlindungan Anak, didapati kasus yang terjadi
tahun 2021 sebagai berikut:
 Kekeraran terhadap perempuan di Kecamatan Rasanae Timur ada 30 kasus, Kecamatan Raba ada 25
kasus, Kecamatan Mpunda ada 12 kasus, Kecamatan Rasanae Barat ada 25 kasus, kecamatan Asakota
ada 18 kasus. Kasus KDRT mendominasi dari sekian jenis kasus yang terjadi, disamping itu ada
kasus penghinaan, kasus perzinahan, kasus narkoba dan kasus penipuan.
 Kekerasan terhadap anak didapati jumlah kasus sebanyak 97 kasus, dengan jenis dan sebaran kasus
berdasarkan kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Rasanae Timur 20 kasus kekerasan seksual dan kekerasan fisik;

Laporan Analisa Gender_Bucracce YRII – LP2DER


5
2. Kecamatan Raba 23 kasus kekerasan fisik dan kekerasan seksual;
3. Kecamatan Mpunda 14 kasus IT, senjata tajam dan narkoba;
4. Kecamatan Rasanae Barat 26 kasus kekerasan seksual, kekerasan Fisik, Narkoba dan
penelantaran;
5. Kecamatan Asakota 14 kasus kekerasan fisik dan senjata tajam.

V. AKSES, PARTISIIPASI, MANFAAT, KONTROL


Hasil analisa relasi antara laki-laki dan perempuan dalam 3 level (rumah tangga, masyarakat, pemerintah)
adalah sebagai berikut:
 Akses: laki-laki lebih awal mendapatkan informasi penting yang berkaitan dengan rumah tangga
dibandingkan perempuan. Contoh: informasi kesuksesan dan masalah yang dihadapi rumah tangga
target utama pemberi pesan yang disasar penerima informasi pertama adalah laki-laki setelah itu baru
perempuan. Kegiatan yang bersifat produktif (contoh: kegiatan pembangunan dari kelurahan/ desa)
laki-laki lebih dominan mendapatkan akses dibandingkan perempuan. Seringkali informasi yang
datang ditujukan secara spesifik (tertulis nama) untuk laki-laki. Terkait informasi kegiatan yang
bersifat sosial/ non produktif seperti acara hajatan, laki-laki dan perempuan memiliki akses yang
sama. Perempuan mengakses informasi pembangunan secara khusus pada beberapa kegiatan spesifik
yang memang mengkhususkan perempuan sebagai partisipan.
 Partisipasi: laki-laki lebih dominan mengambil peran dibanding perempuan pada berbagai kegiatan
kemasyarakatan, pemerintah serta oleh pihak luar, kalaupun perempuan diberikan ruang dan peluang
untuk berpartisipasi lebih untuk memenuhi jumlah quota, atau karena kegiatan menghususkan perlu
ada keterwakilan perempuan, kehadiran perempuan cenderung bukan sebagai partisipan utama. Hal
ini terjadi karena adanya anggapan yang masih kuat yaitu laki-laki lebih utama untuk berkembang
pengetahuan dan keterampilannya karena laki-laki sebagai kepala keluarga, kedudukan laki-laki lebih
tinggi dan lebih mampu serta tidak ada barrier untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Kalaupun
pilihan partisipasi kepada anak maka anak laki-laki dewasa lebih utama berpartisipasi dibandingkan
anak perempuan. Kegiatan sosial kemasyarakatan non produktif seperti acara hajatan laki-laki dan
perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk ikut serta.
 Manfaat: ada ketimpangan relasi terkait manfaat, dimana laki-laki mendapatkan manfaat lebih besar
dibandingkan perempuan karena lebih dominan mengakses informasi, lebih dominan mengambil
kesempatan berpartisipasi pada berbagai kegiatan kemasyarakatan, pemerintah dan pihak luar
terutama pada kegiatan produktif.
 Kontrol: ada ketimpangan relasi terkait control, dimana dalam pengambilan keputusan penting
tentang rumah tangga lebih dominan diputuskan oleh laki-laki, pada posisi ini perempuan hanya
menerima apapun keputusan yang diambil oleh laki-laki dan dianggap menjadi keputusan keluarga/
bersama. Contoh keputusan tentang pembagian hak waris, jenis usaha keluarga, pendidikan anggota
keluarga. Demikian juga pada kegiatan kemasyarakatan dan pembangunan kelurahan/ desa laki-laki
lebih dominan mengontrol karena laki-laki dominan menempati posisi penting di organisasi
kemasyarakatan yaitu Lurah, Kades, Ketua LPM, Ketua Karang Taruna, ketua RT, ketua RW, Kepala
Dusun, Kepanitian dan organisasi lain hampir semuanya adalah laki-laki. Kebijakan-kebijakan yang
diputuskan jika ditelisik tidak mencerminkan keberpihakan pada perempuan dan kelompok
termarginalkan.

VI. KESIMPULAN DAN SOLUSI


1) KESIMPULAN
1.1. Bentuk-bentuk ketidak adilan gender pada level rumah tangga terjadi disebabkan karena
adanya pemahaman yang masih kuat bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga, dan sudah
menjadi kodrat perempuan untuk mengurus rumah tangga dan anak. Kalaupun mencari nafkah
dibidang pertanian atau usaha kecil, sifatnya sebagai pembantu suami. Laki-laki lebih berhak
atas perempuan dalam banyak hal, misalnya kepemilikan asset, penentuan jenis tanaman, dan
pendidikan bagi anggota keluarga karena yang mencari nafkah adalah laki-laki, maka semua
keputusan dan control ada ditangan laki-laki.

Laporan Analisa Gender_Bucracce YRII – LP2DER


6
1.2. Bentuk-bentuk ketidak adilan gender pada level masyarakat terjadi disebabkan masih kuatnya
stereotype tentang perbedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang berkembang dalam
masyarakat atau peran produktif, dan peran sosial kemasyarakatan selalu di dominasi laki-laki.
Sedangkan peran reproduksi serta kerja domestik menjadi kodrat perempuan.
1.3. Bentuk-bentuk ketidak adilan gender pada level pemerintah kelurahan/ desa terjadi disebabkan
ketidak berpihakan dalam merumuskan kebijakan dan menjalankan kebijakan pemerintah
pusat dengan tidak responsive gender terkait sosial, ekonomi dan lingkungan.

2) SOLUSI
2.1. Pada level rumah tangga
Kegiatan penyadaran dan kesetaraan gender dengan melakukan deep interview secara mendalam
melibatkan seluruh anggota rumah tangga tentang pentingnya relasi secara berimbang antara
laki-laki dan perempuan.
2.2. Pada level masyarakat
1) Memberikan ruang dan peluang yang setara laki-laki dan perempuan untuk mengakses
informasi, berpartisipasi, mendapatkan manfaat dan mengambil keputusan, serta melakukan
kontrol pada kegiatan sosial kemasyarakatan dan kerja-kerja produktif.
2) Membangun kesepakatan bersama untuk memberikan upah kerja yang sama bagi perempuan
dan laki terhadap satuan pekerjaan yang sama.
2.3. Pada level Pemerintah
1) Membuat kebijakan yang memastikan kesempatan yang sama dan berimbang bagi laki-laki
dan perempuan mendapatkan informasi, berpartisipasi, menerima manfaat dan mengambil
keputusan dalam pembangunan.
2) Tindakan khusus positif/ affermatif action untuk melibatkan perempuan serta remaja laki dan
perempuan pada setiap proses kegiatan praktis dan strategis.
3) Perlu ada peraturan level kelurahan/ desa untuk upaya stop KDRT, perdagangan anak lewat
buruh migran dan pekerja buruh anak.
4) Pendidikan anak laki dan anak perempuan perlu dibuatkan peraturan level kelurahan/ desa
dan kemasyarakatan (seperti awig-awig) untuk wajib sekolah 13 tahun.
2.4. Pada level LP2DER
1) Memastikan kesempatan yang sama bagi staf laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan
informasi, berpartisipasi, menerima manfaat dan mengambil keputusan.
2) Memberikan kesempatan yang sama bagi staf laki-laki dan perempuan untuk menempati
posisi strategis dalam struktur lembaga dan program.
3) Mengkampanyekan gerakan penyadaran dan kesetaraan gender pada level rumah tangga,
masyarakat dan pemerintah.
2.5. Pada level lembaga mitra/ donor
1) Internalisasi kebijakan pengarus utamaan gender dalam setiap kegiatan program.
2) Melibatkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan
Perempuan dan Anak pada setiap tahapan kegiatan program, sehingga issu-issu level
masyarakat lebih diperhatikan pemerintah dan mempercepat penanganan.

Laporan Analisa Gender_Bucracce YRII – LP2DER


7

Anda mungkin juga menyukai