Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seks bebas pada remaja adalah perilaku seksual yang dilakukan tanpa adanya

ikatan pernikahan, seks bebas pada remaja biasa di sebut juga dengan perilaku seks

pranikah remaja. Seks pranikah pada remaja merupakan fenomena yang semakin

marak terjadi di berbagai negara salah satunya di Indonesia. Menurut WHO rentang

usia remaja yang melakukan seks pranikah berkisar antara 13 sampai 17 tahun. Pada

usia ini, remaja memasuki masa produktif dan usia subur artinya remaja secara

fisiologis telah mencapai kematangan organ-organ reproduksi, baik remaja laki- laki

maupun remaja wanita. Pengalaman seksual dikalangan remaja biasanya terjadi

dalam konteks hubungan pacaran karena pacaran akan menghadapkan remaja dengan

kondisi yang meningkatkan pengalaman seksual mereka (Rahmawati & Devi, 2016).

Perkembangan emosi pada masa remaja di tandai dengan sifat emosional yang

meledak-ledak dan sulit dikendalikan. Hal ini disebabkan adanya konflik peran yang

sedang di alami. Dengan batas usia remaja menurut Mentri kesehatan RI antara 10

tahun sampai 19 tahun. Jika seseorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi ini,

maka remaja akan terperangkap masuk dalam hal negatif, salah satu diantaranya

perilaku seks pranikah. (Wartati, 2012).

Keluarga adalah tempat belajar anak yang pertama kali. Begitu pula tentang

seksualitas, masyarakat percaya bahwa pendidikan seks paling baik didapat dari

rumah. Sayangnya, terkadang orang tua tidak membicarakan tentang seksualitas di

rumah. Jika terdapat orang tua yang membicarakan tentang seksualitas di rumah,

sebatas penjelasan mengenai pertumbuhan dan pengembangan remaja. Peranan orang

1
tua sangatlah penting dalam memberikan pendidikan seks kepada anak remaja, orang

tua pun harus memberikan informasi tentang seks bebas ini dengan benar. Selain itu

para remaja juga membutuhkan konseling seks dari tenaga kesehatan atau psikolog

lainya. Konseling seks akan memberikan informasi tentang seks dan alat-alat

reproduksi kepada para remaja sehingga remaja dapat mengerti tentang dampak dari

melakukan seks pranikah (Susanti, 2008). Batas usia pernikahan di Indonesia

berdasarkan aturan pasal 7 ayat 1 Undang-undang nomor 16 tahun 2019 adalah

minimal 19 tahun baik perempuam maupun laki-laki (KUA- Kompas.com) Remaja

yang semakin sering melakukan seks pranikah akan mengalami dampak buruk dari

segi fisik maupun dari segi psikologi yaitu timbulnya penyakit kelamin seperti

syphilis, HIV AIDS, kehamilan yang tak diinginkan, kelahiran anak-anak di luar

nikah, penguguran kandungan yang disengaja, pelanggaran aturan-aturan

konvensional, rasa bersalah yang sangat kuat dan perbandingan yang tidak

menyenangkan dengan pengalaman seksual masa lalu ( David Mace dalam Seks dan

Kita, 1997: 28-29).

Fenomena ini juga mulai melanda remaja di kota Larantuka terkhususnya remaja

di desa Wailolong. Desa ini terletak di pingiran kota Larantuka Kecamatan Ile

Mandiri Kabupaten Flores Timur. Dimana tak sedikit remaja di desa ini yang masih

berusia di bawah 19 hamil di luar nikah dan tak sedikit pula pasangan remaja yang

tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, akibatnya putus sekolah ataupun di

keluarkan dari sekolah (drop out). Hal ini dibuktikan dengan data awal yang

ditemukan peneliti berkaitan dengan remaja yang hamil diluar nikah diantaranya

2
yang masih berusia di bawah 19 tahun, data diperoleh dari pembukuan posyandu di

Desa Wailolong.

Tabel .1.1 Data remaja yang hamil di bawah usia 19 tahun

No Tahun Jumlah Remaja Yang Hamil

1 2018 4 orang

2 2019 3 orang

3 2020 7 orang

4 2021 12 orang

Sumber: Buku Posyandu Desa Wailolong

Dari tabel diatas bisa di jelaskan bahwa jumlah remaja putri yang hamil di luar

nikah dan berusia dibawah 19 tahun di Desa Wailolong Kecamatan Ile Mandiri

Kabupaten Flores Timur dari empat tahun terakhir ini mengalami perubahan yang

cukup signifikan. Bertolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Peranan Keluarga

dalam Pengendalian Sosial untuk Mencegah Seks Bebas di Kalangan Remaja di

Desa Wailolong Kecamatan Ile Mandiri Kabupaten Flores Timur.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

“Bagaimana Peranan Keluarga dalam Pengendalian Sosial untuk Mencegah Seks

Bebas di Kalangan Remaja di Desa Wailolong” ?

3
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana

Peranan Keluarga dalam Pengendalian Sosial Untuk Mencegah Seks Bebas di

Kalangan Remaja terkhususnya di Desa Wailolong?

1.4. Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoritis

a) Sebagai sumbangan referensi bagi dunia akademik dalam upaya memperkaya

ilmu pengetahuan dan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

b) Memberikan pemahaman bagi pembaca mengenai peran keluarga dalam

pengendalian sosial untuk mencegah terjadinya seks bebas dikalangan remaja.

2) Manfaat Praktis

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pelengkap

bagi penulisan hal-hal yang berkenaan dengan pentinganya pendidikan seks,

keluarga, dan agama serta diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi

masyarakat.

b) Melalui penelitian ini, penulis memperoleh lebih banyak pengetahuan baru

khususnya pengetahuan tentang pentingnya peran keluarga dalam

pengawasan atau pengendalian sosial untuk mencegah terjadinya seks

bebas dikalangan remaja

c) Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk para pembaca

dalam menambah wawasan pengetahuan

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu


 Peranan Keluarga Dalam Upaya Pencegahan Perilaku Seks Pranikah

Remaja di Pelembang (Nur Alam fajar. 2019)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran fungsi keluarga dalam

upaya mencegah seks pranikah remaja di kota Palembang , penelitian ini

merupakan studi kausal kompratif, subjek yang di gunakan adalah siswa-

siswi dari SMA dan SMK Swasta yang ada di kota Palembang.

Persamaan dalam penelitian ini adalah sama- sama meneliti tentang

peranan keluarga terhadap pencegahan seks bebas dan seks pranika pada

remaja. Perbedaan dalam penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Nur

Alam fajar adalah Peranan Keluarga Dalam Upaya Pencegahan Perilaku

Seks Pranikah Remaja serta lokasi penelitiannya berbeda. Sedangkan yang

menajadi fokus penelitian sekarang adalah “ Perana n Keluarga Dalam

Pengendalian Sosial Untuk Mencegah Seks Bebas Di Kalangan Remaja di

Desa Wailolong Kecamatan Ile Mandiri Kabupaten Flores Timur.

 Peranan Ibu Dalam Menanamkan Nilai Moral Untuk Mencegah Terjadinya

Seks Bebas Di Kalangan Remaja Pada SMA Angkasa Adisutjipto

Yogyakarta (Socha Ludira, 2012)

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman ibu tentang

pendidikan seks bagi remaja untuk mencegah terjadinya seks bebas pada

remaja SMA Angkasa Adisutjipto Yogyakarta. Peranan ibu dalam

5
menanamkan nilai moral bagi remaja untuk mencegah terjadinya seks bebas

pada remaja SMA Angkasa Adisutjipto Yogyakarta. Pendekatan dalam

penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan subjek ibu siswa-

siswi SMA Angkasa Adisutjipto Yogyakarta. Hasil penelitian ini kemudian

memberikan kontribusi pada penulis sebagai bahan referensi lebih lanjut

tentang pentingnya pendidikan seks di kalangan remaja untuk mencegah

terjadinya seks bebas dan bahaya-bahaya dari seks bebas.

Adapun kesamaan dan perbedaan antara penelitian terdahulu dan

sekarang adalah sama- sama mengkaji tentang bagaimana menanamkan

nilai moral untuk mencega terjadinya seks bebas di kalangan remaja.

Perbedaanya adalah penelitian terdahulu lebih fokus pada peranan ibu

sedangakan penelitian sekarang mengkaji tentang peranan keluarga

dalam pengendalian sosial untuk mencegah seks bebas di kalangan

remaja. Serta berbeda pada lokasi penelitian.

 Analisis Kualitatif Perilaku Seks Bebas Pada Remaja Di Kabupaten

Lebak ( Kadar Kuswandi, Ismiyati, Darti Rumiatun, 2019.)

Penelitian ini mengkaji tentang pentingnya pendidikan kesehatan

seksual dan reproduksi pada remaja. Metode penelitiannya merupakan

penelitian kualitatif dengan pendekatan grounded theory. Subjek

penelitian atau partisipan dalam penelitiasn ini adalah pemegang program

kesehatan reproduksi remaja di dinas kesehatan, BKKBN tingkat

kabupaten, dan puskesmas, serta kelompok remaja. Pengetahuan remaja

tentang seks cukup baik. Namun, permasalahan seks bebas di wilayah ini

6
masih sangat banyak. Untuk membantu mengatasi maslah tersebut tidak

hanya dari remajanya tetapi juga dibutuhkan kerjasama dari orang tua

atau keluarga.

Persamaan penelitian ini sama- sama membahas tentang

pentingnya pendidikan seks di kalangan remaja dan bahaya seks bebas

serta cara mengatasinya dengan kerja sama orang tua atau keluarga.

Sedangkan perebedannya adalah lokasi penelitian.

2.2. Penjelasan Konsep

2.2.1 .Peranan Keluarga

a. Pengertian Peranan Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala

keluarga (Ayah) dan anggota keluarga (Ibu dan anak- anak). Menurut Duvall

(1976). Keluarga disebut juga sekumpulan orang yang berhubungan, seperti

hubungan perkawinan, adopsi, kelahiran yang tujuannya menciptakan dan

mempertahankan budaya umum, sosial dan emosional anggota, meningkatkan

perkembangan mental dan fisik. Keluarga adalah rumah tangga yang memiliki

hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggarakannya fungsi-

fungsi instrumental mendasar dan fungsi- fungsi ekspresif keluarga bagi para

anggotanya yang berada dalam suatu jaringan (Lestari. 2012:6). Keluarga

berperan membina dan membimbing anggota-anggotanya untuk beradaptasi

dengan lingkungan budaya dimana ia berada. Bila semua anggota sudah mampu

berdaptasi dengan lingkungan tempat tinggal, maka kehidupan masyarakat akan

tercipta menjadi kehidupan yang tenang, aman dan tentram.

7
Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting di dalam

masyarakat. Keluarga merupakan sebuah kelompok yang terbentuk dari

hubungan antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung lama untuk

menciptakan dan membesarkan anak. Jadi keluarga dalam bentuk murni

merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak- anak.

Keluarga juga terdiri dari beberapa tipe atau bentuk keluarga (Sudiarto,2007).

Serta memiliki beberapa fungsi keluarga ( Friedman, 1998). Adalah sebagai

berikut

b. Tipe/ bentuk Keluarga

1) Keluarga inti ( nuclear family), adalah keluarga yang di bentuk karena

ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suami, istri, dan

anak- anak, baik karena kelahiran ( natural) maupun adopsi.

2) Keluarga asal ( family of origin), merupakan suatu unit keluarga tempat

asal seseorang dilahirkan.

3) Keluarga besar ( Extended family) adalah keluarga inti di tambah keluarga

yang lainya ( karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman

dan sepupu

4) Keluarga berantai ( sosial family) adalah keluarga yang terdiri dari wanita

dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan suatu keluarga

inti.

5) Keluarga duda dan janda adalah keluarga yang terbentuk karena perceraian

dan kematian pasangan yang dicintai.

8
c. Fungsi Keluarga

1) Fungsi Sosialisasai yaitu sosialisasi di mulai sejak lahir keberhasilan

individu dan keluarga di capai melalui interaksi atau hubungan antar

anggota. Anggota keluarga belajar disiplin, belajar norma, budaya dan

prilaku melalui hubungan interalsi dalam keluarga.

2) Fungsi Reproduksi yaitu keluarga berfungsi meneruskan keturunan dan

menambahkan sumber daya manusia.

3) Fungsi Ekonomi yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

seluruh keluarga seperti kebutuhan makan, minum, pakain, dan tempat

tinggal, dll.

4) Fungsi Keperawatan Kesehatan yaitu kesanggupan keluarga untuk

melakukan pemeliharaan kesehatan yang terdiri atas : Keluarga mengenal

masalah kesehatan, keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat

untuk mengatasi masalah kesehatan, keluarga mampu merawat anggota

keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

Berdasarkan pengertian keluarga dan peranan keluarga di atas, dapat

disimpulkan bahwa keluarga adalah kelompok masyarakat yang terdiri dari dua

tau lebih individu yaitu ayah, ibu dan anak yang hidup dalam satu rumah tangga

karena adanya hubungan darah, perkawinan, selain itu keluarga juga seperti

rumah bagi kita, tempat dimana kita bisa berbagi keluh kesah, dan juga canda

tawa serta setiap individu memiliki peranan masing - masing yang saling

melengkapi satu sama lain.

9
2.2.2. Pengendalian Sosial

Soekanto dalam sosiologi (1990: 226-227), Pengendalian sosial

merupakan proses yang dijalankan oeleh masyarakat yang selalu disesuaikan

dengan nilai dan norma yang berlaku didalam sebuah masayarakat yang saling

berinteraksi. Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu kepada individu

lainya. Melalui pengendalian sosial, remaja yang merupakan yang merupakan

bagian dari masyarakat dapat menginternalisasikan atau menghayati norma-

norma, nilai-nilai yang ada di masyarakat sehingga keinginan untuk melanggar

nilai tersebut diharapkan dapat diminimalisir. Tetapi pada kenyataannya tidak ada

satupun sistem pengendalian sosial yang dapat berfungsi secara sempurna.

Meskipun bentuk dan frekuensi timbulnya sikap non- konformis pada setiap

masayarakat yang memiliki perbedaaan, tetapii pada semua masyarakat selalu saja

terdapat beberapa orang yang tidak berperilaku sebagaimana yang diharapkan.

Pengendalian sosial itu sendiri memiliki dua sifat dan dapat dilakukan

melalui dua cara. Adapun sifat dari pengendalian itu adalah :

1. Preventif merupakan sifat pengendalian sosial yang mencegah terjadinya

perilaku menyimpang di dalam sebuah masyarakat.

2. Represif merupakan sifat pengendalian sosial yang mengembalikan

keserasian didalam masyarakat dengan menjatuhkan sanksi baik secara

hukum maupun atau moral kepada individu yang melanggar norma-norma

yang berlaku didalam masyarakat

Pengendalian sosial juga dapat dilakukan melalui dua cara , yaitu :

10
1. Persuasif yaitu pengendalian sosial yang dilaksanakan dengan cara norma-

norma yang berlaku sehingga tercipta suatu masyarakat yang tentram dan

damai

2. Coersive yaitu suatu pengendalian sosial yang dilaksanakan dengan cara

memaksa anggota masyarakat yang menyimpang. Hal ini cenderung terjadi

di kota besar yang kehidupannya bersifat heterogen

Tujuan dari adanya pengendalian sosial adalah untuk mencapai keserasian antara

stabilitas dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau sebagai alat untuk

mencapai keadaan damai di dalam masyarakat melalui keserasian. Pegendalian

sosial dapat dilakukan didalam lingkungan terkecil di dalam masyarakat yaitu

keluarga. Di dalam keluarga setiap anggota keluarga memiliki kewajiban untuk

menjadi pengontrol antara satu dengan yang lain agar tidak melanggar norma-

norma di dalam masyarakat yang memiliki kekuatan yang mengikat, diantaranya

adalah :

a. Cara (usage) : suatu bentuk norma yang merujuk pada suatu bentuk

perbutan

b. Kebiasaan (folkways) : merupakan suatu perbuatan yang diulang-ulang yang

sama

c. Tata kelakuan (mores) : merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara

berperilaku dan diterima norma-norma pengatur. Mores merupakan alat

pengawasan perilaku anggota masyarakat. Siapapun yang melanggar akan

dihukum oleh anggota masyarakat, jadi mores berguna untuk memberikan

11
batas perilaku yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dan

menjaga keutuhan dan kerjasama serta soldaritas antar anggota masyarakat.

d. Norma (costom) : merupakan alat yang sudah kekal dan bila dilanggar akan

ada sanksi yang tegas.

Dalam sebuah keluarga, orang tua memiliki peran yang besar dalam

menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pengontrol semua tingkah laku

anggota keluarganya terutama anak-anaknya. Penetapan peraturan yang berisi

tentang tata tertib berperilaku baik di dalam keluarga maupun di lingkungan di

luar keluarga dan adanya komunikasi yang terjadi antara anggota masyarakat

dapat dijadikan sebagai bagian dari proses pengendalian sosial.

2.2.3. Remaja

Koes Irianto (2010: 1) orang banyak menyebut masa remaja dengan istilah

puber, istilah puber berasal dari kata pubertas yang berasal dari bahasa Latin yaitu

adolesensi yang artinya masa remaja dan pubertas itu sendiri mengandung arti

jenjang kematangan fisik. Menurut WHO remaja adalah seseorang yang berada

pada usia 10- 24 tahun sedangakan batas usia remaja menurut Mentri Kesehatan

RI tahun 2010 antara 10 sampai 19 tahun, hal ini didasarkan atas kesehatan remaja

yang mana kehamilan pada usia- usia tersebut memang mempunyai resiko lebih

tinggi dari pada kehamilan dalam usia- usia diatasnya. Menurut P. Hall Mussen

(1994: 478) masa remaja merupakan masa topan badai, dimana pada masa

tersebut timbul gejolak dalam diri karena pertentangan nilai akibat kebudayaan

yang semakin modern. Batasan usia untuk remaja (adolesensi) menurut Hall

antara usia 12- 25 tahun. Masa remaja merupakan masa peralihan antara kanak-

12
kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual

yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun yaitu menjelang masa

dewasa muda (Soetjiningsih. 2004:45). Fase remaja merupakan sekmen

perkembangan individu yang sangat penting, yaitu diawali dengan matangnya

organ-organ fisik (seksual) sehinggah mampu berreproduksi (Syamsu Yusuf

.2004:184). Menurut Hurlock (1999:206) masa remaja adalah masa peralihan dari

anak-anak menuju dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial

dan fisik.

Masa remaja digolongkan menjadi tiga tahap yaitu :

1. Masa Pra Remaja : 12-14 Tahun, yaitu periode sekitar kurang lebih dua thun

sebelum terjadinya pemasakan seksual yang sesungguhnya tetapi sudah

terjadi perkembangan fisiologi yang berhubungan dengan kemasakan

beberapa kelenjar endokrin.

2. Masa Remaja Awal : 14-17 Tahun, periode dalam rentang perkembangan

dimana terjadi kematangan alat-alat seksual dan tercapai kemampuan

reproduksi.

3. Masa Remaja Akhir ; 17-21 Tahun, tumbuh menjadi dewasa yang mencakup

kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

remaja adalah individu yang sedang mengalami masa peralihan dari masa kanak-

kanak ke masa dewasa yang dalam rentanganya terjadi perubahan pada aspek

fisik, psikologi, dan sosialnya, sedangkan rentang usia pada masa remaja tersebut

adalah antara 12- 21 tahun. Remaja secara sosiologis merupakan peralihan antara

13
masa anak berusia 11 sampai 24 tahun. Perubahan penting dapat dicirikan pada

fungsi inteligensi anak, perubahan mengenai identitas diri sebagai persiapan

memasuki masa dewasa. Remaja dalam masa perkembangan umumnya memiliki

rasa ingin tahu yang kuat dan kerap kali belum dapat mengendalikan emosinya.

Hal ini tampak pada diri mereka yang mudah terpengaruh pada permasalahan

yang timbul disekitarnya. Faktor ini disebabkan karena fase remaja adalah fase

transisi biologis maupun dari perilaku kekanak-kanakan menuju sikap yang lebih

dewasa (Tanof, 2012:62-63)

2.2.4. Seks Bebas

1. Pengertian Seks Bebas

Kata seks secara harfiah berarti jenis kelamin. Pengertian seks kerap

hanya mengacu pada aktivitas biologis yang berhubungan dengan alat

kelamin (genitalia), meski sebenarnya seks sebagai keadaan anatomi dan

biologis, sebenarnya hanyalah pengertian sempit dari yang dimaksud dengan

seksualitas. Seksualitas yakni keseluruhan kompleksitas emosi,

perasaan, kepribadian, dan sikap seseorang yang berkaitan dengan perilaku

serta orientasi seksualnya (Gunawan dalam Soekatno, 2008).

Berbicara tentang perilaku seks pranikah tidak pernah terlepas dari

berbagai faktor yang melatarbelakangi dan akibat negatif yang

ditimbulkannya.. Menurut Kartono (2008), pada umumnya perilaku seks

pranikah yang terjadi berdasarkan kepada dorongan seksual yang sangat

kuat serta tidak sanggup mengontrol dorongan seksual. Selanjutnya

perilaku seks pranikah atau free sex dipandang sebagai salah satu perilaku

14
seksual yang tidak bermoral dan sangat bertentangan dengan nilai- nilai

agama dan adat istiadat. Seks bebas menurut S.W Sarwono (1988: 8)

didefenisikan sebagai perilaku hubungan seksual yang dilakuakan antar laki-

laki dan perempuan tanpa ikatan apa-apa selain suka sama suka dan bebas

dalam seks. Pendapat lain yang dikemukakan Sarwono (2002: 137) bahwa

yang dimaksudkan seks bebas adalah hubungan yang didorong oleh hasrat

seksual, baik dengan lawan jenis maupaun dengan sesama jenis yang dilakukan

pada pasangan tanpa ikatan pernikahan. Batas usia pernikahan di Indonesia

brdasarkan aturan pasal 7 ayat 1 Undang-undang nomor 16 tahun 2019

adalah minimal 19 tahun baik perempuam maupun laki-laki (KUA-

Kompas.com)

Keseluruhan defenisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku

seks bebas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang merupakan

hubungan yang didorong oleh hasrat seksual, tanpa ikatan pernikahan

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Bebas

Menurut Sarlito W. Sarwono (2005), faktor-faktor yang dianggap

berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada individu adalah sebagai

berikut:

a) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat

seksual. Peningkatan hasyrat seksual ini membutuhkan penyaluran

dalam bentuk tingkahlaku seksual tertentu.

15
b) Adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media massa

dengan teknologi yang canggih (contoh: VCD, buku pornografi, foto,

majalah, internet, dan lain- lain)

c) Orang tua, baik karena ketidaktahuan maupun sikapnya yang

masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan

mereka tidak terbuka pada anak. Bahkan cenderung membuat jarak

dengan anak dalam masalah ini

Ulfa (2012) dalam penelitiannya, faktor-faktor yang meyebabkan seseorang

berperilaku seks bebas adalah sebagai berikut:

a. Tekanan yang datang dari teman pergaulannya, lingkungan pergaulan

yang dimasuki seseorang dapat juga berpengaruh untuk menekan

temannya yang belum melakukan hubungan seks. Bagi individu

tersebut tekanan dari teman-temannya itu dirasakan lebih kuat

daripada yang didapat dari pacarnya sendiri.

b. Adanya Tekanan dari Pacar, karena kebutuhan seseorang untuk mencintai

dan dicintai, seseorang harus rela melakukan apa saja terhadap

pasangannya, tanpa memikirkan risiko yang akan dihadapinya. Dalam

hal ini yang berperan bukan saja nafsu seksual, melainkan juga sikap

memberontak pada orangtuanya.

c. Rasa Penasaran, pada usia belia (remaja) keingintahuannya begitu

besar terhadap seks, apalagi jika teman-temannya mengatakan bahwa

terasa nikmat, ditambah lagi adanya informasi yang tidak terbatas,

maka rasa penasaran tersebut semakin mendorong mereka lebih jauh

16
lagi melakukan berbagai macam percobaan sesuai dengan apa yang

diharapkan.

d. Pelampiasan Diri, faktor ini tidak datang dari diri sendiri, misalnya

karena terlanjur berbuat, seorang wanita biasanya berpendapat sudah

tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dalam dirinya, maka dalam

pikirannya tersebut ia akan merasa putus asa dan mencari pelampiasan

yang akan menjerumuskannya dalam pergaulan bebas. Pergeseran nilai-

nilai moral dan etika dimasyarakat dapat membuka peluang yang

mendukung hubungan seksual pranikah pada pada remaja.

3. Dampak – Dampak Seks Bebas

Menurut Ahmad Aulia Jusuf (2006: 13-17), dampak dari sex bebas

(free sex), khususnya pada remaja sebagai berikut:

a. Bahaya Fisik adalah terkena penyakit kelamin (Penyakit Menular Sexual/

PMS) dan HIV/AIDS serta bahaya kehamilan dini yang tak dikehendaki.

PMS adalah penyakit yang dapat ditularkan dari seseorang kepada orang

lain melalui hubungan seksual. Seseorang berisiko tinggi terkena PMS bila

melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan baik melalui

vagina, oral maupun anal. Bila tidak diobati dengan benar, penyakit ini

dapat berakibat serius bagi kesehatan reproduksi, seperti terjadinya

kemandulan, kebutaan pada bayi yang baru lahir bahkan kematian. AIDS

singkatan dari Aquired Immuno Deficiency Syndrome. Penyakit ini adalah

kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh.

17
Penyebabnya adalah virus HIV. AIDS merupakan penyakit yang salah satu

cara penularannya adalah melalui hubungan seksual.

b. Bahaya Perilaku dan Kejiwaan yaitu seks bebas akan menyebabkan

terjadinya penyakit kelainan seksual berupa keinginan untuk selalu

melakukan hubungan seks. Si penderita selalu menyibukan waktunya

dengan berbagai khayalan seksual, ciuman, rangkulan, pelukan, dan

Penderita menjadi pemalas, sulit berkonsentrasi, sering lupa, bengong,

ngelamun, badan jadi kurus dan kejiwaan menjadi tidak stabil. Yang ada

dipikirannya hanyalah seks dan seks serta keinginan untuk melampiaskan

nafsu seksualnya.

2.3. Landasan Teori

 Teori Peran

Teori peran (role theory) adalah teori yang merupakan perpaduan

berbagai teori, orientasi, maupun disiplin ilmu yang sangat luas dan

beragam, meskipun penggunaan istilah peran (role) baru menjadi umum

pada tahun 1930-an tetapi inti dari teori tersebut menyatakan dalam

kehidupan setiap individu memiliki berbagai peran dimana setiap peran

akan menuntut bagaimana harus berprilaku. Teori peran dikembangkan

oleh Robert Linton (1936) yaitu menggambarkan interaksi sosial dalam

terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan

oleh budaya. Menurut Baton, peran ialah perilaku yang diharapkan terkait

dengan posisi sosial. Istilah peran terkadang di perluas hingga termasuk

status sosial dan untuk menyertakan perilaku yang dipamerkan disamping

18
perilaku yang diharapkan. Posisi sosial atau status sosial merupakan posisi

dalam sistem sosial yang melibatkan hak dan kewajibana sebagaimana

yang di harapkan sesuatu yang di harapkan itu penting, misalnya seorang

mahasiswa harus menjalankan peranannya selaku mahasiswa dan sebagai

status sosial harus ditampilkan dalam perilaku, misalnya dalam bertutur

kata atau berpakaian sebagaimana yang di harapkan mahasiswa bertindak

layaknya mahasiswa ; rajin, sopan santun ,baik budi pekertinya, karena

memiliki hak selaku mahasiswa sebagaimana memiliki kewajiban selaku

mahasiswa.

Peran yang dilakoni manusia sangat luas dan beragam dan

karenanya juga terdapat beragam teori peran. Kita tidak bisa berbicara

tentang satu teori peran, melainkan beberapa teori peran dalam berbagai

varian. Teori peran perna mengilhami dan terus menginspirasi banyak

penelitian. Ada beberapa teori peran, kita dapat mencermati apa dan

bagaimana teori peran berkembaang dari waktu ke waktu misalanya

dengan merujuk pada Biddle dan Thomas 1986 ( Flynn dab Lemay, 1999).

Mereka mencoba menggabungakan berbagai teks independen mengenai

teori ini hingga menjadi suatu bagian yang koheren sebagai upaya

memahami dasar-dasar teori peran. Melihat dari berbagai literatur tersebut,

kita bisa menyimpulkan bahwa teori peran berangkat dari perspektif

sosiologi dan psikologi sosial yang menganggap bahwa sebagian besar

aktivitas sehari-hari menjadi akting di kategori yang di defenisikan secara

sosial, misalnya : ibu, manajer, guru dan lain-lain. Setiap peran adalah

19
seperangkat hak, tugas, harapan, norma dan perilaku yang di tuntut dan

harus dipenuhi seseorang, oleh karena itu, dalam teori ini perilaku pelaku

peran disebut sebagai aktor yang tengah berakting

Hakekatnya, teori ini didasarkan pada pengamatan bahwa orang-

orang berperilaku dengan cara yang dapat diprediksi, dan bahwa perilaku

individu didasari oleh konteks spesifik yang dibangun berdasarkan posisi

sosial dan faktor-faktor lainnya. Karena peran seseorang sangat tergantung

dalam konteks situasional yang ditampilkan dalam ruang dan waktu

tertentu, maka teater adalah metefora yang sering digunakan dalam teori

peran, misalnya dalam dramaturgi Goffman yang berbicara tentang

perbedaan karakteristik yang kita perankan saat berada di panggung depan

atau panggung belakang. Teori peran dibangun dalam empat asumsi yaitu :

pertama : manusia mendefenisikan peran bagi dirinya sendiri dan orang

lain berdasarkan pembelajaran sosial. Kedua : manusia membentuk

harapan tentang peran yang akan di lakukan oleh dirinya sendiri dan orang

lain. Ketiga : manusia Harus mendorong dirinya sendiri dan orang lain

berperilaku sebagaimana yang diharapkan. Keempat : manusia berperilaku

sesuai peran yang ia pilih untuk dijalankan. Setiap manusia harus melakoni

peran sosial yang berbeda, sesuai kontekstual bidang kehidupannya,

dikantor, dikampus, di rumah dan di masyarakat. Orang tua memiliki

peran sendiri dalam keluarganya, sebagai orang tua tentunya memiliki hak

dan kewajiban terhadap anak-anaknya. Oleh karena itu, perlu diketahui

peran yang harus dilakukan orang tua dalam konteks bagaimana peranan

20
keluarga dalam pengendalian sosial untuk mencegah seks bebas

dikalangan remaja, khususnya remaja– remaja di Desa Wailolong

kecamatan Ile Mandiri kabupaten Flores Timur. Dalam konteks ini peneliti

juga ingin menekankan bahwa pengawasan terhadap remaja yang

menyimpang bukan hanya tugas dan tanggung jawab dari keluarga atau

orang tua saja namun harus ada pula tanggung jawab dari instansi

pendidikan yaitu peran dari guru, peran dari instansi pemerintah serta

lingkungan masyarakat setempat dimana yang menjadi tempat remaja-

remaja beraktivitas.

 Teori Kontrol

Pengertian teori kontrol atau control theory merujuk kepada setiap

perspektif yang membahas mengenai pengendalian tingkah laku manusia

serta merujuk kepada pembahasan delinkuensi dan kejahatan yang

diartikan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis: antara lain

struktur keluarga, pendidikan dan kelompok dominan. Pemunculan teori

kontrol sosial ini diakibatkan tiga ragam perkembangan dalam

kriminalogi. Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan

konflik dan kembali kepada penyelidikan tentang tinkah laku kriminal.

Kedua, munculnya studi tentang criminal justice sebagai suatu ilmu baru

yang telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjdi lebih

pragmatis dan berorientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah

dikaitkan dengan sustu teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku anak

21
remaja, yakni self report survey. Perkembangan awal dari teori ini

dipelopori Durkheim (1895).

Travic Hirschi (1995) merupakan seorang pemikir sosiologi asal

Amerika yang mengembangkan teori kontrol dalam menanggapi banyak

terjadi kenakalan dan tidakan-tindakan kejahatan di Amerika yang

dilakukan oleh remaja. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa

setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki

dorongan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Oleh sebab

itu, para ahli teori kontrol sosial menilai perilaku menyimpang adalah

konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk menaati hukum. Salah

satu ahli yang mengembangkan teori ini yaitu Travis Hirschi yang

mengajukan beberapa proporsisi teoritis antar lain :

1. Segala bentuk pengingkaran terhadap aturan- aturan sosial adalah

akibat dari kegagalan mensosialisasi individu warga masyarakat

untuk bertindak teratur terhadap aturan atau tata tertib yang ada

2. Penyimpangan dan bahkan kriminalitas atau perilaku kriminal,

merupakan bukti kegagalan kelompok–kelompok sosial

konversional untuk mengikat individu agar tetap teratur, seperti

keluarga, sekolah atau depertemen pendidikan dan kelompok

dominan lainnya

3. Setiap individu seharusnya belajar untuk teratur dan tidak

melaukan tindakan penyimpangan atau kriminal

4. Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal

22
Travis Hiirschi membagi empat unsur utama dalam kontrol sosial

internal antar lain :

1. Attachment atau kasih sayang adalah sumber kekuatan yang

muncul dari hasil sosialisasi di dalam kelompok primernya

(misalnya : keluarga), sehingga individu memilki komitmen yang

kuat patuh terhadap aturan

2. Commitment atau tanggung jawab yang kuat terhadap aturan

dapat memberikan kerangka kesadaran mengenai masa depan.

Bentuk komitmen ini antar lain, berupa kesadaran bahwa masa

depannya akan suram apabila melakukan tindakan menyimpang

3. Involvement atau keterlibatkan yang akan mendorong individu

untuk berperilaku partisipatif dan terlibat di dalam ketentuan-

ketentuan yang telah di tetapkan oleh masyarakat. Intensitas

keterlibtan seseorang terhadap aktivitas-aktivitas normatif

konversional dengan sendirinya akan mengurangi peluang

seseorang untuk melakukan tindakan –tindakan melanggar hukum

4. Believe atau kepercayaan, kesetiaan, dan kepatuhan terhadap

norma-norma sosial atau aturan masyarakat ahkiranya tertanam

kuat di dalam diri seseorang dan itu berarti aturan sosial telah

self- enforcing dan eksistensinya (bagi setiap individu) juga

semakin kokoh ( Budirahayu, 2013:95)

Dalam konteks ini teori kontrol mampu memberi penjelasan bahwa

orang tua harus mampu bahwa mebentukan karakter anaknya serta dituntut

23
untuk memberi teladan yang baik serta memberikan pengawasan serta

pengontrolan untuk setiap kegiatan anaknya dan memberikan aktivitas

yang positif bagi remaja.

2.4. Karangka Berpikir


Dalam kerangka berpikir ini diuraikan pengaliran jalan pikiran menurut
kerangka yang logis. Jalan pemikiran yang dimaksud adalah cara berfikir
deduktif, yaitu cara berpikir yang bertolak dari hal-hal yang bersifat general
(berlaku umum) kepada hal-hal yang lebih spesifik (masalah yang diidentifikasi).
(Subyantoro, 2006 : 120)
Secara konseptual, kerangka berpikir dari penulisan ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar .1.1.
Peranan Keluarga

re
Pengendalian Sosial

Mencegah Terjadinya Seks Bebas Di

Kalagan Remaja

24
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan penelitian


Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif.
Pendekatan kualitatif memiliki prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata- kata tulisan atau lisan dari orang- orang dan prilaku yang
diamati.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Wailolong, Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten
Flores Timur karena di lokasi ini terdapat remaja yang tingkat penyimpangan
seksual yang cukup tinggi yaitu banyaknya remaja wanita yang hamil diluar nikah
dan berusia di bawah 19 tahun ( data konseptual. lihat tabel 1.1. halaman 3). Oleh
karena itu menarik untuk diteliti.
3.3 Informan dan Sumber Data
3.3.1. Informan Penelitian
Informan penelitian adalah seseorang yang memberikan infromasi terkait
masalah yang diteliti. Adapun teknik penarikan informan yang di pakai dalam
penelitian ini yakni purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu ( menurut Sugiyono,2016: 85).
Menurut Lofland dan dikutip oleh Moleong (2007; 156), sumber data utama
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan yang dapat dari informan
melalui wawancara, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Untuk mendapatkan data dan informan dalam penelitian ini ditentukan secara
purposive dan dimana informannya telah ditetapkan sebelumya. Adapun
informan dalam penelitian ini yang dipilih sebagai berikut :
1. Remaja wanita yang hamil di luar nikah beserta pasangannya yang
berusia di bawah 19 tahun
2. Orang tua remaja yang hamil di luar nikah
3. Orang tua yang memiliki anak remaja yang berusia dibawah 19
Tahun

25
4. Tokoh Agama
5. Tokoh adat dan Tokoh Masyarakat
3.3.2. Sumber Data
1. Data Primer
Data ini berupa hasil wawancara dengan informan dalam penelitian.
Data dapat direkam atau dicatat oleh peneliti (Sarwono,2006:209). Data
primer dalam penelitian ini yaitu data yang diperoleh melalui observasi atau
pengamatan langsung dan dialog atau wawancara dengan informan yaitu
remaja yang hamil di luar nikah, orang tua atau keluarga remaja, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan tokoh masyarakat di Desa Wailolong,
Kecamatan Ile Mandiri, Kabupaten Flores Timur.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari catatan-catatan
atau dokumen yang berkaitan dengan penelitian dari sumber yang terkait
catatan atau dokumen diambil dari berbagai literatur, buku-buku, koran dan
internet. Dalam penelitian ini diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan
oleh penulis serta dari studi pustaka. ( Sugiyono.2018 :456)
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan beberapa cara
pengumpuan data yaitu :
a. Observasi ( Pengamatan )
Pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung dari
obyek penelitian. Metode ini dipergunakan untuk menggali dan
menemukan beberapa data berkenaan dengan kondisi objektif yang ada di
lokasi penelitian, bersamaan dengan observasi diadakan pengamatan dan
pemotretan.
b. Wawancara mendalam
Pengumpulan data dengan mengadakan wawancara melalui
informan yang mengetahui situasi dan kondisi obyek penelitian. Teknik
wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur yaitu
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang sudah dipersiapkan dan

26
kemudian di kembangkan sesuai data yang dibutuhkan.Informasi yang
diperoleh selanjutnya dicatat.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumentasi biasa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya
monumental dari seseorang. Dalam studi dokumentasi merupakan
perlengkapan dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam
penelitian kualitatif, karena hasil penelitian dari observasi atau wawancara
akan lebih dapat dipercaya kalau didukung oleh foto-foto atau karya tulis
akademik dan seni yang telah ada (Sugiyono, 2010: 329).
3.5 Teknik Analisis Data
Data yang disimpulkan dengan beberapa cara selanjutnya diproses
melalui analisis kualitatif yaitu analisis yang menghasilkan rangkaian kata-
kata atau pernyataan yang disusun ke dalam teks yang diperluas. (Sugiyono.
2018, hlm. 335). Analisis ini dilakukan sejak observasi dengan dua jalur
kegiatan secara bersamaan yaitu sebagai berikut:
1. Penyajian data, penulis mulai menyajikan sekumpulan informasi
tersusun yang diberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan atau penyerderhanaan informasi yang
komples kedalam suatu bentuk yang muda dipahami.
2. Menarik kesimpulan, penulis melakukan kegiatan konfigurasi yang
utuh atau tinjauan terhadap catatan-catatan lapangan, maksudnya
adalah menguji kebenaran, kekokohan, kecocokan dan validitas yang
muncul dari lokasi penelitian.

27
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :
Hurlock, Elizabeth B. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga
Mace, David. 1997. Seks dan Kita. Halaman 28-29

Hidayana, Irwan. 2004. Kesehatan Reproduksi, Kesehatan Seksual Dan

Seksualitas. Jawa Timur. Srinthri

Kartono, Kartini.1958. Peranan keluarga Memandu anak. Rajawali Pers. Jakarta

Kar’an,M.A.2003. Potret Buram Dunia Remaja (Siapa Peduli?). Solo : Era


Intermedia
Ritzer, Goodman. 2004. Teori sosiologi. Sidoarjo: Kreasi Wacana.
Sigoyono. 2010. Metodologi Pendidikan dan Pendekatan Kuantitatip, Kualitatif.
Bandung. Alfabeta.
Subyantoro, A. Suwarto, FX. 2006. Metode Dan Teknik Penelitian Ilmiah.
Yogyakarta : Penerbit Andi
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta : Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi UI
Willis, S. (2008). Remaja & Masalahnya. Bandung: Alfabeta
Yusuf Syamsu. 2004. Psikologi Anak Dan Remaja. Bandung : Pt Remaja
Rosdakarya.

KARYA ILMIAH :
 Kuswandi, Kadar, Ismiyati, Darti Rumiatun. 2019. Analisis Kualitatif Perilaku

Seks Bebas Pada Remaja Di Kabupaten Lebak. Jurnal. Poltekkes Kemenkes.

Banten

 Ludira, Soch. 2012. Peranan Ibu Dalam Menanamkan Nilai Moral Untuk

Mencegah Terjadinya Seks Bebas Di Kalangan Remaja Pada SMA Angkasa

Adisutjipto Yogyakarta. Skripsi. Yogjakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.

28
 Wuryandani,Wuri. 2010. Peranan Keluarga Dalam Menanamkan Nilai Moral

Pada Anak Usia Dini. Artikel. Yogjakarta. Universitas Negeri Yogyakarta.

SUMBER ONLINE

Gramedia. 2010.” Pengertian dan jenis pengendalian sosial “ https://www.

Gramedia.com//literasi/pengendalian-sosial/. Diakses pada 12 januari 2022

pukul 12:00.

Lestari, Widayati. 2015. “Peran Orang Tua Dalam Pendidikan Seks pada

Remaja”. http://eprints.ums.ac.ad/Peran-orang-tua-dalam-Pendidikan-Seks-

pada-Remaja/. PDF. Diakses pada 24 februari 2022. Pukul 07:30.

Sumbar, Antara. 2021.”Peran keluarga dalam mengatasi perilaku seksual

menyimpang pada anak”. https://sumber.Antaranews.com/berita/453326/

peran-keluarga-dalam-mengatasi-perilaku-seksual-menyimpang-pada-anak//.

Diakses pada 24 februari 2022. Pukul 08:05.

Suara. 2020.“Apa itu Seks Bebas, Penyebab dan Dampak”

https://www.suara.com/lifetyle/2020/10/31/140156/seks-bebas-penyebab-

dampak//

29

Anda mungkin juga menyukai