Anda di halaman 1dari 7

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perilaku seks dikalangan remaja pada akhir-akhir ini begitu

meresahkan, karena sebagai calon generasi penerus bangsa telah rusak dan

mental, nilai-nilai religiunitas dan sebagainya. Pada saat ini seks bebas adalah

salah satu masalah yang melanda remaja di Indonesia. Hal ini terjadi karena

pergaulan bebas, pengaruh media, keadaan lingkungan masyarakat, tidak

berpegang teguh pada agama dan kurangnya perhatian orang tua (Atikah,

2011).

Masa remaja juga menginginkan kebebasan untuk melakukan

aktivitasnya sedangkan orang tua berhak untuk mengontrol aktivitasnya

sehingga seringkali muncul konflik antara remaja dan orang tua karena

kebanyakan orang tua menginginkan anak remaja mereka menjadi anak

remaja yang ideal. Kekhawatiran bertambah besar ketika orang tua

memaksakan kehendak mereka terhadap anak remaja mereka (Surbakti,

2009).

Adapun fenomena tentang perilaku seks bebas pada remaja sebagai

berikut. Indonesia menduduki rangking ke-12 di dunia dalam hal seks bebas

setelah Yunani, Brazil, Rusia, China, Italia, Malaysia, Spanyol, Swedia,

Mexico, Jepang, dan Belanda (Durex, 2008). Pada tahun 2010 nyaris 50%

menunjukkan adanya penurunan batas usia remaja akhir hubungan seks

pertama kali. Sebanyak 18% remaja Indonesia melakukan hubungan seks

1
2

pertama di usia tertinggi pada remaja 18 tahun dan usia termuda usia 13 tahun.

Di Jawa Timur dengan 375 responden, menunjukkan bahwa 93,7% remaja

pernah berciuman hingga petting, 62,7% remaja SMP sudah tidak perawan,

dan 21,2% remaja SMA pernah aborsi Komnas Anak, (2010) dalam Diana,

(2013).

Menurut survey yang pernah dilakukan di Kecamatan Dolopo

didapatkan 100% remaja pernah berkencan, 100% remaja berpegangan tangan

saat berkencan, 17% remaja mencium pipi saat berkencan, 17% remaja

berpelukan saat berkencan, 80% remaja mencium bibir saat berkencan, 30%

remaja memegang buah dada di atas baju saat berkencan, 15% remaja

memegang buah dada dibalik baju saat berkencan, 55% memegang alat

kelamin di atas baju saat berkencan, 40% remaja memegang alat kelamin

dibalik baju saat berkencan, dan 10% remaja pernah melakukan hubungan

intim (Andini, 2012).

Di Ponorogo, perilaku seks bebas remaja Ponorogo cukup

mengkhawatirkan. Mayoritas remaja di Ponorogo diduga sudah pernah

melakukan hubungan pranikah atau seks bebas. Estimasi itu didasari hasil

survei secara acak yang telah dilakukan selama enam bulan terakhir. Hasilnya

jumlah remaja putri yang pernah melakukan hubungan pranikah atau seks

bebas mencapai 80% (Andini, 2012)

Segala perubahan yang dialami oleh remaja baik secara fisik maupun

psikis, membuat mereka lebih senang berada dekat dengan teman-teman

seusianya dan cenderung menjauh dari orang tua mereka, sehingga terkadang

mereka bertindak sesuai dengan apa yang mereka inginkan berdasarkan


3

lingkungan pergaulan mereka. Fatholi (2002), wakil walikota Yogyakarta juga

berpendapat bahwa Yogyakarta sebagai Indonesia mini harus tahu bagaimana

menjaga perilaku negatif dan destruktif, seperti perilaku seks bebas. Tentu saja

hal tersebut dapat menimbulkan kecemasan orang tua mereka. Kecemasan

adalah semacam kegelisahan, kekhawatiran, dan ketakutan terhadap sesuatu

yang tidak jelas, yang difus dan yang mempunyai ciri yang mengazab pada

seseorang (Kartono, 2002). Kecemasan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu

faktor internal dan ekternal. Perilaku seks remaja merupakan salah satu faktor

eksternal yang dapat menimbulkan kecemasan bagi orang tua yang

mempunyai anak usia remaja. Mereka merasa khawatir jika anak mereka akan

terpengaruh untuk melakukan perilaku seks bebas.

(Furedi, 2010 dalam Atikah, 2011) menjelaskan dari hasil riset yang

telah dilakukannya bahwa orang tua di Inggris kini memiliki banyak

kecemasan dalam membesarkan anak mereka. Sehingga anak-anak dibesarkan

dalam suasana penuh kecemasan dan dilindungi sedemikian rupa. Oleh

karenanya anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah dan

sedikit berbaur dengan teman-teman sebaya mereka, karena orang tua lebih

senang dan merasa tenang jika anak-anak mereka berada di dalam rumah atau

berada di dekat mereka. Kecemasan orang tua akan keselamatan anak mereka

bukan hanya timbul dengan sendirinya, melainkan juga dipicu oleh beberapa

faktor yang ada pada orang tua itu sendiri maupun lingkungan masyarakat.

Perilaku kecemasan orang tua dapat menyebabkan dampak negatif

pada anak maupun pada orang tua itu sendiri. Dampak yang terjadi pada anak

yaitu anak merasa tertekan, kurang bergaul dan selalu terkekang, yang
4

akhirnya akan menimbulkan masalah menarik diri pada anak. Sedangkan pada

orang tua itu sendiri dampak yang terjadi akibat kecemasan dapat

menimbulkan perubahan secara fisik maupun fisiologis yang artinya

mempengaruhi syaraf otonom dimana tekanan darah dapat meningkat, dan

lain-lain. Jika kecemasan yang dialami tidak ditangani dan berlangsung lama

akan masuk ketahap yang lebih berat. Karena cemas yang dirasakan terlalu

berlebih maka akan mengakibatkan depresi yang ditandai dengan mereka

mudah frustasi, marah terhadap diri mereka dan mudah marah terhadap orang

lain. Individu yang depresi menjadi asosial, menarik diri dan interaksi sosial,

keluarga dan teman Videback, (2008) dalam Aristina Halawa, (2011).

Dengan adanya efek dari kecemasan maka kecemasan perlu diatasi.

Dalam mengatasi masalah tersebut diperlukan berbagai macam upaya

diantaranya dengan mengadakan penyuluhan terutama kepada orang tua yang

memiliki anak usia remaja tentang perubahan perilaku remaja yang mengarah

pada perubahan negatif dan apa yang harus dilakukan dalam mengahadapi

anak seperti itu, menganjurkan kepada orang tua untuk mengikuti seminar

tentang remaja dan selalu mencari informasi melalui media elektronik maupun

media massa. Adapun solusi untuk memperbaiki hubungan anak dengan orang

tua adalah, dengan cararemaja itu menyadari bahwa kecemasan orang tua

seperti itu ada dampak positifnya agar jangan sampai terlibat pergaulan bebas

dan salah langkah, mengingat pergaulan yang heterogen ini menyebabkan

remaja terkadang mengikuti gaya. Jika penyesuaian diri remaja rendah,

meskipun kecemasan yang dilakukan orang tua berlebih, jika anak sadar akan

pentingnya penyesuaian diri yang baik maka remaja bisa mengambil hikmah
5

dari kecemasan yang dilakukan orang tua. Remaja juga bisa menyadari

dampak negatif dari yang ditimbulkan seks tersebut akan merugikan bagi

dirinya sendiri dan orang lain terutama orang tua yang telah merawat dan

mendidiknya (Aristina, 2009)

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

“Tingkat Kecemasan Orang Tua Terhadap Perilaku Seks Remaja”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti ingin meneliti

bagaimana tingkat kecemasan orang tua terhadap perilaku seks remaja ?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui tingkat kecemasan orang tua terhadap perilaku seks

remaja.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. IPTEK

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

perkembangan tekhnologi untuk dijadikan sebagai pertimbangan dan

pengembangan ilmu keperawatan yang terkait tingkat kecemasan

orang tua dengan masalah-masalah perilaku seksual remaja.

2. Institusi (Fakultas Ilmu Kesehatan)

Bagi dunia pendidikan keperawatan khususnya Institusi Prodi D III

Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Ponorogo untuk pengembangan ilmu dan teori keperawatan

khususnya mata kuliah keperawatan keluarga.


6

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Responden

Responden mendapatkan informasi tentang mengurangi tingkat

kecemasan terhadap perilaku seks pada anaknya.

2. Tempat penelitian

Untuk memberikan informasi tentang perilaku seks, dan cara

mengurangi tingkat kecemasan pada orang tua yang memiliki anak

remaja.

3. Peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk

melakukan penelitian lebih lanjut tentang tingkat kecemasan orang

tua terhadap perilaku seks remaja.

1.5 Keaslian Penelitian

Berikut merupakan penelitian yang berkaitan dengan tingkat

kecemasan orang tua terhadap perilaku seks remaja:

1. Aristina Halawa (2009), meneliti tentang “Gambaran Tingkat Kecemasan

Keluarga Karena Kenakalan Remaja Di RT 07/RW VI Kelurahan Darmo

Surabaya”. Persamaan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan

desain deskriptif, variabelnya sama yaitu tentang kecemasan, dan

respondennya adalah orang tua yang mana di dalam penelitian tersebut

adalah keluarga. Sedangkan perbedaannya terletak pada lokasi penelitian

dan yang diteliti lebih umum yaitu kenakalan remaja sedangkan peneliti

meneliti tentang seks remaja.


7

2. Reny Aprillia Pradyanita (2013), meneliti tentang “Perilaku Siswa Dalam

Pergaulan Bebas Di SMPN 1 Lembeyan”. Dari hasil penelitian penyebab

yang mempengaruhi remaja melakukan perilaku perilaku menyimpang

dalam pergaulan bebas karena pengaruh teman sebaya dan pengaruh

lingkungan pergaulan. Persamaan penelitian adalah menggunakan

deskriptif. Perbedaannya adalah variabel yang diteliti adalah tentang

pergaulan bebas dan tempat penilitiannya. Sedangkan peneliti, meneliti

tentang seks remaja.

3. Diana Dwi Ambarwati (2013), meneliti tentang “Pengetahuan Orang Tua

Tentang Dampak Rendahnya Pendidikan Seks Dini Pada Remaja Di RT

10 dan RT 11 Desa Doho Kec. Dolopo Kab. Madiun”. Persamaan

penelitian ini adalah menggunakan desain deskriptif. Perbedaanya adalah

penelitian ini membahas tentang pengetahuan orang tua tentang dampak

rendahnya pendidikan seks dini pada remaja, sedangkan peneliti meneliti

tentang tingkat kecemasan orang tua terhadap perilaku seks remaja.

Anda mungkin juga menyukai