Anda di halaman 1dari 61

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DAN SMARTPHONE

ADDICTION DENGAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA

PENELITIAN CROSS SECTIONAL

OLEH :

DIAN FITRIANA
NIM. 131911123080

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perilaku bullying pada remaja sampai saat ini masih menjadi masalah
di Indonesia dan mengalami peningkatan setiap tahunnya (KPAI, 2018). Hal
tersebut diduga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua, teman sebaya,
sekolah, serta media dan teknologi khususnya penggunaan smartphone
(Pratiwi, 2017). Orang tua yang memiliki anak usia remaja seharusnya lebih
memberikan perhatian kepada remaja dan mengawasi penggunaan
smartphone yang semakin berkembang di era industri 4.0 ini (Agusta,
2016). Teori Social Learning Bandura merupakan teori yang menjelaskan
bahwa pembelajaran tercipta ketika seseorang mengamati dan meniru
perilaku orang lain. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan
semata-mata refleks otomatis dan stimulus, melainkan juga akibat reaksi
yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif
manusia itu sendiri (Hergenhahn and Olson, 2015). Teori ini memiliki tiga
konsep utama yang mendasar yaitu behaviour, personal / kognitif, dan
environment. Hubungan pola asuh orang tua dan smartphone addiction
dengan perilaku bullying berdasarkan teori Social Learning Bandura masih
belum dapat dijelaskan.
Kasus bullying di Indonesia menempati urutan pertama yaitu sebanyak
34 % dan pada urutan kedua adalah permasalahan keluarga dan pengasuhan
sebanyak 9% (KPAI, 2017). Kasus bullying di Indonesia masih sangat sulit
untuk dipecahkan karena pelaku bisa menjadi korban dan begitu pula
sebaliknya yaitu korban bisa menjadi pelaku. Sebagian besar kasus bullying
dengan persentase 84% terjadi pada remaja usia 12-17 tahun (Kemensos RI,
2017). Korban bullying di Indonesia sebanyak 22,4%, sedangkan pelaku
bullying mencapai 25,5 % (KPAI, 2018). Menurut Kementerian Sosial
Republik Indonesia pada periode Januari sampai Juli 2017 terdapat 976
pengaduan, 117 diantaranya yaitu pengaduan tentang bullying. Pola asuh
orang tua yang buruk mengakibatkan perilaku bullying meningkat.
Penelitian menyatakan adanya hubungan signifikan antara pola asuh ibu
dengan kejadian bullying pada remaja, di mana ditemukan bahwa jenis pola
asuh ibu tertinggi yaitu jenis authoritarian sebanyak 31,9% (Annisa, 2012).
Kecanduan smartphone mengakibatkan kejadian bullying meningkat,
dampak dari kecanduan smartphone pada anak di bawah 13 tahun adalah
8,2% anak pernah menjadi korban bullying di media sosial dan 9% menjadi
pelaku (Kemkominfo RI, 2016). Bentuk bullying yang sering terjadi adalah
memanggil dengan nama yang jelek, menghina, mengolok-olok, menggoda,
dan mengucilkan (Atik and Guneri, 2013). Perilaku tersebut dilakukan
secara berulang-ulang dan berkelanjutan. Keadaan ini akan terus
berlangsung karena korban tidak berani untuk melawan. Dampak dari
perilaku bullying dapat menyebabkan korban merasa malu, tertekan,
perasaan takut, sedih dan cemas. Jika kondisi ini berkepanjangan bisa
mengarah ke depresi (Okoth, 2014). Selain dampak dari masalah psikologis
juga dapat berpengaruh terhadap masalah kesehatan fisik seperti memar
pada daerah yang dipukul, lecet, bengkak, sulit tidur, nafsu makan menurun.
Gejala lain yang dimunculkan diantaranya merasa terancam, sulit
berkonsentrasi, penurunan prestasi akademik dan merasa sendiri (Laeheem,
2013). Bullying juga dihubungkan dengan angka bunuh diri yang tinggi di
kalangan remaja yaitu sebanyak 40% remaja bunuh diri akibat bullying
(Hamburger et al., 2011).
Penyebab perilaku bullying dapat berasal dari personal dan
situasional. Salah satu faktor personal yaitu pola asuh orang tua. Orang tua
mempunyai pengaruh terhadap anaknya dan perlakuan orang tua akan
mempengaruhi perilaku anaknya. Anak yang mendapatkan pola asuh yang
kurang tepat memungkinkan menjadi penyebab terjadinya bullying pada
remaja Annisa (2012). Penelitian tersebut menjelaskan bahwa terdapat
hubungan signifikan antara pola asuh orang tua dengan perilaku agresif
pada remaja Annisa (2012). Bullying dapat terjadi karena adanya paparan
kekerasan. Paparan kekerasan dapat disebabkan karena perkembangan
teknologi dan informasi, dimana hal tersebut merupakan salah satu faktor
situasional penyebab bullying (Pratiwi, 2017). Pengguna smartphone paling
banyak adalah remaja usia 12-17 tahun yaitu sebesar 93%. Penggunaan
smartphone pada remaja usia 12-17 tahun paling banyak adalah untuk sosial
media dan mengunjungi situs jejaring sosial (Sherlyanita and Rakhmawati,
2016). Intensitas penggunaan sosial media berpengaruh signifikan terhadap
perilaku bullying, semakin tinggi intensitas penggunaan sosial media maka
semakin tinggi terjadinya perilaku bullying (Pratiwi, 2017).
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti
hubungan pola asuh orang tua dan smartphone addiction dengan perilaku
bullying pada remaja dengan harapan dapat memberikan informasi dan
memberikan tambahan pengetahuan kepada masyarakat terutama orang tua
yang memiliki anak usia remaja.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan pola asuh orang tua dan smartphone addiction
dengan perilaku bullying pada remaja?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pola asuh orang tua dan smartphone
addiction dengan perilaku bullying pada remaja.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku bullying
pada remaja.
2. Menganalisis hubungan smartphone addiction dengan perilaku bullying
pada remaja.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi perkembangan
ilmu keperawatan khususnya dalam ilmu keperawatan anak, jiwa dan
komunitas untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dan
smarthphone addiction dengan perilaku bullying pada remaja
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi orang tua
Hasil penelitian dapat memberikan pemahaman dan informasi
mengenai pola asuh orang tua dan smartphone addiction secara
berlebihan berhubungan dengan perilaku bullying pada remaja.
2. Bagi perawat
Hasil penelitian dapat digunakan oleh perawat dalam upaya promosi
kesehatan kepada masyarakat khususnya orang tua tentang pola asuh
orang tua dan smartphone addiction dengan perilaku bullying pada
remaja.
3. Bagi peneliti
Hasil penelitian dapat dijadikan sumber untuk mencari akibat lain yang
ditimbulkan dari pola asuh orang tua dan smartphone addiction
sehingga dapat menjadi acuan untuk mencari solusi penyelesaian
masalah perilaku bullying pada remaja.
4. Bagi sekolah
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan kebijakan
lokal tentang smartphone addiction di area sekolah. Selain itu pihak
sekolah dapat menjalin kerjasama dengan keluarga maupun pelayanan
kesehatan bila mendapatkan siswa yang terkena dampak akibat
smartphone addiction dan menjadi korban atau pelaku bullying agar
siswa tersebut mendapatkan treatment, pengawasan, dan tindak lanjut.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Remaja
2.1.1 Definisi
Masa remaja adalah masa terjadinya peningkatan pengambilan risiko
dan pencarian sensasi dengan pergeseran dari eksistensi yang berpusat pada
orang tua ke dominasi teman sebaya dalam proses pengembangan identitas
(Knowles et al., 2014). WHO mendefinisikan remaja secara konseptual
yang terdiri dari tiga kriteria yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi
(Sarwono, 2012).
Remaja dalam bahasa aslinya disebut ‘adolescence’ yang berasal dari
bahasa latin ‘adolescere’ yang artinya tumbuh untuk mencapai kematangan.
Istilah adolescence dalam perkembangannya memiliki arti yang luas
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 2011).
2.1.2 Batasan Usia Remaja
Batasan usia remaja menurut Wong et al., (2009) dibagi menjadi tiga
fase, yaitu :
1. Remaja awal, yaitu dimulai pada usia 11 tahun sampai dengan 14 tahun.
2. Remaja pertengahan, yaitu dimulai pada usia 15 tahun sampai dengan
17 tahun.
3. Remaja akhir, yaitu dimulai pada usia 18 tahun sampai dengan 20
tahun.
2.1.3 Ciri – Ciri Remaja
Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2011) yaitu :
1. Pertumbuhan fisik berubah dengan pesat, lebih cepat dibandingkan
masa kanak-kanak.
2. Perkembangan seksual dapat menyebabkan timbulnya masalah seperti:
perkelahian, bunuh diri, dan lainnya.
3. Remaja mulai terbiasa untuk berpikir kritis dengan menghubungkan
antara sebab dan akibat.
4. Emosi pada remaja masih labil, sehingga masih tidak mampu menahan
emosinya yang meluap-luap dan tidak terkontrol.
5. Remaja mulai tertarik dengan lawan jenis.
6. Remaja mulai mencari perhatian dari lingkungannya, mereka berusaha
mendapatkan status dan peran dalam kegiatan remaja di lingkungannya.
Apabila tidak diberi peran, maka remaja akan melakukan perbuatan.
Remaja akan berusaha mencari peran di luar rumah apabila orang tua
tidak memberikan peran di dalam rumah dan masih menganggap
sebagai anak kecil.
7. Remaja sangat tertarik pada kelompok sebayanya daripada orang
tuanya, hal tersebut membuat mereka menjaga jarak dengan orang
tuanya.
2.1.4 Tahap Perkembangan Remaja
Masa remaja mempunyai tiga tahapan dalam perkembangannya yaitu:
masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir (Wong
et al., 2009).
1. Remaja Awal (Early Adolescent)
Periode ini terjadi pada usia 11 hingga 14 tahun. Pada masa remaja
awal, anak-anak mengalami perubahan tubuh yang cepat, percepatan
pertumbuhan, dan perubahan komposisi tubuh yang disertai dengan
pertumbuhan seks sekunder. Karakteristik remaja pada periode ini
ditandai dengan terjadinya perubahan psikologis seperti krisis identitas,
jiwa yang labil, peningkatan kemampuan verbal untuk ekspresi diri,
pentingnya teman dekat atau sahabat, rasa hormat terhadap orang tua
berkurang, berlaku kasar, mencari orang lain yang disayangi selain
orang tua, kecenderungan untuk berlaku kekanak-kanakan, dan teman
sebaya (peer group) memiliki hobi dan cara berpakaian yang sama.
2. Remaja Pertengahan (Middle Adolescent)
Periode ini terjadi pada usia 15 sampai 17 tahun. Periode ini terjadi
perubahan seperti mengeluh orang tua terlalu ikut campur dalam
kehidupannya, sangat memperhatikan penampilan, berusaha
mendapatkan teman baru, kurang menghargai pendapat orang tua,
moody, sangat memperhatikan kelompok bermain yang bersifat selektif
dan kompetitif, serta mulai mengalami periode ingin lepas dari orang
tua. Pada tahapan ini remaja akan mulai tertarik dengan intelektualitas
dan karir. Remaja sudah mempunyai konsep role model dan mulai
konsisten terhadap cita-citanya.
3. Remaja Akhir (Late Adolescent)
Tahap remaja ini dimulai pada usia 18 tahun. Perkembangan pada
tahap ini ditandai dengan maturitas fisik secara sempurna. Menurut
Sarwono (2012) tahap remaja akhir merupakan masa peralihan menuju
periode dewasa yang ditandai dengan pencapaian, yaitu :
a. Minat semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual.
b. Ego untuk mencari kesempatan bersatu dengan orang lain dan
pengalaman baru.
c. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
d. Egosentrisme (memusatkan perhatian pada diri sendiri) menjadi
keseimbangan antara kepentingan sendiri dan orang lain.
e. Tumbuhnya dinding pemisah antara pribadinya dan masyarakat
umum
2.1.5 Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja
1. Pertumbuhan Biologis
Masa remaja atau masa pubertas terjadi sebagai akibat peningkatan
sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus yang
diikuti oleh sekuens perubahan dalam sistem endokrin yang kompleks
yang melibatkan sistem umpan balik positif dan negatif. Masa pubertas
diawali dengan terjadinya aktivasi aksis hipotalamus- hipofisis-gonad
dengan peningkatan GnRH menetap. Faktor yang berperan dalam awal
masa pubertas yaitu faktor genetik, nutrisi, dan lingkungan (Batubara,
2010).
Anak perempuan diawali dengan terjadinya peningkatan FSH pada
usia 8 tahun lalu diikuti oleh peningkatan LH. Periode selanjutnya FSH
akan merangsang sel granulosa untuk menghasilkan estrogen dan
inhibilin. Estrogen akan merangsang timbulnya tanda-tanda seks
sekunder sedangkan inhibin berperan dalam mengontrol mekanisme
umpan balik pada aksis hipotalamus-hipofisis-gonad. Hormon LH
berperan pada proses menarche dan merangsang terjadinya ovulasi.
Hormon androgen adrenal (dehidropiandosteron / DHEA) mulai
meningkat pada saat awal sebelum pubertas, sebelum terjadi
peningkatan gonadotropin. Hormon DHEA mempunyai peran pada
proses adrenarke (Batubara, 2010).
2. Perubahan Fisik
Pertumbuhan fisik pada remaja meliputi dua hal yaitu internal dan
eksternal. Perubahan internal terdiri dari perubahan alat pencernaan
makanan, bertambahnya berat dan ukuran jantung serta paru-paru,
kelenjar endokrin bertambah sempurna. Perubahan eksternal meliputi
bertambahnya tinggi badan, lingkar tubuh, ukuran dan panjang lingkar
tubuh, ukuran organ seks, dan munculnya tanda seks sekunder
(Hurlock, 2011).
3. Perkembangan Kognitif
Masa remaja merupakan dimana anak berada pada tahap
operasional formal, kemampuan penalaran anak berubah dari penalaran
secara naluri menjadi penalaran logis dan ilmiah. Pola pikir remaja
mulai terjadi perkembangan dimana mereka mulai berpikir secara
sistematis dalam memecahkan suatu masalah, mereka dapat
menghubungkan sebab dan akibat dari apa yang terjadi (Wong et al.,
2009).
Individu berkembang melalui empat tahapan kognitif, yaitu:
sensorimotor, pra-operasional motor, operasi konkret, dan operasi
formal. Setiap tahapan bergantung pada usia. Hal itulah yang
menyebabkan adanya perbedaan cara berfikir. Remaja masuk dalam
tahapan operasional formal, dimana remaja akan berpikir secara lebih
abstrak, idealis, dan logis (Gunarsa, 2012).

4. Perkembangan Psikososial
Perkembangan psikososial pada masa remaja ada pada tahap
pencarian identitas diri dan penolakan versus kebingungan peran.
Remaja akan berusaha mengembangkan identitas dirinya melalui
pencarian identitas dalam kelompok. Pencarian identitas kelompok
penting karena remaja membutuhkan penerimaan dan popularitas.
Remaja akan berusaha menyesuaikan diri dengan kelompoknya agar
mereka dapat diterima dan bias masuk menjadi bagian dalam kelompok
tersebut (Wong et al., 2009).
5. Perubahan Emosional
Perkembangan emosi pada remaja dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu perubahan jasmani, perubahan pola interaksi dengan orang
tua, perubahan interaksi dengan teman sebaya, perubahan pandangan
luar, dan perubahan interaksi dengan sekolah (Ali, 2016). Adanya
faktor-faktor diatas menyebabkan adanya perbedaan perkembangan
emosi remaja satu dengan yang lainnya.
6. Perubahan Sosial
Masa remaja merupakan masa dengan kemampuan sosialisasi yang
kuat dan penanaman dari nilai yang didapatkan dalam keluarga. Remaja
mendapatkan pembelajaran tingkah lakunya dari interaksinya dengan
orang tua yang dijadikannya bekal dalam berperilaku ketika ada di
dalam masyarakat. Pengawasan dan kontrol dari orang tua sangat
dibutuhkan karena berpengaruh langsung terhadap perilaku remaja
(Wong et al., 2009).
Perkembangan sosial remaja memiliki karakteristik yang unik yaitu
kesadaran akan kesepian dan dorongan untuk bergaul, adanya upaya
untuk memilih nilai-nilai sosial, mulai tertarik dengan lawan jenis, dan
mulai memilih karir yang akan ditekuni di masa depan (Ali, 2016).
Perkembangan sosial pada masa remaja terlihat dari aktivitasnya dalam
membentuk kelompok dengan teman seusianya. Remaja mempunyai
dorongan untuk dapat berdiri sendiri dan cenderung ingin memisahkan
diri dari orang tua dan lebih suka berkumpul dengan kelompoknya
(Wong et al., 2009).
2.1.6 Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya untuk
meningkatkan sikap dan perilaku. Tugas-tugas perkembangan remaja
menurut Hurlock (2011) yaitu :
1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya.
2. Mencapai peran sosial yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya dengan efektif.
4. Mencapai dan berperilaku sosial yang bertanggung jawab.
5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa
yang berada di sekitarnya.
6. Mempersiapkan karir dan ekonomi.
7. Mempersiapkan pernikahan dan keluarga.
8. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang
diperlukan.
9. Memperoleh tingkatan nilai dan sistem etis sebagai pedoman untuk
berperilaku dalam mengembangkan ideologi.
10. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab (Hurlock, 2011).

2.2 Pola Asuh Orang Tua


2.2.1 Definisi
Pola asuh merupakan cara orang tua mengontrol, membimbing, dan
mendampingi anak-anaknya untuk melaksakan tugas perkembangannya
menuju proses pendewasaan (Smetana, 2017).
Pola asuh merupakan sebuah proses dimana orang tua sebagai
individu yang melindungi dan membimbing anaknya mulai dari bayi hingga
dewasa, serta menjaga perkembangan anaknya di semua periode
perkembangan yang panjang dalam kehidupan anak untuk memberikan
tanggung jawab dan perhatian (Brooks, 2001) yang mencakup :
1. Kasih sayang dan hubungan dengan anak yang akan berlangsung
selamanya.
2. Kebutuhan material, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
3. Disiplin dan bertanggungjawab, menghindarkan diri dari kecelakaan
dan kritik yang buruk serta hukuman yang berbahaya.
4. Pendidikan intelektual dan moral.
5. Persiapan menjadi dewasa yang bertanggung jawab.
6. Mempertanggungjawabkan tindakan anak pada masyarakat luas dan
lingkungan.
Dari beberapa pengertian pola asuh menurut para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa pola asuh merupakan cara orang tua dalam berinteraksi
dengan anak dalam bentuk membimbing, mengontrol, dan mendampingi
anak dengan menggunakan pola tertentu yang bertujuan untuk
mempersiapkan perkembangan anaknya di masa depan.
2.2.2 Dimensi Pola Asuh Orang tua
Hubungan orang tua dan anak digambarkan dengan interaksi antara
dua dimensi perilaku orang tua yaitu: warmth atau responsiveness dan
control atau demandingness sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Baumrind (Martin and Colbert, 1997).
1. Dimensi warmth atau responsiveness
Dimensi ini disebut dengan dimensi emosional yaitu seberapa besar
penerimaan, respon, dan kasih sayang orang tua. Orang tua yang
menerapkan warmth atau responsiveness akan menerima, responsif
terhadap kebutuhan anaknya, sering terlibat diskusi terbuka dengan
anaknya, mendukung proses saling memberi dan menerima secara
verbal, serta berusahan melihat sesuatu dari perspektif anak (Martin and
Colbert, 1997). Orang tua yang menerapkan dimensi ini akan
menerapkan hukuman berupa fisik sebagai upaya untuk membatasi
tingkah laku anaknya, namun dalam pemberian hukuman orang tua juga
memberikan penjelasan dan alasan yang mendasari hukuman tersebut
(Hetherington and Parke, 1999).
Orang tua yang menerapkan warmth atau responsiveness rendah
tidak memperhatikan anaknya, dan tidak responsif terhadap kebutuhan
anaknya (Hetherington and Parke, 1999). Selain itu mereka juga sering
mengkritik, memberi hukuman, mengabaikan dan tidak sensitif
terhadap kebutuhan emosional anak (Martin and Colbert, 1997).
2. Dimensi control atau demandingness
Kasih sayang orang tua saja tidak cukup untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak, terutama dalam hal aspek sosial. Orang tua perlu
menerapkan sejumlah kontrol bila mereka ingin anaknya berkembang
menjadi individu yang kompeten dalam hal intelektual dan sosial
(Hetherington and Parke, 1999).
Orang tua yang memiliki kontrol tinggi akan menerapkan standar
tinggi terhadap tingkah laku anaknya dan selalu memantau tingkah laku
anaknya untuk meyakinkan bahwa anak mereka dapat memenuhi
standar yang diterapkannya (Martin and Colbert, 1997). Orang tua juga
akan cenderung menggunakan metode power assertive seperti hukuman
fisik untuk mengontrol tingkah laku anaknya, terutama untuk tingkah
laku yang bersifat agresif (Hetherington and Parke, 1999).
Orang tua yang menerapkan kontrol rendah tidak akan menuntut
banyak pada anak, kurang membatasi tingkah laku anak, serta memberi
banyak kebebasan pada anak dengan sedikit bimbingan. Mereka juga
lebih sedikit memberi tekanan untuk mengontrol tingkah laku anak
serta penerapan disiplin yang kurang konsisten. Orang tua berusaha
agar ketaatan anak pada standar tingkah laku yang diterapkan
didasarkan pada keinginan dalam diri anak itu sendiri bukan pada
ketakutan akan adanya kontrol eksternal oleh orang tua.

2.2.3 Jenis Pola Asuh Orang tua


Berdasarkan interaksi antara dimensi warmth atau responsiveness dan
control atau demandingness maka terbentuklah tiga tipe pola asuh orang tua
menurut Baumrind (1991), yaitu authoritarian, authoritative, dan
permissive.
1. Pola asuh authoritarian
Pola asuh authoritarian adalah pola asuh yang memiliki tuntutan
tinggi untuk mengontrol diri namun kurang responsif terhadap hak dan
keinginan anak. Pola asuh ini menekankan pada kontrol dan ketaatan
anak. Pola asuh ini juga menegakkan disiplin dengan cara memberi
hukuman. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini memiliki standar
mutlak dan mengharuskan anaknya untuk selalu menaati aturannya
tanpa memberikan kesempatan pada anak untuk bertanya dan memberi
komentar. Orang tua akan memberi hukuman keras apabila anak
berperilaku tidak sesuai dengan standar yang ditetapkannya. Orang tua
juga cenderung menjaga jarak dan kurang responsif terhadap hak dan
kebutuhan anaknya (Martin and Colbert, 1997). Ciri khas dari tipe ini
adalah orang tua bersifat dominan dan mempunyai kuasa atas anaknya.
Anak yang mendapatkan perlakuan ini secara terus menerus akan
menjadi anak yang moody, tidak bahagia, penuh rasa takut, cemas,
menarik diri dari lingkungan, kurang memiliki komunikasi yang baik,
dan menjadi cepat marah (Yazdani and Daryei, 2016). Remaja juga
cenderung menjadi individu yang bergantung pada orang lain, pasif,
kemampuan bersosialisasi kurang, kurang percaya diri, dan kurang
berminat pada hal-hal yang terkait dengan intelektualitas.
2. Pola asuh authoritative
Pola asuh authoritative merupakan pola asuh yang demanding dan
responsive dimana orang tua menggunakan pendekatan yang rasional
dan demokratis. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini memberikan
kehangatan dan kasih sayang, menghargai pendapat, keunikan pribadi
anak dan keputusan anak (Yazdani and Daryei, 2016). Meskipun
mereka menghargai kebebasan anak, orang tua juga tegas dalam
menetapkan standar pada anaknya dan akan menggunakan hukuman
apabila diperlukan. Orang tua akan menjelaskan apa saja yang
mendasari penetapan standar tesebut dan mendorong proses saling
memberi dan menerima secara verbal. Pemberian hukuman bertujuan
untuk lebih memberi perhatian pada masalah daripada ketakutan anak
pada hukuman. Ciri utama dari tipe authoritative ini adalah adanya
diskusi bersama antara orang tua dan anak (Yazdani and Daryei, 2016).
Anak dengan orang tua authoritative akan mempunyai kontrol dan
percaya diri yang baik, bahagia, berorientasi pada prestasi, kooperatif
dengan orang dewasa, memiliki hubungan pertemanan yang baik,
mampu mengendalikan diri, dan dapat mengatasi stres atau masalah
dengan baik. Anak tidak akan bergantung pada orang lain dan
berperilaku kekanak-kanakan, serta responsif (Baumrind, 1991).
3. Pola asuh permissive
Pola asuh permissive merupakan pola asuh yang responsif namun
tidak menuntut (Bee and Boyd, 2006). Pola asuh ini menggunakan
pendekatan yang sangat toleran terhadap tingkah laku anak. Pola asuh
permissive mempunyai ciri khas harapan rendah untuk pengendalian
diri dan disiplin dalam pengaturan sensitivtas dan kehangatan yang
tinggi. Orang tua cenderung membiarkan perilaku anak dan tidak
memberi hukuman atas perbuatan anak yang buruk. Orang tua juga
cenderung menerapkan disiplin yang tidak konsisten (Bee and Boyd,
2006).
Pola asuh tipe permissive memiliki dampak buruk bagi anak.
Akibat penerapan pola asuh ini anak akan bertindak sesuka hati, tidak
mampu mengendalikan diri, tingkat kesadaran yang rendah, memiliki
pola hidup yang bebas tanpa aturan, memaksakan kehendak, tidak
mampu membedakan mana yang baik dan buruk, kemampuan
berkompetensi rendah, mudah putus asa, tidak produktif, dan
kemampuan pengambilan keputusan yang rendah. Tipe pola asuh
authoritative mempunyai dampak yang lebih buruk dibandingkan
dengan pola asuh authoritarian dalam hal prestasi belajar (Yazdani and
Daryei, 2016).
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang tua
Jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Menurut Hurlock (2011) faktor-faktor tersebut adalah :
1. Pola asuh yang diterima orang tua waktu masih anak-anak
Orang tua mempunyai kecenderungan untuk menerapkan pola asuh
yang sama seperti pola asuh yang diterima dari orang tua mereka.
2. Pendidikan orang tua
Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi cenderung menerapkan
pola asuh yang lebih demokratif kepada anak-anaknya.
3. Kelas sosial
Adanya perbedaan kelas sosial orang tua mempengaruhi tipe pola
asuh yang diterapkan. Orang tua dari kelas sosial menengah lebih
banyak menerapkan pola asuh authoritative dibandingkan orang tua
dari kelas sosial ke bawah.
4. Konsep tentang peran orang tua
Masing-masing orang tua mempunyai konsep tentang bagaimana
seharusnya mereka berperan. Orang tua yang memiliki konsep
tradisional cenderung memilih pola asuh authoritarian dibandingkan
dengan konsep non tradisional.
5. Kepribadian orang tua
Kepribadian mempengaruhi orang tua dalam menginterpretasikan
pola asuh yang akan diterapkannya. Orang tua yang memiliki
kepribadian tertutup dan konservatif akan cenderung memperlakukan
anaknya dengan pola asuh authoritarian.
6. Kepribadian anak
Anak yang memiliki tipe kepribadian extrovert akan bersikap lebih
terbuka dalam menerima rangsangan yang ada dibandingkan dengan
anak yang memiliki kepribadian introvert.
7. Faktor yang dianut oleh orang tua
Kedudukan seorang anak sejajar dengan orang tua, hal itu
menganut paham ‘equalitarian’.
8. Usia anak
Tingkah laku dan sikap orang tua terhadap anaknya dipengaruhi
oleh usia anak. Orang tua memberikan dukungan lebih dan dapat
menerima sikap ketergantungan pada anak usia pra sekolah dan remaja.
2.2.5 Konsep Kuesioner PSDQ
Instrumen pola asuh orang tua menggunakan kuesioner The Parenting
Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) yang dibuat oleh Robinson et
al., (2001) dengan mengadaptasi dari Parenting Practice Questionnaire
(PPQ). Alat ukur ini disusun berdasarkan teori parenting style dari
Baumrind yang bertujuan untuk melihat intensitas munculnya perilaku
tertentu dari orang tua terhadap anaknya. PSDQ diisi oleh remaja yang
menjadi responden, dimana kuesioner ini terdiri dari 32 item pernyataan
yang tidak mempunyai item favorable dan unfavorable.
Kuesioner PSDQ memiliki 3 subskala yang masing-masing mengukur
pola asuh orang tua authoritative (15 item), authoritarian (12 item) dan
permissive (5 item). Terdapat 15 item dalam authoritative yang terdiri dari
tiga subskala yaitu connection, regulation, dan autonomy granting, 12 item
dalam authoritarian dikelompokkan menjadi tiga subskala yaitu physical
coercion, verbal hostility, dan non-reasoning/punitive, dan 5 item dalam
permissive meliputi subskala indulgent dimension.

2.3 Smartphone Addiction


2.3.1 Definisi
Ketergantungan atau dapat disebut juga dengan kecanduan atau
addiction dapat terjadi dalam penggunaan smartphone. Kecanduan
didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan berulang-ulang dan dapat
menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya (Kwon et al., 2013).
Kecanduan adalah kondisi dari tubuh atau pikiran seseorang yang
terus menerus terlibat dengan sesuatu, sehingga membentuk suatu kebiasaan
dan menjadikan ketergantungan terhadap aktivitas tersebut (Yusuf et al.,
2019).
Smartphone addiction adalah kondisi dimana individu lebih asyik
menggunakan smartphone yang dimiliki sejauh individu tersebut
mengabaikan area lain dalam kehidupannya (Al-Barashdi et al., 2015).
Smartphone addiction memiliki banyak kesamaan aspek pada internet
addiction, sehingga dalam mempertimbangkan kriteria smartphone
addiction juga harus mempertimbangkan internet addiction (Kim and Koh,
2018).
Indikasi yang menandakan seseorang kecanduan terhadap smartphone
bisa diukur melalui melalui durasi penggunaan smartphone. Seorang anak
akan dikategorikan mengalami kecanduan smartphone apabila durasi
penggunaan smartphone lebih dari 60 menit dalam 1 kali penggunaan dan
dalam satu hari mereka bisa menggunakan lebih dari 1 kali (Sujianti, 2018).
2.3.2 Kriteria Smartphone Addiction
Menurut Kwon et al., (2013) karakteristik smartphone addiction
dijabarkan dalam enam kriteria, antara lain :
1. Daily life disturbance (gangguan kehidupan sehari-hari)
Gangguan kehidupan sehari-hari mencakup tidak mengerjakan
pekerjaan yang telah direncanakan, sulit berkonsentrasi dalam kelas,
menderita sakit kepala ringan, pengelihatan kabur, menderita sakit di
pergelangan tangan atau di belakang leher dan gangguan tidur. Selain
itu, pengguna smartphone juga mengalami kesulitan dalam
berkonsentrasi pada kegiatan atau pekerjaan yang sedang dilakukan
karena terus memikirkan smartphone yang dimilikinya. Pengguna
smartphone tersebut juga banyak menghabiskan waktu untuk
menggunakan smartphone yang dimiliki, sehingga hal tersebut
mengakibatkan timbulnya rasa sakit di kepala, pergelangan tangan atau
di belakang leher dan beberapa tempat lainnya. Hal ini berarti, individu
yang mengalami kecanduan smartphone akan ditandai dengan adanya
gangguan dalam kehidupan sehari - hari.
2. Positive anticipation
Positive anticipation merupakan perasaan bersemangat dari
pengguna dan menjadikan smartphone sebagai sarana untuk
mengurangi atau menghilangkan stress dan perasaan hampa tanpa
smartphone. Bagi sebagian besar pengguna smartphone, smartphone
bukan hanya perangkat berkomunikasi, bermain game, akan tetapi juga
merupakan teman yang memberikan kesenangan, mengurangi
kelelahan, mengurangi rasa cemas dan memberikan rasa aman. Selain
itu, uraian di atas menunjukkan bahwa individu yang mengalami
kecanduan smartphone akan memiliki perasaan bersemangat dalam
menggunakan smartphone dan menjadikan smartphone sebagai sarana
untuk menghilangkan stress.
3. Withdrawal
Withdrawal adalah kondisi dimana pengguna smartphone merasa
tidak sabar, resah dan intolerable tanpa smartphone. Selain itu,
withdrawal merupakan kondisi dimana pengguna smartphone secara
terus-menerus memikirkan smartphone yang dimiliki meskipun sedang
tidak menggunakannya. Withdrawal juga ditunjukkan melalui
penggunaan smartphone secara terus-menerus dan marah ketika merasa
terganggu saat menggunakan smartphone yang dimilikinya. Melalui
uraian di atas, dapat dilihat bahwa individu yang mengalami kecanduan
smartphone akan menunjukkan perasaan tidak sabar, resah dan
intolerable ketika tidak dapat menggunakan smartphone yang dimiliki,
serta marah saat merasa terganggu dalam menggunakan smartphone.
4. Cyberspace-oriented relationship
Cyberspace oriented relationship yaitu kondisi dimana seseorang
memiliki hubungan pertemanan yang lebih erat dalam jaringan media
sosial pada smartphone dibandingkan dengan teman dikehidupan yang
sebenarnya. Hal ini menyebabkan pengguna tersebut mengalami
perasaan kehilangan yang tidak terkendali ketika tidak dapat
mnggunakan smartphone yang dimiliki. Selain itu, pengguna tersebut
juga secara terus-menerus memeriksa smartphone yang dimilikinya.
Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kecanduan smartphone
akan merasa bahwa dirinya memiliki hubungan yang lebih erat dengan
jejaring pertemanan yang terdapat di media sosial dibandingkan di
kehidupan nyata.

5. Overuse (penggunaan berlebihan)


Overuse mengacu pada penggunaan smartphone secara berlebihan
dan tidak terkendali. Selain itu, penggunaan berlebihan menyebabkan
pengguna lebih memilih untuk mencari pertolongan melalui
smartphone. Overuse juga mengacu pada perilaku dimana pengguna
selalu mempersiapkan pengisian daya smartphone dan merasakan
dorongan untuk terus menggunakan smartphone tepat setelah seseorang
tersebut memutuskan untuk berhenti menggunakannya. Berdasarkan
penjelasan di atas, individu dengan kecanduan smartphone akan
menunjukkan penggunaan berlebihan terhadap smartphone yang
dimilikinya.
6. Tolerance
Tolerance merupakan kondisi dimana pengguna selalu gagal untuk
mengendalikan penggunaan smartphone. Hal ini berarti, individu
dengan kecanduan smartphone akan menunjukkan kegagalan dalam
mengendalikan dirinya terhadap penggunaan smartphone.
2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Smartphone Addiction
Faktor yang mempengaruhi kecanduan smartphone adalah gangguan
dalam aktivitas keseharian, seperti masalah fisik, sosial, atau psikologis
yang sering timbul dan kemungkinan besar disebabkan atau diperburuk
dengan penggunaan smartphone menurut (Kwon et al., 2013). Empat faktor
penyebab kecanduan smartphone (Agusta, 2016), yaitu :
1. Faktor internal
Faktor yang menggambarkan karakteristik individu, terdiri atas :
a. Tingkat sensation seeking yang tinggi. Sensation seeking atau biasa
disebut pencarian sensasi adalah sifat yang memiliki kebutuhan
beragam, baru, dan sensasi-sensasi kompleks, serta keinginan untuk
mengambil resiko, baik secara fisik maupun secara sosial.
b. Self-esteem yang rendah. Self-esteem merupakan evaluasi diri
individu terhadap kualitas atau harga diri sebagai manusia.
c. Kepribadian introversi tinggi.
d. Kontrol diri rendah. Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk
menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan langkah serta
tindakannya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
2. Faktor situasional
Faktor mengarah pada penggunaan smartphone sebagai sarana
individu merasa nyaman secara psikologis ketika situasi disekitarnya
tidak nyaman. Individu akan merasa terganggu dalam aktivitas bila ada
situasi yang tidak nyaman dan akan cepat bertindak untuk mengatasi hal
tersebut.
3. Faktor sosial
Individu selalu menggunakan smartphone untuk berinteraksi dan
menjaga hubungan dengan orang lain serta cenderung malas untuk
bersosialisasi secara langsung.
4. Faktor eksternal
Faktor ini berkaitan dengan tingginya paparan media tentang
smartphone dan berbagai fasilitasnya serta membahas besarnya
pengaruh media dalam mempengaruhi individu dalam memenuhi
kebutuhan akan smartphone.
2.3.4 Gejala Smartphone Addiction
Gejala kecanduan internet yang paling umum adalah penderita
menghabiskan waktu secara berlebihan untuk online. Gangguan tersebut
mendesak penderita untuk menggunakan internet ketika offline dan secara
signifikan mengalihkan waktu dan pikirannya. Pada saat penderita mulai
untuk mengurangi pengaksesan internet, penderita tersebut akan merasa
cemas, iritabel, dan depresi. Ansietas dapat timbul sebelum mengakses
internet dan hilang ketika berhasil mengakses internet. Kecanduan internet
yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan yang signifikan pada
pekerjaan, pendidikan, keluarga, atau interaksi sosial. Beberapa penderita
kecanduan internet tidak menganggap bahwa kecanduan internet merupakan
suatu masalah sehingga hanya sedikit penderita yang mencari pengobatan ke
tenaga kesehatan profesional (Pezoa et al., 2012).
Kecanduan internet termasuk dalam adiksi perilaku karena dapat
menunjukkan gejala-gajala, seperti salience, modifikasi mood, toleransi,
reaksi penarikan, konflik, dan kekambuhan. Salience menunjukkan keadaan
dimana pengaksesan internet menjadi aktivitas paling penting dalam
kehidupan dan cenderung untuk mendominasi pikiran, perasaan, dan
perilaku. Modifikasi mood menunjukkan adanya perubahan emosi setelah
pengaksesan internet sebagai strategi koping atau sesuatu yang
menenangkan. Toleransi menunjukkan terjadi proses peningkatan intensitas
pengaksesan internet untuk mencapai efek modifikasi mood. Reaksi
penarikan menunjukkan adanya perasaan dan efek fisik yang tidak
menyenangkan (gemetar, moody, iritabel) yang terjadi ketika tidak mampu
untuk mengakses internet. Konflik menunjukkan adanya perselisihan
dengan orang lain ataupun dengan aktivitas lainnya. Kekambuhan
menunjukkan ketergantungan untuk kembali mengulangi pengaksesan
internet secara terus-menerus (Weinstein et al., 2014).
2.3.5 Dampak Smartphone Addiction
Sebuah penelitian menyatakan bahwa depresi, kecemasan, sensitivitas
interpersonal, dan psikosis merupakan konsekuensi dari kecanduan internet
(Dong et al., 2011). Sebuah systematic review menuliskan bahwa terdapat
korelasi adiksi internet sebesar 75% dengan depresi, 57% dengan
kecemasan, 100% dengan gejala ADHD, 60% dengan gejala obsesif-
kompulsif, dan 66% dengan hostility (Carli et al., 2013). Kecanduan internet
juga dapat menyebabkan gangguan psikiatrik lainnya, seperti gangguan
afektif, gangguan kecemasan, ADHD, penggunaan zat dan alkohol, depresi,
ide bunuh diri, skizofrenia, gangguan obsesif-kompulsif, psikotik, perilaku
agresif, antisosial, dan masalah psikosomatik, seperti kondisi kesehatan
yang buruk, tidur yang berlebihan, kurangnya energi, disfungsi fisiologis,
imunitas yang lemah, obesitas, dan penglihatan yang buruk (Kuss et al.,
2013). Selain itu, kecanduan smartphone dapat menimbulkan dampak
negatif lain, yaitu:
1. Timbul permasalahan di dalam keluarga karena mengabaikan hubungan
di dalam keluarga dan berbagai macam pekerjaan rumah. Masalah
kepercayaan juga dapat terjadi karena sering adanya kebohongan oleh
pengguna. Mudah emosi sehingga dapat sering terjadi kemarahan.
2. Terjadi permasalahan akademik, seperti penurunan minat belajar,
penurunan nilai yang signifikan, sering tidak mengikuti kelas.
3. Masalah pekerjaan karena tidak dapat fokus dalam pekerjaan dan
mencuri- curi kesempatan dalam melakukan online.
2.3.6 Penatalaksanaan Smartphone Addiction
Permasalahan kecanduan tersebut dapat berlanjut ke tahapan
kerusakan kognitif apabila tidak ditangani dengan tepat. Banyak cara yang
dapat dilakukan untuk menurunkan kecanduan terhadap internet, salah
satunya dapat dengan Cognitive-Bahavior Therapy for Internet addiction
(CBT-IA) (Kwon et al., 2013).
Penanganan diberikan melalui delapan sesi secara berkelompok.
Dilakukan intervensi dengan dilatih penggunaan internet yang baik,
manajemen waktu, manajemen emosional, manajemen kognitif, dan
manajemen perilaku yang akan terus dipanatau selama 6 bulan. Selain itu,
juga dapat dilakukan penanganan dengan farmakologi, dan juga terapi lain,
seperti comprehensive therapy (CT) dengan electro-acupunture (EA)
dikombinasikan dengan psycho-intervention (PI) pada fungsi kognitif dan
event-related potensials (ERP) dari pengguna dengan kecanduan tersebut
(Weinstein et al., 2014).
2.3.7 Konsep Kuesioner SAS
Instrumen smartphone addiction menggunakan Smartphone Addiction
Scale (SAS) diambil dari penelitian Kwon et al., (2013) yang telah
dimodifikasi oleh Meirianto (2018). Kuesioner ini terdiri dari 28 item
pertanyaan yang tidak mempunyai item favorable dan unfavorable.
Kuesioner ini terdapat 6 subskala yang masing-masing mengukur gangguan
kehidupan sehari-hari (daily life disturbance) (2 item), semangat dalam
penggunaan dan hampa tanpa menggunakan smartphone (positive
anticipation) (8 item), tidak sabar resah dan bisa mengantisipasi
(withdrawal) (6 item), mengabaikan kehidupan sosial (cyberspace oriented
relationship) (7 item), penggunaan yang berlebihan (overuse) (4 item), tidak
dapat mengontrol (tolerance) (3 item).

2.4 Perilaku Bullying


2.4.1 Definisi
Perilaku bullying merupakan salah satu perilaku maladaptif dan
merupakan hasil dari kekurangan dalam keterampilan sosial dan pengolahan
informasi sosial (Volk et al., 2018).
Bullying menurut Olweus (2013) merupakan tindakan negatif dalam
waktu cukup panjang dan berulang yang dilakukan oleh satu orang atau
lebih terhadap orang lain, dimana terjadi ketidakseimbangan kekuatan dan
korban tidak memiliki kemampuan untuk melindungi diri.
Menurut The Centers for Disease Control and Prevention, bullying
adalah perilaku agresif yang tidak diinginkan oleh remaja lain atau
kelompok remaja yang melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan yang
dapat diamati atau dirasakan dan terjadi berulang beberapa kali (Waseem et
al., 2017).
Berdasarkan beberapa definisi menurut para ahli diatas maka dapat
disimpulkan bahwa bullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresif
yang dilakukan dalam jangka waktu lama dan berulang yang dapat
menyebabkan orang lain tidak nyaman karena terjadi ketidakseimbangan
kekuatan.
2.4.2 Penyebab Bullying
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perilaku bullying menurut
Astuti (2008) yaitu :
1. Perbedaan kelas, termasuk perbedaan jenis kelamin, agama, ekonomi,
dan budaya.
2. Tradisi senioritas, tradisi yang diwariskan oleh seniornya sering
dijadikan alasan untuk melakukan bullying, tradisi ini akan terjadi
terus- menerus.
3. Senioritas, alasan melakukan bullying adalah untuk menunjukkan diri
atau mencari popularitas, alat untuk balas dendam, dan untuk
menunjukkan kekuasaan.
4. Keluarga yang tidak rukun, masalah yang terjadi di dalam keluarga
dapat menjadi penyebab perilaku bullying seperti perceraian orang tua,
komunikasi yang kurang, ketidakharmonisan orang tua, dan masalah
sosial ekonomi.
5. Iklim sekolah yang tidak harmonis, peraturan sekolah yang tidak
ditegakkan, pengawasan guru yang kurang, dan tidak layaknya
bimbingan etika dari guru dapat menyebabkan terjadinya bullying.
6. Karakteristik individu atau kelompok, penyebab perilaku bullying yang
termasuk dalam karakteristik individu atau kelompok yaitu: rasa ingin
menjadi penguasa dan mendapatkan popularitas.
7. Persepsi yang salah atas perilaku korban, korban sering merasa bahwa
dirinya layak di bully, sehingga tidak ada usaha menghentikan untuk
menghentikan tindakan tersebut meskipun hal itu terjadi berulang-
ulang.
2.4.3 Faktor Resiko Bullying
Menurut Gentile and Bushman (2012) faktor resiko yang
menyebabkan seseorang menjadi pelaku bullying adalah :
1. Kecenderungan dalam permusuhan
Permusuhan tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari, hal
itu yng menyebabkan anak merasa dimusuhi dan merasa ingin balas
dendam atas perlakuan yang diterimanya.
2. Kurangnya perhatian
Kurang perhatian dari orang tua menyebabkan anak akan mencari
perhatian di luar rumah dengan cara menunjukkan kekuatannya dan
mencari popularitas di luar rumah.
3. Jenis kelamin
Jenis kelamin laki-laki menjadi faktor resiko terjadinya bullying
karena mereka berpikiran bahwa laki-laki harus kuat dan tidak boleh
dikalahkan, inilah yang menyebabkannya berperilaku agresif.
4. Riwayat berkelahi
Seseorang yang pernah berkelahi akan cenderung mengulangi
perbuatannya lagi, ini terjadi karena mereka merasa senang saat
mendapatkan pujian.
5. Terpapar kekerasan dari media
Media yang berkembang pesat mempunyai peran besar dalam
mempengaruhi perilaku seseorang. Adanya televisi, film, games akan
menjadi percontohan dalam perilaku kekerasan pada anak.
2.4.4 Bentuk – Bentuk Bullying
Bullying yang terjadi dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu
bullying verbal, fisik, dan relasional (Patchin and Hinduja, 2011).
1. Bullying verbal
Tindakan yang termasuk dalam bentuk bullying verbal yaitu:
memaki, menghina, memfitnah, memberi julukan yang tidak
menyenangkan, mempermalukan di depan umum, menuduh,
menyoraki, menyebarkan gossip negatif, mengejek, memanggil nama
dan membentak (Waseem et al., 2017).
2. Bullying fisik
Bullying ini merupakan bentuk bullying yang bersifat langsung dan
terdapat kontak fisik antara pelaku dan korban. Perilaku yang termasuk
dalam bentuk bullying fisik yaitu memukul, meludahi, menampar,
menendang, menjewer, mencubit, mendorong, dan ancaman fisik yang
lain (Waseem et al., 2017).
3. Bullying relasional/sosial
Bullying yang termasuk dalam bullying relasional yaitu bullying
yang berhubungan dengan semua perilaku yang bersifat merusak
hubungan dengan orang lain. Tindakan yang termasuk dalam bullying
ini adalah sengaja mendiamkan seseorang, mengucilkan seseorang,
penolakan kelompok, pemberian gesture yang tidak menyenangkan
(memandang sinis, merendahkan, dan penuh ancaman), dan
menyebarkan gosip tentang korban.
Menurut Hemphill, Tollit and Herrenkohl (2014) berdasarkan media
perantaranya bullying dibagi menjadi dua yaitu:
1. Traditional bullying
Traditional bullying dicirikan dengan adanya tindakan agresif secara
langsung atau melalui tatap muka antar pelaku dan korban. Traditional
bullying dapat berupa bullying fisik, verbal, dan psikologis. Traditional
bullying secara langsung berdampak negatif pada kondisi fisik dan
psikologis korban bullying. Dampaknya dapat berupa lebam, memar,
hilangnya rasa percaya diri, penolakan dan isolasi sosial, psikosomatik,
kekhawatiran, dan ketidakmampuan sosial.
2. Cyberbullying
Cyberbullying merupakan tindakan agresif yang menggunakan
perantara teknologi dalam pelaksanaannya. Cyberbullying dapat berupa
bullying verbal dan psikologis yang terjadi melalui media sosial, email,
blog, chatroom, atau instant messaging. Cyberbullying berdampak
buruk pada kondisi psikologis dan fisik korban.
2.4.5 Faktor yang Mempengaruhi Bullying
Perilaku bullying dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdiri dari
faktor personal dan faktor situasional (Anderson and Groves, 2013). Faktor
personal terdiri dari pola asuh orang tua dan harga diri. faktor situasional
terdiri dari norma kelompok, sekolah, serta media dan teknologi.
1. Pola asuh orang tua
Pola asuh orang tua sangat berpengaruh dalam membentuk
kepribadian dan perilaku seorang anak. Orang tua yang menggunakan
bullying sebagai cara untuk proses belajar pada anak akan membuat
anak beranggapan bahwa bullying adalah perilaku yang wajar dan dapat
diterima dalam berinteraksi dengan orang lain. Terdapat hubungan
antara pola asuh orang tua dengan perilaku agresif pada remaja
(Olweus, 2013).
Pola asuh orang tua yang menerapkan hukuman fisik sebagai
bentuk disipliner pada anaknya akan mempengaruhi perilaku bullying
pada anak perempuan. Sedangkan pada anak laki-laki komunikasi
dengan kedua orang tua dan agresi psikologis orang tua berperan
langsung dalam perilaku bullying. Anak yang mengalami bullying di
rumah melalui penghinaan dan teriakan dapat menjadikannya cemas
dan rendah diri, selanjutnya dapat meningkatkan resiko menjadi korban
bullying. Pola asuh orang tua yang kejam seperti memberi hukuman
fisik dan agresi psikologis akan meningkatkan kerentanan remaja
melakukan perilaku bullying di sekolah atau perilaku kekerasan lainnya
pada teman sebayanya. Kurangnya kasih sayang, rendahnya otonomi,
humor yang buruk dan kontrol perilaku yang besar merupakan pola
asuh yang mendukung perilaku negatif pada anak (Fanti and Henrich,
2015). Anak yang melakukan perilaku bullying sebagian besar
mendapatkan pola asuh ibu jenis otoriter (Annisa, 2012).
2. Harga diri
Harga diri dapat mempengaruhi perilaku bullying, dimana anak
yang memiliki harga diri rendah akan memandang dirinya sebagai
orang yang tidak berharga. Rasa tidak berharga itulah yang
mencerminkan rasa tidak berguna dan tidak mempunyai kemampuan
dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga, dan keadaan fisiknya.
Harga diri rendah dapat membuat seorang anak merasa tidak mampu
menjalin hubungan dengan temannya sehingga ia akan menjadi mudah
marah dan tersinggung. Akibatnya anak akan melakukan perbuatan
yang menyakiti temannya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Fanti and Henrich, 2015),
harga diri dikaitkan dengan peningkatan bullying pada remaja yang
memiliki narsisme tinggi. Konsep harga diri yang rendah atau indikasi
harga diri rendah dengan pandangan diri yang tinggi atau narsisme yang
tingi dapat berkontribusi dalam perburukan bullying. Harga diri yang
rendah menjadi salah satu faktor resiko perilaku agresi dan perilaku
antisosial. Pelaku bullying cenderung memiliki harga diri yang lebih
tinggi dibandingkan korban bullying.

3. Norma kelompok
Norma kelompok dapat membuat perilaku bullying dapat diterima
sebagai perilaku yang wajar (O’Connell, 2003). Anak melakukan
perilaku bullying adalah salah satu cara agar dapat diterima dalam
kelompoknya. Jika kelompok melakukan bullying terhadap anak lain,
maka anak yang tergabung dalam kelompok tersebut akan mendukung
anggota kelompoknya untuk melakukan bullying. Kelompok
menggunakan bullying sebagai cara untuk mengajarkan norma yang
dianut dalam kelompok tersebut pada anak lain yang ingin bergabung
dalam kelompok tersebut.
Norma teman sebaya dan persepsi norma teman sebaya
menunjukkan kecenderungan seseorang akan melakukan suatu tindakan
atau perilaku untuk menyesuaikan dirinya dengan norma teman sebaya
yang mereka lihat. Norma ini membantu mereka dalam menentukan
situasi dan memberikan panduan tentang perilaku yang diharapkan
dalam kelompok (Perkins et al., 2011).
4. Teman sebaya
Pergaulan dengan teman sebaya dapat mempengaruhi terjadinya
bullying, jika anak bergaul dengan teman sebaya yang mempunyai
kecenderungan berperilaku agresif maka dapat memperkuat
pembentukan perilaku bullying pada diri anak. Menurut penelitian
Vanderbilt and Augustyn (2010) kesulitan dalam berhubungan dengan
teman sebaya menjadi prediktor kuat terjadinya perilaku agresif.
Kesulitan berhubungan dengan teman sebaya juga mempengaruhi
kesulitan pada hubungan di waktu selanjutnya, karena remaja
cenderung berteman dengan jenis teman yang sama dan menghabiskan
lebih banyak waktu bersama mereka daripada dengan orang tuanya. Hal
tersebut juga dapat menyebabkan stres dan perilaku agresif karena
mereka dapat gagal mendapatkan dukungan sosial dan emosional dari
teman sebayanya.
Bullying yang terjadi di sekolah merupakan proses relasional yang
inheren, bergantung pada dominasi, penaklukan, dan apatisme, semua
ini dibentuk oleh norma teman sebaya. Kekuatan kelompok sebaya
berpartisipasi dalam perilaku bullying (Vanderbilt and Augustyn, 2010).
5. Budaya sekolah
Budaya sekolah dapat mempengaruhi perilaku bullying. Guru dan
pihak sekolah yang tidak peduli terhadap kekerasan yang dilakukan
oleh siswanya dapat meningkatkan perilaku bullying di sekolah
(O’Connell, 2003). Pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan
bullying. Anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan
terhadap perilaku mereka untuk mengintimidasi anak yang lainnya.
Bullying yang berkembang pesat di lingkungan sekolah dapat
memberikan masukan negatif pada siswanya. Cara memberikan
pembelajaran terhadap perilaku bullying sering tidak sesuai, seperti
hukuman yang tidak membangun sehingga tidak akan mengembangkan
rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.
6. Media dan teknologi
Media merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
perilaku bullying. Anak yang terekspos bullying melalui media baik
cetak maupun elektronik akan cenderung bersikap lebih agresif dan
menunjukkan sikap kekerasan pada teman sebayanya. Pengaruh media
terhadap perilaku bullying pada anak yaitu anak yang tereskspos
kekerasan level tinggi media akan cenderung langsung mempraktikkan
pada teman sebaya. Anak yang terbiasa melihat kekerasan melalui
media dan teknologi akan membentuk persepsi bahwa mereka harus
melakukan kekerasan agar tidak menjadi korban kekerasan (Benitez and
Justicia, 2006).
Penggunaan smartphone dan internet pada remaja mempengaruhi
perilaku bullying. Pengawasan yang kurang oleh orang tua terhadap
anaknya dalam penggunaan internet dapat mempengaruhi kesejahteraan
remaja dan status sosialnya (Schroeder et al., 2017).
Penggunaan smartphone dan internet mempunyai dampak negatif,
yaitu melakukan perilaku beresiko dan cyberbullying. Cyberbullying
sendiri merupakan salah satu bentuk bullying (Radovic et al., 2017).
Menurut Schroeder, Morris and Flack (2017) faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku bullying yaitu :
1. Self control
Rendahnya kontrol diri dalam mengatur gratifikasi dan rangsangan
instan dapat memberikan pengaruh atas perilaku agresif. Pengaruh
kontrol diri memiliki efek yang lebih besar pada cyberbullying
dibandingkan dengan traditional bullying.
2. Paparan kekerasan
Pengaruh kekerasan berperan penting dalam terjadinya perilaku
agresif. Anak akan belajar perilaku agresif melalui pemodelan dari film-
film kekerasan yang ada di media. Paparan kekerasan yang ada pada
media menyebabkan perilaku agresif di dunia nyata. Paparan kekerasan
ini lebih berpengaruh besar pada cyberbullying karena cyberbullying
dilakukan melalui media.
3. Dukungan sosial
Faktor psikososial merupakan faktor utama dalam bullying.
Dukungan sosial dapat mengurangi partisipasi dalam tindakan
kekerasan, dan perilaku beresiko lainnya. Dukungan dari guru, orang
tua, dan teman dapat mengurangi perilaku kekerasan.
2.4.6 Ciri – Ciri Perilaku Bullying
Ciri ciri perilaku bullying menurut Vanderbilt and Augustyn (2010) adalah:
1. Pelaku
a. Sering melakukan perkelahian fisik maupun verbal.
b. Memiliki teman yang melakukan bullying pada orang lain.
c. Menunjukkan perilaku agresif.
d. Sering dilaporkan kepada kepala sekolah dan diberi hukuman.
e. Mendapatkan skorsing oleh pihak sekolah atau putus sekolah.
f. Memiliki uang berlebih atau barang-barang baru yang tidak dapat
dijelaskan.
g. Menyalahkan orang lain atas masalah yang terjadi pada dirinya.
h. Tidak bertanggung jawab atas tindakannya.
i. Kompetitif dan fokus pada reputasi atau popularitasnya.
j. Mungkin melakukan intimidasi pada saudara kandung.
2. Korban
a. Adanya cedera tanpa ada penjelasan.
b. Sering kehilangan barang-barang.
c. Munculnya gejala somatik seperti sakit kepala, sakit perut, dan yang
lainnya.
d. Sering mendapatkan mimpi buruk atau terjadi perubahan pola tidur.
e. Tidak mau pergi ke sekolah.
f. Pergi meninggalkan rumah, melukai diri sendiri, berpikir untuk
melakukan bunuh diri, atau menyakiti orang lain (Vanderbilt and
Augustyn, 2010).
2.4.7 Siklus Bullying

Gambar 2.1 Siklus bullying (Coloroso, 2009)

1. Bully (pelaku) : memulai bullying dan mengambil bagian aktif.


2. Followers / henchmen (pengikut/henchmen) : mengambil peran yang
aktif tetapi tidak memulai bullying.
3. Supporters, passive bully / bullies (pendukung, pengganggu pasif):
mendukung bullying namun tidak termasuk bagian aktif.
4. Passive supporters, possible bullies (pendukung pasif, mungkin
pengganggu) : seperti bullying tetapi tidak terbuka dalam terlibat.
5. Disengaged onlookers (orang yang tidak terlibat) : memperhatikan apa
yang sedang terjadi namun tidak mengambil sikap apapun atau bersikap
acuh tak acuh.
6. Possible defender (kemungkinan pembela) : tidak menyukai perilaku
bullying dan berpikir untuk membantu korban bullying namun tidak
melakukannya.
7. Defenders of the target (pembela sasaran) : tidak menyukai perilaku
bullying dan mencoba membantu target.
8. The target (target) : orang yang sedang di bully / korban (Coloroso,
2009)
2.4.8 Dampak Bullying
Perilaku bullying dapat memberikan dampak jangka panjang bagi
pelaku, korban, dan pelaku/korban. Dampak tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Pelaku
Pelaku yang mengakui perilakunya memiliki tingkat depresi dan
tekanan psikologis yang lebih tinggi daripada mereka yang menyangkal
melakukan bullying. Semua pelaku memiliki sikap negatif yang lebih
tinggi terhadap sekolah dan bersiko tinggi putus sekolah. Pelaku juga
cenderung memiliki diagnosa psikiatri kepribadian antisosial,
penyalahgunaan zat, dan gangguan kecemasan. Pelaku lebih bersiko
tinggi menggunakan alkohol, obat-obatan terlarang, dan merokok.
Pelaku yang melakukannya sejak masih anak-anak memiliki resiko
empat kali lipat berperilaku kriminal pada masa dewasanya (Vanderbilt
and Augustyn, 2010).
2. Korban
Korban mengalami lebih banyak depresi, keluhan psikosomatis,
penggunaan obat-obatan terlarang, dan bunuh diri. Konsekuensi jangka
panjang di masa dewasa yaitu psikosis, depresi harga diri rendah,
hubungan yang kasar dan kesehatan fisik yang buruk. Diagnosa
psikiatri yang paling sering yaitu gangguan kecemasan (Vanderbilt and
Augustyn, 2010).
3. Pelaku/Korban
Para pelaku dan juga korban memiliki masalah yang berhubungan
dengan tingkat depresi, kesepian, penggunaan alkohol, dan penggunaan
senjata. Kelompok ini memiliki tingkat kecemasan dan gangguan
kepribadian antisosial yang lebih tinggi. Selain itu kelompok ini banyak
masalah dengan hubungan teman sebayanya. Pada masa dewasanya
beresiko tinggi depresi, penggunaan obat terlarang, dan psikosis
(Vanderbilt and Augustyn, 2010).
2.4.9 Konsep Kuesioner APRI
Instrumen perilaku bullying menggunakan Adolescent Peer Relations
Instrumen (APRI) yang dikembangkan oleh Parada (2000). Instrumen ini
menjadi skala yang reliabel dan valid untuk pengukuran pada remaja.
Kuesioner ini terdiri dari 36 item dengan 2 bagian dan 6 skala, dimana
kuesioner ini tidak mempunyai item favorable dan unfavorable. 3 skala
untuk mengukur bullying (fisik, verbal, dan sosial) dan 3 skala untuk
mengukur target bullying (fisik, verbal, dan sosial).
Pernyataan dalam kuesioner ini dibagi menjadi dua bagian yaitu
sebagai pelaku dan korban. Bagian A pernyataan tentang pelaku bullying
dan bagian B tentang korban bullying. Skor subyek diperoleh dari
penjumlahan skor pada setiap item. Semakin tinggi total skor yang diperoleh
maka semakin tinggi frekuensi perilaku bullying yang dilakukan. Apabila
skor pada setiap bagian ≤18 maka dinyatakan tidak pernah menjadi pelaku
atau korban bullying, sedangkan bila skor yang diperoleh setiap bagian >18
maka dinyatakan pernah melakukan bullying atau menjadi korban bullying.
2.5 Teori Social Learning Bandura
2.5.1 Definisi
Social Learning Theory atau Teori Pembelajaran Sosial terkenal
dengan sebutan observational learning yang dikemukakan oleh Bandura
tahun 1977. Teori pembelajaran sosial merupakan pembelajaran yang
tercipta ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain.
Dengan kata lain, informasi didapatkan dengan cara memperhatikan.
Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks
otomatis dan stimulus, melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri
(Hergenhahn and Olson, 2015).
Kejadian-kejadian di lingkungan sekitar. Prinsip dasar pembelajaran
menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam
pembelajaran sosial dan moral terjadi melalui peniruan/imitation dan
penyajian contoh perilaku / modeling. Seseorang belajar mengubah
perilakunya sendiri melalui penyaksian cara orang atau sekelompok orang
merespon sebuah stimulus tertentu. Seseorang juga dapat mempelajari
respon-respon baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari
orang lain. Bandura menganggap belajar observasi sebagai proses kognitif
yang melibatkan sejumlah atribut pemikiran manusia, seperti bahasa,
moralitas, pemikiran dan regulasi diri perilaku (Hergenhahn and Olson,
2015).

Gambar 2.2 Determinan social learning theory oleh Bandura (1977)

2.5.2 Proses Social Learning Theory


Bandura mengatakan bahwa observational learning mencakup empat
elemen yaitu memperhatikan, menyimpan informasi, menghasilkan perilaku
dan termotivasi untuk mengulangi perilaku itu (Hergenhahn dan Olson,
2015).
1. Fase perhatian/attention
Memberikan perhatian pada orang yang ditiru. Proses perhatian
(attention) sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku
yang baru (kompetensi) tidak akan didapat tanpa adanya perhatian
pembelajar. Pengamat harus memperhatikan kegiatankegiatan yang
dilakukan oleh model itu sendiri dan benar-benar memahaminya.
2. Fase pengingat/retention
Seorang pengamat harus dapat mengingat apa yang telah
dilihatnya. Ia harus mengubah informasi yang diamati menjadi bentuk
gambaran hal-hal yang dialami model atau mengubah simbol-simbol
verbal dan kemudian menyimpan dalam ingatannya. Mencakup kode
pengkodean simbolik, pengorganisasian pikiran, pengulangan simbol
dan pengulangan motorik.
3. Fase peniruan
Proses peniruan adalah mengubah ide gambaran, atau ingatan
menjadi tindakan. Simbol yang diperoleh dari model akan menjadi
pembanding tindakan. Individu akan mengamati perilaku mereka
sendiri dan membandingkannya dengan perilaku model. Mencakup
kemampuan fisik, kemampuan meniru dan keakuratan umpan balik.
4. Motivasi/motivation
Teori pembelajaran sosial membedakan antara perolehan dan
perbuatan. Kita mungkin memperoleh sebuah perilaku baru melalui
observasi, tetapi kita mungkin tidak melakukan perbuatan itu sampai
ada motivasi atau intensif untuk melakukannya.

2.5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Social Learning


Ada enam faktor yang mempengaruhi observational learning, yaitu
(Hergenhahn dan Olson, 2015) :
1. Status perkembangan
Peningkatan dan perkembangan, termasuk pemutusan perhatian
yang lebih lama dan kapasitas untuk memproses informasi yang
semakin meningkat, menggunakan berbagai strategi, membandingkan
kinerja dengan representasi ingatan, dan mengadopsi motivator-
motivator intrinsik.
2. Prestise dan kompetensi
Model pengamat memberi perhatian yang lebih besar terhadap
model-model yang kompeten dan berstatus tinggi. Konsekuensi
perilaku yang dijadikan model memberikan informasi mengenai nilai
fungsional. Pengamat berusaha mempelajari tindakan yang mereka
yakini sebagai tindakan yang perlu mereka lakukan.
3. Vicarious consequences
Konsekuensi yang dialami model memberikan informasi tentang
kesesuaian anatara perilaku dan kemungkinan hasil tindakannya.
4. Ekspektasi hasil
Pengamat lebih berkemungkinan untuk melakukan tindakan yang
diperagakan model yang ia yakini tepat dan akan menghasilkan suatu
yang rewarding.
5. Menetapkan tujuan
Pengamatan akan cenderung memperhatikan model-model yang
memperlihatkan perilaku-perilaku yang membantu pengamat dalam
mencapai tujuannya.
6. Efikasi diri
Pengamat memperhatikan model apabila percaya dirinya mampu
mempelajari atau melakukan perilaku yang dimodelkan. Observasi
terhadap model yang mirip mempengaruhi efikasi diri.

2.5.4 Prinsip Social Learning Theory


Social learning theory terdiri dari tiga variabel yaitu :
1. Faktor personal/kognitif
Faktor personal antara lain pembawaan, kepribadian, dan
temperamen, sementara faktor kognitif mencakup ekspektasi,
keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan. Faktor personal
(kognitif) memainkan peranan amat penting. Faktor person (kognitif)
yang ditekankan oleh Bandura adalah self-efficacy atau efikasi diri.
Bandura mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah
dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu
berhasil dan sukses (Ainiyah, 2017). Penelitian ini mengkhususkan self
efficacy dalam bidang akademik yaitu keyakinan yang berkaitan dengan
kemampuan dan kesanggupan seorang pelajar untuk mencapai dan
menyelesaikan tugas-tugas studi dengan target hasil dan waktu yang
telah ditentukan.
2. Faktor lingkungan
Bandura juga menjelaskan untuk memahami perilaku individu
maka perlu memahami interaksi individu tersebut dengan
lingkungannya meliputi lingkungan keluarga, teman-teman atau
lingkungan masyarakat lain. Teori sosial learning menunjukkan bahwa
perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh personal atau model hidup, tetapi
juga yang ditunjukkan oleh media massa. Media massa tersebut dapat
berbentuk film, televisi, radio, buku, majalah, tabloid atau surat kabar
dan media sosial (Tarsono, 2010). Penelitian ini menggunakan
kecanduan smartphone sebagai faktor lingkungan yang bersumber dari
lingkungan masyarakat yaitu penggunaan sosial media yang berlebihan.
3. Faktor perilaku
Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks
interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku
dan pengaruh lingkungan. Perilaku individu akan terbentuk dengan
meniru perilaku di lingkungan sebagai model dan belajar adalah proses
peniruan terjadi sesuai dengan situasi dan tujuannya. Bandura juga
menyatakan bahwa hampir semua fenomena pembelajaran dihasilkan
dari pengalaman langsung terjadi melalui pengamatan perilaku orang
lain (model perilaku) (Harinie, 2017).
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

1. Pola asuh yang diterima orang tua 1. Faktor situasional


waktu masih anak-anak 2. Faktor sosial
2. Pendidikan orang tua 3. Faktor eksternal
3. Kelas sosial 4. Faktor internal
4. Konsep tentang peran orang tua a. Sensation seeking
5. Kepribadian orang tua b. Self-esteem rendah
6. Kepribadian anak c. Kepribadian introversi tinggi
7. Faktor yang dianut oleh orang tua d. Kontrol diri rendah
8. Usia anak
1. Pola asuh orang tua Smartphone Addiction
a. Authoritarian
b. Authoritative a. Daily-life disturbance
1. Pola asuh orang tua b. Positive anticipation
c. Permissive
c. Withdrawal
2. Harga diri d. Cyberspace-oriented relationship
3. Norma kelompok e. Overuse
4. Teman sebaya f. Tolerance
5. Budaya sekolah
6. Media dan teknologi

Social Learning Theory Perilaku Bullying


a. Fase perhatian a. Bullying verbal
b. Fase pengingat b. Bullying fisik
c. Fase peniruan c. Bullying relasional/sosial
d. Fase motivasi

Gambar 3.1 Kerangka konseptual hubungan pola asuh orang tua dan smartphone
addiction dengan perilaku bullying pada remaja menggunakan sosial learning
theory Bandura (1977)
Keterangan :

: diteliti
: tidak diteliti
Gambar 3.1 menjelaskan bahwa perilaku bullying pada remaja dipengaruhi oleh
proses social learning atau pembelajaran sosial. Pada tahap social learning
seorang remaja akan melakukan pengamatan sampai peniruan terhadap suatu
perbuatan sehingga memengaruhi perilaku remaja tersebut. Selain itu perilaku
bullying pada remaja dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan smartphone
addiction. Albert Bandura menyatakan bahwa Social Learning Theory
menganggap media massa sebagai agen sosialisasi yang utama di samping
keluarga, guru, dan sahabat dimana di dalam penelitian ini media massa diwakili
oleh perilaku smartphone addiction. Penelitian ini meneliti mengenai hubungan
pola asuh orang tua dan smartphone addiction dengan perilaku bullying pada
remaja..

3.2 Hipotesis Penelitian


Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah :
H1.1 : Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku bullying
pada remaja.
H1.2 : Ada hubungan antara smartphone addiction dengan perilaku bullying
pada remaja.

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian yang digunakan


Rancangan penelitian adalah desain yang digunakan untuk menjawab
rumusan masalah dan untuk menguji hipotesis. Rancangan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu kuantitatif cross sectional. Rancangan
penelitian cross sectional menekankan pada waktu pengukuran, dimana
penilaian variabel dependen dan independen hanya dalam satu waktu dan
tidak disertai tindak lanjut (Nursalam, 2016). Penelitian ini menganalisis
hubungan antara pola asuh orang tua dan smartphone addiction dengan
perilaku bullying di sekolah pada remaja. Peneliti menilai tentang pola asuh
orang tua dan smartphone addiction pada remaja sebagai variabel
independen dengan menggunakan instrumen kuesioner. Selanjutnya menilai
perilaku bullying pada remaja sebagai variabel dependen dengan
menggunakan kuesioner.

4.2 Populasi, sampel (kriteria inkulsi, eksklusi), besar sampel (sample size),
dan teknik pengambilan sampel (sampling)
4.2.1 Populasi
Populasi merupakan subyek di dalam penelitian yang memiliki kriteria
sesuai dengan yang ditetapkan oleh peneliti (Nursalam, 2016). Populasi
dalam penelitian ini adalah siswa SMPN 19 Surabaya dan SMAN 20
Surabaya yang berjumlah 3.295 orang.
4.2.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang dapat digunakan
menjadi subyek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2016). Sampel
ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari
suatu populasi target yang akan diteliti (Nursalam, 2015). Kriteria
inklusi dalam penelitian ini antara lain :
b. Remaja usia 13-18 tahun
c. Bertempat tinggal dengan orang tua
d. Memiliki smartphone
2. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek yang
memenuhi kriteria inklusi dihilangkan atau tidak dimasukkan dalam
penelitian (Nursalam, 2016). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini
antara lain :
a. Siswa yang sedang cuti atau tidak masuk sekolah saat penyebaran
kuesioner
4.2.3 Besar Sampel (sample size)
Besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus dalam
Nursalam (2016), yaitu :
Nx z2 xpxq
n= 2 2
d ( N −1 )+ z xpxq
3295 x ( 1,962 ) x 0,5 x 0,5
n=
0,052 x ( 3295−1 ) + ( 1,96 2) x 0,5 x 0,5
3164,518
n=
9,1954
n = 344,14
n = 345 responden
Keterangan :
n = perkiraan besar sampel
N = perkiraan besar populasi
z = nilai standar normal untuk α = 0,05 (1,96)
p = perkiraan proporsi, jika tidak diketahui dianggap 50%
q = 1 – p (100% - p)
d = tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05)
Persebaran responden di setiap subpopulasi berbeda maka peneliti
menggunakan rumus (Pradana, 2015) :
¿
𝑛𝑖 = N x n
Keterangan :
𝑛𝑖 = Jumlah sampel per sub populasi
Ni = Total sub populasi
N = Total populasi
𝑛 = Besarnya sampel
Berdasarkan perhitungan sampel tiap subpopulasi, maka didapatkan
jumlah per sub populasi, yaitu :
1. SMPN 19 Surabaya
¿
𝑛𝑖 = N x n
1142
𝑛𝑖 = 3295 x 345

𝑛𝑖 = 119,57
𝑛𝑖 = 120 responden
2. SMAN 20 Surabaya
¿
𝑛𝑖 = N x n
2153
𝑛𝑖 = 3295 x 345

𝑛𝑖 = 225,42
𝑛𝑖 = 225 responden
4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel (sampling)
Teknik pengambilan sampel atau sampling yaitu cara yang digunakan
dalam pengambilan sampel sehingga memperoleh sampel yang memenuhi
kriteria dan cocok dari seluruh subyek penelitian (Nursalam, 2016). Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random
sampling yaitu sampel diambil dengan menyeleksi elemen secara acak.
4.3 Variabel penelitian dan Definisi Operasional Variabel
4.3.1 Variabel Penelitian
Variabel merupakan perilaku atau karakteristik yang memberi nilai
beda terhadap sesuatu baik berupa benda, manusia, dan yang lainnya
(Nursalam, 2016).
1. Variabel independen
Variabel independen yaitu variabel yang mempengaruhi nilai
variabel lain (Nursalam, 2016). Variabel independen dalam penelitian
ini yaitu pola asuh orang tua dan smartphone addiction.
2. Variabel dependen
Variabel dependen yaitu variabel yang nilainya dipengaruhi atau
ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2016). Variabel dependen
dalam penelitian ini yaitu perilaku bullying.
4.3.2 Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi operasional
Definisi
Variabel Parameter Alat Ukur Skala Skor
Operasional
Independen
Kuesioner terdiri
dari 32 pernyataan.
1 = tidak pernah, 2
= sesekali, 3 =
sering, 4 = selalu.
Nilai rata-rata
3. Mengukur jenis
tertinggi dari
pola asuh
Kuesioner masing - masing
Cara orang tua authoritarian
Parenting pola asuh
Pola asuh
untuk mendidik 4. Mengukur jenis Style and menunjukkan pola
anak-anaknya pola asuh Ordinal
orang tua Dimension asuh yang diterima
dalam kehidupan authoritative
Questionnair responden.
sehari-hari 5. Mengukur jenis e (PSDQ) Apabila didapatkan
pola asuh nilai yang sama
permissive maka dikategorikan
sesuai dengan jenis
pola asuh yang
memiliki nilai yang
sama tersebut
(digabungkan)
Smartphon Keadaan dimana Tingkat adiksi Kuesioner Ordinal Kuesioner terdiri
e addiction terjadi ketidak- meliputi : SAS dari 33 pernyataan.
mampuan 1. Gangguan (Smartphone 1 = tidak pernah, 2
responden untuk kehidupan Addiction = sesekali, 3 =
mengontrol sehari-hari Scale) sering, 4 = selalu.
pengaksesan (Daily life Penilaian
internet melalui disturbance) didasarkan pada
smartphone 2. Semangat pilihan jawaban
dalam yang terdiri dari
penggunaan angka 1-4.
dan hampa
tanpa Kategori :
menggunakan Kecanduan :
smartphone T ≥ mean
Definisi
Variabel Parameter Alat Ukur Skala Skor
Operasional
(Positive
anticipation)
3. Tidak sabar
resah dan bisa
mengantisipasi
(Withdrawal)
4. Mengabaikan
kehidupan
sosial Tidak Kecanduan :
(Cyberspace T < mean
oriented
relationship)
5. Penggunaan
yang berlebihan
(Overuse)
6. Tidak dapat
mengontrol
(Tolerance)
Dependen
Kuesioner yang
terdiri dari 36
pertanyaan.
Penilaian
didasarkan pada
pilihan jawaban
Salah satu
yang terdiri dari
tindakan agresif
angka 1-6.
dari seseorang
1. Mengukur 1 = tidak pernah
yang lebih
perilaku 2 = sekali tiap bulan
berkuasa, dapat
responden 3 = dua kali tiap
berbentuk Kuesioner
sebagai pelaku bulan
kekerasan fisik, (Adolesscent
Perilaku bullying 4 = sekali tiap
verbal, maupun Peer Ordinal
Bullying 2. Mengukur minggu
sosial yang Relations
perilaku 5 = beberapa kali
dilakukan Instrument)
responden tiap minggu
dengan sengaja
sebagai korban 6 = setiap hari
dan dalam
bullying
periode waktu
Apabila jumlah skor
tertentu (teratur
≤ 18 maka tidak
maupun acak)
pernah menjadi
pelaku atau korban
bullying, bila > 18
maka pernah
menjadi pelaku atau
korban bullying

4.4 Alat dan Bahan Penelitian


Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner. Kuesioner
dipilih karena dapat digunakan untuk memperoleh data yang luas dari
kelompok atau masyarakat yang mempunyai populasi besar dan tempatnya
tersebar (Notoatmodjo, 2012). Kuesioner disebarkan secara langsung pada
siswa SMPN 19 Surabaya dan SMAN 20 Surabaya yang menjadi responden
penelitian.

4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 19 Surabaya dan SMKN 20
Surabaya. Penelitian dilakukan pada tanggal ........ 2020.

4.6 Instrumen Penelitian


Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kuesioner yaitu peneliti mengumpulkan data secara formal kepada
subyek penelitian untuk menjawab pertanyaan terstruktur secara tertulis
(Nursalam, 2016). Kuesioner dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Instrumen pola asuh orang tua menggunakan kuesioner The Parenting
Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) yang dibuat oleh Robinson
et al. (2001) dengan mengadaptasi dari Parenting Practice
Questionnaire (PPQ). Alat ukur ini disusun berdasarkan teori parenting
style dari Baumrind yang bertujuan untuk melihat intensitas munculnya
perilaku tertentu dari orang tua terhadap anaknya. PSDQ diisi oleh
remaja yang menjadi responden, dimana kuesioner ini terdiri dari 32
item pernyataan yang tidak mempunyai item favorable dan
unfavorable. Kuesioner ini terdapat 3 subskala yang masing-masing
mengukur pola asuh orang tua authoritative (15 item), authoritarian
(12 item) dan permissive (5 item). Terdapat 15 item dalam authoritative
yang terdiri dari tiga subskala yaitu: connection, regulation, dan
autonomy granting, 12 item dalam authoritarian dikelompokkan
menjadi tiga subskala yaitu: physical coercion, verbal hostility, dan
non-reasoning/punitive, dan 5 item dalam permissive meliputi subskala
indulgent dimension. Skala kuesioner ini menggunakan skala likert.
Setiap item memiliki pilihan jawaban dengan skor 1 sampai 4. Skor 1
untuk jawaban responden yang memilih tidak pernah, skor 2 untuk
pilihan jawaban sesekali, skor 3 untuk sering, dan skor 4 untuk selalu.
Skala pola asuh authoritative terdapat pada pernyataan nomor 1, 3, 5,
7, 9, 11, 12, 14, 18, 21, 22, 25, 27, 29, 31. Skala pola asuh
authoritarian terdapat pada pernyataan nomor 2, 4, 6, 10, 13, 16, 19,
23, 26, 28, 30, 32. Skala pola asuh permissive terdapat pada pernyataan
nomor 8, 15, 17, 20, 24. Pada masing-masing item pernyataan pola asuh
orang tua dilakukan skoring dengan cara menghitung rata-rata pada
setiap jenis pola asuh orang tua. Selanjutnya dicari nilai rerata tertinggi
dari ketiga jenis pola asuh untuk menentukan pola asuh yang diterapkan
oleh orang tua. Apabila didapatkan dua pola asuh yang memiliki nilai
tertinggi yang sama maka dikategorikan sebagai gabungan antara dua
pola asuh tertinggi tersebut (Robinson et al., 2001).
2. Instrumen smartphone addiction menggunakan Smartphone Addiction
Scale (SAS) diambil dari penelitian Kwon et al., (2013) yang telah
dimodifikasi oleh Meirianto (2018). Kuesioner ini terdiri dari 28 item
pertanyaan yang tidak mempunyai item favorable dan unfavorable.
Kuesioner ini terdapat 6 subskala yang masing-masing mengukur
gangguan kehidupan sehari-hari (daily life disturbance) (2 item),
semangat dalam penggunaan dan hampa tanpa menggunakan
smartphone (positive anticipation) (8 item), tidak sabar resah dan bisa
mengantisipasi (withdrawal) (6 item), mengabaikan kehidupan sosial
(cyberspace oriented relationship) (7 item), penggunaan yang
berlebihan (overuse) (4 item), dan tidak dapat mengontrol (tolerance)
(3 item). Setiap item memiliki pilihan jawaban dengan skor 1 sampai 4.
Skor 1 untuk jawaban responden yang memilih tidak pernah, skor 2
untuk pilihan jawaban sesekali, skor 3 untuk sering, dan skor 4 untuk
selalu. Skala gangguan kehidupan sehari-hari (daily life disturbance)
terdapat pada pernyataan nomor 1, 2. Skala semangat dalam
penggunaan dan hampa tanpa menggunakan smartphone (positive
anticipation) terdapat pada pernyataan nomor 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10.
Skala tidak sabar resah dan bisa mengantisipasi (withdrawal) terdapat
pada pernyataan nomor 11, 12, 13, 14, 15, 16. Skala mengabaikan
kehidupan sosial (cyberspace oriented relationship) terdapat pada
pernyataan nomor 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23. Skala penggunaan yang
berlebihan (overuse) terdapat pada pernyataan nomor 24, 25, 26. Skala
tidak dapat mengontrol (tolerance) terdapat pada pernyataan nomor 27,
28.
3. Instrumen perilaku bullying menggunakan Adolescent Peer Relations
Instrumen (APRI) yang dikembangkan oleh Parada (2000). Instrumen
ini menjadi skala yang reliabel dan valid untuk pengukuran pada
remaja. Kuesioner ini terdiri dari 36 item dengan 2 bagian dan 6 skala,
dimana kuesioner ini tidak mempunyai item favorable dan unfavorable.
3 skala untuk mengukur bullying (fisik, verbal, dan sosial) dan 3 skala
untuk mengukur target bullying (fisik, verbal, dan sosial). Setiap skala
terdiri dari 6 item. Semua item diukur menggunakan skala likert. Setiap
item memiliki pilihan jawaban dengan skor 1 sampai 6. Skor 1 = tidak
pernah, skor 2 = sekali tiap bulan, skor 3 = dua kali tiap bulan, skor 4 =
sekali tiap mingu, skor 5 = beberapa kali tiap minggu, dan skor 6 =
setiap hari. Pernyataan dalam kuesioner ini dibagi menjadi dua bagian
yaitu sebagai pelaku dan korban. Bagian A pernyataan tentang pelaku
bullying dan bagian B tentang korban bullying. Bagian A item yang
menggambarkan perilaku verbal bullying adalah nomor 1, 3, 5, 7, 10,
14. Item yang menggambarkan perilaku physical bullying adalah nomor
2, 6, 9, 12, 15, 16. Item yang menggambarkan perilaku social bullying
adalah nomor 4, 8, 11, 13, 17, 18. Bagian B item yang
menggambarkan korban verbal bullying adalah nomor 1, 4, 7, 11, 13, 8.
Item yang menggambarkan korban social bullying yaitu nomor 3, 6, 9,
12, 14, 17. Item yang menggambarkan korban physical bullying adalah
nomor 2, 5, 8, 10, 15, 15 (Merle et al., 2011). Skor subyek diperoleh
dari penjumlahan skor pada setiap item. Semakin tinggi total skor yang
diperoleh maka semakin tinggi frekuensi perilaku bullying yang
dilakukan. Apabila skor pada setiap bagian kurang dari sama dengan 18
maka dinyatakan tidak pernah menjadi pelaku atau korban bullying,
sedangkan bila skor yang diperoleh setiap bagian lebih dari 18 maka
dinyatakan pernah melakukan bullying atau menjadi korban bullying.

4.7 Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data


1. Tahap persiapan dimulai dengan peneliti meminta surat pengantar
permintaan izin penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas
Airlangga yang ditujukan kepada Bakesbangpol Kota Surabaya.
2. Peneliti mendapat surat pengantar penelitian dari Bakesbangpol Kota
Surabaya yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota
Surabaya.
3. Peneliti mendapatkan surat pengantar dari Dinas Pendidikan Kota
Surabaya untuk ditujukan kepada seluruh Kepala Sekolah SMPN 19
Surabaya dan SMAN 20 Surabaya.
4. Peneliti memberikan surat izin penelitian Kepada Sekolah SMPN 19
Surabaya dan SMAN 20 Surabaya melalui Wakil Kepala Sekolah
bidang Humas. Selanjutnya peneliti diarahkan kepada guru BK
(Bimbingan Konseling).
5. Guru BK memberikan izin dan menentukan waktu penelitian.
6. Peneliti mencari responden penelitian dengan ditemani oleh Guru BK.
Peneliti dibantu oleh dua orang teman dari fakultas keperawatan
universitas airlangga yang sebelumnya sudah diberikan penjelasan
mengenai kuesioner penelitian dan prosedur penelitian, sehingga orang
tersebut mempunyai persepsi yang sama dengan peneliti.
7. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan penelitian kepada
responden. Selanjutnya peneliti membagikan kuesioner penelitian.
8. Peneliti menjelaskan tata cara pengisian kuesioner kepada responden.
9. Selanjutnya responden dipersilahkan untuk mengisi kuesioner selama
15 menit. Selama proses pengisian kuesioner responden didampingi
oleh peneliti.
10. Responden yang telah selesai mengisi kuesioner kemudian
mengumpulkan kuesioner kepada peneliti. Selanjutnya peneliti
memeriksa kembali kelengkapan kuesioner yang telah diisi.
11. Setelah diperiksa peneliti memberikan alat tulis sebagai kompensasi
pengganti waktu pengisian kuesioner.
12. Kuesioner yang telah terkumpul disimpan oleh peneliti. Selanjutnya
peneliti memasukkan hasil kuesioner ke dalam program komputer
untuk dilakukan tabulasi data dan analisis data.

4.8 Cara Analisis Data


Data yang diperoleh dari proses pengumpulan data masih berupa data
mentah. Data mentah tersebut perlu diolah untuk menghasilkan informasi
yang dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Tahapan analisa
data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu :
1. Editing
Editing adalah memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh
atau dikumpulkan dari responden kemudian dianalisis apakah ada
kesalahan dalam pengisian dan kelengkapan data (Notoatmodjo, 2012).
Pada tahap editing dilakukan :
a. Pengecekan kelengkapan identitas responden untuk menghindari
kesalahan dan kekurangan data
b. Pengecekan kelengkapan data dengan isi instrumen
2. Coding
Coding adalah pemberian kode tertentu untuk setiap data. Peneliti
memberikan kode pada tiap kategori pertanyaan untuk setiap kuesioner
sesuai dengan urutan nomor responden yang berguna untuk
memudahkan peneliti dalam pengolahan data (Notoatmodjo, 2012).
Coding dilakukan pada data demografi, pola asuh orang tua,
smartphone addiction, dan perilaku bullying.
a. Kuesioner pola asuh orang tua : pernyataan nomor 1 sampai 15
berisi tentang pola asuh authoritative, nomor 16 sampai 27 tentang
pola asuh authoritarian, dan nomor 28 sampai 32 tentang pola asuh
permissive.Responden yang menjawab tidak pernah diberi skor “1”,
sesekali diberi skor “2”, sering diberi skor “3”, dan selalu diberi
skor “4”. Jumlah rerata dari pola asuh pola asuh permissive diberi
kode “1”, authoritative diberi kode “2”, dan pola asuh authoritarian
diberi kode “3”.
b. Kuesioner smartphone addiction: responden yang menjawab tidak
pernah diberi skor “1”, sesekali diberi skor “2”, sering diberi skor
“3”, dan selalu diberi skor “4”. Hasil penghitungan yang
menyatakan kecanduan smartphone diberi kode “1”, tidak
kecanduan smartphone diberi kode “2”.
c. Kuesioner bullying : bagian A tentang pelaku bullying, pernyataan
nomor 1 sampai 6 menyatakan bullying verbal, 7 sampai 12
bullying fisik, dan 13 sampai 18 bullying sosial. Bagian B tentang
korban bullying, pernyataan nomor 1 sampai 6 bullying verbal, 7
sampai 12 bullying fisik, dan 13 sampai 18 bullying sosial.
Responden yang memilih jawaban tidak pernah diberi skor “1”,
sekali tiap bulan diberi skor “2”, dua kali tiap bulan diberi skor “3”,
sekali tiap minggu diberi skor “4”, beberapa kali tiap minggu diberi
skor “5”, dan setiap hari diberi skor ”6”. Hasil penghitungan yang
menyatakan bukan pelaku bullying diberi kode “1”, pelaku bullying
diberi kode “2”, bukan korban bullying diberi kode “3”, korban
bullying diberi kode “4”.
3. Entry Data/Processing
Entry adalah memasukkan data hasil penelitian ke dalam tabel
distribusi frekuensi (Notoadmodjo, 2012). Penelitian ini menggunakan
program pengolah data pada computer yaitu SPSS for Windows.
4. Tabulating
Tabulating adalah melakukan tabulasi data dengan memasukkan
data yang telah ditulis sesuai dengan pengkodean dalam suatu tabel
untuk mempermudah entry data (Notoatmodjo, 2012).
5. Cleaning Data
Cleaning data adalah pengecekan kembali data yang telah
dimasukkan ke dalam komputer untuk mengetahui adanya kesalahan
yaitu dengan cara mengetahui data yang hilang (Notoadmodjo, 2012).
Penelitian ini menggunakan uji statistik Chi Square pada software
SPSS dengan taraf signifikansi 95%. Uji statistik ini bertujuan untuk
menganalisa adanya hubungan antara variabel dependen dan
independen yaitu hubungan pola asuh orang tua dan penggunaan media
sosial dengan perilaku bullying di sekolah pada remaja. Analisis diatas
digunakan untuk mencari hubungan dua variabel yang mempunyai data
kategorik (Sujarweni, 2014). Apabila nilai α <0,05 maka terdapat
hubungan yang signifikan, namun apabila nilai α >0,05 maka tidak
terdapat hubungan yang signifikan.

4.9 Kerangka Operasional/Kerja

Populasi : Siswa SMPN 19 Surabaya dan SMAN 20


Surabaya yang berjumlah 3.295 orang

Teknik sampling :
Simple random sampling
Sampel : Remaja usia 13-18 tahun,
bertempat tinggal dengan orang tua,
memiliki smartphone
Besar sampel : 345 responden

Pengumpulan data : kuesioner

Variabel dependen :
1. Pola asuh orang tua dengan
Variabel independen :
menggunakan Parenting Style and
Perilaku bullying dengan
Dimension Questionnaire (PSDQ)
menggunakan Adolescent Peer
2. Smartphone addiction dengan
Relations Instrumen (APRI)
menggunakan Smartphone
Addiction Scale (SAS)

Analisis data :
Menggunakan uji Chi-Square

Penyajian hasil

4.10 Masalah Etik (Ethical Clearance)


1. Menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)
Peneliti tidak memberi paksaan pada calon responden untuk ikut
serta dalam penelitian. Responden akan diberikan informed consent
sebagai tanda persetujuan. Peneliti memberikan penjelasan secara rinci
kepada responden sebagai subyek penelitian tentang penelitian yang
dilaksanakan. Informed consent yang diberikan berisi judul penelitian,
tujuan penelitian, dan dicantumkan bahwa data hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian (Nursalam, 2016).
2. Manfaat dan risiko
Prinsip ini termasuk ke dalam aspek manfaat, maka segala bentuk
penelitian yang dilakukan dapat memberikan manfaat pada subyek.
Prinsip ini diterapkan dengan tidak menimbulkan kekerasan pada
subyek penelitian dan tidak menjadikannya sebagai objek eksploitasi
(Nursalam, 2016). Pada penelitian ini subyek penelitian mendapatkan
manfaat mengetahui faktor-faktor yang dapat memicu perilaku
bullying, jenis bullying dan cara pencegahan bullying. Peneliti akan
memberikan leaflet yang berisi tentang bullying kepada responden.
3. Nilai klinik
Penelitian hubungan pola asuh orang tua dan smartphone addiction
terhadap perilaku bullying pada remaja masih sedikit dilakukan,
sebagian besar penelitian yang dilakukan meliputi pola asuh orang tua.
Pola asuh orang tua yang sesuai dan kontrol dalam penggunaan
smartphone dapat mengurangi perilaku bullying pada remaja.
4. Nilai ilmiah
Penelitian ini tidak memberikan intervensi pada responden, hanya
memberikan kuesioner yang diisi oleh responden. Kuesioner terdiri dari
kuesioner penggunaan media sosial, kuesioner pola asuh orang tua
dengan menggunakan The Parenting Style and Dimension
Questionnaire (PSDQ), kuesioner smartphone addiction dengan
menggunakan Smartphone Addiction Scale (SAS), dan kuesioner
perilaku bullying dengan menggunakan Adolescent Peer Relation
Instrument (APRI). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara pola asuh orang tua dan smartphone addiction
terhadap perilaku bullying di sekolah pada remaja, sehingga penyebab
perilaku bullying dapat dikurangi atau dihilangkan.
5. Keadilan (justice)
Subyek dalam penelitian ini harus diperlakukan secara adil tanpa
adanya diskriminasi selama proses penelitian (Nursalam, 2016).
Penelitian ini memberikan batasan umur yaitu 13-18 tahun. Peneliti
memberikan hak untuk undur diri dari penelitian bagi setiap responden.
6. Kerahasiaan (privacy)
Subyek mempunyai hak untuk meminta kerahasiaan dari data yang
telah diberikan. Peneliti tidak berhak menceritakan hal mengenai
responden yang tidak berhubungan dengan penelitian. Peneliti
menuliskan kode responden sebagai pengganti nama responden pada
data demografi responden (anonymity) untuk menjaga kerahasiaan
responden (Nursalam, 2016).
7. Bujukan (inducement)
Peneliti memberikan alat tulis sebagai kompensasi bagi responden
yang telah mengisi kuesioner hingga selesai sebagai upaya menarik
perhatian responden dan bentuk terima kasih kepada responden telah
terlibat dalam penelitian ini.
4.11 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian merupakan kelemahan atau hambatan yang
dihadapi oleh peneliti saat melakukan penelitan. Keterbatasan tersebut
sebagai berikut :
1. Peneliti tidak secara langsung dapat mengobservasi pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua terhadap responden. Pola asuh hanya
berdasarkan oleh persepsi responden.
2. Pengisian kuesioner memungkinkan responden dapat melihat jawaban
temannya karena luput dari pengawasan peneliti.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Barashdi, H. S., Bouazza, A., Jabur, N. H. (2015). Smartphone Addiction


among University Undergraduates: A Literature Review. Journal of
Scientific Research and Reports 4 (3). DOI: 10.9734/JSRR/2015/12245
Agusta, D. (2016). Faktor-Faktor Resiko Kecanduan Menggunakan Smartphone.
E-Journal Bimbingan Dan Konseling, 5 (3), 86–96.
https://doi.org/10.4172/2167-1044.1000296
Ainiyah, N. (2017). Membangun Penguatan Budaya Literasi Media dan Informasi
Dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam Indonesia 2 (1), 65-77.
Bandura, A. (1977). Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral
change. Psychological Review, 84 (2), 191-215.
http://dx.doi.org/10.1037/0033-295X.84.2.191
Ali, M. (2016). Perkembangan Peserta Didik. Edisi 11. Jakarta: Bumi Aksara.
Anderson, C. A. and Groves, C. (2013) General Agression Model. In M. S. Eastin
(ed.) Encyclopedia of Media Violence. Los Angeles: Sage.
Annisa. (2012). Hubungan Antara Pola Asuh Ibu dengan Perilaku Bullying
Remaja. [skripsi]. Jakarta : Universitas Indonesia.
Astuti. (2008). Meredam Bullying : 3 cara efektif menanggulangi kekerasan pada
anak. Jakarta: PT. Grasindo.
Atik, G. and Guneri, O. Y. (2013) ‘Bullying and victimization: Predictive role of
individual, parental, and academic factors’, Journal of School Psychology
Internationall Psy, 34(6), pp. 658–673. doi: 10.1177/0143034313479699
spi.sagepub.com.
Batubara, J. R. (2010) ‘Adolescent Development (Perkembangan remaja)’, Sari
Pediatri, 12, pp. 21–29.
Baumrind, D. (1991) ‘The Influence of Parenting Style on Adolescent
Competence and Substance Use’, Journal of Early Adolescence, 11, pp. 56–
95.
Bee, H. and Boyd, D. (2006) The Developing Child: International Edition.
Boston, MA: Pearson.
Benitez, J. L. and Justicia, F. (2006) ‘Bullying: Description and analysis of the
phenomenon’, Journal of Electronic Journal of Research in Educational
Psychology.
Brooks, J. (2001). The Process of Parenting. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Carli, V., Durkee, T., Wasserman, D., Hadlaczky, G., Despalins, R., Kramarz,
E., Wasserman, C., Sarchiapone, M., Hoven, C.W., Brunner, R., Kaess, M.
2013. The association between pathological internet use and comorbid
psychopathology: a systematic review. Psychopathology. 2013;46(1):1-13.
doi: 10.1159/000337971.
Coloroso, B. (2009). ‘The Bully, The Bullied, and The Bystander’. New York:
Chapin Company.
Dong, G., DeVito, E. E., Du, X., Cui, Z. (2011). Impaired Inhibitory Control in
‘Internet Addiction Disorder’ : A Functional Magnetic Resonance Imaging
Study. Psychiatry Res. 20 (3) : 153-158.
doi: 10.1016/j.pscychresns.2012.02.001
Fanti, K. A. and Henrich, C. C. (2015) ‘Effects of Self-Esteem and Narcissism on
Bullying and Victimization During Early Adolescence’, Journal of Early
Adolescence, 35(1), pp. 5–29. doi: 10.1177/0272431613519498.
Gentile, D. A. and Bushman, B. J. (2012) ‘Reassessing media violence effects
using a risk and resilience approach to understanding aggression.’, Journal
of Psychology of Popular Media Culture. doi: 10.1037/a0028481.
Gunarsa, S. D. (2012). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Libri.
Hamburger, M. E., Basile, K. C., & Vivolo, A. M. (2011). Measuring bullying
victimization, perpetration, and bystander ecperiences: A compendium
assessment tools. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention,
National Center for Injury Prevention and Control.
Harinie, L. T. (2017). Study of the Bandura’s Social Cognitive Learning Theory
for the Entrepreneurship Learning Process. Social Sciences 6 (1), pp. 1-6.
DOI: 10.11648/j.ss.20170601.11
Hemphill, S. A., Tollit, M. and Herrenkohl, T. I. (2014) ‘Protective Factors
Against the Impact of School Bullying Perpetration and Victimization on
Young Adult Externalizing and Internalizing Problems’, Journal of J Sch
Violence, pp. 125–145. doi: 10.1080/15388220.2013.844072.
Hergenhahn, B. R., and Olson, M. H. (2015). Theories of Learning. Jakarta:
Kencana.
Hetherington, E. M. and Parke, R. D. (1999). Child Psychology: A Contemporary
Viewpoint. 5th edn. New York: McGraw-Hill College.
Hurlock, E. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2016). Riset Kominfo dan UNICEF
Mengenai Perilaku Anak dan Remaja dalam Menggunakan Internet.
Retrieved Januari 30, 2020, from
https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3832/
Kim, E. and Koh, E. (2018) ‘Avoidant attachment and smartphone addiction in
college students: The mediating effects of anxiety and self-esteem’,
Computers in Human Behavior. Elsevier Ltd, 84, pp. 264–271. doi:
10.1016/j.chb.2018.02.037.
KPAI. (2017). Pengaduan Kasus Anak pada Tahun 2017. Retrieved April 20,
2020, from https://www.kpai.go.id/berita/kpai-ada-3849-pengaduan-kasus-
anak-pada-tahun-2017.
KPAI. (2018). KPAI Sebut Pelanggaran Hak Anak Terus Meningkat. Retrieved
April 20, 2020, from https://www.kpai.go.id/berita/kpai-sebut-pelanggaran-
hak-anak-terus-meningkat
Kuss, D., Binder, J. F., Griffiths, M. D. (2013). Internet addiction in students:
Prevalence and risk factors. Computers in Human Behavior 29 (3) :959-966.
DOI: 10.1016/j.chb.2012.12.024
Kwon, M. et al. (2013). ‘The smartphone addiction scale: Development and
validation of a short version for adolescents’, PLoS ONE, 8(12), pp. 1– 7.
doi: 10.1371/journal.pone.0083558.
Laeheem, K.(2013). Guidelines for solving bullying behaviors among islamic
private school students in songkhla province. Asian Social Science, 9 (11).
Martin, C. A. and Colbert, K. K. (1997). Parenting : a life span perspective. New
York: McGraw-Hill. Available at:
https://trove.nla.gov.au/version/17080166.
Merle E. Hamburger, Basile, K. C. and Vivolo, A. M. (2011) Measuring Bullying
Victimization, Perpetration, and Bystander Experiences: A Compendium of
Assessment Tools. Atlanta, Georgia: Centers for Disease Control and
Prevention, National Center for Injury Prevention and Control.
Notoatmodjo, S. (2012) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2016) Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. 4th edn. Jakarta:
Salemba Medika.
O’Connell, R. (2003) A Typology of Cjild Cybersesploitation and Online
Grooming Practices. University of Central Lansachine.
Okoth, O. J. (2014). Teachers’ and Students’ Perception on Bullying Behaviour in
Public Secondary Schools in Kisumu East District, Kenya. Journal of
Educational and Social Research 4 (6) : 125-138.
DOI: 10.5901/jesr.2014.v4n6p125
Olweus, D. (2013) ‘School Bullying: Development and Some Important
Challenges’, Journal of Annual Review of Clinical Psychology. doi:
10.1146/annurev-clinpsy-050212-185516.
Parada, R. H. (2000). Adolescent Peer Relations Instrument: A theoretical and
empirical basis for the measurement of participant roles in bullying and
victimization of adolescence: An interim test manual and a research
monograph: A test manual. Penrith South, DC, Australia: Publication Unit,
Self-concept Enhancement and Learning Facilitation (SELF) Research
Centre, University of Western Sydney.
Patchin, J. W. and Hinduja, S. (2011) ‘Traditional and nontraditional bullying
among youth: A test of general strain theory’, Journal of Youth and Society.
doi: 10.1177/0044118X10366951.
Perkins, H. W., Craig, D. W. and Perkins, J. M. (2011) ‘Using social norms to
reduce bullying: A research intervention among adolescents in five middle
schools’, Journal of Group Processes and Intergroup Relations. doi:
10.1177/1368430210398004.
Pezoa, R., Vasques, J., Lizarindari, S. (2012). Internet Addiction: A Review.
Journal of Addiction Research & Therapy. 1 (1) : 1-10. DOI: 10.4172/2155-
6105.S6-004
Pratiwi, N. (2017) Pengaruh Intensitas Penggunaan Sosial Media dan
Penerimaan Teman Sebaya terhadap Perilaku Bullying Siswa Kelas V
Sekolah Dasar [skripsi]. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Radovic, A. et al. (2017) ‘Depressed adolescents’ positive and negative use of
social media’, Journal of Adolescence, 55, pp. 5–15. doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.adolescence.2016.12.002.
Robinson, C. C., Mandleco, B., Olsen, S. F., & Hart, C. H. (2001). The Parenting
Styles and Dimensions Questionnaire (PSDQ). In B. F. Perlmutter, J.
Touliatos, & G. W. Holden (Eds.), Handbook of family measurement.
Sarwono. (2012). Psikologi Remaja Edisi Revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
Schroeder, B., Morris, M. and Flack, M. (2017) ‘Exploring the relationship
between personality and bullying; an investigation of parental perceptions’,
Journal of Personality and Individual Differences. doi:
10.1016/j.paid.2017.02.066.
Sherlyanita, A. K., and Rakhmawati, N. A. (2016). Pengaruh dan Pola Aktivitas
Penggunaan Internet serta Media Sosial pada Siswa SMPN 52 Surabaya.
Journal of Information Systems Engineering and Business Intelligence 2 (1):
17-22. DOI: 10.20473/jisebi.2.1.17-22
Smetana, J. G. (2017) ‘Current research on parenting styles, dimensions, and
beliefs’, Journal of Current Opinion in Psychology, 15, pp. 19–25.
doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.copsyc.2017.02.012.
Sujianti. (2018). Hubungan Lama dan Frekuensi Penggunaan Gadget Dengan
Perkembangan Sosial Anak Pra Sekolah Di Tk Islam Al Irsyad 01 Cilacap.
Jurnal Kebidanan, 8 (1), 54–65.
Tarsono. (2010). Implikasi teori belajar sosial (social learning theory) dari Albert
Bandura dalam bimbingan dan konseling. Psympathic: Jurnal Ilmiah
Psikologi 3 (1), 29-36.
Vanderbilt, D. and Augustyn, M. (2010) ‘The effects of bullying’, Journal of
Paediatrics and Child Health. doi: 10.1016/j.paed.2010.03.008.
Volk, A. A. et al. (2018) ‘Adolescent bullying and personality: A cross-cultural
approach’, Journal of Personality and Individual Differences, pp. 126–132.
doi: 10.1016/j.paid.2018.01.012.
Waseem, M. et al. (2017) ‘Violence: Recognition, Management and Prevention
Role of Pediatric Emergency Physicians in Identifying Bullying’. The
Journal of Emergency Medicine, doi: 10.1016/j.jemermed.2016.07.107.
Weinstein, A.M., Feder, K., Rosenberg, K., Dannon, P (2014). Internet addiction-
criteria evidence and treatment. Chapter 5 pp 99-117 in “Behavioral
Addictions: Criteria, Evidence and Treatment” Kenneth Paul Rosenberg and
Laura Curtiss Feder (Eds.) Burlington Elsevier Science USA.
Wong, D. L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Yazdani, S. and Daryei, G. (2016) ‘Parenting styles and psychosocial adjustment
of gifted and normal adolescents’, Journal of Pacific Science Review B:
Humanities and Social Sciences, 2(3), pp. 100–105. doi:
10.1016/j.psrb.2016.09.019.
Yusuf, A., Fitryasari, R., Nihayati, H. E., & Tristiana, R. D. (2019). Kesehatan
Jiwa Pendekatan Holistik dalam Asuhan Keperawatan. Jakarta : Mitra
Wacana Media.

Anda mungkin juga menyukai