Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MATA KULIAH PROPOSAL SKRIPSI

GAMBARAN MANAJEMEN NYERI TERHADAP PASIEN


PASCA PEMBEDAHAN PADA RUMAH SAKIT DI BLORA

PRETTY ERAWATI
131911123030

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................1


DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................3
1.1 Latar Belakang.......................................................................................3
1.2 Perumusan Masalah...............................................................................7
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................8
1.3.1 Tujuan Umum.............................................................................8
1.3.2 Tujuan Khusus............................................................................8
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................8
1.4.1 Manfaat bagi pelayanan kesehatan..............................................8
1.4.2 Manfaat bagi Pendidikan Keperawatan.......................................8
1.4.3 Manfaat bagi Penelitian Keperawatan .......................................9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................10
2.1 Fisiologi Nyeri.....................................................................................10
2.1.1 Definisi.......................................................................................10
2.1.2 Klasifikasi Nyeri........................................................................10
2.1.3 Perbedaan Karakteristik Nyeri...................................................14
2.1.4 Teori Nyeri.................................................................................15
2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri.................................16
2.2 Nyeri Pascapembedahan......................................................................16
2.2.1 Pengkajian Nyeri........................................................................18
2.2.2 Manajemen Nyeri Pascapembedahan.........................................21
2.2.2.1 Manajemen Nyeri Farmakologis...................................22
2.2.2.2 Manajemen Nyeri Nonfarmakologis.............................25
2.3 Manfaat Manajemen Nyeri Akut Pascapembedahan...........................26
2.4 Alat Ukur Manajemen Nyeri................................................................28
2.5 Kerangka Teori.....................................................................................29
BAB 3 KERANGKA KONSEP.............................................................................30
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................31
3

3.2 Definisi Opersional .............................................................................32


BAB 1
PENDAHULUAN

Bab satu pada penelitian ini akan menguraikan latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian serta manfaat dari penelitian yang akan dilakukan.

1.1 Latar Belakang


Nyeri adalah pengalaman yang tidak menyenangkan baik sensorik maupun
emosional yang timbul dari kerusakan jaringan itu sendiri atau potensial
terjadi kerusakan jaringan, yang terjadi secara tiba-tiba atau lambat dengan
intensitas dari ringan sampai berat (Carpenito, 2013). Nyeri digambarkan
sebagai nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut memiliki serangan yang
mendadak atau lambat tanpa memperhatikan intensitasnya dan berlangsung
kurang dari enam bulan. Sedangkan nyeri kronik bersifat kambuhan,
berlangsung lama dan menetap selama enam bulan (Breman, 2011; Carr,
Layzell, & Martin Cristensen, 2010) mendefinisikan nyeri sebagai
“pengalaman tidak nyaman yang dikatakan pasien, dan apapun keluhan
pasien”. Rasa nyeri merupakan pengalaman subjektif yang sering sulit
digambarkan oleh pasien, namun merupakan salah satu keluhan yang paling
umum menyebabkan individu mencari perawatan kesehatan (Delaune, 2011).
Nyeri dapat menjadi indikator adanya cedera dan penyakit yang dialami
pasien. Nyeri dapat ditimbulkan akibat dari pascapembedahan, keganasan,
adanya trauma dan kondisi lain dimana nyeri merupakan masalah utama,
seperti nyeri neuropatik atau sakit kepala (American Academy of Pain
Medicine (AAPM), 2017).

Nyeri akut yang tidak tertangani dengan tepat merupakan penyebab awal dari
nyeri kronik (AAPM, 2017). Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tahun 2003 bahwa sekitar 20% dari orang dewasa menderita
nyeri kronis. 1 -2 % dari nyeri kronis tersebut merupakan nyeri kanker, sekitar
30 – 40 % berasal dari musculoskeletal dan gangguan persendian, nyeri leher
4

dan tulang belakang sekitar 30 %, dan kurang dari 10 % kasus adalah nyeri
kepala dan migrain yang merupakan nyeri persisten (IASP & EFIC, 2004). Di
Eropa, prevalensi nyeri akut diperkirakan sekitar 19 %, sedangkan prevalensi
nyeri kronis dilaporkan sekitar 17,1 % (Reid & Harker, 2011). Di Asia sendiri,
studi epidemologi pada nyeri kronik masih terbatas. Menurut jurnal penelitian
Zaki (2015), prevalensi nyeri kronik pada orang Asia dewasa pada rentang
antara 7,1 % di Malaysia, 61 % di Kamboja dan Irak Utara, 90,8 % pada
populasi geriatri etnis Cina.

Meningkatnya rasa nyeri yang dialami pasien akan mempengaruhi semua


aspek kualitas hidup. Berdasarkan penelitian di Eropa dan di Amerika oleh
(Reid dan Harker, 2011;AAPM, 2017) nyeri kronis berdampak pada kualitas
hidup dan kegiatan hidup sehari-hari. Nyeri yang berlangsung secara terus
menerus dapat mengakibatkan rawat inap di rumah sakit lebih lama,
meningkatkan tingkat rehospitalisasi, peningkatan kunjungan rawat jalan,
sehingga memerlukan biaya yang besar untuk perawatan kesehatan dan
rehabilitasi. Menurut AAPM (2017), nyeri juga dapat menyebabkan
menurunnya kemampuan fungsi yang mengakibatkan hilangnya produktivitas
pekerja, yang mengarah pada cakupan pendapatan dan kehilangan asuransi
sehingga akan menjadi beban emosional dan keuangan bagi pasien dan
keluarga. Hal ini menyebabkan sebagian besar penderita nyeri tidak mampu
mempertahankan hubungan dengan keluarga serta tidak mampu lagi
menjalankan fungsi sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Reid &Harker,
(2011) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara nyeri dengan
jumlah gejala depresi.

Menurut Sherwood, McNeill, Starck, dan Disnard, (2003); kondisi yang


menyebabkan rasa nyeri salah satunya adalah keadaan pascapembedahan.
Sebagian besar pasien yang berada di rumah sakit dan mengalami nyeri adalah
pasien yang sedang pemulihan pascapembedahan. Penelitian yang dilakukan
oleh Woldehaimanot, Eshetie, dan Kerie (2014) menyebutkan bahwa angka
kejadian nyeri pascapembedahan dilaporkan sebanyak 47-100%. Untuk
5

mencapai hasil manajemen nyeri yang optimal, upaya pelayanan kesehatan


secara komprehensif harus dimulai dari tahap preoperasi berlanjut sampai
tahap rencana pemulangan pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Hawkins
(1993) mengindikasikan bahwa meskipun pedoman tentang manajemen nyeri
sudah tersedia, namun manajemen nyeri yang efektif untuk pasien
pascapembedahan masih kurang, informasi tentang manajemen nyeri pada
pasien bedah masih kurang, terjadinya kesalahan penilaian intensitas nyeri,
serta manajemen nyeri non farmakologi yang meningkatkan efektifnya
pengobatan tidak digunakan. Pasien melaporkan nyeri setelah menunggu pada
kondisi nyeri sedang sampai berat dikarenakan kurangnya informasi tentang
manjemen nyeri (Mcneill et al., 1998). Oleh karena itu, manajemen nyeri
sebaiknya dipersiapkan pada saat sebelum operasi, sehingga pasien sudah
terpapar dengan informasi mengenai manajemen nyeri dan prosedur tindakan
yang akan dilakukan (Sherwood et al., 2003).

Manajemen nyeri adalah menghilangkan nyeri atau mengurangi nyeri sampai


pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien (Breman, 2011).
Nyeri mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas hidup. Hal ini menjadikan
nyeri sebagai tantangan dan alasan penting untuk dicegah dan diatasi. Untuk
itu manajemen nyeri harus dilakukan secara komprehensif, terpadu, dan
berbasis bukti (IOM, 2011; Goldberg & Mcgee, 2011). Manajemen nyeri
terdiri dari manajemen farmakologi dan nonfarmakologi. Tindakan
keperawatan mandiri dapat dilakukan dengan prosedur non invasif dan non
farmakologis, sedangkan pemberian obat analgesik merupakan tindakan
kolaboratif yang memerlukan perintah medis dari penyedia perawatan primer
(Breman, 2011).

The American Society for Pain Management Nursing (ASPMN) dan The
Emergency Nurses Association (ENA) bekerja sama dengan American
College of Emergency Physicians (ACEP) dan American Pain Society (APS)
mendukung upaya untuk meningkatkan manajemen nyeri pada pasien di
semua pelayanan kesehatan (ACEP, 2010). Intensitas rasa nyeri dianggap
6

sebagai tanda vital kelima, bersama dengan suhu, denyut nadi, respirasi, dan
tekanan darah. Pasien memiliki hak penuh untuk pemeriksaan nyeri ketika
rasa nyeri tidak mudah ditandai atau diobati (Breman, 2011;IASP, 2010). The
Joint Commission’s memandang manajemen nyeri sebagai komponen integral
dalam perawatan dan telah memperluas ruang lingkup standar manajemen
nyeri. Dimana manajemen nyeri merupakan salah satu indikator keberhasilan
pelayanan kesehatan. Penilaian nyeri dan manajemen standar nyeri adalah
sebagai prioritas dalam praktek klinis sehari-hari (Kopf, 2010; JCHAO, 2012;
Sherwood et al; 2003; Physician, 2010; Breman, 2011).

Akan tetapi fenomena yang terjadi saat ini adalah satu diantara dua pasien
pascapembedahan yang direncanakan pulang dari perawatan masih
mengeluhkan rasa nyeri yang belum terkontrol dengan tepat. Performa
indikator manajemen nyeri yang diterapkan di Rumah Sakit menunjukkan
kualitas manajemen nyeri belum mencapai 100%. Padahal target manajemen
nyeri yang ditetapkan rumah sakit sesuai standart JCI adalah 100%. Menurut
data dari hasil survei oleh Vijayan tentang status terkini mengenai manajemen
nyeri akut pada tahun 2011, jumlah pasien di Indonesia yang mendapatkan
manajemen nyeri akut dengan baik kurang dari 30% dari seluruh jumlah
pasien pascapembedahan.

Evaluasi terhadap manajemen nyeri penting dilakukan sebagai upaya untuk


meningkatkan kualitas pelayanan dalam mempertahankan pencapaian.
Evaluasi bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat
keberhasilan pengobatan dan merancang solusi untuk perbaikan. Evaluasi
dilakukan dengan cara mengukur 6 (enam) aspek kualitas, yaitu (1) beratnya
rasa nyeri dan bagaimana nyeri mereda; (2) dampak nyeri pada aktivitas, tidur,
dan emosi negatif; (3) efek samping pengobatan; (4) bantuan informasi
tentang pengobatan nyeri; (5) kemampuan berpartisipasi dalam menentukan
pengobatan nyeri; dan (6) penggunaan strategi nonfarmakologi (Gordon et al.,
2010).
7

Merujuk pada latar belakang dan fenomena yang ditemukan, hal ini penting
untuk diteliti, terutama evaluasi keberhasilan manajemen nyeri. Bahwa dengan
mengetahui output keberhasilan manajemen nyeri terhadap pasien akan
mengidentifikasi mutu pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tersebut.
Perawat sebagai bagian dari tim yang memberikan pelayanan kesehatan
selama 24 (dua puluh empat) jam mempunyai peranan dan tanggungjawab
yang besar terhadap kualitas manajemen nyeri yang diberikan. Menurut
Kumar (2007) perawat memiliki peran yang sangat penting dalam manajemen
nyeri. Perawat dekat terhadap pasien sehingga mampu memberikan dukungan
spiritual, emosional dan personal terhadap pasien dan keluarga. Perawat
merupakan tim kesehatan yang paling baik dalam mengkaji nyeri. Selain itu,
perawat merupakan komunikator dan advocate terbaik bagi pasien. Perawat
mampu mengkomunikasikan kepada pasien mengenai rencana pengobatan,
bagaimana dan kapan terapi diberikan untuk manajemen nyeri pasien. Selain
itu, perawat mampu melakukan evaluasi dengan baik terhadap manajemen
nyeri yang diberikan berdasarkan analisis data yang ditemukan. Sehingga
apabila ditemukan hambatan maka hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai masukan bagi rumah sakit untuk memperbaiki kebijakan terkait
manajemen nyeri supaya dapat memberikan pelayanan yang komprehensif,
terpadu, efektif dan efisien.

1.2 Rumusan Masalah


Nyeri merupakan keluhan subjektif yang tidak menyenangkan dari seorang
pasien yang paling banyak ditemukan di pelayanan kesehatan. Penderita nyeri
di dunia baik nyeri akut maupun kronis, jumlahnya mencapai 20% setiap
tahunnya. Nyeri akut yang tidak mendapatkan manajemen yang tepat akan
menyebabkan nyeri kronis yang berdampak pada semua aspek kehidupan.
Walaupun teknologi dan pengetahuan sudah berkembang pesat saat ini, namun
faktanya manajemen nyeri yang diberikan masih belum tepat. Manajemen
nyeri yang tepat akan meningkatkan kualitas pelayanan yang merupakan
indikator keberhasilan suatu rumah sakit, sehingga evaluasi terhadap
keberhasilan manajemen nyeri pada pasien perlu dilakukan. Dalam penelitian
8

ini, penulis ingin mengetahui bagaimana “Gambaran Manajemen Nyeri


terhadap Pasien Pascapembedahan pada Rumah Sakit di Blora”

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran hasil evaluasi tentang manajemen nyeri.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui gambaran karakteristik responden yang meliputi
(jenis kelamin, umur, suku, agama, tingkat pendidikan, riwayat
pembedahan sebelumnya, jenis pembedahan, dan tipe anaestesi)
1.3.2.2 Mengetahui gambaran manajemen nyeri responden
1.3.2.3 Mengetahui gambaran manajemen nyeri berdasarkan
krakteristik responden

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi pelayanan keperawatan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber


informasi bagi institusi rumah sakit dalam mengetahui gambaran hasil
evaluasi tentang manajemen nyeri pada pasien pascapembedahan.
Selanjutnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagi dasar institusi
dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan.

1.4.2. Bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber dan


dasar institusi pendidikan keperawatan untuk mengembangkan
kurikulum pendidikan terkait nyeri dan berfokus pada pengembangan
dan penyempurnaan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh
perawat sebagai bagian dari tim antar-profesional.
9

1.4.3. Bagi penelitian keperawatan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan
pengembangan studi dan penelitian untuk mengetahui penerapan
manajemen nyeri yang efektif oleh perawat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 (dua) ini akan membahas tentang manajemen nyeri. Penulis akan
menjabarkan manajemen nyeri ke dalam pokok bahasan antar lain konsep nyeri,
nyeri pascapembedahan, manajemen nyeri yang mencakup pengkajian, intervensi
nonfarmakologi dan farmakologi terhadap nyeri.

2.1. Fisiologi Nyeri


2.1.1 Definisi
Menurut Carpenito (2013) nyeri merupakan respon tubuh akibat adanya
kerusakan jaringan secara aktual atau potensial yang digambarkan dalam
kerusakan jaringan itu sendiri dan menimbulkan sensasi yang tidak
menyenangkan secara sensorik dan emosional. Nyeri dapat timbul secara tiba-tiba
atau lambat dengan intensitas dari ringan sampai berat. Nyeri juga merupakan
stressor yang dapat memicu ketidaknyamanan fisiologis dan psikologis yang
bersifat sangat subjektif. Pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif dan
individual. Nyeri dalam intensitas yang sama akan dirasakan sangat berbeda oleh
dua orang yang berbeda. Nyeri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
melatarbelakanginya antara lain: etnis dan budaya, ketahanan ambang nyeri
seseorang, suasana hati, dan penilaian pasien terhadap nyeri. Berdasarkan rasa
nyeri yang dirasakan, menyebabkan seseorang mendatangi tempat pelayanan
kesehatan untuk memperoleh pengobatan. Dampak nyeri yang besar terhadap
kehidupan menjadikan nyeri sebagai tantangan yang besar dan penting untuk
ditangani.

2.1.2. Klasifikasi Nyeri


Menurut Woessner (2006) nyeri digambarkan dalam beberapa kategori. Nyeri
berdasarkan intensitasnya, dikategorikan menjadi nyeri ringan, nyeri sedang, dan
nyeri berat. Nyeri berdasarkan karakternya dikategorikan menjadi nyeri
intermiten atau hilang timbul, nyeri seperti ditusuk, nyeri pedih, nyeri terbakar,
dan nyeri tumpul. Nyeri berdasarkan diagnosis medis, dapat diketegorikan

10
11

menjadi: nyeri panthom, nyeri kanker, nyeri vaskuler, nyeri sendi, nyeri otot,
fibromyalgia, nyeri myofacial, dan nyeri complex regional syndrome. Nyeri
berdasarkan etiologi, dapat diketegorikan menjadi: nyeri neuropatik dan nyeri
nosiseptif. Nyeri berdasarkan persepsi anatomi, dikategorikan menjadi: nyeri
kepala, nyeri punggung, nyeri leher, nyeri wajah, nyeri pinggang, nyeri abdomen
dan lain – lain. Nyeri berdasarkan psikiatri/psikogenik, dapat dikategorikan
menjadi nyeri psikosomatik.

Nyeri berdasarkan lokasinya dapat diklasifikasikan menjadi: (1) Nyeri cutaneous


atau superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit atau jaringan subkutan. Rasa
nyeri bersifat seperti terbakar,terkena ujung pisau atau gunting. (2) Deep somatic
atau nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pembuluh darah, tendon
dan syaraf. Nyeri menyebar dan lebih lama daripada nyeri cutaneous. (3) Visceral
yaitu nyeri yang terjadi pada organ dalam akibat stimulasi dari reseptor nyeri
dalam rongga abdomen, cranium dan thorak. Nyeri visceral terjadi karena spasme
otot, iskemia, regangan jaringan.

Nyeri berdasarkan durasinya dapat dikategorikan menjadi nyeri akut dan nyeri
kronis. (1) Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena
cedera, atau intervensi bedah. Nyeri akut timbul secara cepat, dengan intensitas
bervariasi dari ringan sampai berat. (2) Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau
hilang timbul yang menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama,
memiliki intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam
bulan. Pasien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi(gejala
hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan yang meningkat). 
Nyeri kronik biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan
yang disesuaikan kepada penyebab nyeri.

Nyeri berdasarkan etiologinya diketegorikan menjadi nyeri nosiseptif dan nyeri


neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh adanya stimulasi
noksius karena adanya trauma, proses penyakit atau radang.Nyeri dapat terjadi
karena adanya reseptor dan rangsangan.Sistem saraf perifer termasuk neuron
12

sensorik primer yang khusus mendeteksi rangsangan mekanik, termal, atau kimia
dan kondisi yang berhubungan dengan potensial kerusakan jaringan. Ketika
nosiseptor diaktifkan, sinyal ditransduksi dan ditransmisikan ke tulang belakang
dan otak, tempat di mana sinyal diolah menjadi sensasi yang dapat dimengerti dan
dirasakan. Nyeri nosiseptif melibatkan proses fisiologis yang terdiri dari empat
tahap yaitu: transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.((American Academy of
Pain Medicine), 2006; Breman, 2011).

Proses tranduksi terjadi apabila reseptor nyeri khusus atau nosiseptor terangsang
oleh mekanik, termal, atau rangsangan kimia. Selama fase transduksi, rangsangan
akan memicu pelepasan mediator biokimia seperti prostaglandin, bradikinin,
serotonin, histamin, dan substansi P yang merangsang nosiseptor. Stimulasi
berbahaya atau menyakitkan juga menyebabkan pergerakan ion melintasi
membran sel, yang merangsang nosiseptor. Obat penghilang rasa nyeri dapat
bekerja selama fase ini dengan menghalangi produksi prostaglandin (misalnya,
ibuprofen atau aspirin) atau dengan mengurangi gerakan ion melintasi membrane
sel.

Transmisi nyeri terdiri dari tiga segmen (Breman, 2011). Selama segmen pertama,
impuls nyeri berjalanan dari serabut saraf perifer ke spinal cord. Substansi P yang
berfungsi sebagai neurotransmitter, meningkatkan pergerakan impuls melintasi
sinaps saraf dari aferen neuron utama ke neuron orde kedua di tanduk dorsal pada
spinal cord. Terdapat dua jenis serat nosiseptor yang menyebabkan proses
transmisi pada tanduk dorsal pada spinal cord yaitu: serat C-unmyelinated yang
mengirimkan rasa baal, nyeri yang tidak dapat digambarkan; dan serat tipis-delta-
A, yang mengirimkan nyeri tajam, dan nyeri terlokalisasi. Pada tanduk dorsal,
sinyal rasa nyeri diubah oleh faktor modulasi (misalnya, rangsangan asam amino
atau endorphin). Segmen kedua adalah transmisi dari spinal cord, naik melalui
traktus spinotalamikus, ke batang otak dan thalamus. Pada fase kedua transmisi
terjadi proses kontrol nyeri. Misalnya, opioid (analgetik narkotik) memblokir
pelepasan neurotransmiter, terutama substansi P, yang menghambat rasa nyeri di
tingkat spinal. Capsaicin juga dapat menguras zat P, yang bisa menghambat
13

transmisi sinyal rasa nyeri. Segmen ketiga transmisi melibatkan sinyal antara
thalamus ke korteks sensorik somatic dimana persepsi nyeri terjadi.

Modulasi digambarkan sebagai sistem desenden, yaitu proses akhir terjadi ketika
neuron di thalamus dan batang otak mengirim sinyal kembali ke tanduk dorsal
pada spinal cord (Breman, 2011).Serabut saraf turun melepaskan zat seperti
endogen opioid, serotonin, dan norepinephrine, yang dapat menghambat
(meredam) impuls nyeri yang meningkat (menyakitkan) di tanduk dorsal.
Sebaliknya, pengeluaran asam amino (misalnya, glutamat, N-methyl-D-aspartate
NMDA), dan upregulasi rangsang sel glial dapat memfasilitasi (memperkuat)
sinyal rasa nyeri ini. Efek dari rangsang asam amino dan sel glial cenderung
bertahan, sementara efek penghambatan neurotransmitter cenderung sementara
karena diserap ke saraf. Anti depresan trisiklik memblokir reuptake norepinefrin
dan serotonin; atau NMDA antagonis (misalnya, ketamine, dextromethorphan)
dapat digunakan untuk membantu mengurangi sinyal rasa nyeri.

Persepsi terjadi ketika klien menjadi sadar akan rasa nyeri. Persepsi nyeri adalah
jumlah aktifitas kompleks dalam susunan saraf pusat yang membentuk karakter
dan intensitas nyeri yang dirasakan dan dianggap sebagai pengalaman yang sangat
subyektif. Respon perilaku seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor
psikososial dari situasi dan makna nyeri berdasarkan pengalaman masa lalu,
harapan dan impian masa depan.

Nyeri nosiseptif dapat diklasifikasikan menjadi nyeri viseral dan nyeri


somatik.Nyeri viseral bila berasal dari rangsangan pada organ dalam yang terdapat
pada rongga serebral, torak dan abdomen. Sedangkan nyeri somatik, berasal dari
jaringan seperti kulit, otot, tulang atau sendi. Nyeri somatik sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu superfisial (dari kulit) dan dalam (dari yang
lain). Pada nyeri nosiseptif, system saraf masih berfungsi normal. Hubungan yang
jelas antara persepsi dan intensitas stimuli terhadap nyerinya mengindikasikan
adanya kerusakan jaringan. Perbedaan karakteristik nyeri terjadi karena adanya
proses yang berbeda pada masing-masing tipe stimuli melalui tipe jaringan yang
14

berbeda. Sebagai contoh nyeri somatik superfisial digambarkan sebagai sensasi


tajam dengan lokasi yang jelas, atau rasa terbakar. Nyeri somatik dalam
digambarkan sebagai sensasi tumpul yang difus. Sedangkan nyeri viseral
digambarkan sebagai sensasi cramping dalam yang sering disertai nyeri alih (nyeri
pada daerah lain).

Nyeri neuropatik adalah nyeri yang berhubungan dengan kerusakan dan gangguan
fungsi saraf karena penyakit kronik (misalnya: post herpetik neuralgia, neuropatik
perifer pada diabetes mellitus); karena injuri (misalnya: nyeri pantom pada
tungkai, nyeri pada injuri spinal cord) atau pada nyeri yang tidak dapat dijelaskan.
Nyeri neuropatik mempunyai tipe kronik, digambarkan seperti rasa terbakar,
renjatan listrik, kesemutan atau kebal, juga nyeri yang tajam seperti tertusuk dan
tertembak. Nyeri neuropatik mempunyai dua subtipe berdasarkan sistem saraf
bagian mana yang mengalami kerusakan yaitu: nyeri neuropatik periferal dan
nyeri neuropatik sentral. Nyeri neuropatik periferal seperti pada nyeri panthom
tungkai, post herpetic neuralgia dan carpal tunnel syndrome.

2.1.3. Perbedaan Karakteristik Nyeri

Table 2.1Perbedaan Karakteristik Nyeri

Nyeri akut Nyeri kronik


Intensitas yeri ringan sampai berat Intensitas yeri ringan sampai berat
Respon nyeri berasal dari sistem saraf Respon nyeri berasal dari saraf parasimpatis
simpatis
Meningkatkan denyut nadi TTV normal
Meningkatkan kecepatan pernapasan Kulit hangat dan/atau kering
Meningkatkan tekanan darah
Menyebabkan dilatasi pupil Pupil normal atau dilatasi
Terkait dengan cedera jaringan
Intensitas berkurang seiring dengan Intensitas berlanjut setelah proses
penyembuhan penyembuhan
Nyeri akut Nyeri kronik
Pasien sulit tidur dan gelisah Pasien tampak depresi dan menarik diri
Pasien dapat menunjukkan perilaku yang Pasien tidak menunjukkan perilaku yang
mengindikasikan nyeri seperti menangis, menggambarkan nyeri
menggosok area nyeri atau memegang area
nyeri.
Sumber: (Breman, 2011)
15

2.1.4. Teori Nyeri

Nosiseptif adalah sistem saraf perifer termasuk neuron sensorik primer khusus
yang mendeteksi mekanik, termal, atau kimia dan kondisi yang berhubungan
dengan potensial terjadi kerusakan jaringan. Ketika nosiseptor diaktifkan, sinyal
tertransduksi dan ditransmisikan ke tulang belakang dan otak. Proses yang terkait
dengan persepsi nyeri digambarkan sebagai nosiseptif.

Nosiseptif mempunyai empat tahap fisiologis yaitu transduksi, transmisi, persepsi,


dan modulasi (DeLaune & Patricia K. Ladner, 2011). Transduksi adalah suatu
proses dimana akhiran saraf aferen/nosiseptor mengubah stimulus nyeri menjadi
potensial aksi. Konduksi adalah proses penghantaran/penjalaran impuls melalui
serabut saraf penghantar nyeri sampai ke kornu dorsalis medula spinalis, dan dari
kornu dorsalis ke otak. Transmisi adalah proses penghantaran impuls melewati
sinaps dari neuron orde pertama ke neuron orde kedua pada jalur sensorik yang
terjadi di kornu dorsalis medula spinalis. Proses ini melibatkan pelepasan
neurotransmiter dari neuron presinaps ke neuron post sinaps. Modulasi adalah
proses amplifikasi atau inhibisi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural
signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan
mungkin juga terjadi pada tingkat lainnya.

Teori gate control merupakan proses penghantaran sinyal nyeri oleh serabut saraf
perifer yang berdiameter kecil (A-delta atau C) dari stimuli noksius ke tanduk
dorsal (Breman, 2011). Mekanisme gate control di sela-sela substansia gelatinosa
(yang berada di Susunan Saraf Pusat) akan memodifikasi sinyal. Impuls sinyal
nyeri tidak dapat diteruskan apabila gate tertutup. Impuls nyeri merangsang sel T
di kornu dorsalis dan kemudian naik melalui medulla spinalis ke otak, setelah gate
terbuka. Otak merasakan impuls sebagai nyeri.

2.1.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Nyeri


16

Menurut DeLaune & Patricia K. Ladner (2011) dan Breman, (2011) nyeri
dipengaruhi oleh latar belakang, persepsi dan reaksi seseorang terhadap nyeri.
Nyeri dapat dipengaruhi oleh latar belakang di antaranya adalah etnis, warisan
budaya, dan tahap perkembangan seseorang, lingkungan dan dukungan sosial,
pengalaman nyeri sebelumnya dan arti dari rasa nyeri saat ini. Nilai-nilai budaya
tentang nyeri dapat mempengaruhi kepercayaan dan respon terhadap rasa nyeri
serta ketahanan seseorang terhadap tingkat intensitas dan durasi nyeri.

2.2. Nyeri Pascapembedahan

Nyeri akut merupakan salah satu aktivator dari neurohormonal kompleks dan
respon kekebalan tubuh terhadap cedera. Mekanisme nyeri akut dipengaruhi oleh
respon saraf perifer dan sentral terhadap cedera jaringan. Nyeri akut yang semakin
parah dan terjadi berkepanjangan, menyebabkan respon cedera menjadi
kontraproduktif dan dapat memiliki efek buruk (Australian and New Zealand
College of Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine (ANZCA& FPM, 2010).

Nyeri pascapembedahan merupakan gejala tidak nyaman yang belum tentu akan
menghilang seiring dengan proses penyembuhan luka. Rasa nyeri mencerminkan
gabungan dari peningkatan nyeri di perifer, tulang belakang, dan susunan saraf
pusat. Sehingga nyeri pascapembedahan merupakan nyeri kompleks yang
melibatkan beberapa neurotransmitter dan modulator, termasuk sistem kekebalan
tubuh.

Menurut Wiech K, Edwards R, Moseley GL, Berna C, Ploner M, et al. (2014)


meskipun kebanyakan pasien mengharapkan untuk mengalami rasa nyeri setelah
pembedahan, pengalaman rasa nyeri pascapembedahan dapat diperparah oleh
faktor psikologis dan farmakologis. Sebagai contoh, tingkat kecemasan
mempunyai hubungan terhadap keparahan nyeri dari rangsangan nociceptive,
sebelum prosedur pembedahan (Salomon, et al; 2004). Penelitian yang dilakukan
oleh Martin S. Angst, M.D. dan J. David Clark, M.D ( 2006) mengatakan bahwa
obat anestesi yang diberikan pada saat terjadi cedera jaringan selama proses
17

pembedahan akan berpengaruh terhadap persepsi sensorik. Karena efek anestesi


tersebut belum tentu sesuai untuk mengurangi rasa nyeri. Misalnya, opioid bekerja
baik menghasilkan antinociceptif akan tetapi menyebabkan hyperalgesia. Selain
itu, halogenasi uap yang diberikan pada saat pembiusan akan menyebabkan pasien
tidak sadar dan amnesia, akan tetapi dapat mengaktifkan saluran ion
pronociceptive perifer, sehingga dapat meningkatkan inflamasi neurogenic (Matta
et al., 2008).

Nyeri pascapembedahan merupakan gabungan antara nyeri somatik, inflamasi,


neuropatik, dan nyeri viseral. Nyeri pascapembedahan disebabkan karena cedera
jaringan lokal, yang mengakibatkan kerusakan spontan terhadap saraf nosiseptor
dan meningkatkan sensitivitas terhadap rangsangan (hiperalgesia primer). Nyeri
pascapembedahan juga berasal dari perubahan sistem saraf pusat sebagai hasil
dari sensitisasi dan rasa nyeri dari area yang lebih luas (hiperalgesia sekunder).
(AmericanAcademyofPainMedicine (AAPM), 2006).

Menurut Cadiz(2014);Kai McGreevy, Michael M. Bottros, & Srinivasa N. Raja,


(2012), faktor-faktor yang menyebabkan nyeri akut menjadi kronik setelah
prosedur pembedahan adalah: (1) Nyeri primer yang terdapat pada bagian tubuh
yang akan dilakukan pembedahan; (2) Faktor psikososial dan mood pasien; (3)
Kemampuan koping; (4) Faktor pembedahan seperti: kerusakan saraf, faktor
predisposisi yang memperpanjang tahap inflamasi, jumlah pembedahan yang
dilakukan pada tahun tersebut, pembedahan yang berulang, jenis pembedahan,
lamanya pembedahan; (5) Faktor predisposisi genetik; (6) Lamanya nyeri
pascapembedahan/ respon inflamasi; (7) Durasi pengobatan nyeri
pascapembedahan; (8) Faktor anestesi misalnya: anestesi regional atau umum; (9)
Jenis kelamin; (10) Jenis penyakit; (11) Kekambuhan dari malignansi; (12) Terapi
ajuvan seperti: radiasi, kemoterapi; (13) Umur. Faktor-faktor tersebut merupakan
faktor didapat saat pra-pembedahan, intra pembedahan dan pascapembedahan.
Pada saat fase pra-pembedahan, faktor yang sangat berpengaruh adalah faktor
psikososial (seperti: kecemasan, depresi, trauma, dan ketidakmampuan); faktor
genetic seperti: modulasi nyeri; faktor komorbiditas seperti: kemampuan tidur,
18

obesitas dan stress. Pada fase intra pembedahan dan pemulihan, faktor yang
sangat berpengaruh adalah faktor yang berasal dari pembedahan itu sendiri
(seperti: kerusakan saraf, iskemik jaringan, teknik pembedahan, dan tahap
inflamasi); dan faktor anaestesi dan analgetik seperti: teknik anaestesi dan fasilitas
penanganan nyeri. Pada fase pasca pembedahan faktor yang sangat berpengaruh
adalah faktor nyeri pasca pembedahan (seperti: hyperalgesia pasca pembedahan,
dan pembentukan scar yang memicu terjadinya perangkap saraf); terapi adjuvant
seperti terapi radiasi dan chemotherapy; serta faktor psikososial seperti depresi
dan pengaruh lingkungan.

2.2.1. Pengkajian Nyeri

Pengkajian nyeri secara rinci dan akurat merupakan langkah awal dalam menilai
pasien. Perawat perlu mengetahui riwayat nyeri yang mencakup pertanyaan ke
karakteristik rasa nyeri, termasuk lokasi, kualitas (tajam, tumpul, nyeri tajam
seperti ditusuk, berdenyut, terbakar, nyeri pedih, dll), durasi, dan faktor-faktor
yang memperburuk atau meringankan nyeri. Riwayat alergi, riwayat medis dan
pembedahan masa lalu harus menjadi perhatian khusus dalam mengkaji (Martin S.
Angst, M.D. & J. David Clark, M.D., 2006) pasien dengan gangguan pernapasan,
ginjal, dan penyakit hati, karena dapat mempengaruhi pilihan pengobatan.
Riwayat infeksi saat ini, gangguan koagulasi, atau penyakit tulang yang mungkin
merupakan kontraindikasi neuroaksial (epidural atau intratekal) atau mode
pengobatan regional. Toleransi dari penggunaan obat penghilang nyeri kronis,
atau riwayat alkohol dan penyalahgunaan obat terlarang juga harus dikaji untuk
menjadi pertimbangan ketika menentukan dosis awal yang tepat dalam pemberian
obat penghilang rasa nyeri. Perawat juga perlu mengkaji tingkat kecemasan dan
pengetahuan pasien terkait prosedur pembedahan, sebagai dasar kebutuhan
edukasi yang diperlukan oleh pasien.

Pengkajian selanjutnya adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dimulai


dengan mengukur tanda-tanda vital pasien termasuk tekanan darah, denyut
jantung, pernapasan dan saturasi oksigen perifer menggunakan pulse oximetry.
19

Hipertensi, takikardia, dan takipnea merupakan tanda-tanda obyektif nyeri yang


tidak terkontrol. Sedangkan frekuensi pernapasan yang rendah, perubahan status
mental, dan hipotensi merupakan tanda - tanda depresi pernafasan oleh opioid.
Observasi mengenai penampilan umum pasien dan kondisi harus
didokumentasikan. Seorang pasien ditemukan tidur nyaman tetapi melaporkan
skor nyeri 10 (sepuluh) mengindikasikan kesalahpahaman pasien dalam menilai
nyeri sehingga tidak sesuai dengan perilaku.

Melakukan pemeriksaan fisik secara sistematis yang mencakup evaluasi status


mental; auskultasi jantung, paru-paru, dan abdomen; dan palpasi lembut pada
daerah pascapembedahan yang terasa nyeri. Dalam perawatan pascapembedahan,
pemeriksaan jalur intravena dan kateter epidural juga harus didokumentasikan
karena bisa menjadi sumber nyeri yang lain selain luka primer operasi. Melakukan
dokumentasi yang menyeluruh tentang riwayat awal penyakit, fisik, dan skor
nyeri dengan frekuensi berkala akan memberikan hasil yang optimal dalam
manajemen nyeri.

Table 2.2Pengkajian Nyeri Kuantitatif Menggunakan Initial Pain Rating Tool

No Pengkajian Keterangan
1 Tidak nyeri -

2 Pola nyeri Kapan terjadi nyeri, sudah berapa lama,


menetap, hilang timbul, atau yang lain

3 Lokasi nyeri - Area mana yang terdapat nyeri, apakah


menyebar atau pada satu area
- Apakah lokasi nyeri masih sama atau
berbeda dengan lokasi nyeri sebelumnya

4 Intensitas nyeri Skala intensitas nyeri 1 – 10


Nyeri ringan jika intensitas nyeri 1 – 3,
nyeri sedang jika intensitas nyeri 4 –6, dan
nyeri berat jika intensitas nyeri 7 – 10

- Nyeri saat ini: 1 – 10


- Nyeri paling buruk yang pernah dirasakan:
20

1 – 10
- Nyeri paling ringan yang pernah
dirasakan: 1 – 10

5 Bagaimana gambaran nyeri Seperti terbakar, nyeri tumpul, nyeri tajam,


seperti ditusuk, seperti ditembak,
berdenyut, seperti tertimpa benda

6 Apa yang membuat nyeri berkurang Makan, istirahat, tidur, ubah posisi, pijat,
kompres panas, kompres dingin, aktivitas,
tekhnik relaksasi, lainnya

7 Apa yang menyebabkan nyeri meningkat Batuk, bergerak,

8 Bagaimana nyeri berpengaruh pada- Perubahan mood,


kegiatan sehari – hari - perubahan daya konsentrasi dan
berkomunikasi,
- perubahan nutrisi/ nafsu makan,
- perubahan pola tidur,
- perubahan kemampuan beraktivitas,
- perubahan kemampuan seksual,
- perubahan eliminasi,
- perubahan citra diri

9 Arti nyeri Apakah arti nyeri bagi pasien


Hal apakah yang paling ditakutkan pasien
terkait rasa nyerinya
Adakah tanda tertentu tentang masa lalu
atau masa depan terkait dengan rasa
nyerinya
10 Sumber coping Apa yang biasa dilakukan untuk
membantu pasien menerima rasa nyerinya

11 Respon afektif Bagaimana rasa nyeri mempengaruhi


perasaan pasien: apakah merasa cemas,
depresi, rapuh, lelah atau terbebani

Sumber: (Breman, 2011)

Pengkajian nyeri dengan Wong Baker Faces Pain Rating Scale


21

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri nyeri nyeri nyeri nyeri
Nyeri ringan meng - menyu- hebat sangat
ganggu sahkan hebat
sumber: (Breman, 2011)

2.2.2. Manajemen Nyeri Pascapembedahan

Nyeri akut berfungsi sebagai sistem peringatan potensial atau cedera yang
sebenarnya. Rasa nyeri memungkinkan seseorang mengetahui ketika tubuh secara
fisik terancam sehingga dapat memodifikasi perilaku untuk menghindari
kerusakan jaringan lebih lanjut. Hal ini bermanfaat untuk membandingkan kondisi
individu yang mengalami gangguan sensasi nyeri dengan individu yang normal.
Individu dengan bawaan kelainan, seperti kurangnya serat-C nociceptive, atau
kondisi seperti neuropati perifer diabetes akan mempertahankan cedera dengan
lebih traumatis.

Rasa nyeri yang disebabkan oleh intervensi bedah atau prosedur medis adalah
maladaptif karena tidak mempunyai tujuan yang bermanfaat bagi tubuh. Nyeri
pascabedah dengan manajemen nyeri yang tidak tepat akan mempengaruhi sistem
tubuh termasuk immunomodulation, tingkat hormon stress, saraf simpatik, dan
sistem kardiovaskular (AmericanAcademyofPainMedicine (AAPM), 2006).
Menghilangkan rasa nyeri yang berfungsi sebagai pelindung alami tubuh tidak
disarankan, kecuali memberikan intervensi yang tepat untuk mengobati nyeri akut
pascapembedahan.

Nyeri akut oleh prosedur pembedahan jika tidak di tangani dengan tepat akan
memberikan efek yang negative pada system organ dan proses penyembuhan.
Reflek homeostasis tubuh yang merespon kondisi pascapembedahan dapat
22

mempengaruhi metabolisme, menekan produksi imun sehingga meningkatkan


risiko infeksi, merangsang kardiovaskular dan system pernapasan. Selain
mempengaruhi kondisi klinis pasien, nyeri akut terkait pembedahan juga dapat
mempengaruhi sosial ekonomi pasien untuk biaya perawatan(AAPM, 2006;
Timothy J. Brennan, MD & Esther Pogatzki-Zahn, 2017).

2.2.2.1. Manajemen Nyeri Farmakologi

Penatalaksanaan nyeri farmakologi menurut WHO adalah menggunakan analgetik


untuk mengatasi nyeri secara bertahap sesuai dengan tingkat intensitas nyeri,
dimulai dari golongan analgetik untuk nyeri ringan sampai analgetik untuk nyeri
sedang dan nyeri berat (Breman, 2011).Penggunaan analgetik secara bertahap ini
bertujuan supaya professional kesehatan menggunakan analgetik secara rasional
dalam mengelola nyeri. Penatalaksanaan nyeri farmakologi mencakup
penggunaan opioid (narkotik), obat-obatan anti-inflamasi nonopioid/nonsteroid
(NSAIDS), dan analgesic penyerta, atau koanalgesik (amitripilin, klorpromazin,
diazeapam, hidroksizin).

Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein
yang merupakan analgetik kuat untuk nyeri berat. (Breman, 2011) menyatakan
bahwa dalam manajemen nyeri lebih memilih menggunakan istilah opioid
daripada narkotik. Karena narkotika lebih sering digunakan dalam istilah hukum
yang mengacu pada penyalahgunaan zat aditif. Opioid meredakan nyeri dan
memberikan rasa euphoria lebih besar dengan mengikat reseptor opiat dan
mengaktivasi penekanan nyeri endogen dalam susunan saraf pusat. Reseptor opiat
terdiri dari tiga tipe yaitu: reseptor mu, delta dan kappa. Reseptor yang paling
sering berhubungan dengan pereda nyeri adalah reseptor mu. Pemberian opioid
memberikan efek perubahan pada alam perasaan, sikap serta perasaan sejahtera
sehingga individu merasa lebih nyaman meskipun tetap merasakan nyeri.

Golongan opioid primer terdiri dari tiga tipe yaitu (1) Agonis Penuh. Agonis
penuh merupakan golongan opioid murni ini berikatan kuat dengan tempat
23

reseptor mu, yang menghasilkan hambatan nyeri maksimal, sebuah pengaruh


agonis. Analgesik agonis penuh terdiri atas morfin, kodein, meperidin (Demerol),
propoksifen (Darvon), dan hidromorfin (Dilaudid). Golongan opioid murni tidak
mempunyai batas dosis maksimal dalam dua puluh empat jam, sehingga dosisnya
dapat ditingkatkan dengan tetap untuk meredakan nyeri.

(2) Campuran Agonis-antagonis. Analgesik agonis-antagonis merupakan


golongan opioid primer yang mempunyai cara kerja seperti opioid dan meredakan
nyeri (pengaruh agonis) saat diberikan kepada pasien yang tidak menggunakan
opioid murni. Namun, obat ini dapat menghalangi atau menonaktifkan analgesik
opioid lain saat diberikan kepada klien yang telah mendapat opioid murni
(pengaruh antagonis). Analgesic agonis-antagonis menyekat tempat reseptor mu
dan mengaktifkan tempat reseptor kappa. Jika pasien sedang mendapatkan agonis
mu, misalnya morfin, maka pemberian campuran agonis-antagonis akan
menghentikan efek morfin dan meningkatkan nyeri. Obat-obatan campuran
Agonis-antagonis juga mempunyai kadar dosis maksimal. Dokter tidak
menganjurkan menggunakan obat ini pada pasien yang sakit terminal. Contoh
obat – obatan jenis agonis-antagonis adalah dezosin (dalgan), pentazosin
hidroklorida (talwin), buterfanol tartrat (stadol), dan nalbufin hidroklorida
(nubain).

(3) Agonis sebagian. Agonis sebagian memiliki efek maksimal yang berlawanan
dengan agonis penuh. Misalnya seperti bufrenofin (buprenex) menyekat reseptor
mu atau netral direseptor mu tetapi berikatan pada tempat reseptor kappa.
Buprenorfin memiliki potensi analgesik yang baik dan digunakan sebagai
alternative metadon untuk program maintenance dalam pengobatan
penyalahgunaan narkotika. Buprenorfin menjadi pilihan yang baik karena
mempuyai efek samping yang lebih aman.

Analgetik opioid untuk nyeri sedang. Analgetik opioid untuk nyeri sedang terdiri
dari kodein atau hydrocodone, atau opioid spesifik seperti hydrocodone, dan
tramadol. Analgetik opioid mempunyai efek menghilangkan rasa nyeri dua
24

sampai empat kali lebih kuat daripada nonopioid, dan menjadi pilihan pengobatan
nyeri lini kedua. Analgesic opioid merupakan kombinasi dari nonopioid dengan
opioid. Analgetik opioid penggunaannya dikendalikan dan harus diresepkan oleh
dokter atau praktisi perawat, sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Analgetik opioid juga memiliki efek tertinggi dan batas dosis maksimum harian.
Memberikan kombinasi terapi analgetik memberikan manfaat seperti menurunkan
jumlah salah satu obat diperlukan dalam waktu 24 jam, sehingga mengurangi
potensi efek samping atau toksisitas (Schung, 2017). Oleh sebab itu, perawat
sebaiknya memahami pengetahuan tentang terapi farmakologi nyeri untuk
menghindari adanya kesalahan dalam pemberian obat.

Nonopioids / NSAID. Nonopioids termasuk nonsteroid anti-inflammatory drugs


(NSAID) seperti aspirin atau ibuprofen. NSID bermanfaat dalam manajemen
nyeri akut dan kronis. NSID memiliki efek anti inflamasi, pereda nyeri dan pereda
demam. Aspirin adalah NSAID yang secara umum tersedia dan dijual bebas.
Aspirin dapat memperpanjang waktu perdarahan, sehingga penggunaannya harus
dihentikan seminggu sebelum prosedur pembedahan. Aspirin tidak boleh
diberikan kepada anak-anak di bawah 12 tahun karena dapat menyebabkan
sindrom Reye. Aspirin dapat menyebabkan antikoagulan yang berlebihan jika
diberikan bersamaan dengan warfarin.

Acetaminophen atau tylenol tidak mempengaruhi fungsi trombosit dan jarang


menyebabkan gastrointestinal (GI) distress. Acetaminophen memiliki efek
samping yang serius seperti hepatotoksisitas dan toksisitas ginjal, jika digunakan
dalam dosis tinggi atau dengan penggunaan jangka panjang. Penelitian
menunjukkan bahwa dengan rekomendasi pemberian dosis 4 gram per hari, dapat
meningkatkan risiko toksisitas hati pada beberapa pasien (Breman, 2011).
Acetaminophen dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh, dan dijual dengan bebas
sebagai obat pereda nyeri, demam, alergi, batuk. Oleh sebab itu, acetamenofen
sebaiknya digunakan dengan bijaksana sesuai dengan aturan pemakaian obat.
25

2.2.2.2. Manajemen Nyeri Nonfarmakologi

Akupunktur merupakan salah satu teknik dalam manajemen nyeri


nonfarmakologis. Praktik akupunktur berdasarkan pada pengetahuan yang telah
berumur beberapa ribu tahun. Teknik akupuntur merupakan pengalaman empiris
dan teori kuno, yang menangani kesehatan dan penyakit secara komprehensif.
Teknik akupunktur dilakukan dengan cara memasukkan jarum stainless steel
khusus dalam titik tertentu pada tubuh, memanipulasi jarum secara manual atau
dengan stimulasi elektrik, dan kemudian melepasnya. Pemilihan titik didasarkan
pada kondisi, lokasi, dan gejala, dan dipandu oleh teori praktek. Prosedur ini
diulang pada kunjungan berikutnya untuk kursus pengobatan, yang rata-rata
terdiri dari antara 5 (lima) dan10 (sepuluh) kunjungan. Akupunktur medis dan
tradisional merupakan metode yang efektif dan aman untuk pengobatan dan
manajemen nyeri kronis.

Stimulasi Kutaneus merupakan intervensi yang bersifat sementara dengan tujuan


mengalihkan perhatian pasien pada stimulasi taktil melalui usapan, pijat, kompres
panas atau dingin, akupresur dan stimulasi kontralateral pada kutaneus sehingga
mengurangi persepsi nyeri. Menurut Breman (2011), stimulasi kutaneus juga
dapat menghasilkan pelepasan endorphin dan menghambat transmisi stimulus
nyeri dan menstimulasi serabut saraf sensorik A-beta yang mempunyai diameter
besar sehingga dapat mengalahkan transmisi impuls nyeri yang berada di serabut
saraf A-delta dan C.

Manajemen nyeri nonfarmakologi dapat dilakukan dengan aplikasi kompres


dingin dan hangat, relaksasi, napas dalam, imajinasi terbimbing, distraksi, pijat,
meditasi, mendengarkan music, berdoa dan melakukan aktivitas seperti berjalan
kaki (Breman, 2011). Manajemen nyeri nonfarmakologi juga dapat berupa
stimulasi saraf elektrik transkutaneus. Stimulasi saraf elektrik transkutaneus
mempnyai kontraindikasi terhadap pasien yang menggunakan alat pacu jantung,
pasien dengan aritmia dan pada kulit yang terbuka.
26

Selain itu, manajemen nyeri nonfarmakologi juga dapat dilakukan dengan


prosedur invasive. Yaitu melakukan pembedahan dengan cara memotong serabut
saraf sebagai upaya terahir untuk mengatasi nyeri yang tidak terkendali. Terapi
nonfarmakologi invasive diantaranya adalah kordotomi, rizotomi, neurektomi, dan
simpatektomi.

2.3. Manfaat manajemen nyeri akut pascapembedahan

Dalam sistem perawatan kesehatan, memelihara dan meningkatkan kualitas


biasanya melibatkan banyak prosedur, mekanisme, dan intervensi yang dirancang
untuk mengevaluasi pelayanan kesehatan, mengidentifikasi dan menghilangkan
hambatan dalam upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif, dan
meningkatkan hasil. Jaminan kualitas pelayanan rumah sakit salah satu diataranya
adalah keberhasilan dalam pelayanan manajemen nyeri. Evaluasi penting
dilakukan sebagai sarana untuk mengidentifikasi area yang memerlukan perbaikan
sistem. Penilaian hasil adalah proses yang berkelanjutan yang memerlukan
pemeliharaan yang konstan, revisi, dan mencari keselarasan.((AAPM), 2006;
Meissner et al., 2008).

Clark dan Gironda, (2002) mengatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan,
evaluasi hasil adalah proses yang melibatkan pengumpulan data secara sistematis
dan analitis yang digunakan untuk mengevaluasi keefektifan suatu intervensi.
Evaluasi hasil bertujuan untuk mengumpulkan data secara sistematis dan
konsisten dengan cara berulang menggunakan instrumen. Data yang dihasilkan
kemudian dilakukan analisis, yang mengacu pada proses meringkas dan
menafsirkan data untuk mengidentifikasi temuan yang bermakna.

Manajemen nyeri yang baik mempunyai beberapa tahap intervensi yaitu: penilaian
nyeri secara berkelanjutan (misalnya: mengkaji adanya nyeri, mengatasi rasa
nyeri, dan mengkaji ulang respon pasien terhadap pengobatan yang sesuai dengan
tingkat nyeri); kolaborasi antara professional kesehatan, merencanakan perawatan
kolaboratif yang mencakup masukan pasien; pengobatan yang tepat yang efektif
27

dengan biaya yang terjangkau, menghormati budaya dan sesuai dengan tahapan
perkembangan, aman; serta menyediakan pelayanan perawatan khusus nyeri.
Manajemen nyeri yang baik mempunyai kualitas yang konsisten meliputi struktur,
proses dan hasil terhadap pasien dengan nyeri akut, nyeri kanker, dan nyeri non-
kanker kronis. Variable hasil dari manajemen nyeri yang dinilai adalah perubahan
dalam tingkat keparahan nyeri dan frekuensi, pengobatan atau proses penyakit
yang menyebabkan nyeri, fungsi emosional dan fisik, kualitas hidup, efek
samping dari pengobatan yang diberikan, dan indikator kepuasan pasien (Gordon
et al., 2010).

Menjamin kualitas manajemen nyeri, sebaiknya mengikuti alur yang


berkesinambungan. Data pengkajian tentang nyeri berasal dari gambaran
pengalaman pasien dilaporkan kepada professional kesehatan pada layanan
kesehatan. Data subyektif dan obyektif yang diperoleh tersebut digunakan sebagai
dasar untuk memulai pengobatan. Setelah dilakukan pengobatan, pengkajian
ulang terhadap gelaja dilakukan. Ulasan hasil data dari pengkajian ulang
digunakan sebagai dasar untuk menentukan efektifitas pengobatan. Apabila
pengobatan efektif dan berhasil maka tidak perlu tindakan lebih lanjut.
Sebaliknya, apabila pengobatan yang dilakukan tidak efektif maka perlu
dilakukan modifikasi pengobatan yang sesuai. Kemudian dilakukan lagi
pengkajian ulang untuk mengetahui efektifitas pengobatan yang terahir diberikan
(American Academy of Pain Medicine (AAPM), 2006). Dengan menjaminan
kualitas mengacu pada langkah program yang diperlukan, hal ini akan
memaksimalkan kepercayaan pelanggan pada kehandalan dan kegunaan dari suatu
produk suatu rumah sakit (Gordon et al., 2010).

2.4. Alat Ukur Evaluasi Nyeri

Alat ukur evaluasi nyeri yang digunakan untuk mengidentifikasi efektifitas


manajemen nyeri akut pada pasien pasca pembedahan, merujuk pada penelitian
yang dilakukan oleh Gordon et al., (2010) dan Woldehaimanot et al., (2014).
28

Evaluasi manajemen nyeri menggunakan Revised American Pain Society Patient


Outcome Questionnaire (APS-POQ-R). Kuesioner ini terdiri dari 12 pertanyaan
dan di dalamnya terdapat 23 item. Kuesioner (APS-POQ-R) mengevaluasi
manajemen nyeri yang diberikan dengan menilai: (1). Intensitas nyeri terendah
yang pernah dirasakan pasien selama 24 (dua puluh empat jam) pertama
pascapembedahan. (2). Intensitas nyeri terberat yang dirasakan pasien selama 24
(dua puluh empat) jam pertama pascapembedahan. (3). Prosentase nyeri berat
yang dirasakan pasien selama 24 (dua puluh empat) jam pertama. (4). Dampak
nyeri terhadap: kegiatan di tempat tidur; kegiatan di luar tempat tidur seperti di
berjalan, duduk, dan berdiri; kemampuan mengawali tidur; dan saat tidur. (5).
Dampak nyeri terhadap suasana hati dan emosi seperti: cemas, depresi, rasa takut,
rasa tidak berdaya. (6). Efek samping obat terhadap tubuh pasien seperti: mual,
rasa mengantuk, rasa gatal, dan pusing. (7). Prosentase besarnya rasa nyeri
berkurang setelah diberikan manajemen nyeri secara farmakologis dan
nonfarmakologis. (8). Partisipasi pasien dalam menentukan pengambilan
keputusan terhadap perawatan nyeri. (9). Kepuasan pasien terhadap manajemen
nyeri yang diberikan. (10). Pemberian informasi terkait nyeri yang dapat
membantu pasien dalam manajemen nyeri. (11). Apakah pasien menggunakan
metode nonfarmakologis untuk manajemen nyeri. (12). Berapa sering perawat dan
dokter menganjurkan pasien untuk menggunakan metode nonfarmakologis dalam
manajemen nyeri.
29

2.7 KERANGKA TEORI

Faktor yang
mempengaruhi nyeri
akut pasca Manajemen
pembedahan: nyeri
Jenis kelamin, Umur,
Suku, Agama,
Tingkat pendidikan,
Riwayat pembedahan
sebelumnya, Jenis
Pengkajian Manajemen Manajemen
pembedahan, Tipe
nyeri farmakolog nonfarmak
anaestesi
ologis

Pengkajian 1. Penatala
nyeri ksanaan
Klasifikasi nyeri
nyeri kuantitatif dan menurut
kualitatif WHO
dengan initial
pain rating
Nosis Neu
eptif opat

Evaluasi manajemen nyeri


dengan APS-POQ-R
Nyeri
pascapembedaha
n

Skema 2.13 Kerangka Teori


Sumber : Breman, (2011); Gordon et al., (2010); Sherwood et al., (2003); AAPM, (2006)
BAB 3
KERANGKA KONSEP

Bab 3 (tiga) pada penelitian ini akan menguraikan tentang kerangka konsep dan
definisi operasional.

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini akan menggambarkan tentang hasil evaluasi


manajemen nyeri pada pasien pascapembedahan berdasarkan karakteristik
responden. Variable yang akan diteliti adalah hasil manajemen nyeri pasien
pascapembedahan yang meliputi intensitas nyeri selama 24 (dua puluh empat jam
pascapembedahan, respon nyeri terhadap manajemen nyeri yang diberikan dalam
24 (dua puluh empat jam), dampak nyeri terhadap aktivitas, kemampuan tidur,
dan emosi pasien, Karakteristik responden merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi hasil dari manajemen nyeri. Kerangka konsep dalam penelitian ini
dijelaskan pada bagan berikut ini:

30
31

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Karakteristik responden Hasil manajemen nyeri:


pasca pembedahan: 1. Intensitas nyeri dan bagaimana
1. Jenis kelamin nyeri berkurang
2. Umur 2. Pengaruh nyeri terhadap
3. Suku kemampuan beristirahat dan
4. Agama beraktivitas, emosi dan perasaan
5. Tingkat pendidikan
pasien
6. Riwayat
3. Efek samping pengobatan nyeri,
pembedahan
4. Informasi tentang manajemen
sebelumnya
nyeri yang diberikan
7. Jenis pembedahan
5. Partisipasi dan kepuasan pasien
terhadap pengobatan nyeri
6. Penggunaan terapi non
farmakologi

Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Menunjukkan hasil gambaran tidak menunjukkan hubungan
32

3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan dalam


tabel berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Karakteristik
responden Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala
Jenis Tanda fisik dan psikis Kuesioner 1. Laki-laki Nominal
kelamin yang menunjukkan sifat 2. Perempuan
laki-laki atau perempuan

Umur Selisih tahun lahir Kuesioner 1. Dewasa (20- Ordinal


responden responden dengan tahun 59)tahun
saat mengisi kuesioner 2. Lansia (≥60
tahun)

Suku Golongan orang-orang Kuesioner 1.Jawa Nominal


yang memiliki 2.Sumatra
karakteristik fisik dan 1. 3. Kalimantan
budaya mirip berasal dari 2. 4. Bukan bagian
daerah dan keturunan dari salah satu
yang sama di atas

Agama Sistim yang mengatur Kuesioner1. 1. Islam Nominal


tata keimanan 2. 2. Kristen
(kepercayaan) dan 3. 3. Lain – lain
peribadatan kepada
Tuhan Yang Maha Esa
33

Tabel 3.1Lanjutan…
Karakteristik
responden Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala

Tingkat Jenjang pendidikan yang Kuesioner 1. Pendidikan Ordinal


pendidikan dimiliki oleh pasien tinggi (sarjana)
2. Pendidikan
menengah
(SMA)
3. Pendidikan
dasar (SD-
SMP)

Riwayat Rekam jejak tindakan Kuesioner 1. Ya Nominal


pembedahan pembedahan yang pernah 2. Tidak
terakhir dilakukan terhadap
pasien

Jenis Jenis tindakan operasi Kuesioner 1. Onkologi Nominal


pembedahan yang dilakukan 2. Orthopaedi
3. Digestive
4. Urologi
5. Bedah plastic
6. Bedah
vaskuler

Tipe Jenis pembiusan yang Kuesioner 1. General Nominal


anaestesi diberikan saat prosedur 2. Spinal
pembedahan
34

Tabel 3.1Lanjutan…
Variable Sub variable Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala

Gambaran Intensitas nyeri dan Output tingkatan nyeri teringan, Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
manajemen bagaimana nyeri terberat, durasi nyeri nyeri berat yang yang dimodifikasi 0=tidak nyeri
nyeri berkurang dirasakan responden dan berapa besar nomor 1,2 10=nyeri berat
nyeri berkurang terhadap Nomor 3,7 Prosentase (0%-100%)
penatalaksanaan nyeri yang sudah
diberikan

Pengaruh nyeri Besar tingkatan nyeri yang dirasakan Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
terhadap kemampuan sehingga dapat menghalangi pasien nomor 4,5 0=tidak berpengaruh
beristirahat dan untuk melakukan istirahat (tidur), alih 10=berpengaruh
beraktivitas, emosi posisi, duduk, berdiri, berjalan kaki
dan perasaan pasien. serta menyebabkan gangguan
psikologis seperti gelisah, depresi,
takut dan tidak berdaya

Efek samping Dampak yang tidak diinginkan akibat Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
pengobatan nyeri. dari penggunaan obat tertentu sehingga nomor 6 0=tidak memiliki efek
menimbulkan tanda dan gejala seperti samping
mual, muntah, pusing, mengantuk, 10= efek samping
gatal sangat besar

Informasi tentang Pendidikan kesehatan terkait Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
manajemen nyeri pengelolaan nyeri baik dengan obat Nomor 10a 0=tidak membantu
yang diberikan maupun tanpa obat yang diberikan 10=sangat membantu
kepada pasien
35

Table 3.1 Lanjutan…


Variable Sub variable Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala

Gambaran Partisipasi dan Keterlibatan pasien ikut serta dalam Kuesioner APSPOQR Skala (0-10)
manajemen kepuasan pasien pengelolaan nyeri yang dirasakan nomor 8,9 0=tidak diijinkan interval
nyeri terhadap pengobatan setelah pembedahan, sehingga rasa berpertisipasi dalam
nyeri nyeri dapat berkurang seperti yang pengobatan dan tidak
diharapkan oleh pasien. puas
10= sangat diijinkan
dan sangat puas

Anjuran penggunaan Pengelolaan nyeri menggunakan Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
terapi non metode non obat untuk mengatasi nyeri yang dimodifikasi 0=tidak dianjurkan
farmakologi pascapembedahan nomor12 10=sering dianjurkan
36

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pain Medicine (AAPM). (2017). American Academy of Pain


Medicine. Press: Facts and Figures on Pain. Retrieved from
http://www.painmed.org/patientcenter/facts-on-pain/

American Academy of Pain Medicine (AAPM). (2006). Weiner’s Pain Management A


Practical Guide for Clinicians. (Bosswell, Ed.) (seventh). NW: CRC Press Taylor
&Francis Group.

ANZCA, & FPM. (2010). Acute Pain Management : Scientific Evidence (3th ed.). Melbourn:
ANZKA & FPM.

Berman, A., Synder, S., & Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing
Concept, Process and Practice (10th ed.). USA: Pearson.

Breivik, H., Borchgrevink, P. C., Allen, S. M., Rosseland, L. A., Romundstad, L., Hals, E. K.
B., … Stubhaug, A. (2008). Assessment of Pain, 101(1), 17–24.
https://doi.org/10.1093/bja/aen103

Breman, A. (2011). Kozier &Erb's Fundamentals of Nursing Concepts, Process, and


Practice. (K. Trakalo, Ed.) (ninth). New Jersey: Pearson.

Cadiz, E. M. C. (2014). Long-Term Pain And Psychosocial Outcomes In Children Following


Major Orthopedic Surgery. Thesis Submitted in partial fulfillment of the requirements
for the degree of Master of Science 2014. Ann Arbor, MI: ProQuest LLC.
https://doi.org/UMI Number: 1559801

Carr, E., Layzell, M., & Martin Cristensen. (2010). Advancing Nursing Practice in Pain
Management. United Kingdom: Blackwel Publishing Ltd.

Chou, R., Gordon, D. B., Leon-casasola, O. A. De, Rosenberg, J. M., Bickler, S., Brennan,
T., … Wu, C. L. (2016). Management of Postoperative Pain: A Clinical Practice
Guideline From the American Pain Society, the American Society of Regional
Anesthesia and Pain Medicine, and the American Society of Anesthesiologists’
Committee on Regional Anesthesia, Executive Committee, and Administrative Council.
Journal of Pain, 17(2), 131–157. https://doi.org/10.1016/j.jpain.2015.12.008

Dahlan, M. S. (2009). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. jakarta: Salemba Medika.

DeLaune, S. C., & Patricia K. Ladner. (2011). Fundamentals of Nursing Standards &
Practice Fourth Edition. New York: Delmar.

Dharma, D. K. K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan Melaksanakan dan


Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: Trans Info Media.

Dihle A, S, H., UE, K., SM, P., & C, M. (2006). Using the American Pain Society’s patient
outcome questionnaire to evaluate the quality of postoperative pain management in a

36
37

sample of Norwegian patients. J Pain. https://doi.org/7: 272–280

Fletcher, UM, S., E, P.-Z., R, Z., NV, T., C, P., … W, M. (2015). Chronic Postsurgical Pain
in Europe: An observational study. Pub Med. https://doi.org/DOI:
10.1097/EJA.0000000000000319

Goldberg, D. S., & Mcgee, S. J. (2011). Pain as a global public health priority. BMC Public
Health. https://doi.org/10.1186/1471-2458-11-770

Gordon, D. B., Polomano, R. C., Pellino, T. A., Turk, D. C., McCracken, L. M., Sherwood,
G., … Farrar, J. T. (2010). Revised american pain society patient outcome questionnaire
(aps-poq-r) for quality improvement of pain management in hospitalized adults:
Preliminary psychometric evaluation. Journal of Pain, 11(11), 1172–1186.
https://doi.org/10.1016/j.jpain.2010.02.012

Hosey, D. (2004). the Measurement of Postoperative Pain Across the Adult Lifespan. A
Thesis Submitted to the Faculty of Graduate Studies in Partial Fulfillment of
Requirements for the Degree of Master of Arts Graduate Programme in Kinesiology
and Health Science York Univer. Toronto.
IASP. (2010). International Pain Summit: IASP Document declaration of montreal. montreal.

IOM. (2011). relieving pain in america: a blue print for transforming prevention, care,
education, and research. the national press. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK91497/pdf/TOC.pdf

Kai McGreevy, M. ., Michael M. Bottros, M. D., & Srinivasa N. Raja, M. . (2012).


Preventing Chronic Pain following Acute Pain: Risk Factors, Preventive Strategies, and
their Efficacy, 5(2), 365–372. https://doi.org/10.1016/j.eujps.2011.08.013.

Kopf, A. (2010). Guide to Pain Management in Low-Resource Settings. Seattle: IASP.

Kulkarni, A. R., Pusic, A. L., Hamill, J. B., Kim, H. M., Qi, J., Wilkins, E. G., & Roth, R. S.
(2017). Factors associated with acute postoperative pain following breast reconstruction
*, 11, 1–13. https://doi.org/10.1016/j.jpra.2016.08.005

Martin S. Angst, M.D., & J. David Clark, M.D., P. D. . (2006). Opioid-induced hyperalgesia
A Qualitative Systematic Review. American Society of Anesthesiologists, 104(3), 570–
587.

Matta, A., Cornett, P. M., Miyares, R. L., Abe, K., Sahibzada, N., & Ahern, G. P. (2008).
General anesthetics activate a nociceptive ion channel to enhance pain and
inflammation. Proceeding of the National Academy of Sciences of the United States of
America, 3–8. https://doi.org/10.1073/pnas.0711038105

Mcneill, J. A., Sherwood, G. D., Starck, P. L., Thompson, C. J., Houston, T., & Science, H.
(1998). Assessing Clinical Outcomes : Patient Satisfaction with Pain Management.
Journal of Pain and Symptom Management, 16(1), 29–40.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/S0885-3924(98)00034-7
http://dx.doi.org/10.1016/S0885-3924(98)00034-7

37
38

Meissner, W., Mescha, S., Rothaug, J., Zwacka, S., Goettermann, A., Ulrich, K., &
Schleppers, A. (2008). Quality improvement in postoperative pain management: results
from the QUIPS project. Deutsches Ärzteblatt International, 105(50), 865–70.
https://doi.org/10.3238/arztebl.2008.0865

Moddeman, G. R. (2000). Factors Influencing the Postoperative Pain Experience of Adult


Females Dissertation A dissertation submitted in partial fulfillment of the Requirements
for the degree of Doctor of Philosophy at the University of Kentucky. Lexington,
Kentucky.

Organizations, T. J. C. on A. of H. (2012). (2012). Pain management a system approach to


improving quality and safety. USA. USA.

Palalogos, R., Mocanu, A., Balacescu, L., Nemes, A., Rajcsanyi, R., Jozsef, T., … Burz, C.
(2012). The Assessment of Cancer Pain Treatment Using the Pain Management Index in
Hospitalized Patients with Cancer . A Pilot Study, (May).

Physician, A. C. of E. (ACEP). (2010). Policy Statements. Ann Emerg Med, 56(1), 77–79.
https://doi.org/10.1016/j.annemergmed.2010.03.035

Reid, K. J., & Harker, J. (2011). Epidemiology of chronic non-cancer pain in Europe :
narrative review of prevalence , pain treatments and pain impact. Current Medical
Research & Opinion, 27(2), 449–462. https://doi.org/10.1185/03007995.2010.545813

Schug, S. A. (2011). Chronic Pain after Surgery or Injury. IASP, XIX(1).

Schung, stephan A. (2017). Management of Postsurgical Pain in Adults. IASP.

Sherwood, G. D., McNeill, J. a, Starck, P. L., & Disnard, G. (2003). Changing acute pain
management outcomes in surgical patients. AORN Journal, 77(2), 374, 377–80, 384–90
passim. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12619852

Simanski, C. J. P., Althaus, A., Psych, D., Hoederath, S., Kreutz, K. W., Hoederath, P., …
Neugebauer, E. A. M. (2014). ACUTE PAIN & PERIOPERATIVE PAIN SECTION
Original Research Article Incidence of Chronic Postsurgical Pain ( CPSP ) after General
Surgery, 1222–1229.

Timothy J. Brennan, MD, P., & Esther Pogatzki-Zahn, P. D. med. (2017). Pathophysiology of
Acute Postoperative Pain. IASP 2017 Global Year Againts Pain after Surgery Fact
Sheet #3, (3), 3–6.

Vijayan, P. R. (2011). Managing Acute Pain in the Developing World. Pain Clinical Update,
XIX(3).

Zaki, L. R Mohamed. (2015). A Systematic Review of the Prevalence and Measurement of


Chronic Pain in Asian Adults. Pain Management Nursing, 16(3), 440–452.
https://doi.org/10.1016/j.pmn.2014.08.012

38

Anda mungkin juga menyukai