PRETTY ERAWATI
131911123030
DAFTAR ISI
Bab satu pada penelitian ini akan menguraikan latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan penelitian serta manfaat dari penelitian yang akan dilakukan.
Nyeri akut yang tidak tertangani dengan tepat merupakan penyebab awal dari
nyeri kronik (AAPM, 2017). Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tahun 2003 bahwa sekitar 20% dari orang dewasa menderita
nyeri kronis. 1 -2 % dari nyeri kronis tersebut merupakan nyeri kanker, sekitar
30 – 40 % berasal dari musculoskeletal dan gangguan persendian, nyeri leher
4
dan tulang belakang sekitar 30 %, dan kurang dari 10 % kasus adalah nyeri
kepala dan migrain yang merupakan nyeri persisten (IASP & EFIC, 2004). Di
Eropa, prevalensi nyeri akut diperkirakan sekitar 19 %, sedangkan prevalensi
nyeri kronis dilaporkan sekitar 17,1 % (Reid & Harker, 2011). Di Asia sendiri,
studi epidemologi pada nyeri kronik masih terbatas. Menurut jurnal penelitian
Zaki (2015), prevalensi nyeri kronik pada orang Asia dewasa pada rentang
antara 7,1 % di Malaysia, 61 % di Kamboja dan Irak Utara, 90,8 % pada
populasi geriatri etnis Cina.
The American Society for Pain Management Nursing (ASPMN) dan The
Emergency Nurses Association (ENA) bekerja sama dengan American
College of Emergency Physicians (ACEP) dan American Pain Society (APS)
mendukung upaya untuk meningkatkan manajemen nyeri pada pasien di
semua pelayanan kesehatan (ACEP, 2010). Intensitas rasa nyeri dianggap
6
sebagai tanda vital kelima, bersama dengan suhu, denyut nadi, respirasi, dan
tekanan darah. Pasien memiliki hak penuh untuk pemeriksaan nyeri ketika
rasa nyeri tidak mudah ditandai atau diobati (Breman, 2011;IASP, 2010). The
Joint Commission’s memandang manajemen nyeri sebagai komponen integral
dalam perawatan dan telah memperluas ruang lingkup standar manajemen
nyeri. Dimana manajemen nyeri merupakan salah satu indikator keberhasilan
pelayanan kesehatan. Penilaian nyeri dan manajemen standar nyeri adalah
sebagai prioritas dalam praktek klinis sehari-hari (Kopf, 2010; JCHAO, 2012;
Sherwood et al; 2003; Physician, 2010; Breman, 2011).
Akan tetapi fenomena yang terjadi saat ini adalah satu diantara dua pasien
pascapembedahan yang direncanakan pulang dari perawatan masih
mengeluhkan rasa nyeri yang belum terkontrol dengan tepat. Performa
indikator manajemen nyeri yang diterapkan di Rumah Sakit menunjukkan
kualitas manajemen nyeri belum mencapai 100%. Padahal target manajemen
nyeri yang ditetapkan rumah sakit sesuai standart JCI adalah 100%. Menurut
data dari hasil survei oleh Vijayan tentang status terkini mengenai manajemen
nyeri akut pada tahun 2011, jumlah pasien di Indonesia yang mendapatkan
manajemen nyeri akut dengan baik kurang dari 30% dari seluruh jumlah
pasien pascapembedahan.
Merujuk pada latar belakang dan fenomena yang ditemukan, hal ini penting
untuk diteliti, terutama evaluasi keberhasilan manajemen nyeri. Bahwa dengan
mengetahui output keberhasilan manajemen nyeri terhadap pasien akan
mengidentifikasi mutu pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tersebut.
Perawat sebagai bagian dari tim yang memberikan pelayanan kesehatan
selama 24 (dua puluh empat) jam mempunyai peranan dan tanggungjawab
yang besar terhadap kualitas manajemen nyeri yang diberikan. Menurut
Kumar (2007) perawat memiliki peran yang sangat penting dalam manajemen
nyeri. Perawat dekat terhadap pasien sehingga mampu memberikan dukungan
spiritual, emosional dan personal terhadap pasien dan keluarga. Perawat
merupakan tim kesehatan yang paling baik dalam mengkaji nyeri. Selain itu,
perawat merupakan komunikator dan advocate terbaik bagi pasien. Perawat
mampu mengkomunikasikan kepada pasien mengenai rencana pengobatan,
bagaimana dan kapan terapi diberikan untuk manajemen nyeri pasien. Selain
itu, perawat mampu melakukan evaluasi dengan baik terhadap manajemen
nyeri yang diberikan berdasarkan analisis data yang ditemukan. Sehingga
apabila ditemukan hambatan maka hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai masukan bagi rumah sakit untuk memperbaiki kebijakan terkait
manajemen nyeri supaya dapat memberikan pelayanan yang komprehensif,
terpadu, efektif dan efisien.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran hasil evaluasi tentang manajemen nyeri.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui gambaran karakteristik responden yang meliputi
(jenis kelamin, umur, suku, agama, tingkat pendidikan, riwayat
pembedahan sebelumnya, jenis pembedahan, dan tipe anaestesi)
1.3.2.2 Mengetahui gambaran manajemen nyeri responden
1.3.2.3 Mengetahui gambaran manajemen nyeri berdasarkan
krakteristik responden
Pada bab 2 (dua) ini akan membahas tentang manajemen nyeri. Penulis akan
menjabarkan manajemen nyeri ke dalam pokok bahasan antar lain konsep nyeri,
nyeri pascapembedahan, manajemen nyeri yang mencakup pengkajian, intervensi
nonfarmakologi dan farmakologi terhadap nyeri.
10
11
menjadi: nyeri panthom, nyeri kanker, nyeri vaskuler, nyeri sendi, nyeri otot,
fibromyalgia, nyeri myofacial, dan nyeri complex regional syndrome. Nyeri
berdasarkan etiologi, dapat diketegorikan menjadi: nyeri neuropatik dan nyeri
nosiseptif. Nyeri berdasarkan persepsi anatomi, dikategorikan menjadi: nyeri
kepala, nyeri punggung, nyeri leher, nyeri wajah, nyeri pinggang, nyeri abdomen
dan lain – lain. Nyeri berdasarkan psikiatri/psikogenik, dapat dikategorikan
menjadi nyeri psikosomatik.
Nyeri berdasarkan durasinya dapat dikategorikan menjadi nyeri akut dan nyeri
kronis. (1) Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena
cedera, atau intervensi bedah. Nyeri akut timbul secara cepat, dengan intensitas
bervariasi dari ringan sampai berat. (2) Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau
hilang timbul yang menetap sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama,
memiliki intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam
bulan. Pasien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi(gejala
hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan yang meningkat).
Nyeri kronik biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan
yang disesuaikan kepada penyebab nyeri.
sensorik primer yang khusus mendeteksi rangsangan mekanik, termal, atau kimia
dan kondisi yang berhubungan dengan potensial kerusakan jaringan. Ketika
nosiseptor diaktifkan, sinyal ditransduksi dan ditransmisikan ke tulang belakang
dan otak, tempat di mana sinyal diolah menjadi sensasi yang dapat dimengerti dan
dirasakan. Nyeri nosiseptif melibatkan proses fisiologis yang terdiri dari empat
tahap yaitu: transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.((American Academy of
Pain Medicine), 2006; Breman, 2011).
Proses tranduksi terjadi apabila reseptor nyeri khusus atau nosiseptor terangsang
oleh mekanik, termal, atau rangsangan kimia. Selama fase transduksi, rangsangan
akan memicu pelepasan mediator biokimia seperti prostaglandin, bradikinin,
serotonin, histamin, dan substansi P yang merangsang nosiseptor. Stimulasi
berbahaya atau menyakitkan juga menyebabkan pergerakan ion melintasi
membran sel, yang merangsang nosiseptor. Obat penghilang rasa nyeri dapat
bekerja selama fase ini dengan menghalangi produksi prostaglandin (misalnya,
ibuprofen atau aspirin) atau dengan mengurangi gerakan ion melintasi membrane
sel.
Transmisi nyeri terdiri dari tiga segmen (Breman, 2011). Selama segmen pertama,
impuls nyeri berjalanan dari serabut saraf perifer ke spinal cord. Substansi P yang
berfungsi sebagai neurotransmitter, meningkatkan pergerakan impuls melintasi
sinaps saraf dari aferen neuron utama ke neuron orde kedua di tanduk dorsal pada
spinal cord. Terdapat dua jenis serat nosiseptor yang menyebabkan proses
transmisi pada tanduk dorsal pada spinal cord yaitu: serat C-unmyelinated yang
mengirimkan rasa baal, nyeri yang tidak dapat digambarkan; dan serat tipis-delta-
A, yang mengirimkan nyeri tajam, dan nyeri terlokalisasi. Pada tanduk dorsal,
sinyal rasa nyeri diubah oleh faktor modulasi (misalnya, rangsangan asam amino
atau endorphin). Segmen kedua adalah transmisi dari spinal cord, naik melalui
traktus spinotalamikus, ke batang otak dan thalamus. Pada fase kedua transmisi
terjadi proses kontrol nyeri. Misalnya, opioid (analgetik narkotik) memblokir
pelepasan neurotransmiter, terutama substansi P, yang menghambat rasa nyeri di
tingkat spinal. Capsaicin juga dapat menguras zat P, yang bisa menghambat
13
transmisi sinyal rasa nyeri. Segmen ketiga transmisi melibatkan sinyal antara
thalamus ke korteks sensorik somatic dimana persepsi nyeri terjadi.
Modulasi digambarkan sebagai sistem desenden, yaitu proses akhir terjadi ketika
neuron di thalamus dan batang otak mengirim sinyal kembali ke tanduk dorsal
pada spinal cord (Breman, 2011).Serabut saraf turun melepaskan zat seperti
endogen opioid, serotonin, dan norepinephrine, yang dapat menghambat
(meredam) impuls nyeri yang meningkat (menyakitkan) di tanduk dorsal.
Sebaliknya, pengeluaran asam amino (misalnya, glutamat, N-methyl-D-aspartate
NMDA), dan upregulasi rangsang sel glial dapat memfasilitasi (memperkuat)
sinyal rasa nyeri ini. Efek dari rangsang asam amino dan sel glial cenderung
bertahan, sementara efek penghambatan neurotransmitter cenderung sementara
karena diserap ke saraf. Anti depresan trisiklik memblokir reuptake norepinefrin
dan serotonin; atau NMDA antagonis (misalnya, ketamine, dextromethorphan)
dapat digunakan untuk membantu mengurangi sinyal rasa nyeri.
Persepsi terjadi ketika klien menjadi sadar akan rasa nyeri. Persepsi nyeri adalah
jumlah aktifitas kompleks dalam susunan saraf pusat yang membentuk karakter
dan intensitas nyeri yang dirasakan dan dianggap sebagai pengalaman yang sangat
subyektif. Respon perilaku seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor
psikososial dari situasi dan makna nyeri berdasarkan pengalaman masa lalu,
harapan dan impian masa depan.
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang berhubungan dengan kerusakan dan gangguan
fungsi saraf karena penyakit kronik (misalnya: post herpetik neuralgia, neuropatik
perifer pada diabetes mellitus); karena injuri (misalnya: nyeri pantom pada
tungkai, nyeri pada injuri spinal cord) atau pada nyeri yang tidak dapat dijelaskan.
Nyeri neuropatik mempunyai tipe kronik, digambarkan seperti rasa terbakar,
renjatan listrik, kesemutan atau kebal, juga nyeri yang tajam seperti tertusuk dan
tertembak. Nyeri neuropatik mempunyai dua subtipe berdasarkan sistem saraf
bagian mana yang mengalami kerusakan yaitu: nyeri neuropatik periferal dan
nyeri neuropatik sentral. Nyeri neuropatik periferal seperti pada nyeri panthom
tungkai, post herpetic neuralgia dan carpal tunnel syndrome.
Nosiseptif adalah sistem saraf perifer termasuk neuron sensorik primer khusus
yang mendeteksi mekanik, termal, atau kimia dan kondisi yang berhubungan
dengan potensial terjadi kerusakan jaringan. Ketika nosiseptor diaktifkan, sinyal
tertransduksi dan ditransmisikan ke tulang belakang dan otak. Proses yang terkait
dengan persepsi nyeri digambarkan sebagai nosiseptif.
Teori gate control merupakan proses penghantaran sinyal nyeri oleh serabut saraf
perifer yang berdiameter kecil (A-delta atau C) dari stimuli noksius ke tanduk
dorsal (Breman, 2011). Mekanisme gate control di sela-sela substansia gelatinosa
(yang berada di Susunan Saraf Pusat) akan memodifikasi sinyal. Impuls sinyal
nyeri tidak dapat diteruskan apabila gate tertutup. Impuls nyeri merangsang sel T
di kornu dorsalis dan kemudian naik melalui medulla spinalis ke otak, setelah gate
terbuka. Otak merasakan impuls sebagai nyeri.
Menurut DeLaune & Patricia K. Ladner (2011) dan Breman, (2011) nyeri
dipengaruhi oleh latar belakang, persepsi dan reaksi seseorang terhadap nyeri.
Nyeri dapat dipengaruhi oleh latar belakang di antaranya adalah etnis, warisan
budaya, dan tahap perkembangan seseorang, lingkungan dan dukungan sosial,
pengalaman nyeri sebelumnya dan arti dari rasa nyeri saat ini. Nilai-nilai budaya
tentang nyeri dapat mempengaruhi kepercayaan dan respon terhadap rasa nyeri
serta ketahanan seseorang terhadap tingkat intensitas dan durasi nyeri.
Nyeri akut merupakan salah satu aktivator dari neurohormonal kompleks dan
respon kekebalan tubuh terhadap cedera. Mekanisme nyeri akut dipengaruhi oleh
respon saraf perifer dan sentral terhadap cedera jaringan. Nyeri akut yang semakin
parah dan terjadi berkepanjangan, menyebabkan respon cedera menjadi
kontraproduktif dan dapat memiliki efek buruk (Australian and New Zealand
College of Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine (ANZCA& FPM, 2010).
Nyeri pascapembedahan merupakan gejala tidak nyaman yang belum tentu akan
menghilang seiring dengan proses penyembuhan luka. Rasa nyeri mencerminkan
gabungan dari peningkatan nyeri di perifer, tulang belakang, dan susunan saraf
pusat. Sehingga nyeri pascapembedahan merupakan nyeri kompleks yang
melibatkan beberapa neurotransmitter dan modulator, termasuk sistem kekebalan
tubuh.
obesitas dan stress. Pada fase intra pembedahan dan pemulihan, faktor yang
sangat berpengaruh adalah faktor yang berasal dari pembedahan itu sendiri
(seperti: kerusakan saraf, iskemik jaringan, teknik pembedahan, dan tahap
inflamasi); dan faktor anaestesi dan analgetik seperti: teknik anaestesi dan fasilitas
penanganan nyeri. Pada fase pasca pembedahan faktor yang sangat berpengaruh
adalah faktor nyeri pasca pembedahan (seperti: hyperalgesia pasca pembedahan,
dan pembentukan scar yang memicu terjadinya perangkap saraf); terapi adjuvant
seperti terapi radiasi dan chemotherapy; serta faktor psikososial seperti depresi
dan pengaruh lingkungan.
Pengkajian nyeri secara rinci dan akurat merupakan langkah awal dalam menilai
pasien. Perawat perlu mengetahui riwayat nyeri yang mencakup pertanyaan ke
karakteristik rasa nyeri, termasuk lokasi, kualitas (tajam, tumpul, nyeri tajam
seperti ditusuk, berdenyut, terbakar, nyeri pedih, dll), durasi, dan faktor-faktor
yang memperburuk atau meringankan nyeri. Riwayat alergi, riwayat medis dan
pembedahan masa lalu harus menjadi perhatian khusus dalam mengkaji (Martin S.
Angst, M.D. & J. David Clark, M.D., 2006) pasien dengan gangguan pernapasan,
ginjal, dan penyakit hati, karena dapat mempengaruhi pilihan pengobatan.
Riwayat infeksi saat ini, gangguan koagulasi, atau penyakit tulang yang mungkin
merupakan kontraindikasi neuroaksial (epidural atau intratekal) atau mode
pengobatan regional. Toleransi dari penggunaan obat penghilang nyeri kronis,
atau riwayat alkohol dan penyalahgunaan obat terlarang juga harus dikaji untuk
menjadi pertimbangan ketika menentukan dosis awal yang tepat dalam pemberian
obat penghilang rasa nyeri. Perawat juga perlu mengkaji tingkat kecemasan dan
pengetahuan pasien terkait prosedur pembedahan, sebagai dasar kebutuhan
edukasi yang diperlukan oleh pasien.
No Pengkajian Keterangan
1 Tidak nyeri -
1 – 10
- Nyeri paling ringan yang pernah
dirasakan: 1 – 10
6 Apa yang membuat nyeri berkurang Makan, istirahat, tidur, ubah posisi, pijat,
kompres panas, kompres dingin, aktivitas,
tekhnik relaksasi, lainnya
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri nyeri nyeri nyeri nyeri
Nyeri ringan meng - menyu- hebat sangat
ganggu sahkan hebat
sumber: (Breman, 2011)
Nyeri akut berfungsi sebagai sistem peringatan potensial atau cedera yang
sebenarnya. Rasa nyeri memungkinkan seseorang mengetahui ketika tubuh secara
fisik terancam sehingga dapat memodifikasi perilaku untuk menghindari
kerusakan jaringan lebih lanjut. Hal ini bermanfaat untuk membandingkan kondisi
individu yang mengalami gangguan sensasi nyeri dengan individu yang normal.
Individu dengan bawaan kelainan, seperti kurangnya serat-C nociceptive, atau
kondisi seperti neuropati perifer diabetes akan mempertahankan cedera dengan
lebih traumatis.
Rasa nyeri yang disebabkan oleh intervensi bedah atau prosedur medis adalah
maladaptif karena tidak mempunyai tujuan yang bermanfaat bagi tubuh. Nyeri
pascabedah dengan manajemen nyeri yang tidak tepat akan mempengaruhi sistem
tubuh termasuk immunomodulation, tingkat hormon stress, saraf simpatik, dan
sistem kardiovaskular (AmericanAcademyofPainMedicine (AAPM), 2006).
Menghilangkan rasa nyeri yang berfungsi sebagai pelindung alami tubuh tidak
disarankan, kecuali memberikan intervensi yang tepat untuk mengobati nyeri akut
pascapembedahan.
Nyeri akut oleh prosedur pembedahan jika tidak di tangani dengan tepat akan
memberikan efek yang negative pada system organ dan proses penyembuhan.
Reflek homeostasis tubuh yang merespon kondisi pascapembedahan dapat
22
Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein
yang merupakan analgetik kuat untuk nyeri berat. (Breman, 2011) menyatakan
bahwa dalam manajemen nyeri lebih memilih menggunakan istilah opioid
daripada narkotik. Karena narkotika lebih sering digunakan dalam istilah hukum
yang mengacu pada penyalahgunaan zat aditif. Opioid meredakan nyeri dan
memberikan rasa euphoria lebih besar dengan mengikat reseptor opiat dan
mengaktivasi penekanan nyeri endogen dalam susunan saraf pusat. Reseptor opiat
terdiri dari tiga tipe yaitu: reseptor mu, delta dan kappa. Reseptor yang paling
sering berhubungan dengan pereda nyeri adalah reseptor mu. Pemberian opioid
memberikan efek perubahan pada alam perasaan, sikap serta perasaan sejahtera
sehingga individu merasa lebih nyaman meskipun tetap merasakan nyeri.
Golongan opioid primer terdiri dari tiga tipe yaitu (1) Agonis Penuh. Agonis
penuh merupakan golongan opioid murni ini berikatan kuat dengan tempat
23
(3) Agonis sebagian. Agonis sebagian memiliki efek maksimal yang berlawanan
dengan agonis penuh. Misalnya seperti bufrenofin (buprenex) menyekat reseptor
mu atau netral direseptor mu tetapi berikatan pada tempat reseptor kappa.
Buprenorfin memiliki potensi analgesik yang baik dan digunakan sebagai
alternative metadon untuk program maintenance dalam pengobatan
penyalahgunaan narkotika. Buprenorfin menjadi pilihan yang baik karena
mempuyai efek samping yang lebih aman.
Analgetik opioid untuk nyeri sedang. Analgetik opioid untuk nyeri sedang terdiri
dari kodein atau hydrocodone, atau opioid spesifik seperti hydrocodone, dan
tramadol. Analgetik opioid mempunyai efek menghilangkan rasa nyeri dua
24
sampai empat kali lebih kuat daripada nonopioid, dan menjadi pilihan pengobatan
nyeri lini kedua. Analgesic opioid merupakan kombinasi dari nonopioid dengan
opioid. Analgetik opioid penggunaannya dikendalikan dan harus diresepkan oleh
dokter atau praktisi perawat, sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Analgetik opioid juga memiliki efek tertinggi dan batas dosis maksimum harian.
Memberikan kombinasi terapi analgetik memberikan manfaat seperti menurunkan
jumlah salah satu obat diperlukan dalam waktu 24 jam, sehingga mengurangi
potensi efek samping atau toksisitas (Schung, 2017). Oleh sebab itu, perawat
sebaiknya memahami pengetahuan tentang terapi farmakologi nyeri untuk
menghindari adanya kesalahan dalam pemberian obat.
Clark dan Gironda, (2002) mengatakan bahwa dalam sistem perawatan kesehatan,
evaluasi hasil adalah proses yang melibatkan pengumpulan data secara sistematis
dan analitis yang digunakan untuk mengevaluasi keefektifan suatu intervensi.
Evaluasi hasil bertujuan untuk mengumpulkan data secara sistematis dan
konsisten dengan cara berulang menggunakan instrumen. Data yang dihasilkan
kemudian dilakukan analisis, yang mengacu pada proses meringkas dan
menafsirkan data untuk mengidentifikasi temuan yang bermakna.
Manajemen nyeri yang baik mempunyai beberapa tahap intervensi yaitu: penilaian
nyeri secara berkelanjutan (misalnya: mengkaji adanya nyeri, mengatasi rasa
nyeri, dan mengkaji ulang respon pasien terhadap pengobatan yang sesuai dengan
tingkat nyeri); kolaborasi antara professional kesehatan, merencanakan perawatan
kolaboratif yang mencakup masukan pasien; pengobatan yang tepat yang efektif
27
dengan biaya yang terjangkau, menghormati budaya dan sesuai dengan tahapan
perkembangan, aman; serta menyediakan pelayanan perawatan khusus nyeri.
Manajemen nyeri yang baik mempunyai kualitas yang konsisten meliputi struktur,
proses dan hasil terhadap pasien dengan nyeri akut, nyeri kanker, dan nyeri non-
kanker kronis. Variable hasil dari manajemen nyeri yang dinilai adalah perubahan
dalam tingkat keparahan nyeri dan frekuensi, pengobatan atau proses penyakit
yang menyebabkan nyeri, fungsi emosional dan fisik, kualitas hidup, efek
samping dari pengobatan yang diberikan, dan indikator kepuasan pasien (Gordon
et al., 2010).
Faktor yang
mempengaruhi nyeri
akut pasca Manajemen
pembedahan: nyeri
Jenis kelamin, Umur,
Suku, Agama,
Tingkat pendidikan,
Riwayat pembedahan
sebelumnya, Jenis
Pengkajian Manajemen Manajemen
pembedahan, Tipe
nyeri farmakolog nonfarmak
anaestesi
ologis
Pengkajian 1. Penatala
nyeri ksanaan
Klasifikasi nyeri
nyeri kuantitatif dan menurut
kualitatif WHO
dengan initial
pain rating
Nosis Neu
eptif opat
Bab 3 (tiga) pada penelitian ini akan menguraikan tentang kerangka konsep dan
definisi operasional.
30
31
Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Menunjukkan hasil gambaran tidak menunjukkan hubungan
32
Tabel 3.1Lanjutan…
Karakteristik
responden Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala
Tabel 3.1Lanjutan…
Variable Sub variable Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala
Gambaran Intensitas nyeri dan Output tingkatan nyeri teringan, Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
manajemen bagaimana nyeri terberat, durasi nyeri nyeri berat yang yang dimodifikasi 0=tidak nyeri
nyeri berkurang dirasakan responden dan berapa besar nomor 1,2 10=nyeri berat
nyeri berkurang terhadap Nomor 3,7 Prosentase (0%-100%)
penatalaksanaan nyeri yang sudah
diberikan
Pengaruh nyeri Besar tingkatan nyeri yang dirasakan Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
terhadap kemampuan sehingga dapat menghalangi pasien nomor 4,5 0=tidak berpengaruh
beristirahat dan untuk melakukan istirahat (tidur), alih 10=berpengaruh
beraktivitas, emosi posisi, duduk, berdiri, berjalan kaki
dan perasaan pasien. serta menyebabkan gangguan
psikologis seperti gelisah, depresi,
takut dan tidak berdaya
Efek samping Dampak yang tidak diinginkan akibat Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
pengobatan nyeri. dari penggunaan obat tertentu sehingga nomor 6 0=tidak memiliki efek
menimbulkan tanda dan gejala seperti samping
mual, muntah, pusing, mengantuk, 10= efek samping
gatal sangat besar
Informasi tentang Pendidikan kesehatan terkait Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
manajemen nyeri pengelolaan nyeri baik dengan obat Nomor 10a 0=tidak membantu
yang diberikan maupun tanpa obat yang diberikan 10=sangat membantu
kepada pasien
35
Gambaran Partisipasi dan Keterlibatan pasien ikut serta dalam Kuesioner APSPOQR Skala (0-10)
manajemen kepuasan pasien pengelolaan nyeri yang dirasakan nomor 8,9 0=tidak diijinkan interval
nyeri terhadap pengobatan setelah pembedahan, sehingga rasa berpertisipasi dalam
nyeri nyeri dapat berkurang seperti yang pengobatan dan tidak
diharapkan oleh pasien. puas
10= sangat diijinkan
dan sangat puas
Anjuran penggunaan Pengelolaan nyeri menggunakan Kuesioner APSPOQR Skala (0-10) interval
terapi non metode non obat untuk mengatasi nyeri yang dimodifikasi 0=tidak dianjurkan
farmakologi pascapembedahan nomor12 10=sering dianjurkan
36
DAFTAR PUSTAKA
ANZCA, & FPM. (2010). Acute Pain Management : Scientific Evidence (3th ed.). Melbourn:
ANZKA & FPM.
Berman, A., Synder, S., & Frandsen, G. (2016). Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing
Concept, Process and Practice (10th ed.). USA: Pearson.
Breivik, H., Borchgrevink, P. C., Allen, S. M., Rosseland, L. A., Romundstad, L., Hals, E. K.
B., … Stubhaug, A. (2008). Assessment of Pain, 101(1), 17–24.
https://doi.org/10.1093/bja/aen103
Carr, E., Layzell, M., & Martin Cristensen. (2010). Advancing Nursing Practice in Pain
Management. United Kingdom: Blackwel Publishing Ltd.
Chou, R., Gordon, D. B., Leon-casasola, O. A. De, Rosenberg, J. M., Bickler, S., Brennan,
T., … Wu, C. L. (2016). Management of Postoperative Pain: A Clinical Practice
Guideline From the American Pain Society, the American Society of Regional
Anesthesia and Pain Medicine, and the American Society of Anesthesiologists’
Committee on Regional Anesthesia, Executive Committee, and Administrative Council.
Journal of Pain, 17(2), 131–157. https://doi.org/10.1016/j.jpain.2015.12.008
Dahlan, M. S. (2009). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. jakarta: Salemba Medika.
DeLaune, S. C., & Patricia K. Ladner. (2011). Fundamentals of Nursing Standards &
Practice Fourth Edition. New York: Delmar.
Dihle A, S, H., UE, K., SM, P., & C, M. (2006). Using the American Pain Society’s patient
outcome questionnaire to evaluate the quality of postoperative pain management in a
36
37
Fletcher, UM, S., E, P.-Z., R, Z., NV, T., C, P., … W, M. (2015). Chronic Postsurgical Pain
in Europe: An observational study. Pub Med. https://doi.org/DOI:
10.1097/EJA.0000000000000319
Goldberg, D. S., & Mcgee, S. J. (2011). Pain as a global public health priority. BMC Public
Health. https://doi.org/10.1186/1471-2458-11-770
Gordon, D. B., Polomano, R. C., Pellino, T. A., Turk, D. C., McCracken, L. M., Sherwood,
G., … Farrar, J. T. (2010). Revised american pain society patient outcome questionnaire
(aps-poq-r) for quality improvement of pain management in hospitalized adults:
Preliminary psychometric evaluation. Journal of Pain, 11(11), 1172–1186.
https://doi.org/10.1016/j.jpain.2010.02.012
Hosey, D. (2004). the Measurement of Postoperative Pain Across the Adult Lifespan. A
Thesis Submitted to the Faculty of Graduate Studies in Partial Fulfillment of
Requirements for the Degree of Master of Arts Graduate Programme in Kinesiology
and Health Science York Univer. Toronto.
IASP. (2010). International Pain Summit: IASP Document declaration of montreal. montreal.
IOM. (2011). relieving pain in america: a blue print for transforming prevention, care,
education, and research. the national press. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK91497/pdf/TOC.pdf
Kulkarni, A. R., Pusic, A. L., Hamill, J. B., Kim, H. M., Qi, J., Wilkins, E. G., & Roth, R. S.
(2017). Factors associated with acute postoperative pain following breast reconstruction
*, 11, 1–13. https://doi.org/10.1016/j.jpra.2016.08.005
Martin S. Angst, M.D., & J. David Clark, M.D., P. D. . (2006). Opioid-induced hyperalgesia
A Qualitative Systematic Review. American Society of Anesthesiologists, 104(3), 570–
587.
Matta, A., Cornett, P. M., Miyares, R. L., Abe, K., Sahibzada, N., & Ahern, G. P. (2008).
General anesthetics activate a nociceptive ion channel to enhance pain and
inflammation. Proceeding of the National Academy of Sciences of the United States of
America, 3–8. https://doi.org/10.1073/pnas.0711038105
Mcneill, J. A., Sherwood, G. D., Starck, P. L., Thompson, C. J., Houston, T., & Science, H.
(1998). Assessing Clinical Outcomes : Patient Satisfaction with Pain Management.
Journal of Pain and Symptom Management, 16(1), 29–40.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/S0885-3924(98)00034-7
http://dx.doi.org/10.1016/S0885-3924(98)00034-7
37
38
Meissner, W., Mescha, S., Rothaug, J., Zwacka, S., Goettermann, A., Ulrich, K., &
Schleppers, A. (2008). Quality improvement in postoperative pain management: results
from the QUIPS project. Deutsches Ärzteblatt International, 105(50), 865–70.
https://doi.org/10.3238/arztebl.2008.0865
Palalogos, R., Mocanu, A., Balacescu, L., Nemes, A., Rajcsanyi, R., Jozsef, T., … Burz, C.
(2012). The Assessment of Cancer Pain Treatment Using the Pain Management Index in
Hospitalized Patients with Cancer . A Pilot Study, (May).
Physician, A. C. of E. (ACEP). (2010). Policy Statements. Ann Emerg Med, 56(1), 77–79.
https://doi.org/10.1016/j.annemergmed.2010.03.035
Reid, K. J., & Harker, J. (2011). Epidemiology of chronic non-cancer pain in Europe :
narrative review of prevalence , pain treatments and pain impact. Current Medical
Research & Opinion, 27(2), 449–462. https://doi.org/10.1185/03007995.2010.545813
Sherwood, G. D., McNeill, J. a, Starck, P. L., & Disnard, G. (2003). Changing acute pain
management outcomes in surgical patients. AORN Journal, 77(2), 374, 377–80, 384–90
passim. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12619852
Simanski, C. J. P., Althaus, A., Psych, D., Hoederath, S., Kreutz, K. W., Hoederath, P., …
Neugebauer, E. A. M. (2014). ACUTE PAIN & PERIOPERATIVE PAIN SECTION
Original Research Article Incidence of Chronic Postsurgical Pain ( CPSP ) after General
Surgery, 1222–1229.
Timothy J. Brennan, MD, P., & Esther Pogatzki-Zahn, P. D. med. (2017). Pathophysiology of
Acute Postoperative Pain. IASP 2017 Global Year Againts Pain after Surgery Fact
Sheet #3, (3), 3–6.
Vijayan, P. R. (2011). Managing Acute Pain in the Developing World. Pain Clinical Update,
XIX(3).
38