Anda di halaman 1dari 80

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TUAN.

H
DENGAN DIAGNOSA MEDIS OPEN FRAKTUR FEMUR
DI RUANG PERAWATAN ARWANA RUMAH SAKIT DAERAH
DOKTER SOEDARSO PONTIANAK

STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga mempermudah kami
dalam penyelesaian makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Tn.H
dengan diagnosa medis Open Fraktur Femur ”.
Makalah ini dibuat berisi informasi yang memuat penjelasan Asuhan
Keperawatan pada pasien fraktur. Diharapkan makalah ini dapat memberikan
informasi yang diperlukan untuk menambah wawasan kita semua.
Kami sangat berterima kasih kepada Ibu Titan Ligita, MN., PhD, sselaku
dosen pembimbing di ruang Arwana yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan tugas makalah ini dan kepada semua pihak yang terlibat dan
berperan aktif dalam penyusunan makalah ini.
Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar makalah ini
layak dibaca dan dijadikan bahan pembelajaran yang baik.
Demikian makalah ini agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Pontianak, Mei 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ......................................................................................................i
KATA PENGANTAR................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................1
1.2 Tujuan............................................................................................3
1.3 Manfaat..........................................................................................3

BAB II LANDASAN TEORI (KONSEP PENYAKIT)


2.1 Definisi..........................................................................................5
2.2 Etiologi..........................................................................................5
2.3 Patofisiologi..................................................................................7
2.4 Manifestasi klinis.........................................................................10
2.5 Pemeriksaan penunjang..............................................................11
2.6 Penatalaksanaan .........................................................................11

BAB III KASUS

3.1 Identitas...........................................................................................13
3.2 Pengkajian......................................................................................13
3.3 Analisa masalah..............................................................................41
3.4 Rencana asuhan keperawatan......................................................43
3.5 Implementasi..................................................................................46
3.6 Evaluasi...........................................................................................51

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Kesesuaian BAB II, BAB III.........................................................64


4.2 Hambatan Implementasi...............................................................70
4.3 Cara mengatasi hambatan impelementasi...................................72

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan.....................................................................................75
5.2 Saran...............................................................................................76

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang baik total, partial yang dapat
mengenai tulang panjang dan sendi jaringan otot dan pembuluh darah. Fraktur dapat
disebabkan trauma yang disebabkan oleh stress pada tulang, jatuh dari ketinggian,
kecelakaan kerja, cedera saat olah raga, fraktur degenerative (Marlina, 2015). Menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. menyebutkan bahwa dari jumlah kecelakaan
yang terjadi, terdapat 5,8% korban cedera atau sekitar delapan juta orang mengalami
fraktur (Depkes RI, 2016).
Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar ketiga dibawah penyakit
jantung koroner dan tuberculosis. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2016 didapatkan bahwa angka kejadian cidera mengalami peningkatan. Kasus
fraktur yang disebabkan oleh cedera antara lain karena terjatuh, kecelakaan lalu lintas
dan 2 trauma benda tajam atau tumpul. Kecenderungan prevalensi cedera menunjukkan
kenaikan dari 7,5 % pada tahun 2007 menjadi 8,2% pada tahun 2016 (Kemenkes RI,
2016). Peristiwa terjatuh terjadi sebanyak 45.987 dan yang mengalami fraktur sebanyak
1.775 orang (58 %) turun menjadi 40,9%, dari 20.829, kasus kecelakaan lalu lintas yang
mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (25,9%) meningkat menjadi 47,7%, dari 14.125
trauma benda tajam atau tumpul yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (20,6%)
turun menjadi 7,3%. Fraktur yang sering terjadi yaitu fraktur femur.
Menurut jenisnya fraktur dibagi menjadi dua yaitu fraktur tertutup dan terbuka,
fraktur tertutup adalah fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit
masih utuh.sedangkan fraktur terbuka adalah fraktur dengan luka pada kulit (integritas
kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa
sampai ke patahan tulang (Mansjoer,2007).
Fraktur tertutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian
luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan
bagian luar. Fraktur yang belum dirawat dengan baik dapat menyebabkan banyak
masalah serius misalnya trauma syaraf, trauma pembuluh darah, komplikasi tulang,
stress paska traumatik, dan dapat timbul emboli tulang (Rendy & Margareth,
2012).Fraktur dapat terjadi bila ketahanan tulang terhadap tekanan menghasilkan daya
tahan untuk menekan. Ketika terjadinya fraktur pada sebuah tulang, maka lapisan
pelindung tulang dan pembuluh darah di dalam korteks, sumsum tulang, dan jaringan
lunak disekitarnya akan mengalami pelepasan dari tempat asal sehingga menyebabkan
nyeri yang hebat.
Gandhi, Viscussi (2009) mengatakan bahwa lebih dari 50% pasien post operasi
fraktur mengeluhkan nyeri sebagai keluhan utama. Hampir dari semua tindakan
pembedahan akan mengakibatkan nyeri, nyeri merupakan masalah utama bagi sebagian
besar pasien post operasi fraktur. Menurut The International Association For The Study
Of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial,
serta menggambarkan kondisi terjadinya suatu kerusakan (Potter & Perry, 2010).
Peran perawat medical surgical dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien fraktur dapat dengan melakukan tindakan pengobatan yang meliputi pengobatan
farmakologi dan nonfarmakologi. Tindakan farmakologi yaitu berkolaborasi dengan tim
medis lain seperti dokter untuk memberikan obat-obatan, misalnya obat analgetik,
analgetik non narkotika, dan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) (Potter &Perry,
2006). Sedangkan peran perawat dalam terapi non farmakologis meliputi beberapa
metode yang digunakan untuk penanganan nyeri pre dan post pembedahan seperti
menggunakan terapi relaksasi, guided imagery, terapi musik, massage, dan terapi
distraksi lainnya. Untuk mengatasi nyeri maka dapat dilakukan guided imagery
relaxation dengan prosedur yang benar dan tepat , dan prosedur tersebut dapat di dukung
dengan peralatan musik yan menghasilkan suara lembut dan menenangkan. Prosedur ini
memberikan potensi skala nyeri yang dirasakan penderita dapat berkurang bahkan hilang
(Andarmoyo, 2013).
Seorang tenaga medis, khususnya perawat, penting mengetahui dalam menurunkan
nyeri melalui manajemen nyeri. Menurut Kozier bahwa “Manajemen nyeri dapat
dilakukan secara farmakologi dan nonfarmakologi” Manajemen nyeri nonfarmakologi
terdapat berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan teknik relaksasi
berupa guided imaginary. Guided imagery merupakan teknik perilaku kognitif dimana
seseorang dipandu untuk membayangkan kondisi yang santai atau tentang pengalaman
yang menyenangkan sesuai dengan instruksi dari perawat sehingga nyeri yang dialami
oleh pasien akan hilang atau berkurang. Guided imagery dapat berfungsi sebagai
pengalih perhatian dari stimulus yang menyakitkan dengan demikian dapat mengurangi
2
respon nyeri. Guided Imagery adalah sebuah teknik yang dimanfaatkan cerita atau narasi
untuk mempengaruhi pikiran,sering dikombinasi dengan latar belakang music
(Hart,2008). Mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan psikoneuroimmunologi
yang mempengaruhi respon stress,selain itu dapat melepaskan endorphin yang
melemahkan respon rasa sakit dan dapat mengurangi rasa sakit atau meningkatkan
ambang nyeri (Pratiwi, 2018).

1.2 TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur di RSUD Dokter
Soedarso Kota Pontianak.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pada pasien dengan fraktur di RSUD Dokter Soedarso
Kota Pontianak
b. Membuat analisa data pada pasien dengan fraktur di RSUD Dokter Soedarso
Kota Pontianak
c. Membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan fraktur di RSUD
Dokter Soedarso Kota Pontianak
d. Melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan fraktur di RSUD
Dokter Soedarso Kota Pontianak
e. Mengevaluasi tindakan keperawatan pada pasien dengan fraktur di RSUD Dokter
Soedarso Kota Pontianak.
f. Mampu menganalisis kesenjangan antara teori dengan praktek di lapangan
termasuk faktor pendukung dan penghambat serta mampu memberikan alternatif
pemecahannya.

1.3 MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Praktis
a. Bagi Instansi Kesehatan
Studi kasus ini dapat digunakan untuk penyebaran informasi terkait asuhan
keperawatan yang dapat diberikan pada pasien dengan fraktur di RSUD Dokter
Soedarso Kota Pontianak.
3
b. Bagi Tim Penulis
Sebagai aplikasi teori yang diperoleh selama pembelajaran serta menambah
pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang berharga yang dapat menjadi bekal
untuk memasuki dunia kerja.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan data dasar dalam
penelitian selanjutnya terkait dengan penerapan terapi Guided Imagery terhadap
penurunan rasa nyeri.

4
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang baik total, partial yang
dapat mengenai tulang panjang dan sendi jaringan otot dan pembuluh darah. Fraktur
dapat disebabkan trauma yang disebabkan oleh stress pada tulang, jatuh dari
ketinggian, kecelakaan kerja, cedera saat olah raga, fraktur degeneratif(Marlina,
2015). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI, 2013)
menyebutkan bahwa dari jumlah kecelakaan yang terjadi, terdapat 5,8% korban
cedera atau sekitar delapan juta orang mengalami fraktur. Kondisi yang mengalami
fraktur akan mengalami perdarahan, akibat dari perdarahan yang hebat tersebut akan
muncul masalah yang disebut syok. Syok merupakan keadan klinis dengan gejala
dan tanda yang muncul ketika terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
suplai oksigen sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan (Sutikno, 2014).

2.2 ETIOLOGI
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu
retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot
dan jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak
mungkin hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur
yang tidak terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna
sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur
lengkap (Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) dapat dibedakan
menjadi:
1) Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan
b. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan

5
fraktur klavikula. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang
mendadak.
2) Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
b. Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul salah satu proses yang progresif
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera, sedangkan
fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan
jaringan dapat sangat luas pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan
keparahannya (Black dan Hawks, 2014) :
 Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
 Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
 Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan
lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3
harus sedera ditangani karena resiko infeksi.

Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:
 Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian luar
permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan bagian
luar.
 Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada
daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya
juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol
keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang
menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih cepat karena
terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya.
 Fraktur kompleksitas

6
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas terjadi patah
tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.

Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:

 Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau
direkduksi kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan
biasanya dikontrol dengan bidai gips.
 Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari dua fragmen
tulang.
 Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut terhadap tulang.
 Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur jenis ini biasanya sulit
ditangani.
 Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang
yang berada diantara vertebra.
 Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi.

2.3 PATOFISIOLOGI
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak
saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang
dapat pecah berkepingkeping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang
dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar
posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu
menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupunbagian proksimal dari tulang patah

7
tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah
maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping,
pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga
dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang
yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan
lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu
sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen
tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema,
nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga
merupakan tahap penyembuhan tulang (Black & Hawks 2014).

8
Patway
Trauma langsung trauma tidak langsung kondisi patologis

fraktur

pergeseran fragmen tulang

Diskontinuitas Timbul respon Tindakan


tulang stimulus nyeri ORIF/ORIF

Pengeluaran Pemasangan
Fraktur Fraktur histamin platina/fiksasi
terbuka tertutup
eksternal
Reaksi
Laserasi Perubahan
nosiseptor Perawatan
kulit fragmen tulang
post op

Putus Respon reflek


Spasme otot, ruptur protektif pada
vena/arteri Gangguan fungsi
vena/arteri tulang tulang
perdarahan Protein plasme Nyeri
darah Hambatan
akut
Kehilangan mobilitas fisik
volume cairan
edema

Resiko sok Pnekanan


hipevolemik pembuluh darah

Ketidakefektifa
perfusi jaringan

(sumber,wijaya,2015)

9
2.4 MANIFESTASI KLINIS

Menurut Black dan Hawks (2014) Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan


manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Tanda
dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas
rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat
memiliki deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada
lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
c. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masingmasing klien.
Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika. fraktur dimobilisasi. Hal ini
terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada
struktur sekitarnya.
f. Ketegangan
Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
Kehilangan fungsi Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur
atau karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena.
Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
g. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan
antar fragmen fraktur.
h. Perubahan neurovaskular
10
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur
vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau
tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.
i. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Diagnostik
Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:
 Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
 Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur
lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
 Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
b. Laboratorium
Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun pada
perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai respon
terhadap peradangan

2.6 PENATALAKSAAN
Menurut (Rasjad, Chairuddin. 2012), Prinsip terapi fraktur yaitu :
1) Reduksi
Adalah pemulihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktur. Reposisi memerlukan
pemulihan panjang serta koreksi deformitas angular dan rotasional. Reposisi
mannipulatif biasanya dapat dilakukan pada fraktura ekstremitas distal (tangan,
pergelangan tangan. kaki, tungkai), dimana spasme otot tidak berlebihan. Traksi
bisa diberikan dengan plester felt melekat diatas kulit atau dengan memasang pin
tranversa melalui tulang, distal terhadap ftaktur. Reduksi terbuka biasanya
disertai oleh sejumlah bentuk fiksasi interna dengan plat & pin, batang atau
sekrup.
Ada dua jenis reposisi, yaitu reposisi tertutup dan reposisi terbuka. Reposisi
tertutup dilakukan pada fraktur dengan pemendekan, angulasi atau displaced.

11
Biasanya dilakukan dengan anestesi lokal dan pemberian analgesik. Selanjutnya
diimobilisasi dengan gips. Bila gagal maka lakukan reposisi terbuka dikamar
operasi dengan anestesi umum.Kontra indikasi reposisi tertutup:
 Jika dilakukan reposisi namun tidak dapat dievaluasi
 Jika reposisi sangat tidak mungkin dilakukan
 Jika fraktur terjadi karena kekuatan traksi, misalnya displaced patellar
fracture.
2) Imobilisasi.
Bila reposisi telah dicapai, maka diperlukan imobilisasi tempat fraktur sampai
timbul penyembuhan yang mencukupi. Kebanyakan fraktur ekstremitas dapat
diimobilisasi dengan dengan gips fiberglas atau dengan brace yang tersedia secara
komersial. Pemasangan gips yang tidak tepat bisa menimbulkan tekanan kuIit,
vascular, atau saraf. Semua pasien fraktur diperiksa hari berikutnya untuk menilai
neurology dan vascular. Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka traksi juga
bertindak sebagai imobilisasi dengan ektremitas disokong di atas ranjang atau di
atas bidai sampai reduksi tercapai. Kemudian traksi diteruskan sampai ada
penyembuhan yang mencukupi, sehingga pasien dapat dipindahkan memakai
gips/brace.
3) Rehabilitasi
Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka rehabilitasi terutama
merupakanmasalah pemulihan jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan
ligamentum berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips/bidai dilepaskan.
Dianjurkan terapi fisik untuk mgerakan aktif dan pasif serta penguatan otot

12
FORMAT PENGKAJIAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM PROFESI NERS UNIVERSITAS TANJUNGPURA
IDENTITAS KLIEN

Nama klien : Tn. H Jenis kelamin : Laki-laki


No. RM :
Usia : 66 Tahun
Tgl. MRS : Rabu, 21 April 2021
Tgl. Pengkajian : Senin, 26 April 2021
Alamat/telp : JL. Khatulistiwa, Gg. Teluk Keramat
Status pernikahan : sudah menikah
Agama : Islam
Suku : Bugis
Pendidikan terakhir : Sekolah Dasar (SD)
Pekerjaan : Buruh
Lama bekerja : ± 40 Tahun
Sumber informasi : Pasien dan Istri
Kontak keluarga dekat: Istri dan Anak

PENGKAJIAN

1. Keluhan utama
Saat MRS : pasien mengeluhkan nyeri pada paha sebelah kanan karena
mengalami patah tulang, dan tulangnya keluar di luar kulit, serta luka mengeluarkan
nanah di daerah patah tulang pada paha kurang lebih sudah 2 minggu

Saat Pengkajian :
Pasien mengatakan mengeluhkan nyeri pada paha yang mengalami patah tulang terasa
seperti di tusuk-tusuk dan tidak bisa di gerakkan karena tulangnya keluar dari kulit
serta mengeluarkan nanah yang berbau.
2. Riwayat penyakit sekarang (Perjalanan penyakit)
Pasien pada awalnya tanggal 04 April 2021 jatuh dari atap genteng rumah kemudian
terpelet jatuh dan dibawa ke klinik singsang selama 2 minggu dan mengalami luka
infeksi bernanah dan berbau, selama 2 minggu dibantu perawatan oleh mantri,
kemudian dianjurkan dibawa kerumah sakit untuk menjalani perawatan lebih lanjut

13
Upaya pasien/anggota keluarga dalam mengatasinya, sebutkan
Anggota membawanya ke mantri
3. Riwayat penyakit terdahulu (Penyakit yang pernah dialami)
Pneumothorax dexra, TB pru, Diabetes tipe II, Asam urat

4. Riwayat yang lain


1) Kecelakaan : Ya / tidak, sebutkan : pasien mengatakan dulunya sering
jatuh saat berkerja buruh
2) Operasi : Ya / tidak, sebutkan pasien tidak memiliki riwayat operasi
3) Alergi Obat : Ya / tidak, sebutkan ...............
4) Alergi makanan : Ya / tidak, sebutkan pasien mengatakan tidak ada alergi
makanan
5) Alergi lain-lain : Ya / tidak, sebutkan , tidak ada
6) Merokok : Ya / tidak , ket : pasien memiliki riwayat merokok
7) Alkohol : Ya / tidak , ket : tidak ada
8) Kopi : Ya / tidak , ket : pasien mengatakan kalau dirumah minum
kopi
9) Lain-lain : Ya / tidak , ket : tidak ada
10) Obat-obatan yang pernah digunakan : metformin

5. Riwayat keluarga
1. Genogram

Keterangan:
: Laki-laki : Klien
: Perempuan : Meninggal
: Satu tempat tinggal

14
6. Pola aktivitas dan latihan

NO AKTIVITAS SMRS (SKOR) MRS (SKOR)


1 Makan/minum 0 2
2 Mandi 0 2
3 Berpakaian/dandan 0 2
4 Toileting 0 2
5 Berpindah 0 2
6 Berjalan 0 2
7 Naik tangga 0 2

Keterangan:
0 = mandiri
1 = alat bantu
2 = dibantu orang lain
3 = dibantu orang lain
4 = tidak mampu

Alat bantu: tongkat / splint / brace / kursi roda / pispot / walker / kacamata / dan lain
lain : ...................................................................................

7. Pola nutrisi dan metabolik

NO POLA NUTRISI SMRS MRS


Makanan yang Makanan
1 Jenis makanan / diet mengandung kadar megandung kadar
gula tinggi gula tinggi
3 X sehari 3X sehari
2 Frekuensi Teratur / tidak Teratur / tidak
teratur teratur
Porsi yang
3 satu piring Satu piring
dihabiskan
Nasi, sayur bayam, Nasi, ayam, ikan,
4 Komposisi menu tempe, tahu, ikan sayuran, tempe,
asin tahu
Ada / tidak ada
Ada / tidak ada
5 Pantangan Ket :
Ket :
Normal / Normal /
6 Nafsu makan meningkat / meningkat /
menurun menurun
Fluktuasi BB 6
7 64 Kg 62 Kg
bulan terakhir
Ya / tidak Ya / tidak
8 Sukar menelan
Ket: Ket:

15
Normal / cepat Normal / cepat
Riw. Penyembuhan sembuh / lama sembuh / lama
9
luka sembuh sembuh
Ket : Ket :

8. Pola eliminasi
NO SMRS MRS
Buang Air Besar (BAB) :
Frekuensi 1x/hari/ 2x/hari
1
minggu/bln / minggu/bln
Konsistensi feces
2 Lunak / keras / … Lunak / keras /….
Warna Kuning / coklat / hitam / Kuning / coklat / hitam /
3
……… Tidak teridentifikasi …… Tidak teridentifikasi
4 Bau Tidak terkaji Tidak terkaji
Kesulitan BAB Ya / tidak Ya / tidak
5
Ket : Ket :
Upaya mengatasi
6 Tidak ada Menggunakan pempes

Buang Air Kecil (BAK):


3-4x/hari/ 3x/hari
1 Frekuensi
minggu/bln / minggu/bln
2 Jumlah 800 700
Kuning / coklat / hitam / Kuning / coklat / hitam /
3 Warna
…… …
4 Bau Tidak teridentifikasi Tidak teridentifikasi

Ya / tidak Ya / tidak
5 Kesulitan BAK
Ket : Ket

6 Upaya mengatasi

9. Pola tidur dan istirahat


POLA
NO SMRS MRS
TIDUR
Jam12.00 s/d 15.00 Jam 10.00 s/d 15.00
1 Tidur siang Nyaman / tidak nyaman Nyaman / tidak nyaman setelah
setelah tidur tidur

16
Jam 20.00 s/d 05.00 Jam 19.00 s/d 06.00
Tidur
2 Nyaman / tidak nyaman Nyaman / tidak nyaman setelah
malam
setelah tidur tidur
Kebiasaan
Ada / tidak ada Ada / tidak ada
3 sebelum
Ket : Ket :
Tidur
Kesulitan Ada / tidak ada, Ada / tidak ada,
4
tidur Ket : Ket :
Upaya Tidak ada Tidak ada
5
mengatasi

10. Pola kebersihan diri


N POLA SMR MR
O KEBERSIHAN S S
2 x/hari /mgg /bln 1x/hari /mgg /bln
1 Mandi
Sabun : ya / tidak Sabun : ya / tidak
Ya / tidak Ya / tidak
2 Handuk
Pribadi / bergantian Pribadi / bergantian
2x/hari / mgg / bln -x/hari / mgg / bln
3 Keramas
Shampoo : ya / tidak Shampoo : ya / tidak
-x/hari / mgg / bln
1x/hari / mgg / bln
Pasta gigi : ya / tidak
4 Gosok gigi Pasta gigi : ya / tidak
Sikat gigi :
Sikat gigi : pribadi / bergantian
pribadi/bergantian
Ya / tidak Ya / tidak
5 Kesulitan
Ket : Ket :
Upaya Tidak ada Tidak ada
6
Mengatasi

11. Pola toleransi dan koping stres


a. Pengambilan keputusan : sendiri ( ) / dibantu orang lain ( )
Sebutkan:
Pasien mengatakan dibantu dengan keluarganya terutama istri dan anaknya
dalam mengambil keputusan
Masalah utama terkait perawatan di RS / penyakit: Biaya / perawatan diri /
dan lain – lain: pasien mengatakan biaya untuk makan dirumah sakit masih
terkendala.
b. Hal yang biasa dilakukan jika mengalami stress/ masalah

17
Pasien mengatakan main ke tempat tetangganya untuk mengobrol-ngobrol,
c. Harapan setelah menjalani perawatan :
Pasien mengatakan ingin sembuh dan dapat beaktivitas seperti biasanya.
d. Perubahan yang dirasakan setelah sakit :
Pasien mengatakan tidak bisa berjalan akibat mengalami patah tulang.

12. Pola hubungan peran

a. Peran dalam keluarga : pasien menjadi kepala keluarga dan sebagai suami
b. Sistem pendukung : suami / istri / anak / tetangga / teman /
saudara / tidak ada / lainnya, sebutkan….
c. Masalah peran/ hubungan dengan keluarga selama perawatan di RS : ada /
tidak , ket ……
d. Upaya untuk mengatasi : tidak ada

13. Pola komunikasi


a. Bahasa utama : Indonesia/ daerah / lain-lain . ket :
b. Bicara : normal / tidak jelas / berputar-putar / mengerti pembicaraan orang lain
c. Afek :
d. Tempat tinggal : sendiri / kos / asrama / bersama orang lain, yaitu

e. Penghasilan keluarga :
( ) < Rp.500.000 ( ) Rp. 1 juta – 1,5 juta
( ) Rp. 1.5 juta – 3 juta ( ) Rp. 3 juta – 5 juta
( ) Rp. 5 juta – 8 juta ( ) > Rp. 8 juta

14. Pola seksualitas

a. Masalah hubungan seksual selama sakit : ada / tidak ada


b. Upaya mengatasi : tidak terkaji

15. Pola nilai dan kepercayaan

a. Apakah Tuhan, agama penting untuk anda : ya / tidak, ket : pasien mengatakan
penting dalam mempunyai agama yaitu menganut agama islam
b. Kegiatan agama yang dilakukan selama di RS : tidak ada.

16. Pengkajian sistem


a. ROS

18
Keadaan umum : pasien tampak mengeluhkan nyeri pada kaki sebelah
kanan dan pasien tampak lemah
Kesadaran : compos mentis / somnolen / stupor / semi koma /
koma
GCS : 15
Tanda-tanda vital : 130/90 mmHg, Nadi: 87 x/menit, Suhu: 36,7 C,
pernafasan 19x/menit
Masalah keperawatan : -

b. Sistem Pernapasan
1. Keluhan : tidak sesak ☐Sesak
2. Bentuk dada
☐Simetris ☐Funnel chest ☐Asimetris
☐Pigeons chest ☐Barrel chest
3. Sekresi batuk
Batuk ☐Ya ☐Tidak
Sputum ☐Ya ☐Tidak
Warna
Nyeri waktu bernafas ☐Ya ☐Tidak
4. Pola nafas
Frekuensi nafas
☐Reguler ☐Cheyne stokes ☐Kussmaul
☐Irreguler ☐Biot ☐Apnea
☐Hyperventilasi ☐Hipoventilasi ☐Lain-lain
5. Bunyi nafas
 Normal
☐Vesikuler Lokasi : seluruh paru kiri dan kanan
 Abnormal
☐Stridor Lokasi
☐Wheezing Lokasi
☐Rales Lokasi
☐Ronchi Lokasi
☐Krepitasi Lokasi

19
☐Friction Rub Lokasi
6. Retraksi otot bantu nafas
☐Ya, jenis: ICS / Supra klavikula / Suprasternal
☐Tidak
7. Tektil fremitus / fremitus vokal
☐Meningkat Lokasi
☐Menurun Lokasi
☐Lain-lain
8. Alat bantu pernafasan
☐Nasal ☐Bag and Mask ☐Tracheostomi
☐Masker ☐Respirator
Pasien bernafas spontan
Masalah keperawatan :

c. Sistem kardiovaskuler
1. Riwayat nyeri dada ☐Ada ☐Tidak
 Lokasi : seluruh dada
 Sifat :
sementara
 Kronologis : pasien memiliki riwayat pneumonia
 Keadaan pada saat serangan :-
 Faktor-faktor yang memperberat dan memperingan serangan ;-

2. Suara jantung: ☐S1S2 tunggal ☐Suara tambahan, jenis


3. Irama jantung: ☐Reguler ☐Ireguler
4. CRT: ☐< 3 detik ☐> 3 detik
Masalah keperawatan :-

d. Sistem persarafan
1. Tingkat kesadaran :
☐Compos mentis ☐Apatis ☐Somnolen
☐Delirium ☐Sopor ☐Koma
2. GCS

20
Eye: 4 Verbal: 5 Motorik: 6
Total GCS : 15
3. Reflek fisiologis
Bisep Trisep Patella Achilles
4. Reflek patologis dan rangsal meningeal
☐Kaku kuduk ☐Brudzinski I ☐Brudzinski II ☐Babinski
5. Kejang
☐Ada ☐Tidak
6. Mata / Penglihatan
 Bentuk
☐Normal ☐Enoftalamus ☐Eksotalamus ☐Lain-lain
 Pupil
☐Isokor ☐Unisokor ☐Miosis ☐Midriasis
Diameter Kanan …. mm Diameter kiri …. mm
 Refleks cahaya
☐Kanan ☐Kiri : normal
 Gangguan penglihatan
☐Ya ☐Tidak
7. Hidung / penciuman
 Bentuk
☐Normal ☐Tidak
 Gangguan penciuman
☐Ya ☐Tidak
8. Telinga / pendengaran
 Bentuk
☐Normal ☐Annomali. Ket.
 Gangguan pendengaran
☐Ya ☐Tidak
9. Pemeriksaan nervus I – XII : normal
Masalah keperawatan :-

e. Sistem perkemihan
1. Masalah kandung kemih

21
☐Normal ☐Menetes ☐Inkontinensia
☐Nyeri ☐Retensio ☐Hematuria
☐Panas ☐Disuria ☐Pasang kateter
2. Produksi urine 300 ml/ 6 jam Frekuensi 3kali/hari
3. Warna: kuning ,Bau …… Lain-lain …..
4. Bentuk alat kelamin
☐Normal ☐Tidak normal, sebutkan…..
5. Uretra
☐Normal ☐Hipospadia
6. Lain-lain
Masalah keperawatan :

f. Sistem pencernaan
1. Mulut dan tenggorokan
 Bibir
☐Asimetris ☐Ada celah ☐Normal
 Mulut / selaput lendir mulur
☐Lembab ☐Merah ☐Stomatitis
 Lidah
☐Hiperemik ☐Kotor ☐Lain-lain
 Kebersihan rongga mulut
☐Tidak berbau ☐Berbau ☐Gigi kotor
☐Gigi bersih ☐Caries
 Tenggorokan
☐Sakit menelan / nyeri tekan ☐Sulit menelan
☐Lain-lain : tidak ada sakit
 Abdomen
☐Supel ☐Distensi ☐Kembung
☐Nyeri tekan, lokasi….
☐Benjolan, lokasi ….
 Lubang anus
☐Ya ☐Tidak
 Pembesaran hepar

22
☐Ya ☐Tidak
 Pembesaran limpa
☐Ya ☐Tidak
 Asites
☐Ya ☐Tidak
 Mual
☐Ya ☐Tidak
 Muntah
☐Ya ☐Tidak
 Terpasang NGT
☐Ya ☐Tidak
 Terpasang kolostomi
☐Ya ☐Tidak, keadaan kolostomi
 Lain-lain
2. Peristaltik usus 17 kali/menit
BAB 1 kali/hari Karakteristik feses: lunak
☐Tidak ada masalah ☐Diare ☐Menelan
☐Konstipasi ☐Feses berdarah ☐Kolostomi
☐Ikontinensia ☐Feses berlendir ☐Wasir
3. Pola makan: frekuensi 3 kali/hari Jumlah 1porsi Jenis: sayur, nasi, ikan
Masalah keperawatan:

g. Sistem otot, tulang dan integumen


1. Otot dan tulang
 ROM ☐Bebas ☐Terbatas
 Kekuatan otot (Skala Lovett 0 – 5)
Skala lovettt=4, pasien tidak bisa menggerakkan kaki sebelah kanan
karena patah tulang
 Fraktur ☐Tidak ☐Ya, lokasi: femur sebelah kanan
 Dislokasi ☐Tidak ☐Ya,lokasi
 Hematoma ☐Tidak ☐Ya,lokasi
2. Integumen
 Warna kulit

23
☐Ikterik ☐Sianotik ☐Pucat ☐Kemerahan
☐Hiperpigmentasi
 Akral
☐Panas ☐Dingin kering ☐Dingin basah
 Turgor kulit
☐Normal ☐Menurun
 Tulang belakang
☐Lordosis ☐Skoliosis ☐Kiposis
☐Lain-lain, sebutkan: normal
 Oedema
☐Ya, lokasi….
☐Tidak
 Luka ☐Ada ☐Tidak
Lokasi luka : pada femur sebelah kanan
Ukuran luka : 7 cm
Jenis luka : luka fraktur terbuka mengalami infeksi
Lain-lain :
Masalah keperawatan: -
h. Sistem endokrin
1. Pembesaran kelenjar tiroid ☐Ya ☐Tidak
2. Pembesaran kelenjar getah bening ☐Ya ☐Tidak
3. Hiperglikemia ☐Ya ☐Tidak
4. Hipoglikemia ☐Ya ☐Tidak
5. Lain-lain
Masalah keperawatan:-

17. Psikososial
a. Dampak hospitalisasi pada klien
☐Murung/diam ☐Gelisah ☐Tegang ☐Marah
☐Menangis
b. Respon klien saat tindakan
☐Kooperatif ☐Tidak kooperatif
c. Hubungan dengan pasien lain

24
☐Baik ☐Cukup ☐Kurang

18. Pemeriksaan penunjang (lab, X-ray, USG, dan lain-lain)

25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
19. Diagnosa medis
Open Fraktur Femur

20. Terapi/pengobatan
No Nama obat Rute
1 Ceftriaxone 2x 1 gram intravena
2 Metronidazole 3x 500 ml intravena
3 Omeprazole 1x 1gram intravena
4 Novarapid 3x 8 ml intravena
5 Lantus 3x intravena
6 Gentamycin 2x 80 mg intravena
tramadol intravena
ketorolac intravena
ondancentron intravena

21. Persepsi klien tentang penyakitnya


Pasien mengatakan hanya pasrah apa yang sudah di alaminya sekarang ini, dan
mengatakan patah tulangnya agar bisa sembuh

22. Perencanaan pulang


a. Tujuan pulang : ke rumah / tidak ada tujuan / lainnya
b. Transportasi pulang : mobil / ambulan / taksi / lainnya
c. Dukungan keluarga : ada / tidak ada, ket,
d. Antisipasi perawatan setelah pulang : ya / tidak, ket,
e. Antisipasi biaya setelah pulang : ada / tidak ada, ket,
f. Rawat jalan ke : ………. Frekuensi :-
g. Hal-hal yang perlu diperhatikan dirumah : menjaga pergerakan kaki yang
mengalami patah tulang dan menjaga kebersihan luka saat setelah operasi

3.3. ANALISA DATA

Etiologi
No Data Masalah
(Pathway)

38
1 DS: Trauma pada tulang Gangguan mobilitas
(kecelakaan) fisik
 Pasien mengatakan kakinya
tidak bisa di gerakkan akibat
patah tulang Fraktur femur
 Pasien mengeluhkan nyeri saat
Jepitan saraf siatika
digerakkan kaki yang ngelamai
patah tulang
DO: Kerusakan jalur saraf
 Hasil CT Scan menunjukkan Kemampuan pergerakan
fraktur femur otot sendi menurun
 Gerakan pasien terbatas Kerusakan integritas
 Pasien tampak fisik lemah stuktur tulang
 Kekuatan otot menurun
 Rentang gerak (ROM) menurun
2 DS: Terputusnya kontinuitas Nyeri akut
jaringan
 Pasien mengeluhkan nyeri
karena patah tulang pada paha, Menekan saraf perasa nyeri
Q: pasien mengatakan nyeri
Stimulasi neurotransmitter
seperti tertusuk-tusuk, R: nyeri nyeri
hanya dirasakan pada bagian
Pelepasan mediator
patah tulang, S: skala nyeri 8, prostaglandin
T: nyeri hilang datang secara
Rspon nyeri hebat&akut
tiba-tiba
Agen pencedera fisik
DO:
(trauma kecelakaan)
 Pasien tampak meringis
 Pasien tampak gelisah
 Frekuensi nadi meningkat 98
x/menit

3 DS: Jaringan yang di tembus infeksi


oleh fragmen tulang
 Pasien mengatakan luka pada
patah tulangnya sudah kurang Terbukanya barier

39
lebih 3 minggu pertahanan sekunder
 Pasien mengatakan nyeri sudah
Kontaminasi dengan
berkurang lingkungan luar
DO:
Kerusakan integritas
 Terdapat luka terbuka pada kulit
patah tulang yang
mengeluarkan purulen
 Luka tampak berbau menyengat
 Luka pasien semakin meluas
 GDS : 349

Daftar Diagnosa Keperawatan

 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas stuktur tulang


 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
 Infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit

40
3.4. RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan (SDKI) Tujuan (SLKI) Intervensi (STKI)


1 Infeksi berhubungan dengan Tingkat Infeksi (L.14137) Perawatan luka (I.14564)
kerusakan integritas kulit
Ekspetasi : membaik Tindakan observasi :
DS:
Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Monitor karakteristik luka (mis. Drainase, warna,
 Pasien mengatakan luka pada
keperawatan 3x24 dengan kriteria hasil: ukuran, bau)
patah tulangnya sudah kurang
1. Nyeri dari cukup meningkat (2) 2. Monitor tanda-tanda infeksi
lebih 3 minggu
menjadi cukup menurun (4) Tindakan terapeutik :
 Pasien mengatakan nyeri sudah
2. Bengkak dari cukup meningkat (2) 1. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
berkurang
mnjadi cukup menurun (4) 2. Bersihkan cairan NaCl atau pembersih nontoksik,
DO:
3. Cairan berbau busuk dari sedang (3) sesuai kebutuhan
 Terdapat luka terbuka pada
menjadi cukup menurun (4) 3. Bersihkan jaringan nekrotik
patah tulang yang
4. Drainase purulen dari sedang (3) 4. Pasang balutan sesuai jenis luka
mengeluarkan purulen
menjadi cukup menurun (4) 5. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan
 Luka tampak berbau menyengat
luka
 Luka pasien semakin meluas
6. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
 GDS : 349
Tindakan edukasi :
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan
protein
Tindakan kolaborasi :
1. Kolaborasi prosedur debridement

41
2. Kolaborasi pemberian antibiotik

2 Nyeri akut berhubungan dengan Tingkat nyeri (L08066) Manajemen nyeri (I.08238)
agen pencedera fisik Ekspetasi : menurun Tindakan observasi:
DS: Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
 Pasien mengeluhkan nyeri keperawatan 3x24 jam dengan kriteria kualitas, intensitas nyeri
karena patah tulang pada hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
paha, Q: pasien mengatakan 1. Keluhan nyeri dari cukup meningkat (2) 3. Memonitor keberhasilan terapi komplomenter yang
nyeri seperti tertusuk-tusuk, menjadi cukup menurun (4) sudah diberikan
R: nyeri hanya dirasakan 2. Kesulitan tidur dari sedang (3) menjadi Tindakan terapeutik:
pada bagian patah tulang, S: cukup menurun (4) 1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi
skala nyeri 8, T: nyeri hilang 3. Frekuensi nadi dari sedang (3) menjadi rasa nyeri
datang secara tiba-tiba membaik (5) 2. Kontrol lingkungan yang memperberar rasa nyeri
DO: (mis, suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Pasien tampak meringis 3. Fasilitasi istirahat tidur
 Pasien tampak gelisah Tindakan edukasi ;
 Frekuensi nadi meningkat 98 1. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi
x/menit rasa nyeri
Tindakan kolaborasi :
Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu
3 Gangguan mobilitas fisik Mobilitas fisik (L.05042) Dukungan ambulasi (I.06171)
berhubungan dengan kerusakan Ekspetasi : meningkat Tindakan observasi :

42
integritas stuktur tulang Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
DS: keperawatan 3x24 jam dengan kriteria 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
 Pasien mengatakan kakinya
hasil : 3. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
tidak bisa di gerakkan akibat
patah tulang 1. Pergerakan ekstremitas dari menurun Tindakan terapeutik :
 Pasien mengeluhkan nyeri
(1) menjadi sedang (3) 1. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
saat digerakkan kaki yang
ngelamai patah tulang 2. Kekuatan otot dari cukup menurun (2) 2. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
DO:
menjadi sedang (3) meningkatkan ambulasi
 Hasil CT Scan
menunjukkan fraktur femur 3. Nyeri dari cukup meningkat (2) Tindakan edukasi :
 Gerakan pasien terbatas
menjadi (3) 1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
 Pasien tampak fisik lemah
 Kekuatan otot menurun 4. Kelemahan fisik dari cukup meningkat 2. Anjurkan melakukan ambulasi dini
 Rentang gerak (ROM)
(2) menjadi sedang (3)
menurun

43
3.5. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

No Waktu Implementasi Hasil Tindakan Paraf


diagnosa
Senin, 1 08.00WI Tindakan observasi : 1. Luka terbuka dengan ukuran KELOMPOK
26-4- 2021 B
1. Memonitor karakteristik luka (mis. kurang lebih 7 cm, mengeluarkan
Drainase, warna, ukuran, bau) purulen dan berbau menyengat
2. Memonitor tanda-tanda infeksi 2. Tanda tanda infeksi: luka pasien
Lepaskan balutan dan plester secara berbau dan mengeluarkan purulen.
perlahan 3. Kondisi luka telah dibersihkan dan
Bersihkan cairan NaCl atau pembersih dilakukan perawatan luka
nontoksik, sesuai kebutuhan 4. Pasien dan keluarga mengerti
Bersihkan jaringan nekrotik dengan penejelasan perawat
Pasang balutan sesuai jenis luka 5. Pasien mendengarkan intruksi
Pertahankan teknik steril saat melakukan perawat
perawatan luka 6. Pasien telah diberikan ceftriaxone
Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan 1 gram, metronidazole 100 ml,
drainase gentamycin 80 mg
3. menjelaskan tanda dan gejala infeksi
4. mengannjurkan mengkonsumsi makanan
tinggi kalori dan protein
5. mengkolaborasi pemberian antibiotik
08.15WI

44
B
2 09.00WI 1. memberikan teknik non farmakologis 1. Pasien diberikan teknik relaksasi
B
untuk mengurangi rasa nyeri (guided dan tarik nafas dalam, dan
imaginery) mengatakan masih terasa
2. mengonontrol lingkungan yang nyerinya
memperberar rasa nyeri (mis, suhu 2. Pasien hanya terbaring di tempat
ruangan, pencahayaan, kebisingan) tidur
3. memfasilitasi istirahat tidur 3. Pasien dapat melakukan terapi
4. mengsjarkan teknik non farmakologis dengan dibimbing perawat
untuk mengurangi rasa nyeri 4. Pasien diberikan tramadol,
5. mengkolaborasi pemberian analgesik, jika ketorolac, ondancentron untuk
perlu mengurangi nyeri
Selasa, 2 08.30WI 1. mengientifikasi lokasi, karakteristik, 1. Pasien tidak merasakan nyeri kuat
27-4-2021 B
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri lagi
2. mengidentifikasi skala nyeri 2. Skala nyeri 3
3. Memonitor keberhasilan terapi 3. Pasien kurang menerapkan terapi
komplomenter yang sudah diberikan karena lemah
4. memberikan teknik non farmakologis untuk 4. Pasien hanya mengikuti intruksi
mengurangi rasa nyeri (guided imaginary) saat di berikan oleh perawat
5. mengontrol lingkungan yang memperberar 5. Pasien hanya terbaring
rasa nyeri (mis, suhu ruangan, 6. Pasien tidak melakukan teknik non
pencahayaan, kebisingan) farmakologi secara mandiri

45
6. memfasilitasi istirahat tidur
7. mengajarkan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
3 10.00WI 1. memfasilitasi melakukan mobilisasi fisik, 1. Pasien telah diberikan ROM pada
B
jika perlu area yang tidak mengalami fraktur
2. melibatkan keluarga untuk membantu 2. Keluarga telah diajarkan
pasien dalam meningkatkan ambulasi melakukan ROM
3. menjelaskan tujuan dan prosedur ambulasi 3. Tujuan dari ROM yaitu agar otot
tidak mengalami kaku

Rabu, 1 08.10WI 1. memonitor karakteristik luka (mis. 1. luka pasien semakin membesar dan
28-4- 2021 B
Drainase, warna, ukuran, bau) mengalami banyak keluar purulen
2. memonitor tanda-tanda infeksi 2. luka pasien telah mengalami
3. mengkolaborasi pemberian analgesik, jika infeksi
perlu 3. Pasien telah diberikan ceftriaxone 1
gram, metronidazole 100 ml,
gentamycin 80 mg

3 10.00WI 1. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika Pasien diberikan ROM


B
perlu

Kamis 1 11.00 1. Memonitor karakteristik luka (mis. Luka masih belum membaik baunya

46
29-04-2021 Drainase, warna, ukuran, bau) sangat menyengat, dan perbannya
tampak kotor
2 12.30 1. Memonitor keberhasilan terapi Klien mengatakan nyeri agak
komplomenter yang sudah diberikan berkurang, klien mengatakan setiap
2. memberikan teknik non farmakologis melakukan teknik relaksasi ini klien
untuk mengurangi rasa nyeri (guided langsung merasakan ketenangan
imaginary)

Jumat 1 10.30 1. Memonitor karakteristik luka (mis. Luka masih belum membaik baunya
30-04-2021
Drainase, warna, ukuran, bau) sangat menyengat, dan perbannya
tampak kotor, tidak ada
perkembangan yang signifikan
2 8.00 1. Memonitor keberhasilan terapi Klien tampak masih agak meringis
komplomenter yang sudah diberikan
2. memberikan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri (guided
imaginary)

Sabtu 1 09.30 1. Memonitor karakteristik luka (mis. Luka tampak memburuk, perban
1-05-202
Drainase, warna, ukuran, bau) tampak sangat kotor dan berbau,
2. Memonitor tanda-tanda infeksi terdapat belatung dibagian sekitar
Lepaskan balutan dan plester secara luka klien, luka terdapat pus dan
perlahan slough.

47
Bersihkan cairan NaCl atau pembersih
nontoksik, sesuai kebutuhan
Bersihkan jaringan nekrotik
Pasang balutan sesuai jenis luka
Pertahankan teknik steril saat melakukan
perawatan luka
Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan
drainase

2 10.00 1. Memonitor keberhasilan terapi Klien tampak agak meringis saat


komplomenter yang sudah diberikan kakinya digerakkan, klien tampak
2. memberikan teknik non farmakologis agak sedikit protektif ketika lukanya
untuk mengurangi rasa nyeri (guided dibersihkan
imaginary)

48
3.6 EVALUASI

Tanggal No SOAP Paraf


Diagnosa
26/4/2021 1 S: KELOMPOK
 Pasien mengeluhkan lukanya basah dan berbau

O:
 Luka tampak mengeluarkan pus
 Luka terbuka dengan tulang keluar
 Terdapat slough dengan 80%
 Terdapat kemerahan di area luka
A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan dengan melakukan:
 Perawatan luka dan mempertahankan fiksasi area fraktur
2 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan nyeri masih terasa
P: Fraktur femur
Q: seperti tertusuk tusuk
R: nyeri di daerah fraktur
S: 6

49
T: Hilang datang
O:
 Pasien mampu melakukan terapi relaksasi dengan bimbingan perawat
 Pasien masih tampak meringis
 Pasien tampak gelisah
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Intervensi dilanjutkan dengan :
 Observasi Skala nyeri
 Pain Management
 Kolaborasi pemberian analgesic
27/4/2021 1 S: KELOMPOK
 Pasien mengeluhkan lukanya terus menerus basah, berdarah dan berbau amis
O:
 Luka tampak mengeluarkan pus
 Luka terbuka dengan tulang keluar
 Terdapat slough dengan 80%
 Terdapat kemerahan di area luka
A:
Masalah belum teratasi
P:

50
Intervensi dilanjutkan dengan melakukan:
Perawatan luka dan mempertahankan fiksasi area fraktur
2 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan masih terasa nyeri
P: Fraktur femur
Q: seperti tertusuk tusuk
R: nyeri di daerah fraktur
S: 6
T: hilang-datang, nyeri datang ketika kaki digerakan

O:
 Pasien tampak terbaring lemah
 Pasien masih tampak meringis
 Pasien tampak gelisah
 Pasien mengikuti terapi yang diberikan oleh perawat (Terapi relaxsasi dan distraksi)
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Melanjutkan Intervensi dengan melakukan
 Observasi Skala nyeri
 Pain Management
 Kolaberasi pemberian analgesic

51
3 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan tidak nyaman saat digerakkan kaki dan tangannya
 Pasien mengatakan risi untuk bergerak
O:
 Pasien telah diberikan latihan ROM pasif
 Pasien tampak gelisah
 Kekuatan otot ekstremitas atas 5/5 dan kekuatan otot ekstremitas bawah 1/4
A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan dengan:
 Memberikan mobilisasi sederhana dan melatihan rentang gerak
28/4/2021 1 S: KELOMPOK
 Pasien mengataka mengeluh lukanya terus basah dan semakin berbau
O:
 Luka tampak mengeluarkan pus dan prulen
 Terdapat slough 85%
 Terdapat kemerahan di area luka
 Luka terbuka dengan tulang tampak keluar
A:
Masalah belum teratasi
P:

52
Intervnsi dilanjutkan dengan:
 Perawatan luka dan mempertahankan fiksasi area fraktur
2 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan masih nyeri
P: Fraktur femur
Q: seperti tertusuk tusuk
R: nyeri di daerah fraktur
S: 5
T: hilang-datang, nyeri datang ketika kaki digerakan

O:
 Pasien tampak terbaring lemah
 Pasien tampak meringis
 Pasien tampak gelisah
 Pasien mengikuti terapi yang diberikan oleh perawat (Terapi relaxsasi dan distraksi)
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Melanjutkan Intervensi dengan melakukan
 Observasi Skala nyeri
 Pain Management
 Kolaberasi pemberian analgesic

53
3 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan masih risi untuk menggerakkan tangan dan kaki yang tidak luka
O:
 Pasien telah diberikan latihan ROM pasif
 Pasien tampak gelisah
 Kekuatan otot ekstremitas atas 5/5 dan kekuatan otot ekstremitas bawah 1/4
A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan dengan:
 Memberikan mobilisasi sederhana dan melatihan rentang gerak
29/04/202 1 S: KELOMPOK
1  Pasien mengataka mengeluh lukanya terus basah dan semakin berbau
O:
 Luka tampak mengeluarkan pus dan prulen
 Terdapat slough 88%
 Terdapat kemerahan di area luka
 Luka terbuka dengan tulang tampak keluar
A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervnsi dilanjutkan dengan:

54
 Perawatan luka dan mempertahankan fiksasi area fraktur
2 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan masih terasa nyeri
P: Fraktur femur
Q: seperti tertusuk tusuk
R: nyeri di daerah fraktur
S: 3
T: hilang-datang

O:
 Pasien masih tampak meringis
 Pasien tampak gelisah
 Pasien mengikuti terapi yang diberikan oleh perawat (Terapi relaxsasi dan distraksi)
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Melanjutkan Intervensi dengan melakukan
 Observasi Skala nyeri
 Pain Management
 Kolaberasi pemberian analgesic
3 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan masih risi untuk menggerakkan tangan dan kaki yang tidak luka

55
O:
 Pasien telah diberikan latihan ROM pasif
 Pasien tampak gelisah
 Pasien tidak kooperatif
 Kekuatan otot ekstremitas atas 5/5 dan kekuatan otot ekstremitas bawah 1/4
A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan dengan:
 Memberikan mobilisasi sederhana dan melatihan rentang gerak
30/4/2021 1 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan mengeluh lukanya terus basah dan semakin berbau
O:
 Luka tampak mengeluarkan pus dan prulen
 Terdapat slough 88%
 Terdapat kemerahan di area luka
 Luka terbuka dengan tulang tampak keluar
A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervnsi dilanjutkan dengan:
 Perawatan luka dan mempertahankan fiksasi area fraktur

56
2 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan masih terasa nyeri
P: Fraktur femur
Q: seperti tertusuk tusuk
R: nyeri di daerah fraktur
S: 3
T: hilang-datang
O:
 Pasien masih tampak meringis
 Pasien tampak gelisah
 Pasien mengikuti terapi yang diberikan oleh perawat (Terapi relaxsasi dan distraksi)
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Melanjutkan Intervensi dengan melakukan
 Observasi Skala nyeri
 Pain Management
 Kolaberasi pemberian analgesic
3 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan sudah bisa menggerakan kaki dan tangan yang tidak luka secara
mandiri
O:

57
 Pasien telah diberikan latihan ROM pasif
 Pasien tampak mampu menggerakan tangan dan kaki secara perlahan dan mandiri
 Pasien tampak gelisah
 Kekuatan otot ekstremitas atas 5/5 dan kekuatan otot ekstremitas bawah ¼
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Intervensi dilanjutkan dengan:
 Memberikan mobilisasi sederhana dan melatihan rentang gerak
01/04/202 1 S: KELOMPOK
1  Pasien mengatakan mengeluh lukanya terus basah dan semakin berbau
 Keluarga klien mengeluhkan bahwa di kaki pasien terdapat belatung
O:
 Terdapat belatung di area perban
 Luka tampak mengeluarkan pus dan prulen
 Terdapat slough 88%
 Terdapat kemerahan di area luka
 Luka terbuka dengan tulang tampak keluar
A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervnsi dilanjutkan dengan:

58
 Perawatan luka dan mempertahankan fiksasi area fraktur
 Kolaborasi pemberian kompres antibiotik
 Mengedukasi keluarga klien untuk tetap selalu menjaga kebersihan di sekitar lingkungan
pasien
2 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan masih terasa nyeri
P: Fraktur femur
Q: seperti tertusuk tusuk
R: nyeri di daerah fraktur
S: 3
T: hilang-datang

O:
 Pasien masih tampak meringis
 Pasien tampak gelisah
 Pasien mengikuti terapi yang diberikan oleh perawat (Terapi relaxsasi dan distraksi)
A:
Masalah teratasi sebagian
P:
Melanjutkan Intervensi dengan melakukan
 Observasi Skala nyeri
 Pain Management

59
 Kolaberasi pemberian analgesic
3 S: KELOMPOK
 Pasien mengatakan sudah bisa menggerakan kaki dan tangan yang tidak luka secara
mandiri
O:
 Pasien telah diberikan latihan ROM pasif
 Pasien tampak mampu menggerakan tangan dan kaki secara perlahan dan mandiri
 Pasien tampak gelisah
 Kekuatan otot ekstremitas atas 5/5 dan kekuatan otot ekstremitas bawah ¼
A:
Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan dengan:
 Melatihan rentang gerak

60
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kesesuaian BAB II, BAB III

4.1.1 Penyebab Fraktur

Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia menunjukkan


bahwa resiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas massa
tulang melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang berkaitan dengan kerapuhan
fisik (frailty) dan meningkatkannya resiko untuk jatuh. (Sudoyo, 2010) Fraktur atau
patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur terjadi
akibat trauma, beberapa fraktur terjadi secara sekunder akibat proses penyakit
seperti osteoporosis yang menyebabkan fraktur-fraktur yang patologis.

Pada kasus, fraktur terjadi akibat klien terjatuh dari atap rumah dan kakinya
mengalami benturan yang keras sehingga mengakibatkan fraktur. Pasien pasa kasus
ini juga berumur sudah cukup lanjut yaitu 66 tahun yang mana pada usia tersebut
fungsi organ organ tubuh dan serta kekuatan tulang sudah mulai menurun. Sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudoyo (2010) dimana fraktur dapat
diakbiatkan oleh kerapuhan fisik (frality) dan meningkatnya risiko jatuh.

Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung, trauma
tidak langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang,
biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhater mayor
langsung terbentur dengan benda keras (jalanan). Trauma tak langsung yaitu titik
tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi.
Trauma ringan yaitu keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu
sendiri sudah rapuh atau underlying deases atau fraktur patologis (Sjamsuhidayat &
Jong, 2010). Pada kasus ini, klien terjatuh dari atap genteng dan kemudian
terpeleset yang merupakan trauma tidak langsung.

4.1.2 Derajat Fraktur

Menurut Black dan Matasarin (1997), fraktur dibagi berdasarkan dengan


kontak dunia luar, yaitu meliput fraktur tertutup dan terbuka. Fraktur tertutup
adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak keluar

61
melalui kulit. Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena
adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka sangat berpotensi
menjadi infeksi. Fraktur terbuka dibagi lagi menjadi tiga grade, yaitu Grade I, II,
dan III. Grade I adalah robekan kulit dengan kerusakan kulit dan otot. Grade II
seperti grade 1 dengan memar kulit dan otot. Grade III luka sebesar 6-8 cm dengan
kerusakan pembuluh darah, syaraf, kulit dan otot. Pada kasus ini, fraktur pada kaki
klien merupakan fraktur terluka, dimana tampak terdapat tulang yang keluar pada
fraktur klien, dan terdapat luka kurang lebih 8 cm dan terdapat purulen yang
merupakan fraktur grade III.

4.1.3 Jenis Fraktur

Pembagian fraktur menurut tingkat kegawat daruratan atau tingkat


kesakitannya terdiri dari derajat I, II, dan III. Derajat Satu (Grade I) adalah luka
laserasi lebih dari 1 cm atau tusukan-tusukan pada kulit dengan kerusakan optimal.
Fraktur dibagi menjadi green stick, transverse, longitudinal, oblique, spiral dan
comminuted. Jenis garis patahan green stick adalah jenis garis patahan pada sebelah
sisi dari tulang (retak dibawah lapisan periosteum) atau tidak mengenai seluruh
korteks, sering terjadi pada anak-anak dengan tulang lembek. Transverse yaitu
jenis garis patahan melintang dan sering terjadi, Longitudinal yaitu jenis garis
patahan memanjang. Oblique yaitu jenis garis patahan miring. Spiral yaitu jenis
garis patahan melingkar. Comunited yaitu jenis garis patahan menjadi beberapa
fragmen kecil. Pada klien fraktur pada femur klien merupakan fraktur transverse
dimana garis patahan melintang.

4.1.4 Kedudukan Fraktur

Fraktur berdasarkan kedudukan fragmennya, yaitu dengan disertai


dislokasai atau tidak disertai dislokasi. Dislokasi terdiri dari beberapa jenis.
Dislokasi at axim yaitu membentuk sudut. Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang
menjauh. Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang. Dislokasi at
lutuscum controltinicum yaitu fragmen tulang menjauh dan overlap (memendek).
Pada klien dislokasi yang terjadi adalah dislokasi at lotus dimana fragmen tulang
yang fraktur menjauh satu sama lain.

62
4.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien dengan fraktur adalah


Pemeriksaan rontgen dengan tujuan untuk menentukan lokasi / luasnya fraktur /
trauma. Scan tulang (fomogram, scan CT / MRI) untuk memperlihatkan fraktur dan
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. Pada kasus klien sudah
dilakukan pemeriksaan rontgen pada femur nya dan pemeriksaan CT Scan pada
kepalanya.

4.1.6 Penanganan Fraktur

Imobilisasi fraktur adalah mengembalikan atau memperbaiki bagian tulang


yang patah kedalam bentuk yang mendekati semula. Cara-cara yang dilakukan
meliputi reduksi, traksi, dan imobilisasi. Reduksi terdiri dari dua jenis, yaitu
tertutup dan terbuka. Reduksi tertutup (Close reduction) adalah tindakan non bedah
atau manipulasi untuk mengembalikan posisi tulang yang patah, tindakan tetap
memerlukan lokal anestesi ataupun umum. Reduksi terbuka (Open reduction)
adalah tindakan pembedahan dengan tujuan perbaikan bentuk tulang. Sering
dilakukan dengan internal fiksasi yaitu dengan menggunakan kawat, screws, pins,
plate, intermedulari rods atau nail. Selanjutnya metode traksi dilakukan dengan
cara menarik tulang yang patah dengan tujuan meluruskan atau mereposisi bentuk
dan panjang tulang yang patah tersebut. Pada klien dilakukan reduksi terbuka
(open reduction) dimana klien dilakukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki
bentuk tulang dan dilakukan pemasangan pen.

Pinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi


(mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan
rehabilitasi. Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang
terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga
harus diketahui, apakah akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak
langsung. Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula
(reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula diharapkan bagian yang sakit dapat
berfungsi kembali dengan maksimal (Mahartha, Maliawan, & Kawiyana, 2011).

63
Penyembuhan fraktur sekunder ditandai dengan penyembuhan patah tulang secara
spontan tanpa adanya kaku. Mekanisme biologi tulang saat perbaikan fraktur
memiliki pola yang terorganisir. Perbaikan fraktur dibagi menjadi fase inflamasi,
fase reparatif yang meliputi pengerasan intramembran, kondrogenesis, dan osifikasi
endokhondral, serta fase remodeling.

Pada pasien usia tua tidak mempermasalahkan adanya gangguan pada


fungsi extremitas atas dan adanya deformitas pasca tindakan, namun pada pasien
usia muda dengan meningkatnya kejadian pada fraktur metafise distal radius
dengan tingginya aktifitas dan produktifitas di usia muda yang menggunakan
tangan maka dibutuhkan metoda tindakan yang paling tepat untuk dapat menjamin
hasil fungsi extremitas atas yang maksimal (Burhan, Manjas, Riza, Erkadius,
2014).

4.1.7 Pengaruh Guided Imagery Terhadap Nyeri Fraktur

Nyeri ialah pengalaman sensori serta emosional yang tidak mengenakan


yang disebabkan oleh kehancuran jaringan yang aktual dan potensional. Nyeri
sangat menganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dari pada suatu penyakit
(Smeltzer & Bare, 2013).

Nyeri adalah salah satu efek terhadap responden post operasi pembedahan
yang meningkatkan hormon stress misalnya adrenokortikotropin, kortisol dan
secara simultan mampu menurunkan pelepasan insulin serta fibrinilisis yang
mungkin akan menghambat proses penyembuhan luka (Novita, 2012)

Salah satu perhatian terbesar pasien patah tulang adalah rasa nyeri, sehingga
perawat perlu memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya tentang terapi
nonfarmakologis yang dapat membantu pasien mengurangi atau menghilangkan
rasa nyeri (Djamal, Rompas, & Bawotong, 2015)

Penelitian yang dilakukan oleh Sumariadi, Simamora, Nasution, Hidayat


dan Sunarti (2021) yang berjudul “Efektivitas Penerapan Guided Imagery Terhadap
Penurunan Rasa Nyeri Pasien Gastritis” menjelaskan bahwa skala nyeri pasien
gastritis di RSU Royal Prima Sebelum intervensi guide imagery mayorritas
merasakan nyeri sedang sekitar 55,29 %, nyeri ringan 37,65 % dan nyeri berat
7,06%. Sedangkan sesudah intervensi mayoritas pasien merasakan penurunan nyeri

64
mayoritas menjadi nyeri ringan 89,41 % dan nyeri sedang 10,59 %. Sumariadi,
Simamora, Nasution, Hidayat dan Sunarti (2021) mengatakan guided imagery
memiliki pengaruh terhadap penurunan rasa nyeri pada pasien gastritis yang dilihat
dari uji bivariate dengan paired t test dengan nilai sig. (2- tailed) 0,000 <0,05 yang
menyatakan bahawa terdapat perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah intervensi
(Sumariadi, Simamora, Nasution, Hidayat, & Sunarti, 2021)

Penelitian yang dilakukan oleh Lolo dan Novianty (2018) yang melakukan
tindakan guided imagery pada pasien post operasi appendisitis, dengan hasil p
value 0,000 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara guided imagery
terhadap penurunan nyeri (Lolo & Novianty, 2018)

Penelitian yang dilakukan oleh Astuti dan Respati (2018) yang berjudul
“Pengaruh Terapi Guided Imagery Terhadap Nyeri Pada Pasien Post Operasi
Fraktur Di Ruang Bougenvil RSUD Dr. R. Koesma Tuban” mengatakan terdapat
pengaruh terapi guided imagery terhadap nyeri pada pasien post operasi fraktur.
Hasil analisa data yang digunakan pada penelitian tersebut adalah Uji Mann
Whitney menggunakan SPSS dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 diperoleh nilai
Asymp. Sig. (2-tailed) = 0,000 dimana 0,000 < 0,05. Pada penelitian ini kelompok
eksperimen diberikan perlakuan berupa terapi guided imagery sedangkan kelompok
kontrol tidak. Penurunan skala nyeri tampak terjadi pada kelompok eksperimen.
(Astuti & Respati, 2018)

Literature review yang dilakukan oleh Darmadi, Hafid, Patima, Risnah


(2020) membuktikan bahwa terdapat efektivitas terapi imajinasi terbimbing
penurunan skala nyeri pada pasien post operasi. Lima dari artikel menemukan
secara statistik bahwa terjadi penurunan rasa nyeri pada pasien setelah diberikan
terapi imajinasi terbimbing. Terapi imajinasi terbimbing juga dapat memberi
kepuasan, kenyamanan, dan menurunkan kecemasan pada pasien post operasi.
Terapi imajinasi terbimbing sebagai penatalaksanaan non- farmakologi dapat
menurunkan nyeri post operasi. Terapi ini tidak menimbulkan efek samping, tidak
memerlukan biaya, dan merupakan kegiatan non invasive yang mendukung model
keperawatan holistik (Darmadi, Hafid, Patima, & Risnah, 2020)

Guided imagery merupakan salah satu teknik distraksi nyeri yang bisa
digunakan dalam penanganan nyeri, menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar

65
kolesterol, glukosa dan meningkatkan aktivitas sel. Guided imagery merupakan
suatu teknik dengan menganjurkan pasien untuk mengalihkan pikirannya terhadap
sesuatu yang indah sesuai dengan instruksi dari perawat sehingga nyeri yang
dialami oleh pasien akan hilang atau berkurang (Sumariadi, Simamora, Nasution,
Hidayat, & Sunarti, 2021). Guided imagery mampu menciptakan mekanisme
imajinasi positif yang mampu melemahkan psikoneuroimmunologi yang
mempengaruhi respon stres dan nyeri. Sehingga impuls yang berjalan sampai
sumsum tulang belakang ke otak pada satu waktu dan jika ini terisi dengan pikiran
lain maka sensasi rasa sakit tidak dapat dikirim ke otak oleh karena itu rasa sakit
berkurang (Hart, 2008).

66
4.2 Hambatan Yang Ditemukan Saat Melakukan Implementasi
4.2.1 Kerusakan Integritas Kulit
a. Resiko perdarahan
Perawat tidak berani melakukan perawatan luka yang lebih intensif
terhadap luka pasien karena pasien memiliki fraktur yang terbuka sehingga
jika balutannya dibuka maka tulangnya akan terkeluar sehingga akan memicu
pendarahan karena pembuluh darah sekitarnya akan dapat menyebabkan
pendarahan yang banyak. Jika terjadi pendarahan ketika melakukan
perawatan luka maka akan dapat menyebabkan resiko syok hipovolemik.
Sehingga perawat hanya melakukan ganti perban pada luka kecil saja tapi
tidak pada bagian fraktur femur pasien.
Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu
kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam
ekstensi penuh. Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan card
board atau metal gutter, long leg splint. Jika tersedia dapat dipasang gips
dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Parahita dan
Kurniyanta (2018) bahwa tujuan imobilisasi fraktur adalah meluruskan
ekstrimitas yang cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah
gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. Hal ini akan tercapai dengan
melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan
alat imobilisasi. Pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan
pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih
lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur
(Parahita & Kurniyanta, 2018).
b. Kurangnya advokasi perawat dalam berkolaborasi dengan tim medis
lainnya
Peran advokasi perawat dalam penghubung antara pasien dan tim
kesehatan lainnya merupakan hal penting yang harus dilakukan, tetapi
berdasarkan kasus yang terjadi ini peran advokasi perawat dalam
memberikan informasi mengenai pasien kepada tim medis lainnya bisa
dibilang kurang, sehingga penanganan seperti perawatan luka harus

67
menunggu jika dokter memberikan instruksi. Menurut kelompok seharusnya
perawat dapat menghubungi dokter dan memberitahukan keadaan luka
pasien, sehingga dokter akan dapat melakukan perawatan luka yang berkerja
sama dengan perawat, sehingga dapat mengurangi terjadinya infeksi pada
luka pasien.
c. Keluarga tidak mengikuti anjuran dengan tepat dalam menjaga
kebersihan luka
Perawat sudah memberitahukan kepada keluarga pasien untuk selalu
menjaga kebersihan luka, seperti menutup luka dengan kain yang bersih yang
bertujuan untuk tidak mengundang lalat untuk hinggap di atas luka klien,
tetapi keluarga tidak melakukan anjuran perawat dengan benar sehingga luka
klien dikerumuni lalat dan lalat bertelur di bagian luka klien sehingga
menyebabkan berkembangbiaknya belatung pada sekitar perban klien
d. Hasil swab test yang lambat sehingga menyebabkan operasi tertunda
Pada kasus ini pasien sudah swab dari 3 hari lalu tapi ketika h-1 hasil
swabnya hilang dan klien harus melakukan swab ulang dan menunggu 3 hari
lagi sehingga kondisi luka semakin parah dan berbau menyengat. Hal ini
merupakan keteledoran tim medis lainnya yang dapat merugikan klien
4.2.2 Nyeri Akut Berhubungan Dengan Agen Cedera Fisik
a. Lingkungan
Hambatan ketika melakukan intervensi untuk mengatasi nyeri akut pada
klien adalah lingkungan yang kurang mendukung, karena klien dirawat
diruang kelas tiga, di ruang kelas tiga terdapat 3 tempat tidur dan 1 pasien
ditemanin oleh keluarganya yang lebih dari 2 orang, sehingga agak sedikit
menganggu ketika diawal memberikan intervensi
4.2.3 Gangguan Mobilitas Fisik Berhubungan Dengan Kerusakan Integritas
Struktur Tulang
a. Klien tidak kooperatif
Ketika diberikan intervensi klien tampak tidak focus saat dianjurkan untuk
melakukan gerakan, ketika disuruh mengangkat kaki klien malah
menggeserkan pantatnya, sehingga agak sulit mengintruksikan klien. Klien
merasa tidak nyaman karena nyeri post operasi sehingga pasien terlihat risih
untuk menggerakkan bagian kaki yang tidak dilakukan operasi

68
4.3 Penanggulangan Hambatan Implementasi

4.3.1 Diagnosa Nyeri

Penanggulangan dari hambatan yang ditemui pada diagnosa Nyeri Akut


berhubungan dengan Agen Pencedera Fisik ialah mengenai lingkungan keberadaan
pasien yang kurang mendukung pada saat akan memberikan intervensi
keperawatan.

Kondisi lingkungan fisik ruang rawat inap juga mempengaruhi psikologis


pasien. ingkungan fisik adalah semua keadaan yang terdapat disekitar, seperti suhu
udara, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran
mekanis, bau-bauan, warna akan berpengaruh secara signifikan tehadap
kesembuhan pasien tersebut. Ruang rawat inap yang bising, suhu udara terlalu
panas, pencahayaan kurang, kebersihan dan kerapihan tidak terjaga akan
meningkatkan stres pada pasien. Ruang rawat inap seharusnya membangkitkan
optimisme sehingga dapat membantu proses penyembuhan pasien. Pengaruh
kebisingan terhadap manusia secara fisik tidak saja mengganggu organ
pendengaran, tetapi juga dapat menimbulkan gangguan pada organ-organ tubuh
yang lain, seperti penyempitan pembuluh darah dan sistem jantung. Salah satu
bentuk polusi adalah kebisingan (noise) yang tidak dikehendaki oleh telinga kita.
Kebisingan tidak dikehendaki karena dalam jangka panjang dapat mengganggu
ketenangan (Chandra, 2017).

Ada 3 aspek yang menentukan kualitas bunyi yang dapat menentukan tingkat
gangguan terhadap manusia, yaitu :

1. Lama bunyi itu terdengar. Bila terlalu lama dapat menyebabkan ketulian
(deafness).
2. Intensitas biasanya diukur dengan satuan desibel (dB), menunjukkan besarnya arus
energi per satuan luar.
3. Frekuensi suara (Hz), menunjukkan jumlah gelombang suara yang sampai ke
telinga kita per detiknya

Pengaruh utama bising terhadap kesehatan berupa kerusakan pada indera


pendengaran. Dampak gangguan terhadap alat pendengaran tersebut dampak

69
auditorial. Adapun dampak yang lain adalah dampak yang bersifat non auditorial.
Contoh dari dampak non auditorial adalah mengganggu komunikasi, gangguan
tidur, gangguan perilaku, gangguan fisiologis antara lain sakit kepala, mual dan
berdebar.

Nilai Ambang Batas (NAB)adalah batas maksimal tingkat kebisinganyang


diperbolehkan dibuang ke lingkungan RS atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan
(KepMenKes No.1204/ MenKes/SK/X/2004). Dalam peraturan ini pengertian
bising sendiri adalah bunyi yang kehadirannya mengganggu pendengaran. Standar
kebisingan yang diperkanankan di ruang perawatan pasien pada saat tidur adalah
40dBA, sedangkan pada saat tidak tidur adalah 45dBA (Sasongko & Hadiyarto.
2019).

4.3.2 Diagnosa Infeksi

Berhubungan dengan pendarahan & infeksi berdasarkan penilitian yang


dilakukan oleh Rezwin Heryanto, Abdul Rakhmat, & Ismail tentang “ Faktor –
factor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi pada pasien fraktur terbuka di
ruang bedah Lontara 2 Orthopedi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
menyebutkan Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa luka yang dirawat
dengan balutan yang dapat mempertahankan kelembaban lebih cepat menutup (5
hari) jika dibandingkan dengan luka yang dibalut dirawat dengan balutan kasa
kering (8 hari) Bersamaan dari teori yang mengatakan bahwa Luka menyebabkan
disentegrasi dan discontinuitas dari jaringan kulit sehingga kulit kehilangan yang
fungsinya untuk memproteksi jaringan di bawahnya menjadi terganggu. Tujuan
utama dari modern dressing adalah penggunakan prinsip moisture balance ini
mengkondisikan luka dalam keadaan lembab karena lingkungan yang lembab akan
mempercepat proses penyembuhan luka Manajemen dalam modern dressing antara
lain adalah Teknik pencucian luka, debridemen, pemilihan bahan topical therapy
yang di dasarkan pada pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort),
keamanan (safety). Tingkat kemandirian dan profesional perawat akan tampak pada
pemilihan topical therapy saat melaksanakan modern dressing.
Faktor yang menjadi penghambat dalam melaksanakan peran advokasi perawat
antara lain: kepemimpinan dokter, lemahnya dukungan organisasi, kurangnya perhatian

70
terhadap advokasi, kurangnya jumlah tenaga perawat, kondisi emosional keluarga,
terbatasnya fasilitas Kesehatan dan lemahnya kode etik. Sementara itu faktor yang
mendukung perawat dalam melaksanakan perannya sebagai advokat yaitu: kondisi pasien,
pengetahuan tentang kondisi pasien, pendidikan keperawatan yang semakin tinggi,
kewajiban perawat dan dukungan instansi rumah sakit. Perawat hendaknya
mengoptimalkan perannya sebagai advokat yaitu dengan memberikan informasi
sebanyakbanyaknya tentang kondisi pasien dan proses kesembuhannya, menjadi
penghubung antara pasien dan tim kesehatan lain, membela hak-hak pasien dan
melindungi pasien dari tindakan yang merugikannya. Rumah sakit diharapkan dapat lebih
meningkatkan pengetahuan perawat tentang advokasi, meminimalkan kendala-kendala
dalam pelaksanaan peran advokasi dan mempertimbangkan untuk dibentuknya prosedur
tetap.

4.3.3 Diagnosa mobilitas fisik


Faktor yang menjadi penghambat dalam melaksanakan peran advokasi
perawat antara lain: kepemimpinan dokter, lemahnya dukungan organisasi,
kurangnya perhatian terhadap advokasi, kurangny jumlah tenaga perawat, kondisi
emosional keluarga, terbatasnya fasilitas Kesehatan dan lemahnya kode etik.
Sementara itu atiha yang mendukung perawat dalam melaksanakan perannya
sebagai advokat yaitu: kondisi pasien, pengetahuan tentang kondisi pasien,
atihan n keperawatan yang semakin tinggi, kewajiban perawat dan dukungan
instansi rumah sakit. Perawat hendaknya mengoptimalkan perannya sebagai
advokat yaitu dengan memberikan informasi sebanyakbanyaknya tentang kondisi
pasien dan proses kesembuhannya, menjadi penghubung antara pasien dan tim
atihan n lain, membela hak-hak pasien dan melindungi pasien dari tindakan yang
merugikannya. Rumah sakit diharapkan dapat lebih meningkatkan pengetahuan
perawat tentang advokasi, meminimalkan kendala-kendala dalam pelaksanaan
peran advokasi dan mempertimbangkan untuk dibentuknya prosedur tetap. Salah
satu tatalaksana masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik adalah dengan
ROM (Range of Motion). ROM merupakan penatalaksanaan yang menggunakan
atihan gerak baik secara aktif maupun pasif. ROM diberikan untuk mengatasi
gangguan fungsi gerak, mencegah komplikasi akibat tirah baring, mengurangi nyeri
dan edema serta melatih aktivitas akibat operasi. ROM terdiri dari 2 jenis yaitu
ROM aktif dan ROM pasif, jika klien memiliki masalah yaitu sulit untuk mengikuti

71
instruksi perawat atau tidak atih dalam melakukan ROM aktif, maka dapat
dilakukan secara perlahan dengan mengaplikasikan ROM pasif terlebih dahulu
kepada klien sehingga klien mendapatkan gambaran bagaimana cara melakukan
gerakan-gerakan atihan ROM.

72
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Penggunaan rekaman audio recorded guided imagery dengan panduan
relaksasi di pantai. Adanya perbedaan nyeri yang terjadi pada responden kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberikan audio recorded guided
imagery berkaitan erat dengan mekanisme dimana guided imagery dapat
melemahkan psikoneuroimunologi yang mempengaruhi yang mempengaruhi
respon stres, hal ini berkaitan dengan teori Gate Control yang menyatakan bahwa
hanya satu impuls yang dapat berjalan sampai sumsum tulang kebelakang otak
pada satu waktu dan jika ini terisi dengan pikiran lain maka sensasi rasa sakit tidak
dapat dikirim ke otak oleh karena itu rasa sakit berkurang.

Guided imagery juga dapat melepaskan endhorphin yang mampu


melemahkan respon rasa sakit dan dapat mengurangi rasa sakit atau meningkatkan
ambang nyeri. Adanya perbedaan yang signifikan hal ini berkaitan dengan
dimanaguided imagery mampu menciptakan mekanisme imajinasi positif yang
mampu melemahkan psikoneuroimmunologi yang mempengaruhi respon stres dan
nyeri. Sehingga impuls yang berjalan sampai sumsum tulang belakang ke otak pada
satu waktu dan jika ini terisi dengan pikiran lain maka sensasi rasa sakit tidak dapat
dikirim ke otak oleh karena itu rasa sakit berkurang.

Guided imagery merupakan salah satu teknik distraksi nyeri yang bisa
digunakan dalam penanganan nyeri, menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar
kolesterol, glukosa dan meningkatkan aktivitas sel. Guided imagery merupakan
suatu teknik dengan menganjurkan pasien untuk mengalihkan pikirannya terhadap
sesuatu yang indah sesuai dengan instruksi dari perawat sehingga nyeri yang
dialami oleh pasien akan hilang atau berkurang

73
5.2 Saran

Setelah melakukan Asuhan Keperawatan Tn. H dengan fraktur femur di ruang


Perawatan Kelas II (Arwana) di RSUD Soedarso ada beberapa saran yang dapat
penulis sampaikan yaitu:

1. Profesi Keperawatan
Meningkatkan profesionalitas dalam bekerja dan memperbarui pengetahuan
tentang melakukan Asuhan Keperawatan fraktur femur agar tindakan yang
dilakukan tidak hanya rutinitas.
2. Institusi RSUD Soedarso
a. Direktur Rumah Sakit
Meningkatkan standar prosedur operasional dalam pemberian pelayanan
terhadap pasien dengan fraktur.
b. Kepala Ruangan ruang Perawatan Kelas II (Arwana)
Meningkatkan pelayanan perawatan dan standar operasional yang
disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi terkini
c. Perawat ruang Perawatan Kelas II (Arwana)
Meningkatkan perkembangan pengetahuan dan pelayanan perawatan yang
disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi terkini
d. Mahasiswa Praktek
Mempertahankan kerja sama yang sama yang baik antara Perawat dan
mahasiswa praktek, agar dapat segera diketahui kebutuhan pasien baik
kebutuhan fisik dan maupun kebutuhan psikis.

74
DAFTAR PUSTAKA

Andri, J., Febriawati, H., Padila, J, H., & Susmita, R. (2020). Nyeri Pada Pasien Post Op
Fraktur Ekstremitas Bawah Dengan Pelaksanaan Mobilisasi Dan Ambulasi Dini.
Journal of Telenursing (JOTING)

Astuti, N. D., & Respati, C. A. (2018). Pengaruh Terapi Guided Imagery Terhadap Nyeri
Pada Pasien Post Operasi Fraktur Di Ruang Bougenvil RSUD Dr. R. Koesma
Tuban. Jurnal Kebidanan Universitas Islam Lamongan, 10(2), 52-64.

Brunner dan Suddarth. 2008.Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3.Jakarta: EGC

Chandra, 2017. Pengantar Kesehatan Lingkungan, cetakan 1, EGC, Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)


2013, Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Darmadi, N., Hafid, A., Patima, & Risnah. (2020). EFEKTIVITAS IMAJINASI
TERBIMBING (GUIDED IMAGERY) TERHADAP PENURUNAN NYERI
PASIEN POST OPERASI : A LITERATUR REVIEW. ASJN, 1(1), 42-54.

Djamal, R., Rompas, S., & Bawotong, J. (2015). PENGARUH TERAPI MUSIK
TERHADAP SKALA NYERI PADA PASIEN FRAKTUR DI IRINA A RSUP
PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO. E-Journal Keperawatan, 3(2), 1-6.

Gandhi, K., Viscusi., E. (2009). Multimodal Pain Management Techniques in Hip and
Knee Arthroplasty. The Journal of New York School of Regional Anasthesia. 13.
1-12

Guyton, A.C. (2014). Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 7. Bagian III. Aliah Bahasa
Effendi & Melfiawati. Jakarta: EGC.

Hart, J. (2008). Guided Imagery. Alternative and Complementary Therapies, 295-312.

Lolo, L. L., & Novianty, N. (2018). PENGARUH PEMBERIANGUIDED


IMAGERYTERHADAP SKALANYERI PADA PASIEN POST OPERASI
APPENDISITIS HARIPERTAMA DI RSUD SAWERIGADING KOTA PALOPO
TAHUN 2017. Jurnal Fenomena Kesehatan, 1(1), 20-25.

Marlina. (2015). Mobilisasi Pada Pasien Fraktur Melalui Pendekatan Konseptual Model
Dorothea E. Orem. Idea Nursing Journal. Issn : 2087-2879
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selecta Kedokteran, Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media
Mary, 2008. Listening to Music in Psychotherapy.Oxford: Radcliffe Publishing
Melti, S., & Zuriati. (2019). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Pada Sistem Muskuloskeletal Aplikasi Nanda NIC & NOC. Padang:
Pustaka Galeri Mandiri.

Nur Meity Sulistia Ayu.2017.Efektifitas Terapi Audio Recorded Guided Imagery Dengan
Nafas Dalam Terhadap Penurunan Nyeri Pasien Pasca Operasi Fraktur .Jurnal
Keperawatan Vol.7 No.2, Juli 2017 P-Issn : 2086 - 9703 E-Issn : 2621 - 7694

Novita, D. (2012). Pengaruh Terapi Musik Terhadap Nyeri Post Operasi Open Reduction
And Internal Fixation (ORIF) Di RSUD DR. H Abdul Moeloek Provinsi
Lampung. Universitas Indonesian Library, 97-104.

Rendy dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit Dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Parahita, P. S., & Kurniyanta, P. (2018). Management of Extrimity Fracture in Emergency


Department. E-Jurnal Medika Udayana, 61-78.

Potter & Perry. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep Klinis Proses
Penyakit Edisi 7. Jakarta: EGC

Sasongko, D.P., Hadiyarto A. 2019. Kebisingan Lingkungan.: Univ. Diponegoro.


Semarang.

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3.
Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
&Suddarth( Edisi 8 Nurarif & Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Panduan penyusunan Asuhan
Keperawatan Profesional. Yogyakarta : Mediaction Jogja. Volume 1). Jakarta:
EGC

Smeltzer, S., & Bare, B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Sumariadi, Simamora, D., Nasution, L. Y., Hidayat, R., & Sunarti. (2021). efektivitas
penerapan guided imagery terhadap penurunan rasa nyeri pasien gastritis. Jurnal
Penelitian Perawat Profesional, 3(1), 199-207.

Sutikno. (2014). Basic Trauma Cardiac Life Support (Btcls) In disaster. Jakarta: CV.
Sagung Seto.

v
vi

Anda mungkin juga menyukai