Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATANDARURATAN

MUSKULOSKELETAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Kegawatdaruratan

Dosen Pembimbing : Ns. Faradisa Yuanita Fahmi, M.Kep

Disusun Oleh :

1. Ika Nurcahyanti ( 202111018 )


2. Intan Regita Permatasaari (202111019 )
3. Muhammad Ghozali Kusworo (202111020 )
4. Novia Ramayanti Purwanto ( 202111021 )
5. Andre Septian Hernanda ( 202111041 )

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDAL BATANG
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualakum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kami kehadirat Tuhan Yang Maha


Esayang telah memberikan rahmat serta nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul "Kegawatdaruratan Trauma
Muskuloskeletal". Makalah ini di buat sebagai tugas Mata Kuliah
Keperawatan Kegawat Daruratan. Penulis banyak mengucapkan terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari


kata sempurna, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran pembaca
yang sekiranya dapat membangun dan memotivasi penulis untuk berkarya
lebih baik lagi di masa mendatang. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada dosen Mata Kuliah Keperawatan Kegawat Daruratan yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah
ini dengan baik.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Kendal, 11 Maret 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................4
A. Latar Belakang...............................................................................................4
B. Rumusan Masalah..........................................................................................5
C. Manfaat..........................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................6
1. Konsep Teori
A. Pengertian.......................................................................................................6
B. Etiologi...........................................................................................................6-7
C. Manifestasi Klinis..........................................................................................7-8
D. Patofisiologi...................................................................................................8-9
E. Pathways........................................................................................................9
F. Penatalaksanaan.............................................................................................10-12
BAB III PROSES KEPERAWATAN.......................................................................13
1. Konsep Asuhan keperawatan..............................................................................13
A. Pengkajian.....................................................................................................13-16
2. Tinjauan kasus...................................................................................................17
A. Pengkajian.....................................................................................................17
B. Primary Survey............................................................................................17-18
C. Survey sekunder...........................................................................................19-21
D. Analisa Data.................................................................................................21-23
E. Diagnosa Keperawatan................................................................................23
F. Intervensi......................................................................................................23-28
BAB III PENUTUP....................................................................................................29
A. Kesimpulan....................................................................................................29
B. Saran...............................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................30

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem musculoskeletal adalah sistem yang terdiri dari tulang,
otot, ligament kartilago, tendon, facia dan brusae serta persendian.
Trauma ini sering terjadi pada pasien yang dating ke unit gawat
daruratan dengan berbagai keluhan dan merasa sakit, dalam
pemeriksaan terdapat memiliki ketegangan pada tendon atau
kesleo (ligament), fraktur, cidera muskulo lainnya dan dislokasi.
(Alsheihly and Alsheikhly, 2018).

Gangguan muskuloskeletal paling sering terjadi akibat suatu


trauma adalah, strain, sprain, kontusio, dislokasi dan sublukasi.
Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa singga dapat
mencederai fisik maupun psikis. Trauma jaringan lunak
muskuloskeletal berupa pendarahan, vulnus (luka), memar
(kontusio), putus atau robekan (avulasi atau rupture), regangan
atau robekan parsial (sprain), gangguan pembuluh darah dan
gangguan saraf. Cedera pada tulang dapat menimbulkan patah
tulang (fraktur) dan dislokasi (Wijaya, 2019).

Trauma pada tulang skeletal dapat menyebabkan nyeri,


mempengaruhi aktivitas seseorang untuk beraktivitas sehari-hari,
dan pada beberapa kasus dapat mengancam jiwa atau
menyebabkan kecacatan. Tujuan perawatan pada pasien trauma
untuk menyelamatkan kehidupan pasien, mempertahankan fungsi
dan mencegah disability jangka panjang. Pasien harus
mendapatkan pengkajian primer untuk menyingkirkan masalah
pada airway, breathing, circulation, dan disability sebelum
terfokus pada kondisi cedera spesifik yang terjadi (Sheehy, 2018).

4
B. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi dari trauma musculoskeletal ?
2. Apa saja yang menjadi etiologi dari trauma musculoskeletal ?
3. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinis dari trauma
musculoskeletal
4. Untuk mengetahui apa saja patofisiologi dari trauma
musculoskeletal
5. Untuk mengetahui pathways trauma musculoskeletal
6. Apa saja farmakoterapi pada musculoskeletal?
7. Bagaimana penatalaksanaan diit pada musculoskeletal?
8. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
muscoluskeletal ?
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien
dengan muscoluskeletal.
2. Agar mahasiswa ampu menentukan masalah keperawatan pada
pasien dengan muscoluskeletal.
3. Agar mahasiswa mampu menentukan rencana asuhan
keperawatan pada pasien dengan muscoluskeletal.
4. Agar mahasiswa mampu melakukan tindakan keperawatan yang
telah direncanakan pada pasien dengan.
5. Agar mahasiswa mampu melaksanakan evaluasi dari
implementasi keperawatan pada pasien dengan muscoluskeletal.
D. Manfaat
1. Untuk menambah pengetahuan anggota kelompok mengenai
apa itu kegawatan musculoskeletal.
2. Untuk menambah pengetahuan anggota kelompok mengenai
asuhan keperawatan dari kegawatan musculoskeletal.
3. Untuk menambah ketrampilan anggota kelompok mengenai
kegawatan musculoskeletal.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 KONSEP TEORI


A. Pengertian
Sistem musculoskeletal merupakan sistem yang terdiri dari
otot, tulang, tendon, ligament kartilago, facia dan brusae serta
persendian. Trauma ini sering terjadi pada pasien yang dating ke
unit gawat daruratan dengan berbagai keluhan dan merasa sakit,
dalam pemeriksaan terdapat memiliki ketegangan pada tendon
ataukesleo (ligament), fraktur, cidera muskulo lainnya dan
dislokasi. (Alsheihly and Alsheikhly). Trauma merupakan
keadaan ketika mengalami cedera sehingga mengakibatkan
trauma yang disebabkan sering terjadi adalah kecelakaan lalu
lintas, olahraga, industri, dan pekerjaan rumah tangga. Trauma
musculoskeletal kondisi dimana seorang mengalami cedera atau
trauma pada system muskoloskeletal yang mengakibatkan
disfungsi di bagian struktur di sekitarnya dan pada bagian yang
dilindungi dan penyangganya (Wijaya, 2019).
B. Etiologi
Klasifikasi fracture (Nurarif Huda, 2015):
a. Klasifikasi etiologi
1) Fracture traumatic, terjadi pada tulang karena adanya
trauma akibat benturan benda tumpul serta tekanan.
2) Fracture patologis,terjadi pada tulang karena adanya
kelainan/penyakit yang menyebabkan kelemahan pada
tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma ringan.
3) Fracture stress,terjadi karena adanya stress yang kecil dan
berulang-ulang pada daerah tulang yang menopang berat
badan. Fracture stress jarang sekali ditemukan pada
anggota gerak atas.

6
b. Klasifikasi klinis
1) Fracture tertutup (simple fracture), bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
2) Fracture terbuka (compound fracture) bila terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Karena adanya perlukaan kulit.
3) Fracture dengan komplikasi,misal malunion delayed
union,non union, infeksi tulang.

c. Klasifikasi radiologis
1) Lokalisasi yaitu:diafisal,metafisial intra-artikular fracture
dengan dislokasi.
2) Menurut ekstensi yaitu F. Total, F. tidak total, F. buckle
atau torus.
3) Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen
lainnya tidak bergeser, bergeser (angulasi, rotasi, distraksi,
over riding, impaksi).

C. Manifestasi Klinis
a. Fraktur
1) Deformitas: Pembengkakkan dari perdarahan lokal dapat
menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Deformitas
merupakan perubahan bentuk, pergerakan tulang menjadi
memendek di karena kuatnya tarikan otot- otot ekstermitas.
(Joyce M Black, 2016)
2) Nyeri: Nyeri biasanya terus menerus akan menigkat jika
fraktur tidak diimobilisasi. (Brunner, 2015)

3) Pembengkakkan atau edema : Edema terjadi akibat


akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta

7
ekstravasasi cairan serosa pada lokasi fraktur ekstravasi
darah ke jaringan sekitar.
4) Hematom atau memar: Memar biasanya terjadi di karena
perdarahan subkutan pada lokasi
fraktur.
5) Kehilangan fungsi dan kelainan gerak. (Joyce M Black,
2016)
b. Strain
1. Nyeri
2. Kelemahan otot
3. Pada sprain parah, otot atau tendon mengalami ruptur
secara parsial atau komplet bahkan dapat menyebabkan
kelumpuhan pasien akibat hilangya fungsi otot. (Joyce M
Black, 2016)
c. Sprain
1. Adanya robekan pada ligamen
2. Nyeri
3. Hematoma atau memar. (Joyce M Black, 2016)

D. Patofisiologi
Fraktur disebabkan oleh beberapa hal di antaranya karena
adanya traumatik pada tulang. Tulang yang telah melemah oleh
kondisi sebelumnya terjadi pada fraktur patologis.Patah tulang
tertutup atau terbuka akan mengenai serabut syaraf yang akan
menimbulkan rasa nyeri. Selain itu fraktur atau patah tulang
yaitu terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa tulang tidak mampu
digerakkan sehingga mobilitas fisik terganggu dan juga dapat
menyebabkan definisi perawatan dirinya kurang.intervensi medis
dengan penatalaksanaan pembedahan menimbulkan luka insisi
yang menjadi pintu masuknya organisme patogen serta akan

8
menimbulkan masalah resiko tinggi infeksi pasca bedah, nyeri
akibat trauma jaringan lunak (Adhi et al 2015).
Intervensi pembedahan pada fraktur tertutup merupakan
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) merupakan tindakan
bedah yang dilakukan guna untuk mempertemukan dan
memfiksasi kedua ujung fragmen tulang yang patah serta untuk
mengoptimalkan penyembuhan dan hasil dengan cara
pemasangan plate dan skrew setelah tulang menyambung (satu-
dua tahun) maka plate dan skrew akan dilepas, dirumah sakit
pelepasan tersebut sering disebut dengan operasi ROI apabila
tidak dilakukan maka dapat mengganggu pertumbuhan tulang
serta reaksi penolakan dari tubuh seperti infeksi
(Adhi et al., 2015).

9
E. Pathways
Trauma Langsung Trauma tdk langsung Kondisi Patologis

Fraktur Pergeseran Fragmentasi tlg

Diskontunitas Tulang Nyeri Akut

Perubahan Jaringan sekitar Kerusakan Fragmen Tulang

Laserasi Kulit Spasme otot Tek. Sumsum tlg lebih tinggi

Putus Vena/Arteri Peningkatan tek. Kapiler dari kapiler

Perdarahan Pelepasan histamin Reaksi stress klien

Kehilangan vol. cairan Protein Plasma Hilang Melepaskan katelokamin

Risiko Syok Hipovolemik Edema Metabolisme asam lemak

Penekanan pemb. Darah Bergabung dg trombosit

Kerusakan Integritas Kulit Penurunan Perfusi Jaringan Emboli

Menyumbat Pembuluh Darah

Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer

F. Penatalaksanaan
a. Fraktur
1) Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksternal dan
internal, mempertahankan dan mengembalikan fungsi
status neurovaskuler selalu dipantau diantaranya : nyeri,
peredaran darah, perabaan dan gerakan. Perkiraan waktu
untuk imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan

10
tulang yang mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan.

(Amin Huda Nurafif, 2015)


Alat imobilisasi yang sering digunakan, diantaranya :
a) Bidai
Bidai adalah alat yang biasa dipakai utuk
mempertahankan posisi atau fiksasi tulang yang
patah. Tujuan pemasangan bidai untuk mencegah
pergerakan atau pergeseran tulang yang patah.
Sedangkan untuk syarat pemasangan agar dapat
mempertahankan 2 sendi tulang didekat tulang yang
patah dan pemasangan bidai ini tidak boleh terlalu
kencang atau ketat karena dapat merusak jaringan
pada tubuh. (Yanti Ruly Hutabarat, 2016)

b) Gips

Gips adalah balutan ketat yang digunakan untuk


imobilisasi bagian tubuh dengan mengunakan bahan
gips tipe plester atau fiberglass (Barbara Engram,
1999). Gips adalah alat imobilisasi eksternal yang

11
kaku yang diletak sesuai dengan kontur tubuh tempat
gips di pasang (brunner dan sunder, 2000)
Gips dibedakan menjadi :
1. Gips lengan pendek. Gips ini dipasang
memanjang dari bawah siku sampai lipatan
telapak tangan, dan melingkar erat didasar ibu
jari.
2. Gips lengan panjang. Gips ini dipasang
memanjang. Dari setinggi lipat ketiak sampai
disebelah prosimal lipatan telapak tangan. Siku
biasanya di imobilisasi dalam posisi tegak lurus.
3. Gips tungkai pendek. Gips ini dipasang
memanjang dibawah lutut sampai dasar jari kaki,
kaki dalam sudut tegak lurus pada posisi netral.
4. Gips tungkai panjang, gips ini memanjang dari
perbatasan sepertiga atas dan tengah paha sampai
dasar jari kaki, lutut harus sedikit fleksi.
5. Gips berjalan. Gips tungkai panjang atau pendek
yang dibuat lebih kuat dan dapat disertai telapak
untuk berjalan.
6. Gips tubuh. Gips ini melingkar di batang tubuh.
7. Gips spika. gips ini melibatkan sebagian batang
tubuh dan satu atau dua ekstremitas (gips spika
tunggal atau ganda).
8. Gips spika bahu. Jaket tubuh yang melingkari
batang tubuh, bahu dan siku.
9. Gips spika pinggul. Gips ini melingkari batang
tubuh dan satu ekstremitas bawah (gips spika
tunggal atau ganda)
Indikasi Pemasangan Gips :
1. Untuk pertolongan pertama pada faktur (berfungsi
sebagai bidal).

12
2. Imobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan

mengurangi nyeri misalnya gips korset pada


tuberkulosis tulang belakang atau pasca operasi
seperti operasi pada skoliosis tulang belakang.
3. Sebagai pengobatan definitif untuk imobilisasi
fraktur terutama pada anak-anak dan fraktur
tertentu pada orang dewasa.
4. Mengoreksi deformitas pada kelainan bawaan
misalnya pada talipes ekuinovarus kongenital atau
pada deformitas sendi lutut oleh karena berbagai
sebab.
5. Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis.
6. Imobilisasi untuk memberikan kesempatan bagi
tulang untuk menyatu setelah suatu operasi
misalnya pada artrodesis.
7. Imobilisasi setelah operasi pada tendo-tendo
tertentu misalnya setelah operasi tendo Achilles.
8. Dapat dimanfaatkan sebagai cetakan untuk
pembuatan bidai atau protesa.
c) Reduksi

Langkah pertama dalam penanganan fraktur yang


bergeser adalah reduksi. Reduksi fraktur berarti
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya
dan rotasi. Reduksi adalah manipulasi tulang untuk
mengembalikan kelurusan posisi dan Panjang

13
dengan mengembalikan fragmen tulang sedekat

mungkin serta tidak semua fraktur harus direduksi.


(Joyce M Black, 2014)
Reduksi dibagi menjadi 2 bagian diantaranya :
a) Reduksi Tertutup
Dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi
tertutup harus segera dilakukan agar dapat
meminimalkan efek deformitas dari cedera tersebut.
(Brunner, 2018)
b) Reduksi Terbuka
Reduksi Terbuka merupakan prosedur bedah dimana
fragmen fraktur diluruskan/ disejajarkan. Reduksi
terbuka sering kali dikombinasikan dengan fiksasi
internal untuk fraktur femur dan sendi. Alat fiksasi
internal dalam bentuk pin, sekrup, plat, kawat, paku
atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya
sampai penyembuhan tulang. (Brunner, 2018)
d) Traksi

Traksi merupakan pengobatan konservatif yang


bertujuan untuk mereduksi fraktur atau kelainan-
kelainan seperti spasme otot dengan
menggunakan pemberat sebagai konter traksi.
( Chaeruddin Rasyad, 2007 ). Traksi digunakan

14
untuk meluruskan atau gaya tarikan untuk
mengembalikan atau mempertahankan posisi yang
anatomis pada fraktur ( Karenburke,2008).
Menurut cara pemasangannya traksi, sebagai berikut:
1. Traksi Kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol sepasme
kulit dan memberikan imobilisasi . Traksi kulit
apendikuler ( hanya pada ektermitas digunakan
pada orang dewasa) termasuk “ traksi ektensi
Buck, traksi russell, dan traksi Dunlop”.
a. Ekstensi Buck
Ektensi buck ( unilateral/ bilateral ) adalah bentuk
traksi kulit dimana tarikan diberikan pada satu
bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer
yang diinginkan . Digunakan untuk memberikan
rasa nyaman setelah cidera pinggulsebelum
dilakukan fiksasi bedah (Smeltzer & Bare,2001 ).
b. Traksi Russell
Dapat digunakan pada fraktur plato tibia,
menyokong lutut yang fleksi pada penggantung
dan memberikan gaya tarik horizontal melalui pita
traksi balutan elastis ketungkai bawah. Bila perlu,
tungkai dapat disangga dengan bantal agar lutut
benar- benar fleksi dan menghindari tekanan pada
tumit (Smeltzer & Bare, 2001 ).
c. Traksi Dunlop
Adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi
horizontal diberikan pada lengan bawah dalam
posisi fleksi.
d. Taksi Kulit Bryant
Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak
kecil yang mengalami patah tulang paha. Traksi

15
Bryant sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak
yang berat badannya lebih dari 30 kg. kalau batas
ini dilampaui maka kulit dapat mengalami
kerusakan berat.
2. Traksi Skelet
Traksi skelet dipasang langsung pada tulang.
Metode traksi ini digunakan paling sering untuk
menangani fraktur femur, tibia, humerus dan
tulang leher. Kadang- kadang skelet traksi bersifat
seimbang yang menyokong ekstermitas yang
terkena, memungkinkan gerakan pasien sampai
batas- batas tertentu dan memungkinkan
kemandirian pasien maupun asuh keperawatan
sementara traksi yang efektif tetap dipertahankan
yang termasuk skelet traksi adalah sebagai berikut
(Smeltzer & Bare,2001 ).
a. Traksi Rangka Seimbang
Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk
merawat patah tulang pada korpus femoralis orng
dewasa.
b. Traksi 90-90-90
Traksi 90-90-90 sangat berguna untuk merawat
anak- anak usia 3 tahun sampai dewasa muda.
kontrol terhadap fragmen – fragmen pada fraktur
tulang femur hamper selalu memuaskan dengan
traksi 90-90-90 penderita masih dapat bergerak
dengan cukup bebas diatas tempat tidur.

16
e) Strain

1) Istirahat, kompres dengan air dingin dan elevasi


(RICE) untuk 24-48 jam pertama
2) Perbaikan bedah mungkin diperlukan jika robekan
terjadi pada hubungan tendon dan tulang
3) Pemasangan balut tekan
4) Selama penyembuhan (4-6 minggu) gerakan dari
cedera harus diminimalkan (Joyce M Black, 2014)

f) Sprain

1) Istirahat akan mencegah cedera tambahan dan


mempercepat penyembuhan
2) Meninggikan bagian yang sakit akan mengontrol
pembengkakan
3) Kompres air dingin, diberikan secara intermiten 20-
30 menit selama 24-48 jam pertama setelah cedera.

Kompres air dingin dapat mengurangi pendarahan


dan edema (jangan berlebihan da dapat
mengakibatkan kerusakan kulit). (Brunner, 2018)

17
BAB III
PROSES KEPERAWATAN
A. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses dimana kegiatan yang
dilakukan yaitu:

18
Mengumpulkan data, mengolompokan data, dan menganalisa data.
Adapun proses pengkajian gawat darurat yaitu pengkajian primary
dan pengkajian sekunder (Silvia, 2018)
1. Primary Survey
Menurut (Krisanty P, 2018) Setelah pasien sampai di Instalasi
Gawat Darurat (IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip Airway, Breathing,
Circulation, Disabilit Exposure (ABCDE).
a. Airway
Pada pengkajian Airway, Penilaian kelancaran airway pada
klien yang mengalami fraktur meliputi, pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas atau fraktur di bagian wajah. Usaha
untuk membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang
servikal karena itu tehnik Jaw Thurst dapat digunakan pasien
dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya
memerlukan pemasangan airway definitif (Krisanty p, 2018).
b. Breating
Menurut (Rani, 2018) Pengkajian pada pernapasan dilakukan
untuk menilai kepatenan jalan napas dan keadekuatan
pernapasan pada pasien.
1) Look
a) Lihat pengembangan dada
b) Retraksi intercostal
c) Penggunaan otot aksesoris pernapasan

2) Listen
a) Apakah terdengar suara napas
b) Bunyi napas (Ngorek, bersiul, megak dan lain- lain)
c) Suara napas tambahan (ronchi, wheezing, rales, dll)
3) Feel

19
a) Apakah ada hembusan darah dari hidung
b) Frekuensi napas

c. Circulation
Pada pengkajian kegawatdaruratan padal pasien fraktur femur,
dilakukan penilaian terhadap fraktur ketika mengevaluasi
sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini adalah volume
darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering
menjadi permasalahan utama pada kasus patah tulang.
terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat
menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 4 unit darah dan
membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang
terbaik adalah menggunakan penekanan langsung dan
meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami
pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik
dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan
mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade
otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan
balut tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan.
Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting
disamping usaha menghentikan pendarahan.
(Kristanty P, 2018).

d. Disability
Pada Pengkajian Dissability dilakukan pengkajian neurologi,
untuk mengetahui kondisi umum pasien dengan cepat
mengecek tingkat kesadaran pasien dan reaksi pupil pasien
Menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi

20
singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat cedera spinal (Tutu, 2017).

e. Exposure
Pada pengkajian exposure, Pasien harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, seiring dengan cara menggunting, guna
memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka,
penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma
muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah
tulang dan pemeriksaan radiologi (Paul, 2018)

2. Survey Sekunder
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus
mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies,
Medication, Past Medical History, Last Ate dan event (kejadian
atau mekanisme kecelakaan).
1. Riwayat Kesehatan
S : Sign / Symptoms(tanda dan gejala )
A : Allergies ( alergi)
M : Medications ( pengobatan )
P : Past Medical History ( riwayat penyakit )
L : last oral intake ( makanan yang dikomsumsi terakhir )
E : event prior to the illness our injury ( kejadian sebelum
sakit)

Riwayat dan mekanisme trauma ( dikembangkan menurut


PQRST)
P : Provokatif ( penyebab )
Q : Quality ( Kualitas)
R : Radiation ( Paparan )

21
S : Severity ( Tingkat keparahan)
T : time ( waktu)
2. Tanda – Tanda Vital
Ferkuensi nadi
Frekuensi Nafas
Tekanan Darah
Suhu Tubuh
3. Pemeriksaan fisik ( hand to toe )
a. Kepala
Kulit kepala
Bentuk kepala
b. Mata
Konvungtiva
c. Telinga
d. Hidung
e. Mulut dan gigi
f. Wajah
g. Leher
h. Dada / thoraks
i. Jantung
j. Abdomen
k. Genetalia
l. Ekstremitas
m. Neurologis
Fungsi sensorik
Fungsi motorik

b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut b.d Agen pencedera Fisik
2. Risiko Syok Hipovolemik
3. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer

22
c. Intervensi Keperawatan

No DX Tujuan Intervensi
.
1. Nyeri Akut Setekah diklakukan Manajemen Nyeri
b.d Agen tindakan keperawatan Observasi
pencedera 1x8 jam diharapkan : 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
Fisik 1. Keluhan nyeri durasi, frekuensi, intensitas
berkurang nyeri.
2. Ekspresi wajah 2. Identifikasi skala nyeri
meringis 3. Identifikasi faktor yang
berkurang memperberat dan
4. memperingan nyeri.
Terapeutik
1. Berikan teknik non farmakologi
mis. relaksasi napas dalam,
kompres hangat.
Edukasi
1. Ajarkan teknik non farmakologis
untuk mengurangi nyeri.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik.
2 Risiko Syok
Setekah diklakukan
Hipovolemik Observasi
tindakan keperawatan
1x8 jam diharapkan : 1.monitor frekuensi dan kekuatan nadi,
1. Kekuatan nadi (frekuensi nafas, TD, MAP).
menurun 2.Monitor status oksigenasi ( oksimetri
2.Tingkat kesadaran nadi, AGD)
meningkat 3.Periksa timgkat kesadaran dan
respon pupil
Terapeutik
1.Pertahankan jalan nafas paten
2. Berikan oksigen untuk

23
mempertahankan saturasi
oksigen
3. Persiapkan intubasi dan fentilasi
mekanis ( jika perlu)
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian infus
cairan tristaloid 1-2 liter pada
dewasa
2. Kolaborasi pemberian infus
cairan tristaloid 20ml/kgbb liter
pada anak

24
3.. Ketidakefekti Setelah dilakukan Observasi
fan perfusi tindakan keperawatan 1. identifikasi penyebab perubahan
jaringan selama 1x8 jam sensasi
perifer Diharapkan 2. identifikasi penggunaan alat
1. Denyut nadi pengikat, prostesis, sepatu dan
perifer pakaian.
meningkat 3. Periksa perbedaan sensasi tajam
2. Kesadaran atau tumpul
meningkat Teraputik
1. Hindari pemakaian benda benda
yang berlebuhan suhunya
( terlalu panas atau dingin)
Edukasi
1. Anjurkan penggunaan
termometer untuk menguji suhu
air
2. anjurkan penggunaan sarung
tangan termal saat
Kolaborasi
1. kolaborasi pemberian
analgesik( jika perlu)
2. kolaborasi pemberian
kortokosterroid ( jika perlu)

25
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem musculoskeletal merupakan sistem yang terdiri dari
otot, tulang, tendon. ligament kartilago, facia dan brusae serta
persendian. Trauma merupakan keadaan ketika mengalami cedera
sehingga mengakibatkan trauma yang disebabkan sering terjadi
adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga, industri, dan pekerjaan
rumah tangga. Trauma musculoskeletal kondisi dimana seorang
mengalami cedera atau trauma pada system muskoloskeletal yang
mengakibatkan disfungsi di bagian struktur di sekitarnya dan pada
bagian yang dilindungi dan penyangganya.
Ketika terjadi trauma muskuloskeletal harus segera ditangani
karena jika tidak ditangani secara dini maka akan menyebabkan
kerusakan yang lebih parah. Imobilisasi, reduksi dan traksi untuk
fraktur merupakan penatalaksanaan untuk pasien fraktur. Imobilisasi
dini harus dilakukan untuk mencegah deformitas dan sebagai
penyangga tulang yang patah. Ketika dicurigai adanya fraktur
cervical, maka pasang neck collar untuk membatasi gerakkan leher
sehingga tidak memperburuk keadaan leher. Jika fraktur terbuka,
luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah
kontaminasi bakteri.

B. Saran
1. Untuk mahasiswa, agar melakukan tindakan sesuai dengan
prosedur dan mempersiapkan diri dengan baik sebelum
melakukan tindakan agar tidak terjadi kesalahan yang fatal.
2. Untuk tenaga kesehatan (perawat), ketika memberikan pelayanan
kesehatan pada pasien selalu mengutamakan keamanan. Baik
pada pasien itu sendiri maupun pada perawat, dengan selalu
menggunakan APD dan SOP yang benar.

26
DAFTAR PUSTAKA

Alsheihly, A. S. and Alsheikhly, M. S. (2018) Musculosceletal


Ijuri: Type and Management. Jakarta: Salemba Medika.
Burner dan Sudarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical-
Bedah. Jakarta; EGC.
Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskulokeletal.
Jakarta: Salemba Medika.
Herdman Heather T dan Shigemi Kamitsuru. 2015. Nanda
Internasional Defining The Knowledge Of Nursing Diagnosa
Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Edisi 10.
Jakarta: EGC.
Lumbantoruan, P., & Nazmudin. 2015. BTCLS dan Disaster
Management.Tanggerang Selatan: Medhatama Restyan.
M Black Joyce dan Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan
Medical Bedah Manajemen Klinis Untuk Hasil Yang
Diharapkan. Jakarta; CV Pentasada Media Edukasi.
Nuririf Huda Amin dan Hardi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-
Noc. Jilid 2.Jogjakarta; Medication Jogja.
Sheehy. (2018). Keperawatan Gawat Darurat Dan Berencana.
Singapura:Elsevier.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa
Keperawatan Indonesia Definisi Indikatator Diagnostik.
Edisi 1. Jakarta Selatan; Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Wijaya, Saferi Andra. (2019). Kegawaidaruratan Dasar.
Jakarta: CV. Trans Info Media.
Yanti Ruly Hutabarat dan Chandra syah Putra. 2016. Asuhan
Keperawatan Kegawatdaruratan. Bogor; IN MEDIA.

27

Anda mungkin juga menyukai