Anda di halaman 1dari 7

2.

4 Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Geriatrik


2.4.1 Epidemiologi Kegawatdaruratan Geriatrik
Jumlah penduduk lansia dari tahun ketahun semakin meningkat. Pada tahun
2020, WHO memperkirakan bahwa penduduk lansia di Indonesia pada tahun
2020 sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat 28,8 juta orang. Akibat
peningkatan jumlah lansia tersebut, gangguan kesehatan mereka juga meningkat
secara signifikan. Lansia termasuk ke dalam kelompok rentan dalam masyarakat
karena karakteristik lansia yang mengalami aging process dan adanya risiko
memiliki riwayat multipatologi. Selain dengan adanya perubahan demografis
yang mengkondisikan penuaan populasi, muncul “transisi epidemiologis” yang
mengubah profil penyakit umum, penyakit kronis tidak menular menjadi inti
perhatian (Erazo, 2018). Semua kondisi ini menghadirkan eksaserbasi dan
kekambuhan yang sering, membuat lansia memerlukan pengkajian berulang kali
dalam layanan gawat darurat. Sehingga kebutuhan akan perawatan gawat darurat
para lansia meningkat secara bertahap (Andrade et al., 2018)
Laporan peningkatan kasus kegawatdaruratan pada geriatrik terjadi di
berbagai negara. Penelitian terbaru menunjukkan peningkatan progresif dalam
kunjungan ke IGD lebih terlihat pada populasi lansia. Faktanya, beberapa
penelitian menyebutkan bahwa hingga 25% dari semua kunjungan ke IGD
berhubungan dengan pasien lanjut usia. Secara umum, mereka mewakili lebih dari
15% dari semua konsultasi dan hampir 50% dari semua penerimaan di unit
perawatan intensif (Erazo, 2018). Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control/ CDC) melaporkan bahwa
antara 1993 dan 2003, ada peningkatan dalam jumlah absolut kunjungan ke IGD,
dengan kelompok orang berusia di atas 65 tahun, dengan frekuensi kunjungan
tertinggi (meningkat 26%).
Peningkatan jumlah populasi lansia dikatakan akan menyebabkan hampir
39% dari kasus trauma pada tahun 2050 (Llompart-Pou et al., 2017). Trauma
merupakan penyebab utama kematian yang menepati urutan kelima pada pasien di
atas usia 65 tahun. Pada lansia sangat mudah mengalami fraktur tulang meskipun
hanya mengalami trauma ringan, kurang lebih 28 % pasien lansia meningal akibat
trauma. Risiko kematian akiat trauma juga sangat tinggi, di mana untuk setiap
kenaikan 1 tahun di usia lebih dari 65 tahun, kemungkinan meninggal setelah
trauma meningkat lebih dari 6% (McMahon DJ. at al, 2006 dalam ). Angka
kejadian komplikasi dirumah sakit pasien lansia dengan trauma adalah 33%
dibandingkan pasien yang dewasa sebesar 19 % (Knudson MM, at al, 2007 dalam
Qodir, 2015).
Penyebab trauma pada lansia yang paling sering terjadi adalah karena
kejadian jatuh. Laporan CDC menunjukkan bahwa selama periode 10 tahun
(1993–2003), tingkat kematian akibat jatuh pada geriatri meningkat 45,3% dan
59,5% untuk pria dan wanita. Tabrakan kendaraan bermotor dan cedera terkait
pejalan kaki yang melibatkan orang tua juga terus meningkat (Chu et al., 2007).
Penelitian yang menggunakan Indonesia Family Life Survey (IFLS-5) tahun 2014-
2015, menunjukkan hasil bahwa 12,8% lansia mengalami satu atau lebih cedera
akibat jatuh dalam dua tahun terakhir, 7,6% mengalami satu kali jatuh, dan 5,2%
mengalami beberapa cedera terkait jatuh dalam dua tahun terakhir (Pengpid &
Peltzer, 2018)

2.4.2 Penyebab Kegawatdaruratan Geriatrik


Kegawardaruratan pada lansia seringkali dihubungkan dengan fisiologi
proses penuaan. Aging process dapat didefinisikan sebagai perubahan normal
yang dapat diprediksi, dan ireversibel dari berbagai sistem organ selama
perjalanan waktu yang pada akhirnya mengarah pada kematian. Perubahan
fisiologis yang terjadi mengakibatkan hilangnya cadangan fungsional sistem
organ. Ketidaksimbangan kondisi pada lansia sering menyebabkan keadaan
seperti trauma.
Pada usila lanjut penyebab utamanya adalah karena jatuh (fall), lebih kurang
terjadi pada 40% usia. 10% dari jatuh tersebut terjadi cedera berat dan 50%
diantaranya terjadi fraktur. Dalam sebuah studi data pre-hospital pasien trauma
atas usia 70 tahun yang datang ke instalasi gawat daruarat, mayoritas trauma
adalah karena jatuh (60,7%), diikuti oleh kecelakaan kendaraan bermotor (21,5%).
Bagian tubuh yang paling sering mengalami trauma adalah kepala dan wajah
diikuti oleh ekstremitas. Alkohol dan obat-obatan lainnya sebenarnya dapat
mengakibatkan terhadap trauma pada lansia, terutama jatuh dan tabrakan
kendaraan bermotor (Aschkenasy & Rothenous, 2006 dalam Qodir, 2015).
Aging process juga berkontribusi sebagai salah satu penyebab dari jatuh.
Trauma berat akibat jatuh biasanya karena kombinasi dari perubahan-perubahan
yang terjadi pada proses menua. Misalnya turunnya daya propriosepsi dan
kelemahan otot yang sudah terjadi, dengan penyakit seperti parkinson, stroke dan
penglihatan kabur. Begitu juga efek obat-obatan seperti vasodilator, anti depresi.
Serta pengaruh lingkungan seperti cahaya kurang dan lantai licin. Berbagai faktor
risiko untuk jatuh secara signifikan meningkatkan resiko untuk jatuh berulang
(Aschkenasy & Rothenous, 2006 dalam Qodir, 2015).

2.4.3 Penanganan Kegawatdaruratan Geriatrik


Selama primary survey dan secondary survey ada beberapa hal khusus yang
harus dipertimbangkan pada pasien lanjut usia dengan trauma. Tenaga
kesehatan/perawat gawat darurat harus memperhatikan perubahan anatomi dan
fisiologi yang berhubungan dengan proses menua dan potensial komplikasi akibat
dari medikasi maupun alat-alat prosthetic. Obeservasi tanda-tanda vital adalah hal
yang sangat penting pada pasien lanjut usia dengan trauma. Mesikipun terdapat
tanda-tanda vital yang abnormal harus diklarifikasi kembali terutama tekanan
darah pasien sehingga tenaga kesehatan/perawat gawat darurat harus memastikan
apakah pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi.
Selama perjalanan menuju instalasi gawat darurat perawat harus terus
mengobservasi tanda-tanda vital dan perubahan kondisi pasien. Setelah pasien
sampai instalasi gawat darurat segera pasang Intravena, berikan oksigen dan
pasien ditempatkan pada kardiac monitor (Demaria EJ at al, dalam Callaway &
Wolfe, 2007).
1. Airway
Penatalaksanaan jalan napas pada pasien lansia dan pasien dewasa
dengan trauma pada prinsipnya adalah sama. Semua pasien trauma harus
dikaji jalan napasnya dan memastikan jalan napas tersebut paten. Akan
tetapi pada pasien lansia ada beberapa hal yang harus diperhatian terkait
dengan aging process. Setiap pasien lansia dengan trauma harus diberikan
oksigen tambahan. Segera memberikan alat bantu pernapasan seperti
nasopharyngeal tube dan oropharyngeal tube, akan sangat berguna pada
pasien trauma yang tidak sadar. Pasien lansia memiliki mukosa hidung yang
sudah rapuh sehingga ketika mengunakan nasopharyngeal tube dan gastric
decompression perawat harus mengobservasi perdaharan pada mukosa
pasien. Perdarahan akibat dari pemasangan nasopharyngeal tube akan sangat
sulit dikontrol dan juga mempersulit managemen jalan napas lebih lanjut.
Ventilasi dengan menggunakan bag-valve mask dapat mengalami
kesulitan oleh karena edentulous airway. Rongga mulut harus selalu
diperiksa apakah terdapat gigi yang goyang atau gigi palsu. Ketika
mengunakan bag valve mask gigi goyang dan gigi palsu tetap dibiarkan,
akan tetapi ketika intubasi gigi goyang dan palsu harus diambil (Callaway &
Wolfe, 2007 dalam Qodir, 2015). Intubasi endotrakeal harus segera
dipertimbangkan pada pasien yang memiliki tanda-tanda syok, trauma dada
signifikan, atau perubahan status mental. Pembebasan jalan napas pada
pasien lansia membutuhkan keahlihan khusus karena pada lansia terdapat
perubahan-perubahan seperti kehilangan kyphotic curve, spondylolysis,
arthritis, dan stenosis spinal canal menurunkan mobilitas cervical spine.
Sehingga pemasangan alat bantu pernapasan harus hati-hati agar tidak
terjadi komplikasi (Callaway & Wolfe, 2007 dalam Qodir, 2015)
2. Breathing
Pada lansia terjadi penurunan fungsi paru. Perubahan fungsi paru
dapat diklasifikasikan sebagai perubahan antomi yang meningkatkan
kerentanan terhadap trauma dan perubahan fisiologis yang mengurangi
respon protektif terhadap cedera. Osteoporis mengurangi ketahanan tulang
costae sehingga meningkatkan fraktur tulang costae, fraktur tulang sternum
bahkan energi yang rendah dapat menyebabkan fraktur pada tulang tersebut.
Melemahnya otot-otot pernapasan, penurunan dinding dada akan
mengurangi inspirasi maksimal dan kekukatan ekspirasi hingga 50 %
(Narang AT & Sikka R, 2006 dalam Qodir, 2015).
Lansia mengalami penurunan kapasitas vital paru, kapasitas residu
fungsional dan volume ekspirasi sehingga terjadi penurunan kemampuan
untuk mengkompensasi apabila terjadi trauma sehingga meningkatkan
angka kematian pada lansia dibandingkan dengan pasien yang lebih muda.
Peningkatan splinting menyebabkan hipoventilasi, atelektasis, dan
pneumonia. Akbibatnya, luka dada tampaknya kecil sering mengakibatkan
komplikasi dan morbiditas pasien. Fraktur costae dan flail chest
menyebakan angka mortalitalitas dan morbitas yang tinggi pada pasien
lansia dengan trauma. Luka tumpul pada dinding dada rentan terhadap patah
tulang sternal. Temuan dari pemeriksaan fisik seperti gerakan dinding dada
paradoks, nyeri dinding dada, krepitus, atau ecchymosis, harus segera
mendapatkan penanganan. Pada lansia terjadi penurunan respon terhadap
hipoksia, hipercarbia (penurunan respon terhadap hipoksia dan hiperkarbia
50% dan 40%, pada lansia), tanda dan gejala klinis asidosis tidak akan
tampak atau tertunda. Permerikasaan analisa gas darah sangat diperlukan
pada pasien lansia (Callaway & Wolfe, 2007 dalam Qodir, 2015).
3. Circulation
Pasien lanjut usia dengan trauma sangat retan terhadap shock.
Ketidakpekaan katekolamin, aterosklerosis, fibrosis miosit, dan kelainan
konduksi melemahkan respon chronotropik terhadap hipovolemia.
Umumnya pasien lansia membutuhkan obat seperti beta blockers dan
calcium channel blockers dapat menurunkan kejadian shock pada pasien
lansia. Hipertensi lebih sering pada pasien lanjut usia, dengan demikian
tekanan darah yang normal sebenarnya dapat menunjukkan hipovolemia
signifikan pada pasien lanjut usia. Resusitasi dengan cairan intravena atau
darah segera diberikan apabila kondisi pasien tidak stabil. Tindakan yang
harus segera dilakukan adalah mengidentifikasi dan mengendalikan
perdarahan yang mengancam nyawa. Perdarahan internal harus cepat
diidentifikasi pada pasien lanjut usia dengan trauma. Pada trauma tumpul
abdomen sering menyebabkan shock hemoragik. Indikasi pemerikasaan
dengan mengunakan Focused Assessment with Sonography for Trauma
(FAST) dan diagnostic peritoneal lavage (DPL) adalah sama pada semua
pasien. Pada kondisi pasien yang tidak stabil/ hemodinamik tidak stabil,
FAST memiliki sensitivitas 90% sampai 98% dan spesifisitas 99,7% untuk
mendeteksi hemoperitoneum (McGahan JP, Richards J, Fogata ML, 2004).
Pada pasien trauma dengan hemodinamik yang stabil, USG mungkin
kurang sensitivitas untuk mendeteksi jumlah kecil (kurang dari 400 ml)
cairan intraperitoneal. Pasien trauma dengan hipotensi dan positif FAST
membutuhkan tindakan laparotomi. Pada pasien trauma dengan hipotensi
dan menunjukan negatif FAST, pasien harus dievaluasi dengan DPL atau
pemerikasaan ulang dengan FAST (Blackbourne LH, 2004 dalam Qodir,
2015).
4. Disability dan Exposure
Pasien lansia sering mengalami gizi buruk, kehilangan massa otot,
perubahan mikrovaskuler, dan penurunan fungsi hipotalamus sehingga
meningkatkan risiko pasien lansia dengan trauma mengalami hipotermia.
Hipotermia akan meningkatkan angka kematian pada pasien trauma
pendarahan. Suhu rektal harus diperoleh pada pasien trauma mayor. Pasien
lansia dengan trauma perlu penanganan untuk menghangatkan tubuh pasien
dengan cara memberikan selimut hangat, udara yang hangat. Selain itu,
cairan intravena dan produk darah harus dihangatkan oleh standar protokol.
Di instalasi gawat darurat status hemodinamik pasien harus dikaji secara
mendalam. Pasien yang tidak stabil, perawat gawat darurat harus survei
sekunder cepat yang berfokus pada pemeriksaan neurologis.Pemerikasaan
tersebut meliputi GCS, respon pupil, dan pemeriksaan motorik kasar. GCS
memprediksi prognosis pasien dan dapat mempengaruhi pengobatan atau
keputusan disposisi (Wolfe, 2007 dalam Qodir, 2015).

Pada saat anamnesis kasus jatuh, perlu ditanyakan hal- hal sebagai berikut:
a. Aktivitas pasien pada saat kejadian
b. Apakah ada symptom prodromal: dizziness, nausea
c. Kesadaran menurun atau menghilang
d. Timbulnya nyeri dada dan berdebar karena serangan jantung
e. Rasa sesak
f. Riwayat pernah sakit dada
g. Stroke
h. Ateksia, parkinson dan artritis
i. Obat-obatan yang di minum
j. Pernah mengalami hipotensi ppstural
k. Tiba-tiba menjadi lemah
l. Lingkungan (cahaya, licin dan sebagainya)

Daftar pustaka

Andrade, L. A. S. de, Santos, S. de P., Corpolato, R. C., Willig, M. H., Mantovani, M.


de F., & Aguilera, A. L. (2018). Elderly care in the emergency department: an
integrative review. Revista Brasileira de Geriatria e Gerontologia, 21(2), 243–
253. https://doi.org/10.1590/1981-22562018021.170144

Chu, I., Vaca, F., Stratton, S., Chakravarthy, B., Hoonpongsimanont, W., & Lotfipour,
S. (2007). Geriatric trauma care: challenges facing emergency medical services.
The California Journal of Emergency Medicine, 8(2), 51–55.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20440401%0Ahttp://www.pubmedcentral.ni
h.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC2860422

Erazo, A. M. (2018). The Elderly in the Emergency Department. In Gerontology.


InTech. https://doi.org/10.5772/intechopen.75647

Llompart-Pou, J. A., Pérez-Bárcena, J., Chico-Fernández, M., Sánchez-Casado, M., &


Raurich, J. M. (2017). Severe trauma in the geriatric population. World Journal of
Critical Care Medicine, 6(2), 99. https://doi.org/10.5492/wjccm.v6.i2.99

Pengpid, S., & Peltzer, K. (2018). Prevalence and Risk Factors Associated with
Injurious Falls among Community-Dwelling Older Adults in Indonesia. Current
Gerontology and Geriatrics Research, 2018. https://doi.org/10.1155/2018/5964305

Qodir, A. (2015). Penatalaksanaan Pasien Lansia Dengan Trauma. Jurnal Ilmiah


Kesehatan Media Husada, 4(1), 67–74. https://doi.org/10.33475/jikmh.v4i1.168

Anda mungkin juga menyukai