Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS, ADVOKASI DAN PENDIDIKAN


KESEHATAN KLIEN DENGAN AKI DAN ARDS

Dosen Pembimbing :
Harmayetty, S.Kp.,M.Kes.

Disusun oleh
Kelompok 5
1. Riska Frastiwi Wahyu Dwitama 131711133018
2. Ro’ihatus Siha 131711133019
3. Merytania Pramudita 131711133022
4. Niken Rohdiyah 131711133037
5. Roudlotul Ilma 131711133042
6. Dyah Unggul Putri Habsari 131711133096
7. Taqiyatul Izzah 131711133152

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Kritis, Advokasi dan Pendidikan Kesehatan Klien dengan ARDS dan AKI”. Shalawat
serta salam tidak lupa penulis hanturkan kepada junjungan kita, Nabi semesta alam
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Harmayetty,
S.Kp.,M.Kes. selaku dosen mata kuliah Keperawatan Kritis yang telah memberikan
kepercayaan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas ini dan juga penulis berterimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran
demi perbaikan makalah yang akan penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi para
pembaca dan penulis khususnya.

Surabaya, 10 Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 AKI (Acute Kidney Injury) 3

2.1.1 Definisi 3

2.1.2 Epidemiologi 3

2.1.3 Etiologi 4

2.1.4 Klasifikasi 6

2.1.5 Manifestasi Klinis 7

2.1.6 Patofisiologi 7

2.2 AKI dengan ARDS 15

2.2 1 Komplikasi AKI dengan ARDS 15

2.2.2 WOC 21

2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium AKI-ARDS 23

2.2.4 Penatalaksanaan AKI-ARDS 28

2.3 Advokasi dan Edukasi pada Pasien AKI 30

BAB 4 PENUTUP 32

4.1 Kesimpulan 32

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 33

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Acute kidney injury (AKI) yang sebelumnya dikenal dengan acute renal failure (ARF)
merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir
menunjukkan peningkatan insidens. AKI merupakan penurunan fungsi filtrasi ginjal yang
terjadi secara cepat atau tiba-tiba dan berakibat parah pada ginjal. AKI ditandai dengan
peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi blood
urea nitrogen (BUN)). Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) yang dapat
diartikan sebagai penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal.
Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN
kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah
penurunan produksi urin, dimana jumlah urin mendadak berkurang di bawah 300 ml/m2
dalam sehari disertai gangguan fungsi ginjal lainnya. Sering dipergunakan istilah lain
untuk keadaan tersebut seperti nefrosis toksik akut atau nekrosis tubular akut. (Ngastiyah,
2005) .
Kejadian AKI juga telah meningkat selama periode waktu yang sama pada pasien
rawat inap dari 4,9% pada tahun 1983, menjadi 7,2% pada tahun 2002, dan meningkat

20% pada tahun 20123. Di negara-negara berkembang jarang dilaporkan insidens AKI,
hal ini karena tidak semua pasien dirujuk ke rumah sakit. Beberapa laporan dunia
menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,7 – 18% pada pasien yang dirawat di
rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU),
sedangkan angka kematian seluruh dunia berkisar 25% sampai dengan 80%.
Angka kejadian AKI di ruang ICU, sebesar 22% dengan variasi angka kejadian mulai
dari 9% sampai 30%. Variasi angka kejadian didapatkan tanpa memandang penyebab
atau faktor risiko AKI. AKI terjadi pada 67% pasien ICU berdasarkan kriteria RIFLE
(risk injury failure loss end stage), diketahui kelas R(risk) 12%, kelas I(injury) 27% dan

kelas F (failure) 28%5. Di Indonesia, pada penelitian retrospektif pasien yang dirawat di
ruang ICU RS Borromeus (Bandung) didapatkan 987 pasien dirawat di ICU dan 60
diantaranya (6,1%) mengalami AKI.
Perkembangan deteksi dini dan manajemen AKI telah meningkat. Peningkatan ini
berdasarkan pengembangan definisi AKI yang universal dan spektrum staging. Acute

1
kidney injury network (AKIN) mengajukan perubahan kriteria RIFLE pada tahun 2005.
metode yang dapat digunakan untuk menetapkan diagnosis AKI, misalnya produksi urine
dan pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis, blood urea nitrogen (BUN), dan
kreatinin. Namun pemeriksaan tersebut memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.
Dengan Adanya permasalahan Acute Kidney Injury (AKI), maka kelompok akan
membahas konsep dan asuhan keperawatan kritis, advokasi dan pendidikan kesehatan
klien dengan AKI.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, manifestasi, patofisiologi,
WOC, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, advokasi dan Pendidikan kesehatan
pada pasien dengan Acute Kidney Injury (AKI)?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan Acute Kidney Injury (AKI)?
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui dan memahami definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi,
manifestasi, patofisiologi, WOC, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
advokasi dan Pendidikan kesehatan pada pasien dengan Acute Kidney Injury
(AKI)
2. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan Acute
Kidney Injury (AKI)

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 AKI (Acute Kidney Injury)


2.1.1 Definisi
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung
reversible, diikuti kegagalan ginjal unuk mengekskresi sisa metabolisme
nitrogen dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
(KDIGO, 2012).
Menurut Critical Care Nursing Sixth Edition, AKI adalah penurunan
mendadak (dalam waktu 48 jam) fungsi ginjal yang didefinisikan sebagai :
 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26µmol/L dalam
waktu 48 jam
 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5x lipat dari nilai referensi, yang
diketahui / dianggap telah terjadi dalam 1 minggu
 Output urin < 0,5 ml/kg/hr untuk >6 jam berturut-turut.
2.1.2 Epidemiologi
Perkiraan insiden AKI adalah antara 2000 dan 3000 kasus per 1 juta
orang per tahun. Para peneliti memperkirakan bahwa AKI menyumbang 1%
dari penyakit akut di rumah sakit dan menambah lebih dari 7% di rawat inap,
terutama untuk orang yang berusia lebih tua dan mereka yang sebelumnya
sudah memiliki penyakit ginjal kronis. Pasien perawatan kritis dengan AKI
memiliki masa rawat inap yang lebih lama dan lebih banyak komplikasi.
Setelah AKI terjadi pada pasien kritis, risiko kematian meningkat. Tingkat
kematian berkisar antara 38% hingga 80% dengan laporan insiden dari AKI
sebanyak 1% hingga 31%. AKI dengan komplikasi berupa ALI menghasilkan
angka kematian 80% .
Dalam penelitian Hoste (2006) diketahui AKI terjadi pada 67 % pasien
yang di rawat di ruang intensif dengan maksimal RIFLE yaitu 12% kelas R,

3
27% kelas I dan 28% kelas F. Hospital mortality rate untuk pasien dengan
maksimal RIFLE kelas R, I dan F berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3%
dibandingkan dengan pasien tanpa AKI yaitu 5.5%.
Namun hasil penelitian Ostermann (2007) menunjukkan Hospital mortality
rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan 56.8% berturut-turut untuk
maksimal kelas RIFLE R, I, dan F.
\

2.1.3 Etiologi
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan
patogenesis AKI, yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal
tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2)
penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal
(AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran
kemih (AKI pascarenal,~5%).
Tabel klasifikasi penyebab AKI menurut (Sudhana, 2016):
No
Penyebab Kasus
.
1. Prarenal a) Hipovolemi a) Kehilangan cairan pada
ruang ketiga,
ekstravaskular
b) Kerusakan jaringan
(pankreatitis),
hipoalbuminemia,
obstruksi usus
c) Kehilangan darah
d) Kehilangan cairan ke luar
tubuh:
- melalui saluran cerna
(muntah, diare,
drainase)
- melalui saluran kemih
(diuretic, hipoadrenal,

4
diuresis osmotic),
- melalui kulit (luka
bakar)
a) Penyebab miokard
(infark, kardiomiopati)
b) Penyebab perikard
(tamponade)
b) Curah jantung rendah c) Penyebab vascular
pulmonal (emboli
pulmonal)
d) Aritmia
e) Penyebab katup jantung
Penurunan resistensi vascular
c) Perubahan resistensi perifer, seperti: sepsis,
vascular sindrom hepatorenal, obat
dalam dosis berlebihan.
2.
Glomerulonefritis, DIC,
a) Cedera glomerulus/ vaskulitis, hipertensi,
mikrovaskular toksemia kehamilan,
sindrome, uremik hemolitik

Iskemik akibat kondisi yang


Intrarenal terkait dengan gagal prarenal;
b) Nekrosis tubulus
akut toksin seperti obat- obatan,
logam berat; hemolisis,
rabdomiolisis (kerusakan otot)
Pielonefritis akut, toksi,
c) Nefritis interstisial ketidakseimbangan metabolik,
indiopatik
3. Pascarenal a.Obstruksi ureter a) batu, kanker, kompresi
eksterna
b) pembssesaran prostat,
batu, kanker, striktur,

5
bekuan darah

a) Kandung kemih
b. Obstruksi leher neurogenic
kandung kemih b) Hipertrofi prostat, batu,
keganasan, darah
Striktur, katup kongenital,
c.Obstruksi uretra
fimosis

Penelitian di ICU sebuah rumah sakit di Bandung selama tahun 2005-


2006, didapatkan penyebab AKI (dengan dialisis) terbanyak adalah sepsis
(42%), disusul dengan gagal jantung (28%), AKI pada penyakit ginjal kronik
(PGK) (8%), luka bakar dan gastroenteritis akut (masing masing 3%)
(Sudhana, 2016)
2.1.4 Klasifikasi
ADQI (acute dialysis quality initiative) mengeluarkan sistem
klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori
(berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria
UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan kategori
yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal seperti terlihat dalam tabel
2.1
Tabel 2.1 Klasifikasi RIFLE Gagal ginjal akut
Tingkat Disfungsi Kriteria GFR Kriteria Scr Kriteria UO
Ginjal
Risk Menurun ≥ 25% Meningkat 1,5 kali ≤ 0,5 ml/kg/jam, 6
nilai dasar jam
Injury Menurun ≥ 50% Meningkat 2 kali ≤ 0,5ml/kg/jam, 12
nilai dasar jam
Failure Menurun ≥ 75% Meningkat 3 atau 4 ≤ 0,3ml/kg/jam, 24
dari nilai dasar jam atau anuria 12
jam
Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama ≥ 4 minggu.
End-stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama ≥ 3 bulan
Keterangan :
GFR = Glomerulus filtrate rate
Scr = Serum Creatinin
UO = Urine output

6
2.1.5 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang muncul pada pasien GGA atau AKI, yaitu :
a. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah, diare,
pucat (anemia), dan hipertensi.
b. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
c. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang
menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
d. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
e. Tremor tangan.
f. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
g. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik)
h. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
i. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah,
berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
j. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju endap
darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal, serta
asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan glomerulus.
k. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih
menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung kongestif, edema
paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis, kejang-kejang dan
kesadaran menurun sampai koma.
2.1.6 Patofisiologi
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus
relatif konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut autoregulasi.
Dua mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah:
 Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen
 Timbal balik tubuloglomerular
Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama
disebabkan oleh hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi
penurunan tekanan darah, yang akan mengaktivasi baroreseptor
kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi sistim saraf simpatis, sistim

7
rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan vasopressin dan endothelin-I
(ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan
darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme
otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferent yansg dipengaruhi
oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta
vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II
dan ET-1. 4,9.
Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI),
yaitu :
1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)
2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)
3. Obstruksi renal akut (post renal)
Gambar Pre-renal,renal dan post renal :

Gambar 1. Etiologi AKI (Acute Kidney Injury)

1. Pra-Renal
Pre-renal Acute Kidney Injury terjadi ketika aliran darah menuju ginjal
berkurang, dihubungkan dengan penurunan volume intravaskular atau
penurunan volume sirkulasi efektif. Terjadinya penurunan volume
intravaskular dapat disebabkan karena kondisi seperti perdarahan,
dehidrasi, atau hilangnya cairan gastrointestinal. Sedangkan penurunan
volume sirkulasi efektif terjadi karena berkurangnya curah jantung
misalnya gagal jantung kongestif, infark miokard atau hipotensi yang

8
dapat mengurangi aliran darah ginjal dan mengakibatkan penurunan
perfusi glomerulus dan pre-renal acute kidney injury.
Penurunan aliran darah ginjal ringan sampai sedang mengakibatkan
tekanan intraglomerular yang disebabkan oleh pelebaran arteriola aferen
(arteri yang memasok darah ke glomerulus), penyempitan arteriola eferen
(arteri yang membawa darah dari glomerulus), dan redistribusi aliran darah
ginjal ke medula ginjal. Acute kidney injury juga dapat terjadi ketika
mekanisme adaptif terganggu dan hal tersebut sering disebabkan oleh
obat-obatan, antara lain: NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
yang merusak dilatasi mediator prostaglandin dari arteriola aferen. ACEI
(Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin
Receptor Blocker) yang menghambat angiotensin II dimediasi oleh
penyempitan arteriola eferen. Siklosporin dan takrolimus terutama dalam
dosis tinggi merupakan vasokonstriktor ginjal yang paten. Semua agen
tersebut dapat mengurangi tekanan intraglomerular dengan penurunan
GFR (Glomerular Filtration Rate) (Stamatakis, 2008).
Ketika perfusi ginjal terganggu, terjadi relaksasi arteriol aferen pada
tonus vaskular untuk menurunkan resistensi vaskular ginjal dan
memelihara aliran darah ginjal. Selama terjadi hipoperfusi ginjal,
pembentukan prostaglandin vasodilator intrarenal, termasuk prostasiklin,
memperantarai terjadinya vasodilatasi mikrovaskular ginjal untuk
memelihara perfusi ginjal. Pemberian inhibitor siklooksigenase seperti
aspirin atau obat anti inflamasi non steroid dapat menghambat terjadinya
mekanisme kompensasi dan mencetuskan insufisiensi ginjal akut.
Ketika tekanan perfusi ginjal rendah, dengan akibat terjadi stenosis
arteri renalis, tekanan intraglomerular berusaha untuk meningkatkan
kecepatan filtrasi, yang diperantarai oleh peningkatan pembentukan
angiotensin II intrarenal sehingga terjadi peningkatan resistensi eferen
arteriolar. Pemberian inhibitor angiotensin-converting enzyme pada
kondisi ini dapat menghilangkan tekanan gradien yang dibutuhkan untuk
meningkatkan filtrasi dan mencetuskan terjadinya acute kidney injury.
2. Intra-Renal

9
Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa
penyakit parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus
penyebab gagal ginjal akut inta renal, yaitu :
1. Pembuluh darah besar ginjal
2. Glomerulus ginjal
3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut
4. Interstitial ginjal
Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular
akut disebabkan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal
renal terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular
akut. Dimana pada NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada
kelainan vaskuler terjadi:
 Peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang
menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi
vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
 Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan
sel endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II
dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric
oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.
 Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan
interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari
intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel,
sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil.
Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen.
Kesuluruhan proses di atas secara bersama-sama menyebabkan
vasokonstriksi intrarenal yang kan menyebabkan penurunan GFR.
Salah satu Penyebab tersering AKI intrinsik lainnya adalah sepsis,
iskemik dan nefrotoksik baik endogenous dan eksogenous dengan dasar
patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis dan perubahan perfusi
regional yang dapat menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA). Penyebab
lain yang lebih jarang ditemui dan bisa dikonsep secara anatomi
tergantung bagian major dari kerusakan parenkim renal: glomerulus,
tubulointerstitium, dan pembuluh darah.

10
1. Sepsis-associated AKI
Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di Negara
berkembang. Penurunan LFG pada sepsis dapat terjadi pada keadaan
tidak terjadi hipotensi, walaupun kebanyakan kasus sepsis yang berat
terjadi kolaps hemodinamik yang memerlukan vasopressor. Sementara
itu, diketahui tubular injury berhubungan secara jelas dengan AKI pada
sepsis dengan manifestasi adanya debris tubular dan cast pada urin.
Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena
terjadi vasodilatasi arterial yang tergeneralisir akibat peningkatan
regulasi sitokin yang memicu sintesis NO pada pembuluh darah. Jadi
terjadi vasodilatasi arteriol eferen yang banyak pada sepsis awal atau
vasokontriksi renal pada sepsis yang berlanjut akibat aktivasi sistem
nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-aldosteron, vasopressin dan
endothelin. Sepsis bisa memicu kerusakan endothelial yang
menghasilkan thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen
spesies serta adesi dan migrasi leukosit yang dapat merusak sel tubular
renal.

2. Hypoxic/ishemic acute kidney injury


Pada hypoxic/ischemic GnGA ditandai oleh vasokonstriksi lebih
awal diikuti oleh patchy tubular necrosis. Penelitian terkini menduga
bahwa vaskularisasi ginjal berperan penting pada acute injury dan
chronic injury, dan sel endotel telah diidentifikasi sebagai target dari
kelainan ini. Aliran darah kapiler peritubular telah diketahui abnormal
selama reperfusi, dan juga terdapat kehilangan fungsisel endotel
normal yang dihubungkan dengan gangguan morfologi perikapiler
peritubular dan fungsinya.
Mekanisme dari kerusakan sel pada Hypoxic/ishemic acute kidney
injury tidak diketahui, tetapi pengaruh terhadap endotel atau pengaruh
nitrit oksida pada tonus vaskular, penurunan ATP dan pengaruh pada
sitoskeleton, mengubah heat shock protein, mencetuskan respon
inflamasi dan membentuk oksigen reaktif serta molekul nitrogen yang
masing-masing berperan dalam terjadinya kerusakan sel.

11
Nitrit oksida merupakan vasodilator yang diproduksi dari
endothelial nitric oxide synthase (eNOS), dan nitrit oksida membantu
mengatur tonus vaskular dan aliran darah ke ginjal. Penelitian terkini
menduga bahwa kehilangan fungsi normal eNOS mengikuti kejadian
ischemic/hypoxic injury yang mencetuskan vasokonstriksi.
Berlawanan dengan hal tersebut, peningkatan aktifitas inducible nitric
oxide synthase (iNOS) bersamaan dengan kejadian hypoxic/ischemic
injury, dan iNOS membantu terjadinya pembentukan oksigen reaktif
dan molekul nitrogen. Inducible nitric oxide synthase, bersamaan
pembentukan metabolit toksik nitrit oksida termasuk peroxynitrate,
telah diketahui sebagai perantara tubular injury pada hewan percobaan
dengan acute kidney injury.
Sebagai respon awal dari hypoxic/ishemic GnGA adalah
pengurangan ATP yang dikaitkan dengan jumlah dari bahan biokimia
yang merusak dan adanya respon fisiologi, termasuk gangguan dari
sitoskeleton dengan hilangnya apical brush border dan hilangnya
polaritas dengan Na+K +ATPase berlokasi pada daerah apikal
berdekatan dengan membran basal. Molekul oksigen reaktif juga
terlibat selama reperfusi dan berperan terhadap kerusakan jaringan.
Pada saat sel tubular dan sel endotel mengalami kerusakan oleh
molekul oksigen reaktif, diketahui bahwa sel endotel lebih sensitif
terhadap oxidant injury dibandingkan dengan sel epitel tubular. Pada
penelitian sebelumnya diketahui pentingnya peran dari heat shock
protein dalam mengubah respon ginjal terhadap ischemic injury yang
berperan meningkatkan penyembuhan dari sitoskeleton selama
terjadinya GnGA.
3. Nephrotoxic acute kidney injury
Obat-obatan yang dihubungkan dengan kejadian acute kidney
injury, saat ini dihubungkan dengan toxic tubular injury, termasuk
antibiotik golongan aminoglikosida,media kontras
intravaskular,amfoterisin B, obat kemoterapi seperti ifosfamid dan
cisplatin, asiklovir, dan asetaminofen. Nefrotoksisitas karena
amoniglikosida ditandai dengan non oliguria GnGA, dengan urinalisis
menunjukkan abnormalitas urin minimal. Insidensi dari nefrotoksisitas

12
karena aminoglikosa dihubungkan dengan dosis dan lama penggunaan
dari antibiotik serta fungsi ginjal yang menurun berhubungan dengan
lama penggunaan aminoglikosa. Etiologi kejadian tersebut
dihubungkan dengan disfungsi lisosom dari tubulus proksimal dan
perbaikan fungsi ginjal akan tercapai jika pemakaian antibiotik
dihentikan. Namun, setelah penghentian pemakaian antibiotik
aminoglikosida, kreatinin serum dapat meningkat dalam beberapa hari,
hal ini dihubungkan dengan berlanjutnya kerusakan tubular dengan
kadar aminoglikosida yang tinggi pada prenkim ginjal. Cisplatin,
ifosfamid, asiklovir, amfoterisin B, dan asetaminofen juga bersifat
nefrotoksik dan mencetuskan terjadinya acute kidney injury.
Hemolisis dan rabdomiolisis oleh karena beberapa penyebab dapat
menghasilkan hemoglobinuria atau yang mencetuskan terjadinya
kerusakan tubular dan acute kidney injury
4. Rapidly progressive glomerulonephritis
Berbagai bentuk dari glomerulonefritis pada bentuk kasus yang
berat dapat mencetuskan terjadinya GnGA dan RPGN. Gambaran
klinis termasuk hipertensi, edema, gross hematuria, dan peningkatan
yang cepat dari nilai blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin. Rapid
progressive glomerulonephritis dihubungkan dengan post infeksi
glomerulonefritis,seperti antineutrophil cytoplasmic antibody
(ANCA)-positive glomerulonephritis, goodpasture’s syndrome, dan
idiopathic RPGN, dapat mencetuskan terjadinya GnGA dan dapat
berubah menjadi chronic kidney disease dengan atau tanpa terapi.
Pemeriksaan serologi termasuk antinuclear antibody (ANA), titer anti
glomerular basement mambrane (GBM), dan komplemen dapat
digunakan untuk menilai etiologi dari RPGN. Karena terapi
berdasarkan dari gambaran patologi, biopsi harus dilakukan cepat
ketika anak dengan gejala curiga RPGN adesi dan migrasi leukosit
yang dapat merusak sel tubular renal.

Rumus Cockroft-Gault untuk mengitung GFR (Gromerular Filtration


Rate), (National Kidney Foundation, 2010) :

13
( 140−umur ) xBB
Laki laki =
72 x Scr
( 140−umur ) xBB
Perempuan = x (0,85)
72 x Scr
Nilai (Gromerular Filtration Rate) adalah 90-120ml/menit. Perhitungan
GFR (Gromerular Filtration Rate) di klasifikasikan sebabai beikut
Tabel klasifikasi nilai GFR (Gromerular Filtration Rate).
No Nilai Tahap Deskripsi
1 >90 Stadium I pasien masih memiliki fungsi ginjal
normal, tetapi berada pada stadium
dengan risiko meningkat ditandai
kerusakan ginjal atau proteinuria, fungsi
ginjal masih normal
2 60-89 Stadium II ditandai dengan fungsi ginjal mengalami
penurunan ringan
3 30-59 Stadium III ditandai fungsi ginjal mengalami
penurunan sedang
4 15-29 Stadium IV ginjal mengalami penurunan sedang
5 <15 Stadium V pasien dinyatakan gagal ginjal terminal
(Jurnal Ners Vol. 9 No. 1 April 2014: 43–48)

3. Post-Renal
Gagal Ginjal Akut Post Renal, GGA post-renal merupakan 10% dari
keseluruhan GGA.
Tabel 2.2 Penyebab gagal ginjal Postrenal :
Obstruksi Tubular  Ginjal polikistik
 Kristal asam urat
Obstruksi Ureter  Tumor
 Fibrosis
 Striktur
Obstruksi kandung  Hipertrofi prostat
kemih  Tumor
 batu
 Kalkulus darah
 Penyebab neurogenic
 Obat antikolinergik

14
Obstruksi uretra  Batu
 Striktur
 Stenosis
 Obstruksi kateter

Jika disfungsi ginjal berhubungan dengan penyumbatan struktur aliran


ginjal setelah nefron, gagal ginjal disebut gagal ginjal postrenal . GGA post-
renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi
intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan
protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada
pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan
ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada
kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra
(striktura).
GGA postrenal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli-buli
dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal
satunya tidak berfungsi.
Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan
aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini
disebabkan oleh prostaglandin-E2.
Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal
dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. Tekanan pelvis
ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai menetap.
Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin
menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa
minggu. Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan
setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi
pengeluaran mediator inflamasi dan faktor - faktor pertumbuhan yang
menyebabkan fibrosis interstisial ginjal.
2.2 AKI dengan ARDS
2.2.1 Komplikasi AKI dengan ARDS
Perjalanan Acute Kidney Injury menjadi Acute Respiratory Distress
Syndrom. Perjalanan dan Manifestasi Perjalanan gagal ginjal akut akibat ATN
biasanya terdiri atas tiga fase: inisiasi, rumatan, dan pemulihan.

15
1) Fase Inisiasi
Fase inisiasi dapat berlangsung selama beberapa jam hingga hari. Fase ini
dimulai dengan kejadian awal (mis. hemoragi) dan berakhir saat terjadi cedera
tubulus. Jika GGA dikenali dan kejadian awal ditangani secara efektif selama fase
ini, maka prognosisnya baik. Fase inisiasi GGA mempunyai beberapa gejala
bahkan seringkali dapat didentifikasi hanya bila manifestasi fase rumatan terjadi.
2) Fase Rumatan
Fase rumatan GGA ditandai dengan penurunan signifikan GFR dan
nekrosis tubular. Oliguria dapat terjadi meskipun banyak pasien terus
menghasilkan jumlah urine normal atau hampir normal (GGA nonoliguria).
Meskipun urine dapat diproduksi, ginjal tidak dapat secara efisien membuang sisa
metabolik air, elektrolit, dan asam dari tubuh selama fase rumatan GGA.
Azotemia, retensi cairan, ketidakseimbangan elektrolit, dan asidosis metabolik
terjadi. Abnormalitas ini lebih
berat pada pasien oliguria dibanding pasien nonoliguria, yang
menyebabkan prognosis buruk dengan oliguria.
Selama fase rumatan, retensi garam dan air menyebabkan edema,
meningkatkan risiko gagal jantung dan edema paru. Pada edema paru terjadi
peradangan yang menyebabkan kerusakan dinding kapiler dan dinding alveolar
menjadi lebih permeable, memungkinkan plasma, protein, dan eritrosit masuk ke
interstitial. Karena edema interstisial meningkat, tekanan pada ruang interstisial
meningkat dan cairan bocor ke alveoli. Protein plasma berakumulasi pada ruang
interstisial menurunkan gradient osmotik antara kapiler dan kompartemen
interstisial. Sebagai akibatnya, keseimbangan terganggu antara tekanan osmotik
yang menarik cairan dari ruang interstisial ke dalam kapiler dan tekanan
hidrostatik normal yang mendorong cairan keluar kapiler. Ketidakseimbangan ini
menyebabkan lebih banyak cairan masuk alveoli.
Cairan kaya protein berakumulasi dalam alveoli, menginaktivasi surfaktan
dan merusak sel alveolar tipe II yang menghasilkan surfaktan. Surfaktan penting
dalam mempertahankan komplians alveolar-kemampuan jaringan untuk atau
distensi. Jika surfaktan aktif hilang, alveoli akan kaku dan kolaps, menyebabkan
atelektasis, yang meningkatkan usaha napas. Penurunan komplians alveolar,
atelektasis, dan alveoli terisi cairan mengganggu pertukaran gas melintasi
membrane kapiler alveolar. Akan tetapi, karena karbon dioksida berdifusi lebih

16
siap daripada oksigen, karbon dioksida darah (PACO2) juga turun pada awalnya
karena takipnea menyebabkan lebilh banyak CO2 yang diekspirasikan.
Fibrin dan sel debris dari kombinasi sel nekrotik untuk membentuk
membran hialin, yang melapisi interior alveoli dan lebih lanjut mengurangi
komplians alveolar dan pertukaran gas. Karena CO2 tidak dapat berdifusi
melintasi membran hialin, kadar PACO2 saat ini mulai meningkat ketika kadar
PaO2 terus menurun. Tanpa bantuan pernapasan, gagal napas dapat terjadi.
Meskipun dengan terapi agresif, hampir 50% klien yang mengalami ARDS
meninggal.

3) Fase Pemulihan
Fase pemulihan GGA ditandai dengan proses perbaikan dan regenerasi sel tubulus
serta GFR kembali ke tingkat normal.

Gambar 2. Alveolus normal dan Alveolus pada fase awal ARDS

Selain itu AKI berhubungan dengan kejadian ARDS juga disebabkan


adanya sindrom uremia, yaitu suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi
pada semua organ akibat penurunan fungsi ginjal, dimana terjadi retensi sisa
pembuangan metabolisme protein, yang di tandai oleh homeostasis cairan yang
abnormal dan elektrolit dengan kekacauan metabolik dan endokrin. Meningkatnya
urea dalam darah dapat menandakan adanya masalah pada ginjal. Peningkatan
nitrogen urea darah (BUN) dapat di sebabkan oleh prerenal (dekompensasi jantung,
dehidrasi yang berlebihan, peningkatan katabolisme protein dan diet tinggi protein),
penyebab renal (glomeruloneFritis akut, nefritis kronis, penyakit ginjal polikistik,

17
dan nekrosis tubular) dan penyebab postrenal (semua jenis obstruksi pada saluran
kemih, seperti batu ginjal, kelenjar prostat yang membesar dan tumor).
Sindrom uremia, yang di bagi dalam beberapa bentuk yaitu:
1) Pengaturan fungsi regulasi dan eksresi yang buruk, seperti keseimbangan
volume cairan dan elektrolit, keseimbangan asam basa, retensi nitrogen dan
metabolisem lain, serta gangguan hormonal
2) Abnormalitas sistem tubuh (sistem gastrointenstinal, hematologi, pernafasan,
kardiologi, kulit dan neuromuscular)
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H
bebas dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan
darah vena 7,35. Jika pH <7,35 dikatakan asidosi, dan jika pH darah >7,45
dikatakan alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh.
Ion H secara normal dan kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber,
yaitu:
1. Pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H
dan bikarbonat.
2. Katabolisme zat organik
3. Disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada
metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini
akan berdisosiasi melepaskan ion H.
Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal
sel, antara lain:
1. Perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan
saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
2. Mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh
3. Mempengaruhi konsentrasi ion K
Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha
mempertahankan ion H seperti nilai semula dengan cara:
1. Mengaktifkan sistem dapar kimia
2. Mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan
3. Mekasnisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan
Ada 4 sistem dapar:

18
1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk
perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat
2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel
3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk perubahan
asam karbonat
4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan intrasel.
Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa
sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan,
maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara cepat
terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akibat rangsangan pada kemoreseptor
dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal
menghilangkan ketidakseimbangan tersebut.

Gambar 3. Kurva Disosiasi Hemoglobin-Oksigen


Kurva disosiasai oksigen adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara
saturasi oksigen atau kejenuhan hemoglobin terhadap oksigen dengan tekanan parsial
oksigen pada ekuilibrium yaitu pada keadaan suhu 37oC, pH 7.40 dan Pco2 40 mmHg.

1 Kurva oksihemoglobin tergeser kekanan apbila pH darah menurun atau PC02


meningkat. Dalam keadaan ini pada P02 tertantu afinitas hemoglobin terhadap

19
oksigen berkurang sehingga oksigen dapat ditranspor oleh darah berkurang.
Pergaseran kurva sedikit kekanan akan membantu pelepasan oksigen kejaringan-
jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama Efek bohr.
2 Sebaliknya, penigkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan PCO2, suhu, dan 2,3-
DPG akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksihomoglobin kekiri.
Pergeseran kekiri menyebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
Akibatnya uptake oksigen dalam paru-paru meningkat apabila terjadi pergaseran
kekiri, tetapi pelepasan oksigen ke jaringan-jaringan terganggu.

Gambar 4. Patofisiologi AKI-ARDS

2.2.2 WOC AKI-ARDS

20
2.2.2 WOC Acute Kidney Injury

Pre Renal Renal Post Renal


1. Kehilangan volume cairan tubuh 1. Nekrosis Tubular Akut 1. Obstruksi ureter bilateral atau
2. Penurunan volume efektif 2. Nefritis interstitial akut unilateral ekstrinsik
pembuluh darah 3. Glomerulonefritis akut
3. Redistribusi cairan 4. Oklusi mikrokapiler/glomerular 2. Obstruksi kandung kemih atau
5. Nekrosis kortikal akut uretra
4. Obstruksi renovaskuler

Iskemia Nefrotoksin

Pre renal : penurunan Renal : kerusakan sel Post renal : kerusakan


aliran darah ginjal tubulus glomerulus

Peningkatan Obstruksi tubulus Kebocoran filtrat Penurunan ultrafiltrasi


pelepasan NaCl ke glomerulus
makula densa

Penurunan GFR

21
Acute Kidney Injury

↓ urine output Terjadi kerusakan pada


↑ konsentrasi serum yang
tubule untuk
dieksresikan ginjal
mengkonsentrasikan urin

Retensi cairan pH↓


Urea,kreatinin, dan Kation intraseluler interstitial ↑
asam urat (kalium dan
magnesium)
↑ pengeluaran jumlah
urin secara bertahap

Mengalir Edema paru Asidosis metabolik


bersama aliran
darah
Hiperkalemi Hipermagnese
mi hipovolemi

MK :Pola nafas
Aliran darah tidak efektif
sampai ke
otak, sehingga Hiperparatiroid
dapat
menembus MK : Kekurangan
sawar otak volume cairan
Osteodistrofi
ginjal

Kejang

MK : Risiko 22
Cedera
2.2.3 Pemeriksaan Laboratorium AKI-ARDS
Pemeriksaan penunjang dan laboratorium pada pasien AKI dilakukan
untuk dapat untuk mengetahui klasifikasi kejaidan AKI, pre-renal, renal dan
post-renal. Selain itu peeriksaan penunjang ini juga dibutuhkan salam
menegakkan diagnosis gagal ginjal akut. Pemeriksaan penunjang yang
dilaukan untuk pasien dengan kasus AKI antara lain:
1) Pemeriksaan urin residu pasca-berkemih. Jika volume urin residu kurang
dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak
menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab
AKI adalah pascarenal.
2) Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI,
dan angiografi ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. USG ginijal untuk
menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya obstruksi, tekstur parenkim
ginjal yang abnormal. CT scan abdomen untuk mengetahui struktur
abnormal dari ginjal dan traktus urinarius.
3) Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab
renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah
berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada
dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti
glome-rulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.

Sementara itu, berikut ini adalah hasil dari pemeriksaan laboratoriu


pada pasien AKI:

Analisis Laboratorium pada AKI

ASSESSMENT PRERENAL INTRARENAL POSTRENAL


Vōlume Urin Normal Oliguria/non oliguria Anuria
Berat Jenis Urin >1.020 1.010 1.000-1.010
Osmolalitas Urin >350 <300 300-400
(Mosm/Kg)
Kadar Natrium <20 >30 20-40
Urin (Meq/L)
Fraksi Ekskresi Na <1% >2-3% 1%-3%
(%)
BUN 20:1 Ischmic : 20:1 10:1

23
Toxic : 10:1
Mikroskopi Urin Normal ATN: gips granular Normal
(Sedimen) gelap, gips hialin, sel
epitel ginjal

Normal Serum elektrolit

ELEKTROLIT NORMAL
Sodium 135-14 mEq/L
Potassium 3.5-4.5 mEq/L
Chloride 98-108 mEq/L
Calcium 8.5-10.5 mEq/L or 4.5-5.8 mEq/L
Phosphorus 2.7-4.5 mEq/L
Magnesium 1.5-2.5 mEq/L
Bikarbonat 24-28 mEq/L

ELEKTROLIT SERUM PADA AKI


Gangguan Elektrolit Nilai Serum Temuan Klinis
POTASSIUM
Hipokalemia <3.5 mEq/L 1. Kelemahan otot
2. Irama jantung
irreguler pada EKG
3. Distensi perut dan
perut kembung
4. Paresthesia
5. Refleks menurun
6. Anoreksia
7. Pusing, kebingungan
8. Peningkatan
sensitivitas terhadap
digitalis
Hyperkalemia >4.5 mEq/L 1. Mudah marah dan
gelisah
2. Kecemasan
3. Mual dan muntah
4. Kram perut
5. Kelemahan
6. Mati rasa dan
kesemutan (ujung jari
dan sirkular)
SODIUM
Hiponatremi <135 mEq/L 1. Disorientasi

24
2. Otot berkedut
3. Mual, muntah, dan
kram perut
4. Sakit kepala, demam
5. Kejang, hipotensi
postural
6. Akral dingin, kulit
lembab
7. Penurunan turgor
kulit
8. Takikardi
9. Oliguria
Hipernatremi >145 mEq/L 1. Dehidrasi berat
2. Membran mukosa
yang lengket
3. Perubahan mentasi
4. Kejang (fase lanjut)

KALSIUM
Hipokalsemia <8,5 mg/dL atau <4,5 1. Irritability
mEq/L 2. Kram otot, tetanus
otot
3. Penurunan cardiac
output (penurunan
kontraksi
4. Perdarahan
(penurunan
kemampuan
koagulasi)
5. Perubahan ECG
6. Chvostek positif,
tanda-tanda trousseau
Hiperkalsemia >10,5 mg/dL atau >5,8 1. Nyeri tulang hebat
mEq/L 2. Haus yang berlebihan
3. Anoreksia
4. Letargi, kelemahan
otot
MAGNESIUM
Hipomagnesemia <1,4 mEq/L 1. Aktivitas otot koroid
atau athetoid
2. Tics wajah,
kelenturan
3. Disritmia
Hipermagnesemia >2,5 mEq/L 1. Depresi CNS
2. Depresi respiratory
3. Letargi
4. Koma
5. Bradikardi
6. Perubahan nilai ECG
FOSFAT

25
Hipofosfatemia <3,0 mg/dL 1. Anemia hemolitik
2. Penekanan fungsi sel
darah putih
3. Perdarahan
(penurunan agregasi
platelet)
4. Mual, muntah
5. Anoreksia
Hiperfosfatemia >4,5 mg/dL 1. Takikardi
2. Mual, diare, kram
perut
3. Kelemahan otot,
flaccid paralysis
4. Peningkatan refleks
KLORID
Hipokloremia <98 mEq/L 1. Hyperirritability
2. Tetanus
3. Pernafasan lambat
Hiperkloremia >108 mEq/L 1. Kelemahan, letargi
2. Nafas dalam dan
cepat
3. Kemungkinan
ketidaksadaran (fase
lanjut)
ALBUMIN
Hipalbumin <3,8 g/dL 1. Pengecilan otot
2. Edema Perifer
3. Penurunan system
imun
4. Proses penyembuhan
luka yang jelek

2.2.4 Penatalaksanaan AKI-ARDS


Penatalaksanaana Pada pasien dengan Acute Kidney Injury selain
dibutuhkan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut juga dibutuhkan
penatalaksanaan yang tepat. Penatalaksanaan untuk pasien AKI antara lain
1. Keseimbangan Elektrolit dan Resusitasi Cairan
Penyebab terjadinya gagal ginjal adalah adanya hipoperfusi atau
penurunan aliran darah ke ginjal yang seringkali dikaitkan dengan adanya
trauma, perdarahan, hipotensi, dan kehilangan cairan hebat. Penatalaksanaan
pemberian cairan secara intravena, dilakukan apabila pemberian cairan secara
oral tidak dapat dilakukan. Penggantian cairan ini bertujuan untuk
meminimalisir terjadinya kerusakan tubulus ginjal sekaligus sebagai usaha
untuk menyeimbangkan kadar elektrolit dalam darah.

26
Pada pasien dewasa kebutuhan cairan yaitu sekitar 1500 mL/m 2/hari,
adanya demam, luka bakar, dan trauma secara signifikan meningkatkan
kebutuhan penggantian cairan. Berikut ini adalah beberapa jenis cairan yang
digunakan dalam penatalaksanaan resusitasi cairan pasien AKI.
No
Jenis Cairan Elektrolit Indikasi
.
1. Kristaloid
Dextrose (D5W) isotonis Tidak ada Maintainn volume
Replace mild loss
Provide minimal calories
Normal Saline (0,9% Natrium 154 mEq/L Maintainn volume
NaCl) Klorida 154 mEq/L Replace mild loss
Osmolalitas 308 mEq/L Correct mild hyponatremia
NaCl (0,45%) Natrium 77 mEq/L Free water replacement
Klorida 77 mEq/L Correct mild hyponatremia
Free water and electrolyte
replacement (fluid and
electrolyte restricted conditions)
Ringer Laktat Natrium 130 mEq/L Fluid and electrolyte
Potassium 4 mEq/L replacement (contraindicated for
Kalsium 2,7 mEq/L patients with kidney or liver
Klorida 107 mEq/L disease or in lactic acidosis)
Laktat 27 mEq/L
pH 6,5
2. Koloid
Albumin 5% (Albumisol) Albumin 6,5 g/L Volume expansion
Natrium 130-160 Moderate prtein replacement
mEq/L Achievment of hemodynamic
Potassium 1 mEq/L stability in shock states
Osmolalitas 300
mOsm/L
Tekanan Osmotik 20
mmHg
pH 6,4 s/d 7,4
Albumin 25% (rendah Albumin 240 g/L Concentrated form of albumin
garam) Globulin 10 g/L sometimes used with diuretics

27
Natrium 130-160 for move fluid from tisues into
mEq/L the vascular space for diuresis
Osmolalitas 1500
mOsm/L
pH 6,4 s/d 7,4
Hetastarch Natrium 154 mEq/L Synthetic Polimer 96% solution)
Klorida 154 mEq/L used for volume expansion
Osmolalitas 310 Hemodynamic volume
mOsm/L replacement after cardiac surger,
Tekanan Osmotik burn, sepsis
koloid 30-35 mmHg
LMWD Molekul glukosa Volume expansion and support
(polisakarida) dengan (contraindicated for patients with
berat molekul rata-rata bleeding disorders)
40000, tanpa elektrolit
HMWD Molekul glukosa Used Prophylactically in some
(polisakarida) dengan cases to prevent platelet
berat molekul rata-rata ggreation; available in saline and
70000, tanpa elektrolit glucose solutions
Sumber: Critical Care Nursing Diagnosis and Management. 6th Edition. (Linda D. Urden,
et al., 2010)

2. Manajemen Farmakologis
Manajemen farmakologis bagi pasien AKI diberikan untuk
No Jenis Obat Dosis Actions Special Consideration
Diuretics
1. Loop-Diuretics
Furosemide 20-80 mg/day (Lasix) Acts on loop of henle - Ototoxicity if
Bumeanide 0.5-2mg/day(Bumex) to inhibit sodium administred too
and chloride rapidly or with other
ototoxic drugs
- Monitor intake and
output, hydration;
watch for hypotension
2. Thiazide Diuretics
Chlorotiazide 500 mg – 1 g/day Inhibit sodium, - Enhanced with low

28
(Diuril) chloride resorption sodium diet
in distal tubule - Synergistic effect
with loop diuretics
3. Potassium-sparing Diuretics
Aldactone 100 mg/day for 5 Exert effects on - Weak diuretic effect,
days collecting tubule; so given with other
reduce potassium, diuretics
hydrogen and - Potassium
increase sodium supplements not
required; monitor for
hyperkalemia
- Used as an
aldosterone blocker to
treat heart failure
4. Osmotic Diuretics
Mannitol 0.25-1.0 g/kg (IV Increase urinr output - Often used in head
infusion) asa 15%- because higher injury to decrese
20% solution over plasma osmolality, cerebral eddema
20-90 min increase flow of - Can be used to
water from tissues promote urinary
causing increased secretion of toxic
GFR subtsnces
Increase serum - At low temperatures
sodium, potassium mannitol can may
levels cristallize, use in-line
5-micron IV filter
with > 15 %
(>15g/100mL)
solution
Sumber: Critical Care Nursing Diagnosis and Management. 6th Edition. (Linda D. Urden,
et al., 2010)
2.3 Advokasi dan Edukasi pada Pasien AKI
Tugas perawat dalam advokasi pasien Nelson (dalam Blais, 2002)
menjelaskan tujuan utama dari advokat pasien adalah melindungi hak-hak
pasien. Peran advokat pasien memiliki tiga komponen utama, yaitu sebagai

29
pelindung, mediator, dan pelaku tindakan atas nama pasien. Dari ketiga
komponen utama peran perawat sebagai advokat, maka dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Sebagai pelindung, peran yang dilakukan perawat memiliki tujuan utama
yaitu untuk membantu pasien dalam membuat keputusan. Peran perawat
dalam hal ini ditekankan untuk menyerahkan segala keputusan tentang
perawatan yang akan dijalankan oleh pasien kepada pasien itu sendiri,
sesuai dengan nilai-nilai yang dianut pasien. Tindakan perawat yang
termasuk di dalamnya yaitu perawat memberikan alternatif pilihan
kepada pasien saat akan mengambil keputusan tentang terapi yang akan
diambil, menyediakan format persetujuan tindakan penjelasan atas
pemulangan dini pasien dari perawatan, serta memutuskan dokter yang
akan merawatnya.
b. Sebagai mediator, peran yang dilakukan perawat memiliki tujuan untuk
menjembatani komunikasi antara pasien dengan tim kesehatan lain di
rumah sakit. Tindakan perawat yang termasuk di dalamnya yaitu perawat
menemani pasien saat kunjungan dokter, menentukan menu diet
bersama ahli gizi, dan juga memberikan penjelasan kepada pasien
mengenai pengobatan yang diterimanya;
c. Sebagai pelaksana tindakan, peran yang dilakukan perawat memiliki
tujuan utama untuk melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan
yang dibutuhkan pasien. Tindakan perawat yang termasuk didalamnya
yaitu dengan memberikan lingkungan yang sesuai dengan kondisi pasien,
melindungi pasien dari tindakan yang dapat merugikan pasien, dan
memenuhi semua kebutuhan pasien selama dalam perawatan
Pendidikan kesehatan yang biasa disampaikan kepada pasien dan keluarga
pasien adalah tentang diet dan kebiasaan sehari-hari pasien yang berpengaruh pada
penyakitnya. Prinsip diit untuk penderita Gangguan Ginjal adalah :
1. Diet makanan lunak
2. Cukup energi dan rendah protein.
3. Sebagai sumber protein diutamakan protein hewani, misal : susu, daging sapi
dan ikan
4. Sebagai sumber lemak : diutamakan lemat tidak jenuh, dengan kebutuhan
sekitar 25% dari total energi yang diperlukan

30
5. Untuk kebutuhan kalori, sekitar 35 Kkal/kg BB/hari
6. Membatasi asupan garam dapur jika ada hipertensi (darah tinggi) atau edema
(bengkak)
7. Dianjurkan juga untuk mengkonsumsi agar-agar karena selain mengandung
sumber energi juga mengandung serat yang larut

Makanan yang sebaiknya dibatasi :

1. Sumber karbohidrat seperti : nasi, jagung, kentang, makaroni, pasta,


hevermout, ubi
2. Protein hewani, seperti : daging kambing, ayam, hati, keju, udang, telur
3. Sayuran dan buah-buahan tinggi kalium, seperti : apel, alpukat, jeruk, pisang,
pepaya dan daun pepaya, seledri, kembang kol, buncis (Asep Candara, 2010)

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversible,

31
diikuti kegagalan ginjal unuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen dengan/tanpa
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (KDIGO, 2012). Menurut Critical
Care Nursing Sixth Edition, AKI adalah penurunan mendadak (dalam waktu 48
jam) fungsi ginjal yang didefinisikan sebagai kenaikan serum kreatinin, dan
penurunan output urin.
Penyebab atau faktor resiko AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama
berdasarkan patogenesis AKI, yakni penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal
tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal), penyakit yang
secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik),
penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal).
Peran perawat sebagai advokat pasien memiliki tiga komponen utama, yaitu
sebagai pelindung, mediator, dan pelaku tindakan atas nama pasien. Edukasi
yang dapat diberikan pada pasien dengan AKI, antara lain anjuran diet makanan
lunak cukup energi dan rendah protein, anjurkan juga untuk mengkonsumsi agar-
agar karena selain mengandung sumber energi juga mengandung serat yang larut.
Selain itu, pasien juga perlu diberi edukasi terkait makanan yang perlu dibatasi
seperti karbohidrat, protein hewani, serta sayur dan buah-buahan yang memiliki
kandungan kalium tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

32
Acute Respiratory Distress Syndrom. 2016. Indonesia Journals of Chest Critical and
Emergency Medicine. Vol.3, No.2.
ARDS Definition Task Force. Acute Respiratory Distress Syndrom. The Berlin Definition.
JAMA. 2012;307(23)
Ekowati, Ririn. 2016. Penerapan Pendidikan Kesehatan Tentang Gagal Ginjal Untuk
Meningkatkan Pengetahuan Dan Kepatuhan Pada Keluarga Dengan Gagal Ginjal Di
Wilayah Kerja Puskesmas Gombong II. Karya Tulis Ilmiah. Stikes Muhammadiyah
Gombong.
Fakultas Kedokteran. Penyakit Ginjal dan Harapan Hemodialisis. Universiatas Airlangga,
Surabaya. Diakses pada 07 februari 2020 melalui :
http://fk.unair.ac.id/penyakit-ginjal-akut-dan-harapan-hemodialisis/

Hartini, Kripti, Dkk. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mortalitas Pasien ARDS Di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Indonesian Journal Of CHEST, Critical
And Emergency Medicine .Vol. 1, No. 1

Karen K. Carlson. 2009.Advanced Critical Care Nursing. American Association of critical


care nursing : Elsevier
Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of mortality of
patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does not
tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.
Markum, H. M. S. Gangguan Ginjal Akut. In : Sudoyo AW et al (ed). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: InternaPublishing; 2009.p1041 diakses melalui :
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/08a70046ac0ba7b966f58b492
a7da909.pdf pada
Nilawati, GAP. 2012. Kejadian Acute Kidney Injury Dengan Kriteria Prifle Pada Unit
Perawatan Intensif Anak Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Sari Pediatri, Vol. 14, No. 3
Nowak, Thomas J. 1999. Esetials of Pathophysiology: Concepts and Application for Health
Care Professional. Mc Graw Hills Company.
Perrin, Kathleen. 2009. Understnding the Essential of Critical Care Nursing. Library of
Congress Catalgue-in-Publication Data. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Triastuti, Indriana. 2017. Acute Kidney Injury (AKI). Bagian Ilmu Anestesi Dan Terapi
Intensif Rsup Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

33
Utami, Risa. 2015. Angka Kejadian Acute Kidney Injury Berdasarkan Kriteria Akin Di
Ruang Icu Di Rsu Dr.Soedarso Tahun 2013. Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak.

Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin : Bandung, Indonesia.


CDK-237/ vol. 43 no. 2. 2016

34

Anda mungkin juga menyukai