Diajukan Kepada:
dr. Wiwit Ida Chahyani, Sp.S
Disusun Oleh:
Bayu Prasetyo 2220221106
REFERAT:
Disusun oleh:
Bayu Prasetyo 2220221106
Mengesahkan:
Pembimbing Klinik Kepaniteraan Departemen Saraf
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat
dengan judul “Regenerasi Sel Saraf / Neurorestorasi”. Referat ini merupakan salah
satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di
SMF Saraf RSUD Pasar Minggu.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih
kepada dr. Wiwit Ida Chahyani, Sp.S selaku pembimbing dalam pembuatan
pembuatan referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini
banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak
yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran.
Penulis
3
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN.................................................................................................. 5
BAB II .................................................................................................................... 6
KESIMPULAN.................................................................................................... 23
4
BAB I
PENDAHULUAN
Cabang ilmu neurologi yang mempelajari tentang regenerasi sel saraf dapat
difenisikan sebagai neurorestorasi. Neurorestorasi itu sendiri berasal dari kata
“neuro-logy” dan “re-store” yang memiliki arti yaitu mengembalikan fungsi dan
kondisi sel saraf yang rusak kedalam keadaan semula. Neurorestorasi didefinisikan
sebagai suatu prosedur aktif untuk meningkatkan atau memperbaiki fungsi sistem
saraf yang terganggu, baik secara fungsional maupun patologis. Tujuan utama
neurorestorasi adalah untuk meningkatkan proses pemulihan fungsional neuron
yang rusak atau terganggu karena sebab apapun, termasuk karena adanya suatu
penyakit degeneratif. Neurorestorasi diharapkan mampu mengembalikan kualitas
hidup pasien yang menderita akibat dari penyakit sistem neurologi.
Disiplin ilmu neurorestorasi memiliki fokus untuk memulihkan fungsi dan struktur
yang terganggu melalui berbagai mekanisme yaitu neurostimulasi atau
neuromodulasi, neuroproteksi, neuroplastisitas, neuroreplacement, reconstruction
loop, remyelination, immunoregulasi, revaskularisasi atau angiogenesis dan
lainnya.
Terdapat beberapa prinsip dalam melakukan upaya neuro restorasi. Pertama,
keterbatasan regenerasi neuron (limited regeneration). Kedua yaitu tidak instan,
melainkan perlu melalui proses pembelajaran ulang (relearning). Ketiga, kapasistas
reservasi otak/saraf yang kurang memadai (insufficient reserve), dimana konsep ini
merupakan gambaran diskrepansi antara derajat kerusakan saraf secara patologis
dengan derajat manifestasi klinis. Keempat, lifelong reinforcement yaitu sama
dengan keterampilan yang perlu terus dilatih dan diasah seumur hidup.
Selain prinsip juga terdapat aturan dalam neurorestorasi yang perlu dilakukan agar
hasil yang didapatkan dapat jauh lebih maksimal dan efektif yaitu, neurorestorasi
struktural neuron, signalling neurorestorasi, neurorestorasi rehabilitatif, dan
neurorestorasi fungsional
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Neurorestorasi
Neurorestorasi adalah proses untuk memulihkan, mempromosikan, atau
mempertahankan integritas fungsi neurologis dengan strategi neurorestoratif,
termasuk fisik (elektronik atau magnetik), kimia (obat atau faktor), biologis (terapi
sel, molekul, bioteknologi, dan rekayasa jaringan), pembedahan, atau jenis
intervensi lainnya, yang biasanya membawa pemulihan struktural dan/atau
fungsional anatomi secara bersamaan
II.2. Neuplastisitas
Dimasa yang lampau, timbul kepercayaan oleh para ahli bahwa otak akan
berhenti tumbuh pada masa kanak-kanak dan tidak memiliki kemampuan
regenerasi. Kemudian koneksi antar saraf (sinaps) hanya terbentuk pada suatu
periode yang kritis pada masa kanak-kanak dan menetap, tidak berubah seiring
dengan pertambahan usia. Oleh karena itu, jika terdapat suatu kerusakan diarea otak
6
akan bersifat permanen, karena serabut saraf tidak bisa beregenerasi maupun
membentuk sinaps baru.
Pada penelitian terbaru ditemukan bahwa otak manusia telah terbukti dapat
memiliki kemampuan untuk beregenerasi dan melakukan modifikasi bentuk
struktural dan sekaligus fungsinya secara kontinu dan selama masa
keberlangsungan hidupnya. Hal tersebut yang sekarang dikenal dengan istilas
neuroplastisitas. Neuroplastisitas itu sendiri adalah kemampuan otak untuk
berubah, melakukan remodelling, dan reorganisasi dengan tujuan untuk
mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk beradaptasi terhadap situasi-
situasi baru. Neuroplastisitas dapat terjadi ketika terdapat paparan stimulus
sehingga menyebabkan penambahan dan perubahan sinaps. Hal baik yang dapat
terjadi seperti ketika seseorang mempelajari keterampilan baru atau belajar hal-hal
baru, namun penambahan jumlah sinaps ini dapat merugikan seperti yang terjadi
pada nyeri neuropatik. Hal sebaliknya juga dapat terjadi fenomena neuroplastisitas,
ketika pada kondisi hilangnya paparan suatu stimulus. Terjadi kita seseorang
mengalami kejadian pascastroke, atau adanya keterampilan yang pernah dipelajari
dan tidak dipergunakan kembali. Karena hal tersebut mengakibatkan terjadinya
pengurangan sinaps yang telah terbentuk sebelumnya. Secara klinis manifestasinya
sebagai bentuk hilangnya atau berkurangnya kemampuan seseorang dalam
melakukan keterampilan tersebut.
Paparan yang terjadi akan mengakibatkan terbentuknya sinaps baru, yaitu:
A. Kondisi sebelum paparan stimulus
B. Kondisi pascapaparan stimulus
C. Variasi bentuk dendrit yang berubah pascaterbentuknya sinaps-sinaps baru
Cedera yang terjadi pada susunan sistem saraf pusat (SSP) akan berpengaruh
baik itu untuk neuron pre maupun pascasinaps melalui beberapa mekanisme yaitu
perubahan proyeksi aksonal, denervasi, dan eliminasi sebagian neuron
7
terputus kontaknya, kemudia sel-sel neuron presinaps yang mengalami kerusakan
akan kehilangan sel target untuk diinervasi. Sehingga terjadi beberapa perubahan
pada neuron presinaps antara lain:
1. Atrofi dan degenerasi retrograd
Neuron presinaps akan mengalami atrofi dan degenerasi (kematian sel) yang
dimulai dari bagian akson terminal, mundur ke belakang sampai ke bagian
badan sel. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi derajat atrofi dan
degenerasi retrograd, yaitu:
a. Lokasi Trauma, semakin proksimal lesi, semakin berat derajat yang
dialami
b. Ekstensi serabut proyeksi ke sel target. Semakin banyak proyeksi
kolateral dari akson yang mengalami cedera, semakin ringan derajat
atrofi dan degenerasi retrograd yang terjadi.
2. Synaptic stripping
Sinaps yang mengalami gangguan akibat kerusakan akan dieliminasi oleh
mikroglia sebagai mekanisme alami tubuh. Kemudian akan terbentuk kembali
setelah neuron pascasinaps beregenerasi
3. Degenerasi berantai (cascading degeneration)
Bila terdapat neuron yang mengalam denervasi, maka neuron disekitar yang
menjadi sel target juga akan mengalami denervasi dan degenerasi. Proses ini
akan terus berlanjut dan mempengaruhi neuron berikutnya sehingga terjadi
kerusakan yang luas
4. Delayed neuronal death pascaiskemia
Terdapat beberapa kelompok neuron di daerah korteks dan hipokampus
yang mampu bertahan dari serangan iskemik akut dan kemudian akan
mengalami kematian dalam waktu beberapa jam hingga beberapa hari setelah
mengalami serangan iskemik tersebut
5. Demielinisasi
Proses kematian ini terjadi melalui serangkain proses apoptosis yang terus
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu pascacedera
8
II.4. Perubahan Neuron Pascasinaps
Hilangnya input sinaps normal dari neuron presinaps yang mati. Terjadi
beberapa perubahan mulai dari ringan hingga berat, yaitu:
1. Supersentifitas Denervasional
Sel pascasinaps menjadi lebih sensitif terhadap neurotransmitter akibat
terjadi peningkatan distribusi dan jumlah reseptor pada membran
2. Atrofi Transneuronal
Fenomena ini bersifat reversibel. Dimana denervasi akan membuat ukuran
sel pascasinaps menjadi kecil atau mengalami kematian sel dan dapat kembali
seperti semula ketika terjadi reinervasi
3. Degenerasi transneuronal
Denervasi membuat kematian pada neuron pascasinaps
9
Sprouting kolateral bersifat memperkuat innvervasi neuron pascasinaps lain
yang tidak mengalami cedera (normal)
Terdapat beberapa hal yang juga dapat memengaruhi efektivitas reinervasi dari
neuron yang mengalami denervasi yaitu:
1. Prinsip Proksimitas, yaitu jarak antara lokasi cedera
2. Fokalitas denervasi yang terjadi, denervasi yang bersifat difus memiliki
prognosis yang jauh lebih baik dari yang bersifat fokal
3. Spesifitas dan kompetisi, sprouting yang terjadi bisa berupa akson yang
memberikan stimulus yang sama (spesifik) bisa pula berbeda (kompetitif)
4. Target availibility, neruon pascasinaps perlu mengirim sinyal penting untuk
“memanggil” dan merangsang regenerasi agar dapat mencapai sel target, dan
meminimalkan proyeksi ektopik atau misdirection sprouting
5. Usia, lebih baik dan lebih cepat pada usia muda
10
Aktivasi hemisfer yang sehat cenderung merugikan atau dikaitkan dengan
pemulihan fungsi motorik yang lebih buruk
11
Tabel 1. Gambaran Umum Modalitas Neurorestorasi Pascastroke
Pemulihan Stroke
Tatalaksana Fase Akut Pemulihan Fase Kronik
Pemulihan Aliran Neuroproteksi Terapi Sel Neuro Modulasi Brain-machine
Darah interface
• tPA • Hipotermia • Stem sel • tDCS • Sinyal
• Trombektomi • PSD - 95 endogen • rTMS Korteks
• Stem sel • Stimulasi • Sinyal
terinduksi serebelar Medula
• Stimulasi Spinalis
vagal
• Optogenetik
12
perfusion pressure (CPP), serta menurunkan tekanan darah rerata arteri (mean
arterial blood pressure/ MABP). Mobilisasi duduk dan latihan gerak yang
lebih bersifat aktif, pada umumnya haru dilakukan saat hemodinamik &
kondisi medis stabil. Serta dilakukan latihan dan peregangan pada bagian sendi
agar tidak terjadi kekakuan
B. Deteksi dan tatalaksana gangguan menelan
Disfagia sering dialami pada pasien stroke. Jika tidak ditangani dengan baik
dapat menyebabkan komplikasi berupa pneumonia aspirasi, dehidrasi, dan
malnutrisi. Sehingga perlu dilakukan deteksi dini dengan melakukan skrining
aspirasi pada pasien stroke untuk segera dilanjutkan dengan terapi. Tahap ini
akan dilanjutkan dengan tes kemampuan menelan bila pada skrining ditemukan
adanya disfagia. Berikut adalah tahapan skrining aspirasi:
1. Pasien diposisikan elevasi kepala 60 derajat
2. Kepala pasien ditekuk ke lateral, ke sisi yang sakit.
3. Pasien diberikan minum 1 sendok teh air
4. Amati tanda batuk atau tersedak, bila tersedak, maka skrining dihentikan.
Lakukan suction bila perlu
5. Jika tidak ada batuk atau tersedak, maka dilanjutkan dengan memberikan
pasien minum setengah gelas air secara perlahan.
Bila hasil skring yang didapat positif, maka dapat dilakukan tes kemampuan
menelan dengan menggunakan 4 bahan yang berbeda, yaitu: air, makanan
setengah cair, makanan setengah padat, dan pureee
Tatalaksana pada pasien disesuaikan dengan hasil tes menelan tersebut, yaitu:
1. Pasien dapat menelan air tanpa tersedak dapat dilakukan diet normal.
2. Pasien dapat menelan makanan setengah encer tanpa tersedak dapat
dilakukan pemasangan nasogastric tube (NGT) no.12 dan hanya air.
3. Pasien dapat menelan makanan setengah padat tanpa tersedak dapat
dilakukan pemasangan NGT no.14 diberikan susu diet cair komersial dan
juga obat. Setengah porsi diberikan secara peroral (PO) dan setengah
porsi diberikan melalui NGT
4. Pasien dapat menelan puree tanpa tersedak dapat dilakukan pemasangan
NGT no.16. Seluruh porsi diberikan melalui NGT atau nothing peroral
13
(NPO) atau ¼ porsi dapat diberikan secara PO, ¾ porsi diberikan melalui
NGT.
Secara umum, tata laksana disfagia dapat dilakukan dengan beberapa
tindakan berikut:
1. Latihan/terapi menelan direk atau secara langsung (direct swallowing
therapy).
2. Modifikasi konsistensi/tekstur/volume makanan.
3. Manuver & pengaturan posisi kepala, leher, tubuh (maneuver &
adjusting body position).
4. Stimulasi functional training: stimulasi pasif, sensory enhancement
techniques (meningkatkan tekanan sendok pada lidah ketika
menyuapkan bolus makanan, memberikan bolus dengan rasa asam, bolus
dengan temperatur dingin, bolus yang harus dikunyah, dan sebagainya),
thermal tactile oral stimulation, deep pharyngeal neuromuscular
stimulation, Neuromuscular electric stimulation, transcranial magnetic
stimulation.
5. Fisioterapi dada (chest physiotherapy)
c. Gangguan pengosongan kandung kemih sepertiga sampai dua pertiga pasien
stroke akut. Tujuan pengosongan dalah menstimulasi pusat mikturisi, jika
retensi urin >100cc akan berisiko infeksi dan bila perlu dilakukan
intermitten catheterization (IMC). Terdapat beberapa teknik pengosongan
diantaranya dengan cara pemeriksaan pola buang air kecil, ada atau tidak
masalah prostat, dan melakukan monitor kapasitas bladder/ sisa urin
d. Terapi fisik dada, terbukti dapat menurunkan masa perawatan secara
bermakna
e. Stimulasi sensoris multimodal/stimulasi koma, teknik yang digunakan
menggunakan paparan sensorik eksternal multimodal pada penderita koma
dengan memancing arousal dan respons behaviour,
14
II.8.2 Tatalaksana Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Subakut (Bisa Saat
Rawat Inap Maupun Rawat Jalan)
Stroke fase subakut ditandai oleh kondisi hemodinamik dan proses neurologis
yang telah stabil. Tata laksana neurorestorasi pada fase ini mulai ditambah dengan
program neurorestorasi fungsional termasuk aplikasi berbagai teknik neuro-
modulasi. Gangguan komunikasi seperti afasia, disartria, dan kognisi harus
ditangani sedini mungkin. Jika ada gangguan menelan (disfagia) maka dilakukan
penanganan gangguan menelan yang lebih intensif, sehingga pasien terbebas dari
NGT. Jika ada gangguan ambulasi berjalan, seperti pada pasien yang belum mampu
berjalan, maka harus dilatih berjalan dan tau komponen berjalan sesuai dengan
kemampuan pasien, terus menerus sebanyak dan sesering mungkin. Berikut adalah
beberapa preskripsi latihan yaitu berupa:
1. Teknik latihan untuk ambulasi berjalan terdiri dari latihan dasar persiapan
berjalan, ambulasi berjalan, berjalan secara fungsional, dan endurance
berjalan.
2. Teknik latihan dasar persiapan berjalan
3. Pemilihan modalitas alat terapi, peng- gunaan alat bantu berjalan, ortosis
dapat pula diberikan sesuai dengan preskripsi dokter SpKFR
Metode neurorestoratif paling bermanfaat adalah dengan teknik
neurofasilitasi, diantaranya yaitu:
a. Bobath
Berfokus pada respon kontrol yang timbul sebagai respons terhadap
kerusakan refleks postural. Prinsip utamanya adalah teknik paparan fasilitasi dan
pola gerak normal.
b. Brunnstorm
Merupakan salah satu terapi neurorehabilitatif untuk pasien stroke yang
populer digunakan diseluruh dunia
c. Rood
Banyak menerapkan aktifitas dalam fase developmental, stimulasi sensorik
(terutama jenis stimuli kutaneus), dan klasifikasi kerja otot.
d. Proprioceptive neuromuscular facilitation (PFN)
15
Menggunakan timulasi proprioseptif perifer seperti peregangan dan resistensi
gerak untuk meningkatkan respon motorik yang ada.
Jika terdapat gangguan perawatan diri dan aktivitas sehari-hari, maka penggunaan
teknik latihan yang spesifik diberikan sesuai dengan disabilitas yang ada.
Tatalaksana disabilitas lain yang sering dijumpai sebagai komplikasi pascastroke
diantaranya yaitu:
1. Spastisitas/peningkatan tonus otot karena pemulihan sinergis pada
ekstremitas atas dan bawah dan dapat diberikan intervensi berupa
pemberian toksin botulinum A, kombinasi latihan, terapi manual, hingga
dynamic splinting
2. Pemendekan otot, kekakuan sendi, dan kontraktur; otot harus diposisi- kan
dalam posisi eksentrik, latihan pe- regangan, lingkup gerak sendi, hingga
casting.
3. Subluksasi bahu, nyeri bahu, dan shoulder hand syndrome. Terdapat
perubahan biomekanik yang berbeda dengan proses traumatic shoulder
problem, sehingga diperlukan rontgen hingga USG muskuloskeletal atas
indikasi. Penggunaan alat bantu, stimulasi otot, latihan hingga modalitas
alat yang sesuai kondisi pasien.
Ulkus dekubitus merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi.
Sebagai pencegahan, harus dilakukan positioning, posturing, dan teknik transfer
yang tepat minimal lx/hari. Pencegahan tromboemboli juga hal yang penting untuk
diperhatikan dengan cara perubahan posisi dalam waktu 48 jam terutama pada
tungkai bawah dan memperhatikan antikoagulan yang telahjsedang diberikan.
Pemakaian stocking anti trombotik juga dapat bermanfaat pada kasus-kasus
tertentu.
16
1. Memaksimalkan kemampuan fungsional/melakukan tugas/aktivitas
tertentu.
2. Kebugaran kardiorespirasi. Pasien harus mendapatkan program latihan
penguatan dan aerobik regular yang disesuaikan dengan komorbiditas dan
keterbatasan fungsi pasien dan telah melewati exercise testing sebelumnya.
3. Persiapan kembali ke tempat kerja. Pekerja pascastroke harus diberi
kesempatan untuk mendapatkan pelatihan ketrampilan yang diperlukan
kembali serta kesempatan bekerja yang fleksibel.
4. Kembali ke masyarakat. Pasien stroke dengan risiko jatuh di komunitas
harus mendapatkan intervensi komprehensif, seperti program exercise
spesifik perindividu untuk mencegah atau mengurangi kejadian dan
keparahan akibat jatuh.
17
b. Membantu restorasi modalitas bahasa yang terganggu dengan modalitas
bahasa lain yang masih intak
c. Mengompensasi gangguan bahasa yang ada dengan menggunakan
modalitas fungsi luhur/kognitif yang lain.
d. Partisipasi aktif dari caregiver dan penggunaan aplikasi dan teknologi
stimulasi bahasa khusus.
18
II.9.1.2. Verb Network Strengthening Treatment
Terapi yang didesain terutama untuk memperbaiki kesukaran mencari kata
dalam suatu kalimat aktif sederhana Metoda ini menggunakan pasangan kata yang
berhubungan dengan kata target
a. Chaining (forward & reverse), pendekatan dengan cara memecah
kata/kalimat menjadi pendek-pendek, kemudian belajar merangkaitkan dari
awal (atau akhir).
b. Sentence production program for aphasia, program terapi spesifik yang
dirancang untuk memfasilitasi produksi kalimat spesifik tertentu.
19
II.9.2.1. Melodic Intonation Therapy (MIT)
Terapi ini memakai kemampuan bersenandung dan prosodia pasien yang
biasanya masih intak dari aspek intonasi, melodi, dan ritme untuk meningkatkan
kemampuan jumlah pengucapan frasa dan kalimat
Frasa atau kalimat yang digunakan dalam metode terapi ini merupakan frasa-
frasa yang umum dan sering di- gunakan sehari-hari (misalnya i loveyou,
assalaamu'alaikum, dan sebagainya). Walaupun tampaknya mudah, keluarga/
caregiver pasien perlu mendapat in- struksi spesifik tentang tata cara latihan atau
pengulangan metode ini di rumah masing-masing.
20
Yang termasuk ke dalam metode terapi multimodal berbahasa ini di antaranya
adalah: Visual Action Therapy (VAT), Promoting Aphasics’ Communication
Effectiveness (PACE), Oral Reading for Language in Aphasia (ORLA)
II.9.4 Partisipasi Aktif dari Caregiver dan Penggunaan Aplikasi dan Teknologi
Stimulasi Bahasa Khusus
Beberapa program yang dapat diterapkan adalah partner approaches, iPad-
Based speech Therapy, Repetitive transcranial Magnetic Stimulation (rTMS)
21
Metode komunikasi multimodal antara penderita, pelatihan bagi lawan
komunikasi primernya, dan dalam interaksi sosial (termasuk partisipasi
dalam grup afasia).
c. Social and Life Participation Effectiveness
Pendekatan yang berfokus pada pencapaian target di kehidupan sehari-hari,
termasuk pertimbangan apakah pasien memiliki keluarga yang dapat
mendukung dan membantu keseharian hidup penderita.
22
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Airavaara M, Voutilainen MH, Wang Y, Hoffer B. Neurorestoration.
Parkinsonism Relat Disord. 2012 Jan;18 Suppl 1(0 1):S143-6. doi:
10.1016/S1353-8020(11)70045-1. PMID: 22166416; PMCID:
PMC3245378.
2. Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama.
Jakarta: Departemen Neurologi FK UI; 2017.
3. Huang H, Chen L. Neurorestorative process, law, and mechanisms. Journal
of Neurorestoratology. 2015;3:23-30 https://doi.org/10.2147/JN.S74139
4. International Association of Neurorestoratology. Beijing Declaration of
International Association of Neurorestoratology (IANR). Cell Transplant.
2009;18:487.
5. Parent JM, Elliott RC, Pleasure SJ, Barbaro NM, Lowenstein DH. Aberrant
seizure-induced neurogenesis in experimental temporal lobe epilepsy. Ann
Neurol. 2006;59:81–91.
6. Puderbaugh M, Emmady PD. Neuroplasticity. [Updated 2022 May 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557811/
24