Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

REGENERASI SEL SARAF / NEURORESTORASI

Diajukan Kepada:
dr. Wiwit Ida Chahyani, Sp.S

Disusun Oleh:
Bayu Prasetyo 2220221106

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’ JAKARTA
PERIODE 13 MARET – 14 APRIL 2022
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
DEPARTEMEN SARAF

REFERAT:

“Regenerasi Sel Saraf / Neurorestorasi”

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Di


Departemen Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Disusun oleh:
Bayu Prasetyo 2220221106

Jakarta, 2 April 2023

Mengesahkan:
Pembimbing Klinik Kepaniteraan Departemen Saraf

dr. Wiwit Ida Chahyani, Sp.S

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat
dengan judul “Regenerasi Sel Saraf / Neurorestorasi”. Referat ini merupakan salah
satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di
SMF Saraf RSUD Pasar Minggu.
Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih
kepada dr. Wiwit Ida Chahyani, Sp.S selaku pembimbing dalam pembuatan
pembuatan referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini
banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak
yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran.

Jakarta, 2 April 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 5

PENDAHULUAN.................................................................................................. 5

BAB II .................................................................................................................... 6

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 6

II.1. Neurorestorasi ....................................................................................................... 6

II.2. Neuplastisitas ......................................................................................................... 6

II.3. Perubahan Pada Neuron Presinaps ..................................................................... 7

II.4. Perubahan Neuron Pascasinaps........................................................................... 9

II.5. Reorganisasi Koneksi Neuronal Pasca Cedera................................................... 9

II.6. Neurorestorasi Fungsional ................................................................................. 10

II.7. Neurogenesis dan Neuroregenerasi ................................................................... 11

II.8. Neurorestorasi Pasca Stroke .............................................................................. 11


II.8.1 Tatalaksana Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Akut .................................................... 12
II.8.2 Tatalaksana Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Subakut (Bisa Saat Rawat Inap Maupun
Rawat Jalan) ........................................................................................................................... 15
II.8.3 Tatalaksana Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Kronik (Saat Rawat Jalan).................. 16

II.9. Neurorestorasi Pada Afasia ................................................................................ 17


II.9.1 Language Impairment-Based Treatment ...................................................................... 18
II.9.2 Membantu Restorasi Gangguan Modalitas Bahasa Dengan Modalitas Bahasa Lain
Yang Masih Intak................................................................................................................... 19
II.9.3 Mengompensasi Gangguan Bahasa Yang Ada Dengan Menggunakan Modalitas
Fungsi Luhur atau Kognitif Yang Lain .................................................................................. 20
II.9.4 Partisipasi Aktif dari Caregiver dan Penggunaan Aplikasi dan Teknologi Stimulasi
Bahasa Khusus ....................................................................................................................... 21

BAB III ................................................................................................................. 23

KESIMPULAN.................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24

4
BAB I

PENDAHULUAN
Cabang ilmu neurologi yang mempelajari tentang regenerasi sel saraf dapat
difenisikan sebagai neurorestorasi. Neurorestorasi itu sendiri berasal dari kata
“neuro-logy” dan “re-store” yang memiliki arti yaitu mengembalikan fungsi dan
kondisi sel saraf yang rusak kedalam keadaan semula. Neurorestorasi didefinisikan
sebagai suatu prosedur aktif untuk meningkatkan atau memperbaiki fungsi sistem
saraf yang terganggu, baik secara fungsional maupun patologis. Tujuan utama
neurorestorasi adalah untuk meningkatkan proses pemulihan fungsional neuron
yang rusak atau terganggu karena sebab apapun, termasuk karena adanya suatu
penyakit degeneratif. Neurorestorasi diharapkan mampu mengembalikan kualitas
hidup pasien yang menderita akibat dari penyakit sistem neurologi.
Disiplin ilmu neurorestorasi memiliki fokus untuk memulihkan fungsi dan struktur
yang terganggu melalui berbagai mekanisme yaitu neurostimulasi atau
neuromodulasi, neuroproteksi, neuroplastisitas, neuroreplacement, reconstruction
loop, remyelination, immunoregulasi, revaskularisasi atau angiogenesis dan
lainnya.
Terdapat beberapa prinsip dalam melakukan upaya neuro restorasi. Pertama,
keterbatasan regenerasi neuron (limited regeneration). Kedua yaitu tidak instan,
melainkan perlu melalui proses pembelajaran ulang (relearning). Ketiga, kapasistas
reservasi otak/saraf yang kurang memadai (insufficient reserve), dimana konsep ini
merupakan gambaran diskrepansi antara derajat kerusakan saraf secara patologis
dengan derajat manifestasi klinis. Keempat, lifelong reinforcement yaitu sama
dengan keterampilan yang perlu terus dilatih dan diasah seumur hidup.
Selain prinsip juga terdapat aturan dalam neurorestorasi yang perlu dilakukan agar
hasil yang didapatkan dapat jauh lebih maksimal dan efektif yaitu, neurorestorasi
struktural neuron, signalling neurorestorasi, neurorestorasi rehabilitatif, dan
neurorestorasi fungsional

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Neurorestorasi
Neurorestorasi adalah proses untuk memulihkan, mempromosikan, atau
mempertahankan integritas fungsi neurologis dengan strategi neurorestoratif,
termasuk fisik (elektronik atau magnetik), kimia (obat atau faktor), biologis (terapi
sel, molekul, bioteknologi, dan rekayasa jaringan), pembedahan, atau jenis
intervensi lainnya, yang biasanya membawa pemulihan struktural dan/atau
fungsional anatomi secara bersamaan

II.2. Neuplastisitas
Dimasa yang lampau, timbul kepercayaan oleh para ahli bahwa otak akan
berhenti tumbuh pada masa kanak-kanak dan tidak memiliki kemampuan
regenerasi. Kemudian koneksi antar saraf (sinaps) hanya terbentuk pada suatu
periode yang kritis pada masa kanak-kanak dan menetap, tidak berubah seiring
dengan pertambahan usia. Oleh karena itu, jika terdapat suatu kerusakan diarea otak

6
akan bersifat permanen, karena serabut saraf tidak bisa beregenerasi maupun
membentuk sinaps baru.
Pada penelitian terbaru ditemukan bahwa otak manusia telah terbukti dapat
memiliki kemampuan untuk beregenerasi dan melakukan modifikasi bentuk
struktural dan sekaligus fungsinya secara kontinu dan selama masa
keberlangsungan hidupnya. Hal tersebut yang sekarang dikenal dengan istilas
neuroplastisitas. Neuroplastisitas itu sendiri adalah kemampuan otak untuk
berubah, melakukan remodelling, dan reorganisasi dengan tujuan untuk
mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk beradaptasi terhadap situasi-
situasi baru. Neuroplastisitas dapat terjadi ketika terdapat paparan stimulus
sehingga menyebabkan penambahan dan perubahan sinaps. Hal baik yang dapat
terjadi seperti ketika seseorang mempelajari keterampilan baru atau belajar hal-hal
baru, namun penambahan jumlah sinaps ini dapat merugikan seperti yang terjadi
pada nyeri neuropatik. Hal sebaliknya juga dapat terjadi fenomena neuroplastisitas,
ketika pada kondisi hilangnya paparan suatu stimulus. Terjadi kita seseorang
mengalami kejadian pascastroke, atau adanya keterampilan yang pernah dipelajari
dan tidak dipergunakan kembali. Karena hal tersebut mengakibatkan terjadinya
pengurangan sinaps yang telah terbentuk sebelumnya. Secara klinis manifestasinya
sebagai bentuk hilangnya atau berkurangnya kemampuan seseorang dalam
melakukan keterampilan tersebut.
Paparan yang terjadi akan mengakibatkan terbentuknya sinaps baru, yaitu:
A. Kondisi sebelum paparan stimulus
B. Kondisi pascapaparan stimulus
C. Variasi bentuk dendrit yang berubah pascaterbentuknya sinaps-sinaps baru
Cedera yang terjadi pada susunan sistem saraf pusat (SSP) akan berpengaruh
baik itu untuk neuron pre maupun pascasinaps melalui beberapa mekanisme yaitu
perubahan proyeksi aksonal, denervasi, dan eliminasi sebagian neuron

II.3. Perubahan Pada Neuron Presinaps


Terjadinya suatu cidera yang menyebabkan terputusnya akson (axotomy)
sehingga terjadi degenerasi pada bagian distal dari area yang mengalami cidera, hal
ini disebut degenerasi wallerian. Neuron presinaps dan neuron pascasinaps akan

7
terputus kontaknya, kemudia sel-sel neuron presinaps yang mengalami kerusakan
akan kehilangan sel target untuk diinervasi. Sehingga terjadi beberapa perubahan
pada neuron presinaps antara lain:
1. Atrofi dan degenerasi retrograd
Neuron presinaps akan mengalami atrofi dan degenerasi (kematian sel) yang
dimulai dari bagian akson terminal, mundur ke belakang sampai ke bagian
badan sel. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi derajat atrofi dan
degenerasi retrograd, yaitu:
a. Lokasi Trauma, semakin proksimal lesi, semakin berat derajat yang
dialami
b. Ekstensi serabut proyeksi ke sel target. Semakin banyak proyeksi
kolateral dari akson yang mengalami cedera, semakin ringan derajat
atrofi dan degenerasi retrograd yang terjadi.
2. Synaptic stripping
Sinaps yang mengalami gangguan akibat kerusakan akan dieliminasi oleh
mikroglia sebagai mekanisme alami tubuh. Kemudian akan terbentuk kembali
setelah neuron pascasinaps beregenerasi
3. Degenerasi berantai (cascading degeneration)
Bila terdapat neuron yang mengalam denervasi, maka neuron disekitar yang
menjadi sel target juga akan mengalami denervasi dan degenerasi. Proses ini
akan terus berlanjut dan mempengaruhi neuron berikutnya sehingga terjadi
kerusakan yang luas
4. Delayed neuronal death pascaiskemia
Terdapat beberapa kelompok neuron di daerah korteks dan hipokampus
yang mampu bertahan dari serangan iskemik akut dan kemudian akan
mengalami kematian dalam waktu beberapa jam hingga beberapa hari setelah
mengalami serangan iskemik tersebut
5. Demielinisasi
Proses kematian ini terjadi melalui serangkain proses apoptosis yang terus
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu pascacedera

8
II.4. Perubahan Neuron Pascasinaps
Hilangnya input sinaps normal dari neuron presinaps yang mati. Terjadi
beberapa perubahan mulai dari ringan hingga berat, yaitu:
1. Supersentifitas Denervasional
Sel pascasinaps menjadi lebih sensitif terhadap neurotransmitter akibat
terjadi peningkatan distribusi dan jumlah reseptor pada membran
2. Atrofi Transneuronal
Fenomena ini bersifat reversibel. Dimana denervasi akan membuat ukuran
sel pascasinaps menjadi kecil atau mengalami kematian sel dan dapat kembali
seperti semula ketika terjadi reinervasi
3. Degenerasi transneuronal
Denervasi membuat kematian pada neuron pascasinaps

II.5. Reorganisasi Koneksi Neuronal Pasca Cedera


Proses regenerasi akson dan reorganisasi koneksi neuronal bergantung pada
kondisi dan situasi yang ada, akan berbentuk salah satu atau beberapa proses
berikut, yaitu:
1. Regenerasi bonafide, pemanjangan akson tanpa cabang-cabang kolateral
2. Regenerasi abortif, ditandai dengan terbentuknya konus dystrophic growth
dan tangled arbors
3. Regenerasi Produktif, terbentuk formasi cabang-cabang kolateral baru pada
ujung situs cedera
a. Regenerasi dan sprouting aksonal, cabang-cabang akson terminal baru
akan tumbuh sebagai bentuk regenerasi akson
b. Regenerasi supernumerary collaterals, cabang-cabang kolateral dari
badan akson, bukan dari bagian akson terminal akan tumbuh sebagai
bentuk regenerasi
4. Pruning-related Sprouting
Neuron akan memperbanyak jumlah koneksi tambahan di area lain yang
tidak mengalami kerusakan. Fenomena ini juga dikenal pula dengan ectopic
axonal re-direction

9
Sprouting kolateral bersifat memperkuat innvervasi neuron pascasinaps lain
yang tidak mengalami cedera (normal)
Terdapat beberapa hal yang juga dapat memengaruhi efektivitas reinervasi dari
neuron yang mengalami denervasi yaitu:
1. Prinsip Proksimitas, yaitu jarak antara lokasi cedera
2. Fokalitas denervasi yang terjadi, denervasi yang bersifat difus memiliki
prognosis yang jauh lebih baik dari yang bersifat fokal
3. Spesifitas dan kompetisi, sprouting yang terjadi bisa berupa akson yang
memberikan stimulus yang sama (spesifik) bisa pula berbeda (kompetitif)
4. Target availibility, neruon pascasinaps perlu mengirim sinyal penting untuk
“memanggil” dan merangsang regenerasi agar dapat mencapai sel target, dan
meminimalkan proyeksi ektopik atau misdirection sprouting
5. Usia, lebih baik dan lebih cepat pada usia muda

II.6. Neurorestorasi Fungsional


Proses reorganisasi pada proses neurorestorasi fungsional pasca suatu cedera
SSP terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya sebagai berikut:
1. Reorganisasi Lokal
Area yang terletak disekitar infark (penumbra) akan mengambil alih kontrol
motorik dengan mengaktifkan jaras-jaras dengan representasi motorik yang
sebelumnya “tertidur”. Fenomena ini dikenal dengan vikariasi (vicariation)
atau reorganisasi somatotopik
2. Pemulihan Diaskisis
Disebut juga lesi imbas. Gangguan pada area yang secara anatomi terletak
jauh dari area yang rusak. Umumnya terjadi didaerah area-area yang bekerja
sama dengan erat. Hal ini umumnya hanya berlangsung sementara dan dapat
pulih seperti sediakala
3. Reorganisasi Area Sekunder
Kerusakan sel neuron perilesional dengan fungsi somatotopik, akan terjadi
reorganisasi diarea somatotopik sekunder yang letaknya secara anatomi
berjauhan
4. Reorganisasi Bihemisfer

10
Aktivasi hemisfer yang sehat cenderung merugikan atau dikaitkan dengan
pemulihan fungsi motorik yang lebih buruk

II.7. Neurogenesis dan Neuroregenerasi


Neurogenesis mengacu pada regenerasi neuron dari sel induk saraf dan sel
progenitor. Banyak faktor yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi laju
neurogenesis di hippocampus. Iskemia serebral, serangan epilepsi, dan meningitis
bakteri dapat menginduksi neurogenesis. Di sisi lain, stres kronis dan penuaan dapat
menyebabkan penurunan proliferasi neuron. Olahraga dan lingkungan yang
diperkaya dapat membantu kelangsungan hidup neuron dan mendorong sel-sel yang
baru lahir untuk berintegrasi ke dalam hippocampus.
Istilah neuroregenerasi juga mencakup pembentukan neuron baru, glia,
akson, mielin, dan sinapsis, sehingga mirip dengan konsep neurogenesis, tetapi
lebih luas. Secara umum, neurogenerasi diartikan sebagai regenerasi aksonal.
Neuroregenerasi terjadi pada tingkat yang signifikan dalam sistem saraf perifer.
Namun, tidak seperti cedera sistem saraf tepi, cedera pada SSP tidak diikuti oleh
regenerasi yang luas atau kuat, dibatasi oleh pengaruh penghambatan glia dan
lingkungan ekstraseluler.

II.8. Neurorestorasi Pasca Stroke


Neurorestorasi memilikii strategi dan tujuan yang berbeda pada setiap
serangan stroke fase akut, subakut, dan kronik. Terdapat hal yang harus
dipertimbangkan dalam proses penatalaksanaan yaitu dari segi proses patologik
apakah itu sumbatan atau perdarahan, onset, serta mekanisme neuroanatomi dan
neurofisiologi.

11
Tabel 1. Gambaran Umum Modalitas Neurorestorasi Pascastroke
Pemulihan Stroke
Tatalaksana Fase Akut Pemulihan Fase Kronik
Pemulihan Aliran Neuroproteksi Terapi Sel Neuro Modulasi Brain-machine
Darah interface
• tPA • Hipotermia • Stem sel • tDCS • Sinyal
• Trombektomi • PSD - 95 endogen • rTMS Korteks
• Stem sel • Stimulasi • Sinyal
terinduksi serebelar Medula
• Stimulasi Spinalis
vagal
• Optogenetik

II.8.1 Tatalaksana Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Akut


Intervensi yang dilakukan memiliki tujuan untuk meminimalkan gejala sisa
dengan membantu perbaikan perfusi otak dan mencegah komplikasi imobilisasi,
sehingga tercapai pemulihan fungsional yang optimal.
A. Mobilisasi, posturing, serta kontrol trunkal
Selain untuk menjaga kontraktur, dekubitus, dan stasis sirkulasi
hemodinamik, mobilisasi-posturing-kontrol trunkal berguna untuk
mempertahan- kan fungsi antigravitasi otot trunkal. Otot trunkal memiliki
peran dalam menjaga postur tubuh dan jangkar dari gerak ekstremitas
Pada fase akut, tatalaksana mencakup tirah baring. Posisi ini membuat otot-
otot ekstesor trunkal yang dibutuhkan untuk aktivitas yang melawan gravitasi
sama sekali tidak bekerja, sehingga hal ini membuat terjadinya atrofi otot-otot
trunkal. Atrofi tersebut akan menyulitkan aktivitas antigravitasi dan juga
gangguan pada kontrol ekstremitas yang akan menambah permasalahan
disahilitas dan program terapi fisik pada fase kronik. Hal tersebut
mengharuskan pengaturan posisi sejak dini pada pasien stroke akut sesudah
kegawatdaruratan teratasi.
Tindakan elevasi kepala dapat meminimalkan gravitasi untuk meningkatkan
aliran balik vena, mencegah aspirasi, menurunkan TIK, meningkatkan cerebral

12
perfusion pressure (CPP), serta menurunkan tekanan darah rerata arteri (mean
arterial blood pressure/ MABP). Mobilisasi duduk dan latihan gerak yang
lebih bersifat aktif, pada umumnya haru dilakukan saat hemodinamik &
kondisi medis stabil. Serta dilakukan latihan dan peregangan pada bagian sendi
agar tidak terjadi kekakuan
B. Deteksi dan tatalaksana gangguan menelan
Disfagia sering dialami pada pasien stroke. Jika tidak ditangani dengan baik
dapat menyebabkan komplikasi berupa pneumonia aspirasi, dehidrasi, dan
malnutrisi. Sehingga perlu dilakukan deteksi dini dengan melakukan skrining
aspirasi pada pasien stroke untuk segera dilanjutkan dengan terapi. Tahap ini
akan dilanjutkan dengan tes kemampuan menelan bila pada skrining ditemukan
adanya disfagia. Berikut adalah tahapan skrining aspirasi:
1. Pasien diposisikan elevasi kepala 60 derajat
2. Kepala pasien ditekuk ke lateral, ke sisi yang sakit.
3. Pasien diberikan minum 1 sendok teh air
4. Amati tanda batuk atau tersedak, bila tersedak, maka skrining dihentikan.
Lakukan suction bila perlu
5. Jika tidak ada batuk atau tersedak, maka dilanjutkan dengan memberikan
pasien minum setengah gelas air secara perlahan.
Bila hasil skring yang didapat positif, maka dapat dilakukan tes kemampuan
menelan dengan menggunakan 4 bahan yang berbeda, yaitu: air, makanan
setengah cair, makanan setengah padat, dan pureee
Tatalaksana pada pasien disesuaikan dengan hasil tes menelan tersebut, yaitu:
1. Pasien dapat menelan air tanpa tersedak dapat dilakukan diet normal.
2. Pasien dapat menelan makanan setengah encer tanpa tersedak dapat
dilakukan pemasangan nasogastric tube (NGT) no.12 dan hanya air.
3. Pasien dapat menelan makanan setengah padat tanpa tersedak dapat
dilakukan pemasangan NGT no.14 diberikan susu diet cair komersial dan
juga obat. Setengah porsi diberikan secara peroral (PO) dan setengah
porsi diberikan melalui NGT
4. Pasien dapat menelan puree tanpa tersedak dapat dilakukan pemasangan
NGT no.16. Seluruh porsi diberikan melalui NGT atau nothing peroral

13
(NPO) atau ¼ porsi dapat diberikan secara PO, ¾ porsi diberikan melalui
NGT.
Secara umum, tata laksana disfagia dapat dilakukan dengan beberapa
tindakan berikut:
1. Latihan/terapi menelan direk atau secara langsung (direct swallowing
therapy).
2. Modifikasi konsistensi/tekstur/volume makanan.
3. Manuver & pengaturan posisi kepala, leher, tubuh (maneuver &
adjusting body position).
4. Stimulasi functional training: stimulasi pasif, sensory enhancement
techniques (meningkatkan tekanan sendok pada lidah ketika
menyuapkan bolus makanan, memberikan bolus dengan rasa asam, bolus
dengan temperatur dingin, bolus yang harus dikunyah, dan sebagainya),
thermal tactile oral stimulation, deep pharyngeal neuromuscular
stimulation, Neuromuscular electric stimulation, transcranial magnetic
stimulation.
5. Fisioterapi dada (chest physiotherapy)
c. Gangguan pengosongan kandung kemih sepertiga sampai dua pertiga pasien
stroke akut. Tujuan pengosongan dalah menstimulasi pusat mikturisi, jika
retensi urin >100cc akan berisiko infeksi dan bila perlu dilakukan
intermitten catheterization (IMC). Terdapat beberapa teknik pengosongan
diantaranya dengan cara pemeriksaan pola buang air kecil, ada atau tidak
masalah prostat, dan melakukan monitor kapasitas bladder/ sisa urin
d. Terapi fisik dada, terbukti dapat menurunkan masa perawatan secara
bermakna
e. Stimulasi sensoris multimodal/stimulasi koma, teknik yang digunakan
menggunakan paparan sensorik eksternal multimodal pada penderita koma
dengan memancing arousal dan respons behaviour,

14
II.8.2 Tatalaksana Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Subakut (Bisa Saat
Rawat Inap Maupun Rawat Jalan)
Stroke fase subakut ditandai oleh kondisi hemodinamik dan proses neurologis
yang telah stabil. Tata laksana neurorestorasi pada fase ini mulai ditambah dengan
program neurorestorasi fungsional termasuk aplikasi berbagai teknik neuro-
modulasi. Gangguan komunikasi seperti afasia, disartria, dan kognisi harus
ditangani sedini mungkin. Jika ada gangguan menelan (disfagia) maka dilakukan
penanganan gangguan menelan yang lebih intensif, sehingga pasien terbebas dari
NGT. Jika ada gangguan ambulasi berjalan, seperti pada pasien yang belum mampu
berjalan, maka harus dilatih berjalan dan tau komponen berjalan sesuai dengan
kemampuan pasien, terus menerus sebanyak dan sesering mungkin. Berikut adalah
beberapa preskripsi latihan yaitu berupa:
1. Teknik latihan untuk ambulasi berjalan terdiri dari latihan dasar persiapan
berjalan, ambulasi berjalan, berjalan secara fungsional, dan endurance
berjalan.
2. Teknik latihan dasar persiapan berjalan
3. Pemilihan modalitas alat terapi, peng- gunaan alat bantu berjalan, ortosis
dapat pula diberikan sesuai dengan preskripsi dokter SpKFR
Metode neurorestoratif paling bermanfaat adalah dengan teknik
neurofasilitasi, diantaranya yaitu:
a. Bobath
Berfokus pada respon kontrol yang timbul sebagai respons terhadap
kerusakan refleks postural. Prinsip utamanya adalah teknik paparan fasilitasi dan
pola gerak normal.
b. Brunnstorm
Merupakan salah satu terapi neurorehabilitatif untuk pasien stroke yang
populer digunakan diseluruh dunia
c. Rood
Banyak menerapkan aktifitas dalam fase developmental, stimulasi sensorik
(terutama jenis stimuli kutaneus), dan klasifikasi kerja otot.
d. Proprioceptive neuromuscular facilitation (PFN)

15
Menggunakan timulasi proprioseptif perifer seperti peregangan dan resistensi
gerak untuk meningkatkan respon motorik yang ada.
Jika terdapat gangguan perawatan diri dan aktivitas sehari-hari, maka penggunaan
teknik latihan yang spesifik diberikan sesuai dengan disabilitas yang ada.
Tatalaksana disabilitas lain yang sering dijumpai sebagai komplikasi pascastroke
diantaranya yaitu:
1. Spastisitas/peningkatan tonus otot karena pemulihan sinergis pada
ekstremitas atas dan bawah dan dapat diberikan intervensi berupa
pemberian toksin botulinum A, kombinasi latihan, terapi manual, hingga
dynamic splinting
2. Pemendekan otot, kekakuan sendi, dan kontraktur; otot harus diposisi- kan
dalam posisi eksentrik, latihan pe- regangan, lingkup gerak sendi, hingga
casting.
3. Subluksasi bahu, nyeri bahu, dan shoulder hand syndrome. Terdapat
perubahan biomekanik yang berbeda dengan proses traumatic shoulder
problem, sehingga diperlukan rontgen hingga USG muskuloskeletal atas
indikasi. Penggunaan alat bantu, stimulasi otot, latihan hingga modalitas
alat yang sesuai kondisi pasien.
Ulkus dekubitus merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi.
Sebagai pencegahan, harus dilakukan positioning, posturing, dan teknik transfer
yang tepat minimal lx/hari. Pencegahan tromboemboli juga hal yang penting untuk
diperhatikan dengan cara perubahan posisi dalam waktu 48 jam terutama pada
tungkai bawah dan memperhatikan antikoagulan yang telahjsedang diberikan.
Pemakaian stocking anti trombotik juga dapat bermanfaat pada kasus-kasus
tertentu.

II.8.3 Tatalaksana Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Kronik (Saat Rawat


Jalan)
Pada fase stroke kronik pada umumnya sudah terbentuk reorganisasi sistem
saraf yang kuat (established), baik yang berdampak positif, yang negatif. Pada fase
ini, tata laksana didasarkan pada adaptasi dan kompensasi terhadap disabilitas yang
ada. Manajemen yang dilakukan meliputi:

16
1. Memaksimalkan kemampuan fungsional/melakukan tugas/aktivitas
tertentu.
2. Kebugaran kardiorespirasi. Pasien harus mendapatkan program latihan
penguatan dan aerobik regular yang disesuaikan dengan komorbiditas dan
keterbatasan fungsi pasien dan telah melewati exercise testing sebelumnya.
3. Persiapan kembali ke tempat kerja. Pekerja pascastroke harus diberi
kesempatan untuk mendapatkan pelatihan ketrampilan yang diperlukan
kembali serta kesempatan bekerja yang fleksibel.
4. Kembali ke masyarakat. Pasien stroke dengan risiko jatuh di komunitas
harus mendapatkan intervensi komprehensif, seperti program exercise
spesifik perindividu untuk mencegah atau mengurangi kejadian dan
keparahan akibat jatuh.

II.9. Neurorestorasi Pada Afasia


Neurorestorasi afasia perlu memperhatikan onset baik itu fase akut ataupun kronik
dan fungsi area atau hemisfer yang perlu diaktifkan atau dideaktivasi. Pada fase
akut sampai dengan tahun pertama pascacedera otak, kelompok keluaran baik
memperlihatkan peningkatan aktivitas pada area sekeliling lesi di hemisfer dominan
yang lebih tinggi dibandingkan peningkatan aktivitas di area homotopik hemisfer
nondominan. Adapun pada kelompok keluaran buruk dijumpai hal yang
berlawanan, yaitu peningkatan aktivitas lebih banyak pada area homotopik
hemisfer nondominan. Pada fase kronik, proses pemulihan berlangsung lebih
lambat dan terjadi secara gradual. Pada kelompok keluaran baik, terjadi
peningkatan aktivitas kompensasi gradual pada area homotopik terutama daerah
frontal dan talamus di hemisfer nondominan. Pada kelompok keluaran buruk,
terjadi pula peningkatan aktivitas di hemisfer nondominan, namun dengan
intensitas yang jauh lebih rendah
Dasar strategi upaya neurorestorasi afasia dapat memakai alternatif dan gabungan
strategi alternatif sebagai berikut:
a. Mengembalikan fungsi bahasa dan bicara, dengan fokus pada modalitas
yang terganggu (language impaired- based treatment).

17
b. Membantu restorasi modalitas bahasa yang terganggu dengan modalitas
bahasa lain yang masih intak
c. Mengompensasi gangguan bahasa yang ada dengan menggunakan
modalitas fungsi luhur/kognitif yang lain.
d. Partisipasi aktif dari caregiver dan penggunaan aplikasi dan teknologi
stimulasi bahasa khusus.

II.9.1 Language Impairment-Based Treatment


Yang termasuk ke dalam strategi berbasis fokus pada modalitas bahasa yang
terganggu ini adalah: Terapi modalitas bahasa dari aspek neurokognitif, verb
network strengthening treatment, constant therapy

II.9.1.1. Terapi Modalitas Bahasa dari Aspek Neurokognitif


a. Terapi untuk gangguan membaca
b. Terapi untuk gangguan menulis
c. Terapi untuk gangguan komprehensi dan produksi kata
d. Terapi untuk gangguan wordfinding
1. Word retrieval cueing strategies (semantic & cueing verbs)
Pendekatan menggunakan "petunjuk” untuk memancing pasien me-
nemukan kata yang diinginkan. Misalnya, suku pertama dari suatu kata
atau petunjuk kontekstuallainnya.
2. Gestural facilitation of naming (GES)
Metoda ini memanfaatkan mekanisme kognitif intak pasien,
menggunakan asosisi gestural ikonik untuk memancing word retrieval
secara verbal.
3. Response elaboration training
Terapis wicaara berelaborasi dengan gumaman atau ucapan penderita
untuk memperbaiki kemampuan bicara
4. Semantic feature analysis treatment
Penderita afasia dibantu mengidentifikasi keterangan semantik penting
yang berkaitan dengan kata target (misalnya gedung, buku, dan tenang
untuk "perpustakaan").

18
II.9.1.2. Verb Network Strengthening Treatment
Terapi yang didesain terutama untuk memperbaiki kesukaran mencari kata
dalam suatu kalimat aktif sederhana Metoda ini menggunakan pasangan kata yang
berhubungan dengan kata target
a. Chaining (forward & reverse), pendekatan dengan cara memecah
kata/kalimat menjadi pendek-pendek, kemudian belajar merangkaitkan dari
awal (atau akhir).
b. Sentence production program for aphasia, program terapi spesifik yang
dirancang untuk memfasilitasi produksi kalimat spesifik tertentu.

II.9.1.3. Constraint Therapy


Constraint-induced aphasia therapy (CIAT) atau yang dikenal juga dengan
constraint-induced language therapy (CILT) merupakan modifikasi dari
constraint-induced movement therapy (CIMT). Metode ini meliputi latihan
berbahasa selama periode waktu tertentu (setidaknya 30 jam setiap latihan selama
dua minggu) dengan meminimalkan komunikasi nonverbal yang diharapkan dapat
meningkatkan keluaran verbal. Keterlibatan anggota keluarga dan ternan dalam
latihan meningkatkan efikasi dari rehabilitasi. Prinsip dari terapi ini ada tiga yaitu:
A. Constraint, berarti menghindari peng- gunaan strategi berkomunikasi yang
lain, misalnya dengan gerakan, meng- gambar dan menulis.
B. Forced Use, berarti satu-satunya cara berkomunikasi yang digunakan
adalah dengan berbicara.
C. Massed Practice, yaitu melakukan latihan terapi sebanyak 2-4 jam per hari.

II.9.2 Membantu Restorasi Gangguan Modalitas Bahasa Dengan Modalitas


Bahasa Lain Yang Masih Intak
Program yang menggunakan dasar ini untuk restorasi kemampuan bahasa
pasien di antaranya adalah melodic intonation therapy (MIT), musical speech
stimulation (MUSTIM), augmentative alternative communication (AAC)

19
II.9.2.1. Melodic Intonation Therapy (MIT)
Terapi ini memakai kemampuan bersenandung dan prosodia pasien yang
biasanya masih intak dari aspek intonasi, melodi, dan ritme untuk meningkatkan
kemampuan jumlah pengucapan frasa dan kalimat
Frasa atau kalimat yang digunakan dalam metode terapi ini merupakan frasa-
frasa yang umum dan sering di- gunakan sehari-hari (misalnya i loveyou,
assalaamu'alaikum, dan sebagainya). Walaupun tampaknya mudah, keluarga/
caregiver pasien perlu mendapat in- struksi spesifik tentang tata cara latihan atau
pengulangan metode ini di rumah masing-masing.

II.9.2.2. Musical Speech Stimulation (MUSTIM)


Teknik ini baik digunakan untuk pasien-pasien afasia nonfluen dan primary
progressive aphasia. Berbeda dengan MIT yang menggunakan intonasi dalam
pengucapan frasa sehari-hari, teknik MUSTIM menggunakan lagu-lagu yang
familier bagi pasien. Umumnya lagu-lagu favorit pasien atau lagu-lagu hafalan
masa kanak-kanak, seperti Naik-naik ke Puncak Gunung, Garuda Pancasila, dan
sebagainya

II.9.2.3. Augmentative Alternative Communication (AAC)


Menggunakan alat bantu augmentasi, seperti papan gambar dan simbol, atau
alat elektronik, untuk membantu penderita afasia mengekspresikan komunikasinya.
Umumnya di awal yang mudah diakses karena banyaknya penggunaan ponsel dan
komputer adalah mengetik di ponsel dan keyboard komputer.

II.9.3 Mengompensasi Gangguan Bahasa Yang Ada Dengan Menggunakan


Modalitas Fungsi Luhur atau Kognitif Yang Lain
Prinsip dasarnya ialah memberi variasi stimulasi sensorik (menebak atau
menceritakan gambar, menebak benda dengan rabaan sambil menutup mata,
menebak lagu, menebak bau, mempelajari bahasa isyarat, dan sebagainya) yang
kaya serta merangsang imajinasi, memori, dan fungsi kognitif lain untuk
memperbaiki komprehensi bahasa.

20
Yang termasuk ke dalam metode terapi multimodal berbahasa ini di antaranya
adalah: Visual Action Therapy (VAT), Promoting Aphasics’ Communication
Effectiveness (PACE), Oral Reading for Language in Aphasia (ORLA)

II.9.3.1. Visual Action Therapy (VAT)


Program yang digunakan bagi penderita afasia global. Pendekatan nonverbal
ini melatih penderita untuk menggunakan gestur tangan untuk menyatakan suatu
benda atau aktivitas spesifik.

II.9.3.2. Promoting Aphasics’ Communication Effectiveness (PACE)


Program yang didesain untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi
menggunakan semua modalitas dalam bertukar pesan. Penderita maupun klinisi
secara bergantian mengarnbil peran sebagai pembawa dan penerima pesan. Metode
ini akan mendorong penderita afasia untuk berperan lebih aktif dalam
berkomunikasi

II.9.3.3. Oral Reading for Language in Aphasia (ORLA)


Metoda yang menggunakan petunjuk auditorik, visual, dan tulisan untuk
membantu penderita afasia membaca dengan suara keras (reading sentences aloud).

II.9.4 Partisipasi Aktif dari Caregiver dan Penggunaan Aplikasi dan Teknologi
Stimulasi Bahasa Khusus
Beberapa program yang dapat diterapkan adalah partner approaches, iPad-
Based speech Therapy, Repetitive transcranial Magnetic Stimulation (rTMS)

II.9.4.1. Partner Approaches


Terdapat pendekatan yang termasuk didalam metode ini yaitu:
a. Conversational coaching
Terapi yang didesain untuk memperbaiki komunikasi antara penderita
afasia dengan partner komunikasi primernya. Klinisi berperan sebagai
pelatih (coach) bagi penderita sekaligus partnernya.
b. Supported Communication Intervention (SCI)

21
Metode komunikasi multimodal antara penderita, pelatihan bagi lawan
komunikasi primernya, dan dalam interaksi sosial (termasuk partisipasi
dalam grup afasia).
c. Social and Life Participation Effectiveness
Pendekatan yang berfokus pada pencapaian target di kehidupan sehari-hari,
termasuk pertimbangan apakah pasien memiliki keluarga yang dapat
mendukung dan membantu keseharian hidup penderita.

II.9.4.2. iPad-Based Speech Therapy


Metode ini dengan latihan bicara sendiri menggunakan aplikasi berbasis
komputer yang terstandarisasi pada pasien afasia akut dan kronik mendapatkan
hasil yang memuaskan. Terapi ini penting pada pasien-pasien yang membutuhkan
latihan terapi jangka panjang, sehingga bisa dilakukan secara mandiri. Tujuannya
adalah untuk membiarkan pasien berperan penting dalarn proses terapinya sendiri,
mulai dari menentukan dosis latihan, batasan kemarnpuan maksimal, dan target
keberhasilan terapinya.

II.9.4.3. Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation (rTMS)


Salah satu metode yang saat ini populer adalah stimulasi menggunakan
transcranial magnetic stimulation secara repetitif (rTMS). TMS merupakan suatu
metode non invasif dalam menginduksi depolarisasi neuron kortikal di bawah
tulang kranium. TMS yang diberikan secara repetitif (rTMS) dengan frekuensi
rendah (<5Hz) pada umumnya menghasilkan inhibisi sinaps yang serupa dengan
fenomena long term depression (LTD). Pada rTMS frekuensi tinggi (>5Hz)
menghasilkan fasilitasi atau eksitasi sinaps, mirip dengan fenomena long-term
potentiation (LTP). Seperti halnya LTP dan LTD, efek eksitasi dan inhibisi sinaps
yang dihasilkan oleh rTMS tetap dapat bertahan beberapa menit hingga beberapa
jam setelah stimulus dihentikan.
Naesser dkk, Martin dkk, Weiduschat dkk melaporkan penggunaan rTMS
frekuensi rendah pada hemisfer non dominan sebagai terapi komplementer terhadap
terapi wicara konvensional pada penderita afasia pascastroke memberikan hasil
yang memuaskan.

22
BAB III

KESIMPULAN

Neurorestorasi adalah proses untuk memulihkan, mempromosikan, atau


mempertahankan integritas fungsi neurologis dengan strategi neurorestoratif,
termasuk fisik (elektronik atau magnetik), kimia (obat atau faktor), biologis (terapi
sel, molekul, bioteknologi, dan rekayasa jaringan), pembedahan, atau jenis
intervensi lainnya, yang biasanya membawa pemulihan struktural dan/atau
fungsional anatomi secara bersamaan. Terdapat beberapa mekanisme yaitu
neurostimulasi atau neuromodulasi, neuroproteksi, neuroplastisitas,
neuroreplacement, reconstruction loop, remyelination, immunoregulasi,
revaskularisasi atau angiogenesis dan lainnya. Pada neurorestorasi pasca stroke
terdapat beberapa cara mulai dari fase akut, subakut, hingga kronik dengan prinsip
dan tujuan yaitu mengoptimalkan pemulihan fungsional dalam menjalankan
aktivitas didalam kehidupan seseorang. Kemudian pada penderita afasia juga
terdapat beberapa metode neurorestorasi untuk mengembalikan fungsi bicara dari
penderita. Pada hal ini terdapat beberapa cara dan metode yang dilakukan mulai
dari untuk mengembalikan kemampuan berbicara, gestur dan pemilihan kata.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Airavaara M, Voutilainen MH, Wang Y, Hoffer B. Neurorestoration.
Parkinsonism Relat Disord. 2012 Jan;18 Suppl 1(0 1):S143-6. doi:
10.1016/S1353-8020(11)70045-1. PMID: 22166416; PMCID:
PMC3245378.
2. Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama.
Jakarta: Departemen Neurologi FK UI; 2017.
3. Huang H, Chen L. Neurorestorative process, law, and mechanisms. Journal
of Neurorestoratology. 2015;3:23-30 https://doi.org/10.2147/JN.S74139
4. International Association of Neurorestoratology. Beijing Declaration of
International Association of Neurorestoratology (IANR). Cell Transplant.
2009;18:487.
5. Parent JM, Elliott RC, Pleasure SJ, Barbaro NM, Lowenstein DH. Aberrant
seizure-induced neurogenesis in experimental temporal lobe epilepsy. Ann
Neurol. 2006;59:81–91.
6. Puderbaugh M, Emmady PD. Neuroplasticity. [Updated 2022 May 8]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557811/

24

Anda mungkin juga menyukai