Anda di halaman 1dari 48

ANALISIS FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN

VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI RUANG GICU


RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG

Oleh
Yuliyana Kumaladewi
NPM 2201201150018

PROPOSAL PENELITIAN

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian proposal

Guna memperolah gelar Magister Keperawatan

Program Pendidikan Magister Program Studi ilmu keperawatan

Peminatan Keperawatan Kritis

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
Tahun 2017
BAB I
P EN D A H U L U A N

I.1 Latar Belakang Penelitian


Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia nosokomial
yang terjadi pada pasien yang menggunakan bantuan ventilasi mekanik lebih dari
dua hari sejak masuk unit perawatan, ditandai oleh perubahan rontgen infiltrat,
perburukan pertukaran gas dan minimal diikuti tiga tanda berikut yaitu
peningkatan suhu badan, distress pernapasan, leukopenia dan perubahan warna
sekret (Azab, S.F.A, Sherbiny, H.S., Saleh, S.H Elsaeed, W.F., Elshafiey, M.M,
Siam, 2015; Safety & Reporting, 2014).
VAP adalah infeksi nosokomial dan kejadian tidak diinginkan (KTD) yang
paling sering terjadi pada pasien dewasa di area kritis dengan frekuensi kejadian
adalah 15-45%. VAP dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien, keluarga
maupun institusi pelayanan kesehatan (rumah sakit) karena memperpanjang durasi
pemakaian ventilator dan memperlama hari rawat di ICU hingga 7-9 hari dengan
angka kematian melebihi 50%. Masing-masing pasien dengan VAP memerlukan
tambahan biaya untuk diagnostik dan pengobatan antara $10.019-$13.647 (Galal,
2016; Jaimes, La, Go, Mu, & Ramı, 2007; Klompas et al., 2014; Teo, 2012;
Wiryana, 2007). Jadi dapat disimpulkan VAP dapat menimbulkan kesakitan,
kematian, memperlama durasi pemasangan ventilator, memperlama hari rawat dan
merugikan RS.
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan
insiden VAP di Amerika Serikat pada tahun 2002 sebanyak 250,000 kasus dengan
angka kematian mencapai 36,000. Pada tahun 2012 terdapat 3,957 insiden VAP
dengan rata-rata angka kejadian di setiap RS mencapai 0.0-4.4 per 1,000 hari
pemakaian ventilator (Safety & Reporting, 2014). Insiden VAP pada pasien
dengan ventilator bisa mencapai diatas 65% dengan angka kematian 24-40%
tergantung faktor resiko yang ada pada pasien (Speroni et al., 2011).
Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI, 2003), faktor resiko
VAP terdiri atas faktor pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen)
yang saling berinteraksi menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran napas
bagian atas atau pencernaaan (PDPI, 2003). Berdasarkan studi literatur, secara
umum faktor endogen yang bepengaruh terhadap VAP terdiri dari tiga faktor yaitu
faktor sebab masuk ICU, faktor host/pasien itu sendiri dan faktor skor perburukan
pasien. Berdasarkan sebab masuk ICU atau diagnosa pasien, ada delapan penyakit
yang secara signifikan berhubungan dengan kejadian VAP yaitu penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), diabetes melitus tipe II, stroke, gagal jantung kongestif,
hiperoksimea, syok, gagal organ dan gagal ginjal (Brotfain et al., 2016; Karatas &
, Sedat Saylan , Ugur Kostakogl, 2016; Makris, Desrousseaux, Zakynthinos,
Durocher, & Nseir, 2011; Six et al., 2016; Tseng et al., 2012). Diagnosa masuk
yang paling signifikan berpengaruh pada VAP adalah DM Tipe II (Khezri et al.,
2016). Namun, sebab atau diagnosa masuk adalah sesuatu yang tidak dapat
diubah maka tidak akan diteliti.
Faktor host yang berpengaruh terhadap kejadian VAP adalah usia tua,
GCS >10, jenis kelamin laki-laki, demam, riwayat memakai antibiotik dan
riwayat hospitalisasi sebelumnya (Forel et al., 2012; Karatas & , Sedat Saylan,
Ugur Kostakogl, 2016; Lahoorpour, Delpisheh, & Afkhamzadeh, 2013; Sheng et
al., 2014; Siniscalchi et al., 2016). Pada faktor host ini diperoleh faktor yang
paling signifikan berpengaruh pada VAP adalah usia tua dan riwayat antibiotik.
Namun usia tua adalah faktor yang tidak dapat diubah, maka tidak dapat diteliti.
Riwayat antibiotik adalah faktor endogen yang paling sering muncul dan
paling berpengaruh terhadap kejadian VAP (Karatas & , Sedat Saylan , Ugur
Kostakogl, 2016; Lahoorpour et al., 2013). Penelitian case control terhadap 149
pasien ICU oleh Lahoorpour,et.al (2013) menyatakan bahwa faktor resiko yang
paling berpengaruh dalam insiden VAP adalah riwayat mengkonsumsi antibiotik.
Pemberian antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan kekambuhan VAP. Hal
ini juga sesuai dengan penelitian Karatas et al (2016) bahwa riwayat antibiotik
berpengaruh terhadap insiden VAP. Pasien yang mendapat antibiotik untuk
profilaktik operasi dan menggunakan antibiotik lama dapat meningkatkan
kolonisasi oleh bakteri patogen yang resistan terhadap antibiotik.
Hasil meta analisis terhadap enam penelitian random control trial
menyatakan bahwa penggunaan antibiotik 10-15 hari dapat meningkatkan insiden
VAP dibandingkan yang 7-8 hari (Pugh, Grant, Rpd, & Dempsey, 2015). Tingkat
kematian pasien dengan VAP mencapai 20-50% dimana 70% diantaranya
disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik (Anandita, 2009).
Insiden VAP karena bakteri gram negatif yang resisten terhadap antibiotik ini
dapat diturunkan dengan cara mengganti antibiotik secara berkala, pembatasan
penggunaan cefetazidime dan ciprofloxacin untuk terapi definitif dan empiris,
melakukan rotasi terhadap agen antimikroba yang digunakan; melakukan
supervisi dan kontrol antibiotik dan menggunakan antibiotik sesuai pola resistensi
kuman (Anandita, 2009; Tablan, Anderson, Besser, Bridges, & Hajjeh, 2003).
Riwayat penggunaan antibiotik termasuk faktor yang tidak dapat
dimodifikasi, namun strategi yang dilakukan diatas dapat membantu perawat
mencegah resistensi obat yang dapat meningkatkan insiden VAP. Perawat
pencegah pengendali infeksi (IPCN) yang bertugas melakukan surveilans infeksi
di ICU juga berperan dalam memonitor penggunaan antibiotika yang rasional
sesuai program pencegahan pengendalian infeksi (PPI) rumah sakit (DEPKES,
2009). Setelah melakukan monitoring lama antibiotik IPCN berkolaborasi dengan
dokter dan farmasi dalam mencegah terjadinya resistensi antibiotik yang dapat
meningkatkan insiden VAP. Hasil studi pendahuluan pada bulan Agustus 2016
wawancara terhadap IPCN RSUP Dr. Moh Hoesin (RSMH) Palembang
menyatakan bahwa RS sudah memiliki tenaga farmasi yang mengawasi
pemberian antibiotik di ruang GICU namun belum ada peta pola resistensi kuman
sehingga penentuan antibiotik sering diberikan berdasarkan prognosis penyakit
pasien. Berdasarkan pertimbangan ini maka peneliti ingin meneliti pengaruh lama
pemakaian antibiotik terhadap VAP.
Selain faktor host dan sebab masuk, skor perburukan juga faktor endogen
yang berpengaruh pada VAP. Skor perburukan yang berpengaruh terhadap VAP
adalah Skor APACHE II >20, Skor SOFA >7, skor Child-Turcotte- Pugh (CTP),
skor Simplified acute physiology score (SAPS) II, indeks oksigenasi yang tinggi
dan index charlson comorbidity yang tinggi (Brotfain et al., 2016; Karatas & ,
Sedat Saylan , Ugur Kostakogl, 2016; Makris et al., 2011; Siniscalchi et al., 2016;
Tseng et al., 2012). Skor perburukan yang paling sering muncul dan signifikan
berhubungan dengan VAP adalah skor APACHE II yang tinggi.
Hasil penelitian kohort restrospektif terhadap 1560 pasien ICU oleh
Karatas (2016) menyatakan bahwa APACHE II yang tinggi (>21) berhubungan
dengan kejadian VAP. Penelitian Broftain (2016) menyatakan bahwa APACHE II
yang tinggi (>20) setelah diuji multivariat dengan faktor lain paling berpengaruh
terhadap VAP pada pasien ICU. Hal ini juga sesuai dengan penelitian kohort
retrospektif pada 163 pasien ICU dewasa di RS Kaohsiung Taiwan, hasil uji
regresi menyatakan bahwa APACHE II berpengaruh terhadap kejadian VAP
dimana kelompok VAP yang ketergantungan terhadap ventilator skor APACHE II
nya lebih tinggi dibanding yang tidak, bila skor APACHE > 23 maka pasien akan
kesulitan untuk weaning ventilator dan meningkatkan resiko VAP (Tseng et al.,
2012).
Menurut Chamberlain et al (2013) APACHE II digunakan untuk
mengukur tingkat keparahan penyakit dan memprediksi mortalitas. Walaupun
VAP adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi namun dengan menghitung
APACHE II dalam 24 jam pertama pasien masuk, perawat dapat memprediksi
prognosis untuk terjadi VAP, resiko mortalitas dan kemampuan pasien untuk
weaning ventilator. Karena itu, penting bagi perawat untuk melihat faktor
endogen ini (APACHE II yang tinggi) agar dapat mengantisipasi lebih awal
pasien mana yang lebih berisiko terjadi VAP sehingga dapat mencegah insiden
VAP.
Menurut Teo (2012) saat pasien terpapar dengan faktor eksogen seperti
prosedur invasif dan pelanggaran kewaspadaan infeksi maka resiko VAP akan
meningkat. Berdasarkan literatur review secara umum faktor eksogen yang
berpengaruh terhadap kejadian VAP adalah faktor intervensi dan faktor lama hari
yang mempengaruhi peningkatan kolonisasi kuman. Adapun faktor lama hari
yang berpengaruh terhadap VAP adalah lama hari pemakaian ventilator, lama hari
rawat ICU dan lama hari mengalami hipoksemia (Lahoorpour et al., 2013; Sheng
et al., 2014; Six et al., 2016).
Lama pemakaian ventilator merupakan faktor lama hari yang paling sering
muncul dan paling berpengaruh terhadap kejadian VAP (Sheng et al., 2014;
Siniscalchi et al., 2016). Menurut Sheng et.al (2014) selama terpasang ventilator
jumlah kuman patogen meningkat 13-55% setiap harinya, sehingga pemakaian
ventilator > 3 hari secara signifikan berhubungan dengan kejadian VAP dan 20%
pasien yang VAP memiliki 2 atau lebih kuman pathogen. Hasil penelitian kohort
retrospektif pada pasien post transplantasi liver oleh Sinischalchi et.al (2016) juga
menyatakan bahwa lama pemakaian ventilator merupakan faktor yang paling
berpengaruh pada insiden VAP di ICU. Bundles pencegahan VAP menurut CDC
menyatakan untuk segera melepas ventilator jika pasien mulai membaik. Salah
satu strategi yang bisa dilakukan perawat adalah melakukan weaning ventilator
dan weaning sedasi dengan menghentikan sedasi kontinu setiap harinya (Cason,
Tyner, Saunders, & Broome, 2007). Hasil studi pendahuluan di ruang GICU pada
bulan Januari 2017 terdapat 50% pasien dengan lama hari pemakaian ventilator
lebih dari 5 hari dan rata-rata lenght of stay (LOS) adalah 9,22 hari. Hal ini dapat
meningkatkan resiko kejadian VAP maka perlu penelitian lebih lanjut tentang
faktor lama hari pemakaian ventilator terhadap kejadian VAP.
Selain lama hari, faktor eksogen yang juga harus diantisipasi perawat
adalah faktor intervensi. Adapun faktor intervensi yang berpengaruh terhadap
VAP adalah pemberian nutrisi enteral, sedasi, trakeostomi, operasi emergency,
tranfusi darah merah, reintubasi, intubasi emergency, terapi terlipressin dan terapi
proton pump inhibitor (Hsu, Liao, Li, & Chiou, 2011; Joseph, Sistla, Dutta,
Badhe, & Parija, 2009; Karatas & , Sedat Saylan , Ugur Kostakogl, 2016;
Siniscalchi et al., 2016; Six et al., 2016). Faktor intervensi yang paling sering
muncul dan paling berpengaruh terhadap VAP adalah reintubasi.
Penelitian Karatas et al (2016), pada pasien ICU menyatakan bahwa
reintubasi berhubungan dengan kejadian VAP. Hal ini juga sesuai dengan
penelitian retrospektif oleh Sheng, et.al (2014) yang meneliti 1688 pasien pasca
operasi jantung di ICU RS Qingdao Cina diperoleh hasil uji multivariat bahwa
reintubasi adalah faktor yang paling bepengaruh dalam kejadian VAP di ICU.
Penelitian yang lebih baik lagi dengan metode prospektif selama 15 bulan di India
menyatakan bahwa reintubasi dan trakeostomi merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap kejadian VAP late onset (Joseph et al., 2009).
Proses intubasi meningkatkan resiko penumonia karena adanya cedera
yang merusak mukosa jalan nafas serta fungsi mekanisme pertahanan fisiologis,
gas yang diberikan langsung ke alveoli juga memicu resiko infeksi VAP. Intubasi
ulang meningkatkan resiko aspirasi bakteri nosokomial yang berkolonisasi di
orofaring, sehingga dapat meningkatkan resiko VAP hingga 6 kali lipat. Perawat
dapat mencegah reintubasi dengan cara merencanakan ekstubasi sesuai protokol
weaning, melakukan weaning ventilator misalnya dengan menggunakan T-piece,
menggunakan ventilator non invasif (NIV) dan mencegah tercabutnya ETT secara
tiba-tiba (Coppadoro, Bittner, & Berra, 2012; Karatas & , Sedat Saylan , Ugur
Kostakogl, 2016; Sheng et al., 2014). Kejadian reintubasi di ruang GICU RSMH
cukup tinggi dengan rata-rata kejadian reintubasi di bulan Januari 2017 adalah
10% (4 dari 40 pasien yang terpasang ventilator). Tingginya angka kejadian
reintubasi dapat meningkatkan resiko aspirasi dan insiden VAP, maka perlu
dilihat pengaruh faktor reintubasi terhadap kejadian VAP.
Selain faktor-faktor diatas, kurangnya kepatuhan kebersihan tangan adalah
faktor personil yang paling berpengaruh terhadap kejadian VAP (Augustyn,
2007). Penelitian intervensi selama 3 bulan terhadap 352 pasien yang terpasang
ventilator di India menyatakan bahwa pasien yang dilakukan intervensi
pengendalian infeksi dan kebersihan tangan dengan handrub berbasis alkohol
memiliki insiden VAP yang rendah dibanding yang tidak (Saramma,
Krishnakumar, Dash, & Sarma, 2011). Tangan petugas kesehatan merupakan
transmisi utama pembawa mikroorganisme. Selama merawat pasien, tangan
petugas menyentuh permukaan lingkungan, kulit pasien, membran mukosa dan
cairan tubuh. Setiap paparan ini dapat menyebabkan pertukaran mikroorganisme.
Tindakan kebersihan tangan merupakan salah satu strategi untuk mencegah
transmisi silang mikroorganisme ini (Sax et al, 2007).
Data Subkomite PPI RSMH Palembang, rata-rata angka kepatuhan
kebersihan tangan ruang GICU selama tahun 2016 untuk perawat 81% dan dokter
64%. Hal ini masih tergolong tidak patuh, sesuai dengan penelitian Foote (2014)
bahwa kepatuhan kebersihan tangan adalah bila petugas melakukan > 90% pada 5
momen kebersihan tangan menurut WHO yaitu sebelum kontak dengan pasien,
sebelum melakukan tindakan aseptik, setelah kontak dengan pasien, setelah
kontak dengan cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan lingkungan sekitar
pasien. Rata-rata BOR ruang GICU RSMH Palembang pada bulan Januari 2017
adalah 82 % dengan jumlah 13 bed. Pada saat dinas sore dan malam jumlah
perawat jaga rata-rata 6 orang artinya perawat bertugas merawat lebih dari satu
pasien. Hal ini dapat meningkatkan kemungkinan kontaminasi silang di GICU
RSMH. Kurangnya kepatuhan perawat, BOR yang tinggi dan belum adanya
penelitian yang menghubungkan ketidakpatuhan kebersihan tangan dengan faktor
resiko lain menjadi pertimbangan penyusun untuk meneliti faktor ini terhadap
VAP.
RSMH Palembang merupakan rumah sakit kelas A Pendidikan
berdasarkan SK Menkes. No.634/12 Sept 2009 yang merupakan rujukan nasional
untuk pulau Sumatera. RSMH telah lulus akreditasi KARS dan akreditasi
internasional versi JCI. Ruang perawatan intensif (ICU) merupakan salah satu unit
pelayanan yang dikelola secara khusus dengan mengutamakan Patient Safety
(Standar Pelayananan Keperawatan ICU Di Rumah Sakit, 2011).
Angka kejadian VAP di RSMH pada tahun 2015 rata-rata 6,55 per 1000
hari pemasangan ventilator. Hal ini melebihi angka indikator mutu RS menurut
KEMENKES RI (2016), dimana VAP tidak boleh > 5,8 permil. RSMH memiliki
tim khusus dalam pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI). Tim PPI khususnya
perawat pengendali infeksi (IPCN) setiap hari melakukan surveilans terkait
kejadian infeksi. Selama periode Januari-Juli 2016 terjadi VAP di GICU terjadi
sebanyak 4,25 per 1000 hari pemasangan ventilator dan merupakan infeksi
nosokomial tertinggi di RSMH.
Hasil studi pendahuluan pada bulan Agustus 2016 diruang GICU RSMH
Palembang rata-rata pasien menggunakan ventilator 40 orang, berdasarkan
observasi seminggu terhadap 10 pasien di GICU RSMH setelah dilakukan kontrol
dengan melakukan bundles pencegahan VAP sebanyak 2 pasien mengalami
peningkatan Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) > 6 sisanya 2 orang
mengalami penurunan dan 6 orang pasien tidak mengalami perubahan. CPIS
adalah instrumen untuk mendiagnosa kejadian VAP pada pasien yang terpasang
ventilator mekanik, jika dari komponen didapat nilai lebih dari 6 maka pasien
dapat didiagnosa VAP (Cass, Mckeown, Kelly, & Member, 2011).
Upaya yang dilakukan PPI RSMH dalam mencegah VAP diantaranya
melakukan surveilans VAP setiap hari oleh IPCN, membuat bundles SPO VAP,
dan melakukan bundles VAP tersebut yang mengacu pada CDC dan standar JCI.
Bundles VAP adalah suatu kumpulan Evidence-base practice, yang ketika
diimplementasikan secara bersama-sama, akan menghasilkan penurunan insiden
VAP (IHI, 2005). Bundles pencegahan VAP menurut The Institute Health Care
Improvement (IHI) terdiri dari elevasi kepala antara 30-45 derajat; weaning sedasi
dan kesiapan untuk ekstubasi setiap hari; pemberian Prophylaxis Peptic Ulcer
Disease (PUD) dan Prophylaxis Deep Venous Thrombosis (DVT) kecuali kontra
indikasi (IHI, 2006). Sedangkan menurut CDC bundles pencegahan VAP terdiri
dari melakukan kebersihan tangan, melakukan pelatihan pencegahan pengendalian
infeksi (PPI), suction subglotis, elevasi kepala 30-45o dan melakukan oral hiegene
dengan clorheksidin secara rutin (Cason et al., 2007).
Kepatuhan petugas GICU RSMH melakukan bundles VAP pada bulan
Agustus 2016 adalah 83%, hanya 2 pasien yang dilakukan bundles 100 % sisanya
tidak dilakukan pemberian profilaksis DVT oleh dokter karena pasien memiliki
faktor pembekuan darah yang rendah. Hal ini sesuai dengan bundles IHI dimana
tidak dilakukan pemberian DVT bila kontra indikasi. Bundles VAP yang dapat
dilakukan perawat adalah kebersihan tangan, elevasi kepala pasien, oral hiegene
dengan clorheksidin 2-3x sehari, weaning sedasi dan weaning ventilator setiap
hari (Teo, 2012). Berbagai upaya telah dilakukan PPI RSMH untuk menurunkan
insiden VAP termasuk melakukan bundles sesuai standar JCI, melaporkan hasil
surveilans VAP kepada Direktur RSMH, Dinkes dan Kemenkes setiap bulannya.
Namun angka VAP yang masih tinggi menunjukkan bahwa ada faktor lain yang
berpengaruh terhadap VAP di ruang GICU RSMH.
Faktor yang akan diteliti seperti yang dijabarkan sebelumnya dipilih
berdasarkan literatur review dan pertimbangan faktor ini memiliki rekomendasi
yang bisa dilakukan selanjutnya bila terbukti berpengaruh terhadap VAP antara
lain faktor endogen (skor APACHE II , lama pemakaian antibiotik) dan faktor
eksogen (intubasi ulang, lama pemakaian ventilator, dan ketidakpatuhan
kebersihan tangan petugas. Faktor-faktor ini merupakan hasil penelitian faktor
resiko VAP di luar negeri. Masih tingginya angka kejadian VAP, masih
sedikitnya publikasi penelitian VAP di Indonesia dan belum adanya penelitian
faktor yang berpengaruh terhadap VAP di RSMH Palembang menjadi
pertimbangan untuk meneliti “Analisis Faktor Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian VAP di Ruang GICU RSMH Palembang””. Hasil penelitian berupa
faktor mana yang paling berpengaruh diharapkan dapat menjadi pertimbangan
dalam penentuan kebijakan PPI dan standar RS sehingga dapat menurunkan
insiden VAP.

I.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengetahui bagaimana
pengaruh faktor endogen (skor APACHE II, dan lama pemakaian antibiotik) dan
faktor eksogen (lama pemakaian ventilator, reintubasi dan ketidakpatuhan
kebersihan tangan) terhadap kejadian VAP di ruang GICU RSMH Palembang.

I.3. Tujuan Penelitan


1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian VAP di
ruang GICU RSMH Palembang.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengaruh skor APACHE II terhadap kejadian VAP
b. Mengetahui pengaruh lama pemakaian ventilator terhadap kejadian VAP
c. Mengetahui pengaruh lama pemakaian antibiotik terhadap kejadian VAP
d. Mengetahui pengaruh ketidakpatuhan kebersihan tangan petugas terhadap
kejadian VAP
e. Mengetahui pengaruh intubasi ulang terhadap kejadian VAP
f. Mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap timbulnya kejadian
VAP pada pasien di ruang GICU RSMH Palembang.

I.4. Manfaat Penelitian


1) Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan keperawatan kritis tentang
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian VAP, khususnya dalam
mencegah dan menurunkan insiden VAP di ruang GICU RSMH
Palembang.
2) Manfaat Praktik Keperawatan
a. Diharapkan dapat memberi manfaat dalam meningkatkan kualitas
pelayanan asuhan keperawatan khususnya dalam menurunkan
kejadian infeksi nosokomial pneumonia akibat pemasangan ventilator
mekanik.
b. Diharapkan dapat memberi masukan dalam usaha peningkatan
kualitas pelayanan pada pasien terpasang ventilator mekanik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas kajian pustaka tentang VAP pada pasien kritis,
instrumen pengukuran VAP, bundles pencegahan VAP, peran perawat
dalam pencegahan VAP, kerangka pemikiran serta hipotesis penelitian.

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 VAP Pada Pasien Kritis
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu unit dari rumah sakit yang
bersifat spesifik, dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus
yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien kritis yang
menderita penyakit, cedera atau penyulit yang mengancam jiwa atau
potensial mengancam jiwa. Pasien kritis memerlukan pemasangan alat-alat
invasif seperti arteri line, kateter vena central dan ventilator. 80 % pasien
kritis dilakukan pemasangan ventilasi mekanik (Karatas & , Sedat Saylan ,
Ugur Kostakogl, 2016).
Menurut Urden, Stacy & Lough (2010) pemasangan ventilasi
mekanik diperlukan untuk meningkatkan pertukaran gas di paru. Indikasi
penggunaan ventilasi mekanik terdiri dari indikasi fisiologis (mendukung
perubahan pertukaran gas kardiopulmonar, meningkatkan kapasitas paru
dan mengurangi work of breathing) dan indikasi klinis (hipoksemia,
asidosis respiratorik, distress pernapasan, mencegah atelektasis, kelelahan
otot pernapasan, meningkatkan konsumsi oksigen, menurunkan tekanan
intrakraneal, menstabilisasi dinding dada, memfasilitasi sedasi dan obat
neuromuskular blokade.
Komplikasi tersering dari pemasangan ventilasi mekanik adalah
VAP. Kejadian VAP pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik
berkisar antara 5-10%. Kejadian VAP di Amerika Serikat menurut CDC
pada tahun 2002 yaitu 250,000 kasus setahun dan 36.000 diantaranya
meninggal dunia. Pada tahun 2012 National Healthcare Safety Network
(NHSN) melaporkan ada sebanyak 3,957 kasus VAP dan insiden di tiap
RS berkisar antara 0.0-4.4 per 1,000 hari pemakaian ventilator. VAP dapat
meningkatkan hari rawat ICU hingga rata-rata 4-6 hari, meningkatkan
resiko kematian hingga 2 kali lipat dan meningkatkan biaya sampai
$10,000 (Carrigan, 2011; Tablan et al., 2003). Penelitian Tsakiridou et.al.
(2014) terhadap pasien yang VAP disebabkan oleh acinetobacter
menyatakan bahwa VAP dapat memperlama hari rawat ICU dan
meningkatkan resiko terjadinya sepsis dan infeksi nosokomial lain (infeksi
saluran kemih, infeksi aliran darah primer dan bakteriemia).
VAP merugikan pasien dan RS dari segi biaya, meningkatkan lama
hari rawat dan menyebabkan kematian, kecacatan dan resiko terkena
infeksi nosokomial lain. Panduan teknis penilaian indikator kinerja
direktur RS menurut Kemenkes (2016) menyatakan bahwa VAP termasuk
didalam indikator mutu RS untuk kategori pengendalian infeksi bersama
dengan kepatuhan cuci tangan dan infeksi nosokomial lain (infeksi daerah
operasi, flebitis, infeksi saluran kemih dan infeksi aliran darah). Standar
VAP adalah 5,8 kasus per 1000 hari pemakaian ventilator. Beberapa RS
umum atau vertikal rutin melaporkan angka VAP ke kemenkes. Angka
VAP di RS Jantung Harapan Kita pada tahun 2016 adalah 0,075 kasus per
1000 hari pemakaian ventilator sedangkan di RS Kanker Dharmais adalah
0,05 per 1000 hari pemakaian ventilator mekanik.
VAP adalah infeksi pada saluran napas bawah yang mengenai
parenkim paru setelah pemakaian ventilasi mekanik > 48 jam baik melalui
pipa endotrakea maupun pipa trakeostomi, dan sebelumnya tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi saluran napas. Kriteria VAP ditandai
dengan adanya infiltrat baru atau progresif yang menetap, efusi pluera,
konsolidasi dan kavitasi pada hasil radiologi yang diikuti oleh minimal dua
tanda berikut ini yaitu demam dengan suhu > 38,3o C atau hipotermia <36
o
C, leukopenia < 4.000 WBC/mm3) atau leukositosis (≥12.000
SDP/mm3), perubahan warna sputum atau timbulnya onset baru sputum
purulen (>25 neutrofil per lapang pandang penglihatan dasar), terjadinya
batuk yang memburuk atau dyspnea (sesak napas) atau tachypnea, ronki
basah atau suara napas bronchial, memburuknya pertukaran gas, misalnya
desaturasi O2 (PaO2/FiO2 ≤240) dan peningkatan kebutuhan oksigen, atau
perlunya peningkatan ventilator (KEMENKES, 2016; Siniscalchi et al.,
2016; Six et al., 2016; Tseng et al., 2012; Wiryana, 2007).
Selain tanda gejala diatas, diagnostik VAP juga ditentukan oleh
hasil kultur mikrobiologi dari aspirasi endotrakeal atau bronchoalveolar
lavage (BAL) yaitu ditemukan hasil kultur kuantitatif positif dari specimen
BAL atau aspirasi trakea dengan tehnik brush steril (dengan ambang batas
1 × 105 cfu/mL pada specimen cair BAL, dan 1 × 106 cfu/mL pada
specimen aspirasi endotrakea) (Siniscalchi et al., 2016).
VAP terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian
bawah. Ada empat rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran
napas bagian bawah yaitu aspirasi, merupakan rute terbanyak pada kasus-
kasus tertentu seperti kasus neurologis dan usia lanjut; inhalasi, misalnya
kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien;
hematogenik dan penyebaran langsung. Pasien yang mempunyai faktor
predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko mengalami pneumonia
nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk
ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan pejamu
yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan
inflamasi sehingga terjadi pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu
(endogen) dan faktor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan
kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan
makanan. Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram
negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak
< 5%. Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri
tersebut merupakan titik awal yang penting untuk terjadi pneumonia
(PDPI, 2003). Menurut CDC (2003) selain Staphylococcus aureus bakteri
basil gram negatif yang juga sering menyebabkan VAP adalah
Pseudomonas aeruginosa, Proteus spp., dan Acinetobacter spp.
Onset VAP dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu early dan late onset.
Early onset terjadi antara 48-96 jam setelah intubasi dan disebabkan oleh
organisme yang masih sensitif dengan antibiotik seperti Escherichia coli,
Klebsiella penumonia., Proteus sp, Streptococcus pneumoniae, H.
influenzae, serratia marcescens dan Staphylococcus. Aureus). Sedangkan
late onset terjadi lebih dari 96 jam setelah intubasi dan disebabkan oleh
organisme yang resisten terhadap antibiotik seperti Enterobacter,
Pseudomonas aeruginosa, Methicilin-resistant S. Aureus (MRSA) dan
Acinetobacter sp. (Augustyn, 2007; Tablan et al., 2003).
Patofisiologi VAP melibatkan dua proses utama yaitu kolonisasi
pada saluran pernapasan dan saluran pencernaan atau mikroaspirasi sekret
dari saluran pernapasan atas dan bawah. Kolonisasi adalah adanya bakteri
tanpa respon aktif dari host. Kolonisasi bakteri di paru-paru bisa terjadi
karena penyebaran organisme dari berbagai sumber termasuk orofaring,
rongga sinus, plak gigi, saluran pencernaan, kontak dari pasien ke pasien
dan sirkuit ventilator. Inhalasi kolonisasi bakteri dari berbagai sumber ini
dapat mengaktifkan respon host yang menyebabkan VAP (Augustyn,
2007).
Adanya endotrakeal tube (ETT) membuka jalan untuk bakteri yang
telah berkolonisasi masuk ke dalam saluran pernapasan bawah. Sekret dari
mulut dan saluran pernafasan atas dapat berkumpul diatas cuff dan selang
ETT membentuk biofilm. Mulai dari 12 jam setelah intubasi, biofilm, yang
terdiri dari sejumlah besar bakteri menyebar ke dalam paru-paru karena
pernafasan yang ditiupkan oleh ventilator. Biofilm tersebut akan
memudahkan kuman untuk menginvasi parenkim paru lebih lanjut sampai
kemudian terjadi reaksi peradangan di parenkim paru Sebagai tambahan,
biofilm dapat terlepas karena adanya salin yang masuk pada saat suction,
batuk dan perubahan posisi selang (Augustyn, 2007).
Saluran pernafasan normal memiliki berbagai mekanisme
pertahanan paru terhadap infeksi seperti glottis dan laring, refleks batuk,
sekresi trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas humoral serta sistem
fagositik. Terpasangnya Endotracheal Tube (ETT) akan menjadi jalan
masuk bakteri secara langsung menuju saluran nafas bagian bawah. Hal ini
akan mengakibatkan adanya bahaya antara saluran nafas bagian atas dan
trakea, yaitu terbukanya saluran nafas bagian atas dan tersedianya jalan
masuk bakteri secara langsung. Karena terbukanya saluran nafas bagian
atas akan terjadi penurunan kemampuan tubuh untuk menyaring dan
menghangatkan udara. Selain itu, reflek batuk sering ditekan atau
dikurangi dengan adanya pemasangan Endotracheal Tube (ETT), dan
gangguan pada pertahanan silia mukosa saluran nafas karena adanya
cidera pada mukosa pada saat intubasi dilakukan, sehingga akan menjadi
tempat bakteri untuk berkolonisasi pada trakea. Keadaan ini akan
mengakibatkan peningkatan produksi dan sekresi sekret (Augustyn, 2007).
Aspirasi dari lambung adalah salah satu potensial penyebab VAP
karena lambung berfungsi sebagai reservoir bagi bakteri. Sebagian besar
pasien dengan ventilasi mekanik dipasang NGT atau OGT untuk diet
enteral, administrasi obat dan dekompresi gaster. Adanya NGT atau OGT
ini dapat menganggu spinchter gastroesofagus dan menyediakan jalan
masuk untuk bakteri bertranslokasi ke orofaring dan kolonisasi di saluran
pernapasan atas. Diet enteral meningkatkan pH dan volume gaster, kedua
hal ini juga meningkatkan resiko kolonisasi dan bakteri (Augustyn, 2007).

2.1.2 Instrumen Pengukuran VAP


Instrumen pengukuran VAP yang sudah teruji dan sering
digunakan adalah Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS). Nilai atau
skor dimulai dari 0 sampai 2 berdasarkan nilai pengukuran suhu tubuh,
leukosit, sekret trakea, fraksi oksigenasi, foto torak dan pemeriksaan
mikrobiologi. Bila dari hasil pemeriksaan komponen tersebut didapatkan
nilai > 6, maka pasien dinyatakan VAP. Diagnosis VAP ini ditegakkan
setelah menyingkirkan adanya pneumonia sebelumnya (Cass et al., 2011)
CPIS ditemukan oleh dr. Pugin pada tahun 1991. CPIS merupakan
sistem multifaktor dalam menegakkan VAP. Metode ini berdasarkan
pemeriksaan klinis, radiologik, dan fisiologik Ada dua model komponen
CPIS yang digunakan untuk menilai VAP yaitu CPIS klasik dengan
disertai pemeriksaan kultur dan CPIS modifikasi tanpa disertai
pemeriksaan kultur. Keuntungan dari CPIS klasik, dengan adanya
pemeriksaan kultur memberikan manfaat sehingga dapat dihindari
pemberian antibiotik yang tidak perlu. Untuk jenis modifikasi CPIS maka
komponen yang diperiksa adalah suhu tubuh, leukosit darah, sekret trakea,
oksigenasi dan foto torak (Cass et al., 2011). Dibawah ini instrumen CPIS
yang akan dipakai untuk mengukur kejadian VAP pada penelitian ini:
Tabel 2.1 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)

Komponen Nilai Skor


≥36,5 dan ≤38,4 0
o
Suhu ( C) ≥38,5 dan ≤38,9 1
≥39,0 dan ≤36,0 2

3 ≥4000 dan ≤11000 0


Leukosit (/mm )
<4000 dan > 11000 1
Sedikit 0
Sedang 1
Sekret trakea
Banyak 2
Purulen 1

Oksigenasi PaO /FiO >240 atau terdapat ARDS 0


2 2
(mmHg) ≤240 dan tidak ada ARDS 2

Tidak ada infiltrat 0


Foto toraks Bercak atau infiltrat difus 1
Infiltrat terlokalisir 2
(Cass et al., 2011).

2.1.3 Faktor-faktor Resiko VAP


Faktor resiko VAP terdiri dari faktor pejamu (endogen) dan faktor
risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di
saluran napas bagian atas atau pencernaaan. Faktor penjamu (endogen)
adalah faktor risiko pada pneumonia yang berhubungan dengan daya tahan
tubuh antara lain penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK,
diabetes, alkoholisme, azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama,
koma, pemakaian obat tidur, sedasi berat, perokok, perburukan penyakit,
imunosupresi, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid, pengobatan
antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi berat
di luar paru dan cidera paru akut serta bronkiektasis. Sedangkan faktor
eksogennya adalah aspirasi (penurunan kesadaran, gangguan motilitas
usus, gangguan menelan, perlambatan pompa lambung dan tertekannya
refleks muntah), faktor lingkungan (kontaminasi peralatan invasif,
kontaminasi dari tangan petugas, pasien MDR tidak diisolasi),
pembedahan, penggunaan antibiotik, pemasangan pipa/selang nasogastrik
dan pemberian antasid/histamin 2 blocker (PDPI, 2003; Teo, 2012).
Perawat sebagai petugas kesehatan yang selalu kontak dengan
pasien selama 24 jam perlu mengantisipasi faktor resiko pada pasien yang
terpasang ventilator mekanik agar mencegah terjadinya komplikasi dari
pemasangan ventilator yaitu infeksi nosokomial yang dapat merugikan
pasien dan RS.
2.1.3.1 Faktor Endogen
Berdasarkan studi literatur pada tabel 2.2 ada banyak faktor
endogen yang berhubungan dengan kejadian VAP. Secara umum faktor
endogen yang bepengaruh terhadap VAP terdiri dari tiga faktor yaitu
faktor sebab masuk ICU, faktor host/pasien itu sendiri dan faktor skor
perburukan pasien.
Berdasarkan sebab masuk ICU atau diagnosa pasien, ada delapan
penyakit yang secara signifikan berhubungan dengan kejadian VAP yaitu
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), diabetes melitus tipe II, stroke,
gagal jantung kongestif, hiperoksimea, syok, gagal organ dan gagal ginjal
(Brotfain et al., 2016; Karatas & , Sedat Saylan , Ugur Kostakogl, 2016;
Makris, Desrousseaux, Zakynthinos, Durocher, & Nseir, 2011; Six et al.,
2016; Tseng et al., 2012). Diagnosa masuk yang paling signifikan
berpengaruh pada VAP adalah DM Tipe II (Khezri et al., 2016). Namun,
sebab atau diagnosa masuk adalah sesuatu yang tidak dapat diubah maka
tidak akan diteliti.
Faktor host yang berpengaruh terhadap kejadian VAP adalah usia
tua, GCS >10, jenis kelamin laki-laki, demam, riwayat memakai antibiotik
dan riwayat hospitalisasi sebelumnya (Forel et al., 2012; Karatas & , Sedat
Saylan, Ugur Kostakogl, 2016; Lahoorpour, Delpisheh, & Afkhamzadeh,
2013; Sheng et al., 2014; Siniscalchi et al., 2016). Pada faktor host ini
diperoleh faktor yang paling signifikan berpengaruh pada VAP adalah usia
tua dan riwayat antibiotik. Namun usia tua adalah faktor yang tidak dapat
diubah, maka tidak dapat diteliti.
1.) Riwayat Antibiotik
Riwayat antibiotik termasuk faktor endogen yang paling sering
muncul dan signifikan berpengaruh dalam penelitian faktor resiko VAP.
Penelitian retrospektif pada pasien ICU RS Turki diperoleh bahwa riwayat
penggunaan antibiotik setelah diuji bivariat secara signifikan berhubungan
dengan kejadian VAP. Penggunaan antibiotik untuk profilaksis sebelum
operasi dapat meningkatkan kolonisasi kuman sehingga memicu VAP
(Karatas & , Sedat Saylan , Ugur Kostakogl, 2016). Penggunaan antibiotik
yang tidak tepat sebelumnya juga dapat menyebabkan resisten dan
meningkatan resiko VAP. Hal ini juga sesuai dengan penelitian case
control yang dilakukan selama satu tahun di ICU RS Iran oleh
Lahoorpour,et.al (2013) setelah diuji multivariat dengan faktor resiko lain
riwayat penggunaan antibiotik signifikan berhubungan dengan VAP.
Hasil meta analisis terhadap 6 penelitian random control trial
menyatakan bahwa penggunaan antibiotik 10-15 hari (long-course) dapat
meningkatkan insiden VAP dibandingkan yang 7-8 hari. Penggunaan
antibiotik jangka pendek 7-8 hari (short-course) juga dapat mencegah
bakteri yang multi resisten antibiotik menyebar dan menjadi emerging
disease. Namun, pada kelompok pasien yang VAPnya disebabkan bakteri
non fermenting gram bacilli (NFG) seperti P.aeruginosa lebih berisiko
mengalami kekambuhan VAP saat diberi antibiotik 7-8 hari (Pugh et al.,
2015). Maka dari itu, perlu meneliti lebih lanjut faktor resiko lama
penggunaan antibiotik lebih dari 8 hari terhadap kejadian VAP.
Antibiotik memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik
yang aktif terhadap Streptoccus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran
pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin
mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan.
Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di
orofaring melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri
gram negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah
bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di
orofaring (PDPI, 2003).
Tingkat kematian pasien dengan VAP mencapai 20-50% dimana
70% diantaranya disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
(Anandita, 2009). Insiden VAP karena bakteri gram negatif yang resisten
terhadap antibiotik ini dapat diturunkan dengan cara mengganti antibiotik
secara berkala (misalnya mengganti antibiotik generasi ketiga
cephalosporin ke quinolone). Strategi lain yang dapat dilakukan untuk
menurunkan insiden VAP karena bakteri yang resistan antibiotik adalah
pembatasan penggunaan cefetazidime dan ciprofloxacin untuk terapi
definitif dan empiris; melakukan rotasi terhadap agen antimikroba yang
digunakan; melakukan supervisi dan kontrol antibiotik dan menggunakan
antibiotik sesuai pola resistensi kuman (Anandita, 2009; Tablan et al.,
2003).
Riwayat penggunaan antibiotik termasuk faktor resiko yang tidak
dapat dimodifikasi namun bila strategi diatas dilakukan perawat dapat
mencegah resistensi obat yang dapat meningkatkan insiden VAP yang
disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Selain
surveilans infeksi nosokomial seperti VAP, penggunaan antibiotik yang
rasional juga termasuk dalam program pencegahan pengendalian infeksi di
RS. Sesuai program PPI RS, IPCN datang ke ICU setiap hari di waktu
yang sama melakukan surveilans infeksi, selain checklist alat invasif yang
masih terpasang pada pasien, penggunaan antibiotik termasuk item yang
disurvey (DEPKES, 2009). Perawat kritis sebagai petugas kesehatan lini
terdepan wajib melakukan monitoring penggunaan antibiotik yang rasional
bersama dengan IPCN, agar kemudian dapat berkolaborasi dengan dokter
dan farmasi dalam mencegah terjadinya resistensi antibiotik yang dapat
meningkatkan insiden VAP.
2.) Skor Acute Physiology, Age, Chronic Health Evaluation
(APACHE) II
Skor perburukan pasien selama dirawat di ICU juga berhubungan
dengan kejadian VAP. Berdasarkan review maka diperoleh Skor
APACHE II tinggi >20, Skor SOFA >7, skor Child-Turcotte- Pugh (CTP),
skor Simplified acute physiology score (SAPS) II, indeks oksigenasi yang
tinggi dan index charlson comorbidity yang tinggi merupakan faktor
resiko VAP. Faktor resiko yang memiliki p value paling signifikan (p<
0,001) adalah indeks charlson comorbidity yang tinggi dan APACHE II.
Hasil penelitian Karatas (2016) di ICU RS mendapatkan hasil bahwa
indeks charlson comorbidity yang tinggi berhubungan dengan kejadian
VAP. Namun penelitian ini hanya melakukan uji bivariat sehingga tidak
dapat dilihat pengaruh indeks charlson terhadap faktor lain.
Faktor resiko VAP yang paling sering muncul dan signifikan
berhubungan setelah dilakukan dengan uji multivariat dan adalah skor
APACHE II yang tinggi. Hasil penelitian kohort restrospektif terhadap
1560 pasien ICU oleh Karatas (2016) diperoleh bahwa kelompok pasien
yang VAP memiliki skor APACHE II lebih tinggi dibanding yang tidak
yaitu > 21 sedang yang tidak 19 dan setelah diuji bivariat secara signifikan
VAP berhubungan dengan APACHE II. Penelitian Broftain (2016) tentang
MDR acinetobacter sebagai faktor resiko VAP juga diperoleh bahwa skor
APACHE II tinggi (>21) berhubungan dengan VAP setelah dilalukan uji
multivariat. Hal ini juga sesuai dengan penelitian kohort retrospektif pada
163 pasien ICU dewasa di RS Kaohsiung Taiwan, perbandingan kelompok
VAP yang ketergantungan terhadap ventilator skor APACHE II nya lebih
tinggi dibanding yang tidak, bila skor APACHE > 23 maka pasien akan
kesulitan untuk weaning ventilator dan meningkatkan resiko VAP (Tseng
et al., 2012).
Penelitian Naved dan Khan (2011) pada 34 pasien ICU di Pakistan
menyatakan bahwa skor APACHE II terbukti dapat memprediksi outcome
(lama rawat dan risiko kematian) pasien di ICU. APACHE II yang tinggi
menandakan keparahan penyakit. Pada pasien dengan tingkat keparahan
yang tinggi ditambah dengan malnutrisi dapat meningkatkan resiko VAP
beberapa kali lipat (Urden, 2010). Usia tua, keparahan penyakit termasuk
didalamnya imunosupresi juga meningkatkan resiko VAP (Tablan et al.,
2003).
Menurut Chamberlan et, all (2013), penilaian klinis keparahan
penyakit merupakan komponen penting praktek medis karena dapat
menentukan intervensi pengobatan, derajat kegawatan dan prognosis.
Pengkajian APACHE II digunakan untuk mengukur tingkat keparahan
penyakit dan memprediksi mortalitas yang biasa digunakan di unit
perawatan intensif. APACHE II terdiri dari 12 sistem fisiologis rutin
selama 24 jam pertama setelah masuk, usia dan status kesehatan
sebelumnya. Data perhitungan berdasarkan variabel-variabel yang terdiri
dari suhu rektal, mean arterial pressure, frekuensi nadi, frekuensi napas,
hantaran oksigen (PO2), PO2, pH arteri, natrium serum, kalium serum,
kreatinin serum, hematokrit dan hitung jenis leukosit. Maka dari itu
penting untuk melihat faktor endogen ini (APACHE II) sebagai faktor
resiko VAP karena dapat meramalkan prognosis penyakit, lama hari rawat,
kematian dan kesulitan weaning ventilator. Perawat dapat mengantisipasi
lebih awal resiko VAP dengan menghitung APACHE II pada saat 24 jam
pertama pasien masuk ICU.
2.1.3.2 Faktor Eksogen
Menurut Teo (2012) saat pasien terekspos dengan faktor eksogen
seperti prosedur invasif dan pelanggaran kewaspadaan infeksi maka resiko
VAP akan meningkat. Berdasarkan studi literatur faktor eksogen yang
berpengaruh terhadap kejadian VAP terdiri dari faktor lama hari yang
meningkatkan kolonisasi kuman di ETT dan faktor intervensi.
Adapun faktor lama hari yang berpengaruh terhadap VAP adalah
lama hari pemakaian ventilator, lama hari rawat ICU dan lama hari
mengalami hipoksemia (Lahoorpour et al., 2013; Sheng et al., 2014; Six et
al., 2016). Faktor resiko lama pemakaian ventilator merupakan faktor
resiko eksogen yang sering muncul dan paling signifikan berhubungan
dengan VAP.
1.) Lama Hari Pemakaian Ventilator
Penelitian retrospektif selama tujuh tahun pengamatan oleh Sheng
et.al (2014) terhadap pasien post operasi jantung di ICU, hasil uji
multivariat diperoleh bahwa pemakaian ventilator > 5 hari berpengaruh
terhadap kejadian VAP. Pada penelitian ini VAP terjadi pada hari ke 4,5
dan rata-rata hari pemakaian ventilator pada kelompok pasien yang VAP
adalah 10 hari. Selama terpasang ventilator jumlah kuman patogen
meningkat 13-55% setiap harinya. 20% pasien yang VAP memiliki 2 atau
lebih kuman patogen yaitu Pseudomonas aeruginosa, klebsiella,
Acinetobacter baumannii, and Escherichia coli.
Penelitian kohort retrospektif pada 242 pasien dewasa post operasi
transplantasi liver di RS Bologna Itali juga menyatakan bahwa lama
pemakaian ventilator berpengaruh terhadap kejadian VAP setelah diuji
regresi logistik dengan faktor lain yang berhubungan. Insiden VAP
meningkat 6-21 kali lipat pada pasien setiap harinya selama masih
terintubasi (Siniscalchi et al., 2016). Semakin lama pasien terpasang
ventilator maka semakin tinggi resiko terjadinya kolonisasi kuman patogen
di ETT dan meningkatkan insiden VAP. Maka, perlu dilakukan penelitian
faktor lama pemakaian ventilator terhadap VAP.
Bundles pencegahan VAP menurut CDC menyatakan untuk segera
melepas ventilator jika pasien mulai membaik. Salah satu strateginya
adalah melakukan weaning atau kesiapan pasien untuk ekstubasi setiap
harinya dan weaning sedasi dengan menghentikan sedasi kontinu setiap
harinya (Cason et al., 2007) Kemampuan pasien bernapas spontan dapat
dikaji dengan spontan breathing trial (SBT). Beberapa tehnik SBT untuk
weaning ventilator adalah mode SIMV, PS, CPAP dan menggunakan T-
piece. Hasil meta analisis menyatakan bahwa mode PS lebih baik untuk
simple weaning pada pasien dibandingkan menggunakan T-piece (Ladeira,
Vital, Andriolo, Atallah, & Peccin, 2014).
Sesuai program PPI, perawat IPCN wajib datang ke ruangan ICU
melakukan monitoring alat-alat invasif termasuk didalamnya ETT maupun
trakeostomi. Hari pemakaian ventilator menjadi denumerator didalam
perhitungan VAP. Lama hari pemasangan ventilator dicatat menggunakan
form surveilans harian PPI oleh IPCN langsung setiap hari diwaktu yang
sama (DEPKES, 2009). Surveilans lama pemakaian ventilator yang benar
dapat menjadi data untuk menghitung VAP. Angka insidennya dapat
menjadi bench marking dibandingkan dengan RS lain dan menjadi
perbaikan bagi RS dalam meningkatkan mutu keselamatan pasien.
2.) Intubasi Ulang
Selain lama hari faktor eksogen yang juga harus diantisipasi adalah
faktor intervensi. Adapun faktor intervensi yang berpengaruh terhadap
VAP adalah pemberian nutrisi enteral, sedasi, trakeostomi, operasi
emergency, tranfusi darah merah, reintubasi, intubasi emergency, terapi
terlipressin dan terapi proton pump inhibitor (Hsu, Liao, Li, & Chiou,
2011; Joseph, Sistla, Dutta, Badhe, & Parija, 2009; Karatas & , Sedat
Saylan , Ugur Kostakogl, 2016; Siniscalchi et al., 2016; Six et al., 2016).
Faktor intervensi yang paling sering muncul dan paling berpengaruh
terhadap VAP adalah reintubasi
Penelitian kohort retrospektif oleh Karatas et al (2016), selama
setahun terhadap 1560 pasien di ICU RS Turki diperoleh hasil uji bivariat
bahwa reintubasi berhubungan dengan kejadian VAP. Hal ini juga sesuai
dengan penelitian Sheng, et.al (2014) yang meneliti 1688 pasien pasca
operasi jantung di ICU RS Qingdao Cina diperoleh hasil uji multivariat
dengan faktor lain, reintubasi adalah faktor yang paling bepengaruh dalam
kejadian VAP di ICU. Penelitian yang lebih baik lagi dengan metode
prospektif selama 15 bulan di India menyatakan bahwa reintubasi dan
trakeostomi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian
VAP late onset sedangkan intubasi emergency dan sedasi berhubungan
dengan VAP early onset (Joseph et al., 2009).
Proses intubasi meningkatkan resiko penumonia karena adanya
cedera yang merusak mukosa jalan nafas serta fungsi mekanisme
pertahanan fisiologis, gas yang diberikan langsung ke alveoli juga memicu
resiko infeksi VAP. Intubasi ulang meningkatkan resiko aspirasi bakteri
nosokomial yang berkolonisasi di orofaring, sehingga dapat meningkatkan
resiko VAP hingga 6 kali lipat. Salah satu pencegahan yang dapat
dilakukan adalah menggunakan ventilator non invasif (NIV) atau
melakukan weaning ventilator setiap hari dengan menggunakan T-piece .
(Karatas & , Sedat Saylan , Ugur Kostakogl, 2016; Sheng et al., 2014).
Kejadian auto ekstubasi dan reintubasi < 24 jam adalah salah satu
indikator mutu ruang ICU yang dicatat menggunakan form standar
pelayanan minimal ICU (KEMENKES, 2016). Kejadian ini dapat dicegah
perawat dengan cara strategi diatas yaitu weaning ventilator dan weaning
sedasi setiap hari yang juga merupakan bundels pencegahan VAP
direkomendasikan oleh IHI dan CDC (IHI, 2006; Tablan et al., 2003).
Reintubasi meningkatkan resiko aspirasi orofaring yang dapat
meningkatkan resiko VAP, dengan memonitor reintubasi, perawat dapat
mengetahui resiko VAP dan menurunkan insiden VAP tersebut.
3.) Ketidakpatuhan Kebersihan Tangan
Kurangnya kepatuhan kebersihan tangan adalah faktor personil
yang paling berpengaruh terhadap kejadian VAP. Pasien yang terintubasi
sering dilakukan intervensi seperti suction atau dimanipulasi sirkuitnya.
Intervensi ini meningkatkan peluang terjadinya kontaminasi silang antara
pasien dan petugas kesehatan. Kegagalan mencuci tangan dan mengganti
sarung tangan dapat meningkatkan insiden VAP (Augustyn, 2007). Hasil
penelitian RCT oleh Trick (2003) menyatakan bahwa penggunaan cincin
dan kurangnya kepatuhan kebersihan tangan berhubungan dengan
meningkatnya kejadian VAP. Rekomendasi penelitian adalah melakukan
kebersihan tangan dengan handrub berbasis alkohol dan tidak
menggunakan cincin untuk mengurangi insiden VAP (Tolentino-
delosreyes & Ruppert, 2007). Penelitian intervensi selama 3 bulan
terhadap 352 pasien yang terpasang ventilator di India menyatakan bahwa
pasien yang dilakukan intervensi bundles pencegahan pengendalian infeksi
dan kebersihan tangan dengan handrub berbasis alkohol memiliki insiden
VAP yang rendah dibanding kelompok yang tidak (Saramma et al., 2011).
WHO menyatakan transfer infeksi dari petugas kesehatan sebagai
masalah utama dalam keselamatan pasien karena itu surveilans dan
pencegahan pengendalian infeksi (PPI) merupakan prioritas utama pada
pelayanan kesehatan. Kebersihan tangan merupakan pilar utama PPI dan
termasuk dalam kewaspadaan standar yang dilakukan untuk mencegah
transmisi silang sebelum diagnosis ditegakkan atau hasil pemeriksaan
laboratorium belum ada. Tujuan kebersihan tangan adalah untuk
menghilangkan semua kotoran dan debris serta menghambat atau
membunuh mikroorganisme pada kulit. Cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir dilakukan bila tangan terlihat kotor atau terkontaminasi dengan
bahan-bahan protein sedangkan handrub berbasis alkohol dilakukan jika
tangan tidak terlihat kotor (DEPKES, 2008).
Hasil sistematik review oleh Larson 1988 pada 423 artikel
ekperimental maupun nonekperimental diperoleh bahwa kebersihan tangan
mengurangi resiko infeksi. Selanjutnya Larson yang mereview 16
penelitian kuasi ekperimental menyatakan bahwa kontak langsung antara
perawat dan pasien adalah rute utama masuknya kuman dan kebersihan
tangan adalah pencegahan dasar dalam infeksi nosokomial. VAP terutama
yang disebabkan oleh bakteri basil gram negatif dan Staphylococcus
aureus berpindah dari petugas ke pasien melalui tangan petugas. Karena
itu WHO menyarankan untuk melakukan 5 momen cuci tangan yaitu
sebelum kontak pasien, sebelum tindakan invasif, sesudah kontak pasien,
sesudah dari lingkungan pasien dan sesudah kontak dengan cairan tubuh
pasien (Teo, 2012).
Kepatuhan kebersihan tangan sendiri diartikan bila petugas
kesehatan baik dokter maupun perawat melakukan > 90 % dari 5 momen
kebersihan tangan menurut WHO. Seharusnya kepatuhan kebersihan
tangan dilakukan 100 % namun hal itu tidak realistik sehingga kepatuhan
dapat dinilai jika telah melakukan 90% dari 5 momen cuci tangan (Foote,
2014). Hasil meta analisis 4 studi random control trial (RCT) menyatakan
bahwa belum ada intervensi yang dapat meningkatkan kepatuhan
kebersihan tangan perawat baik diobservasi langsung dengan RCT blind
30 menit maupun selama 2 jam (Dj et al., 2010).
Berdasarkan studi literatur diatas, maka diperoleh faktor resiko
yang sering muncul dan paling berpengaruh terhadap VAP antara lain
APACHE II, lama penggunaan antibiotik, reintubasi dan lama penggunaan
ventilator. Namun dari keempat faktor ini, hanya satu faktor yang sudah
dilakukan meta analisis yaitu lama penggunaan antibiotik sedangkan yang
lain hanya dilakukan uji multivariat dengan beberapa faktor resiko lain.
Menurut American Association of Critical Nurse (AACN), meta analisis
merupakan level bukti penelitian tertinggi karena merupakan sintesis dari
beberapa penelitian random control trial (Armola et al, 2009). 20-50%
diantara pasien VAP, 70% diantaranya adalah penderita VAP late onset
yang disebabkan oleh bakteri yang resisten ganda terhadap antibiotik.
(Anandita, 2009). Pemakaian antibiotik yang lama dan tidak rasional
meningkatkan resiko untuk terjadi VAP sehingga peneliti menyimpulkan
lama penggunaan antibiotik menjadi faktor resiko yang mungkin paling
berpengaruh dalam kejadian VAP.

Tabel 2.2 Faktor- faktor Resiko VAP


Faktor Resiko Endogen Faktor Resiko Eksogen
1. Usia tua : >70 tahun dan >65 tahun 1. Nutrisi enteral
2. GCS >10 2. Sedasi
3. Jenis Kelamin pria 3. Operasi emergency
4. Riwayat antibiotik 4. Tranfusi darah (>1200ml, sel
5. Demam darah merah)
6. Riwayat hospitalisasi sebelumnya 5. Reintubasi
7. PPOK 6. Intubasi emergency
8. DM Tipe II 7. Terapi terlipressin
9. Stroke 8. Terapi proton pump inhibitor
10. Gagal Jantung Kongestif 9. Pemasangan NGT/OGT
11. Hiperoksimea (PaO2 > 120 mmHg) 10. Hari ventilator lama > 5 hari
12. Syok 11. Lama hari rawat ICU > 23
13. Gagal organ hari
14. Gagal ginjal kronik 12. Lama hari hipoksemia
15. Skor APACHE II yang tinggi >20
16. Skor SOFA >7
17. Child-Turcotte-Pugh (CTP)
18. Simplified acute physiology score (SAPS)
II
19. Index charlson comorbidity yang tinggi
20. Indeks oksigenasi yang tinggi
2.1.4 Bundles Pencegahan VAP
Bundles adalah suatu kumpulan Evidence-base practice (EBP), yang ketika
diimplementasikan secara bersama-sama, akan menghasilkan penurunan insiden
VAP. Institute of Healthhcare Improvement (IHI) merekomendasikan empat
komponen bundles VAP yaitu elevasi kepala antara 30-45 derajat, weaning sedasi
dan kesiapan untuk ekstubasi setiap hari, pemberian Prophylaxis Peptic Ulcer
Disease (PUD) dan Prophylaxis Deep Venous Thrombosis (DVT) kecuali kontra
indikasi (IHI, 2006). Selain elevasi kepala, CDC menambahkan melakukan
suction via ETT subglotis secara kontinu, mengganti sirkuit ventilator tidak lebih
dari 48 jam dan melakukan kebersihan tangan dalam bundles VAP (Tolentino-
delosreyes & Ruppert, 2007).
Meskipun VAP memilki banyak faktor resiko, banyak intervensi
keperawatan dapat mencegah penyakit ini. Perawat adalah petugas lini pertama
yang dapat mencegah kolonisasi bakteri orofaring dan saluran pencernaan.
Penggantian sirkuit ventilator yang terlalu sering tidak mengurangi resiko VAP.
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tidak merekomendasikan
pengantian sirkuit setiap 48 jam. Penggantian sirkuit sekali seminggu tidak
meningkatkan resiko VAP. Society for Healthcare Epidemiology of America
(SHEA) sama seperti CDC merekomendasikan penggantian sirkuit hanya
dilakukan bila sirkuit tampak kotor dan tidak berfungsi. Hal ini termasuk EBP
kategori tinggi (Augustyn, 2007; Klompas et al., 2014).
Banyak investigator membandingkan penggantian heat and moisture
exchangers (HME) dengan insiden VAP. Namun, hasilnya ternyata tingkat
kelembapan tidak meningkatkan resiko VAP. Strategi pencegahan kolonisasi dan
aspirasi dapat mengurangi insiden VAP. Adanya selang ETT sebagai faktor
predisposisi VAP, maka perlunya dilakukan pengkajian weaning (penyapihan)
ventilator dan kesiapan ekstubasi setiap hari. Banyak metode untuk mengkaji
kesiapan ekstubasi, diantaranya adalah menggunakan T-piece, weaning dengan
mode intermittent mandatory atau pressure support (Augustyn, 2007). Menurut
SHEA membangunkan pasien setiap hari, mengkaji kesiapan ekstubasi, dan
menghindari intubasi dengan menggunakan ventilasi non invasive (NIV) termasuk
bundles dengan kategori bukti tinggi (Klompas et al., 2014).
Posisi pasien semirekumben dengan kepala elevasi 30º sampai 45º dapat
mencegah reflux dan aspirasi bakteri dari lambung ke saluran pernapasan. Elevasi
kepala hingga 30º dapat menurunkan VAP hingga 34%. Ketidakmampuan untuk
mengosongkan lambung dapat menimbulkan overdistensi atau peningkatan
volume residu gaster, potensi terjadi regurgitasi dan aspirasi (Augustyn, 2007).
Menurut SHEA belum ada meta analisis terkait elevasi kepala, beberapa
penelitian random control trial bahwa elevasi kepala dapat menurunkan VAP
hingga 76% dan bukti ini tergolong rendah, sedangkan mobilisasi sedini mungkin
adalah adalah EBP dengan bukti sedang (Klompas et al., 2014).
Penggunaan narkotik dengan minimal dapat membantu mencegah aspirasi
lambung. Penurunan agen narkotik dan sedasi harus dilakukan dengan hati-hati
karena nyeri dapat membatasi pernafasan dan merusak oksigenasi. Penghentian
sedasi kontinu setiap hari dapat memperpendek durasi ventilasi mekanik sampai
dua hari dan mengurangi hari rawat ICU hingga 3,5 hari (Augustyn, 2007).
Menurut SHEA melakukan spontaneous breathing trial dengan cara interupsi atau
menghentikan sedasi setiap hari termasuk bukti kategori tinggi sedangkan
memanajemen pasien dengan tidak memberi sedasi bila memungkinkan adalah
bukti kategori sedang. Sebaiknya hindari agen benzodiazepine untuk sedasi dan
mengatasi nyeri serta agitasi lebih baik menggunakan propofol, dexmetomidine
atau agen psikotik lain. (Klompas et al., 2014)
Monitoring residu gaster dan pemberian agen yang dapat meningkatkan
motilitas lambung telah banyak disarankan untuk pencegahan over distensi.
Walaupun intervensi ini belum banyak diuji coba dalam klinik (Augustyn, 2007).
Menurut SHEA monitoring residu gaster, pemberian profilaksis stress ulcer dan
nutrisi parenteral dan trakeostomi sedini mungkin tidak termasuk strategi
pencegahan VAP yang direkomendasikan secara rutin (Klompas et al., 2014).
Salah satu bukti yang termasuk kategori tinggi adalah menggunakan ETT
dengan suction subglotis. Karena secret cenderung menumpuk di atas cuff ETT,
maka orofaring harus disuction menyeluruh untuk mencegah aspirasi sebelum
ETT diganti. Tekanan cuff ETT harus dipertahankan minimal 20 cmH2O.
Mempertahankan tekanan cuff ETT dapat menurunkan peluang terjadinya
kebocoran secret disekitar cuff teraspirasi. Penggunaan selang ETT dengan selang
suction subglotis dapat menurunkan insiden VAP hingga 50% dan menurunkan
biaya hingga $18000 (Augustyn, 2007; Klompas et al., 2014).
Penggunaan kateter dengan bahan yang dilapisi silver nitrat dapat
menurunkan insiden infeksi saluran kemih, maka penggunaan ETT dengan lapisan
silver nitrat juga diduga dapat menurunkan VAP. Lapisan silver nitrat dapat
menghalangi kemampuan bakteri di sepanjang selang ETT membentuk biofilm.
(Augustyn, 2007) Namun menurut SHEA penggunaan selang yang dilapisi silver
coated ini bukan EBP yang direkomendasikan secara rutin di ICU (Klompas et al.,
2014).
Salah satu pendekatan lain yang direkomendasikan dengan bukti tinggi
adalah rutin melakukan oral hiegene. Sedangkan yang bukti sedang adalah dengan
menggunakan antiseptik clorheksidin secara regular dan pemberian profilaksis
probiotik. Sedangkan sikat gigi mekanik, memantau cuff ETT secara otomatis dan
pemberian salin sebelum suction adalah EBP dengan bukti rendah. (Klompas et
al., 2014).

2.1.5 Peran Perawat Dalam Pencegahan VAP


VAP berdampak sangat besar dalam kejadian kecacatan, kematian, lama
hari rawat dan peningkatan biaya. Pendidikan kesehatan berperan penting dalam
memanajemen pasien VAP. Penggunaan modul pendidikan kesehatan tentang
perawatan pasien dengan VAP dapat menurunkan insiden pneumonia, lama hari
ventilator dan biaya. Sistem pelayanan kesehatan juga berperan penting dengan
memugaskan perawat manajer yang pertugas melakukan pencegahan VAP secara
komprehensif. Perawat manajer ini bertanggungjawab dalam memastikan bahwa
protokol pencegahan VAP dan komplikasi intubasi telah dilakukan dengan tepat.
Penggunaan pathway atau protokol yang dicetak dapat mengurangi VAP. Cara
efektif adalah dengan mengaudit elevasi kepala setiap hari. Alasan pasien tidak
dilakukan elevasi kepala harus di dokumentasikan. Pathway yang terstandar dapat
menjadi pengingat bagi petugas kesehatan tentang intervensi pencegahan VAP
(Augustyn, 2007). Menurut SHEA melakukan surveilans VAP setiap hari oleh
perawat pengendali infeksi merupakan strategi yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi dan mencegah VAP sedini mungkin (Klompas et al., 2014)
Di Indonesia, hal ini sudah dilakukan terutama pada RS yang telah lulus
akreditasi JCI dan memiliki IPCN yang bekerja purnawaktu mengawasi dan
melakukan surveilans infeksi terhadap 100 tempat tidur di RS. Adapun peran
IPCN dalam pemantauan faktor resiko yang akan diteliti antara lain mengunjungi
ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi di ICU dalam hal ini yang
dipantau adalah lama hari pemakaian ventilator, memonitor pelaksanaaan PPI,
penerapan SOP, kewaspadaan isolasi termasuk mengawasi ketidakpatuhan
kebersihan tangan dan pelaksanaan bundles VAP (weaning sedasi dan kesiapan
ekstubasi untuk mencegah reintubasi), memonitor pengendalian penggunaan
antibiotika yang rasional dan melaporkan hasil surveilans (VAP dan antibiotik)
kepada komite PPI (Depkes, 2006).
2.3 Kerangka Pemikiran

(PDPI 2003; Augustyn, 2007:Urden, 2010)


2.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a. Ada pengaruh skor APACHE II > 20 terhadap kejadian VAP di ruang

GICU RSMH Palembang

b. Ada pengaruh lama pemakaian antibiotik > 8 hari terhadap kejadian VAP

di ruang GICU RSMH Palembang

c. Ada pengaruh lama pemakaian ventilator> 5 hari terhadap kejadian VAP

di ruang GICU RSMH Palembang

d. Ada pengaruh ketidakpatuhan kebersihan tangan petugas terhadap

kejadian VAP di ruang GICU RSMH Palembang

e. Ada pengaruh intubasi ulang terhadap kejadian VAP di ruang GICU

RSMH Palembang.

f. Lama penggunaan antibiotik sebagai faktor yang paling berpengaruh

dalam kejadian VAP.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Desain penelitian merupakan sarana untuk menjawab pertanyaan
penelitian atau penguji kebenaran hipotesis (Sugiyono, 2007). Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif analitik dan menggunakan desain potong lintang
(cross–sectional) dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian cross–sectional
disebut juga studi prevalensi (prevalence study). Responden dalam penelitian ini
terdiri dari pasien yang memakai ventilator > 48 jam di ruang GICU RSMH
palembang dan petugas kesehatan (perawat dan dokter) yang merawat pasien
tersebut (pengamatan ketidakpatuhan kebersihan tangan).
Bagan 3.1 Rancangan Penelitian
Populasi
(sampel)

Faktor risiko (+) Faktor risiko (–)

Efek (+) Efek(-) Efek (+) Efek (-)

3.2. Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007) Populasi
dalam penelitian ini adalah pasien yang menggunakan ventilator yang dirawat di
ruang GICU RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Rata-rata pasien yang
menggunakan ventilator di GICU adalah 40 orang perbulan.
3.2.2 Sampel
Menurut Roscoe dalam Sugiono (2012), bila dalam penelitian akan
melakukan analisis dengan multivariate (korelasi atau regresi ganda misalnya),
maka jumlah anggota sampel minimal 10 kali dari jumlah variabel yang diteliti.
Maka pada penelitian ini variabel penelitiannya ada 6 (independen + dependen),
maka jumlah sampel penelitian ini adalah = 10 x 6 = 60 orang.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
cara non-probability sampling dengan cara purposive sampling/judgement
sampling, yaitu sampel yang diambil dari responden berdasarkan pada
pertimbangan atau kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti sendiri
(Notoatmodtjo,2002). Kriteria inklusi pada penelitan ini adalah:
1. Pasien yang terpasang ventilator > 48 jam baik melalui trakeostomi
maupun ETT yang dirawat di ruang GICU RSMH Palembang
selama periode Maret-April 2017
2. Usia > 18 tahun
Kriteria ekslusi adalah pasien yang telah terdiagnosa VAP sebelum
dirawat di ruang GICU RSMH Palembang.
3.2.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di ruang General Intensive Care Unit (GICU) Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang selama 2 bulan dimulai bulan
Maret-April 2017.

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


Variabel penelitian ini terdiri dari variabel independen dan dependen.

Variabel dependen penelitian ini yaitu kejadian VAP yang diukur dengan

instrumen CPIS. Sedangkan variabel independen penelitian adalah skor

APACHE, lama pemakaian antibiotik, lama penggunaan ventilasi mekanik,

intubasi ulang dan ketidakpatuhan kebersihan tangan.


Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Variabel Pneumonia nosokomial Instrumen 1: VAP jika Nominal


Dependen: yang terjadi pada pasien CPIS total skor
VAP GICU RSMH Palembang CPIS ≥ 6
yang menggunakan
bantuan ventilasi mekanik 2: Tidak
dan belum timbul ketika VAP, jika
pemasangan intubasi. VAP total skor 0-
diukur setelah pasien 5
menggunakan ventilator >
48 jam dengan instrumen
CPIS yang terdiri dari 5
komponen penilaian
(temperatur, leukosit,
sekret trakea, oksigenasi
PaO2 / FiO2, dan foto
thorak).

Variabel Independen:
SKOR Skor perburukan pasien Form 1: Tinggi Nominal
APACHE II yang dihitung mulai 24 jam APACHE jika skor >
yang tinggi pertama pasien masuk II 20
ruang GICU RSMH
Palembang, terdiri dari 2: Rendah,
suhu rektal, mean arterial jika skor
pressure, frekuensi nadi, <20
frekuensi napas, hantaran
oksigen (PO2), PO2, pH
arteri, natrium serum,
kalium serum, kreatinin
serum, hematokrit dan
hitung jenis leukosit
diobservasi dengan
checklist form APACHE II.
Lama Lama hari pemakaian Form 1: Long- Nominal
pemakaian antibiotik sejak pasien Surveilans course,jika
antibiotik masuk ke RSMH. VAP diberikan
Pencatatan dilakukan setiap antibiotik >
hari menggunakan form 8 hari:
surveilans VAP dengan
melihat catatan pemberian 2: Short-
obat di ruang GICU RSMH course, jika
Palembang diberikan
antibiotik <
8 hari
Lama hari Lama hari terpasangnya Form 1: late onset Nominal
pemakaian ventilasi mekanik pada Surveilans >5 hari: 2:
ventilator pasien, baik melalui ETT VAP early onset
ataupun trakeostomi di <5 hari
ruang GICU RSMH
Palembang. Survey
dilakukan setiap hari
menggunakan form
surveilans VAP dengan
melihat flowchart pasien.
Intubasi ulang Jumlah kejadian intubasi Form 1: Nominal
ulang selama pasien Surveilans Reintubasi
dirawat di ruang GICU VAP 2: tidak
RSMH Palembang. Survey reintubasi
dilakukan setiap hari
menggunakan form
surveilans VAP dengan
melihat flowchart pasien.
Ketidakpatuhan Rata-rata persentase Form audit 1: Tidak Nominal
kebersihan kepatuhan kebersihan cuci patuh, jika
tangan tangan perawat dan dokter tangan rata-rata <
melakukan tindakan sesuai WHO 90%
5 momen kebersihan
tangan menurut WHO yaitu 2. Patuh,
sebelum kontak dengan jika rata-
pasien, sebelum melakukan rata >90%:
tindakan aseptik, setelah
kontak dengan pasien,
setelah kontak dengan
cairan tubuh pasien, setelah
kontak dengan lingkungan
sekitar pasien. Observasi
tindakan dilakukan setiap
hari selama 2 jam
menggunakan form audit
kebersihan tangan RSMH
Palembang yang mengacu
pada WHO (2009) oleh
asisten peneliti.
3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen pada penelitian ini terdiri dari checklist instrumen CPIS,


instrumen APACHE II dan formulir surveilence harian VAP rumah sakit yang
dimodifikasi dengan penambahan beberapa variabel yang sesuai dengan tujuan
penelitian. Pengisian checklist diambil sendiri oleh peneliti dan dilakukan setiap
hari berdasarkan flowchart dan catatan perkembangan pasien yang terpasang
ventilator yang dirawat di ruang GICU. Data kepatuhan kebersihan tangan
diperoleh dari observasi selama 2 jam terhadap perawat dan dokter yang merawat
pasien yang dijadikan sampel menggunakan checklist audit kebersihan tangan
subkomite PPI RSMH yang mengacu pada panduan hand hiegene WHO tahun
2009. Observasi dibantu oleh asisten peneliti dimana petugas yang diteliti tidak
mengetahui bahwa ia sedang diamati.

3.5 Pengumpulan Data


3.5.1 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1.) Membuat proposal penelitian
Peneliti membuat proposal penelitian yang berisi mengenai alasan
pemilihan topik penelitian dan pemaparan masalah penelitian, serta
rencana penelitian yang akan dilakukan. Peneliti juga melakukan studi
pendahuluan dalam proses pembuatan proposal penelitian untuk
memperkuat pemilihan tempat dan masalah penelitian.
2.) Melakukan seminar usulan penelitian
Seminar usulan penelitian dilakukan untuk memaparkan isi dari proposal
penelitian kepada pembimbing dan penguji. Penguji juga dapat
memberikan usulan dan masukan kepada peneliti dalam menjalankan
rencana penelitiannya.
3.) Mengajukan ijin penelitian
Jika proposal penelitian sudah disetujui oleh pembimbing dan penguji
melalui seminar usulan penelitian, maka peneliti mengajukan ijin
penelitian kepada Bagian Diklit RSMH Palembang.
4.) Melakukan uji etik
Peneliti juga mengajukan uji etik kepada komisi etik di FK UNPAD serta
komite etik RSMH untuk dilakukan review mengenai proses penelitian
yang akan dilakukan. Setelah disetujui oleh diklit dan komite etik
5.) Meminta ijin kepada Kepala Instalasi dan Kepala Ruang
Setelah lulus uji etik dan mendapat ijin dari diklit RSMH. Peneliti
meminta ijin kepada Kepala Instalasi Intensif, Kepala Ruang dan perawat
ruang GICU lalu menjelaskan manfaat dan kerugian penelitian. Kemudian
peneliti meminta ijin dan inform consent bahwa akan dilakukan observasi
kepatuhan kebersihan tangan tapi waktu dan siapa yang diamati tidak akan
diberitahu agar hasil lebih valid.
6.) Pemilihan asisten pengumpul data
Peneliti melibatkan perawat di ruang GICU untuk melakukan audit
kepatuhan kebersihan tangan. Peneliti sebelumnya memberikan
pengarahan mengenai cara melakukan audit dan mengisi form audit
kebersihan tangan. Setelah perawat dikatakan mampu untuk melakukan
observasi kebersihan tangan kepada responden, maka peneliti akan
melibatkan perawat tersebut untuk menjadi asisten peneliti.
3.5.2. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini tergambar dalam bagan dibawah
ini:

Pasien Masuk Ke GICU

Kriteria Inklusi

Dipilih Sebagai Sampel (Consecutive )

Inform Consent Kepada


Pasien/Keluarga

Checklist instrumen CPIS

VAP ( +) VAP (-)

Skor Lama Intubasi Observasi Lama


APACHE II antibiotik Ketidakpatuh
ulang pemakaian
dicatat pada
disurvey disurvey an kebersihan ventilator
24 jam
pertama setiap hari setiap hari tangan selama
disurvey
pasien 2 jam setiap
setiap hari
masuk GICU hari

Uji Chi Square

Analisa Multivariat dengan


Regresi Logistik

Bagan 3.2 Tehnik Pengumpulan Data


3.6 Teknik Pengolahan Data
Peneliti melakukan beberapa tahap dalam mengolah data, yaitu data
coding, data entering, data cleaning, data output, dan data analyzing (Prasetyo &
Jannah, 2005). Data yang telah didapatkan diolah dengan tahapan sebagai berikut:
3.6.1. Data Coding
Data Coding merupakan suatu proses penyusunan data yang sistematis
dimana data mentah dirubah ke dalam bentuk data yang mudah dibaca dalam
pengolahan data. Pada tahap ini, peneliti membuat kode untuk data yang
didapatkan. Kode yang digunakan untuk data demografi pasien jenis kelamin
(laki-laki: 1; perempuan: 2), sebab masuk (medikal: 1; operasi: 2) dan GCS (
GCS< 8: 1; GCS >8: 2). Kode yang digunakan untuk variabel dependen (VAP
jika total skor CPIS ≥6: 1 ; Tidak VAP, jika total skor 0–5: 2), Variabel
independen APACHE II (Tinggi jika skor > 20: 1; Rendah, jika skor <20: 2), lama
penggunaan antibiotik (Long-course,jika diberikan antibiotik > 8 hari: 1; Short-
course, jika diberikan antibiotik < 8 hari), lama pemakaian ventilator (late onset
>5 hari: 1: early onset <5 hari: 2), intubasi ulang ( Reintubasi: 1, Tidak
Reintubasi:2) dan ketidakpatuhan kebersihan tangan (Tidak patuh < 90%:1, Patuh
>90%:2).

3.6.2. Data Entering


Data entering adalah memindahkan data yang telah dirubah menjadi kode ke
dalam komputer agar siap diakukan analisa menggunakan komputer.
3.6.3. Data Cleaning
Peneliti memastikan semua data yang dimasukan ke dalam komputer sesuai
dengan harapan peneliti dan tidak terdapat data yang kurang atau hilang.
3.6.4. Data Output
Data output adalah data hasil pengolahan komputer yang disajikan dalam bentuk
angka dan grafik/gambar.
3.6.5. Data Analyzing
Analisis data merupakan proses menganalisa data menggunakan program
komputer tertentu untuk mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan penelitian.
3.7 Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan dalam penelitian ini untuk menggambarkan
karateistik masing-masing variabel yang diteliti. Semua data dianalisis dengan
tingkat kemaknaan 95% (=0,05). Analisis univariat untuk karakteristik pasien
yaitu usia, lama hari pemakaian ventilator, lama pemakaian antibiotik dan
APACHE II akan dijelaskan dengan menggunakan mean (standar deviasi).
Sedangkan jenis kelamin, GCS, saat masuk, diagnosa masuk dan pada analisis
bivariat semua variabel dependen dan independen akan dijabarkan dengan
distribusi frekuensi dan persentase atau proporsi.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi-square yang digunakan untuk
menguji hipotesis hubungan yang signifikan antara faktor risiko VAP. Dasar
pengambilan keputusan penerimaan hipotesis penelitian berdasarkan derajat
kemaknaan  sebesar 5% (nilai ) adalah:
a. Jika nilai  >0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.
b. Jika nilai  <0,05 maka hipotesis penelitian diterima.
Selanjutnya, untuk mengetahui derajat hubungan digunakan ukuran Odds Rasio
(OR). Pada penelitian seperti cross-sectional atau kohort, pembuatan
persentasenya berdasarkan nilai variabel independen (Hastono, 2007). Perolehan
nilai OR ditentukan dengan rumus OR = a.d / b.c, dengan Confidence Interval
(CI) 95%.
Hasil interpretasi nilai OR adalah sebagai berikut :
a. Jika OR >1, berarti variabel yang diteliti merupakan faktor risiko.
b. Jika OR =1, berarti variabel yang diteliti bukan merupakan faktor risiko.
c. Jika OR <1, berarti variabel yang diteliti merupakan faktor protektif.
3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan
beberapa variabel (lebih dari satu) independen dengan satu atau beberapa variabel
dependen (umumnya satu variabel dependen). Dalam analisis multivariat akan
diketahui variabel mana yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel
dependen. Langkah-langkah dalam analisis multivariat menggunakan regresi
logistik ganda antara lain sebagai berikut: (Hastono, 2007)
a. Tahap pertama adalah melakukan seleksi bivariat masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen. Apabila nilai  value <0,25, maka
variabel tersebut diikutsertakan pada tahap analisis selanjutnya. Untuk
variabel indipenden dengan nilai  value >0,25 namun secara substansi
penting, maka variabel tersebut diikutsertakan dalam analisis multivariat.
b. Tahap kedua adalah melakukan pemodelan terhadap variabel yang masuk
dalam analisis multivariat, yaitu dengan cara mengeluarkan secara
bertahap variabel dengan nilai  value >0,05 dan dimulai pada variabel
yang memiliki nilai  value tertinggi kemudian diurutkan sampai dengan
yang terendah.
c. Tahap ketiga adalah melakukan uji interaksi. Penentuan uji interaksi pada
variabel independen dilakukan melalui pertimbangan logika substantif.
Pengukuran interaksi dilihat dari kemaknaan uji statistik. Bila variabel
pada uji interaksi mempunyai nilai yang bermakna, maka variabel interaksi
tersebut diikutsertakan dalam model.
d. Tahap keempat adalah melakukan pemodelan akhir, yaitu variabel yang
memiliki nilai  value <0,05 diikutsertakan dalam analisis multivariat dan
dilihat yang memiliki nilai OR paling tinggi maka variabel tersebut adalah
variabel independen yang paling dominan dalam mempengaruhi variabel
dependen.

3.8 Etika Penelitian


3.8.1. Beneficience dan non-maleficience
Pada penelitian ini keselamatan dan keamanan pasien sebagai responden
sangat diutamakan. Sebelum dilakukan penelitian, proposal penelitian akan
dilakukan uji etik terlebih dahulu di Komite Etik RS dan FK UNPAD untuk
mengkaji apakah penelitian ini aman jika dilakukan untuk pasien.
3.9.2. Respect for Autonomy
Informed Consent disampaikan oleh peneliti dalam bentuk lisan dan
tertulis. Responden menandatangani lembar persetujuan apabila bersedia menjadi
responden, apabila responden tidak bersedia, peneliti harus menghormati hak-hak
responden. Pada responden yang tidak sadar penjelasan dan persetujuan dilakukan
kepada keluarga pasien atau wali yang bertanggungjawab pada pasien. Peneliti
menjelaskan manfaat dan kerugian dari penelitian kepada responden.
3.9.3. Anonymyty
Peneliti mencantumkan nama, alamat dan identitas lain responden dalam
kuesioner (lembar pengumpulan data). Demi menjaga kerahasiaan identitas
responden data tersebut dirahasiakan dengan tidak mempublikasikan nama,
alamat dan identitas lain milik responden. Hanya data tertentu yang akan disajikan
atau dipublikasikan. Nama inisial akan dicantumkan pada lembar pengumpulan
data. Kerahasiaan informasi yang didapatkan dari responden akan terjamin.
Peneliti hanya menyajikan kelompok data tertentu pada laporan hasil riset
meliputi jenis kelamin, usia, GCS dan diagnosa medis.
3.9.4. Veracity
Peneliti menerapkan prinsip etik ini dengan cara menuliskan hasil
penelitian dengan jujur tanpa adanya rekayasa.
3.9.5. Justice
Prinsip keadilan pada penelitian ini diterapkan dengan memberlakukan
kedua kelompok pasien dengan bundles pencegahan VAP yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Anandita, Wi. (2009). Pola Resistensi Bakteri yang Diisolasi dari Bangsal
Intensive. Care Unit RSCM Jakarta. Universitas Indonesia.
Augustyn, B. (2007). Ventilator-associated pneumonia: Risk Factor and Prevention.
Critical Nurse, 27(4), 32–39. https://doi.org/10.1016/S0924-8579(98)00037-5
Azab, S.F.A, Sherbiny, H.S., Saleh, S.H Elsaeed, W.F., Elshafiey, M.M, Siam, A. .
(2015). Reducing ventilator-associated pneumonia in neonatal intensive care
unit using "VAP prevention Bundle: Cohort Study. BMC Infectious Diseases.
https://doi.org/DOI: http://dx.doi.org/10.1186/s12879-015-1062-1
Brotfain, E., Borer, A., Koyfman, L., Saidel-Odes, L., Frenkel, A., Gruenbaum, S.
E., … Klein, M. (2016). Multidrug Resistance Acinetobacter Bacteremia
Secondary to Ventilator-Associated Pneumonia: Risk Factors and Outcome.
Journal of Intensive Care Medicine, 1–7.
https://doi.org/10.1177/0885066616632193
Carrigan, T. M. (2011). Measuring Clinician Perspectives of VAP Guidelines as an
Implementation Strategy. University of Illinois Chicago.
Cason, C. L., Tyner, T., Saunders, S., & Broome, L. (2007). Nurses
Impelementation Of Guidelines For VAP from CDC Prevention. American
Journal Of Critical Care, 16(September), 28–37.
Cass, A. L., Mckeown, R. E., Kelly, J. W., & Member, C. (2011). MEASURING
HEALTHCARE - ASSOCIATED INFECTIONS IN AN EVER -
CHANGING Environment.
Coppadoro, A., Bittner, E., & Berra, L. (2012). Novel preventive strategies for
ventilator- associated pneumonia. Critical Care, 16(120), 1–6.
https://doi.org/10.1007/978-3-642-25716-2
DEPKES. (2009). Pedoman Manajerial PPI RS dan Fasilitas Kesehatan Lainnya.
Jakarta.
DEPKES, R. dan P. (2008). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RS
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya. Jakarta.
Dj, G., Moralejo, D., Drey, N., Jh, C., Gould, D. J., Moralejo, D., … Chudleigh, J.
H. (2010). Interventions to improve hand hygiene compliance in patient care.
Cochrane Database Syst Rev, 9(9), CD005186.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD005186.pub3
Foote, A. (2014). Exploring Self-Perceived Hand Hygiene Practices among
Undergraduate Nursing Students. University Of Windsor.
Forel, J.-M., Voillet, F., Pulina, D., Gacouin, A., Perrin, G., Barrau, K., …
Papazian, L. (2012). Ventilator-associated pneumonia and ICU mortality in
severe ARDS patients ventilated according to a lung-protective strategy.
Critical Care (London, England), 16(2), R65. https://doi.org/10.1186/cc11312
Galal, Y. S. (2016). Ventilator-Associated Pneumonia: Incidence, Risk Factors and
Outcome in Paediatric Intensive Care Units at Cairo University Hospital.
Journal of Clinical and Diagnostic Research, 10(September 2014).
https://doi.org/10.7860/JCDR/2016/18570.7920
IHI. (2006). Getting started kit: prevent ventilator-associated pneumonia: how-to
guide. Critical Care Nursing Quarterly, 29(2), 157–73. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16641653
Jaimes, F., La, G. De, Go, E., Mu, P., & Ramı, J. (2007). Incidence and risk factors
for ventilator-associated pneumonia in a developing country : Where is the
difference ? $, 762–767. https://doi.org/10.1016/j.rmed.2006.08.008
Joseph, N. M., Sistla, S., Dutta, T. K., Badhe, A. S., & Parija, S. C. (2009).
Ventilator-associated pneumonia in a tertiary care hospital in India: incidence
and risk factors. J Infect Dev Ctries, 3(10), 771–777.
Karatas, M., & , Sedat Saylan , Ugur Kostakogl, G. Y. (2016). An assessment of
ventilator-associated pneumonias and risk factors identified in the Intensive
Care Unit, 32(4).
KEMENKES. Pedoman Teknis Penilaian Indikator Kinerja Individu (IKI) Direktur
Utama RS Umum/Khusus dan Kepala Balai Di Lingkungan Dirjen Pelayanan
Kesehatan RI (2016). Indonesia.
Khezri, H., Alipour, A., Zeydi, A., Firuzian, A., Mahmudi, G., & Nava, M. (2016).
Is type 2 diabetes mellitus in mechanically ventilated adult trauma patients
potentially related to the occurrence of ventilator-associated pneumonia?
Journal of Research in Medical Sciences, 21(1), 19.
https://doi.org/10.4103/1735-1995.179887
Klompas, M., Branson, R., Eichenwald, E. C., Greene, L. R., Howell, M. D., Lee,
G., … Berenholtz, S. M. (2014). Strategies to Prevent Ventilator-Associated
Pneumonia in Acute Care Hospitals: 2014 Update. Infection Control &
Hospital Epidemiology, 35(8), 915–936. https://doi.org/10.1086/677144
Ladeira, M., Vital, M., Andriolo, B., Atallah, A., & Peccin, M. (2014). Pressure
support versus T tube for weaning from mechanical ventilation in adults
(Review). The Cochrane Database of Systematic Reviews, (5), 1–67.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD006056.pub2.www.cochranelibrary.com
Lahoorpour, F., Delpisheh, A., & Afkhamzadeh, A. (2013). Risk factors for
acquisition of ventilator-associated pneumonia in adult intensive care units.
Pakistan Journal of Medical Sciences, 29(5), 1105–1107.
https://doi.org/10.12669/pjms.295.3375
Makris, D., Desrousseaux, B., Zakynthinos, E., Durocher, A., & Nseir, S. (2011).
The impact of COPD on ICU mortality in patients with ventilator-associated
pneumonia. Respiratory Medicine, 105(7), 1022–1029.
https://doi.org/10.1016/j.rmed.2011.03.001
PDPI. (2003). Pneumonia Nosokomial. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia.
Pugh, R., Grant, C., Rpd, C., & Dempsey, G. (2015). Short-course versus
prolonged-course antibiotic therapy for hospital-acquired pneumonia in
critically ill adults ( Review ) SUMMARY OF FINDINGS FOR THE MAIN
COMPARISON. Cochrane Library, (8), 1–43.
https://doi.org/10.1002/14651858.CD007577.pub3.www.cochranelibrary.com
Safety, P., & Reporting, M. (2014). Ventilator-Associated Pneumonia ( VAP )
Event. Centers for Disease Control and Prevention. Ventilator-Associated
Pneumonia (VAP) Event. Device Assoc Events.January 2014:6:1–6:14.
http://www.cdc.gov/nhsn/pdfs/pscmanual/6pscvapcurrent.pdf. Accessed
August , 2014., (January), 1–14.
Saramma, P. P., Krishnakumar, K., Dash, P. K., & Sarma, P. S. (2011). Alcohol-
based hand rub and ventilator-associated pneumonia after elective
neurosurgery: An interventional study. Indian Journal of Critical Care
Medicine : Peer-Reviewed, Official Publication of Indian Society of Critical
Care Medicine, 15(4), 203–208. https://doi.org/10.4103/0972-5229.92069
Sheng, W., Xing, Q., Hou, W., Sun, L., Niu, Z., Lin, M., & Chi, Y. (2014).
Independent Risk Factors for Ventilator-Associated Pneumonia After Cardiac
Surgery. Journal of Investigative Surgery, 27(5), 256–261.
https://doi.org/10.3109/08941939.2014.892652
Siniscalchi, A., Aurini, L., Benini, B., Gamberini, L., Nava, S., Viale, P., & Faenza,
S. (2016). Ventilator associated pneumonia following liver transplantation:
Etiology, risk factors and outcome. World Journal of Transplantation, 6(2),
389. https://doi.org/10.5500/wjt.v6.i2.389
Six, S., Jaffal, K., Ledoux, G., Jaillette, E., Wallet, F., Nseir, S., … Davison, A.
(2016). Hyperoxemia as a risk factor for ventilator-associated pneumonia.
Critical Care, 20(1), 195. https://doi.org/10.1186/s13054-016-1368-4
Speroni, K. G., Lucas, J., Dugan, L., O’Meara-Lett, M., Putman, M., Daniel, M., &
Atherton, M. (2011). Comparative effectiveness of standard endotracheal
tubes vs. endotracheal tubes with continuous subglottic suctioning on
ventilator-associated pneumonia rates. Nursing Economic$, 29(1), 15–20, 37.
Tablan, O. C., Anderson, L. J., Besser, R., Bridges, C., & Hajjeh, R. (2003).
Guideline For Preventing Health Care Associated Pneumonia ,
Recommendations of CDC and the Healthcare Infection Control Practices
Advisory Committee.
Teo, H. K. (2012). VAP Prevention Barriers And Facilitattors Of Provider
Guideline Adherence. Universit of California, San Fransisco.
Tolentino-delosreyes, B. A. F., & Ruppert, S. D. (2007). EVIDENCE-BASED
PRACTICE: USE OF THE VENTILATOR BUNDLE TO PREVENT
VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA. American Journal of Critical
Care, 16(1), 20–28.
Tsakiridou, E., Makris, D., Daniil, Z., Manoulakas, E., Chatzipantazi, V., Vlachos,
O., … Zakynthinos, E. (2014). Acinetobacter baumannii infection in prior ICU
bed occupants is an independent risk factor for subsequent cases of ventilator-
associated pneumonia. BioMed Research International, 2014.
https://doi.org/10.1155/2014/193516
Tseng, C.-C., Huang, K.-T., Chen, Y.-C., Wang, C.-C., Liu, S.-F., Tu, M.-L., …
Lin, M.-C. (2012). Factors predicting ventilator dependence in patients with
ventilator-associated pneumonia. TheScientificWorldJournal, 2012, 547241.
https://doi.org/10.1100/2012/547241
Wiryana, M. (2007). Ventilator-associated pneumonia. Jurnal Penyakit Dalam,
8(3), 254–268. https://doi.org/10.1093/bjaed/mkv046

Anda mungkin juga menyukai