Anda di halaman 1dari 94

ASUHAN KEPERAWATAN ELDER ABUSED DAN NEGLECT PADA LANSIA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik

Dosen Pengampu: Ns. Sang Ayu M, S.Kep, Sp. Kep. Kom

Disusun Oleh:

Endang Dwi S 1610711055 Januarita Akhrina 1610711057


Ismi Zakiah 1610711056 Fina Alfya S 1610711058
Amelia Diah Wardani 1610711065 Purwandari Nurfaizah 1610711059
Gustina Rahmiandini P 1610711071 Amastia Ikayuwandari 1610711060
An’nisaa Eka Rahmawati 1610711072 Assyfa Siti R 1610711061
Leni Marlia 1610711073 Adinda Zein Nur 1610711062
Hannisa Rizki Riansyah 1610711079 Putri Zalfa 1610711064
Diah Ayu K 1610711067 Farah Nabilah 1610711068
Cintya Veronica 1610711069 Tessya Deant E 1610711070
Erliana Mandasari 1610711074 Asya Shalbiah M 1610711075
Anggryta Putry 1610711082 Nessa Ishmah M 1610711083
Ardhita Qory 1610711063

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAKARTA

TAHUN 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan
Gerontik dengan Elder Abused dan neglect” ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan dosen pada mata
kuliah Keperawatan Gerontik.

Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari
semua pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan makalah
ini, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Kami menyadari isi makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, baik dari segi
kalimat, isi, maupun dalam penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya, sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.

Depok, April 2019

Kelompok

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 5

I.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 5

I.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 6

I.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN TEORI.................................................................................................... 7

II.1 Prevalensi Elder Abused and neglect ......................................................................... 7


II.2 Pengertian Elder Abused and neglect ......................................................................... 9
II.3 Etiologi Elder Abused and neglect ........................................................................... 10
II.4 Tanda dan Gejala Elder Abused and neglect ............................................................ 11
II.5 Klasifikasi Elder Abused and neglect ....................................................................... 12
II.6 Konsep Elder Abused and
neglect .............................................................................15
II.7 Penatalaksanaan dan Perawatan Elder Abused and neglect ..................................... 29
II.8 Terapi Modalitas Elder Abused and neglect ............................................................. 30
II.9 Pencegahan Elder Abused and neglect ..................................................................... 32
II.10 Data Tambahan dalam Pengkajian .......................................................................... 34
II.11 Etika dan Peran Perawat .......................................................................................... 35
II.12 Teori Penuaan sesuai Kasus .................................................................................... 49
II.13 Asuhan
Keperawatan................................................................................................59

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 82

III.1 Simpulan .................................................................................................................. 82

III.2 Saran ........................................................................................................................ 82

iii
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 83

iv
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Setiap pribadi manusia rentan untuk mengalami kekerasan. Kapan saja,


dimana saja, dan tidak memandang status sosial dan juga usia. Orang yang sudah
lanjut usia (lansia) juga tidak luput dari kekerasan, bahkan kekerasan terhadap
lansia bisa timbul dari orang-orang terdekat seperti anak, menantu bahkan cucu
sendiri. Kekerasan terhadap orang lansia bisa terjadi dalam bentuk fisik, verbal,
diabaikan secara emosional (psikologis), dan juga dimanfaatkan. Banyak korban
adalah mereka yang sudah rapuh dan hidup mereka tergantung pada orang lain
untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Pelecehan terhadap orang lansia juga bisa dalam bentuk eksploitasi


keuangan dalam pengertian menggunakan sumber daya dari orangtua (biasanya
dilakukan oleh pasangan dewasa yang tidak mempunyai pekerjaan dan hanya bisa
meminta dari orangtua). Tanda-tanda dan gejala-gejala kekerasan terhadap orang
lansia, juga mirip dengan bentuk-bentuk lain, seperti dalam bentuk kekerasan
dalam rumah tangga antara suami dengan istri atau orangtua dengan anak.

Perlu kita ketahui, kebanyakan korban mengalami lebih dari satu jenis
perlakuan kekerasan. Beberapa korban mengalami rasa malu, takut, malu,
kecemasan, kebingungan, penarikan, dan depresi. Mereka menutup diri dan sulit
untuk berinteraksi dengan orang lain. Ada banyak cara untuk mengurangi
kekerasan terhadap orang lansia. Salah satunya dengan menghormati mereka
sebagai pribadi yang membutuhkan perhatian lebih namun tidak berlebihan. Itu
bisa dimulai dari diri kita sendiri. Suatu saat nanti kita akan menjadi sama seperti
mereka, menjadi lansia. Tentunya kita menginginkan supaya setiap anak, menantu
dan cucu-cucu bisa menghormati dan keberadaan kita. Kalau kita ingin
diperlakukan demikian, maka kita harus memperlakukan orang lansia yang ada di
sekitar kita seperti apa yang ingin kita terima pada saat kita tua nanti.

5
I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana prevalensi elder abused and neglect ?


2. Apa pengertian elder abused and neglect ?
3. Apa etiologi elder abused and negle ?
4. Apa tanda dan gejala elder abused and neglect?
5. Apa komplikasi elder abused and neglect ?
6. Apa klasifikasi elder abused and neglect ?
7. Bagaimana konsep elder abused and neglect ?
8. Bagaimana penatalaksanaan dan perawatan elder abused and neglect ?
9. Bagaimana terapi modalitas elder abused and neglect ?
10. Bagaimana pencegahan elder abused and neglect ?
11. Apa data tambahan dalam pengkajian ?
12. Bagaimana etika dan peran perawat ?
13. Apa teori penuaan sesuai kasus ?
14. Bagaiman asuhan keperawatan terkait elder abused and neglect ?

I.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui prevalensi elder abused and neglect


2. Mengetahui pengertian elder abused and neglect
3. Mengetahui etiologi elder abused and negle
4. Mengetahui tanda dan gejala elder abused and neglect
5. Mengetahui komplikasi elder abused and neglect
6. Mengetahui klasifikasi elder abused and neglect
7. Mengetahui konsep elder abused and neglect
8. Mengetahui penatalaksanaan dan perawatan elder abused and neglect
9. Mengetahui terapi modalitas elder abused and neglect
10. Mengetahui pencegahan elder abused and neglect
11. Mengetahui data tambahan dalam pengkajian
12. Mengetahui etika dan peran perawat
13. Mengetahui teori penuaan sesuai kasus
14. Mengetahui asuhan keperawatan terkait elder abused and negle

6
BAB II

TINJAUAN TEORI

II. 1 Prevalensi Elder Abused And Neglect

1. Pravelensi Dunia

Kekerasan pada lansia bukanlah fenomena langka di Amerika serikat atau


dimanapun. Sebaliknya, semua indikator menyarankan bahwa penganiayaan
terhadap lansia semakin eluas dan terjadi diantara semua subkelompok.
Meskipun perkiraan dari kekerasan pada lansia umumnya berkisar dari 2%
hingga 10% untuk Amerika Serikat (National Reserach Council, 2003) dan
dunia 3% hingga 28% (Cooper, selwood, & livingston, 2008), sulit untuk
yakin tentang keakuratan estimasi ini karena definisi yang tidak dilaporkan
dan berbeda signifikan dari pelecehan dan penelantaran pada lansia. Studi
menunjukkan bahwa sebagian besar penganiayaan diulang, jarang dilaporkan
kepada pihak berwenang, dan mewakili lebih dari satu bentuk pelecehan.

Dua studi prevalensi pelecehan yang representatif nasional baru-baru ini


menunjukkan tingkat tinggi secara keseluruhan dan khusus formulir.
Laumann, leitsch, dan waite (2008) meminta sampel dari 3005 orang dewasa
yang tinggal di komunitas berusia 57-85 tahun tentang setiap pengalaman
penganiayaan verbal, keuangan, atau fisik baru-baru ini. Sembilan persen
responden melaporkan secara verbal, 3,5% keuangan, dan 0,2% penganiayaan
fisik oleh anggota keluarga dalam satu tahun terakhir. Acierno (2009)
mensurvei sampel yang lebih besar lagi (5777 orang dewasa berusia 60 tahun
ke atas) tentang yang terbaru penganiayaan di lima bentuk; pengabaian serta
emosional, kekerasan fisik, seksual, dan finansial. Hasilnya disarankan bahwa
sekitar 1 dari 10 penghuni komunitas, secara kognitif utuh orang dewasa yang
lebih tua mengalami pengabaian atau pelecahan emosional, fisik, atau seksual
selama setahun terakhir. Tingkat meningkat menjadi 1 dari 7 ketika
eksploitasi keuangan dimasukkan. Di anatara berbagai bentuk pelecehan,
eksploitasi keuangan dan pelecehan emosional adalah pelecehan paling umum
dan seksual yang paling sedikit.

2. Prevalensi di Indonesia
Perlakuan salah terhadap orang tua merupakan salah satu bentuk cedera
yang dapat dicegah dan merupakan masalah yang serius. Prevalensi

7
perlakukan salah pada orang tua bervariasi di berbagai negara, yakni sekitar
11,4% di Amerika Serikat pada tahun 2008, 2,2% di Irlandia pada tahun 2010
dan 36,2% di Republik Rakyat Cina pada tahun 2010. Sementara itu, belum
ada data akurat mengenai prevalensi perlakuan salah terhadap orang tua di
Indonesia.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di wilayah Binaan Puskesmas
Padang Bulan Kecamatan Medan Baru yaitu di Kelurahan Merdeka,
Kelurahan Babura, dan Kelurahan Petisa Hulu sebanyak 97 responden didapat
data bahwa pada dasarnya responden tidak mengalami kekerasan psikologis,
verbal atau emosional yaitu sebanyak 88 orang (90,7%). Hal ini dikarenakan
keluarga yang merawat lansia menghormati dan mendukung kebutuhan
psikologis lansia. Kebutuhan psikologi lansia berupa komunikasi reguler,
dukungan emosional, suasana yang aman, tidak gaduh, dan mempertahankan
aktifitas yang masih bisa dilakukan oleh lansia.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 97 lansia di wilayah binaan


Puskesmas Padang Bualan Kecamatan Medan Baru tepatnya di Kelurahan
Merdeka, Kelurahan Babura, dan Kelurahan Petisa Hulu terdapat perilaku
kekerasan pengabaian terhadap lansia sebanyak 82 orang (84,5%).
Bentuk kekerasan pengabaian yang dialami lansia tertinggi adalah perilaku
kekerasan pengabaian berupa tidak dibantu dalam keberihan diri yaitu
sebanyak 84 orang (86,6%), tertinggi selanjutnya adalah perilaku kekerasan
pengabaian berupa tidak diingatkan untuk melakukan pemeriksaan rutin
secara teratur sebanyak 66 orang (68,0%), perilaku kekerasan pengabaian
berupa tidak diingatkan untuk minum obat sebanyak 55 orang (56,7%),
perilaku kekerasan pengabaian berupa tidak diajak rekreasi sebanyak 22
orang (22,7%), perilaku kekerasan pengabaian berupa tidak dibantu dalam
menghadapi masalah sebanyak 18 orang (18,6%), perilaku kekerasan
pengabaian berupa tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan, tidak diberi
makanan sehat seperti nasi, lauk, dan sayur, apatis terhadap kondisi lansia
sebanyak 17 orang (17,5), perilaku kekerasan pengabaian berupa tidak
dilibatkan dalam acara keluarga sebanyak 13 orang (13,4%), dan perilaku
8
kekerasan pengabaian berupa tidak diberi pakaian yang layak dan tidak diberi
tempat tinggal yang memadai sebanyak 6 orang (6,2%).

Hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Ampeman pada tahun 2016


menunjukan data :

II. 2 Pengertian Elder Abuse and Neglect

1. Pengertian Neglect
Menurut WHO (1999) dalam buku Keperawatan Komunitas Teori Dan Pr
aktik Keperawatan(2009) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekua
saa, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan, atau sekelompok ora
ng(masyarakat) mengakibatkan atau mungkin mengakibatkan trauma atau cedera f
isik, kematian, kerugian psikologis, gangguan perkembangan, atau perampasan h
ak. Kekuatan fisik dan kekuasaan harus dilihat dari segi pandang yang luasmenca
kup rindakan atau penyiksaan secara fisik, psikis, seksual dan kurang perhatian (n
eglect) abuse.
Penelantaran (neglect) didefinisikan sebagai jenis penganiayaan yang men
gacu pada kegagalan oleh pengasuh untuk memberikan yang diperlukan, perawata
n yang sesuai dengan usia meski secara finansial mampu melakukannya atau dita
warkan berarti keuangan atau lainnya untuk melakukannya. Penelantaran (neglect)
adalah kegagalan keluarga untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi lansia,
seperti tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau
meninggalkan lansia sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatny
a. Penelantaran (neglect) biasanya ditandai oleh pola berkelanjutan perawatan yan
g tidak memadai dan mudah diamati oleh individu dalam kontak dekat dengan lan
sia. Seringkali karena kesibukan, keluarga lansia mengabaikan kebutuhan lansia s

9
eperti kebersihan yang buruk, berat badan yang buruk, dan perawatan medis yang
tidak memadai

2. Pengertian Abuse
Abuse adalah perilaku yang dirancang untuk mengendalikan dan menaklu
kkanmanusia yang lain melalui penggunaan ketakutan, penghinaan, dan lisan atau
fisik.Kata kekerasan merupakan terjemahan dari kata violence, artinya suatu seran
ganterhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan di sin
i mulaidari kekerasan fisik seperti perkosaan, pemukulan, sampai dengan kekerasa
n dalambentuk yang lebih halus, seperti pelecehan seksual dan penciptaan keterga
ntungan.Kekerasan tidak hanya menyangkut siksaan fisik belaka, tapi juga melipu
ti perkataan,sikap, dan berbagai hal atau sistem yang menyebabkan kerusakan sec
ara fisik, mental,sosial atau lingkungan, dan atau menghalangi seseorang untuk m
eraih potensinyasecara penuh. Bentuk kekerasan tidak hanya yang mengandung as
pek fisik, tapi jugaaspek psikologis yang meliputi perkataan dan sikap
Merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara
verbalyang mencerminkan pada tindakanagresidan penyerangan pada kebebasan
ataumartabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok or
angumumnya berkaitan dengan kewenangannya
yakni bila diterjemahkan secara bebasdapat diartinya bahwa semua kewenangan ta
npa mengindahkan keabsahan penggunaanatau tindakan kesewenangwenangan itu
dapat pula dimasukan dalam rumusan
II. 3 Etiologi Elder Abuse and Neglect

1. Kekerasan dalam Rumah Tangga


Menyaksikan kekerasan dalam rumahtangga adalah menakutkan bagi anak-
anak. Bahkan jika ibu melakukan yangterbaik untuk melindungi anak-
anaknya dan menjaga mereka dari pelecehanfisik, situasi masih sangat merusak
. Jika Anda atau orang yang dicintaiberada dalam hubungan yang tidak baik , k
eluar adalah hal terbaik untuk melindungi anak-anak.
2. Alkohol dan penyalahgunaan obat.
Hidup dengan pecandu alkohol sangatsulit bagi anakanak dan dengan mudah d
apat mengakibatkanpenyalahgunaan dan penelantaran. Parents who are drunk o
r high are unableto care for their children, make good parenting decisions, and
control often-
dangerous impulses. Orang tua yang mabuk tidak mampu untuk merawatanak-
anak mereka, tidak mampu membuat keputusan pengasuhan yang baik,dan kon
10
trol impuls seringberbahaya. Penyalahgunaan zat juga umumnyamengarah ke k
ekerasan fisik.
3. Penyakit mental yang tidak diobati.
Orang tua yang menderita depresi,gangguan kecemasan, gangguan bipolar, ata
u lain penyakit mentalmengalami kesulitan merawat diri, apalagi anakanak mer
eka. Orang tuaakan dijauhi oleh anakanak mereka karenaorang tua tersebut bisa
marahtanpa sebab. Anakanak akan merasa lebih baik bila dirawat oleh pengasu
hmereka.
4. Kurangnya keterampilan pengasuhan.
Beberapa pengasuh pernah belajarketerampilan yang diperlukan untuk mengas
uh anak yang baik. Teen parents,for example, might have unrealistic expectatio
ns about how much care babiesand small children need. Orang tua yang masih r
emaja mungkin memilikiharapan yang tidak realistis tentang bagaimana cara m
erawat bayi dankebutuhan anak kecil.. Atau orang tua yang menjadi korban kek
erasansemasa anakanak, mungkin hanya tahu bagaimana membesarkan anakan
ak mereka dengan cara mereka dibesarkan.. Dalam kasus tersebut, kelas orangt
ua, terapi, dan kelompok pengasuh adalah dukungan sumber daya yangbesar un
tuk belajar keterampilan guna menjadi orangtua yang lebih baik.

II. 4 Tanda dan Gejala Elder Abuse and Neglect


1. Tanda dan gejala Elder Abuse
a. Fisik
Luka memar, bekas goresan, lecet dan bekas ikatan pada pergelangan
tangan dan kaki, gigi terlepas disertai dengan pendarahan, rambut lepas
dalam jumlah yang banyak dan kemerahan pada kulit kepala, overdosis
obat, dehidrasi, pakaian tidak bersih, buruknya kebersihan, infeksi pada
alat kelamin, perdarahan dan atau robekan pada daerah anal dan alat
kelamin (kecurigaan seksual).

b. Psikologis
Cemas berlebihan, ketakutan berlebih, menjadi pendiam apabila banyak
orang, terlihat murung dan menyendiri, perubahan pola tidur, insomnia,
penurunan nafsu makan, depresi, munculnya gejala paranoid, disorientasi,
apatis.

2. Tanda dan gejala Neglect


a. Tanda kekerasan fisik
Cedera yang tidak diketahui asalnya, masalah medis yang tidak diketahui
penyebabnya.

b. Tanda kekerasan seksual


11
Memiliki perilaku seksual yang tidak semestinya, hamil atau memiliki
penyakit menular seksual, memiliki masalah pada organ intim, nyeri atau
kesulitan berjalan atau duduk.

c. Tanda kekerasan emosional


Kehilangan percaya diri, depresi, gelisah, sakit kepala atau sakit perut
secara tiba-tiba, menarik diri, terlambatnya atau terganggunya proses
tumbuh kembang, penurunan prestasi, menghindari situasi tertentu.

II. 5 Klasifikasi Elder Abuse and Neglect


Ada 7 jenis pelecehan yang diakui oleh The National Center on Elder Abuse.
Setiap jenis penyalahgunaan memiliki serangkaian tanda dan gejala yang terkait
dengannya.
ada berbagai tanda dan faktor risiko penyalahgunaan lansia yang dapat membantu
memperbaiki situasi sebelum kerusakan permanen terjadi. Sangat penting untuk
mendidik diri sendiri dan lansia tentang apa yang diklasifikasikan sebagai
pelecehan orang tua, dan tanda peringatan.

The 7 Types of Elder Abuse


The National Center on Elder Abuse mengidentifikasi tujuh jenis pelecehan yang
melibatkan orang tua (1). Ini termasuk:

1. Physical Abuse
Pelecehan fisik lansia diartikan sebagai menggunakan beberapa jenis kekuatan
fisik pada lansia yang dapat menyebabkan kerusakan tubuh, gangguan yang
berkelanjutan, atau rasa sakit fisik. Ini mungkin termasuk memukul individu
dengan tangan atau benda.

Ini juga dapat mencakup pemukulan, mendorong, mendorong, menggigit,


menampar, mengguncang, membakar atau menendang korban. Pelecehan fisik
juga dapat melibatkan penggunaan narkoba secara tidak tepat, hukuman fisik,
mencekok makan individu dan menggunakan pengekangan fisik.
Gejala dan tanda-tanda pelecehan fisik meliputi:

a. Patah tulang
b. Tengkorak patah
c. Memar
d. Ramah
e. Potongan yang tidak bisa dijelaskan
f. Tanda dari tali
g. Laserasi
h. Luka terbuka
i. Dislokasi
j. Terkilir
k. Cedera internal atau perdarahan
l. Bukti pemberian terlalu banyak atau terlalu sedikit obat
m. Kacamata rusak
n. Bukti perangkat penahan
o. Orang tua itu melaporkan ditampar, dipukul, dianiaya, atau ditendang
p. Perubahan mendadak dalam kepribadian atau perilaku orang lanjut usia
q. Penolakan untuk memiliki pengunjung melihat senior sendirian
12
3. Sexual Abuse
Pelecehan seksual terhadap lansia didefinisikan sebagai melakukan hubungan
seks non-konsensual dengan seorang lansia. Segala jenis kontak seksual dengan
seseorang yang tidak dapat memberikan persetujuan juga merupakan bentuk
pelecehan seksual. Ini bisa termasuk sentuhan yang tidak diinginkan, kekerasan
seksual, ketelanjangan yang dipaksakan, sodomi, hubungan seksual atau
mengambil gambar individu ketika mereka telanjang.

Tanda-tanda khas bahwa orang lanjut usia mengalami pelecehan seksual


meliputi:

a. PMS yang tidak dijelaskan


b. Infeksi genital yang tidak dapat dijelaskan
c. Memar di payudara atau alat kelamin
d. Pendarahan dari anus atau vagina
e. Pakaian dalam yang bernoda, berdarah atau sobek
f. Laporan oleh lansia bahwa dia mengalami pelecehan seksual

3. Emotional or Psychological Abuse


Pelecehan emosional seorang lansia didefinisikan sebagai menimbulkan rasa
sakit, kesedihan atau kesulitan dengan cara verbal atau nonverbal. Ini bisa
termasuk menghina lansia, melakukan serangan verbal, mempermalukan lansia,
mengancam , mengintimidasi lansia atau pelecehan. Selama pelecehan
emosional, orang tua sering diperlakukan seperti anak kecil dan terisolasi dari
kegiatan yang mereka sukai, teman atau keluarga. Pelecehan emosional juga
dapat melibatkan memberi orang tua itu "perawatan diam" atau menjaga mereka
terisolasi secara sosial.

Gejala dan tanda-tanda pelecehan emosional atau psikologis termasuk yang


berikut:

a. Lansia tidak berkomunikasi, tidak responsif, atau menarik diri


b. Lansia tampaknya gelisah atau kesal secara emosional
c. Lansia memiliki perilaku yang tidak biasa yang meniru demensia
d. Sebuah laporan dari senior yang mengindikasikan penganiayaan verbal atau
emosional
4. Neglect of the Elderly

Ini didefinisikan sebagai menolak atau gagal memberi orang tua perawatan yang
mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan yang nyaman. Ini mungkin juga
melibatkan kegagalan merawat lansia oleh seseorang yang memiliki kewajiban
untuk merawat lansia. Ini dapat melibatkan gagal membayar layanan kesehatan
di rumah atau gagal memberikan perawatan penting kepada pasien.

Mengabaikan orang lanjut usia biasanya berarti menolak atau gagal memberikan
kepada orang tua kebutuhan hidup, seperti air, makanan, tempat tinggal, pakaian,
obat-obatan, kebersihan, keselamatan pribadi, atau kenyamanan yang diperlukan.

Gejala dan tanda-tanda pengabaian lansia meliputi:

a. Mengizinkan individu untuk hidup dalam kondisi hidup yang tidak bersih
b. Mengizinkan individu hidup dengan kondisi berbahaya seperti kabel yang
rusak, kurang panas atau air bersih yang mengalir
c. Luka tidur yang tidak diobati
13
d. Malnutrisi
e. Dehidrasi
f. Gagal mengobati masalah kesehatan
g. Sebuah laporan oleh orang tua tentang penganiayaan

5. Abandonment of the Elder


Mengabaikan seorang penatua diartikan sebagai meninggalkan senior oleh
seseorang yang memiliki tanggung jawab untuk merawat individu, atau yang
memiliki hak asuh atas mereka.

Tanda-tanda dan gejala ditinggalkannya lansia meliputi:

a. Meninggalkan senior di tempat umum, seperti pusat perbelanjaan


b. Meninggalkan senior di fasilitas perawatan atau rumah sakit
c. Laporan dari senior bahwa dia ditinggalkan
6. Financial Abuse
Penyalahgunaan keuangan seorang penatua didefinisikan secara ilegal atau tidak
benar menggunakan aset orang tua atau properti lainnya. Ini mungkin termasuk
memalsukan tanda tangan mereka, mengambil uang tunai dari penatua,
menandatangani cek penatua, memaksa orang tua untuk menandatangani
dokumen yang mereka tidak mengerti, mencuri harta benda atau uang mereka,
dan menggunakan keuntungan sebagai kuasa mereka dengan tidak sah, wali atau
konservator
Gejala dan tanda-tanda eksploitasi finansial lansia meliputi:

a. Termasuk nama pengasuh pada kartu bank orang tua


b. Perubahan dalam rekening bank atau sejumlah besar uang ditarik
c. Perubahan pada dokumen hukum, seperti surat wasiat
d. Menggunakan kartu ATM orang tua tanpa izin
e. Hilangnya harta atau dana penatua
f. Memberikan perawatan yang lebih tua di bawah standar ketika mereka
mampu mendapatkan perawatan yang lebih baik
g. Menemukan tanda tangan palsu pada judul atau transaksi keuangan lainnya
h. Orang tua melaporkan eksploitasi keuangan
i. Menyediakan layanan yang tidak perlu
j. Mentransfer aset ke seseorang yang bukan anggota keluarga
k. Kemunculan kembali kerabat yang mengklaim hak atas harta atau urusan senior

7. Self Neglect

Pengabaian diri di antara para lansia ditandai oleh lansia yang terlibat dalam
perilaku yang mengancam keselamatan atau kesehatan pribadi mereka. Biasanya
terlihat ketika orang yang lebih tua menolak atau gagal menyediakan air,
makanan, tempat tinggal, pakaian, obat-obatan, kebersihan dan keamanan yang
memadai. Ini tidak termasuk situasi di mana orang tua yang kompeten secara
mental membuat keputusan sukarela untuk melakukan hal-hal yang mengancam
kesehatan mereka karena pilihan pribadi.

Tanda-tanda dan gejala pengabaian diri meliputi:

a. Hidup di tempat yang tidak memadai atau menjadi tunawisma


b. Gagal memiliki atau menggunakan alat bantu medis seperti gigi palsu, alat
bantu dengar dan kacamata
14
c. Hidup di lingkungan hidup yang tidak bersih
d. Hidup dengan kabel yang rusak, kekurangan pipa ledeng atau dalam kondisi
yang tidak bersih

II. 7 Konsep Elder Abuse and Neglect

A. Gambaran Umum Kekerasan dan Penelantaran Lansia

Dalam beberapa dekade terakhir, kelompok-kelompok tambahan telah diakui


membutuhkan perlindungan: korban kekerasan dalam rumah tangga dan orang tua
yang dilecehkan atau diabaikan. Meskipun masalah orang dewasa lanjut usia yang
dilecehkan atau diabaikan bukanlah hal baru, pelecehan yang lebih tua telah mendapat
perhatian yang meningkat sebagai masalah sosial.

1. Karakteristik Kekerasan Lansia

Definisi kekerasan lansia telah berubah dari waktu ke waktu sebagai


respons terhadap perubahan dalam iklim politik, sentimen publik, pendanaan yang
tersedia, dan peningkatan pengetahuan dan minat profesional. Bagian ini
membahas karakteristik yang diakui secara luas tentang kekerasan pada lansia dan
bagian berikut membahas pengakuan historis kekerasan pada lansia . Dewan
Penelitian Nasional (2003, hal. 1) mendefinisikan penganiayaan lansia sebagai
“(a) Tindakan yang disengaja yang menyebabkan bahaya atau menciptakan risiko
bahaya yang serius, apakah dimaksudkan atau tidak, bagi seorang lansia yang
rentan oleh pengasuh atau orang lain yang berdiri di hubungan kepercayaan
dengan lansia, atau (b) kegagalan oleh pengasuh untuk memenuhi kebutuhan
dasar lansia atau untuk melindungi penatua dari bahaya. ”Definisi ini
dikembangkan untuk mengatasi ambiguitas historis tentang apa yang merupakan
kekerasan yang dialami oleh lansia dan untuk menumbuhkan empiris. investigasi
subjek menggunakan desain penelitian yang sebanding. Meskipun tujuan yang
mengagumkan, definisi tersebut tidak membahas masalah yang diidentifikasi oleh
dokter dan terbukti dalam statuta negara (Pillemer et al., Di media) Pusat Nasional
Penyalahgunaan Penatua (2009b) mengakui tiga kategori dasar pelecehan
terhadap penatua (yaitu, pelecehan penatua dalam rumah tangga, pelecehan
penatua institusi, dan pengabaian diri atau penyalahgunaan diri) dan tujuh jenis
atau bentuk utama (yaitu, pelecehan fisik, pelecehan seksual, emosi atau
pelecehan psikologis, penelantaran, pengabaian, eksploitasi finansial atau
material, dan swadaya). Pengabaian diri dalam klasifikasi ini mencakup perilaku
orang dewasa yang lebih tua yang mengancam kesehatan atau keselamatan
mereka (Nasional Center on Elder Abuse, 2009a).
15
Secara internasional, konsep pelecehan terhadap orang tua memiliki batas
yang hampir tidak terbatas, sebagaimana dibuktikan oleh Majelis Dunia Kedua
PBB tentang Penuaan (United Nations Economic and Social Council, 2002).
Majelis Dunia ini memandang pelecehan yang lebih tua mencakup hampir semua
hal yang menyebabkan bahaya atau kesusahan bagi orang yang lebih tua dan yang
terjadi dalam suatu hubungan dengan harapan kepercayaan. Ini mencakup
tindakan seluas mulai dari bentuk agresi langsung hingga penolakan martabat
orang lanjut usia (Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, 2008). Contoh-contoh lain
dari pandangan yang terus berkembang tentang pelecehan terhadap orang tua
termasuk artikel surat kabar yang menggambarkan korban bencana yang lebih tua
sebagai menderita pelecehan yang lebih tua dan iklan layanan hukum berlabel
kualitas perawatan yang dikompromikan dalam fasilitas perawatan jangka panjang
sebagai penyalahgunaan yang lebih tua.

2. Pengakuan Sejarah terhadap Masalah Sosial

Kesadaran akan pelecehan terhadap orang tua sebagai masalah sosial


dimulai pada 1950-an dan 1960-an ketika tulisan-tulisan Geneva Mathiasen dan
Gertrude Hall memperkenalkan konsep melindungi orang dewasa yang rentan.
Pusat-pusat seperti Benjamin Rose Institute di Cleveland, Ohio, mengembangkan
konsep pada awal 1970-an melalui proyek demonstrasi awal, biasanya secara
khusus terkait dengan pengabaian diri. Akan tetapi, kesadaran akan kekerasan
fisik tidak muncul sampai akhir tahun 1970-an, dan kesadaran akan jenis-jenis
pelecehan yang lebih lanjut juga terjadi. Akhir 1980-an menyaksikan kriminalisasi
yang meningkat atas pelecehan terhadap orang tua, sebuah gerakan yang berlanjut
hingga hari ini. Dengan itu, penipuan konsumen yang ditujukan untuk lansia ,
termasuk penipuan dan game con, digolongkan dalam kekerasan orang tua.
Bersamaan dengan itu, pengakuan atas kekerasan dalam rumah tangga di
kemudian hari sebagai bentuk pelecehan yang lebih tua berfungsi untuk
mengubah paradigma praktik untuk memberdayakan para korban dan meminta
pertanggungjawaban pelaku.

Tahun 1990-an dalam mengatasi kekerasan lansia, dengan dokter semakin


mendominasi intervensi masalah, kadang-kadang dengan twist peradilan pidana,
seperti dalam pembentukan pusat forensik dan penanda terkait dengan pelecehan
yang lebih tua. Dalam konteks ini juga, pelecehan yang lebih tua telah dilihat

16
sebagai masalah kesehatan masyarakat, dengan intervensi yang dianggap sebagai
lensa pencegahan. Akhirnya, pelecehan orang tua telah menjadi perhatian global.
Pertama kali diakui di Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Kanada, kekerasan
lansia menjadi masalah internasional pada akhir 1990-an, sebagaimana dibuktikan
oleh pembentukan Jaringan Internasional untuk Pencegahan Penyalahgunaan
Penatua di tahun 1997 dan Hari Kesadaran kekerasan lansia Sedunia pada tahun
2006 , sebuah acara yang diperingati di negara-negara di seluruh dunia setiap
tahun sejak itu. Laporan-laporan pelecehan pada lansia meningkat, dan sekarang
diakui sebagai masalah sosial dan kesehatan utama dan aspek signifikan dari
kekerasan keluarga. Perhatian yang meningkat ini dapat dikaitkan dengan alasan
seperti berikut:

a. Populasi lansia telah meningkat dengan cepat, dengan kelompok orang tua
yang paling rentan (yaitu, mereka yang berusia 85 tahun ke atas) meningkat
pada tingkat tercepat.
b. Anak-anak dewasa semakin banyak dipanggil untuk merawat orang tua
mereka; namun, beberapa kekurangan kapasitas, keterampilan, sumber daya,
ketersediaan, atau kedekatan fisik untuk menjalankan tanggung jawab ini
dengan sukses.
c. Para peneliti dan dokter mengarahkan lebih banyak perhatian pada masalah
yang mempengaruhi orang dewasa yang paling rentan, yang mengarah pada
lebih banyak informasi dan publikasi.
d. Upaya pendidikan telah membuat para profesional dan publik lebih sadar akan
undang-undang pelaporan dan layanan perlindungan orang dewasa.
e. Dengar pendapat kongres dan program pendidikan telah merangsang minat
publik dan profesional dalam masalah ini
f. Organisasi, seperti Komite Nasional untuk Pencegahan Penyalahgunaan
Penatua dan Asosiasi Layanan Perlindungan Dewasa Nasional, telah
mempromosikan jejaring profesional dan mengadvokasi kebijakan publik
untuk mengatasi kekerasan lansia.

Perawat gerontologis telah berada di garis depan penelitian, publikasi, dan


mempraktikkan inovasi dalam pelecehan terhadap orang tua. Jurnal keperawatan
telah menampilkan artikel tentang pelecehan yang lebih tua sejak 1970-an dan,
teks keperawatan yang berorientasi klinis tentang pelecehan yang lebih tua telah
ditulis bersama oleh perawat sejak 1980-an. Sejak pertengahan 1980-an,
keperawatan telah diwakili dalam bidang pelecehan yang lebih tua melalui
penelitian para sarjana seperti Terry Fulmer, Linda Phillips, dan Elizabeth
17
Podnieks. Perawat juga telah mengembangkan alat dan protokol klinis penting,
khususnya di bidang skrining dan penilaian.

3. Prevalensi dan Penyebab

Kekerasan terhadap orang tua bukanlah fenomena yang jarang atau


terisolasi di Amerika Serikat atau di tempat lain. Sebaliknya, semua indikator
menunjukkan bahwa kekerasan lansialebih luas dan terjadi di antara semua
subkelompok. Meskipun perkiraan kekerasan lansiaumumny a berkisar dari 2%
hingga 10% untuk Amerika Serikat (Dewan Riset Nasional, 2003) dan 3% hingga
28% di seluruh dunia (Cooper, Selwood, & Livingston, 2008), sulit untuk percaya
diri tentang keakuratan estimasi ini karena definisi signifikan yang kurang
dilaporkan dan perbedaan kekerasan dan penelantaran lansia. Studi menunjukkan
bahwa sebagian besar penganiayaan diulang, jarang dilaporkan kepada pihak
berwenang, dan mewakili lebih dari satu bentuk kekerasan .

Dua studi prevalensi pelecehan yang representatif nasional baru-baru ini


menunjukkan tingkat tinggi secara keseluruhan dan untuk bentuk-bentuk tertentu.
Laumann, Leitsch, dan Waite (2008) menanyakan sampel dari 3005 orang dewasa
yang tinggal di komunitas berusia 57 hingga 85 tahun tentang pengalaman
penganiayaan verbal, keuangan, atau fisik baru-baru ini. Sembilan persen
responden melaporkan penganiayaan verbal, 3,5% finansial, dan 0,2% fisik oleh
anggota keluarga dalam setahun terakhir. Acierno (2009) mensurvei sampel yang
lebih besar (5777 orang dewasa berusia 60 tahun dan lebih tua) tentang
penganiayaan baru-baru ini di lima bentuk: pengabaian serta pelecehan emosional,
fisik, seksual, dan keuangan. Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 10
orang dewasa yang tinggal di komunitas, secara kognitif masih utuh mengalami
pengabaian atau pelecehan emosional, fisik, atau seksual selama setahun terakhir.
Angka ini meningkat menjadi 1 banding 7 ketika eksploitasi keuangan
dimasukkan. Di antara berbagai bentuk pelecehan, eksploitasi keuangan dan
pelecehan emosional adalah yang paling umum dan pelecehan seksual yang paling
sedikit.

Meskipun masalahnya dapat memengaruhi lansia , korban kekerasan yang


dilaporkan pada umumnya adalah seorang wanita yang terisolasi secara sosial dan
secara fisik atau kognitif pada usia lanjut yang tinggal sendirian atau bersama
pelaku kekerasan dan bergantung pada pelaku kekerasan tersebut untuk
18
perawatan. Studi lain telah mengidentifikasi profil para lansia yang dianiaya
berdasarkan jenis kekerasan . Misalnya, korban penelantaran cenderung memiliki
karakteristik berikut: usia yang lebih tua; hidup sendiri; terisolasi secara sosial;
sumber daya ekonomi yang tidak memadai; dan memiliki demensia, penyakit
mental, penyalahgunaan zat, atau perilaku menimbun (Choi, Kim, & Asseff, 2009;
Dyer, Goodwin, Pickens-Pace, Burnett, & Kelly, 2007; Ernst & Smith, dalam
pers; Nathanson, 2009). Akhirnya, mungkin ada beberapa hubungan antara jenis
pelecehan dan jenis kelamin pelaku, dengan laki-laki lebih mungkin untuk
mengeksploitasi atau secara fisik melecehkan penatua dan wanita lebih cenderung
mengabaikan fisik atau secara psikologis melecehkan penatua.

Studi tentang jenis-jenis penganiayaan tertentu menunjukkan bahwa


penyalahgunaan oleh penatua merupakan hasil dari banyak variabel yang saling
terkait. Brandl et al. (2007) merangkum karakteristik yang terkait dengan korban
dan pelaku (Kotak 10-1), menekankan bahwa karakteristik pelaku merupakan
prediktor yang lebih kuat untuk terjadinya kekerasan daripada karakteristik
korban. Penelitian tentang penyebab pelecehan seksual menunjuk pada arah
berikut :

a. Penyebab bervariasi berdasarkan bentuk penyalahgunaan.


b. Etiologi segala bentuk penyalahgunaan adalah gabungan dari beberapa
variabel yang saling terkait.
c. Asal mula kekerasan orang tua ditemukan baik pada korban dan pelaku serta
dalam hubungan antara keduanya.
d. Etiologi pelecehan yang lebih tua berbeda dari yang disarankan untuk populasi
yang dilecehkan lainnya dalam cara-cara penting (mis., Pelecehan yang lebih
tua secara unik dikaitkan dengan ageism).

4. Pertimbangan Budaya

Sebagai masalah di seluruh dunia, pelecehan terhadap orang tua ditangani


dalam konteks hak asasi manusia untuk bebas dari kekerasan di rumah. Sebagian
besar fokusnya adalah pada variasi budaya dalam definisi pelecehan yang lebih
tua, dan banyak penelitian di Amerika Serikat berpusat pada sikap terhadap
pelecehan yang lebih tua di berbagai komunitas etnis (Malley-Morrison, Nollido,
& Chawla, 2006) (Pertimbangan Budaya 10-1) . Karena berbagai alasan, sebagian

19
besar penelitian tentang pelecehan terhadap para penatua lintas kelompok etnis
dan budaya lainnya dilakukan pada 1990-an.

Variasi budaya melampaui ras dan etnis, tentu saja. Meskipun penelitian di
bidang ini sangat minim, beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa
kelompok mungkin lebih rentan terhadap pelecehan lansia, terutama pengabaian
diri, karena isolasi sosial. Misalnya, lingkungan sosial homofobik dapat
menyebabkan kaum gay dan lesbian pada lansia hidup dalam persembunyian,
memberikan nilai tinggi pada kemandirian, dan menghindari kontak dengan
penyedia layanan senior. Penelitian terbaru oleh Walsh, Olson, Ploeg, Lohfeld,
dan MacMillan (in press) di Kanada menggunakan wawancara kelompok fokus
dengan lesbian yang lebih tua mengungkapkan kekhawatiran tentang kehilangan
identitas orientasi seksual mereka saat pindah ke panti jompo. Responden juga
menyuarakan rasa takut akan diskriminasi dan potensi isolasi ekstrim dalam
pengaturan kelembagaan.

Meskipun memahami variasi budaya dalam kejadian dan interpretasi


pelecehan yang lebih tua adalah penting, perawat juga harus ingat bahwa individu
berbeda-beda. Tidak semua anggota kelompok budaya, agama, atau minoritas
bersikap sesuai dengan tren yang dilaporkan.

B. Faktor Risiko Untuk Kekerasan Dan Penelantaran Orang Tua


Karena risiko kekerasan dan penelantaran yang lebih tua dikaitkan dengan
kombinasi karakteristik dan keadaan di waktu dan pelaku, identifikasi semua faktor
risiko sangat kompleks. Paling sering, beberapa faktor risiko harus ada dan ini
umumnya berkembang dalam waktu yang lama. Karakteristik yang cenderung umum
pada sebagian besar situasi kekerasan seksual adalah visibilitas masalah, kerentanan
orang tua, dan faktor risiko psikososial dan pengasuh.
1. Hal yang Tak Terlihat dan Kerentanan
Berbeda dengan kebanyakan masalah yang mempengaruhi orang dewasa yang
lebih tua, salah satunya faktor risiko utama untuk kekerasan lansia adalah hal yang
tak terlihat. Meskipun meningkatnya perhatian yang diberikan pada kekerasan
yang lebih tua, sebagian besar kasus tidak dilaporkan, bahkan di negara-negara
dengan pelaporan yang baik. Faktor-faktor yang tak terlihat dan kurang laporan
turut berkontribusi, meliputi:
a. Orang yang lebih tua umumnya kurang kontak dengan masyarakat daripada
segmen populasi lainnya.
20
b. Orang yang lebih tua enggan mengaku telah dilecehkan atau dilecehkan.
dicurigai, karena mereka takut akan pembalasan atau percaya situasi alternatif
mungkin lebih buruk daripada yang kasar.
c. Banyak mitos dan stereotip negatif yang terkait dengan yang lama usia
menumbuhkan penolakan kuat terhadap penuaan dan bahkan lebih kuat
penolakan masalah sosial yang terkait dengan rentan orang yang lebih tua.

Kerentanan dikaitkan dengan kombinasi sosial, faktor pribadi, situasional, dan


lingkungan. Sebagai contoh, orang tua mungkin memiliki keterbatasan psikososial
yang signifikan dari kondisi seperti demensia, depresi, dan mental penyakit.
Kondisi ini dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap pengabaian diri
sendiri atau penyalahgunaan atau eksploitasi oleh orang lain; mereka juga bias
mempengaruhi kemampuan untuk mencari bantuan dari orang lain. Faktor lain itu
mengarah pada kerentanan adalah tidak adanya kerabat dekat atau lainnya
mendukung orang yang mampu dan mau memberikan yang memadai dan bantuan
yang sesuai.

2. Faktor Psikososial
Gangguan fungsi kognitif adalah salah satu karakteristik yang paling
umum dari orang dewasa yang dilecehkan. Perhatian yang cukup telah difokuskan
pada demensia sebagai faktor risiko untuk pengabaian diri serta kekerasan
psikologis dan fisik (Cooper et al., 2009). Gangguan penilaian, kurangnya
wawasan, ketidakmampuan untuk membuat keputusan yang aman, dan kehilangan
kontak dengan kenyataan adalah spesifik gangguan yang dapat menyebabkan
pelecehan dan pengabaian. Satu studi menemukan bahwa perlakuan buruk
terdeteksi pada 47,3% sampel dari 129 orang dengan demensia dan pengasuh
mereka (Wiglesworth et al., 2010). Wiglesworth dan rekannya menemukan
variabel berikut yang terkait dengan peningkatan kekerasan: perilaku agresif dari
orang dengan demensia dan kegelisahan pengasuh, depresi, pendidikan rendah,
dan beban yang dirasakan lebih tinggi. Selain demensia, depresi dan delirium
adalah kondisi lain yang bias meningkatkan risiko kekerasan dan penelantaran
yang lebih tua. Karakteristik depresi yang berkontribusi pada perannya dalam
pengabaian diri termasuk isolasi sosial, pandangan negatif, dan kurangnya minat
perawatan diri.
Ketika orang dewasa yang lebih tua menyangkal gangguan kognitif atau
menolak bantuan atau evaluasi, risiko penyalahgunaan orang tua meningkat.
Orang lanjut usia yang hidup sendiri dan menyadari gangguan mereka mereka
mungkin takut mengakuinya, karena mereka takut bahwa mereka memiliki

21
masalah yang tidak dapat diatasi yang akan membutuhkan pindah ke fasilitas
perawatan jangka panjang. Ketakutan ini dapat menyebabkan isolasi sosial,
penyebab dari gangguan pengobatan secara progresif tetapi tidak menurunkan
fungsi kesehatan.
Penyakit mental jangka panjang juga dapat mempengaruhi usia yang lebih
tua orang dewasa untuk kekerasan atau pengabaian, terutama dalam kombinasi
dengan yang lain faktor, seperti demensia atau hilangnya sosial yang signifikan
mendukung. Faktor risiko tambahan timbul dari lingkungan sosial dan sumber
lingkungan. Tidak adanya sistem pendukung adalah salah satu faktor penyebab
paling umum untuk penelantaran diri, terutama pada orang berusia 80-an, 90-an,
atau lebih tua yang mungkin memilikinya hidup lebih lama dari sebagian besar
orang yang pernah memberikan dukungan dan layanan nyata. Ini terutama
bermasalah bagi orang-orang yang telah seumur hidup menyendiri atau yang tidak
memiliki anak atau keluarga besar.

3. Faktor Pengasuh
Pengasuhan itu sendiri tidak menyebabkan kekerasn pada lansia; Namun,
itu bisa menyebabkan kekerasan ketika mereka yang mengasumsikan peran
pengasuhan tidak mampu melakukannya karena tekanan hidup, karakteristik
patologis, karakteristik kepribadian, sumber daya tidak mencukupi, atau
kurangnya pemahaman tentang kondisi orang dewasa yang lebih tua. Peduli-
pemberi yang melakukan pelecehan sering menunjukkan beberapa hal yang sama
faktor risiko yang terkait dengan penatua yang disalahgunakan, terutama jika
pengasuh sendiri adalah orang dewasa yang lebih tua. Faktor pengasuh seperti
bergaul dengan kekerasan orang tua termasuk kesehatan yang buruk, dampak
kognitif pasangan, isolasi sosial, ketergantungan dan kehancuran, dan hubungan
interpersonal yang buruk dengan penatua yang tergantung. Bukan itu tidak biasa
untuk memiliki situasi yang saling mengabaikan atau kasar ketika pasangan
menikah yang lebih tua memiliki beberapa psikososial faktor-faktor risiko baru
saja diidentifikasi dan, di samping itu, terisolasi secara sosial. Misalnya, pasangan
yang sama-sama menderita demensia dapat saling menyalahgunakan satu sama
lain dan mengabaikan diri sendiri.

C. Kekerasan Dan Penelantaran Lansia Di Panti Jompo


Kesadaran kekerasan pada lansia di panti jompo meletus selama awal 1970-an
ketika banyak paparan tentang subjek diterbitkan. Dua paparan yang banyak dibaca
adalah laporan kelompok studi Ralph Nader tentang panti jompo Old Age: The Last
22
Segregation (Townsend, 1970) dan Tender Greed Greed (Mendelson, 1974). Namun,
mungkin tidak ada penggambaran yang begitu jelas dan mengecewakan seperti
novelis May Sarton (1973) As We Are Now, ditulis setelah mengunjungi seorang
teman di fasilitas New Hampshire. Selama periode ini juga, Kongres mengadakan
dengar pendapat tentang kebakaran dan masalah keselamatan lainnya untuk penghuni
panti jompo, yang memuncak dalam serangkaian laporan yang dicetak tahun 1974–
1976 dan berjudul Nursing Home Care di Amerika Serikat: Kegagalan dalam
Kebijakan Publik. Pada akhir dekade, Bruce Vladeck (1980, pg 3,4) merangkum hasil
dari upaya ini: “Rumah jompo yang khas adalah tempat yang jauh lebih baik daripada
beberapa tahun yang lalu. . . . Tetapi ketidakpedulian, pengabaian, dan penganiayaan
fisik pasien terus berlanjut. . . "
Meskipun data berbasis bukti jarang, penelitian yang tersedia menunjukkan bahwa
kekerasan pada lansia di panti jompo dan pengaturan kelembagaan lainnya adalah
masalah yang tersebar luas dan tersembunyi (Gittler, 2008). Meskipun undang-
undang pelaporan negara berbeda-beda, agen layanan perlindungan dewasa setempat
dan program ombudsman panti jompo menyelidiki laporan tersebut. Ketika laporan
penyalahgunaan dibuktikan, penyelidikan lebih lanjut dilakukan oleh lembaga negara
yang bertanggung jawab untuk lisensi dan sertifikasi dan juga oleh otoritas lisensi
profesional negara ketika penyalahgunaan dilakukan oleh seorang profesional (Gittler,
2008). Sebuah survei sampel acak baru-baru ini terhadap anggota keluarga dengan
kerabat lansia di panti jompo menemukan bahwa 21% dari penghuni ini diabaikan
pada setidaknya satu kesempatan dalam setahun terakhir (Zhang et al., 2010). Selain
itu, sebuah penelitian di Michigan membandingkan tingkat pelecehan lansia di
seluruh pengaturan perawatan (panti jompo, hidup berbantuan, dan membayar
perawatan di rumah) menemukan bahwa pindah dari perawatan di rumah yang
dibayar ke perawatan di rumah lebih dari tiga kali lipat kemungkinan diabaikan,
bahkan ketika menyesuaikan dengan kondisi kesehatan . Memang, panti jompo
ditemukan memiliki tingkat tertinggi untuk semua bentuk pelecehan lansia (Page,
Conner, Prokhorov, Post, & Fang, dalam pers). Keluarga penghuni panti jompo telah
mengidentifikasi pengabaian dan perawatan sementara sebagai dua jenis pelecehan
yang paling sering dilaporkan (Griffore, Barboza, Oehmke, & Post, 2009).
Penganiayaan pada lansia di panti jompo jarang dilaporkan kepada pihak
berwenang, meskipun banyak hukum negara bagian dan federal yang bertujuan
melindungi penduduk dari penganiayaan (Gittler, 2008). Secara kategorikal, ini
mencakup undang-undang sertifikasi Medicare / Medicaid federal, undang-undang
perizinan negara bagian, undang-undang pelecehan federal dan negara bagian, seperti
undang-undang layanan perlindungan dewasa dan hukum pidana, undang-undang
23
penipuan dan penyalahgunaan perawatan kesehatan federal dan negara bagian, dan
undang-undang ombudsman perawatan jangka panjang ( baik Undang-Undang
Federal Amerika yang Lebih Lama dan hukum yang mendukung negara). Studi
terhadap karyawan panti jompo mengungkapkan bahwa ketika pelecehan yang lebih
tua tidak dilaporkan, biasanya karena salah satu alasan berikut: stres staf dan
kelelahan; pendidikan atau pelatihan staf yang tidak memadai tentang pelecehan
terhadap orang tua; kesulitan dalam menentukan apakah suatu situasi harus
dilaporkan atau tidak; hambatan untuk membuat laporan; atau keyakinan bahwa
beberapa situasi pelecehan yang lebih tua terjadi karena staf terlalu banyak bekerja,
tidak berpengalaman, atau frustrasi dalam menangani penghuni yang sulit (McCool,
Jogerst, Daly, & Xu, 2009; Shinan-Altman & Cohen, 2009).

D. Konsekuensi Fungsional Dengan Kemungkinan Kekerasan pada Lansia


Orang tua yang memiliki beberapa faktor risiko cenderung menjadi datang korban
kekerasan yang lebih tua, seperti yang diilustrasikan oleh berikut ini contoh kasus:
1. Seorang pria alkohol setengah baya menabrak ayahnya yang sudah lanjut usia
sebuah argumen. Pada gilirannya, keduanya dipukuli oleh putra mereka / cucu,
yang menginginkan uang untuk obat-obatan.
2. Seorang wanita tua tidak pernah meninggalkan rumah karena dia takut padanya
penyimpangan ingatan akan mencegahnya menemukan jalan kembali. Ketika dia
berani keluar, dia jatuh di teras, dan kantor lokal tentang penuaan disebut. Pekerja
penjangkauan menemukan dia tidak punya makanan di rumah dan kekurangan
gizi.
3. Pasangan pengangguran mempertahankan kakek-nenek mereka yang memiliki
gangguan dikurung di rumah, menolak pengunjung, meninggalkan mereka
berhari-hari tanpa makanan yang memadai, dan tidak membantu karena takut
kehilangan akses pemeriksaan ke Jaminan Sosial.
4. Seorang putra mengunjungi ibunya di panti jompo dan melakukan hubungan
seksual menyerangnya ketika anggota staf tidak hadir.
5. Seorang wanita lanjut usia yang tertekan menolak untuk mengambil obat yang
dibutuhkan. akibatnya kakinya jadi bengkak dia tidak bisa meninggalkan kursinya
6. Seorang wanita berusia 80-an — yang lemah, tidak bisa mengendalikan, dan
pernah menderita hipertensi — ditinggalkan dalam gawat darurat dengan catatan
yang berbunyi, “Sangat tergantung! Tangani dengan peduli."

Situasi ini menggambarkan berbagai bentuk kekerasan, yaitu didefinisikan di bawah


ini (Pusat Nasional Penyalahgunaan Penatua, 2009b):

24
1. Kekerasan fisik: penggunaan kekuatan fisik yang dapat mengakibatkan cedera
tubuh, sakit fisik, atau gangguan
2. Kekerasan seksual: kontak seksual nonkonsensual dalam bentuk apa pun dengan
orang tua
3. Kekerasan emosional (psikologis): penderitaan, rasa sakit, atau tekanan melalui
tindakan verbal atau nonverbal
4. Kelalaian: penolakan atau kegagalan untuk memenuhi bagian mana pun dari
seseorang kewajiban atau tugas kepada orang tua
5. Penelantaran : desersi seorang lansia oleh seorang individu yang telah memikul
tanggung jawab untuk menyediakan perawatan untuk yang lebih tua, atau oleh
orang dengan hak asuh fisik lebih tua
6. Menelantarkan diri sendiri: perilaku lansia yang mengancam kesehatan atau
keselamatannya sendiri

Tindakan spesifik yang didefinisikan dalam undang-undang negara tentang


pelanggaran lansia termasuk pengaruh yang tidak semestinya, kurungan yang tidak
masuk akal, pelanggaran hak, dan menyangkal privasi atau pengunjung.

Penelantaran diri dan kekerasan diri adalah bentuk penganiayaan yang lebih tua
berbeda dari tipe lain dalam hal mereka tidak memiliki pelaku lainnya dari orang yang
lebih tua itu sendiri. Dalam kasus penelantaran diri, orang yang lebih tua gagal
memenuhi kebutuhan esensial, biasanya karena faktor - faktor seperti gangguan
fungsional yang serius atau keinginan untuk mati. Satu studi menemukan bahwa
penelantaran diri adalah sangat terkait dengan kemampuan koping kondisi kronis
orang miskin (Gibbons, 2009). Dalam kasus kekerasan diri, orang yang lebih tua bisa
menyebabkan cedera atau sakit pada dirinya sendiri, termasuk mutilasi tubuh.

Meskipun sampai saat ini sastra tua biasanya tidak membahas situasi yang saling
melecehkan atau bicara negatif, perawat yang bekerja di lingkup rumah telah lama
bergabung situasi di mana dua orang, seringkali pasangan yang sudah menikah, saling
melakukan kekerasan atau keduanya ditelantarkan. Situasi ini mungkin berakar dalam
hubungan jangka panjang, yang saling kasar tetapi biasanya berevolusi karena
penurunan bertahap dalam fungsional kemampuan kedua orang tersebut. Mereka juga
dapat dikaitkan dengan keterampilan koping yang buruk dari pasangan atau pengasuh
yang dihadapkan dengan permintaan yang meningkat dan sedikit atau tidak ada
bantuan dari luar. Kebanyakan situasi ini sekarang diakui sebagai aspek dari
kekerasan dalam rumah tangga.

25
Sejak akhir 1980-an, kekerasan dalam rumah tangga di kemudian hari terjadi telah
diakui sebagai aspek lain dari kekerasan penatua. Beberapa perhatian ini muncul dari
gerakan perempuan yang babak belur tahun 1970-an dan beberapa terkait dengan
perhatian pada masalah ini oleh organisasi nasional seperti AARP. Penelitian indi
menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terhadap wanita yang lebih tua
mungkin lebih umum dari yang diduga. Misalnya, sebuah studi sectional dari 842
wanita lansia yang tinggal di komunitas menemukan bahwa hampir setengahnya
pernah mengalami fisik, logis, atau pelecehan seksual sejak berusia 55 tahun,
berulang kali (Fisher & Regan, 2006). Acak lain studi sampel dari 370 wanita usia 65
dan lebih tua dari a sistem perawatan kesehatan menemukan bahwa 26,5% telah
mengalami Kekerasan ner pada beberapa waktu dan 2,2% dalam setahun terakhir
(Bonomi et al., 2007).

Program yang membahas kekerasan dalam rumah tangga sebagai aspek dari
kekerasan terhadap penatua jarang dan jarang, terutama di daerah pedesaan. Barri-
Dengan menggunakan layanan yang tersedia termasuk tidak dapat diaksesnya
beberapa tempat penampungan dan keengganan korban yang lebih tua untuk pergi
kasar hubungan karena keterikatan jangka panjang dengan pelaku trator. Sebuah studi
baru-baru ini mengeksplorasi pencarian bantuan di rumah tangga situasi kekerasan di
kalangan wanita berusia 50 tahun ke atas mendorong beberapa tema untuk
dipertimbangkan agen layanan kapan campur tangan dengan populasi ini. Mereka
memasukkan pentingnya keluarga dan teman, kepercayaan ditempatkan pada dokter,
ketidaknyamanan dengan pelabelan perilaku sebagai kekerasan dalam rumah tangga,
dan nilai out- mencapai di tempat-tempat yang tepat, seperti kantor utama dokter
perawatan, agen perawatan di rumah, dan dalam iman komunitas (Leisey, Kupstas, &
Cooper, 2009). Meskipun pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya dilakukan
orang tua mendapat perhatian selama akhir 1970 – an saat itu fokusnya adalah pada
pelecehan seksual oleh orang asing. Selama tahun 1990-an, kekerasan seksual oleh
anggota keluarga dan perawatan dibayar Pemberi menjadi aspek yang diakui secara
luas dari pelecehan orang tua. Kembali kekerasan seksual terhadap orang tua tidak
umum, tetapi konsekuensi fisik dan emosional yang dihasilkan dapat parah dan tahan
lama (Poulos & Sheridan, 2008). Penelitian pada pelecehan seksual yang dilaporkan
menemukan korban tipikal menjadi lebih tua wanita yang tinggal di fasilitas
keperawatan (Teaster & Roberts, 2004). Studi nasional pertama tentang pelecehan
seksual di fasilitas perawatan menyatakan bahwa pelaku tipikal adalah seorang pria
(78,4%) berusia 56 (kisaran 19 hingga 96) dan hampir sama dengan penduduk lainnya
(41%) sebagai staf fasilitas (43%). Korbannya menderita berbagai penyakit (paling
umum penyakit Alzheimer 64%, penyakit jantung meringankan 45%, dan / atau
26
diabetes 16%) dan memiliki kondisi melumpuhkan (biasanya 48% kognitif, psikiatri
40%, dan / atau fisik 38%). Hampir setengah dari korban membutuhkan bantuan di
semua aktivitas hidup sehari-hari (ADL), dan dua pertiganya tidak dapat terlambat
secara mandiri. Pelecehan seksual paling sering diwakili oleh penganiayaan, yang
empat kali lebih sering daripada vagi- perkosaan terakhir, bentuk biasa kedua
(Ramsey-Klawsnik, Teaster, Mendiondo, Marcum, & Abner, 2008). Sebagian besar
kasus tidak pernah dituntut karena tidak cukup bukti atau karena korban tidak dapat
berpartisipasi dalam penuntutan (Burgess, Ramsey- Klawsnik, & Gregorian, 2008).

E. Nursing Assesment For Elder Abuse And Neglect


Kekerasan pada lansia sering kali tidak terlihat bahkan sulit untuk dikenali
sehingga perawat hanya bisa memberikan kecurigaannya. Petunjuk yang paling
mudah untuk dikenali ketika lansia mendapat tindakan kekerasan hanyalah saat lansia
masuk ke unit gawat darurat atau di rawat di rumah sakit.
1. Aspek Pengkajian Kekerasan Pada Lansia
Pengkajian kekerasan pada lansia terdapat beberapa perbedaan dari
perawatan biasa. Tujuan utamanya adalah apakah intervensi perlu dilakukan atau
tidak dan lebih mengutamakan kebutuhan kesehatan. Saat kekerasan pada lansia
mulai dicurigai, fokus pengkajiannya adalah keamanan lansia. Pendekatan ini
mirip dengan perawatan kritis, dimana kebutuhan dasar yang menopang
kehidupan harus segera ditangani dan kebutuhan lainnya dipertimbangkan
kemudian.
Beberapa orang yang dapat membantu dalam melakukan pengkajian
kekerasan pada lansia diantaranya:
a. Tetangga atau teman
b. Saudara, terutama yang tidak tinggal satu rumah dengan lansia
c. Petugas panti
d. Tenaga kesehatan
e. Tokoh agama

2. Kesehatan Fisik
Pengkajian fisik kekerasan pada lansia berfokus di nutrisi, hidrasi, luka
pada tubuh, derajat kelemahan, dan kondisi patologis.
a. Nutrisi dan Hidrasi
Pemeriksan membran mukosa dan turgor kulit di atas sternum atau perut
dapat memberikan indikasi hidrasi yang lebih akurat.
b. Luka pada Tubuh

27
Untuk mendeteksi kekerasan fisik, perawat harus mendeteksi cedera yang
disebabkan orang yang tinggal dengan lansia atau oramg sekitar yang
memungkinkan untuk melukai lansia. Contohnya, luka sayatan, gigitan, luka
bakar, memar atau cedera terutama pada wajah dan kepala, memar di kedua
lengan atas seperti habis dicengkram, dan memar karena ikat pinggang atau
sisir. Jika ada bukti cedera jatuh, perawat harus mempertimbangkan apakah
hal itu disebabkan lansia didorong atau tidak.
c. Derajat Kelemahan
Derajat kelemahan lansia tidak selalu sama. Hal ini karena dipengaruhi
oleh tingkat mobilisasi lansia.
e. Kondisi Patologis
Dalam kondisi medis tertentu, penting untuk menilai kemampuan
mengikuti pengobatan serta konsekuensi dari ketidakpatuhan.

3. Activities of Daily Living


Lansia dianggap diabaikan jika mereka tidak dapat memenuhi standar
kebersihan secara sosial. Contohnya yaitu mengganti pakaian, menjaga
kebersihan dalam buang air, mandi, dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa
lansia sudah mulai tidak bisa mengatur fungsi berkemihnya sehingga
menimbulkan bau yang tidak sedap. Hal ini merupakan salah satu indikator
bahwa mereka diabaikan. Pemenuhan kebutuhan dasar lansia semakin terganggu
ketika lansia mengalami hambatan mobilisasi.

4. Fungsi Psikososial
Pengkajian psikososial seperti delirium, demensia, dan depresi sangat
berkaitan dengan kekerasan yang terjadi pada lansia. Hal ini berhubungan dengan
penilaian kapasitas lansia dalam melakukan perawatan diri.

5. Support Resources
Orang-orang yang berhubungan dengan lansia dapat dijadikan sumber
dalam pengkajian. Mereka mungkin secara langsung atau tidak melakukan
kekerasan pada lansia serta mengabaikannya.

6. Pengaruh lingkungan
Pengkajian lingkungan dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi faktor-
faktor yang menciptakan risiko terjadinya kekerasan pada lansia. Perawatt juga
perlu mengkaji lingkungan perumahan lansia yang mempengaruhi keamanan
28
lansia terutama lansia yang tinggal di daerah kriminalitas tinggi dan lansia yang
memiliki masalah psikososial.

7. Theats to Life
Contoh ancaman yang biasa dinilai perawat dalam kekerasan pada lansia adalah:
a. Riwayat kekerasan fisik oleh pengasuh, terutama ketika lansia tidak mampu
melarikan diri
b. Luka atau infeksi yang tidak diobati
c. Ketidakmampuan memberikan insulin dengan benar
d. Gangren progresif atau kosdisi ulserasi
e. Ketidakmampuan memenuhi terapi
f. Berada di lingkungan yang tidak aman atau memiliki cuaca yang dingin
g. Penyalahgunaan obat-obatan tertentu, seperti insulin
h. Penggunaan obat-obatan atau alkohol secara berlebihan, baik secara mandiri
atau oleh pengasuh

8. Aspek Kultural
Definisi dan persepsi kekerasan dan penelantaran lansia sebagian besar
dipengaruhi oleh norma-norma budaya. Contohnya, orang Asia tidak
mengunjungi keluarga yang lebih tua menjadi bentuk pengabaikan psikososial
sedangkan orang Amerika menganggapkan sebagai bentuk menghormati privasi
dan otonomi. Faktor budaya juga mempengaruhi dalam peran dan tanggung
jawab pengasuh. Sebagian besar keluarga mempengaruhi siapa yang harus
mengurus lansia. Di beberapa keluarga mungkin ada konflik tentang ini,
khususnga generasi yang lebih tua dan yang muda. Perawat perlu
mengidentifikasi faktor budaya yang mempengaruhi perawatan lansia.

II. 8 Penatalaksanaan Elder Abuse and Neglect


Pengelolaan pasien salah perlakuan hendaknya menggunakan tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter (termasuk psikiatri), perawat, pekerja sosial,
perwakilan hukum dan petugas administrasi. Poin penting dalam penangan salah
perlakuan terhadap orang tua yaitu bukan menghukum pelaku, namun secepatnya
menghentikan salah perlakuan tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam tatalaksana salah perlakuan terhadap orang tua. Hal
pertama yang perlu diperhatikan yaitu memastikan keamanan pasien dan
menghargai otonomi pasien. Penting untuk melakukan diskusi bersama dengan
pasien mengenai rencana selanjutnya. Jika pasien menolak intervensi, evaluasi

29
ulang apakah pasien dalam kondisi mampu mengambil keputusan sendiri. Pada
pasien yang mampu mengambil keputusan namun menolak intervensi, maka hal
yang dapat dilakukan ialah mengedukasi pasien mengenai pola perlakuan salah,
memberikan nomor telepon yang dapat dihubungi dan informasi tempat
perlindungan yang bisa dicapai jika ada kondisi darurat. Pada pasien yang tidak
mampu mengambil keputusan sendiri, maka perwalian menjadi penting.Halini
dapat dilakukan oleh petugas perlindungan sosial.

Perlu diperhatikan pula untuk menghindari ketergesaan penanganan. Jika


pasien dinilai dalam kondisi yang membahayakan dan mampu mengambil
keputusan sendiri maka pasien secepatnya dipersiapkan untuk menjauhkan diri
dari pelaku dan diberikan pertolongan medis sesuai kebutuhannya serta disediakan
tempat perlindungan sementara. Idealnya, jika pasien tinggal di rumah milik
sendiri, maka diusahakan pelaku kekerasan dijauhkan dari rumahnya walaupun
seringkali hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Selain itu, hal lain yang perlu
diperhatikan yaitu penghargaan terhadap pramurawat.Pramurawat perlu diberikan
bantuan berupa kesempatan untuk beristirahat berkala, pelatihan, bantuan dari
kerabat dan teman, dilibatkan dalam support group serta menangani kondisi medis
spesifik yang dimilikinya. Pada pengelolaan kasus salah perlakuan, dokter
dapat mengalami dilema etik yaitu antara menyeimbangkan kerahasiaan dokter-
pasien dengan keselamatan pasien. Oleh karena itu, dibutuhkan peraturan
perundangan yang jelas mengenai hal ini. Di Amerika dan Inggris telah terdapat
peraturan perundangan yang mengatakan bahwa kondisi salah perlakuan terhadap
orang tua ini mutlak harus dilaporkan secara hukum meski beberapa pihak
menyatakan bahwa hal ini bersifat paternalistik dan kolot. Namun, di Indonesia
belum terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai salah
perlakuan pada orang tua sehingga data yang dimiliki masih tertinggal dibanding
salah perlakuan pada anak.

Di Indonesia juga terdapat beberapa kendala lainnya dalam penataksanaan


salah perlakuan pada lansia. Hal tersebut terkait kurang baiknya pelayanan medis
yang ada. Selain itu, kendala lainnya yaitu tidak terdapatnya keseragaman dalam
penatalaksaan pelayanan seperti ketidaksesuaian ide dengan dana yang tersedia.

II. 9 Terapi Elder Abuse and Neglect

1. Pengertian Terapi Modalitas

Terapi modalitas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu


luang bagi lansia. Terapi modalitas adalah suatu kegiatan dalam memberikan
30
askep baik di Institusi pelayanan maupun di masyarakat yang bermanfaat.
Pencapaian tujuan terapi modalitas tergantung pada keadaan kesehatan klien dan
tingkat dukungan yang tersedia (Maryam, dkk 2008). Pencapaian tujuan terapi
modalitas tergantung pada keadaan kesehatan klien dan tingkat dukungan yang
tersedia. Terapi ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu
luang bagi lansia ( Anastasia, 2010 )

2. Manfaat Terapi Modalitas Pada Lansia

Manfaat terapi aktifitas kelompok pada lansia (Mubarak, 2008) :

a) Agar anggota kelompok merasa dimiliki, diakui dan dihargai eksistensinya


oleh anggota kelompok yang lain.
b) Membantu anggota kelompok berhubungan dengan yang lain serta merubah
perilaku yang dekstruktif dan maladaptif.
c) Sebagai tempat untuk berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama
lain untuk menemukan cara menyelesaikan masalah.
d) Mengisi waktu luang bagi lansia.
e) Meningkatkan kesehatan lansia.
f) Meningkatkan produktivitas lansia.
g) Meningkatkan interaksi sosial antar lansia.

3. Klasifikasi Terapi Modalitas Pada Lansia (Maryam Siti, dkk 2008):


a) Psikodarma
Bertujuan untuk mengekspresikan perasaan lansia
b) Terapi aktivitas kelompok (TAK)
Terdiri atas 7-10 orang. Bertujuan untuk meningkatkan kebersamaan,
bersosialisasi, bertukar pengalaman, dan mengubah perilaku. Untuk
terlaksananya terapi ini dibutuhkan leader, co-leader ,dan fasilitator.
c) Terapi Musik
Bertujuan untuk menghibur para lansia sehingga meningkatkan kebersamaan,
gairah hidup dan dapat mengenang masa lalu.
d) Terapi Berkebun
Bertujuan melatih kesabaran, kebersamaan, dan memanfaatkan waktu luang.
e) Terapi dengan binatang Bertujuan untuk meningkatkan rasa kasih sayang dan
mengisi hari-hari sepinya dengan bermain bersama binatang.
f) Terapi Okupasi
Bertujuan untuk memanfaatkan waktu luang dan meningkatkan produktivitas
dengan membuat atau menghasilkan karya dari bahan yang telah disediakan.
31
g) Terapi Kognitif Bertujuan agar daya ingat tidak menurun. Seperti
mengadakan cerdas cermat, mengisi TTS, dan lain-lain.
h) Liter review terapi/ terapi rekreasi
Bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi, gairah hidup, menurunkan rasa
bosan, dan melihat pemandangan.
i) Terapi Keagamaan
Bertujuan untuk kebersamaan, persiapan menjelang kematian, dan
meningkatkan rasa nyaman. Seperti mengadakan pengajian, kebaktian, dan
lain-lain.
j) Terapi Keluarga
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan diindentifikasi
dan kontribusi dari masing-masing anggoa keluarga terhadap munculnya
masalah tersebut digali. Dengan demikian terlebih dahulu masing-masing
anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di keluarga, apa
kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk kemudian
mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan meningkatkan
atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang seharusnya.
k) Terapi Aroma
Terapi aroma berhubungan dengan inhalasi atau pemakaian minyak alami
yang diuapkan dari berbagai tanaman. Mereka yang menggunakan terapi
aroma mengatakan terapi aroma efektif dalam menurunkan stress, mencegah
penyakit tertentu baik fisik maupun psikologis.

II.10 Pencegahan Elder Abuse and Neglect

A. Pencegahan
1. Menurut Carol A. Miller
Kekerasan atau kesalahan dalam memperilakukan para lansia
biasanya membutuhkan beragam intervensi, yang dapat dikategorikan
menurut fungsi dasar :
a. Core, pelayanan integrative (pelayanan berbasis proteksi)
b. Emergency service selama krisi atau sesaat sebelum atau setelah
pengabaian/kesalahan memperlakukan. Kegiatan dapat berupa :
1) Older people : crisis hotline, emergency shelters, health
service, victi assistance, discretionary funds, dan police
service.

32
2) Caregiver : Abusers anonymous, voluntary emergency
caretakes, 24-hours homemaker-home health aide.
c. Pelayanan pendukung untuk mengelola masalah dan memperbaiki
situasi. Kegiatan berupa :
1) Older people : legal assistance, friendly visiting, home-
delivered meals, information and referral, visiting nurses,
public guardians, home supervision, transportation and
escort services, senior centers.
2) Caregiver: financial incentives and assistance, homemaker-
home health aides, support groups, chore service, respite care,
adult day care, companion service.
d. Pelayanan rehabilitasi
Layanan rehabilitasi untuk mengatasi masalah baik korban maupun
pelaku
1) Older people : mental health counseling, consciousness
raising groups, training in self-defense, dietary counseling,
health services and supplies.
2) Care giver : alcoholism and drug abuse treatment, mental
health counseling, health service and supplies, dietary
counseling, temporary residence models (elders), training in
caregiving.
e. Pelayanan pencegahan
Pelayanan pencegahan temasuk program yang diarahkan untuk
mengubah masyarakat danegan cara mengurangi kemungkinan
penganiyaan atau peabaian. Kegiatan dapat berupa :
1) Older people : educational programs against abuse, training
in self-defense, policies prohibiting ageism.
2) Caregiver : community organization for social integration of
families , training in caregiving.
2. Menurut Kristen L Mauk.
Pencegahan terbaik adalah edukasi, jadi edukasi mengenai elder abuse
harus menjadi prioritas. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh lansia
sebagai intervensi pencegahan :
a. Tetap aktif dalam bersosialisasi
b. Memiliki akses pada telfon dan menggunakannya sebagai
privasi
c. Menyimpan kontak penting di dua tempat berbeda (di
handphone dan di buku telefon)
d. Mempertahankan kontak dengan teman dan keluarga
33
e. Mengetahui situasi finansial
f. Memiliki tempat yang aman dan privasi untuk berkas-berkas
yang penting
g. Membiarkan keluarga dan teman datang secara teratur
h. Memiliki rencana untuk keselamatan saat darurat
i. Membiarkan orang yang dipercaya mengetahui kemana lansia
akan pergi ke luar kota atau berlibur.

II.11A. PERUBAHAN YANG BERKAITAN DENGAN UMUR YANG


MEMPENGARUHI
KESEHATAN URIN
Perubahan terkait usia pada ginjal, kandung kemih, uretra, dan mekanisme kontrol dalam
sistem saraf dan tubuh lainnya memengaruhi proses fisiologis yang mengontrol eliminasi
urin. Selain itu, segala perubahan terkait usia yang mengganggu keterampilan yang
terlibat dalam eliminasi urin yang sesuai secara sosial dapat mengganggu kontrol urin.
Perubahan terkait usia yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi fungsi
dan kontrol kemih dibahas dalam dua bagian berikutnya.

Perubahan pada Ginjal


Proses kompleks ekskresi urin dimulai pada anak-anak.bisa dengan menyaring dan
menghilangkan limbah kimia daridarah. Darah bersirkulasi melalui glomeruli, tempat
limbah cair, yang disebut filtrat glomerulus, melewati Bowmankapsul dan tubulus ginjal
ke saluran pengumpul. Selama
proses ini, zat yang dibutuhkan oleh tubuh (seperti air,glukosa, dan natrium)
dipertahankan, dan produk limbahdi urin. Fungsi-fungsi ini penting
untukmempertahankan homeostasis dan mengeluarkan banyak obat.Fungsi ekskretoris,
yang diukur dengan glomeruluslaju filtrasi (GFR), tergantung pada jumlah dan
efisiensi nefron dan jumlah dan laju aliran darah ginjal.Ginjal bertambah berat dan massa
sejak lahir sampaiawal masa dewasa, ketika jumlah nefron yang berfungsi mulai
menurun, khususnya di korteks, di mana glomeruliterletak Penurunan ini berlanjut
sepanjang hidup, menghasilkandalam penurunan sekitar 25% dalam massa ginjal pada
usia80 tahun. Glomeruli yang tersisa menjalani berbagai usia
perubahan terkait seperti peningkatan ukuran, berkurangnya lobulasi,dan membran
basement yang menebal. Selain itu, proporsi glomeruli sklerotik meningkat dari kurang
dari 5% pada usia 40 tahun hingga 35% pada usia 80 tahun. Awal pada dekade keempat,
aliran darah ginjal secara bertahap berkurang,khususnya di korteks, pada tingkat 10% per
dekade.Penurunan rata-rata fungsi ginjal sebesar 1% per tahuntelah diterima secara luas
sejak tahun 1970-an sebagai ciri khas penuaan yang dimulai antara usia 30 dan 40
tahun.Kebanyakan studi menunjukkan bahwa penurunan fungsi ginjal secara bertahap
adalah normal perubahan terkait usia dan penurunan fungsi ginjal yang bermakna
dikaitkan dengan kondisi patologis umum seperti itu sebagai hipertensi (Glassock &
Winearls, 2009; Lerma, 2009).Tubulus ginjal mengatur pengenceran dan konsentrasiurin,
dan ekskresi air berikutnya dari tubuh, dalam ritme diurnal. Proses fisiologis bertanggung
jawab untukkonsentrasi urin dan ekskresi air dipengaruhi oleh
faktor-faktor berikut:
● Jumlah cairan dalam tubuh
● Resorpsi air melalui, dan pengangkutan zat seberang, membran tubular
● Osmoreceptor dalam hipotalamus, yang mengatur kadar hormon antidiuretik sirkulasi
(ADH) yang sesuai untuk konsentrasi plasma-air

34
● Zat dan aktivitas yang memengaruhi sekresi ADH, seperti kafein, obat-obatan, alkohol,
sakit, stres, dan olahraga
● Konsentrasi natrium dalam filtrat glomerulus.
Biasanya, produksi ADH distimulasi oleh perdarahan, dehidrasi, dan kondisi lain yang
mempengaruhi plasma volume atau osmolalitas. Mekanisme perlindungan fisiologis
inimembantu menjaga volume plasma dan menghemat cairan dan natrium dalam kondisi
air atau kekurangan natrium.Banyak perubahan terkait usia mempengaruhi tubulus ginjal
dan dengan demikian mempengaruhi pengenceran dan konsentrasi urin.
Perubahan initermasuk degenerasi lemak, divertikula, k dan perubahan dalam komposisi
membran basement. Secara fungsional, tubulus ginjal lebih tua orang dewasa kurang
efisien dalam pertukaran zatkonservasi air, dan penindasan sekresi ADH di hadapan
hypo-osmolality. Perubahan terkait usia juga mengurangi kemampuan ginjal yang lebih
tua untuk menghemat natrium dalam menanggapi pembatasan garam. Perubahan yang
berkaitan dengan usia ini mempengaruhi orang dewasa tua yang sehat untuk mengalami
hiponatremia dan cairan lain dan ketidakseimbangan elektrolit, khususnya dengan
adanya kondisi yang mengubah sirkulasi ginjal, keseimbangan air atau natrium, atau
volume plasma atau osmolalitas.
Perubahan pada Kandung Kemih dan Saluran Kemih
Setelah disaring oleh ginjal, limbah cair lewatureter ke dalam kandung kemih untuk
penyimpanan sementara. Kandung kemih adalah struktur seperti balon yang terdiri dari
kolagen, otot halus (disebut detrusor), dan jaringan elastis. Limbah cair
adalah dihilangkan dari kandung kemih melalui fisiologis yang kompleks proses yang
melibatkan mekanisme berikut:
● Kemampuan kandung kemih untuk mengembang untuk penyimpanan yang
memadai dan untuk kontrak pengusiran lengkap limbah cair
● Pemeliharaan tekanan uretra yang lebih tinggi relatif terhadap tekanan intravesikuler
● Regulasi saluran kemih bagian bawah melalui otonom dan saraf somatik
● Kontrol sukarela untuk buang air kecil (miksi) melalui pusat otak.
Perubahan terkait usia mengubah masing-masing mekanisme ini dan mempengaruhi
fungsi kemih pada orang dewasa yang lebih tua.Pada orang dewasa muda, kandung
kemih menyimpan 350 hingga 450 mLurine sebelum orang tersebut mengalami sensasi
kenyang dan tidak nyaman. Dengan bertambahnya usia, hipertrofi kandung kemih Otot
dan penebalan dinding kandung kemih mengganggu kemampuan kandung kemih untuk
mengembang, membatasi jumlah urin yang dapat disimpan dengan nyaman hingga sekitar
200 hingga 300 mL.Saat air seni mengalir ke kandung kemih, otot polosnaik tanpa
meningkatkan tekanan intravesika, dan tekanan uretra meningkat ke titik yang sedikit
lebih tinggi dari tekanan intravesika. Asalkan volume urin tidak naik di atas 500 hingga
600 mL, keseimbangan ini dapat dipertahankan, dan buang air kecil dapat dikontrol
secara sukarela. Jika volumenya naik di atas level ini, atau jika otot detrusor
berkontraksi tanpa sadar, tekanan intravesika akan melebihi uretra tekanan, dan
kebocoran urin mungkin terjadi. Sebagai tambahan untuk jumlah urin di kandung kemih,
faktor-faktor berikut mempengaruhi keseimbangan antara intravesical dan uretra
tekanan:
● Tekanan perut
● Ketebalan mukosa uretra
● Nada leher, detrusor, uretra, dan leher kandung kemih otot
● Penggantian jaringan otot polos di kandung kemih dan uretra dengan jaringan ikat yang
kurang elastis.
35
Sfingter internal dan eksternal mengatur penyimpanan dan urinpengosongan kandung
kemih. Sfingter internal adalah bagian dari dasar kandung kemih dan dikendalikan oleh
saraf otonom. Sfingter eksternal adalah bagian dari otot-otot dasar panggul dan
dikendalikan oleh saraf pudendal. Ketika buang air kecil terjadi, itu otot detrusor dan
perut berkontraksi, dan perineum dan otot sfingter eksternal rileks. Bila perlu,
eksternal kontrak sfingter untuk menghambat atau mengganggu batal dan untuk
mengimbangi lonjakan tiba-tiba dalam tekanan perut. Terkait usia perubahan yang
melibatkan hilangnya otot polos di uretradan relaksasi otot-otot dasar panggul
mengurangi resistensi uretra dan mengurangi tonus sfingter.
Perubahan Mekanisme Kontrol
Perubahan pada sistem saraf dan sistem pengaturan lainnyamempengaruhi fungsi kemih.
Misalnya, impuls motor dalamurinasi kontrol sumsum tulang belakang, tetapi pusat yang
lebih tinggi di otak adalah bertanggung jawab untuk mendeteksi sensasi kepenuhan
kandung kemih, untuk menghambat pengosongan kandung kemih bila perlu, dan untuk
merangsangkontraksi kandung kemih untuk pengosongan total. Seperti kandung
kemih mengisi, reseptor sensorik di dinding kandung kemih mengirim sinyal ke sumsum
tulang belakang sakral. Pada orang dewasa tua yang sehat, perubahan degeneratif di
korteks serebral dapat mengubah sensasi kandung kemih kepenuhan dan kemampuan
untuk mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Di dewasa muda, sensasi kepenuhan
dimulai saat kandung kemih sekitar setengah penuh. Sensasi ini terjadi di kemudian hari
untuk usia yang lebih tua orang dewasa, jadi interval antara persepsi awal tentang
dorongan untuk membatalkan dan kebutuhan aktual untuk mengosongkan kandung kemih
dipersingkat, yang dapat memicu episode inkontinensia. Banyak struktur yang terlibat
dalam buang air kecil mengandung estrogen reseptor dan dipengaruhi oleh perubahan
hormon, khususnya yang terjadi pada wanita menopause. Misalnya, berkurangnya
estrogen menyebabkan hilangnya nada, kekuatan, dan kolagen dukungan dalam jaringan
urogenital dan dapat berkontribusi pada penurunan tekanan penutupan uretra, yang
merupakan predisposisi untuk masalah kebocoran urinary. Juga, karena ujung saraf
tergantung pada estrogen, berkurangnya estrogen meningkatkan sensitivitas terhadap
rangsangan yang mengiritasi, yang mengarah pada dorongan yang meningkat untuk
membatalkan. penurunan estrogen yang terkait dengan menopause mungkin
sebagian menjelaskan peningkatan prevalensi dan onset inkontinensia pada
wanita.Persepsi haus yang berkurang adalah perubahan lain yang berkaitan dengan
usia yang dapat mempengaruhi homeostasis dan fungsi kemih. Sehat lebih tua orang
dewasa yang kekurangan cairan tidak merasakan haus, pengalaman ketidaknyamanan dari
mulut kering, atau minum air yang cukup untuk rehy drate sendiri. Dengan kondisi yang
menempatkan tuntutan tambahan pada keseimbangan cairan dan elektrolit, seperti demam
atau infeksi, sensasi haus yang berkurang dapat mengganggu mekanisme yang biasanya
mengkompensasi fisiologis ini stres. Akibatnya, orang tua cenderung berada di risiko
dehidrasi meningkat karena asupan cairan yang tidak memadai.
Perubahan yang Mempengaruhi Kontrol Atas Sosial
Eliminasi Urin yang Tepat Kontrol atas buang air kecil tidak hanya bergantung pada
fungsinyadari saluran kemih dan sistem saraf, tetapi juga pada faktor-faktor yang
mempengaruhi kapasitas seseorang untuk pantas secara sosial eliminasi urin. Beberapa
kondisi internal dan eksternal yang mempengaruhi keterampilan ini
● Kognisi, keseimbangan, mobilitas, koordinasi, fungsi visualtion, ketangkasan manual
● Identifikasi wadah yang ditunjuk di area pribadi
● Aksesibilitas dan penerimaan fasilitas toilet
● Kemampuan untuk sampai ke dan menggunakan wadah yang sesuai

36
● Interval antara persepsi keinginan untuk membatalkan dan kebutuhan aktual
untuk mengosongkan kandung kemih
● Kontrol sukarela atas keinginan untuk membatalkan sejak saatpersepsinya sampai
orang tersebut dapat menggunakan yang sesuai wadah.
Faktor-faktor ini dipengaruhi oleh perubahan terkait usia yang secara langsung
mempengaruhi eliminasi urin, serta oleh perubahan itu yang memengaruhi kemampuan
untuk mengidentifikasi dan mencapai toilet yang sesuai fasilitas. Misalnya, peningkatan
postural sway adalah perubahan terkait usia yang dapat mengganggu kemampuan
seseorang untuk berdirimasih. Dengan meningkatnya postur tubuh, pria yang lebih tua
mungkin menemukannya lebih sulit mempertahankan posisi berdiri untuk buang air kecil.
Standar untuk eliminasi urin yang sesuai secara sosial dapat bervariasi sesuai dengan
lingkungan sosial yang berbeda. Untukcontohnya, orang dewasa yang mandiri dan hidup
dalam komunitas adalah diharapkan tetap bebas dari bau kemih atau basah dan
untuk buang air kecil di tempat pribadi yang ditunjuk; Namun, ketergantungan atau orang
dewasa yang lebih tua yang dilembagakan mungkin tidak diharapkan untuk patuh sangat
ketat untuk standar ini. Dalam situasi apa pun, sikap danperilaku pengasuh dapat
memengaruhi pola secara signifikaneliminasi urin, seperti yang dibahas pada bagian
berikut tentang faktor risiko.

B. FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHIKESEHATAN PADA SISTEM


PERKEMIHAN
Seperti halnya banyak fungsi bidangi lainnya, faktor risiko memiliki peran yang lebih
signifikan daripada perubahan terkait
usia yang menyebabkan konsekuensi negatif fungsional untuk fungsi kemih. Ini terutama
benar berkaitan dengan inkontinensia urin, seperti yang dibahas di bagian ini. Faktor-
faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi perkemihan, diantaranya fungsi
keseluruhan termasuk perilaku berdasarkan mitos dankesalahpahaman, gangguan
fungsional, proses penyakit,
dan pengaruh lingkungan serta gaya hidup.

1. Perilaku Berdasarkan Mitos dan Kesalahpahaman


Sikap berdasarkan mitos atau kurangnya pengetahuan tentang fungsi perkemihan dapat
memiliki efek yang merugikan pada perilaku orang dewasa yang lebih tua dan pengasuh
mereka. Misalnya persepsi tentang Inkontinensia urin sebagai konsekuensi penuaan yang
tak terhindarkan sehingga membuat orang dewasa yang lebih tua mencari bantuan dari
para profesional kesehatan.
Praktisi perawatan primer sering memperkuat kesalahpahaman ini dan gagal untuk
bertanya tentang inkontinensia, meskipun sekitar 80% orang dengan inkontinensia urin
bisa disembuhkan atau ditingkatkan (Perawat Luka, Ostomi dan Kontinen Masyarakat,
2009). Faktor budaya juga dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku mencari bantuan.
Misalnya, satu studi menemukan bahwa wanita Amerika korea yang lebih tua tidak
mencari bantuan untuk inkontinensia urin karena mereka mungkin melihatnya
sebagai masalah keluarga daripada masalah individu (Kang & Crogan, 2008). Studi lain
menemukan bahwa sekitar 80% perempuan dari budaya Timur Tengah tidak mencari
bantuan untuk inkontinensia karena malu dan karena mereka berasumsi bahwa ini adalah
bagian normal dari penuaan (El-Azab & Shaaban, 2010). Karena sikap pengunduran diri
seperti itu, tanda-tanda dan gejala awal disfungsi perkemihan mungkin dikelola secara
tidak tepat, dan masalahnya dapat berkembang.
Sikap, perilaku, dan harapan pengasuh mungkin juga mengganggu pendekatan
inkontinensia urin pada orang tua. Misalnya, saat episode inkontinensia sedang dicatat
segera setelah masuknya orang dewasa yang lebih tua ke jangka
panjang fasilitas perawatan, beberapa anggota staf keperawatan cenderung melihat

37
penduduk memiliki inkontinensia kronis, danperilaku mereka selanjutnya dapat
memperkuat harapan inkontinensia.
Pada kenyataannya, inkontinensia mungkin telah terjadi karena toiletnya terlalu jauh atau
orang dewasa yang lebih tuatidak dapat dengan mudah menemukannya. Ketika anggota
staf menganggap itu inkontinensia adalah norma untuk orang itu, mereka mungkin
memulai penggunaan produk penyerap padapenduduk, dan memberikan pesan pada
dewasa yang lebih tua bahwa kontrol sukarela atas buang air kecil tidak diharapkan.
Dalam pengaturan perawatan akut dan jangka panjang, sikap staf dan prosedur
keperawatan sangat mempengaruhi standar untuk eliminasi perkemihan. Fasilitas di
ruang perawatan akut, kateter berdiameter sering dimasukkan ke ruang gawat darurat atau
selama jadwal prosedur operasi. Suatu studi menemukan bahwa protokol keperawatan
yang memungkinkan perawat untuk menghentikan penggunaan kateter yang tidak perlu
terjadi dalam pengurangan 67,7% dari keseluruhanpemakaian kateter per hari (dari
136 ke 44) (Voss, 2009). Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan tempat kateter di
fasilitas perawatan jangka panjang telah berkurang karena peraturan federal yang lebih
ketat tentang ini sebagai kualitas masalah perawatan (Rogers et al., 2008). Dalam
pengaturan apa pun, pengasuh atau staf dapat mendorong penggunaan pembalut atau
inkontinensia lainnya karena ini lebih mudah dan lebih nyaman daripada membantu orang
dewasa yang lebih tua untuk ke kamar mandi.
Dalam situasi ini, orang dewasa yang lebih tua cenderung berperilaku sesuai dengan
harapan pengasuh, dan inkontinensia akan menjadi konsekuensi yang tak
terhindarkan. Asupan cairan yang terbatas dalam menanggapi rasa takut atau timbulnya
inkontinensia karena alasan apa pun, adalah perilaku lain yang
bisa menyebabkan inkontinensia secara tidak sengaja (memperburuk keadaan). Jika
kandung kemih penuh dan tidak tercapai secara memadai, seperti dalam keadaan
dehidrasi atau terbatasnya asupan cairan, maka mekanisme neurologis yang
mengontrol pengosongan kandung kemih tidak akan berfungsi secara efektif, dan
inkontinensia dapat terjadi karena orang tersebut tidak merasakan dorongan
untuk berkemih. Dehidrasi dan hidrasi yang tidak adekuat juga menyebabkan
peningkataniritabilitas kandung kemih, dengan kontraksi berikutnya yang tidak
terbatas, dan inkontinensia.

2. Gangguan Fungsional
Gangguan fungsional merupakan faktor risiko utama untuk pengembangan inkontinensia
karena mereka dapat mengganggukemampuan mengenali dan merespons keinginan untuk
membatalkan proses berkemih secara tepat waktu. Dengan perubahan terkait usia yang
mempersingkat interval antara persepsi keinginan untuk membatalkan dan kebutuhan
aktualuntuk mengosongkan kandung kemih, menyebabkan setiap keterlambatan dalam
mencapai wadah yang sesuai dapat menyebabkan inkontinensia. Dengan demikian,
ketergantungan dalam melakukan kegiatan hidup sehari-hari (ADL) dengan alasan apa
pun sangat terkait dengan inkontinensia. Kondisi seperti arthritis atau penyakit Parkinson
dapat memperlambatambulasi orang dewasa yang lebih tua serta kemampuan mereka
untuk memanipulasi pakaian.
Demikian juga demensia dan kondisi lain yang
mengganggu kemampuan kognitif sehingga dapat mengganggu pemrosesan informasi
yang tepat waktu dan diperlukan untuk mempertahankan kontrol sukarela buang air kecil.
Akhirnya, pengekangan dapat menyebabkan gangguan fungsional yang
signifikan, keterbatasan dan meningkatkan risiko untuk mengembangkan inkontinensia.

3. Kondisi patologis
Proses penyakit yang umumnya meningkatkan risiko perkemihan inkontinensia pada
orang dewasa yang lebih tua termasuk yang melibatkan kemih traktat dan struktur
pendukung serta yang mempengaruhi sistem lainnya bisa menyebabkan inkontinensia
melalui efek tidak langsung. Kondisi yang mempengaruhi saluran perkemihan spesifik

38
gender, sedangkan kondisi yang mempengaruhi sistem lain dapat mempengaruhisemua
orang dewasa yang lebih tua.
a. Kondisi Saluran Genitourinari
Disfungsi dasar panggul (mis., otot dasar panggul yang melemah atau meregang) pada
wanita dapat menyebabkan prolaps organ panggul, yaitu suatu kondisi di mana bagian
dari dinding vagina menonjol. Studi mengidentifikasi obesitas, peningkatan usia, dan
jumlah kelahiran pervaginam yang tinggi sebagai faktor risiko untuk kondisi ini (Sung
& Hampton, 2009). Disfungsi dasar panggul dapat menyebabkan frekuensi kemih dan
inkontinensia karena mengganggu proses mengosongkan kandung kemih, menghasilkan
sisa urin dan peningkatan risiko bakteriuria. Otot dasar panggul juga dipengaruhi oleh
perubahan degeneratif yang terkait dengan usia penurunan kadar estrogen. Ini dapat
menyebabkan atrofi jaringan vagina dan trigonal dengan resistensi yang berkurang untuk
patogen. Vaginitis dan trigonitis dapat berkembang dan menyebabkan urgensi, frekuensi,
dan inkontinensia urin.
Hiperplasia prostat jinak (mis., Pembesaran prostat) adalahpenyebab umum batalnya
masalah pada pria yang lebih tua, sementara karsinoma prostat adalah penyebab yang
kurang umum. Pada tahap awal, hiperplasia prostat menghalangi leher dan kompres
uretra, menyebabkan hipertrofi kompensasi dari otot detrusor dan obstruksi saluran keluar
berikutnya. Denganhipertrofi progresif, dinding kandung kemih kehilangan
elastisitasnya dan menjadi lebih tipis. Selanjutnya, retensi urin terjadi, dan terjadi
peningkatan risiko bakteriuria dan infeksi. Akhirnya, setelah ureter dan ginjal
terpengaruh, dan hidroureter, hidronefrosis, GFR berkurang, dan uremia dapat
berkembang. Pria dengan prostat hiperplasia dapat mengalami nokturia
(berlebihan) buang air kecil di malam hari), aliran urin menurun, pengosongan kandung
kemih tidak lengkap, dan urgensi..
Infeksi saluran kemih adalah penyebab umum inkontinensia pada orang dewasa yang
lebih tua, dengan kejadian tahunan 10% (Mohsin & Siddiqui, 2010). Karena kateter yang
menetap adalah penyebab utama infeksi saluran kemih dan komplikasi lainnya, praktik
berbasis bukti menekankan pentingnya berkelanjutan evaluasi perlunya perangkat ini
(O'Donohue et al., 2010; Voss, 2009; Wilde et al., 2010). Suatu
studi yang ditemukan untuk mengurangi penggunaan kateter yang berdiam diri
dihilangkan
infeksi saluran kemih terkait kateter selama 6 bulan periode intervensi (Elpern et al.,
2009).

b. Manifestasi perkemihan
infeksi saluran kemih pada orang dewasa yang lebih tua mungkin sangat halus;
kemih inkontinensia mungkin merupakan tanda awal atau primer. Perubahan perilaku
atau tingkat fungsi dapat menjadi tanda penyajian, khususnya pada penderita demensia.
Orang dewasa yang lebih tua juga kemungkinan memiliki bakteriuria
kronis, suatu kondisi yang ditandai sebagai 105 atau lebih unit pembentuk koloni tanpa
gejala infeksi saluran kemih. Prevalensi bacteriuria kronis di Indonesiapenghuni panti
jompo adalah 25% hingga 50% wanita dan 15% sampai 40% pria (Nicolle, 2009).

c. Kondisi Lain Yang Menyebabkan Inkontinensia Urin


Banyak kondisi patologis yang mempengaruhi pusat atau perifer sistem
saraf sehingga meningkatkan risiko untuk mengembangkan inkontinensia. Meskipun
demensia sangat terkait dengan inkontinensia urin, hubungan antara keduanyakondisinya
kompleks, dan inkontinensia harus dipandang sebagai dapat dicegah dan diobati.
Misalnya, orang dewasa yang lebih tua dengan demensia mungkin kurang memiliki
kemampuan persepsi yang diperlukan untuk menemukan dan menggunakan fasilitas yang
sesuai, tetapi mungkin saja mampu mempertahankan kontinuitas ketika diberi isyarat
yang tepat danpengingat.
Kondisi saluran pencernaan yang dapat menyebabkan inkontinensia termasuk
gastroenteritis, konstipasi, dan impaksi tinja. Massa tinja yang hadir dengan
39
konstipasi atau impaksi tinja memberi tekanan pada kandung kemih dan kapasitas
penyimpanannya berkurang. Pada gilirannya, ini menyebabkan frekuensi kemih, urgensi,
dan inkontinensia. Impaksi tinja juga bisa menghalangi outlet kandung kemih,
menyebabkan distensi kandung kemih dan retensi atau inkontinensia urin.
Kondisi lain yang sangat terkait dengan inkontinensiaadalah obesitas, diabetes,
alkoholisme, multiple sclerosis,Penyakit Parkinson, kecelakaan serebrovaskular, dan
obstruktif kronis penyakit paru-paru (COPD). Gangguan metabolismeyang menginduksi
diuresis, seperti diabetes dan hiperkalsemia, dapat menyebabkan inkontinensia. Kondisi
yang memengaruhi status mental, misalnya sebagai delirium, yang dapat dimanifestasikan
atau disertai dengan inkontinensia urin.
Demikian juga banyak kondisi yang memengaruhi fisiologisproses, seperti penyakit akut,
dapat menyebabkan atau memperburuk inkontinensia. Segala penyakit akut atau
intervensi bedah yang sementara dilakukan pembatasanmobilitas atau
kompromi kemampuan mental merupakan faktor risiko inkontinensia urin.

4. Efek Pengobatan
Obat-obatan mempengaruhi fungsi urin dalam beberapa caradan merupakan faktor
risiko umum dalam perkembangan inkontinensia urin. Sebagai contoh, loop diuretik
meningkatkan output urin, menempatkan permintaan tambahan pada sistem urin dan
memperparah efek dari penurunan terkait usia dalam kapasitas kandung kemih. Lansia
dengan kondisi saluran kemih lainnya mungkin rentan terhadap efek obat yang
merugikan. Sebagai contoh, pria dengan hiperplasia prostat berada pada risiko yang
meningkat untuk retensi urin ketika mereka menggunakan agen adrenergik atau
antikolinergik. Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati inkontinensia juga dapat
menyebabkan inkontinensia. Misalnya, terazosin, yang digunakan untuk hiperplasia
prostat jinak, dapat menyebabkan relaksasi uretra dan inkontinensia stres. Dengan
demikian, sangat penting bahwa penyebab inkontinensia diidentifikasi secara akurat
sebelum pengobatan dimulai.
Selain menyebabkan inkontinensia melalui efek langsung pada saluran kemih, obat-
obatan dapat menyebabkan inkontinensia melalui efeknya pada kemampuan
fungsional.Antikolinergik (termasuk obat yang dijual bebas) dapat menyebabkan
gangguan fungsi kognitif dan fungsi lainnya, yang dapat mengganggu kontrol sukarela
atas buang air kecil. Banyak obat yang menyebabkan konstipasi, yang merupakan faktor
penyebab inkontinensia. Efek samping ini mungkin sangat merugikan dengan adanya
hiperplasia prostat atau otot dasar panggul yang melemah. Selain menciptakan faktor
risiko inkontinensia, obat-obatan dapat meningkatkan sekresi ADH, yang dapat
memperparah efek yang berkaitan dengan usia yang mempengaruhi orang dewasa yang
lebih tua terhadap hiponatremia. Obat-obatan yang merangsang sekresi ADH termasuk
aspirin, narkotika, acetaminophen, antidepresan, barbiturat, chlorpropamide, clofibrate,
fluphenazine, dan haloperidol. Tabel 19-1 menyajikan beberapa jenis dan contoh obat
yang dapat menyebabkan inkontinensia pada orang dewasa yang lebih tua.
Tabel 19-1 Obat Yang Dapat Menyebabkan Inkontinensia Urin
Jenis Obat Contoh Mekanisme Tindakan
Diuretics Furosemide, bumetanide Peningkatan diuresis dapat menyebabkan
urgensi, frekuensi, dan poliuria
Anticholinergic Antihistamines, Berkurangnya kontraktilitas kandung
agents antipsychotics, kemih dan otot kandung kemih yang
antidepressants santai dapat menyebabkan retensi,
antispasmodics, anti- frekuensi, dan inkontinensia urin
Parkinsonian agents

40
Adrenergics Decongestants Berkurangnya kontraktilitas kandung
(alpha adrenergic kemih dan peningkatan tonus sfingter
agonists) dapat menyebabkan retensi urin,
frekuensi, dan inkontinensia
Alpha-adrenergic Prazosin, terazosin, Penurunan tonus sfingter uretra dan
blockers doxazosin internal dapat menyebabkan kebocoran
dan inkontinensia stres
Calcium channel Nifedipine, nicardipine, Kontraktilitas kandung kemih yang
blockers isradipine, felodipine, menurun dapat menyebabkan retensi
nimodipine urin, frekuensi, nokturia, dan
inkontinensia
Angiotensin- Captopril, enalapril, Dapat menyebabkan batuk kronis, yang
converting lisinopril mempercepat atau memperburuk
enzyme inhibitors inkontinensia stres
Hypnotics and Benzodiazepines Dapat mengganggu kontrol sukarela atas
antianxiety agents buang air kecil dengan menyebabkan
sedasi, delirium, dan gangguan kognitif,
Alcohol Wine, beer, liquor Dapat mengganggu kontrol sukarela atas
buang air kecil dengan menyebabkan
sedasi, delirium, peningkatan diuresis,
dan gangguan kognitif

5. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan dapat menghalangi atau mencegah lansia - terutama
mereka yang memiliki keterbatasan mobilitas - untuk mencapai dan menggunakan
toilet di rumah, tempat umum, dan pengaturan kelembagaan. Contoh hambatan
lingkungan termasuk tangga, tidak adanya pegangan dan pagar, dan kursi toilet yang
ketinggiannya tidak sesuai. Kotak 19-1 merangkum beberapa faktor risiko
lingkungan yang dapat berkontribusi terhadap kejadian inkontinensia pada orang
dewasa yang lebih tua.

Faktor Lingkungan Yang Dapat Berkontribusi pada Inkontinensia Urin


• Tangga antara tingkat kamar mandi dan ruang tamu atau ruang tidur
• Jarak ke kamar mandi yang lebih dari 40 kaki
• Pengaturan hidup di mana beberapa atau banyak orang berbagi kamar mandi
• Kamar mandi kecil dan pintu dan lorong sempit yang tidak mengakomodasi
pejalan kaki atau kursi roda
• Desain kursi dan ketinggian tempat tidur yang menghalangi mobilitas
• Kontras warna yang buruk, seperti antara toilet dan dudukan putih dan lantai atau
dinding berwarna terang
• Pengaturan publik dengan tanda-tanda kontras yang tidak terlihat atau
tidak kontras dengan warna yang menunjuk pada fasilitas kamar mandi khusus
gender
• Pengaturan publik dengan redup penerangan dan fasilitas kamar mandi yang jauh
dari jalan
• Lingkungan yang sangat terang, tempat silau mengganggu persepsi tanda untuk
kamar mandi
• Dinding cermin, yang memantulkan cahaya terang dan menciptakan silau

41
C. KONSEKUENSI FUNGSIONAL MEMPENGARUHI KESEHATAN URIN
Meskipun banyak perubahan age-related di saluran kemih, namun eliminasi tidak
terpengaruh secara signifikan dalam kesehatan, orang dewasa yang lebih tua tanpa
obat. Namun, dengan tuntutan fisiologis yang tidak biasa, seperti yang terjadi dengan
obat-obatan atau kondisi penyakit, orang dewasa yang lebih tua
kemungkinan akan mengalami konsekuensi fungsional yang memengaruhi mekanisme
homeostatis dan kontrol kemih. Perubahan dan faktor-faktor risiko juga menyebabkan
konsekuensi fungsional dalam pola eliminasi urin dan membuat orang dewasa yang lebih
tua inkontinensia. Kapan terjadi inkontinensia, konsekuensi fungsional tambahan,
terutama efek psikososial, bisa sangat serius.
Efek pada Homeostasis
Konsekuensi fungsional terkait fungsi ginjal secara sehatlansia termasuk gangguan
penyerapan kalsium dan kecenderungan untuk hiponatremia dan hiperkalemia. Perubahan
yang teragregasi pada ginjal dan sekresi aldosteron mengganggu mekanisme kompensasi
yang menjaga cairan dan keseimbangan elektrolit, sehingga orang dewasa yang lebih tua
dan kurang responsif terhadap variasi asupan natrium dibandingkan individu yang lebih
muda. Demikian pula fungsi ginjal yang berkurangmemperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk memperbaiki ketidakseimbangan pH pada orang dewasa yang lebih
tua.Bahkan dengan keadaan hidrasi normal, penurunan GFR menunda ekskresi air dan
dapat menyebabkan hiponatremia pada orang dewasa yang sehat. Demikian juga, bahkan
kegiatan rutin sehari-hari dapat menantang fungsi ginjal orang dewasa yang lebih
tua karena berkurangnya efisiensi ginjal. Misalnya kapan orang dewasa yang lebih tua
berkeringat saat berolahraga, mereka mungkin mudah lelah karena keterlambatan terkait
usia dalam mekanisme mengendalikan konservasi air dan natrium.
Dengan bertambahnya usia, ginjal menjadi kurang responsive untuk ADH dan
kurang mampu berkonsentrasi urin, menyebabkan penurunan konsentrasi urin maksimal.
Terkait usia perubahan juga meningkatkan produksi urin pada malam hari pada orang
dewasa yang lebih tua dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, bahkan
tanpa adanya pathogen faktor logika
Orang dewasa yang lebih tua yang minum obat tertentu atau berobat kondisi
cenderung mengalami konsekuensi fungsional seperti berikut ini:
● Diuretik lebih mungkin menyebabkan hipovolemia dan dehidrasi pada orang dewasa
yang lebih tua daripada orang yang lebih muda.
● Dalam kondisi stres fisiologis (mis., Pembedahan, infeksi, atau kehilangan cairan yang
berlebihan), orang dewasa yang lebih tua mungkin mengembangkan dehidrasi, penipisan
volume, dan cairan lainnya dan ketidakseimbangan elektrolit.
● Pengurangan volume dapat terjadi segera setelah timbulnya penyakit yang
menghasilkan demam karena ketidakmampuan untuk memberikan kompensasi untuk
kehilangan cairan yang tidak masuk akal.
● Segala kondisi atau pengobatan yang merangsang sekresi ADH, seperti pneumonia atau
klorpropamid, kemungkinan besar akan terjadi menyebabkan keracunan air dan
hiponatremia pada orang dewasa yang lebih tua karena berkurangnya kemampuan mereka
untuk mengkompensasi tingkat ADH yang berlebihan.
Fungsi ginjal yang berkurang berkontribusi pada meningkatnya insiden interaksi
obat dan reaksi obat yang merugikan pada orang dewasa yang lebih tua. Perubahan terkait
usia ini kemungkinan besar terjadi mempengaruhi obat yang larut dalam air yang sangat
tergantung pada GFR (mis.,antibiotik digoxin, simetidin, dan aminoglikosida) atau fungsi
tubulus ginjal (mis., penisilin dan procainamide). Kecuali jika dosis obat disesuaikan
dengan akun untuk perubahan terkait usiadalam GFR dan fungsi tubular ginjal, ekskresi
mungkin tertunda dan zat-zat beracun cenderung mengumpulkan. Efek-efek pengobatan
42
yang merugikan ini dapat secara signifikan merusak kemampuan fisik dan mental dan
mendalam konsekuensi fungsional, sebagaimana dibahas dalam Bab 8.
Efek pada Pola Void
Karena perubahan terkait usia, kandung kemih pada orang dewasa yang lebih
tua memiliki kapasitas yang lebih kecil, kosong tidak lengkap, dan kontrak saat
mengisi. Dengan demikian, orang dewasa yang lebih tua mengalami interval yang lebih
pendek antara berkemih, dan mereka memiliki sedikit waktu antara persepsi keinginan
untuk mengosongkan dan kebutuhan aktual untuk mengosongkannya kandung
kemih.Orang dewasa yang lebih tua sering menggambarkan hal ini dengan mengatakan,
“Kapan kamu harus pergi, kamu harus pergi. ”Konsekuensi lain adalah bahwa kandung
kemih mempertahankan hingga 50 mL sisa urin setelah berkemih,menyebabkan
bacteriuria gejala atau asimptomatik dan predisposisi orang dewasa yang lebih tua untuk
infeksi saluran kemih.
Perubahan terkait usia dalam produksi urin diurnal di ginjal menyebabkan
perubahan pola berkemih menjadi lebih sering berkemih di malam hari daripada siang
hari. Kondisi patologis (mis., Hipotiroidisme, gagal jantung, insufisiensi vena) danobat-
obatan tertentu (mis., penghambat saluran kalsium) berisiko faktor-faktor yang
menyebabkan frekuensi kemih dan nokturia terkait dengan posisi terlentang (Rahn &
Roshanravan, 2009). Selain itu, kandung kemih yang terlalu aktif dan kondisi patologis
(mis., disfungsi dasar panggul pada wanita dan pembesaran prostat jinak pada pria)
adalah penyebab umum nokturia pada usia lebih tua orang dewasa (van Kerrebroeck,
Hashim, Holm-Larsen, Robinson, & Stanley, 2010). Konsekuensi fungsional nokturia
termasuk gangguan tidur, peningkatan risiko jatuh di malam hari, dan penurunan kualitas
hidup (Bliwise et al., 2009; Endeshaw, 2009; Vaughan et al., 2010).
D. KONDISI PATOLOGIS YANG MEMPENGARUHI FUNGSI
KEMIH: INKONTINENSIA URIN
Seperti yang disebutkan, perubahan yang berkaitan dengan usia saja tidak
menyebabkan inkontinensia urin; Orang dewasa yang lebih tua cenderung untuk itu,
menjadikannya kondisi patologis yang paling umum terjadi terkait dengan saluran kemih
pada orang dewasa yang lebih tua. Perkiraan prevalensi inkontinensia untuk orang
dewasa yang lebih tua berkisar dari 38% untuk orang dewasa yang tinggal di komunitas
hingga 60% untuk mereka yang berada di fasilitas perawatan jangka panjang dan hingga
90% untuk orang dengan demensia (Dowling-Castronovo & Bradway, 2008; French
Phelps, Pothula, & Mushkbar, 2009; Griebling, 2009). Studi mengidentifikasi semua
faktor risiko inkontinensia urin berikut: bertambahnya usia, keterbatasan fungsional,
gangguan kognitif, obesitas, merokok, ras kulit putih, sembelit, persalinan pervaginam,
kadar vitamin D rendah, obat-obatan (misalnya, estrogen oral, antipsikotik), dan kondisi
patologis (diabetes, stroke, radang sendi, penyakit Parkinson) (Amselem et al., 2010;
Badalian & Rosenbaum, 2010; Byles, Millar, Sibbritt, & Chiarelli, 2009; Menezes,
Hashimoto, & de Guoveia Santos, 2009). Studi juga menemukan hubungan yang kuat
antara depresi dan inkontinensia urin, tetapi kesimpulan tidak jelas tentang apakah
depresi merupakan risiko atau konsekuensi dari inkontinensia urin (Melville, Fan, Rau,
Nygaard, & Katon, 2009).
Inkontinensia urin adalah fokus dari banyak perhatian di antara konsumen dan
praktisi kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan pengaruhnya terhadap kualitas
hidup (Botlero, Bell, Urquhart, & Davis, 2010; Tennstedt et al., 2010).Inkontinensia urin
dikategorikan berdasarkan tanda dan gejala sebagai berikut:
• Inkontinensia urin stres ditandai oleh kebocoran urin yang tidak disengaja
sebagai akibat dari aktivitas yang meningkatkan tekanan perut (mis., Mengangkat,
batuk, bersin, tertawa, atau berolahraga).

43
• Inkontinensia urin yang mendesak ditandai dengan kebocoran urin yang tidak
disengaja karena ketidakmampuan untuk menahan urin cukup lama untuk
mencapai toilet setelah merasakan keinginan untuk membatalkan.
• Inkontinensia urin campuran ditandai oleh kebocoran urin dengan sensasi
urgensi dan aktivitas seperti batuk, bersin, atau aktivitas.
Ketika semua jenis inkontinensia urin berkembang, penilaian komprehensif
diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab dan faktor risiko yang dapat diatasi melalui
intervensi.
Kandung kemih yang terlalu aktif (OAB) adalah suatu sindrom yang ditandai oleh
urgensi yang mengganggu, biasanya disertai dengan nokturia dan frekuensi siang hari,
dan kadang-kadang disertai dengan dorongan inkontinensia urin. Dalam beberapa tahun
terakhir, OAB telah menjadi obat yang banyak untuk pengobatan kondisi ini. Menurut
definisi, OAB tidak selalu disertai dengan inkontinensia, tetapi pada kenyataannya,
banyak orang dengan kondisi ini juga mengalami inkontinensia.Satu Studi terhadap 311
orang dewasa antara usia 18 dan 97 tahun menemukan prevalensi AOB pada 60,5% pria
dan 48,3% Wanita, dengan 37% dan 92% pria dan wanita, masing-masing, juga
mengalami inkontinensia (Cheung, Khan , Choi, Bluth, & Vincent, 2009). Dalam Studi
ini, obesitas adalah faktor risiko utama untuk AOB, terutama pada wanita
premenopause. Studi lain telah menemukan bahwa diuretik, terutama l oop diuretik,
dikaitkan dengan AOB (Ekundayo et al., 2009).
Inkontinensia urin dapat berdampak negatif pada kualitas hidup orang dewasa yang
lebih tua melalui konsekuensi fisik dan psikososial. Konsekuensi fisik inkontinensia
meliputi kecenderungan jatuh, patah tulang, borok tekan, infeksi atau iritasi kulit, infeksi
saluran kemih, dan keterbatasan status fungsional ( Dowling-Castronovo & Bradway,
2008; Hasegawa, Kuzuya & Iguchi, 2010 ). Konsekuensi psikososial yang terkait dengan
inkontinensia urin termasuk penurunan kualitas hidup, rasa malu atau malu, kecemasan,
depresi, isolasi sosial dan hilangnya kepercayaan diri. Konsekuensi lain adalah bahwa
orang yang pernah mengalami riwayat inkontinensia mungkin menjadi sibuk dengan
menutupi bukti basah atau bau kemih, sehingga mereka dapat menghindari stigma sosial.

Konsekuensi psikososial juga muncul jika pengasuh memiliki sikap dan perilaku
kekanak-kanakan (mis., Tidak perlu menggunakan produk inkontinensia daripada
memberikan bantuan dengan menggunakan toilet) terhadap orang tua yang
mengompol. Sikap dan perilaku ini dapat berdampak buruk pada martabat dan harga diri
orang dewasa yang lebih tua. Selain itu, orang dewasa yang sudah tua yang tidak
memahami perubahan terkait usia mungkin telah membesar-besarkan kekhawatiran
inkontinensia progresif, yang dipicu oleh timbulnya urgensi frekuensi. Bahkan pada
orang dewasa yang lebih tua yang tidak mengompol, pengalaman urgensi dan frekuensi
kemih dapat menyebabkan ketidakseimbangan psikososial, seperti kecemasan, aktivitas
terbatas, perasaan tidak aman dan ketidakberdayaan dan malu tentang seringnya pergi ke
kamar mandi.

Untuk pengasuh orang dewasa yang lebih tua yang bergantung pada aturan didalam
rumah, timbulnya inkontinensia urin dapat menciptakan stres tambahan, terutama jika
inkontinensia urin diperparah oleh hambatan lingkungan atau keterbatasan
fungsional. Tugas yang berkaitan dengan inkontinensia adalah beberapa aspek
pengasuhan yang paling sulit, menegangkan, dan menghabiskan waktu. Pengasuh yang
dalam peraturan rumah cenderung merasa marah, bersalah, frustrasi atau tidak memadai
ketika berhadapan dengan inkontinensia setiap hari. Sikap seumur
hidup tentang mengaturbuang air kecil dapat berkontribusi pada perasaan jijik tentang
permintaan perawatan, yang mungkin lebih diperparah oleh perasaan bersalah tentang
reaksi awal ini terhadap tugas pengasuhan. Jika pengasuh merasakan kesengajaan dari
pihak orang yang bersangkutan dalam kegagalannya mengontrol buang air kecil, perasaan
44
ini akan cenderung meningkat. Dalam pengaturan kelembagaan, staf perawat dan
pengasuh lainnya mungkin mengalami perasaan yang sama pada tingkat yang lebih
rendah.

II.12 Data Tambahan Dalam Pengkajian untuk Meneggakkan Diagnosa Ditambahkan


Data Untuk Peran dan Etika Perawat

Kasus

Seorang lansia laki-laki (78 tahun) masuk ke PSTW Ciracas. Lansia diantar
oleh ketua RT. Hasil pengkajian perawat: lansia mengatakan anak dan menantunya
sering memperlakukannya secara kasar, dicaci maki dan tekadang dipukul karena
dianggap tidak berguna dan hanya menjadi beban keluarga. Lansia hanya diberikan
makan 1 kali sehari dengan lauk pauk telur dan tempe dan nasi ½ porsi setiap hari.
Lansia sering disuruh untuk mengemis di jalanan, hasil mengemis diambil oleh
anaknya. Pihak panti berusaha mengkonfirmasi ke keluarga, namun anggota
keluarga enggan memberikan keterangan. Keluarga juga jarang membesuk lansia di
panti dan belum tau kapan akan membawa lansia kembali ke rumah.
Lansia juga mengeluh keluarga sering memarahi lansia karena bau pesing,
tidak bisa mengontrol BAK. Lansia mengatakan tidak berasa ingin BAK, tiba-tiba
ada urine yang rembes (palpasi vesika urinaria: distensi (-)). Lansia mengatakan
jika bangkit dari duduk ke posisi berdiri atau batuk urine sering keluar sehingga
pakaiannya basah. Lansia tampak lusuh dan kotor, rambut dan jambang panjang.
Lansia mengatakan sudah berhari-hari tidak mandi, lansia kesulitan melakukan
aktivitas sehari-hari karena banyak luka lebam di badannya.

Data tambahan:

Saat di panti, perawat membantu lansia tersebut untuk melakukan


kebersihan diri dan membantu lansia dalam melakukan aktivitas yang diinginkan.
Kuku lansia terlihat panjang dan sangat kotor. Dalam membantu lansia perawat
memperlakukan semua lansia secara adil tanpa membeda-bedakan. Selain itu
perawat mempertahankan dan melindungi hak-hak lansia yang meliputi hak atas
pelayanan sebaik-baiknya dan hak atas informasi yang diinginkan. Perawat juga
memotivasi lansia untuk ikut kegiatan senam dan kegiatan lain bersama lansia
lainnya. Perawat rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan penjaringan penyakit
terhadap para lansia di panti untuk mencegah berbagai penyakit dan komplikasi
lainnya. Perawat juga memberikan pelayanan kesehatan jiwa bagi lansia yang
45
mengalami masalah psikis atau trauma terhadap masalah yang dialami. Dalam
memberikan pelayanan kesehatan, tentunya perawat mencari dan mempelajari
berbagai literatur penelitian yang kemudian akan diterapkan. Perawat juga
memberikan pendidikan kesehatan mengenai masalah gizi dan diet, serta
pentingnya olahraga. Saat di panti, para lansia biasanya senang bercerita atau
mengutarakan permasalahan yang sedang dihadapi, disini perawat selain berperan
jadi pendengar yang baik, perawat juga memberikan berbagai saran serta menjaga
semua rahasia atau permasalahan lansia. Perawat juga selalu menepati janji apabila
ingin bertemu dengan lansia.
Lansia tidak dapat membersihkan diri sendiri, sehingga membutuhkan
bantuan dari caregiver. Lansia mengeluh merasa nyeri pada bagian tubuh yang
lebam. Care giver sering membantu lansia mengganti celana yang disebabkan
rembesnya urine. Perawat telah mengompres bagian tubuh lansia yang lebam.
Karena usia yang sudah tua, lansia tidak mampu mengunyah makanan yang keras
dikarenakan giginya yang sudah tidak lengkap, sehingga harus memakan makanan
yang lunak. Lansia mengatakan sering merasakan tidak enak pada perutnya. Lansia
sering BAK pada malam hari sehingga sering dimarahi oleh keluarganya. Selain itu,
air BAK yang dikeluarkan banyak. Gigi lansia tampak kuning dan terlihat ada
karies gigi. Lansia juga mengatakan sering mengalami nyeri di gusinya. Saat Care
giver memberikan tekanan pada intra abdomen urine pasien menetes keluar. Lansia
mengatakan merasa lemas. Lansia terlihat pucat dan lemah. Hasil pemeriksaan
TTV : TD : 90/70, S : 37,0, RR : 19 x/mnt, BB/TB : 40kg/160cm.

II.13 Etika dan Peran Perawat

A. Prinsip etika keperawatan

Konsep Dasar Keperawatan Prinsip etika keperawatan yang harus selalu


diperhatikan dan dijadikan pedoman oleh perawat di dalam memberikan asuhan
keperawatan antara lain:

1. Keadilan (justice)
Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat tidak boleh membeda-bedakan
klien berdasarkan suku, agama, ras, status sosial-ekonomi, politik, ataupun atribut
lainnya. Setiap klien berhak mendapatkan layanan keperawatan yang terbaik.
Dengan kata lain, tidak ada pembedaan kualitas layanan keperawatan untuk klien.
Semua klien berhak dilayani dengan adil dan baik oleh perawat.
Dalam kasus: Dalam membantu lansia perawat memperlakukan semua
lansia secara adil tanpa membeda-bedakan.

46
2. Otonomi (autonomy)
Perawat harus berpegang pada prinsip bahwa setiap manusia berhak menentukan
segala sesuatu atas dirinya. Kaitannya di sini, setiap klien berhak menyetujui atau
menolak segala bentuk tindakan yang akan dilakukan padanya. Perawat harus
menghormati otonomi klien. Salah satunya dengan melibatkan klien dan keluarga
dalamn pengambilan keputusan terkait perawatan klien. Untuk itu, ada beberapa
hal yang harus dilakukan oleh perawat terkait hak otonomi klien.
a. Sebelum melakukan intervensi keperawatan, perawat terlebih dahulu
menjelaskan kepada klien dan keluarga mengenai tindakan yang akan
dilakukan. Informasi ini mencakup definisi, tujuan, prosedur tindakan,
maupun akibat yang mungkin timbul pada klien.
b. Perawat tidak boleh memaksa atau menekan klien agar menerima
tindakan yang akan dilakukan padanya. Karenanya, perlu ada persetujuan
(informed concent) dari pihak klien atau keluarga sebelum melakukan
tindakan tertentu
c. Perawat harus menghormati nilai-nilai yang dianut klien. Karenanya,
perawat perlu menyamakan persepsinya dengan persepsi klien.
3. Manfaat (beneficence)
Setiap tindakan yang dilakukan oleh perawat harus memberi manfaat pada klien.
Jangan sampai tindakan yang dilakukan perawat mendatangkan kerugian bag
klien. Kemanfaatan indakan perawat dapat dirasakan jika tindakan tersebut dapat
mengatasi masalah klien dan tidalk menimbulkan bahaya pada mereka. Perawat
harus selalu pegang pada pedoman bahwa tindakan yang akan dilakukan.
Dalam kasus: perawat membantu lansia tersebut untuk melakukan
kebersihan diri dan membantu lansia dalam melakukan aktivitas yang
diinginkan. Perawat juga memotivasi lansia untuk ikut kegiatan senam dan
kegiatan lain bersama lansia lainnya.
4. Kejujuran (veracity)
Dalam memberikan informasi kepada klien pada klien adalah tinda kan yang
terbaik untuk mereka. atau keluarga, perawat harus berkata benar dan jujur. Tidak
boleh ada hal yang ditutup-tutupi. Informasi yang tidak jelas dan terkesan
disembunyikan dapat membangkitkan kecurigaan klien terhadap perawat. Ini
merupakan preseden buruk terhadap hubungan terapeutik perawat-klien.
Kejujuran perawat bukan berarti harus jujur terhadap orang lain terkait dengan
keadaarn klien. Artinya, perawat harus selalu menjaga rahasia klien, kecuali pada
kondisi-kondisi tcrtentu.

47
Dalam kasus: perawat juga memberikan berbagai saran serta menjaga
semua rahasia atau permasalahan lansia
5. Loyalitas (fidelity)
Tindakan yang dilakukan perawat terhadap moral dan tang klien harus didasarkan
atas tanggung jawab profesi.
Dalam kasus: Perawat juga selalu menepati janji apabila ingin bertemu
dengan lansia.

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada lansia
adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :

1. Otonomi (Autonomy)
Otonomi berasal dari bahasa latin, yaitu autos, yang berarti sendiri, dan
nomos yang berarti aturan. Prinsip otonomi didasarkan pada
keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu membuat
keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan
membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau
pilihanyang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan
bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan
tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan
hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri.
Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-
hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang atau kejahatan,
penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan
dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan
otonomi. Contoh perawat menasehati klien tentang program latihan. Kebaikan
memerlukan pencegahan dari kesalahan orang lain. Terkadang untuk
memperbaiki kesehatan secara umum, tetapi tidak seharusnya melakukannya
apabila klien dalam keadaan risiko serangan jantung.
Dalam kasus: perawat membantu lansia tersebut untuk melakukan
kebersihan diri dan membantu lansia dalam melakukan aktivitas yang
diinginkan. Perawat juga memotivasi lansia untuk ikut kegiatan senam
dan kegiatan lain bersama lansia lainnya.
3. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap
orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal, dan kemanusiaan.

48
Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat
bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan
yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
Dalam kasus: Dalam membantu lansia perawat memperlakukan semua
lansia secara adil tanpa membeda-bedakan.
4. Tidak merugikan (Non-maleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/ cedera fisik dan psikologis
pada klien. Johnson ( 1989 ) menyatakan bahwa prinsip untuk tidak
melukai orang lain berbeda dan lebih keras daripada prinsip untuk
melakukan yang baik.
Dalam kasus: Perawat rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan
penjaringan penyakit terhadap para lansia di panti untuk mencegah
berbagai penyakit dan komplikasi lainnya.
5. Kejujuran (veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan
oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada
setiap klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakankebenaran.
Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif.
Veracity untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang
ada,dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani
perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argument
mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika
kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya
hubungan paternalistic bahwa ”doctors knows best” sebab individu
memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi
penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun
hubungan saling percaya.
Dalam kasus: perawat juga memberikan berbagai saran serta menjaga
semua rahasia atau permasalahan lansia
6. Menepati janji (fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan
menepati janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah
kewajiban seseorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya.
Kesetiaan, menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik
49
yangmenyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan
meminimalkan penderitaan.
Dalam kasus: Perawat juga selalu menepati janji apabila ingin bertemu
dengan lansia.
7. Kerahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerasahasiaan adalah informasi tentang klien harus
dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen
catatankesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan
klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut
kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang
klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga
tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
Dalam kasus: perawat juga memberikan berbagai saran serta menjaga
semua rahasia atau permasalahan lansia
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

Selain poin-poin di atas, ada karakteristik lain yang harus dipenuhi oleh profesi
keperawatan terkait dengan keilmuan, yakni body of knowiedge. Body of
knowledge keperawatan merupakan kerangka pengetahuan yang membangun
ilmu keperawatan. Body of knowiedge keperawatan ini terdiri atas tiga aspek.
Pertama adalah paradigma kepcrawatan yang memandang manusia dalam inter
aksinya dengan lingkungan untuk mencapai keadaan sehat. Kedua, houndaries,
berupa model konseptual dan teori keperawatan. Ketiga, metode untuk
mengembangkan pengetahuan dalam bentuk penelitian dan uji coba teori
keperawatan.

Profesionalisme keperawatan, selain didukung oleh keilmuan, juga harus


terealisasi dalam bentuk pelayanan kepada klien-baik individu, keluarga,
maupun masyarakat. Aspek yang perlu diperbarui dalam layanan keperawatan
adalah lingkup area layanan keperawatan.

B. Peran Perawat

Peran dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan oleh


individu sesuai dengan status sosialnya. Jika seorang perawat, peran yang

50
dijalankannya harus sesuai dengan lingkup kewenangan perawat. Peran
menggambarkan otoritas seseorang yang diatur dalam sebuah aturan yang jelas.
Tidak menutup ke- mungkinan ada dua atau lebih profesi yang memiliki peran
yang sama. Kesamaan peran bukan berarti sama dalam segala hal. Peran boleh
sama, tetapi ruang lingkup atau kewenangan masing-masing profesi tentu
berbeda. Tidak mungkin ada satu profesi kesehatan yang menyerobot
kewenangan profesi kesehatan lain. Oleh karena itu, diperlukan suatu standar
dari masing-masing profesi keseht an. Sebagai tenaga kesehatan, perawat
memiliki sejumlah peran di dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan hak
dan kewenang an yang ada. Peran pcrawat yang utama adalah sebagai
pelaksana, pengelola, pendidik, dan peneliti.

1.Pelaksana layanan keperawatan (care provider).

Perawat memberikan layanan berupa asuhan keperawatan secara langsung


kepada klien (individu, keluarga, maupun komunitas) sesuai dengan
kewenangannya. Asuhan keperawatan diberikan kepada klien di semua tatanan
layanan kesehatan dengan meng gunakan metodologi proses keperawatan,
berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi oleh etik dan etika
keperawatan, serta berada dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab
keperawatan. Asuhan keperawatan ini merupakan bantuan yang diberikan
kepada klien karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan
pengetahuan, serta kurangnya kemauar untuk dapat melaksanakan kegiatan
hidup sehari-hari secara mandiri. Dalam perannya sebagai care provider,
perawat bertugas untuk:

a. Memberi kenyamanan dan rasa aman bagi klien,


b. Melindungi hak dan kewajiban klien agar tetap terlaksana
c. Memfasilitasi klien dengan anggota tim kesehatan lainnya; dengan
seimbang: serta
d. Berusaha mengembalikan kesehatan klien.

Peran sebagai care provider merupakan peran yang sangat penting di antara
peran-peran yang lain (bukan berarti peran yang lain tidak penting).
Baik/tidaknya kualitas layanan profesi keperawatan, dirasakan langsung oleh
klien. Keperawatan sebagai profesi yang profesional bukan hanya dibuktikan
dengan jenjang pendidikan yang tinggi. Banyaknya ilmu dan teori keperawatan
juga harus diwujudkan ke dalam aktivitas pelayanan nyata kepada klien agar
klien mendapatkan kepuasan. Ini me rupakan langkah promosi yang sangat

51
efektif dan murah dalam upaya membentuk citra perawat yang baik. Stigma-
stigma negatif tentang perawat dapat hilang dengan pembuktian nyata berupa
layanan keperawatan profesional kepada klien.

Dalam kasus: perawat membantu lansia tersebut untuk melakukan


kebersihan diri dan membantu lansia dalam melakukan aktivitas yang
diinginkan. Perawat rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan
penjaringan penyakit terhadap para lansia di panti untuk mencegah
berbagai penyakit dan komplikasi lainnya. Perawat juga memberikan
pelayanan kesehatan jiwa bagi lansia yang mengalami masalah psikis atau
trauma terhadap masalah yang dialami.

2. Pengelola (manager).

Perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mengelola layanan


keperawatan di semua tatanan layanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, dan
sebagainya) maupun tatanan pendidikan yang berada dalam tanggung ja-
wabnya sesuai dengan konsep manajemen keperawatan. Manajemen
keperawatan dapat diartikan sebagai proses pelaksanaan layanan keperawatan
melalui upaya staf keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan,
pengobatan, dan rasa aman kepada pasien/keluarga/masyarakat (Gillies, 1985).
Dengan demi- kian, perawat telah menjalankan fungsi manajerial keperawat an
yang meliputi planning, organízing, actuating, staffing, directing, dan
controlling

a. Perencanaan (planning)
Seorang manajer keperawatan harus mampu menetapkan pekerjaan yang
harus dilakukannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang
didasarkan atas rencana yang logis dan bukan perasaan. Fungsi
perencanaan meliputi beberapa tugas, di antaranya mengenali masalah,
menetapkan dan mengkhususan tujuan jangka panjang dan jangka pendek,
mengembangkan tujuan, dan terakhir menguraikan bagaimana tujuan dan
sasaran tersebut dapat dicapai.
b. Pengorganisasian (organizing)
Fungsi ini meliputi proses mengatur dan mengalokasikan pekerjaan,
wewenang, serta sumber daya keperawatan sehingga tujuan keperawatan
dapat dicapai.
c. Gerak aksi (actuating)

52
Actuating atau disebut juga "gerak aksi" mencakup kegiatan yang
dilakukan oleh seorang manajer keperawatan untuk mengawali dan
melanjutkan kegiatan yang telah ditetapkan dalam unsur perencanaan dan
peng- organisasian agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam melaksanakan fungsi actuating, seorang manajer keperawatan harus
mampu menetapkan dan memuaskan kebutuhan manusiawi para staf
keperawatan, memberi penghargaan, memimpin, mengembangkan, serta
memberi kompensasi kepada mereka.
d. Pengelolaan staf (staffng)
Fungsi staffing mencakup memperoleh, menempatkan, dan
mempertahankan anggcta/staf pada posisi yang dibutuhkan dalam
pekerjaan keperawatan.
e. Pengarahan (directing)
Seorang manajer keperawatan harus mampu memberikan arahan kepada
staf keperawatan sehingga mereka menjadi perawat yang berpengetahuan
dan saran yang mampu bekerja secara efektif guna mencapai sa telah
ditetapkan.
f. Pengendalian (controlling)
Tugas-tugas dalam fungsi ini mencakup kelanjutan tugas untuk melihat
apakah kegiatan yang dilaksanakan oleh staf keperawatan telah berjalan
sesuai dengan rencana.

Fungsi manajerial dilaksanakan di tiap tingkatan mana jemen, baik first level
manager, middle manager maupun top manager. Oleh karena itu, untuk dapat
melaksanakan peran manajer dengan baik, seorang perawat harus memiliki
keterampilan manajerial yang meliputi technical skill, human skill, and
conceptual skill. Technical skill adalah kemampuan untuk menggunakan
metode, teknik, pengetahuan dan peralatan yang digunakan untuk tugas-tugas
manajerial. Human skill mencakup kemampuan untuk bekerja sama,
memahami dan memotivasi orang lain baik individu maupun kelompok.
Dengan kata lain, human skill adalah keterampilan yang terkait dengan
kepemimpinan dan hubungan antarmanusia. Conceptual skill mencakup
kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi secara keseluruhan dan
kemampuan menilai apakah ke giatan yang dilakukan seseorang sesuai dengan
organisasi atau tidak. Keterampilan ini juga meliputi kemampuan untuk
mengoordinasikan dan mengintegrasikan semua kepentingan dan aktivitas

53
organisasi. Jadi, conceptual skill berhubungan dengan kemampuan dan
keterampilan berpikir

3. Pendidik dalam keperawatan


Sebagai pendidik, perawat berperan mendidik individu, keluarga, masyarakat,
serta tenaga keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya. Perawat bertugas
memberikan pendidikan kesehatan kepada klien-dalam hal ini individu,
keluarga, serta masyarakat-sebagai upaya menciptakan perilaku
individu/masyarakat yang kondusif bagi ke- sehatan. Pendidikan kesehatan
tidak semata ditujukan untuk membangun kesadaran diri dengan pengetahuan
tentang kese hatan. Lebih dari itu, pendidikan kesehatan bertujuan untuk
membangun perilaku kesehatan individu dan masyarakat. Kesehatan bukan
sekadar untuk diketahui dan disikapi, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Peran perawat sebagai pendidik tidak hanya ditujukan untuk klien, tetapi juga
tenaga keperawatan lain. Upaya ini dilakukan untuk memberi pemahaman yang
benar tentang kepera watan agar tercipta kesamaan pandangan dan gerak
bersama di antara perawat dalam meningkatkan profesionalisme. Selain itu,
melalui pendidikan keperawatan, eksistensi profesi keperawatan dapat terus
terpelihara. Peran ini dapat dilaksanakan di institusi pendidikan keperawatan
maupun institusi layanan kesehatan.
Untuk dapat melaksanakan peran sebagai pendidik (edukator), ada beberapa
kemampuan yang harus dimiliki seorang mpuan tersebut berupa perawat
sebagai syarat utama. Kema wawasan ilmu pengetahuan yang luas,
kemampuan berkomu nikasi, pemahaman psikologis, dan kemampuan menjadi
model/ contoh dalam perilaku profesional.
a. Wawasan ilmu pengetahuan
Pendidikan kesehatan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh seorang
edukator untuk memengaruhi orang lain agar dapat berperilaku atau
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sesuai dengan yang
diharapkan. Dalam proses pendidikan ini terjadi transfer ilmu pengetahuan.
Karenanya, perawat harus memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang luas
bukan hanya menyangkut ilmu keperawatan, tetapi juga ilmu-ilmu lain
yang mendukung agar perannya sebagai edukator dapat terlaksana dengan
benar dan tepat
b. Komunikasi

54
Keberhasilan proses pendidikan dipengaruhi oleh kemampuan perawat
dalam berkomunikasi, baik secara verbal maupun non-verbal. Kemampuan
berkomunikasi ini merupakan aspek mendasar dalam keperawatan. Seperti
kita ketahui, perawat harus berinteraksi langsung dengan klien selama 24
jam penuh. Dalam proses tersebut, sudah tentu terjadi komunikasi sebab
interaksi merupakan bagian dari komunikasi. Melalui komunikasi, perawat
dapat memberikan informasi/penjelasan kepada klien, membujuk dan
menghibur klien, juga melakukan tugas-tugas lainnya. Dalam proses
komunikasi ini, perawat diharapkan mampu memengaruhi dan meyakinkan
pihak lain baik itu klien, rekan sejawat, maupun tenaga kesehatan lain
tentang peran, fungsi, serta eksistensi profesi keperawatan. Dengan
komunikasi yang baik, perawat akan mampu meningkatkan citra
profesionalisme pada dirinya. Sebaliknya, jika komunikasi perawat kurang
baik, hal ini akan berimbas pada penilaian klien terhadap perawat. Tidak
jarang perawat dikatakan judes, kaku, tidak memahami perasaan orang lain,
dan berbagai stigma negatif lainnya. Penilaian negatif ini tentunya akan
berdampak pada profesionalisme keperawatan. Oleh sebab itu, mengingat
begitu pentingnya komunikasi, setiap perawat dituntut untuk mampu
menguasai teknik komun kasi yang baik, mengatasi berbagai hambatan
dalam komunikasi, serta memahami faktor-faktor yang menunjang ko-
nuIkasi.
c. Pemahaman psikologis
Sasaran pelayana kerawatan adalah klien (manusia), dalam hal ini individu,
keluarga, dan juga masyarakat. Karenanya, agar dapat memengaruhi orang
lain, perawat harus mampu memahami psikologis orang lain, di samping
memahami psikologis situasi. Untuk itu, perawat harus meningkatkan
sensitivitas dan kepeduliannya. Saat berbicara dengan orang lain, perawat
harus melakukannya dengan "hati". Artinya, apa yang perawat sampaikan
harus mampu menyentuh hati orang lain. Dengan demikian, setiap
pemikiran dan ide perawat dapat langsung diterima oleh klien sehingga
tujuan pendidikan kesehatan dapat tercapai
d. Menjadi model/contoh
Betapapun bagusnya gaya komunikasi perawat dan luasnya wawasan ilmu
pengetahuan mereka, orang lain perlu melihat bukti atas apa yang
disampaikannya. Jika terdapat kesesuaian antara perkataan dan perbuatan
perawat, citra dan penilaian orang lain terhadap profesi perawat akan
meningkat. Upaya untuk mengubah dan meningkatkan profesionalisme
55
perawat paling baik di lakukan melalui pembuktian secara langsung
melalui peran sebagai model. Perawat harus mampu menjadi baik dalam
menjalankan profesinya
Dalam kasus: Perawat juga memberikan pendidikan kesehatan
mengenai masalah gizi dan diet, serta pentingnya olahraga

4. Peneliti dan pengembang ilmu keperawatan

Sebagai sebuah profesi dan cabang ilmu pengetahuan, keperawatan harus terus
melakukan upaya untuk mengembangkan dirinya. Berbagai tantangan,
persoalan, dan pertanyaan seputar keperawatan harus mampu dijawab dan
diselesaikan dengan baik. Salah satunya adalah melalui upaya riset, Riset
keperawatan akan menambah dasar pengetahuan ilmiah keperawatan dan
mening katkan praktik keperawatan bagi klien. Praktik berdasarkan riset
merupakan hal yang harus dipenuhi (esensial) jika profesi keperawatan ingin
menjalankan kewajibannya pada masyakat dalam memberikan perawatan yang
efektif dan efisien (Patricia dan Arthur, 2002). Oleh karena itu, setiap perawat
harus mampu melakukan riset keperawatan. Ada beberapa hal yang harus
dijadikan prinsip oleh perawat dalam melaksana kan peran dan fungsinya
dengan baik dan benar. Prinsip tersebut harus menjiwai setiap perawat ketika
memberi layanan keperawatan kepada klien.

a. Nursing is caring. Artinya, perawat harus memiliki kepedulian terhadap


klien. Kepedulian ini ditunjukkan dengan tindakan yang segera dan tepat
dalam menanggapi keluhan klien
b. Nursing is laughing. Artinya, perawat harus mempunyai keyakinan bahwa
senyum merupakan suatu kiat dalam memberikan asuhan keperawatan
guna meningkatkan rasa nyaman klien
c. Nursing is touching. Artinya, sentuhan perawat sangat berarti dalam
menenangkan dan meningkatkan kenyamanan klien embuhannya.
Sentuhan yang dilakukan tentunya bersifat terapeutik dan dilakukan
sehingga dapat mempercepat penyembuhannya pada saat yang tepat.
d. Nursing is helping. Artinya, perawat asuhan keperawatan yang diberikan
adalah untuk menolong klien. Ini dilakukan dengan sepenuh hati,
ikhlas/tulus, tanpa ada tendensi tertentu yang sifatnya pribadi.
e. Nursing is helieving in arther. Artinya, perawat meyakini bahwa orang lain
memiliki hasrat/kemauan serta kemampuan untuk meningkatkan status
kesehatannya

56
f. Nursing is trusting. Artinya, perawat dalam melaksanakan pekerjaannya
harus menjaga dan memelihara kepercayaan klien dengan cara terus-
menerus meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan
g. Nursing is believing in self Artinya, perawat harus memiliki kepercayaan
diri dalam menjalankan profesinya. Perawat harus mcyakini bahwa
keperawatan merupakan profesi yang luhur dan memiliki peran strategis
dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
h. Nursing is iearning. Artinya, perawat harus selalu belajar dan
meningkatkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan profesional
melalui asuhan keperawatan yang diberikan.
i. Nursing is respecting. Artinya, perawat harus memperlihatkan rasa hormat
dan penghargaan kepada orang lain (kien dan keluarganya) dengan
menjaga kepercayaan dan rahasia klien
j. Nursing is listening Artinya, perawat harus mau menjadi pendengar yang
baik ketika klien berbicara atau mengeluh.
k. Nursing is doing. Artinya, perawat melakukan pengkajian dan intervensi
keperawatan dengan didasarkan atas pengetahuan yang ia miliki.
Tujuannya adalah untuk memberikan rasa aman dan nyaman pada klien
serta memberikan asuhan ke perawatan yang komprehensif pada mereka.
l. Nursing is feeling. Artinya, perawat dapat menerima, merasakan, dan
memahami perasaan klien baik perasaan duka, senang, frustasi, maupun
perasaan puas klien.
m. Nursing is accepting. Artinya, perawat harus menerima diri sendiri
sebelum dapat menerima orang lain.
n. Nursing is communicating. Artinya, perawat meyakini bahwa komunikasi
yang baik (terapeutik) dapat membuat klien merasa nyaman sehingga akan
membantu penyembuhan.

Dalam kasus: Dalam memberikan pelayanan kesehatan, tentunya perawat


mencari dan mempelajari berbagai literatur penelitian yang kemudian
akan diterapkan.

Dalam melaksanakan keperawatan, menurut Hidayat (2012) perawat


mempunyai peran dan fungsi sebagai perawat sebagai berikut:

1) Pemberian perawatan (Care Giver) Peran utama perawat adalah


memberikan pelayanan

57
keperawatan, sebagai perawat, pemberian pelayanan keperawatandapat
dilakukan dengan memenuhi kebutuhan asah, asih dan asuh. Contoh
pemberian asuhan keperawatan meliputi tindakan yang membantu klien secara
fisik maupun psikologis sambil tetap memelihara martabat klien. Tindakan
keperawatan yang dibutuhkan dapat berupa asuhan total, asuhan parsial bagi
pasien dengan tingkat ketergantungan sebagian dan perawatan suportif-edukatif
untuk membantu klien mencapai kemungkinan tingkat kesehatan dan
kesejahteraan tertinggi (Berman, 2010). Perencanaan keperawatan yang efektif
pada pasien yang dirawat haruslah berdasarkan pada identifikasi kebutuhan
pasien dan keluarga.

Dalam kasus: perawat membantu lansia tersebut untuk melakukan


kebersihan diri dan membantu lansia dalam melakukan aktivitas yang
diinginkan. Perawat rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan
penjaringan penyakit terhadap para lansia di panti untuk mencegah
berbagai penyakit dan komplikasi lainnya. Perawat juga memberikan
pelayanan kesehatan jiwa bagi lansia yang mengalami masalah psikis atau
trauma terhadap masalah yang dialami.

2) Sebagai advocat keluarga

Selain melakukan tugas utama dalam merawat, perawat juga mampu sebagai
advocat keluarga sebagai pembela keluarga dalam beberapa hal seperti dalam
menentukan haknya sebagai klien. Dalam peran ini, perawat dapat mewakili
kebutuhan dan harapan klien kepada profesional kesehatan lain, seperti
menyampaikan keinginan klien mengenai informasi tentang penyakitnya yang
diketahu oleh dokter. Perawat juga membantu klien mendapatkan hak-haknya
dan membantu pasien menyampaikan keinginan (Berman, 2010).

Dalam kasus: Selain itu perawat mempertahankan dan melindungi hak-


hak lansia yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya dan hak atas
informasi yang diinginkan.

3) Pencegahan penyakit

Upaya pencegahan merupakan bagian dari bentuk pelayanan keperawatan


sehingga setiap dalam melakukan asuhan keperawatan harus selalu
mengutamakan tindakan pencegahan terhadap timbulnya masalah baru sebagai
dampak dari penyakit atau masalah yang diderita. Salah satu contoh yang
paling signifikan yaitu keamanan, karena setiap kelompok usia beresiko

58
mengalami tipe cedera tertentu, penyuluhan preventif dapat membantu
pencegahan banyak cedera, sehingga secara bermakna menurunkan tingkat
kecacatan permanen dan mortalitas akibat cidera pada pasien (Wong, 2009).

Dalam kasus: Perawat rutin melakukan pemeriksaan kesehatan dan


penjaringan penyakit terhadap para lansia di panti untuk mencegah
berbagai penyakit dan komplikasi lainnya.

4) Pendidik

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien, perawat harus mampu


berperan sebagai pendidik, sebab beberapa pesan dan cara mengubah perilaku
pada pasien atau keluarga harus selalu dilakukan dengan pendidikan kesehatan
khususnya dalam keperawatan. Melalui pendidikan ini diupayakan pasien tidak
lagi mengalami gangguan yang sama dan dapat mengubah perilaku yang tidak
sehat. Contoh dari peran perawat sebagai pendidik yaitu keseluruhan tujuan
penyuluhan pasien dan keluaraga adalah untuk meminimalkan stres pasien dan
keluarga, mengajarkan mereka tentang terapi dan asuhan keperawatan di rumah
sakit, dan memastikan keluarga dapat memberikan asuhan yang sesuai di
rumah saat pulang (Kyle & Carman, 2015).

Dalam kasus: Perawat juga memberikan pendidikan kesehatan mengenai


masalah gizi dan diet, serta pentingnya olahraga

5) Konseling

Konseling merupakan upaya perawat dalam melaksanakan peranya dengan


memberikan waktu untuk berkonsultasi terhadap masalah yang dialami oleh
pasien maupun keluarga, berbagai masalah tersebut diharapkan mampu diatasi
dengan cepat dan diharapkan pula tidak terjadi kesenjangan antara perawat,
keluarga maupun pasien itu sendiri. Konseling melibatkan pemberian
dukungan emosi, intelektual dan psikologis. Dalam hal ini perawat
memberikan konsultasi terutama kepada individu sehat dengan kesulitan
penyesuaian diri yang normal dan fokus dalam membuat individu tersebut
untuk mengembangkan sikap, perasaan dan perilaku baru dengan cara
mendorong klien untuk mencari perilaku alternatif, mengenai pilihan-pilihan
yang tersedia dan mengembangkan rasa pengendalian diri (Berman, 2010).

Dalam kasus: Saat di panti, para lansia biasanya senang bercerita atau
mengutarakan permasalahan yang sedang dihadapi, disini perawat selain
berperan jadi pendengar yang baik

59
6) Kolaborasi

Kolaborasi merupakan tindakan kerja sama dalam menentukan tindakan yang


akan dilaksanakan oleh perawat dengan tim kesehatan lain. Pelayanan
keperawatan pasien tidak dilaksanakan secara mandiri oleh tim perawat tetapi
harus melibatkan tim kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi, psikolog dan lain-
lain, mengingat pasien merupakan individu yang kompleks/ yang
membutuhkan perhatian dalam perkembangan (Hidayat, 2012).

7) Pengambilan keputusan etik

Dalam mengambil keputusan, perawat mempunyai peran yang sangat penting


sebab perawat selalu berhubungan dengan pasien kurang lebih 24 jam selalu
disamping pasien, maka peran perawatan sebagai pengambil keputusan etik
dapat dilakukan oleh perawat, seperti akan melakukan tindakan pelayanan
keperawatan (Wong, 2009).

8) Peneliti

Peran perawat ini sangat penting yang harus dimiliki oleh semua perawat
pasien. Sebagai peneliti perawat harus melakukan kajian-kajian keperawatan
pasien, yang dapat dikembangkan untuk perkembangan teknologi keperawatan.
Peran perawat sebagai peneliti dapat dilakukan dalam meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan pasien (Hidayat, 2012).

II.14 Teori Penuaan Sesuai Kasus

1. TEORI PENUAAN

1.1. Teori Biologis

Teori biologi merupakan teori yang menjelaskan mengenai proses


fisik penuaan yang meliputi perubahan fungsi dan struktur organ,
pengembangan, panjang usia dan kematian (Christofalo dalam

Stanley).1 Perubahan yang terjadi di dalam tubuh dalam


upaya berfungsi secara adekuat untuk dan melawan penyakit
dilakukan mulai dari tingkat molekuler dan seluler dalam sistem
organ utama. Teori biologis mencoba menerangkan menganai
proses atau tingkatan perubahan yang terjadi pada manusia
mengenai perbedaan cara dalam proses menua dari waktu ke
waktu serta meliputi faktor yang
mempengaruhi usia panjang, perlawanan terhadap organisme dan
60
kematian atau perubahan seluler.

1.1.1. Teori Genetika


Teori genetika merupakan teori yang menjelaskan bahwa
penuaan merupakan suatu proses yang alami di mana hal ini telah
diwariskan secara turun-temurun (genetik) dan tanpa disadari
untuk mengubah sel dan struktur jaringan. Teori genetika terdiri
dari teori DNA, teori ketepatan dan kesalahan,
mutasi somatik, dan teori glikogen. 1 DNA merupakan asam
nukleat yang berisi pengkodean mengenai infornasi aktivitas sel,
DNA berada pada tingkat molekuler dan bereplikasi sebelum
pembelahan sel dimulai, sehingga apabila terjadi kesalahan dalam
pengkodean DNA maka akan berdampak pada kesalahan tingkat
seluler dan mengakibatkan malfungsi organ.
Pada manusia, berlaku program genetik jam biologi di mana
program maksimal yang diturunkan adalah selama 110 tahun. Sel
manusia normal akan membelah 50 kali dalam beberapa tahun.
Sel secara genetik diprogram untuk berhenti

61
membelah setelah mencapai 50 divisi sel, pada saat itu sel akan mulai

kehilangan fungsinya.2
Teori genetika dengan kata lain mengartikan bahwa proses menua
merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan akan semakin
terlihat bila usia semakin bertambah. Teori ini juga bergantung
dari dampak lingkungan pada tubuh yang dapat mempengaruhi
susunan molekular.

1.1.2. Teori Wear And Tear (Dipakai dan Rusak)


Teori Wear And Tear mengajukan akumulasi sampah
metabolik atau zat nutrisi dapat merusak sintesis DNA. August
Weissmann berpendapat bahwa sel somatik nomal memiliki
kemampuan yang terbatas dalam bereplikasi dan menjalankan
fungsinya. Kematian sel terjadi karena jaringan yang sudah tua tidak
beregenerasi. Teori wear and tear mengungkapkan bahwa organisme
memiliki energi tetap yang terseddia dan akan habis
sesuai dengan waktu yang diprogramkan.1,2

1.1.3. Teori Rantai Silang


Teori rantai silang mengatakan bahwa struktur molekular
normal yang dipisahkan mungkin terikat bersama-sama melalui reaksi
kimia. Agen rantai silang yang menghubungkan
menempel pada rantai tunggal. dengan bertambahnya usia,
mekanisme pertahanan tubuh akan semakin melemah, dan proses
cross-link terus berlanjut sampai terjadi kerusakan. Hasil akhirnya
adalah akumulasi silang senyawa yang menyebabkan mutasi
pada sel, ketidakmampuan untuk menghilangkan
sampah metabolik.2

62
1.1.4. Riwayat Lingkungan
Menurut teori ini, faktor yang ada dalam lingkungan dapat
membawa perubahan dalam proses penuaan. Faktor-faktor
tersebut merupakan karsinogen dari industri, cahaya matahari,

trauma dan infeksi.1

1.1.5. Teori Imunitas


Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses
penuaan. Selama proses penuaan, sistem imun juga akan
mengalami kemunduran dalam pertahanan terhadap organisme asing
yang masuk ke dalam tubuh sehingga pada lamsia akan
sangat mudah mengalami infeksi dan kanker.1 perubahan
sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid
sehingga tidak adanya keseimbangan dalam sel T intuk

memproduksi antibodi dan kekebalan tubuh menurun.3


Pada sistem imun akan terbentuk autoimun tubuh. Perubahan yang
terjadi merupakan pengalihan integritas sistem tubuh untuk
melawan sistem imun itu sendiri.

1.1.6. Teori Lipofusin dan Radikal Bebas


Radikal bebas merupakan contoh produk sampah
metabolisme yang dapat menyebabkan kerusakan apabila terjadi
akumulasi. Normalnya radikal bebas akan dihancurkan oleh enzim
pelindung, namun beberapa berhasil lolos dan berakumulasi di
dalam organ tubuh. Radikal bebas yang terdapat di lingkungan
seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar ultraviolet,
mengakibatkan perubahan pigmen dan
kolagen pada proses penuaan.3
Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena itu,
radikal bebas dapat menyebabkan gangguan genetik dan
menghasilkan produk-produk limbah yang menumpuk di dalam

63
inti dan sitoplasma. Ketika radikal bebas menyerang molekul, akan
terjadi kerusakan membran sel; penuaan diperkirakan karena

kerusakan sel akumulatif yang pada akhirnya mengganggu fungsi.2


Dukungan untuk teori radikal bebas ditemukan dalam
lipofusin, bahan limbah berpigmen yang kaya lemak dan
protein. Peran lipofusin pada penuaan mungkin kemampuannya untuk
mengganggu transportasi sel dan replikasi DNA. Lipofusin, yang
menyebabkan bintik-bintik penuaan, adalah dengan produk oksidasi

dan oleh karena itu tampaknya terkait dengan radikal bebas.2

1.1.7. Teori Neuroendokrin


Teori neuroendokrin merupakan teori yang mencoba menjelaskan
tentang terjadinya proses penuaan melalui hormon. Penuaan terjadi
karena adanya keterlambatan dalam sekresi hormon tertentu sehingga

berakibat pada sistem saraf.1


Hormon dalam tubuh berperan dalam mengorganisasi
organ-organ tubuh melaksanakan tugasnya dam
menyeimbangkan fungsi tubuh apabila terjadi gangguan dalam tubuh.
Pengeluaran hormon diatur oleh hipotalamus dan
hipotalamus juga merespon tingkat hormon tubuh sebagai
panduan untuk aktivitas hormonal. Pada lansia, hipotalamus
kehilangan kemampuan dalam pengaturan dan sebagai reseptor yang
mendeteksi hormon individu menjadi kurang sensitif. Oleh karena
itu, pada lansia banyak hormon yang tidak dapat
dapat disekresi dan mengalami penurunan keefektivitasan.2
Penerunan kemampuan hipotalamus dikaitkan dengan
hormon kortisol. Kortisol dihasilkan dari kelenjar adrenal
(terletak di ginjal) dan kortisol bertanggung jawab untuk stres.

64
Hal ini dikenal sebagai salah satu dari beberapa hormon yang
meningkat dengan usia. Jika kerusakan kortisol hipotalamus, maka
seiring waktu hipotalamus akan mengalami kerusakan. Kerusakan
ini kemudian dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hormon sebagai hipotalamus kehilangan
kemampuan untuk mengendalikan sistem.4

1.1.8. Teori Organ Tubuh (Single Organ Theory)


Teori penuaan organ tunggal dilihat sebagai kegagalan
penyakit yang berhubungan dengan suatu organ tubuh vital. orang
meninggal karena penyakit atau keausan, menyebabkan bagian
penting dari tubuh berhenti fungsi sedangkan sisanya tubuh masih
mampu hidup. Teori ini berasumsi bahwa jika tidak ada penyakit
dan tidak ada kecelakaan, kematian tidak
akan terjadi.2,5

1.1.9. Teori Umur Panjang dan Penuaan (Longevity and


Senescence Theories)
Palmore (1987) mengemukakan dari beberapa hasil studi,
terdapat faktor-faktor tambahan berikut yang dianggap
berkontribusi untuk umur panjang: tertawa; ambisi rendah, rutin
setiap hari, percaya pada Tuhan; hubungan keluarga baik, kebebasan
dan kemerdekaan; terorganisir, perilaku yang
memiliki tujuan, dan pandangan hidup positif.2
Wacana yang timbul dari teori ini adalah sindrom penuaan
merupakan sesuatu yang universal, progresif, dan berakhir

dengan kematian.5

1.1.10. Teori Harapan Hidup Aktif dan Kesehatan Fungsional


Penyedia layanan kesehatan juga tertarik dalam masalah ini karena
kualitas hidup tergantung secara signifikan berkaitan

65
dengan tingkat fungsi. pendekatan fungsional perawatan pada lansis
menekankan pada hubungan yang kompleks antara biologis,
sosial, dan psikologis yang mempengaruhi

kemampuan fungsional seseorang dan kesejahteraannya.2

1.1.11. Teori Medis (Medical Theories)


Teori medis geriatri mencoba menjelaskan bagaimana
perubahan biologis yang berhubungan dengan proses penuaan
mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh manusia. Biogerontologi
merupakan subspesialisasi terbaru yang bertujuan menentukan
hubungan antara penyakit tertentu dan proses penuaan. Metode
penelitian yang lebih canggih telah digunakan dan banyak data telah
dikumpulkan dari subjek sehat dalam studi longitudinal, beberapa
kesimpulan menarik dari penelitian tiap bagian
berbeda.2

1.2. Teori Sosiologi


Teori sosiologi merupakan teori yang berhubungan dengan status
hubungan sosial. Teori ini cenderung dipengaruhi oleh dampak dari
luar tubuh.

1.2.1. Teori Kepribadian


Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan
psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia.
Teori pengembangan kepribadian yang dikembangkan oleh Jung
menyebutkan bahwa terdapat dua tipe kepribadian yaitu introvert
dan ekstrovert. Lansia akan cenderung menjadi introvert kerenan
penurunan tanggungjawab dan tuntutan dari
keluarga dan ikatan sosial.1

66
1.2.2. Teori Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan merupakan aktivitas dan tantangan yang
harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam
hidupnya untuk mencapai penuaan yang sukses.pada kondisi tidak
danya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan
yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk memiliki rasa

penyeselan atau putus asa.1

1.2.3. Teori Disengagement (Penarikan Diri)


Teori ini menggambarkan penarikan diri ole lansia dari peran
masyarakat dan tanggung jawabnya. Lansia akan
dikatakan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan
tanggungjawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda.
Manfaat dari pengurangan kontak sosial bagi lansia adalah agar dapat
menyediakan eaktu untuk mengrefleksi kembali
pencapaian yang telah dialami dan untuk menghadapi harapan
yang belum dicapai.1,2

1.2.4. Teori Aktivitas


Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju
penuaan yang sukses maka ia harus tetap
beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang penuh
arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya adalah suatu
komponen kesejahteraan yang penting bagi lansia. Penelitian
menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran lansia secara negatif
mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik
yang berkesinambungan akan memelihara
kesehatan sepanjang kehidupan.1

67
1.2.5. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai
kemungkinan kelanjutan dari perilaku yang sering dilakukan klien
pada usia dewasa. Perilaku hidup yang membahayakan kesehatan
dapat berlangsung hingga usia lanjut dan akan semakin
menurunkan kualitas hidup.

1.2.6. Teori Subkultur


Lansia, sebagai suatu kelompok, memiliki norma mereka
sendiri, harapan, keyakinan, dan kebiasaan; karena itu, mereka telah
memiliki subkultur mereka sendiri. Teori ini juga menyatakan
bahwa orang tua kurang terintegrasi secara baik dalam masyarakat
yang lebih luas dan berinteraksi lebih baik di antara lansia lainnya
bila dibandingkan dengan orang dari kelompok usia berbeda.
Salah satu hasil dari subkultur usia akan menjadi pengembangan
"kesadaran kelompok umur" yang akan berfungsi untuk
meningkatkan citra diri orang tua dan
mengubah definisi budaya negatif dari penuaan.2

1.3. Teori Psikologis


Teori psikologis merupakan teori yang luas dalam berbagai lingkup
karena penuaan psikologis dipengaruhi oleh faktor biologis dan sosial,
dan juga melibatkan penggunaan kapasitas adaptif untuk
melaksanakan kontrol perilaku atau regulasi diri.

1.3.1. Teori Kebutuhan Manusia


Banyak teori psikologis yang memberi konsep motivasi dan
kebutuhan manusia. Teori Maslow merupakan salah satu contoh
yang diberikan pada lansia. Setiap manusia yang berada pada level
pertama akan mengambil prioritas untuk mencapai

68
level yang lebih tinggi; aktualisasi diri akan terjadi apabila
seseorang dengan yang lebih rendah tingkat kebutuhannya
terpenuhi untuk beberapa derajat, maka ia akan terus bergerak
di antara tingkat, dan mereka selalu berusaha menuju tingkat yang

lebih tinggi.2

1.3.2. Teori Keberlangsungan Hidup dan Perkembangan


Kepribadian
Teori keberlangsungan hidup menjelaskan beberapa
perkembangan melalui berbagai tahapan dan menyarankan bahwa
progresi sukses terkait dengan cara meraih kesuksesan
di tahap sebelumnya. ada empat pola dasar kepribadian lansia:
terpadu, keras-membela, pasif-dependen, dan tidak terintegrasi

(Neugarten et al.). 2
Teori yang dikemukakan Erik Erikson tentang delapan tahap
hidup telah digunakan secara luas dalam kaitannya dengan
lansia. Ia mendefinisikan tahap-tahap kehidupan
sebagai kepercayaan vs ketidakpercayaan, otonomi vs rasa malu
dan keraguan, inisiatif vs rasa bersalah, industri vs rendah diri,
identitas vs difusi mengidentifikasi, keintiman vs
penyerapan diri, generativitas vs stagnasi, dan integritas ego vs putus
asa. Masing-masing pada tahap ini menyajikan orang dengan
kecenderungan yang saling bertentangan dan harus seimbang
sebelum dapat berhasil dari tahap itu. Seperti dalam teori
keberlangsungan hidup lain, satu tahapan menentukan
langkah menuju tahapan selanjutnya.2

1.3.3. Recent and Evolving Theories


Teori kepribadian genetik berupaya menjelaskan mengapa
beberapa lansia lebih baik dibandingkan lainnya.; hal ini tidak
berfokus pada perbedaan dari kedua kelompok tersebut.

69
Meskipun didasarkan pada bukti empiris yang terbatas, teori ini merupakan
upaya yang menjanjikan untuk mengintegrasikan dan mengembangkan
lebih lanjut beberapa teori psikologi tradisional dan baru bagi lansia.
Tema dasar dari teori ini adalah perilaku bifurkasi atau percabangan
dari seseorang di berbagai aspek seperti biologis, sosial, atau tingkat
fungsi psikososial. Menurut teori ini, penuaan didefinisikan sebagai
rangkaian transformasi terhadap meningkatnya gangguan dan ketertiban
dalam bentuk, pola, atau struktur.

II.4 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

FORMAT PENGKAJIAN LANSIA


ADAPTASI TEORI MODEL CAROL A MILLER

Nama wisma : Tanggal Pengkajian :

1. IDENTITAS :
KLIEN
Nama : Tn. Y
Umur : 78 tahun
Agama : Islam
Alamat asal : Ciracas
Tanggal datang : 28 April 2019 Lama Tinggal di Panti : -
2. DATA :
KELUARGA
Nama : Ny. S
Hubungan : Anak
Pekerjaan :
Alamat : Ciracas Telp : 0813 1894 0440
3. STATUS KESEHATAN SEKARANG :
Keluhan utama:
Lansia tidak mampu mengontrol BAK. Lansia mengeluh merasakan nyeri di beberapa bagian
tubuhnya karena ada bekas lebam.
70
Pengetahuan, usaha yang dilakukan untuk mengatasi keluhan:
Penggunaan popok lansia.
Memberikan kompres pada bagian tubuh yang lebam

Obat-obatan: -

4. AGE RELATED CHANGES (PERUBAHAN TERKAIT PROSES MENUA) :

FUNGSI FISIOLOGIS

1. Kondisi Umum
Ya Tidak
Kelelahan :
Perubahan BB :
Perubahan nafsu :
makan
Masalah tidur :
Kemampuan ADL :
KETERANGAN : ......................................................................................................
......................................................................................................

2. Integumen
Ya Tidak
Lesi / luka : Ya
Pruritus :
Perubahan :
pigmen
Memar : Ya
Pola :
penyembuhan lesi
KETERANGAN : ..........................................................................................................
..........................................................................................................

3. Hematopoetic
Ya Tidak
Perdarahan : Tidak
abnormal
Pembengkakan : Tidak
kel. Limfe

71
Anemia : Ya
KETERANGAN : .....................................................................................................

4. Kepala
Ya Tidak
Sakit kepala : Tidak
Pusing : Ya
Gatal pada kulit : Ya
kepala
KETERANGAN : ............................................................................................................................
............................................................................................................................

5. Mata
Ya Tidak
Perubahan : Ya
penglihatan
Pakai kacamata : Tidak
Kekeringan mata : Ya
Nyeri : Tidak
Gatal : Tidak
Photobobia : Tidak
Diplopia : Tidak
Riwayat infeksi : Tidak
KETERANGAN : .........................................................................................................................
.........................................................................................................................

6. Telinga
Ya Tidak
Penurunan pendengaran : Ya
Discharge : Tidak
Tinitus : Tidak
Vertigo : Tidak
Alat bantu dengar : Tidak
Riwayat infeksi : Tidak
Kebiasaan membersihkan : Tidak
telinga

72
Dampak pada ADL : ..........................................................................................
KETERANGAN : ..........................................................................................
..........................................................................................

7. Hidung sinus
Ya Tidak
Rhinorrhea : Tidak
Discharge : Tidak
Epistaksis : Tidak
Obstruksi : Tidak
Snoring : Tidak
Alergi : Tidak
Riwayat infeksi :
KETERANGAN : ...................................................................................................................
...................................................................................................................

8. Mulut,
tenggorokan
Ya Tidak
Nyeri telan : Tidak
Kesulitan menelan : Tidak
Lesi : Tidak
Perdarahan gusi : Ya
Caries : Ya
Perubahan rasa : Tidak
Gigi palsu : Tidak
Riwayat Infeksi :
Pola sikat gigi : Lansia jarang sikat gigi
KETERANGAN : ........................................................................................................
........................................................................................................

9. Leher
Ya Tidak
Kekakuan : Tidak
Nyeri tekan : Ya
Massa : Tidak
KETERANGAN : .........................................................................................................................
.........................................................................................................................

73
10. Pernafasan
Ya Tidak
Batuk : Ya
Nafas pendek : Ya
Hemoptisis : Tidak
Wheezing : Tidak
Asma : Tidak
KETERANGAN : ...................................................................................................................
...................................................................................................................

11. Kardiovaskuler
Ya Tidak
Chest pain : Tidak
Palpitasi : Tidak
Dipsnoe : Tidak
Paroximal : Tidak
nocturnal
Orthopnea : Tidak
Murmur : Tidak
Edema : Tidak
KETERANGAN : ...............................................................................................................
...............................................................................................................

12. Gastrointestinal
Ya Tidak
Disphagia : Tidak
Nausea / : Tidak
vomiting
Hemateemesis : Tidak
Perubahan nafsu : Ya
makan
Massa : Tidak
Jaundice : Tidak
Perubahan pola : Ya
BAB
Melena : Tidak
Hemorrhoid : Tidak
Pola BAB : ...........................................................................................................

74
KETERANGAN : ...........................................................................................................
...........................................................................................................

13. Perkemihan
Ya Tidak
Dysuria : Tidak
Frekuensi : .......................................................................................................
Hesitancy : Ya
Urgency : Ya
Hematuria : Tidak
Poliuria : Ya
Oliguria : Tidak
Nocturia : Ya
Inkontinensia : Ya
Nyeri berkemih : Tidak
Pola BAK : ...........................................................................................................
KETERANGAN : ...........................................................................................................
...........................................................................................................

14. Reproduksi (laki-


laki)
Ya Tidak
Lesi : Tidak
Disharge : Tidak
Testiculer pain : Tidak
Testiculer massa : Tidak
Perubahan gairah : Tidak
sex
Impotensi : Tidak

Reproduksi
(perempuan)
Lesi :
Discharge :
Postcoital bleeding :
Nyeri pelvis :
75
Prolap :
Riwayat menstruasi : ..............................................................................................
Aktifitas seksual :
Pap smear :
KETERANGAN : ...........................................................................................................
...........................................................................................................

15. Muskuloskeletal
Ya Tidak
Nyeri Sendi : Ya
Bengkak : Ya
Kaku sendi : Ya
Deformitas : Tidak
Spasme : Tidak
Kram : Tidak
Kelemahan otot : Ya
Masalah gaya : Ya
berjalan
Nyeri punggung : Ya
Pola latihan : ............................................................................................
Dampak ADL : ..................................................................................................
KETERANGAN : ...........................................................................................................
...........................................................................................................

16. Persyarafan
Ya Tidak
Headache : Tidak
Seizures : Tidak
Syncope : Tidak
Tic/tremor : Tidak
Paralysis : Tidak
Paresis : Ya
Masalah memori : Ya
KETERANGAN : ...........................................................................................................
...........................................................................................................

5. POTENSI PERTUMBUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL :


Psikososial YA Tidak
76
Cemas : Ya
Depresi : Tidak
Ketakutan : Ya
Insomnia : Ya
Kesulitan dalam mengambil : Ya
keputusan
Kesulitan konsentrasi : Ya
Mekanisme koping : Lansia berdiam diri

Persepsi tentang kematian : Menurut lansia, kematian pasti akan dating kapan saja.
Apalagi dirinya sudah tua, pasti akan sebentar lagi.

Dampak pada ADL : Lansia tidak memiliki motivasi untuk bergerak dan
berakivitas.

Spiritual
 Aktivitas ibadah : Lansia jarang melaksanakan ibadah
 Hambatan : Saat waktu ibadah tiba, lansia sedang mengemis. Selain
itu lansia juga merasa lemas
KETERANGAN : Semenjak memasuki masa lansia, lansia jarang melakukan
ibadah karena mengemis dan terlalu lelah.

6. LINGKUNGAN :

 Kamar : Lansia tidak memiliki kamar sendiri

 Kamar mandi : Kamar mandi kurang bersih

 Dalam rumah/
wisma : ................................................................................................

 Luar rumah : Luar rumah kumuh

7. NEGATIVE FUNCTIONAL CONSEQUENCES

1. Kemampuan ADL
77
Tingkat kemandirian dalam kehidupan sehari-hari (Indeks Barthel)
No Kriteria Dengan Mandiri Skor
Bantuan Yang
Didapat
1 Makan 5 10 10
2 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur, atau 5-10 15 10
sebaliknya
3 Personal toilet (cuci muka, menyisir rambut, gosok 0 5 3
gigi)
4 Keluar masuk toilet (mencuci pakaian, menyeka 5 10 5
tubuh, menyiram)
5 Mandi 0 5 0
6 Berjalan di permukaan datar (jika tidak bisa, dengan 0 5 5
kursi roda )
7 Naik turun tangga 5 10 10
8 Mengenakan pakaian 5 10 5
9 Kontrol bowel (BAB) 5 10 10
10 Kontrol Bladder (BAK) 5 10 5

2. Aspek Kognitif

MMSE (Mini Mental Status Exam)

N Aspek Nilai Nilai Kriteria


o Kognitif maksima Klie
l n
1 Orientasi 5 Menyebutkan dengan benar :
Tahun : 2019 Hari :
Musim : ............................ Bulan :
.............................................
Tanggal :
2 Orientasi 5 Dimana sekarang kita berada ?
Negara: …………………… Panti :
………………………………..
Propinsi: ………………….. Wisma :
……………………………..
Kabupaten/kota :
…………………………………………………
….
3 Registrasi 3 Sebutkan 3 nama obyek (misal : kursi, meja,
kertas), kemudian ditanyakan kepada klien,
menjawab :
78
1) Kursi 2). Meja 3). Kertas
4 Perhatiandankalkula 5 Meminta klien berhitung mulai dari 100
si kemudia kurangi 7 sampai 5 tingkat.
Jawaban :
1). 93 2). 86 3). 79 4). 72 5).
65
5 Mengingat 3 Minta klien untuk mengulangi ketiga obyek
pada poin ke- 2 (tiap poin nilai 1)
6 Bahasa 9 Menanyakan pada klien tentang benda (sambil
menunjukan benda tersebut).
1). ...................................
2). ...................................
3). Minta klien untuk mengulangi kata berikut :
“ tidak ada, dan, jika, atau tetapi )
Klien menjawab :

Minta klien untuk mengikuti perintah berikut


yang terdiri 3 langkah.
4). Ambil kertas ditangan anda
5). Lipat dua
6). Taruh dilantai.
Perintahkan pada klien untuk hal berikut (bila
aktifitas sesuai perintah nilai satu poin.
7). “Tutup mata anda”
8). Perintahkan kepada klien untuk menulis
kalimat dan
9). Menyalin gambar 2 segi lima yang saling
bertumpuk

Total nilai 30
Interpretasi hasil :
24 – 30 : tidak ada gangguan kognitif
18 – 23 : gangguan kognitif sedang
0 - 17 : gangguan kognitif berat
Kesimpulan :…………………………………………………………………………………..

3. Tes Keseimbangan
Time Up Go Test
No Tanggal Pemeriksaan Hasil TUG (detik)

79
Rata-rata Waktu TUG

Interpretasi hasil

Interpretasi hasil:
Apabila hasil pemeriksaan TUG menunjukan hasil berikut:
>13,5 detik Resiko tinggi jatuh

>24 detik Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu


6 bulan

>30 detik Diperkirakan membutuhkan bantuan


dalam mobilisasi dan melakukan ADL

(Bohannon: 2006; Shumway-Cook,Brauer & Woolacott: 2000; Kristensen, Foss &


Kehlet: 2007: Podsiadlo & Richardson:1991)
4. Kecemasan, GDS
Pengkajian Depresi
Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tdk Hasil
1. Anda puas dengan kehidupan anda saat ini 0 1 1
2. Anda merasa bosan dengan berbagai aktifitas dan kesenangan 1 0 1
3. Anda merasa bahwa hidup anda hampa / kosong 1 0 1
4. Anda sering merasa bosan 1 0 1
5. Anda memiliki motivasi yang baik sepanjang waktu 0 1 1
8. Anda takut ada sesuatu yang buruk terjadi pada anda 1 0 1
7. Anda lebih merasa bahagia di sepanjang waktu 0 1 1
8. Anda sering merasakan butuh bantuan 1 0 1
9. Anda lebih senang tinggal dirumah daripada keluar melakukan 1 0 1
sesuatu hal
10. Anda merasa memiliki banyak masalah dengan ingatan anda 1 0 0
11. Anda menemukan bahwa hidup ini sangat luar biasa 0 1 1
12. Anda tidak tertarik dengan jalan hidup anda 1 0 1
13. Anda merasa diri anda sangat energik / bersemangat 0 1 1
14. Anda merasa tidak punya harapan 1 0 1
15. Anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari diri anda 1 0 1
Jumlah

80
(Geriatric Depressoion Scale (Short Form) dari Yesafage (1983) dalam Gerontological
Nursing, 2006)
Interpretasi :
Jika Diperoleh skore 5 atau lebih, maka diindikasikan depresi

5. Status Nutrisi

Pengkajian determinan nutrisi pada lansia:

No Indikators score Pemeriksaan


1. Menderita sakit atau kondisi yang mengakibatkan perubahan 2 -
jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi
2. Makan kurang dari 2 kali dalam sehari 3 3
3. Makan sedikit buah, sayur atau olahan susu 2 2
4. Mempunyai tiga atau lebih kebiasaan minum minuman 2 -
beralkohol setiap harinya
5. Mempunyai masalah dengan mulut atau giginya sehingga tidak 2 2
dapat makan makanan yang keras
6. Tidak selalu mempunyai cukup uang untuk membeli makanan 4 4
7. Lebih sering makan sendirian 1 1
8. Mempunyai keharusan menjalankan terapi minum obat 3 kali 1 -
atau lebih setiap harinya
9. Mengalami penurunan berat badan 5 Kg dalam enam bulan 2 2
terakhir
10. Tidak selalu mempunyai kemampuan fisik yang cukup untuk 2 2
belanja, memasak atau makan sendiri
Total score 16
(American Dietetic Association and National Council on the Aging, dalam Introductory
Gerontological Nursing, 2001)
Interpretasi:
0 – 2 : Good
3 – 5 : Moderate nutritional risk
6≥ : High nutritional risk
(Yang di centang aja yang dijumlah)
6. Hasil pemeriksaan Diagnostik
No Jenis pemeriksaan Tanggal Hasil
Diagnostik Pemeriksaan

81
7. Fungsi sosial lansia

APGAR KELUARGA DENGAN LANSIA


Alat Skrining yang dapat digunakan untuk mengkaji fungsi sosial lansia

NO URAIAN FUNGSI SKORE


1. Saya puas bahwa saya dapat kembali pada keluarga (teman- ADAPTATION 1
teman) saya untuk membantu pada waktu sesuatu
menyusahkan saya
2. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman)saya PARTNERSHI 0
membicarakan sesuatu dengan saya dan mengungkapkan P
masalah dengan saya
3. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya GROWTH 0
menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan
aktivitas / arah baru
4. Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya AFFECTION 0
mengekspresikan afek dan berespon terhadap emosi-emosi
saya seperti marah, sedih/mencintai
5. Saya puas dengan cara teman-teman saya dan saya RESOLVE 1
meneyediakan waktu bersama-sama
Kategori Skor: TOTAL 2
Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab:
1). Selalu : skore 2 2). Kadang-kadang : 1
3). Hampir tidak pernah : skore 0
Intepretasi:
< 3 = Disfungsi berat
4 - 6 = Disfungsi sedang
> 6 = Fungsi baik
Smilkstein, 1978 dalam Gerontologic Nursing and health aging 2005
82
Analisa Data

83
DATA MASALAH
DS: Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
 Lansia mengatakan hanya diberikan makan 1
kali sehari dengan lauk pauk telur dan tempe dan
nasi ½ porsi setiap hari
 Lansia juga mengatakan sering mengalami nyeri
di gusinya yang meyebabkannya nafsu makan
 lansia tidak mampu mengunyah makanan yang
keras, sehingga harus memakan makanan yang
lunak
 Lansia mengatakan sering merasakan tidak enak
pada perutnya.
DO:
 Lansia terlihat pucat dan lemah. Hasil
pemeriksaan TTV : TD : 90/70, S : 37,0, RR : 19
x/mnt, BB/TB : 40kg/160cm.
 Gigi lansia yang sudah tidak lengkap
 Membran mukosa pucat

DS: Inkontinensia Urine


 Lansia mengatakan tidak berasa ingin BAK,
tiba-tiba ada urine yang rembes (palpasi vesika
urinaria: distensi (-))
 Lansia mengatakan jika bangkit dari duduk ke
posisi berdiri atau batuk urine sering keluar
sehingga pakaiannya basah
 Lansia sering BAK pada malam hari sehingga
sering dimarahi oleh keluarganya

DO:
.
 Care giver mengatakan air BAK yang
dikeluarkan banyak
 Saat Care giver memberikan tekanan pada intra
abdomen urine pasien menetes keluar.
 Care giver sering membantu lansia mengganti
celana yang disebabkan rembesnya urine

DS: Defisit Perawatan Diri: Mandi


 Lansia mengatakan sudah berhari-hari tidak
mandi
 Lansia mengatakan tidak dapat membersihkan
diri sendiri
 Lansia mengatakan sering dimarahi keluarga
karena bau Pesing

DO:
 Lansia tampak lusuh dan kotor, rambut dan
jambang panjang.
84
 Gigi lansia tampak kuning dan terlihat ada karies
gigi
 Kuku lansia terlihat panjang dan sangat kotor
Diagnosa Keperawatan
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada lansia di PSTW Ciracas.
2. Inkontinensia urine pada lansia di PSTW Ciracas.
3. Defisit perawatan diri: mandi pada lansia di PSTW Ciracas.

85
Rencana Keperawatan
Diagnosa
No. Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Nutrisi : Tujuan umum: 1. Manajemen nutrisi
Ketidakseimbangan, Setelah dilakukan kunjungan  Menentukan status gizi
kurang dari kebutuhan keluarga diharapkan mampu pasien dan kemampuan
tubuh pada lansia di memenuhi kebutuhan nutrisi. pasien memenuhi
PSTW Ciracas kebutuhan gizi (197)
Tujuan khusus:  Menawarkan makanan
1. Status nutrisi ringan yang padat gizi
 Asupan gizi dipertahankan (197)
pada tingkat banyak  Menentukan apa yang
menyimpang dari rentang menjadi preferensi
normal (2) dan ditingkatkan makanan bagi klien.
ke tingkat sedikit (197)
menyimpang (4) (551)  Memberikan pilihan
 Asupan makanan makanan sambil
dipertahankan pada tingkat menawarkan bimbingan
banyak menyimpang dari terhadap pilihan
rentang normal (2) dan makanan yang lebih
ditingkatkan ke tingkat sehat, jika diperlukan
sedikit menyimpang (4) (197)
(551)
 Rasio berat badan/ Tinggi 2. Manajemen gangguan
badan dipertahankan pada makan
tingkat banyak menyimpang  Batasi aktivitas fisik
dari rentang normal (2) ke sesuai kebutuhan untuk
tingkat sedikit menyimpang meningkatkan berat
(4) (551) badan. (179)
 Memonitor berat badan
2. Tingkat Nyeri klien secara rutin. (179)
 Kehilangan nafsu makan  Mengajarkan dan
dipertahankan pada tingkat mendukung konsep
cukup berat (2) dan
86
ditingkatkan ke ringan (4) nutrisi yang baik dengan
(577) klien (179)
 Intoleransi makanan  Memonitor asupan
dipertahankan pada tingkat kalori makanan harian
sedang (3) dan ditingkatkan (179)
ke ringan (4) (577)  Bangun harapan terkait
 Nyeri yang dilaporkan dengan perilaku makan
dipertahankan pada tingkat yang baik,intake/asupan
cukup berat (2) dan makanan/cairan dan
ditingkatkan ke ringan (4) jumlah aktivitas fisik.
(577) (179)

3. Nafsu makan 3. Bantuan peningkatan


 Keinginan untuk makan Berat Badan
dipertahankan pada tingkat  Monitor asupan kalori
cukup terganggu (3) dan setiap hari. (78)
ditingkatkan ke sedikit  Membantu klien untuk
terganggu (4) (319) makan atau disuapi
 Intake makanan makan. (78)
dipertahankan pada tingkat  Mendiskusikan denagn
banyak terganggu (2) dan klien dan keluarga
ditingkatkan ke tingkat mengenai prsepsi atau
sedikit terganggu (4) (320) factor penghambat
 Merasakan makanan kemampuan atau
dipertahankan pada tingkat keinginan untuk makan.
banyak terganggu (2) dan (78)
ditingkatkan ke tingkat  Mengajarkan pasien dan
cukup terganggu (3) (319) keluarga bagaimana
cara membeli makanan
murah tetapi bergizi
tinggi.(78)

2. Inkontinensia Urine Setelah dilakukan tindakan NIC: Perawatan


pada lansia laki-laki keperawatan selama 3x24 jam Inkontinensia Urin

87
di PSTW Ciracas. diharapkan klien dapat (Hal : 362, kode : 0610)
memperbaiki pola berkemih. 1. Identifikasi faktor
Dengan kriteria hasil : penyebab
NOC: Kontinensia Urin inkontinensia pada
(Hal.236, Kode : 0502) pasien
1. Mengenali keinginan (misalnya output
berkemih dipertahankan urine, pola berkemih,
pada sangat terganggu di fungsi kognitif,
tingkatkan ke sedikit masalah perkemihan)
terganggu (1-5) 2. Jelaskan penyebab
2. Menjaga pola berkemih terjadinya
yang teratur inkontinensia
dipertahankan pada 3. Monitor eliminasi
sangat terganggu di urine, meliputi
tingkatkan ke sedikit frekuensi,
terganggu (1-4) konsistensi, bau,
3. Berkemih pada tempat volume, dan warna
yang tepat dipertahankan urine
pada sangat terganggu di 4. Sediakan popok kain
tingkatkan ke tidak yang nyaman dan
terganggu (1-5) melindungi
4. Klien mampu menuju 5. Modifikasi
toilet diantara waktu ingin Pakaian dan
berkemih dipertahankan lingkungan untuk
pada sangat terganggu di mempermudah akses
tingkatkan ke tidak toilet
terganggu (1-5) 6. Bersihkan kulit
5. Tidak terdapat urine yang sekitar area genetalia
merembes ketika seacara teratur
berkemih dipertahankan
pada sangat terganggu di
NIC : Latihan Kandung
tingkatkan ke tidak
Kemih
terganggu (1-5)
( Hal : 139, Kode : 0570)

88
1. Pertimbangkan
NOC : Eliminasi Urin kemampuan untuk
(Hal.85, kode : 0503) mengenali dorongan
1. Inkontinensia urin pengosongan
dipertahankan pada kandung kemih.
sangat terganggu di 2. Bantu pasien
tingkatkan ke sedikit mengidentifikasi pola
terganggu (1-4) inkontinensia
2. Mengenali keinginan 3. Tetapkan jadwal
berkemih dipertahankan interval berkemih
pada sangat terganggu di berdasarkan pola
tingkatkan ke tidak berkemih
terganggu (1-5) 4. Ajarkan secara sadar
3. Mengosongkan kantung pada pasien menahan
kemih sepenuhnya urin sampai saat
dipertahankan pada buang hajat yang
sangat terganggu di dijadwalkan
tingkatkan ke sedikit 5. Tunjukan
terganggu (1-4) kepercayaan bahwa
inkontinensia dapat
ditingkatkan

NIC : Bantuan Perawatan


Diri : Eliminasi
(Hal : 80, Kode : 1804)
1. Pertimbangkan usia
saat mempromosikan
aktivitas perawatan
diri
2. Buatlah jadwal
aktivitas terkait
eliminasi
3. Bantu pasien ke toilet

89
atau tempat lain
untuk eliminasi pada
interval waktu
tertentu
4. Beri privasi selama
eliminasi
5. Siram
toilet/bersihkan alat-
alat untuk eliminasi
(kursi toilet, pispot)
6. monitor integritas
kulit pasien

3. Defisit perawatan diri: Setelah dilakukan tindakan 1. Perawatan Rambut


mandi pada lansia di keperawatan selama 3x24 jam dan Kulit Kepala (385)
PSTW Ciracas diharapkan klien dapat  Monitor kondisi
melakukan perawatan diri dengan rambut dan kulit
kriteria hasil: kepala, termasuk
1. Perawatan Diri: Mandi kelainan-kelainannya.
(441)  Siapkan peralatan
 Mandi dengan bersiram untuk membersihkan
mempertahankan pada rambut.
sangat terganggu,  Bantu pasien berada
ditingkatkan ke sedikit pada posisi yang
terganggu (1-4) nyaman.
 Mencuci wajah  Cuci dan kondisikan
mempertahankan pada rambut, memijatkan
banyak terganggu, sampo dan
ditingkatkan ke tidak kondisioner ke kulit
terganggu (2-5) kepala dan rambut.
 Mencuci badan bagian  Atur janji dengan
atas mempertahankan tukang cukur atau
pada sangat terganggu, penata rambut untuk
ditingkatkan ke sedikit memotong rambut.

90
terganggu (1-4)  Siapkan perlengkapan
 Mencuci badan bagian mencukur yang aman.
bawah mempertahankan
pada sangat terganggu, 2. Perawatan Kuku (370)
ditingkatkan ke sedikit  Monitor atau bantu
terganggu (1-4) membersihkan kuku
 Membersihkan area sesuai dengan
perineum kemampuan perawatan
mempertahankan pada diri individu.
banyak tergangu,  Rendam kuku dalam
ditingkatkan pada sedikit air hangat, bersihkan
terganggu (2-4) bagian bawah kuku
dengan orange stik dan
2. Perawatan Diri: dorong kutikula
Kebersihan (438) dengan gunting
 Mempertahankan kutikula.
kebersihan mulut  Monitor perubahan
dipertahankan pada kuku.
sangat terganggu,
ditingkatkan ke sedikit 3. Pemeliharaan
terganggu (1-4) Kesehatan Mulut (264)
 Mengeramas rambut  Monitor gigi meliputi
mempertahankan pada warna, kebersihan dan
sangat terganggu, ada tidaknya debris.
ditingkatkan ke sedikit  Intruksikan dan bantu
terganggu (1-4) pasien untuk
 Menyisir rambut membersihkan mulut
mempertahankan pada setelah makan dan
banyak terganggu, sesering mungkin,
ditingkatkan ke sedikit sesuai dengan
terganggu (2-4) kebutuhan.
 Mencukur rambut  Susun jadwal
mempertahankan pada pemeriksaan gigi
sangat terganggu, sesuai dengan
91
ditingkatkan ke sedikit kebutuhan.
terganggu (1-4)
 Mempertahankan 4. Bantuan Perawatan
penampilan yang rapi Diri: Mandi/Kebersihan
dipertahankan pada (82)
banyak terganggu,  Tentukan jumlah dan
ditingkatkan ke sedikit tipe terkait dengan
terganggu (2-4) bantuan yang
 Mempertahankan diperlukan.
kebersihan diri  Meletakkan handuk,
mempertahankan pada sabun, deodorant, alat
sangat terganggu, bercukur, dan asesoris
ditingkatkan ke sedikit lain yang diperlukan di
terganggu (1-4) kamar mandi.
 Fasilitasi pasien untuk
menggosok gigi
dengan tepat.
 Fasilitasi pasien untuk
mandi sendiri dengan
tepat.
 Memonitor integritas
kulit klien.
 Berikan bantuan
sampai pasien benar-
benar mampu merawat
diri secara mandiri.

92
BAB III

PENUTUP

III. 1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas penulis menyimpulkan bahwa Kekerasan


terhadap orang lansia bisa terjadi dalam bentuk fisik, verbal, diabaikan secara emosional
(psikologis), dan juga dimanfaatkan. Banyak korban adalah mereka yang sudah rapuh
dan hidup mereka tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka

Pelecehan terhadap orang lansia juga bisa dalam bentuk eksploitasi


keuangan dalam pengertian menggunakan sumber daya dari orangtua (biasanya
dilakukan oleh pasangan dewasa yang tidak mempunyai pekerjaan dan hanya bisa
meminta dari orangtua).

Perlu kita ketahui, kebanyakan korban mengalami lebih dari satu jenis perlakuan
kekerasan. Beberapa korban mengalami rasa malu, takut, malu, kecemasan,
kebingungan, penarikan, dan depresi. Mereka menutup diri dan sulit untuk berinteraksi
dengan orang lain.

III. 2 Saran

Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman sesama mahasiswa. Dan lebih
memperhatikan masalah-masalah dalam keluarga.

93
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta. EGC

Hadisuyatmana, Ruli. 2016. Poverty and Lack of Knowledge Cause Negligence of Female
Elders Living in Extended Families. Jurnal Ners: Vol. 11 No. 2.
Kristen L. Mauk. 2013. Gerontological Nursing Competencies For Care. Jones & Bartlett
Learning

Madina, Noto. 2016. Salah Perlakuan terhadap Orang Tua: Faktor Risiko dan Tatalaksana.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia: Vol. 3, No.1.
Mardiyah, Lailatul. 2018 Kekerasan pada Lansia dalam Keluarga di Wilayah Binaan Puskesmas
Padang Bulan Kecamatan Medan Baru. Universitas Sumatera Utara.
Mauk, K, L. (2013). Gerontological nursing competencies for care, 3rd edition. USA: Jones &
Bartlett.
Miller, A Carol. 2012. Nursing for Wellness in older Adults. 6th ed. Wolters Kluwer : Lippicott

Williams & Wikins

https://www.nursinghomeabusecenter.com/elder-abuse/types/

Anda mungkin juga menyukai