Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Profesi keperawatan bersifat luwes dan mencakup segala kondisi, dimana perawat tidak
hanya terbatas pada pemberian asuhan dirumah sakit saja melainkan juga dituntut mampu
bekerja dalam kondisi siaga tanggap bencana. Situasi penanganan antara keadaan siaga dan
keadaan normal memang sangat berbeda, sehingga perawat harus mampu secara skill dan teknik
dalam menghadapi kondisi seperti ini.

Kegiatan pertolongan medis dan perawatan dalam keadaan siaga bencana dapat dilakukan
oleh proesi keperawatan. Berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki seorang perawat
bisa melakukan pertolongan siaga bencana dalam berbagai bentuk.

Dalam penulisan makalah ini akan dijelaskan pentingnya peran perawat dalam situasi tanggap
bencana, bentuk dan peran yang bisa dilakukan perawat dalam keadaan tanggap bencana.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu:
1. Bagaimana Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana?
2. Bagaimana Perawatan Terhadap Individu dan Komunitas?
3. Bagaimana Perawatan Psikososial dan Spiritual Pada Korban Bencana?
4. Bagaimana Perawatan Untuk Ppopulasi Retan?
5. Bagaimana Pemenuhan Jangka Panjang?

1.3 Tujuan Pembuatan Makalah


1. Untuk memenuhi tugas Keperawatan Bencana
2. Untuk memberitahu informasi Perawatan Kegawatdaruratan Bencana

1
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi yang berkaitan
dengan Perawatan Kegawatdaruratan Bencana. Manfaat dari penulisan makalah ini juga untuk
memberikan informasi yang berkaitan dengan keperawatan bencana.

2
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Manajemen / Pengelolaan Bencana

Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen bencana


(disaster  management) adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi.
Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami pergeseran paradigma dari
pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik (menyeluruh). Pada pendekatan
konvensial bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tidak terelakkan dan korban harus
segera mendapatkan  pertolongan,  sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal yang
bersifat bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response). Selanjutnya paradigma
manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan pengelolaan risiko yang lebih fokus
pada upaya-upaya pencegahan dan mitigasi, baik yang bersifat struktural maupun non-
struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap bencana, dan upaya membangun kesiap-
siagaan.8
Sedangkan Definisi bencana dalam buku Disaster Management – A Disaster Manager’s
Handbook adalah suatu kejadian, alam atau buatan manusia, tibatiba atau progesive, yang
menimbulkan dampak yang dasyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena
atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa.17 Menurut UU No.
24 Tahun 2007 Tentang Penggulangan Bencana Bab I Pasal 1 ayat 1, Bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Pada ayat 2,3 dan 4 bencana
dibedakan atas 3 kategori berdasarkan penyebabnya, yaitu bencana alam, bencana non alam,
dan bencana sosial.

3
Definisi manajemen yang lebih kompleks dan mencakup berbagai aspek penting
dikemukakan oleh Stoner, yakni manajemen sebagai proses perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber-
sumber daya organisasi lain agar mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan..22Manajemen dapat berarti pencapaian suatu tujuan melalui pelaksanaan fungsi-
fungsi tertentu, tetapi dalam hal ini belum ada kesamaan pendapat dari para ahli manajemen
tentang fungsi-fungsi tersebut. Sebenarnya apabila dicermati maka manajemen

mempunyai empat fungsi pokok, yaitu:fungsi perencanaan, pengorganisasian,pelaksanaan


dan fungsi pengawasan

Koordinasi (Coordination) adalah salah satu dari kegiatan yang dilaksanakan

dalam “manajemen bencana” yang dikenal dengan empat C yaitu

1) Command (komando),
2) Control (Pengendalian)
3) Coordination (Koordinasi) dan
4) Communication (komunikasi)

2.1.1 Komando adalah fungsi perintah didasarkan atas sistem hirarki suatu organisasi yang
dilakukan secara vertikal.

2.1.2 Pengendalian (controlling). Pengendalian merupakan upaya kontrol, pengawasan,


evaluasi dan monitoring terhadap SDM , organisasi, hasil kegiatan dari bagian-bagian
ataupun dari seluruh kegiatan yang ada. Manfaat dari pengendalian ini dapat
meningkatkan efisiensi danefektifitas dari sisi- sisi waktu (time), ruang (space), biaya
(cost) dan sekaligus untuk peningakatan kegiatan baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengendalian ini juga berfungsi sebagai alat untuk mengetahui bagaimana kegiatan atau
bagian dari kegiatan itu bekerja, untuk menekan kerugian sekecil mungkin dan juga
menyesuaikan dengan perubahan situasi dan kondisi normal kekondisi kritis dan atau
darurat.

4
2.1.3 Pengkoordinasian (coordinating). Koordinasi adalah upaya bagaimana mengordinasi
sumber daya manusia (SDM) agar ikut terlibat, mempunyai rasa memiliki, mengambil
bagian atau dapat berperan serta dengan baik sebagian maupun menyeluruh dari suatu
kegiatan sehingga dapat dipastikan SDM dapat bekerja secara tepat dan benar, koordinasi
dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa
penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.
Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik
dan saling mendukung.

Koordinasi adalah fungsi keduanya yang diarahkan pada penggunaan sumber daya
secara sistematis dan efektif (Rowland, 2004).

Fungsi koordinasi dilakukan secara terintegrasi dengan sektor terkait pada (1) tahap pra
dan (2) pasca bencana pada tanggap darurat fungsi yang dilaksanakan adalah dominan
fungsi komando karena fungsi koordinasi telah lebih dahulu dilaksanakan pada tahap pra
bencana (Depkes RI, 2002).

Menurut Pusat Penanggulangan masalah kesehatan Depkes RI (2002), Prosedur Operasi


Standar dalam melaksanakan koordinasi adalah :

a. Adanya media untuk berkoordinasi


b. Adanya tempat dan waktu untuk melaksanakan koordinasi
c. Adanya unit atau pihak yang dikoordinasikan. Unit yang dimaksud adalah organisasi
kesehatan baik instansi maupun tim kesehatan lapangan
d. Pertemuan reguler. Pertemuan reguler dapat dilaksanakan secara periodik dalam waktu
perbulan, pertriwulan, persemester atau bersifat insidentil apabila diperlukan
e. Tugas pokok dan tanggung jawab organisasi sektor kesehatan yang jelas
f. Informasi dan laporan
g. Kerjasama pelayanan dan sarana
h. Aturan (Code of conduct) organisasi kesehatan yang jelas Menurut Rapat koordinasi
Satkorlak PB, Prosedur Operasi Standar dalam melaksanakan koordinasi adalah sebagai
berikut : (1) Tentukan pola koordinasinya (berbagi informasi, kegiatan bersama, program

5
terpadu), (2) Tunjuk penanggungjawabnya, (3) Jadwalkan titik pertemuan koordinasi dan
(4) Tentukan mekanisme pertanggungjawaban.

Terciptanya suatu koordinasi kerja menyebabkan beban-beban antar bagian akan menjadi
seimbang, dan dengan adanya keseimbangan beban keadaan atau suasana organisasi sebagai
keseluruhan akan menjadi selaras. Keselarasan tersebut akan menyebabkan terjadinya kewajiban
melaksanakan tugas serta mencapai tujuannya. Koordinasi merupakan usaha untuk menciptakan
lima keadaan; serasi, selaras, seimbang, seragam dan serempak.

2.1.4 Komunikasi Dilakukan karena melibatkan multi sektor yang terkait dalam penanganan
bencana.

manajemen komunikasi dan aspek komunikasi, yaitu dimensi informasi, koordinasi dan
kerjasama. Pada tahap sebelum kejadian bencana maka aspek komunikasi akan mencakup
informasi yang akurat, koordinasi dan aspek kerjasama terutama kepada masyarakat yang rentan
atas peristiwa bencana. Pada tahap kejadian bencana keempat aspek : komunikasi, informasi,
kerjasama dan koordinasi merupakan kunci sukses penangana bencana, terutama untuk
penanganan korban dan menghindari resiko lebih lanjut. Pada tahap setelah bencana rekonstruksi
dan pemulihan pasca situasi bencana adalah tahap

penting untuk membangun kembali korban bencana dan memastikan untuk mengurangi
resiko apabila terjadi peristiwa serupa dikemudian hari. Dan yang sangat penting adalah
mitigasi, dalam tahapan ini, seluruh potensi komunikasi menjadi penting untuk memastikan
pencegahan dan pengurangan resiko, yang tentu pendekatan yang tepat adalah konprehensif,
sistemik dan terintegrasi antar lembaga, komponen maupun stakeholder yang ada.

Secara lebih luas, selain lembaga yang menangani bencana (BNPB), keterlibatan
stakeholder seperti media, industri, politisi dan berbagai komponen masyarakat/ lembaganya
menjadi sangat penting. Sedemikan penting agar keterlibatan mereka terutama pada peristiwa
bencana dan juga pada mitigasi,

Rodrigues dkk (dalam Rodr´ıguez, Quarantelli and Dynes (2007 :480) menyusun model
untuk mengko munikasikan resiko bahaya dan peringatan bencana, sebagai berikut :

6
Dari bagan diatas dapat ditarik garis penting bahwa model komunikasi yang dipaparkan
tidak hanya memiliki implikasi satu arah antara penggagas dengan targek khalayak yaitu korban/
potensi korban, namun juga menunjukkan arti penting komunikasi dua arah. Pada sisi lain
stakeholder yang terlibat memiliki

`potensi sumber daya yang bisa digunakan untuk memastikan proses manajemen bencana dan
tahapannya bisa mencapai sasaran, oleh karena itu aspek koordinasi dan kerjasama perlu
dikembangkan menjadi suatu proses yang baik dengan dasar prinsip humanitarian. Inilah yang
sebenarnya menjadi hal penting dalam aspek komunikasi bencana menjadi hal yang juga
signifikan, terutama untuk aspek edukasi, komunikasi.informasi selama peristiwa bencana dan
pemulihan bencana., yaitu integrasi proses antar komponen dan antar stakeholder dalam
melakukan gerakan dan tindakan untuk menyelamatkan korban dan potensi korban bencana.

2.2 Perawatan Terhadap Individu dan Komunitas


Perawatan yang dapat diberikan pada korban bencana alam. Berikut jenis bencana alam
dan perawatan yg diberikan.
Jenis Bencana, Jenis Penyakit, Obat & Perbekalan Kesehatan
1. Banjir:
- Diare/Amebiasis (Oralit, Infos R/L, NaCI 0,9%,
Metronidazol, Infos set, Abocath, Wing Needle)
7
- Dermatitis: Kontak jamur, bakteri, skabies (CTM Tablet, Prednison, Salep 2-4,
Hidrokortison salep, Antifongi salep, Deksametason Tab, Prednison Tab, Anti bakteri
DOEN salep, Oksi Tetrasiklin salep 3%, skabisid salep)
- ISPA (Pnemonia dan Non penemonia) : (Kotrimoksazol 480 mg, 120 mg Tab dan
Suspensi, Amoxylcilin, OBH, Parasetamol, Dekstrometrofan Tab, CTM)
- ASMA (Salbutamol, Efedrin HCL Tab, Aminopilin Tab)
- Leptospirosis (Amoxycilin 1000 mg, Ampisilin 1000 mg)
- Konjunctivitis (Bakteri, Sulfasetamid t.m, Chlorampenicol, salep Virus) mata,
Oksitetrasiklin salep mata)
- Gastritis (Antasida DOEN Tab & Suspensi, Simetidin tab, Extrak Belladon)
- Trauma/Memar (Kapas Absorben, Kassa steril 40/40 PovIodine, Fenilbutazon,
Metampiron Tab, Parasetamol Tab)

2 Longsor
- Fraktur Tulang, Luka Memar : (Kantong mayat, Stretcher/tandu, spalk, Luka sayatan dan
Hipoksia kasa, elastic perban, kasa elastis, alkohol 70%, Pov.lodine 10%, H202 Sol, Ethyl
Chlorida Spray, Jarum Jahit, CatGut Chromic, Tabung Oksigen)

3 Gempa/Tsunami
- Luka Memar, Luka sayatan : (kassa steril, Nacl, povidone iodine, plester)
- ISPA , Gastriti, Malaria, Penyakit Kulit

4. Gunung Meletus
- ISPA, Diare, Konjunctivitis, LukaBakar (Aquadest steril, kasa steril 40/40, Betadin,
salep, Sofratule, Abocath, Cairan Infos (RL, NaCl), Vit. C Tab, Amoxycilin/Ampicilin tab,
Kapas, Handschoen, Wingneedle, Alkohol 70%.)

Contoh bencana alam (GEMPA)


Keberhasilan penanganan kesehatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan pada saat
tetjadi gempa tidak terlepas dari partisipasi masyarakat. Masyarakat korban bencana
terutama bapak-bapak berpartisipasi membantu proses evakuasi, mencari serta menolong

8
korban luka dan mengurus korban yang meninggal dunia. Selain itu, mereka juga
membantu menyiapkan tenda darurat yang dipakai untuk melakukan perawatan sementara
karena sebagian bangunan Puskesmas rusak. Sementara itu anggota masyarakat lainnya,
terutama para remaja puteri dan ibu-ibu membantu para petugas kesehatan menangani
pasien, seperti menyiapkan alat kesehatan (kapas, obat luka,dan perlengkapan lainnya),
membantu membersihkan luka dan menjaga pasien. Masyarakat dan relawan juga terlibat
aktif membantu petugas Puskesmas dalam mengidentifikasi dan mengelompokkan pasien
sesuai dengan kondisi lukanya dan dipisahkan antara yang memerlukan penanganan segera
dan yang tidak. Bantuan yang diberikan masyarakat juga tidak sebatas dalam penanganan
pasien, tetapi termasuk juga memberikan informasi tentang wilayah-wilayah desa dan
dusun yang memerlukan bantuan tenaga kesehatan. Hal ini penting agar pihak Puskesmas
dapat segera melakukan penanganan kepada wilayah yang memerlukan

Selain pelayanan penyakit fisik, para korban gempa juga perlu mendapatkan pelayanan
untuk mengatasi masalah psikologis seperti trauma dan depresi, terutama pada anak-anak
dan orang yang lanjut usia. Kejadian gempa telah membuat sebagian masyarakat trauma
karena kehilangan keluarga, harta benda, peketj aan dan tidak dapat melakukan kegiatan
sehari-hari seperti sekolah dan bekerja. Oleh karena itu, perlu adanya pelayanan untuk
memulihkan kondisi kesehatan jiwa para korban bencana tersebut.

2.3 Perawatan Psikososial dan Spritual Pada Korban Bencana

2.3.1 REAKSI PASKA BENCANA ANAK USIA PRA SEKOLAH

Anak-anak usia pra sekolah adalah kelompok anak yang berusia 4-6 tahun (Wong, 2008).
Temuan penelitian memberikan kesan bahwa anak usia pra sekolah menunjukkan distress
psikologis dan masalah kognitif yang rendah jika dibandingkan pada anak yang lebih tua.
Bagimanapun juga mereka cenderung untuk memperllihatkan insiden yang tinggi terhadap
ketakutan umum dan spesifik, kehilangan kemampuan bahasa, masalah perilaku (tempertantrum,
agresif), ketergantungan, kecemasan akibat perpisahan, iritabel, mimpi buruk, dan perilaku
regresi spesifik (seperti memasukan ibu jari kemulut, dan ngompol) (Dogan-Ates, 2010).

9
2.3.2 REAKSI PASKA BENCANA ANAK USIA SEKOLAH

Penelitian terkait bencana yang dilakukan pada anak usia sekolah secara empiris ditemukan lebih
banyak dibanding penelitian pada kelompok usia lainnya. Secara umum hasil telah menyatakan
bahwa anak usia sekolah menunjukkan distres psikologis yang lebih menyeluruh dan gejala stres
paska trauma daripada anak usia pra sekolah akan tetapi lebih rendah jika dibandingkan pada
kelompok remaja.

2.3.3 REAKSI PASKA BENCANA ANAK REMAJA

Penelitian pada kelompok umur remaja jarang dilakukan kaitannya dengan respon mereka
terhadap bencana. Kelompok remaja dipertimbangkan sebagai kelompok yang seperti dewasa
dari pada respon seperti anakanak, karena mereka dipertimbangkan memiliki penilaian yang
lebih canggih terhadap bencana dan efeknya terhadap mereka. Untuk itu mereka lebih
memahami arti dari trauma (Phynoos, 1985)

Perbedaan remaja dengan anak yang lebih muda adalah remaja menunjukkan perspektif masa
depan, harapan negatif dan perubahan sikap tentang tujuan karir dan pernikahan. Pada
kenyataannya sebagian remaja tidak merencanakan jauh ke depan sejak mereka kehilangan
kepercayaan pada pernecanaan jangka panjang

Perawat menghadapi anak-anak korban bencana terutama pada fase pemulihan. Dengan
mengetahui reaksi-reaksi anak usia pra sekolah, usia sekolah dan remaja terhadap bencana
ataupun kejadian traumatik lainnya, maka perawat dapat melakukan tindakan pencegahan atau
pemulihan terkait PTSD yang dialami anak sesuai usia.

Menurut Murphy (2010), juga menegaskan bahwa PTSD sangat rentan dialami oleh kelompok
anak dan wanita. Reaksi yang muncul pada kelompokinni adalah depresi dan anxietas

NO USIA REAKSI
1 PRA 1. Somatik (Somatic)
SEKOLAH Gangguan tidur (terbangun dari mimpi buruk, night terror) , makan dan pusing.
(2-5 TAHUN)
2. Kognitif (Cognitive)

10
Penjelasan magic terhadap suatu kejadian, mengulangulang cerita tentang kejad
ingatan yang tidak menyenangkan tentang trauma, ketakutan yang menetap

3. Emosional (Emotional)
Menangis, kesulitan mengidentifikasi perasaan, emosi dan marah, ketergantungan y
berlebihan, iritabel (mudah marah), sedih, kecemasan karena perpisahan (separa
anxiety), kecemasan dengan orang asing (stranger anxiety), trauma dan ketakutan um

4. Perilaku (Behavioral)
Perilaku khawatir atau gelisah (seperti menggigit kuku), permainan post traum
perilaku regresif (ngompol, dan mengulum ibu jari), tempertantrum dan hiperaktif

SEKOLAH 1. Somatik (Somatic)


(6-11 TAHUN) Kehilangan energi, keluhan fisik (sakit kepala, sakit perut), gangguan tidur

2. Kognitif (Cognitive)
Percaya terhadap kekuatan supernatural, distorsi tentang penyebab bencana, gangg
terhadap gambaran yang tidak diinginkan, suara, bau dan memori, kurang konsent
performance dan level yang turun, kesedihan saat mengenang ulang tahun peristiwa.

3. Emosional (Emotional)
Marah, menolak,ekspresi kesalahan setelah aktivitas, kurang bantuan, kurang tert
dengan aktifitas yang menyenangkan, moodiness, sedih, menyalahkan diri sen
mudah menangis, trauma, takut dan khawatir tingkat kecemasan yang tinggi terma
terhadap masa depan. kontrol impulsif yang lemah, putus asa.

4. Perilaku (Behavioral)
Respon mengejutkan, perilaku acting-out, kecenderungan kecelakaan, mas
hubungan dengan teman sebaya, masuk ke masa dewasa secara prematur, penola
sosial dan isolasi, menolak sekolah, kurang tanggung jawab, kurang tertarik terha
aktivitas yang menyenangkan, penggunaan alkohol dan obatobatan terlarang

11
5. Self
Perasaan tidak punya harapan, isolasi, peningkatan fokus diri dan kesadaran
kehilangan kepercayaan diri, harga diri rendah, gambaran diri negatif, peruba
personal, pandangan dunia pesimis,

REMAJA 1. Somatik (Somatic)


(12.18 TAHUN) Gangguan makan, kehilangan energi, keluhan fisik (sakit kepala, sakit perut), gangg
tidur (insomnia)

2. Kognitif (Cognitive)
Masalah perhatian dan konsentrasi, performance sekolah yang kurang, masalah mem
gangguan terhadap gambaran visual, suara,
pikiran dan bau
3. Emosional (Emotional)
Kecemasan, belligerence, menolak, takut tumbuh, reaksi berduka, merasa salah kar
hidup, malu, terhina, depresi, dendam, pikiran bunuh diri

4. . Perilaku (Behavioral)
Respon mengejutkan, perilaku agresif (fighting), hiperaktif, hypervigilance, mas
dengan teman sebaya, mengulang cerita tentang trauma, permainan yang berhubun
dengan trauma, penolakan sosial dan emosional.

Pada umumnya anak-anak yang mengalami kondisi trauma menunjukkan simptom-simptom


seperti ketakutan, cemas, sedih, menghindar dan kurang responsif terhadap beragam emosi. The
Association for Play Therapy mendefinisikan play therapy sebagai berikut :

“Process where in trainer play therapists use the therapeutic powers of play

To help clients prevent or resolve psychosocial difficulties and achieve

optimal growth and development”.

12
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan tersebut, maka dapatlah diambil beberapa pengertian
pokok sebagai landasan dalam melaksanakan play therapy, yaitu :

Play therapy dibangun berdasarkan pondasi teoritik yang sistimatis. Tujuan dari penggunaan play
therapy adalah untuk membantu klien dalam rangka mencegah dan mengatasi persoalan
psikisnya serta membantu pencapaian pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan tugas
perkembangannya secara optimal.

Konsep dasar yang dapat digunakan pada play therapy ini adalah mengacu pada
pendangan sebagai berikut :

1. Bermain adalah salah satu cara yang dapat digunakan dalam memahami dunia anak-anak
2. Aspek perkembangan dalam kegiatan bermain merupakan cara anak dalam menemukan
dan mengekplorasi identitas diri mereka
3. Anak dapat melakukan eksperimen dengan berbagai pilihan imajinatif dan terhindar dari
konsekuensi seperti ketika di dunia nyata
4. Permainan pada situasi dan kondisi yang tepat dapat bermakna sebagai kegiatan fisik
sekaligus sebagai terapi.

Perawat menghadapi anak-anak korban bencana terutama pada fase pemulihan. Dengan
mengetahui reaksi-reaksi anak usia pra sekolah, usia sekolah dan remaja terhadap bencana
ataupun kejadian traumatik lainnya, maka perawat dapat melakukan tindakan pencegahan atau
pemulihan terkait PTSD yang dialami anak sesuai usia.

Menurut Murphy (2010), juga menegaskan bahwa PTSD sangat rentan dialami oleh kelompok
anak dan wanita. Reaksi yang muncul pada kelompok ini adalah depresi dan anxietas.

Pengalaman menjadi korban atau pelaku atau saksi dari pengalaman traumatis dapat
menimbulkan gangguan fisik dan emosi (psikologis) bila gangguan ini berlangsung lebih dari 4
minggu pasca trauma dan di diagnosa sebagai Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Pengalaman traumatik ini menjadikan kehidupan korban mengalami penurunan kualitas hidup
karena mengalami banyak gangguan fisik dan psikologis.

13
Upaya pemulihan terhadap keadaan PTSD ini menjadi perhatian berbagai pihak baik dari segi
medis maupun segi psikologis. Menurut Nurtanty (2012) pengobatan PTSD meliputi pendidikan,
pengobatan, dan psikoterapi. Nirwana (2012) merekomendasikan psikologis konseling, terutama
relaksasi dan teknik desensitisasi. Terapi pada PTSD juga dapat berupa psychotherapy, insight-
based treatments, behaviorally based treatments, emergency treatments pada stress akut,
farmakologi atau terapi kombinasi (Frisch & Frisch, 2005). Tehnik Spiritual Emotinal Freedom
Technique (SEFT) sebagai salah satu terapi psikoterapi dapat menjadi alternatif untuk mengatasi
permasalahan stress patologis ini. SEFT adalah gabungan dari spiritual power dan energy
psychology. Energy psychology adalah seperangkat prinsip dan tehnik dengan memanfaatkan
sistem energi tubuh untuk memperbaiki kondisi fikiran, emosi dan perilaku.

Tehnik SEFT ini terdiri dari 3 tahap yaitu :

1. The Set-Up : untuk memastikan aliran energi yang kita arahkan tepat dan untuk
menetralisir Physchological Reversal yang biasanya berupa pikiran negatif.The
SetUp terdiri dari 2 aktivitas yaitu :
 doa kepasrahan pada Allah SWT bahwa masalah atau rasa sakit yang dialami
saat ini kita ikhlas menerimanya dan kita pasrahkan kesembuhannya hanya
pada Allah SWT,
 aktivitas kedua adalah saat mengucapkan kalimat doa kepasrahan kita
menekan dada kita.
2. The Tune In : untuk masalah fisik adalah dengan merasakan rasa sakit yang kita
alami dan ingin di hilangkan, sedangkan untuk masalah emosi adalah dengan cara
memikirkan sesuatu yang dapat membangkitkan energi negatif yang ingin kita
hilangkan.
3. The Tapping : yaitu ketukan ringan dengan menggunakan ujung jari pada titik-
titik tertentu pada tubuh kita sambil terus tune in

Terapi SEFT dapat dilakukan pada penderita PTSD ataupun pencegahan korban yang mengalami
trauma tetapi belum didiagnosa PTSD namun telah menunjukkan gejala-gejala kecemasan,
stress, sulit konsentrasi, mimpi buruk dsb.

2.4 Perawatan untuk Populasi Rentan

14
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok rentan
diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu
(Morrow, 1999 & Daily, 2010)
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-
keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu untuk
individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok rentan akan diuraikan pada
pembahasan berikut (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA),
2010; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema 2007):

2.4.1 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
Pra bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan bencana
misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat
bencana
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
Saat bencana
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek tumbuh
kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak
disamakan dengan orang dewasa

15
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian pelayanan
fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali
mereka
Pasca bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya
waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian
depresi pada anak pasca bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang terpercaya
serta lingkunganyang aman untuk mereka
2.4.2 Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan menyusui
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita
harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam
merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga
meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua
kehidupan, ibu hamil dan janinnya.
Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan sirkulasi darah,
peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih rentan saat bencana dan
setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan
ibu hamil
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang mengalami
keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu menyelamatkan nyawanya
sendiri daripada nyawa si janin dengan mengurangi volume perdarahan pada
uterus.

16
b. Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas dan
terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal yang
perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-
obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan
selanjutnya yang lebih memadai.
Pra bencana
a. Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan bencana
b. Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
c. Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga
d. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana
Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan bumil dan busui, misalnya:
1) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi
karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
2) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
b. Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil dan
busui
Pasca bencana
a. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan emosional
b. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan korban
bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu
hamil dan menyusui.
c. Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana
2.4.3 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia
Pra bencana

17
a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan di
rumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara penduduk
dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah itu pun berjalan
secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa orang lansia dan
penyandang cacat yang disebut kelompok rentan pada bencana tidak pernah
diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan praktek dan
pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan bermanfaat akan
tercapai. (Farida, Ida. 2013)
Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda,
tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang lansia ke
tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi karena penuruman
daya pendengaran dan penurunan komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan ruma
sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan terlambat
dibandingkan dengan generasi yang lain.
3) Penyelamatan darurat

18
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang lansia
yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka skala
rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami peningkatan
sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa.
Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan lansia
dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan sosial
bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan
lansia (community awareness)
2) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan
bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di posko
perlindunga korban bencana
b. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat
di lokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
e. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan dalam
kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap
individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup di tempat
pengungsian. Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan
penurunan fungsi fisik orang lansia yang lebih parah lagi.
2) Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya ketidakcocokan
dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi juga keadaan yang serius
pada tubuh. Seperti penumpukan kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3) Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri

19
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan perabotannya di
luar dan dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali lansia
tidak bisa memperoleh informasi mengenai relawan, sehingga tidak bisa
memanfaatkan tenaga tersebut dengan optimal.
4) Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru (lingkungan
hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang singkat
5) Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi,
sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor. Namun demikian,
orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah terkena
dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan keluhan.

2.4.4 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan dan
penyakit kronik
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan memberi
pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan penyakit
kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam
waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-
bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum bencana.
Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun
manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar
penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian
atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit kronis
disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang memiliki
resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana akan
menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan gangguan
pernapasan.
Pra bencana

20
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan berpenyakit
kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana
bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan
khusus (cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana bagi
korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien, alamat
ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat yang
diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan
bencana sejak masa normal
Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan
berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu berjalan
untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal precaution)
untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil keputusan
untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu
diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan
dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan siaran
televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk untuk

21
tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan
sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh,
serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai kursi
roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya
tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu
bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan si
pemakai kursi roda dan keluarga
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang tidak
familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan pundak,
atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi
badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis, bahasa
isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum tentu
semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang
mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan seringkali
mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang
sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti
sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida.
2013).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana adalah
1) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling penting
adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah kesehatan

22
mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk. Perawat harus
mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-orang yang berada
di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan memahami penyakit mereka
yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan
pernapasan.
Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana, diperkirakan
munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung, ginjal, dan psikologis
yang memburuk karena kurang kontrol kandungan gula di darah bagi pasien
diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa keluar
peralatan tabung oksigen dari rumah
2) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan
apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan teratur. Karena banyak
obat-obatan komersial akan didistribusikan ke tempat pengungsian, maka
muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi beberapa obat
tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat
yang diberikan di rumah sakit.
Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi
roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu
dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi, cuci,
kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur, pemukiman
sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan, perban,
dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan

23
3) Tempat ibadah sementara
4) Keamanan wilayah
5) Kebutuhan air
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih, MCK untuk
umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar,
penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang penyimpanan
persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan bahan-bahan.
Keperawatan bagi pasien diabetes:
1) Mengkonfirmasi apakan pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk
menurunkan kandungan gula darah (contoh: insulin, dll) atau tidak, dan
identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
2) Mengkonfirmasi apakah pasein memiliki penyakit luka fisik atau infeksi, dan jika
ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk mencegah
komplikasi kedua dari penyakit diabetes)
3) Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu penyakit
diabetes (catatan pribadi)
4) Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang tepat, dan
memberikan pedoman mengenai manajemen makanan
5) Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat
Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis:
1) Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk pemakaian
tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman
2) Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena takut
peningkatan dysphemia
3) Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika pasien
tersebut tidak bisa membawa sendiri.
4) Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat
5) Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh: suhu udara panas/dingin, dan debu)
2.5 Pemenuhan Kebutuhan Jangka Panjang

24
2.5.1 PENGERTIAN

Tata cara pemberian bantuan merupakan mekanisme atau


prosedur yang menghubungkan antara pemberi bantuan dan penerima
bantuan pada suatu situasi kebencanaan.

Bantuan dalam hal ini adalah bantuan kemanusiaan yang terdiri


dari penampungan sementara, bantuan pangan, sandang, air bersih dan
sanitasi, serta pelayanan kesehatan.

A. PRINSIP

Prinsip-prinsip dalam pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan


dasar:

1. Cepat dan Tepat.

Cepat dan tepat adalah bahwa dalam pemberian bantuan pemenuhan


kebutuhan dasar dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan
keadaan.

2. Prioritas.

Prioritas adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan


kebutuhan dasar harus diutamakan kepada kelompok rentan.

3. Koordinasi dan Keterpaduan.

Koordinasi adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan


dasar didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.

Keterpaduan adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan


kebutuhan dasar dilaksanakan oleh berbagai sektor secara
terpadu yang didasarkan pada kerjasama yang baik dan saling
mendukung.

4. Berdaya Guna dan Berhasil Guna.

25
Berdaya guna adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan
dasar dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan.

Berhasil guna adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan


dasar harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan korban
bencana dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.

5. Transparansi dan Akuntabilitas.

Transparansi adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan


dasar dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.

Akuntabilitas adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan


dasar dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
secara etika dan hukum.

6.Kemitraan.

Kemitraan adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan


kebutuhan dasar harus melibatkan berbagai pihak secara
seimbang.

7. Pemberdayaan.

Pemberdayaan adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan


kebutuhan dasar dilakukan dengan melibatkan korban bencana
secara aktif.

8. Non Diskriminatif.

Non Diskriminatif adalah bahwa pemberian bantuan pemenuhan


kebutuhan dasar tidak memberikan perlakuan yang berbeda
terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik
apapun.

9. Non Proletisi.

26
Non Proletisi adalah bahwa dalam pemberian bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar dilarang menyebarkan agama atau
keyakinan.

2.5.2 JENIS BANTUAN


a. Bantuan Tempat Penampungan/Hunian Sementara

Bantuan penampungan/hunian sementara diberikan dalam bentuk


tenda-tenda, barak, atau gedung fasilitas umum/sosial, seperti tempat
ibadah, gedung olah raga, balai desa, dan sebagainya, yang
memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat tinggal sementara.

Standar Minimal Bantuan :

a. Berukuran 3 (tiga) meter persegi per orang.

b. Memiliki persyaratan keamanan dan kesehatan.

c. Memiliki aksesibititas terhadap fasilitas umum.

d. Menjamin privasi antar jenis kelamin dan berbagai kelompok


usia.

B. Bantuan Pangan

Bantuan pangan diberikan dalam bentuk bahan makanan, atau masakan


yang disediakan oleh dapur umum. Bantuan pangan bagi kelompok rentan
diberikan dalam bentuk khusus.

Standar Minimal Bantuan :

a. Bahan makanan berupa beras 400 gram per orang per hari atau
bahan makanan pokok lainnya dan bahan lauk pauk.

b. Makanan yang disediakan dapur umum berupa makanan siap


saji sebanyak 2 kali makan dalam sehari.

c. Besarnya bantuan makanan (poin a dan b) setara dengan


2.100 kilo kalori (kcal).

27
C. Bantuan Non Pangan

Bantuan non pangan diberikan kepada korban bencana dalam status


pengungsi di tempat hunian sementara pada pasca tanggap darurat,
dalam bentuk :

1. Peralatan Memasak dan Makan

Masing-masing rumah tangga korban bencana dapat


memperoleh bantuan peralatan memasak dan perlengkapan
untuk makan.

Standar Minimal Bantuan :

a. Tiap rumah tangga memiliki :

1) Piranti pokok berupa 1 panci besar dengan pegangan dan penutup, 1


panci sedang dengan pegangan dan penutup,
1 baskom untuk penyiapan dan penyajian, 1 pisau dapur, dan 2 centong
kayu.

2) Sebuah ember tertutup dengan kapasitas 40 liter dan


sebuah ember terbuka dengan kapasitas 20 liter.

3) Sebuah jerigen dengan kapasitas 20 liter.

b. Tiap orang memiliki : 1 piring makan, 1 sendok makan,


1 cangkir atau gelas.

c. Pemberian bantuan botol susu bayi hanya untuk kasus-kasus


tertentu.

2. Kompor, Bahan Bakar, dan Penerangan

28
Masing-masing rumah tangga korban bencana dapat memperoleh
sarana memasak, yaitu kompor dan pasokan bahan bakar
dan lampu penerangan secara memadai.

Standar Minimal Bantuan :

a. Kompor dan bahan bakar yang tersedia secara rutin.

b. Tersedianya tempat penyimpanan bahan bakar yang aman.

c. Alat penerangan seperti : lampu lentera, lilin, atau


penerangan lain yang memadai.

3. Alat-alat dan Perkakas

Korban bencana dapat memperoleh bantuan alat-alat dan perkakas


untuk memperbaiki hunian sementara.

Standar Minimal Bantuan :

a. Memperoleh kemudahan untuk mendapatkan bantuan alat-alat dan


perkakas yang dibutuhkan, seperti martil, gergaji,
cangkul, sekop, kapak, parang, dan gerobak kayu.

b. Memperoleh pelatihan dan pembimbingan dalam penggunaan


alat-alat dan perkakas.

D. Bantuan Sandang
Bantuan Sandang terdiri dari :
1.Perlengkapan Pribadi

Perlengkapan pribadi merupakan kebutuhan manusia yang sangat


penting untuk melindungi diri dari iklim, memelihara kesehatan
serta mampu menjaga privasi dan martabat.

Standar Minimal Bantuan :


a. Memiliki satu perangkat lengkap pakaian dengan ukuran

29
yang tepat sesuai jenis kelamin masing-masing, serta peralatan tidur
yang memadai sesuai standar kesehatan dan martabat manusia.
b. Perempuan dan anak-anak setidaknya memiliki dua
perangkat lengkap pakaian dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim,
dan musim.
c. Perempuan dan anak-anak gadis setidaknya memiliki dua
perangkat lengkap pakaian dalam dengan ukuran yang tepat sesuai budaya,
iklim, dan musim.
d. Anak sekolah setidaknya memiliki 2 stel seragam sekolah
lengkap dengan ukuran yang tepat sesuai jenis kelamin dan jenjang sekolah
yang diikuti.
e. Anak sekolah memiliki satu pasang sepatu/alas kaki yang
digunakan untuk sekolah.
f. Setiap orang memiliki pakaian khusus untuk beribadah sesuai
agama dan keyakinannya.
g. Setiap orang memiliki satu pasang alas kaki.
h. Bayi dan anak-anak dibawah usia 2 tahun harus memiliki
selimut dengan ukuran 100 X 70 cm.
i. Setiap orang yang terkena bencana harus memiliki alas tidur
yang memadai, dan terjaga kesehatannya.
j. Setiap kelompok rentan : bayi, anak usia dibawah lima tahun,
anak-anak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat, orang sakit,
dan orang lanjut usia, memiliki pakaian sesuai kebutuhan masing-
masing.
k. Setiap kelompok rentan, memiliki alat bantu sesuai
kebutuhan, misalnya : tongkat untuk lansia dan penyandang
cacat.

2. Kebersihan Pribadi

30
Tiap rumah tangga memperoleh kemudahan mendapatkan bantuan
sabun mandi dan barang-barang lainnya untuk menjaga kebersihan,
kesehatan, serta martabat manusia.

Standar Minimal Bantuan :

a. Setiap orang memiliki 250 gram sabun mandi setiap bulan.


b. Setiap orang memiliki 200 gram sabun cuci setiap bulan.
c. Setiap perempuan dan anak gadis yang sudah menstruasi
memiliki bahan pembalut.
d. Setiap bayi dan anak-anak di bawah usia dua tahun memiliki
12 popok cuci sesuai kebiasaan di tempat yang bersangkutan.
e. Setiap orang memiliki sikat gigi dan pasta gigi sesuai
kebutuhan.

E. Bantuan Air Bersih dan Sanitasi

1. Bantuan Air Bersih

Diberikan dalam bentuk air yang kualitasnya memadai untuk


kebersihan pribadi maupun rumah tangga tanpa menyebabkan
risiko yang berarti terhadap kesehatan. Bantuan air bersih
diberikan dalam bentuk sumber air beserta peralatannya.

Standar Minimal Bantuan :


a. Bantuan air bersih diberikan sejumlah 7 liter pada tiga hari
pertama, selanjutnya 15 liter per orang per hari.

b. Jarak terjauh tempat penampungan sementara dengan


jamban keluarga adalah 50 meter.
c. Jarak terjauh sumber air dari tempat penampungan
sementara dengan titik air terdekat adalah 500 meter.

2. Bantuan Air Minum

31
Diberikan dalam bentuk air yang dapat diminum langsung atau
air yang memenuhi persyaratan kesehatan untuk dapat diminum.

Standar Minimal Bantuan :


a. Bantuan air minum diberikan sejumlah 2.5 liter per orang
per hari.
b. Rasa air minum dapat diterima dan kualitasnya cukup
memadai untuk diminum tanpa menyebabkan resiko
kesehatan.
3. Bantuan Sanitasi

Diberikan dalam bentuk pelayanan kebersihan dan kesehatan lingkungan


yang berkaitan dengan saluran air (drainase), pengelolaan limbah cair
dan limbah padat, pengendalian vektor, serta pembuangan tinja.

Standar Minimal Bantuan :


a. Sebuah tempat sampah berukuran 100 liter untuk
10 keluarga, atau barang lain dengan jumlah yang setara.
b. Penyemprotan vektor dilakukan sesuai kebutuhan.
c. Satu jamban keluarga digunakan maksimal untuk 20 orang.
d.Jarak jamban keluarga dan penampung kotoran sekurang-
kurangnya 30 meter dari sumber air bawah tanah.
e. Dasar penampung kotoran sedekat-dekatnya 1,5 meter di atas
air tanah. Pembuangan limbah cair dari jamban keluarga
tidak merembes ke sumber air manapun, baik sumur maupun
mata air lainnya, sungai, dan sebagainya.
f. Satu tempat yang dipergunakan untuk mencuci pakaian dan
peralatan rumah tangga, paling banyak dipakai untuk 100 orang.

F. Bantuan Pelayanan Kesehatan

Korban bencana, baik secara individu maupun berkelompok,


terutama untuk kelompok rentan, dapat memperoleh bantuan

32
pelayanan kesehatan. Bantuan pelayanan kesehatan diberikan dalam
bentuk :

1. Pelayanan kesehatan umum meliputi :


a. Pelayanan kesehatan dasar.
b. Pelayanan kesehatan klinis.

Standar Minimal Bantuan :


a. Pelayanan kesehatan didasarkan pada prinsip-prinsip
pelayanan kesehatan primer yang relevan.

b. Semua korban bencana memperoleh informasi tentang


pelayanan kesehatan.
c. Pelayanan kesehatan diberikan dalam sistem kesehatan pada
tingkat yang tepat : tingkat keluarga, tingkat puskesmas,
Rumah Sakit, dan Rumah Sakit rujukan.
d. Pelayanan dan intervensi kesehatan menggunakan teknologi
yang tepat dan diterima secara sosial budaya.

e. Jumlah, tingkat, dan lokasi pelayanan kesehatan sesuai


kebutuhan korban bencana.
f. Tiap klinik kesehatan memiliki staf dengan jumlah dan
keahlian yang memadai untuk melayani kebutuhan korban
bencana. Staf klinik maksimal melayani 50 pasien per hari.
g. Korban bencana memperoleh pelayanan obat-obatan sesuai
dengan kebutuhan.

h. Korban bencana yang meninggal diperlakukan dan


dikuburkan dengan cara yang bermartabat sesuai dengan
keyakinan, budaya, dan praktek kesehatan.

2. Pengendalian penyakit menular meliputi :


a. Pencegahan Umum
b. Pencegahan Campak

33
c. Diagnosis dan Pengelolaan Kasus
d. Kesiapsiagaan Kejadian Luar Biasa
e. Deteksi KLB, Penyelidikan & Tanggap
f. HIV/AIDS

Standar Minimal Bantuan :

a. Pemberian vitamin A bagi bayi berusia 6 bulan sampai balita usia 59


bulan.
b. Semua bayi yang divaksinasi campak ketika berumur 6 sampai 9 bulan
menerima dosis vaksinasi ulang 9 bulan
kemudian.
c. Anak berusia 6 bulan sampai 15 tahun dapat diberikan imunisasi campak.

d. Korban bencana memperoleh diagnosis dan perawatan yang


efektif untuk penyakit menular yang berpotensi menimbulkan kematian dan
rasa sakit yang berlebihan.
e. Diambil tindakan-tindakan untuk mempersiapkan dan
merespon berjangkitnya penyakit menular.
f. Berjangkitnya penyakit menular dideteksi, diinvestigasi, dan
dikontrol dengan cara yang tepat waktu dan efektif.

g. Korban bencana memperoleh paket pelayanan minimal untuk


mencegah penularan HIV/AIDS.

3. Pengendalian penyakit tidak menular, meliputi :


a. Cedera
b. Kesehatan Reproduksi
c. Aspek Kejiwaan dan Sosial Kesehatan
d. Penyakit Kronis

Standar Minimal Bantuan :


a. Korban bencana memperoleh pelayanan tepat untuk
mengatasi cedera.

34
b. Korban bencana memperoleh pelayanan untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan reproduksi.

c. Korban bencana memperoleh pelayanan kesehatan sosial dan


mental sesuai kebutuhan.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan
manajemen bencana (disaster management) adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat berguna dan lebih baik lagi dari sudut
bahasa,penjelasan dan pembelajaran

35
DAFTAR PUSTAKA

Kepala Badan Nasinal. 2008. Tata Cara Pemberian Kebutuhan Jangka Panjang :
BNPB

Machmud, Rizan. 2009. Peran Petugas Kesehatan Dalam Penanggulanan Bencana


Alam : Jurnal kesmas volume 3 (No.1)

Axline, Virginia, 1947, Play Therapy: The Inner Dynamics of Chilhood, John Wiley
& sons
https://id.scribd.com/document/340027590/Perawatan-Pada-Kelompok-Rentan-Saat-Bencana (diakses
pada Tgl 11 sept 2019, 17:01)

https://www.google.co.id/search?safe=strict&client=ucweb-
b&channel=sb&sxsrf=ACYBGNSE8oC4fCANzrS-3sfR-oUbR06ylA
%3A1569847300458&q=makalah+pengelolaan+kegawatdaruratan+bencana+command+control+coordin
ation+communication&oq=makalah+command+contr&aqs=heirloom-srp.0.0l1 (diakses pada Tgl 11 sept,
18:05)

36

Anda mungkin juga menyukai